Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH RISET

MK TRANSFORMASI GERAKAN AGRARIA LINGKUNGAN

GERAKAN SOSIAL AKUISISI LAHAN (LAND GRABBING)


PADA PEMBANGUNAN MOVIELAND

Fajar Imani Nurismawan


I3530211009

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2022
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Konflik penguasaan tanah pada negara agraris masih menjadi isu yang tidak pernah usai. Pada umumnya,
konflik ini dicirikan oleh penindasan yang dilakukan oleh kelompok kuat yang menang terhadap kelompok
lemah yang kalah. Konflik penguasaan tanah merupakan suatu kenyataan sosial yang harus diungkap secara
objektif (Tjondronegoro, 2008). Gerakan sosial baru cenderung dipahami sebagai gerakan yang cenderung
kultural, tidak melibatkan aksi massa, lebih dekat dengan issu sehari-hari terkait dengan perlawanan yang
dilakukannya. (Larana ed. 1994; Johston dan Klandermans 1995; Pichardo 1997). Secara historis,
ketidakadilan dalam penguasaan tanah merupakan kenyataan sejarah yang berakar dari ekspansi teritorial
oleh para penjajah, termasuk dengan berdasarkan diskriminasi peraturan hukum mengenai penguasaan dan
pemilikan tanah (Thontowi, 2000).

Selain faktor kolonialisme, sistem kapitalisme juga telah menimbulkan banyak kepincangan penguasaan
sumber-sumber agraria dan juga ketimpangan dalam distribusi sumber-sumber kemakmuran yang
menyertainya, tentu saja hal tersebut terjadi untuk kepentingan para pemodal. Rachman, (2012)
menyebutkan bahwa cara yang diterapkan sistem produksi kapitalis adalah dengan semakin memperlebar
wilayah kerja kuasanya dan membatasi ruang gerak rakyat sehingga tidak lagi dapat mengakses tanah dan
sumber daya alam lainnya. Dalam rangka memperluas ruang produksinya, para pengusaha/korporasi
cenderung untuk selalu melibatkan kekuatan pemerintah. Aspek negatif dari penguasaan tanah lebih
ditekankan pada sebuah bentuk maupun praktik yang memapankan serta melakukan aksi konsolidasi bentuk
akses, pengklaiman dan pengucilan (eksklusi), bahkan selanjutnya menarik masuk kaum yang terekslusi
dari basis produksinya tersebut ke dalam sistem ekonomi kapitalistik (Peluso & Lund, 2011).

Akuisisi lahan secara besar-besaran merupakan sebuah fenomena global yang berlangsung secara luas
dengan melibatkan aktor lintas negara dan benua. Namun demikian, pendekatan pembangunan pertanian
dengan pola ini kurang sejalan dengan reforma agraria, karena menghasilkan ketimpangan, konflik, serta
peminggiran masyarakat dan petani sebagai pengelola sumberdaya. Sampai saat ini, fenomena akuisisi
lahan yang memiliki dampak serius tersebut tidak dibicarakan secara terbuka oleh kalangan akademisi, dan
seringkali ditutupi sebagai sebuah dinamika investasi antar negara belaka. Fenomena akuisisi lahan harus
dijadikan sebagai agenda terbuka dan dicarikan solusinya dengan mengintegrasikan dengan perencanaan
reforma agraria. Defenisi land grabbing (perampasan tanah) seperti yang diungkap oleh Borras Jr et al
(2012) adalah usaha untuk memberi kontrol dalam skala luas atas tanah, bahkan sumber daya alam lainnya
dengan berbagai cara termasuk dengan modal besar yang selalu mengalihkan orientasi pemanfaatan
sumberdaya untuk tujuan domestik atau internasional, dalam merespon konvergensi pangan, energi dan
krisis keuangan, migitasi iklim dan permintaan sumber daya dari kapital yang baru.

B. RUMUSAN PERTANYAAN PENELITIAN

Permasalahan pertama adalah berkaitan dengan bagaimana proses Land Grabbing terjadi kepada
masyarakat sekitar. Peran penguasa lahan dan tanah dan premanisme menjadi pengaruh besar yang
mendorong masyarakat untuk menjual tanahnya. Beragam strategi yang dilakukan guna mempermudah
proses pembebasan lahan untuk Pembangunan dimulai dari tidak adanya keterbukaan informasi publik dan
minimnya keterlibatan masyarakat dalam mengambil kebijakan dan mendiskusikan kebijakan yang akan
dilaksanakan. Sejarah panjang mengalamai perubahan pada motif dan tingkat keinginan menjual tanah.
Tingkat kebutuhan setiap keluarga mengalahkan nilai penjagaan regenerasi pengetahuan local dan system
hidup yang minim adaptasi terhadap perubahan sosial yang terjadi. Sehingga memberikan dampak
mendalam kepada masyarakat sekitar bahkan secara jangka panjang jika kita tidak dapat memetakan
kondisi proses yang terjadi, bentuk perlawanan menjadi penting sasarannya. Bagaimana Tipologi Gerakan
Sosial perlawanan masyarakat pada Pembangunan Movieland?

