A. LATAR BELAKANG
Konflik penguasaan tanah pada negara agraris masih menjadi isu yang tidak pernah usai. Pada umumnya,
konflik ini dicirikan oleh penindasan yang dilakukan oleh kelompok kuat yang menang terhadap kelompok
lemah yang kalah. Konflik penguasaan tanah merupakan suatu kenyataan sosial yang harus diungkap secara
objektif (Tjondronegoro, 2008). Gerakan sosial baru cenderung dipahami sebagai gerakan yang cenderung
kultural, tidak melibatkan aksi massa, lebih dekat dengan issu sehari-hari terkait dengan perlawanan yang
dilakukannya. (Larana ed. 1994; Johston dan Klandermans 1995; Pichardo 1997). Secara historis,
ketidakadilan dalam penguasaan tanah merupakan kenyataan sejarah yang berakar dari ekspansi teritorial
oleh para penjajah, termasuk dengan berdasarkan diskriminasi peraturan hukum mengenai penguasaan dan
pemilikan tanah (Thontowi, 2000).
Selain faktor kolonialisme, sistem kapitalisme juga telah menimbulkan banyak kepincangan penguasaan
sumber-sumber agraria dan juga ketimpangan dalam distribusi sumber-sumber kemakmuran yang
menyertainya, tentu saja hal tersebut terjadi untuk kepentingan para pemodal. Rachman, (2012)
menyebutkan bahwa cara yang diterapkan sistem produksi kapitalis adalah dengan semakin memperlebar
wilayah kerja kuasanya dan membatasi ruang gerak rakyat sehingga tidak lagi dapat mengakses tanah dan
sumber daya alam lainnya. Dalam rangka memperluas ruang produksinya, para pengusaha/korporasi
cenderung untuk selalu melibatkan kekuatan pemerintah. Aspek negatif dari penguasaan tanah lebih
ditekankan pada sebuah bentuk maupun praktik yang memapankan serta melakukan aksi konsolidasi bentuk
akses, pengklaiman dan pengucilan (eksklusi), bahkan selanjutnya menarik masuk kaum yang terekslusi
dari basis produksinya tersebut ke dalam sistem ekonomi kapitalistik (Peluso & Lund, 2011).
Akuisisi lahan secara besar-besaran merupakan sebuah fenomena global yang berlangsung secara luas
dengan melibatkan aktor lintas negara dan benua. Namun demikian, pendekatan pembangunan pertanian
dengan pola ini kurang sejalan dengan reforma agraria, karena menghasilkan ketimpangan, konflik, serta
peminggiran masyarakat dan petani sebagai pengelola sumberdaya. Sampai saat ini, fenomena akuisisi
lahan yang memiliki dampak serius tersebut tidak dibicarakan secara terbuka oleh kalangan akademisi, dan
seringkali ditutupi sebagai sebuah dinamika investasi antar negara belaka. Fenomena akuisisi lahan harus
dijadikan sebagai agenda terbuka dan dicarikan solusinya dengan mengintegrasikan dengan perencanaan
reforma agraria. Defenisi land grabbing (perampasan