Permasalahan kedua ditinjau dari sisi kekuatan aktor terhadap akses yang merata dan manifestasi
aturan-aturan sangat berpengaruh pada keberlangsungan pembangunan dan beban kerja setiap warga
masyarakat. Kebijakan pembangunan diduduki aktor secara ekologi politik yang menyebabkan akses
terhadap sumber daya sekitar di privatisasi. Menurut Fennell, Dowling (2003) kerangka kelembagaan dan
proses pengambilan keputusan. Kebijakan dibuat pada berbagai tingkatan, dari mikro, hingga medium
(regional, negara bagian atau provinsi) dan makro (Nasional atau global). Produk kebijakan sebagai bagian
dari politik memberi gambaran kepentingan aktor didalamnya serta peran-peran yang mendorong
kepentingannya berjalan dengan baik. Kondisi diperparah oleh aktor dengan mendorong kebijakan multi-
fungsi yang diizinkan dan direstui oleh pemerintah hingga pada titik-titik ternetu kecenderungan kebijakan
berpihak pada korporasi. Siapa saja aktor yang terlibat dalam gerakan sosial pada Pembangunan
Movieland?

Permasalahan ketiga berkaitan dengan pelemahan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat
dalam menolak pembangunan Movieland. Pembangunan tersebut dinilai dapat menimbulkan krisis ekologi
yang akan berdampak pada hajat hidup banyak orang, mulai dari penggunaan sumberdaya alam secara
besar-besaran (air dan tanah) untuk kepentingan pembangunan dan penghidupan element sekitarnya serta
upaya mendorong kesejahteraan masyarakat pada sektor ekonomi tidak sebanding dengan daya saing dan
kapasitas masyarakat menuju transformasi pembangunan secara masiff sehingga pelemahan perlawanan
menjadi aspek yang merugikan bagi masyarakat. Apa saja factor pelemahan gerakan sosial Land
Grabbing pada masyarakat terdampak?

Dari masalah-masalah dalam tiga sudut pandang tersebut tersebut peneliti ingin berfokus pada masalah-
masalah yang muncul dan mendalam dengan mengobservasi pada aspek : (1) Tipologi Gerakan Sosial; (2)
Aktor dan Kepentingan Kebijakan; dan (3) Faktor Pelemahan Masyarakat pada Gerakan Sosial.
II. LOKASI PENELITIAN

A. Peta Wilayah

Lokasi Lido melalui pantauan udara (Garis Hijau)

Lokasi Pengembangan Lido, Pembangunan Movieland (Garis Hitam)


B. Kondisi Geografis
Kecamatan Cigombong adalah salah satu organisasi perangkat daerah di Kabupaten Bogor dengan
kondisi bentangan lahan daratan dan berbukit, terletak pada ketinggian 536 meter Dpl dengan curah
hujan rata-rata 2.150 – 2.650 mm per tahun dan suhu antara 24 ◦C – 31 ◦C. Batas wilayah
Kecamatan Cigombong, yaitu : Sebelah utara (Kecamatan Cijeruk)Sebelah selatan (Kecamatan
Cicurug, Sukabumi) Sebelah barat (Kecamatan Taman Sari) Sebelah Timur (Kecamatan Caringin)
Kecamatan Cigombong merupakan wilayah pengembangan pertanian yang memiliki produksi padi
rata-rata 3.229,6 ton per hektar, produksi pertanian tanaman pangan lainnya yang menonjol adalah
palawija jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang panjang, ubi jalar, dan mentimun. Produksi buah-
buahan yang menonjol yaitu pepaya, mangga, belimbing, alpukat, dan jeruk.
Luas wilayah Kecamatan Cigombong adalah 4.402,519 hektar yang terdiri dari 2 hektar sawah
dengan irigasi teknis; 210,8 hektar sawah dengan pengairan setengah teknis; 276,662 hektar sawah
dengan irigasi sederhana; 50 hektar sawah tadah hujan; 312,5 hektar ladangtegalan; 95 hektar
perkebunan; 19,3 hektar perikanan daratair tawar; dan sisa lahan lainnya digunakan untuk
pemukiman serta fasilitas umum (Monografi Kecamatan Cigombong, 2011).
Luas pengembangan wisata ini, pada awalnya direncanakan akan mencapai 3.000 hektar (MNC
Land, 2015) dengan cakupan wilayah yang melintasi 4 Desa yaitu Desa Wates Jaya, Pasir Buncir,
Srogol, Benda, dan 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Cigombong, Caringin serta Cicurug. Di kawasan
seluas itu akan dibangun hotel berbintang 5, lapangan golf skala internasional, theme parks kelas
internasional, mediapolis, kebun raya, water park, perumahan kelas menengah atas, dan fasilitas
penunjang lainnya. Luas Kecamatan Cigombong, yang terdiri dari 9 desa, memiliki luas hanya
sebesar 3.558 hektar (Kecamatan Cigombong dalam Angka Tahun 2014).
Lido secara geografis berada di daerah pegunungan, diapit oleh kawasan Taman Nasional Gunung
Gede-Pangrango. Daerah yang menyediakan beberapa sumber mata air, dan juga merupakan awal
mula aliran Sungai Cisadane. Hadirnya Movieland membutuhkan perluasan pembangunan yang
menghabiskan sumberdaya alam termasuk kebutuhan air yang tinggi, pengerukan tanah menjadi
rawan bencana serta perataan lahan menyebabkan gundulnya kawasan yang dulunya banyak sekali
sektor perkebunan dan hutan yang terkeruk landasan bangunan gedung-gedung yang akan dibangun
ditanah tersebut.

C. Potensi Sumber Daya Alam


Danau Lido merupakan danau buatan yang dibangun pada masa penjajahan dan sekarang menjadi
salah satu destinasi wisata dikawasan bogor, yang menjadi suguhan utama yaitu panorma alam
yang berupa keindahan Gunung Pangrango dibagian timur dan Gunung Salak dibagian barat.
sehingga para wisatawan bisa bersantai dan menikmati sejenak disini. Danau Lido kawasannya
terletak dibagian lembah kedua gunung tersebut (Salak dan Pangrango). Tepatnya dikecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor. Aksesnya cukup mudah, dari pintu Tol Ciawi kurang lebih hanya
ditempuh 45 menit saja. Diujung timur, kawasan lido berbatasan dengan kasawasan Pusat
Pendidikan Konservasi Alam (PPKA) Bodogol. Dimana PPKA ini merupakan kasawasan
penyokong danau tersebut, sebagai pemberi kesejukan, dan mengalirnya air yang mengisi danau
lido yang berada dibagian bawahnya. Berjarak kurang lebih 7 km dari Hotel Lido, dengan beda
pengelola, kawsan PPKA Bodogol pun sangat strategis sebagai tempat trecking sambil mengenal
ragam biota pengisi hutan tropis basah yang melimpah dikawasannya.
Desa Watesjaya, Desa Srogol berbatasan langsung dengan Desa Benda, Kabupaten Sukabumi di
wilayah selatan sebagai kawasan berikat industri menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum muda,
sehingga mereka lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik ketimbang mengembangkan potensi
sumber daya alam yang ada dengan berbagai kekurangan dan keterbatasan. Potensi sumber daya
alam pertanian baik persawahan, perkebunan, pertanian, maupun perikanan dan peternakan di
wilayah tersebut sangat besar akan tetapi tidak menjadi lebih menarik bagi kaum muda sebab
mereka lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik. Beragamnya sumberdaya diwilayah tersebut
menegasikan ketersediaan sumberdaya alam dengan sumberdaya manusia yang dikelolanya
sehingga menimbulkan permasalahan ketimpangan sumberdaya yang tidak terakomodir dan belum
dikelola secara berkeadilan dan berkelanjutan dengan dihadapkan pada situasi kondisi sosial
ekonomi masyarakat desa.

D. Sosial Ekonomi
Kecamatan Cigombong terdiri dari 9 desa, 80 RW, 287 RT, dan 21.562 KK. Jumlah penduduk pada
akhir desember 2010 adalah 82.042 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 41.848 jiwa dan perempuan
sebanyak 40.194 jiwa. Angkatan kerja penduduk terdiri dari 50.519 jiwa termasuk dalam usia
produktif dan 16.580 jiwa termasuk dalam usia tidak produktif. Sebagian besar penduduk memiliki
tingkat pendidikan tamat SDsederajat yaitu 24.250 jiwa, sebanyak 13.375 jiwa merupakan lulusan
SMPsederajat, sebanyak 9.698 jiwa merupakan lulusan SMAsederajat, sebanyak 1.045 jiwa
merupakan lulusan D1, sebanyak 1.457 jiwa merupakan lulusan D2, sebanyak 289 jiwa merupakan
lulusan D3, sebanyak 8 50 jiwa merupakan lulusan D4, sebanyak 107 jiwa merupakan lulusan S1,
dan sebanyak 18 jiwa merupakan lulusan S2. Mayoritas penduduk bekerja di bidang pertanian yaitu
sebanyak 10.680 jiwa yang terdiri dari 4.800 jiwa pemilik tanah, 2.130 petanipenggarap, dan 3.750
buruh tani. Penduduk lainnya kebanyakan bekerja sebagai buruh industri, buruh bangunan,
pedagang, PNS, pengemudi, dan pengrajin.
Dalam perkembangan sosial ekonomi terkini, Peraduan yang harmonis antara kekuatan kapital dan
politik yang massif membuat Megaprojek Movieland Lido berjalan dengan akselerasi dan konflik
yang mempengaruhi tingkat modal sosial masyarakat. Peran Pemerintah mengangap jika dengan
dikembangkannya Lido menjadi skala internasional akan meningkatkan perekonomian daerah
Cigombong dan sekitarnya. Yang kemudian akan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Pertumbuhan ekonomi secara makro memang dinilai menumbuhkan perecepatan
perkembangan, tetapi pertumbuhan ekonomi secara makro itu akan merata ke semua elemen
masyarakat, menyerap banyak tenaga kerja, dan peran pengelolaan sumberdaya dengan posisi-
posisi strategis yang terjadi tidak menjamin kolaboratif pembangunan itu terhubung. Pembangunan
Tol Bocimi (Bogor-Ciawi-Sukabumi) menandakan Cigombong dan sekitarnya tengah berada
dalam pusaran projek pembangunan yang sangat massif. Secara ekonomi diprediksi akan terjadi
pool of growth tetapi tidak sebanding dengan harapan dan value masyarakat Cigombong dan
sekitarnya terwadahi dalam konsepsi pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.

E. Dampak Pembangunan dan Krisis Ekologi


Dinamika sosialyang menjadi tak terhindarkan muncul beriringan dengan tatanan ekologis dan
ekonomi yang berubah. Jika dinamika sosial ini berujung pada kesenjangan sosial yang mencolok,
maka dikhawatirkan akan memicu permasalahan sosial yang lebih besar. Benturan budaya juga
sangat memungkinkan akan terjadi. Budaya Masyarakat Cigombong dengan Budaya Korporasi
yang syarat kepentingan menimbulkan konsensi buruk, pergeseran sosio-budaya masyarakat
Cigombong karena tidak mampu menahan gempuran masif dari budaya yang dibawa oleh
Pembangunan dan menjelang musim kemarau tiba di daerah Cigombong, maka krisis air akan
terjadi dengan semakin parah sehingga ketersediaan air sulit didapat. Lahan pertanian pun menjadi
mengering karena minimnya pasokan air sehingga membuat masyarakat kesulitan menghidupi
kebutuhan hidupnya. Kualitas hidup masyarakat menjadi terganggu merasa resah, khawatir, dan
gamang dengan keberadaan ruang hidup mereka, terutama terkait rumah dan lahan sumber
penghidupannya. Pembangunan Movieland selain menimbulkan potensi konflik berkepanjangan
juga berpengaruh pada tatanan lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Cigombong.
Perluasan lahan sudah pasti dilakukan oleh pihak pengembang, dan ini akan sangat beririsan
dengan pemanfaatan tata ruang lahan. Terutama bermasalah di alih fungsi lahan pada lahan
pertanian dan daerah resapan air.
II. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Proses Land Grabbing pada Pembangunan Movieland

Tabel.1 Proses Land Grabbing Pembangunan Movieland (MNC Land)


2014-2017 2018 2019
 Sejak 2003 Kepemilikan aset  Pengajuan Perhutanan sosial  Pembangunan Kawasan Movieland
Lido Resort dan Ruas Tol dan usulan Kemitraan mulai dilakukan dengan pembangunan
Bogor-Ciawi dipindahkan dari Konservasi (KK) yang diajukan penataan kawasan, akses jalan masuk
Bakrie Group kepada MNC oleh KTH Cipeucang dan KTH dan beberapa hotel skala internasional
Group. Penguasaan Lahan mulai Ciwaluh pada Desember 2018. meski belum diresmikan secara
dilakukan melalui Praktik Perbedaan Skema langsung. Penataan kawasan Danau
pembelian tanah dan mendorong Pemberdayaan Masyarakat Lido menimbulkan konflik secara tidak
premanisme melakukan loby Skema Pemulihan Ekosistem. langsung penataan danau lido menjadi
pada masyarakat Keduanya berbeda, terutama lebih ekslusif.
 Diskusi Perlawanan Masyarakat dalam hal tujuan legalisasi akses  Kebijakan MNC Land telah membuat
di tingkat Kecamatan dibawa masyarakat ke kawasan taman nota kesepakatan pengelolaan untuk
pada Diskusi Publik dengan nasional dan jenis aktivitas yang pengembangan TNGGP dengan
menghadirkan steakholder dapat dilakukan oleh BBTNGPP yaitu pembangunan dua
terkait rencana pembangunan masyarakat destinasi wisata baru
yang akan dilaksanakan (PT
Lido Nirwana Parahyangan)
2020 2021 2022
 Masyarakat menolak rencana  Pemerintah resmi menyerahkan  Kantor Hukum Sembilan Bintang
penggusuran makam keramat di Peraturan Pemerintah (PP) selaku kuasa hukum warga Ciletuh
Kampung Ciletuh Hilir yang Nomor 69 Tahun 2021 tentang Hilir menggelar Dialog Hukum #1
sudah ada sejak dahulu kala. penetapan Kawasan Ekonomi bertema “Murkanya warga Ciletuh
Ada sekitar 1.500 makam seluas Khusus MNC Lido City kepada Hilir atas terkurungnya sikap birokrat
1,2 hektare itu sudah ada PT Media Nusantara Citra Tbk di tangan pengusaha hitam”.
sebelum Indonesia merdeka. (MNCN).  Plangisasi dan pembatasan akses jalan,
Klaim dari pihak MNC soal  PT MNC Land Tbk pengetatan wilayah masuk zona
kepemilikan tanah makam, yang (KPIG) telah membangun Kawasan Lido Resort
sampai sekarang belum pernah sejumlah proyek. Di antaranya,  Sengketa Lahan Wisata yang dikelola
menunjukan bukti. Konsolidasi Lido Lake Resort Extension, oleh warga masyarakat Desa benda
warga kepada DPRD Kb.Bogor Lapangan Golf & Country Club, (tidak secara kontraktual) mengalami
dilakukan guna mendengarkan Lido Music & Arts Center, penggusuran dan pembatasan serta
pengaduan bersama YLBHI. Movieland, Lido World Garden kebijakan PTSL (Pendaftaran Tanah
 Konflik selama puluhan tahun dan infrastruktur serta sarana Sistematis Lengkap) yang dilakukan
menggarap tanah eks HGU yang dan prasarana lainnya. oleh Pemdes Benda atas dasar
kini dikuasai MNC Land, kebijakan Kementerian ATR/BPN
menuntut kompensasi. Sebab, Lokus kerja Kab.Sukabumi.
warga kehilangan mata
pencaharian setelah masuknya
MNC Group ke Ciletuh Hilir.

Penguasaan aset tanah atau lahan tersebut seringkali terjadi melalui proses jual beli, sewa, penyitaan
dan pengambilan secara tindakan kekerasan tanpa konfirmasi (land grabbing). Fenomena mengenai land
grabbing seperti kasus 2 desa di Keamatan Cigombong dan Kecamatan Cicurug menjadi salah satu daerah
yang mengalami dampak dari industrialisasi serta membuka peluang bagi korporasi besar untuk
berinvestasi. Kecamatan Cicurug menjadi lahan basah incaran para korporat untuk melancarkan ekspansi
kapitalnya dengan berusaha menguasai lahan dengan berbagai cara.
B. Dinamika Pelemahan Perlawanan Masyarakat terhadap Penolakan Pembangunan

Upaya mengakumulasi kapital dengan cara privatisasi lahan yang terjadi Kecamatan cigombong
menggunakan praktik penjualan lahan dan premanisme serta klaim atas penguasaan lahan melalui legalisasi
sertifikat lahan. Adanya tanah dengan luas ratusan ribu hektar, yang digarap warga, belum ada ganti rugi
serta klaim dari pihak MNC soal kepemilikan tanah makam, yang sampai sekarang belum pernah
menunjukan bukti seingga membuat warga bentrok dengan aparat setempat. Warga dan para ahli waris,
menolak keras upaya penggusuran pemakaman umum di Ciletuh Hilir dengan alasan penduduk yang selama
puluhan tahun menggarap tanah eks HGU yang kini dikuasai MNC Land sehingga menuntut kompensasi
karena kehilangan mata pencaharian setelah masuknya MNC Group ke Ciletuh Hilir. Selain kehilangan
pekerjaan, warga juga mulai kesulitan akses jalan menuju rumahnya karena perkampungan berada di jatung
areal Pembangunan MNC Land.

Kehadiran mafia tanah dan preman juga ikut memperkuat posisi korporasi dalam menguasai tanah.
Adanya penguasaan tanah oleh korporasi di Kecamatan Cigombong dan Kec.Cicurug menimbulkan
perjuangan dan perlawanan masyarakat untuk menuntut hak kepemilikan tanahnya. Adanya pemagaran di
beberapa akses jalan warga, meskipun belum ditutup secara total dengan motif pagar tersebut didirikan
sebagai pembatas. Padahal, hingga kini warga belum memberikan izin berkaitan dengan pembatasan
tersebut. Pada jumlah 600 bidang tanah seluas sekitar lima hektare masih belum dibebaskan tetapi
pembangunan terus dilanjutkan hingga kini proyek pembangunan MNC Lido City sudah berjalan secara
bertahap. Masalah pembebasan tanah di RW 04/06/08 Kampung Ciletuh Hilir belum dibebaskan padahal
dalam proyeksi site plan pembangunan merupakan pusat dari proyek di Lido yang akan diubah
menjadi theme park. Konflik yang sudah berlangsung sekitar delapan tahun dan perlawanan yang dilakukan
oleh Masyarakat semakin diperkecil intensitasnya kini diperparah dengan makin sulitnya akses warga, yang
terkena banjir lintasan saat hujan deras, belum adanya sistem saluran air.

Motif perlawanan petani umumnya berakar pada beberapa bentuk keluhan atau ketidakadilan yang
dirasakan. Hilangnya akses atas tanah menjadi motivasi utama terjadinya perlawanan masyarakat di
wilayah tersebut. Secara tidak langsung, Perlawanan yang hard dengan berbagai macam bentuk perlawanan
dilakukan oleh masyarakat Ciletuh Hilir (Desa Watesjaya) terhadap pembangunan dari aksi protes,
menggugat, unjuk rasa, aksi jalan kaki hingga demonstrasi demi untuk memperjuangkan hak tanah.
Sedangkan pada sisi lainnya perlawanan secara soft yang dilakukan Masyarakat Ciwaluh (Desa Watesjaya)
dan Warga Bodogol (Desa Benda) mengakses hutan kemitraan (Perhutanan Sosial) dengan TNGGP sebagai
bentuk pertahanan terhadap wilayah yang akan digusur serta dengan membuat tata kelola wisata berbasis
kelompok tani hutan (KTH) meskipun secara kawasan kegiatan itu berdiri diatas lahan Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango (TNGPP).

C. Analisa Ekologi Politik

Dukungan kebijakan negara terhadap koorporasi menyudutkan pihak masyarakat menjadikkannya


semakin lemah dimana dukungan hukum atas hak kepemilikan tergeserkan oleh motif pembangunan
proyeksi nasional yang berupaya banyak mendatangkan investasi dan tujuan dari pemulihan ekonomi
nasional dengan membangun Kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dinilai mampu
mensejahterakan masyarakat tetepi kecenderungan terhadap kepentingan lembaga atau kementerian yang
didalamnya memegang jabatan publik. Kementerian Koordinator Perekonomian menerangkan proyeksi ini
dapat menarik investasi hingga 2,4 miliar dolar AS atau setara Rp33,5 triliun. Menteri Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menyebut Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata MNC Lido City
berpotensi membuka 21.154 lapangan pekerjaan dalam proses pengembangannya. Pengelola MNC Land
juga menegaskan upaya peningkatan ekonomi membangun strategi daya tarik wisata asing hingga 6-7 Juta
pengunjung/Tahun (Kompas.com).

Gambar.1 Alur Kepentingan Aktor dan Gerakan Perlawanan

• Pejabat Publik
• Investor
Korporasi • Pemilik Perusahaan dan
Media
• Biong dan Mafia Tanah

• Kebijakan Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK)
• PTSL
Pemerintah • Perhutanan Sosial- HKM
(Hutan Kemitraan)
• Kerjasama Balai Besar
TNGPP

• Masyarakat Desa
• Petani (Lahan Pertanian)
Masyarakat
• Masyarakat Pengguna Aliran
Sungai Cisadane

Kerja sama antara Kementerian Pertanian dan MNC Land sebagai pengelola Lido World Garden
diejawantahkan dalam (MoU) dengan proyeksi pemanfaatan hasil inovasi teknologi pertanian dan
dukungan pelaksanaan wisata yang terintegrasi serta akan memberikan dukungan pelaksanaan pengadaan
tanaman endemik untuk riset, serta kerja sama program pemberdayaan masyarakat di bidang pertanian.
Beragamnya serta rumitnya kepentingan publik yang harus diakomodasi maka konsekuensinya
kemudian mereka yang terlibat dalam gerakan sosial tersebut harus mampu menyusun suatu konsep,
rencana dan program yang bersifat sistematis serta terukur sehingga sasaran kegiatan yang menjadi
agenda program gerakan sosial itu dapat tercapai.

Berkaitan dengan Konflik Reforma Agraria terjadi karena Tata kelola pemerintah cenderung jauh dari
semangat sejati reformasi. Watak militeristik, seperti menggunakan kekerasan, tidak dibawa dalam
mewujudkan reforma agraria karena hanya berpotensi menambah konflik, kriminalisasi dan kekerasan.
Konflik agraria pertanahan yang di bawah yurisdiksi Kementerian ATR/BPN. Selama ini reforma agraria
hanya disempitkan menjadi program sertifikasi tanah. Selain itu cara-cara penanganan konflik agraria tidak
mengedepankan kekerasan terhadap rakyat. Persoalan agraria kini mendera warga masyarakat Kecamatan
Cigombong dan Kecamatan Cicurug yang bertahun-tahun berseteru dengan MNC Land dalam rangka
pembangunan Movieland. Adanya praktik kriminalisasi terhadap petani dan masyakat belum menyentuh
pada peningkatkan kesejahteraan masyarakat yang secara tidak langsung meningkatkan kualitas hidup
masyarakat yaitu rasa aman berada ditempat tinggalnya sendiri.

Ketika MNC Land menyerang masuk ke kawasan warga sampai merusak tanaman dan perkebunan
waga sedangkan perusahaan tidak berpikir manusiawi. Peran pememerintah daerah seakan melakukan
penindasan terstruktur terhadap masyarakat yang secara tidak langsung lebih mengupayakan kepentingan
global daripada masyarakat lokal yang telah membantu menghidupkan kawasan dan prose penjagaan
budaya yang telah dilakukannya secara turun temurun harus menerima kenyataan pahit dampak
pembangunan dan permainan politik kepentingan. Sehingga produk kebijakan membuat upaya
pembangunan menjadi tidak berkeadilan dan minim berkelanjutan karena korporasi dirawat pengusaha dan
penguasa lahan sehingga gugatan hukum Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki oleh masyarakat akan
dirasa tidak berhasil karena alur kepentingan yang selalu berjalan beriringan dengan strategi perusahaan
dan kepentingan politik semakin tidak terhindarkan.

D. Perubahan Lanskap-Ekologi sebagai Dampak Pembangunan

Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk menegaskan arah baru


pembangunan dan upaya negara-negara utara sebagai sponsor utama berbagai macam komitmen
kelembagaan juga mendapatkan kritik dan sebagai tandingannya peranan tersebut juga dimainkan
oleh negara-negara dunia ketiga yang dalam perkembangannya semakin terkonsolidasi. Kritik juga
datang dari berbagai kalangan yang mempertanyakan tentang siapa yang menentukan bahwa suatu
pembangunan bersifat berkelanjutan dan dengan kriteria apa? Berapa banyak yang harus kita
tinggalkan untuk generasi yang akan datang? (Whitten et al,1999).

Gambar.2 Siteplan Pembangunan Movieland

Pembangunan Movieland menjadi penting berkaitan hususnya terhadap daya dukung


lingkungan. Ini penting karena kawasan itu akan dibangun superblok, dimana di dalamnya terdapat
tempat wisata terbesar setara Disneyland. Daya dukung lingkungan menjadi satu hal yang harus
benar-benar dipertimbangkan, Daya dukung tersebut meliputi topografi, kemampuan lahan dan
sumber daya air di kawasan tersebut.
Berapa banyak air tanah yang akan disedot untuk kebutuhan kawasan yang akan menyebabkan
pada tingkat kemiringan lahan meningkat. Selain itu, Kabupaten Sukabumi dan sekitarnya
memiliki topologi wilayah berbukit-bukit dan menyimpan potensi bencana alam yang tidak
terduga. Proses akuisisi lahan seluas 3.000 Ha yang berencana akan dibangun sebuah kawasan
wisata terintegrasi lengkap dengan hunian serta proses pengerjaan Movieland berlangsung
berbarengan dengan proyek Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi) menyebabkan terjadinya
peningkatan terhadap penggunaan sumberdaya alam. Upaya menggerakkan ekonomi masyarakat
sekitar, menyerap tenaga kerja lokal, dan memberi akses untuk peningkatakan sumber daya
manusia masyarakat lokal belum dapat dilakukan dengan intensitas konflik yang terjadi diwilayah
tersebut. Tujuan strategis pembangunan Nasional menjadi tidak tercapai karena peningkatan
sumberdaya lokal tidak diintegrasikan dengan culture dan kebutuhan masyarakat lokal. Menjadi
hak bagi masyarakat untuk mengetahui dampak apa yang akan terjadi jika sebuah projek
pembangunan akan hadir di daerahnya. Menjadi hak bagi masyarakat atas transparansi informasi
pembangunan yang ada. Menjadi hak bagi masyarakat untuk menilai dan menentukan
kebersediaan mereka atas projek pembangunan yang akan dibangun di daerahnya. Dan, menjadi
hak mendasar masyarakat untuk membangun dan menjaga peradaban hidupnya secara sadar.
IV. DAFTAR PUSTAKA

Abbas, R. R. (2021). Land Grabbing di Telukjambe Barat, Karawang, Jawa Barat. Journal Sodality, 1-21.
Bogor, B. (2014). Kecamatan Cigombong Dalam Angka 2014. Bogor: Badan Pusat Statistik Kab.Bogor.
Kec.Cigombong. (2019, Januari 11). Profil Kecamatan. Retrieved from Kecamatan Cigombong:
https://text-id.123dok.com/document/dy49eljkz-kondisi-geografis-kecamatan-cigombong-
keadaan-sosial-dan-ekonomi-penduduk-kecamatan-cigombong.html
Kompas. (2003, 06 03). kompas.com. Retrieved from MNC Ambil Alih Rp 2 Triliun Utang Grup Bakrie:
https://money.kompas.com/read/2013/06/03/08143317/MNC.Ambil.Alih.Rp.2.Triliun.Utang.Gru
p.Bakrie
KPA. (2020). Catatan Akhir Tahun 2020 Konsorsium Pembaruan Agraria: Pandemi Covid-19 dan
Perampasan Tanah Berskala Besar. Edisi Peluncuran I: Laporan Konflik Agraria di Masa
Pandemi dan Krisis Ekonomi. . Jakarta: Konsorsium Pembaharuan Agraria.
Peluso, N. L. (2011). New Frontiers of Land Control: Introduction. United Kingdom: Journal of Peasant
Studies, 38(4), 667–681. .
Rachman, N. (2012). Land reform dari masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air Beta.
Republika. (2021, Maret 15). republika.co.id. Retrieved from Warga Terdampak Proyek MNC Lido City
Menolak Pindah: https://www.republika.co.id/berita/qpzke8484/warga-terdampak-proyek-mnc-
lido-city-menolak-pindah
RMI. (2019, Mei 30). Upaya Mendapatkan Akses Legal Lahan Garapan Di Wilayah Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango. Retrieved from RMI Bogor: https://rmibogor.id/2019/05/30/upaya-
mendapatkan-akses-legal-lahan-garapan-di-wilayah-taman-nasional-gunung-gede-pangrango/
SembilanBintang. (2022, Februari 26). sembilanbintang.co.id. Retrieved from SEMBILAN BINTANG
GELAR DIALOG HUKUM TERKAIT KONFLIK CILETUH HILIR DI PWI BOGOR:
https://www.sembilanbintang.co.id/sembilan-bintang-gelar-dialog-hukum-terkait-konflik-ciletuh-
hilir-di-pwi-bogor/
Thontowi, J. (2000). Penguasaan dan Pemilikan Tanah yang Diskriminatif. Lahan . Yogyakarta: Jurnal
Hukum Ius Quaia Lustum.
Tjonronegoro, S. (2008). Negara Agraris Ingkari Agraria (Pembangunan Desa dan Kemiskinan di
Indonesia). Bandung: Yayasan Akatiga.
White, B. B. (2012). The New Enclosures: Critical. Washington: Journal of Peasant Studies, 39(3–4), 619–
647.

Anda mungkin juga menyukai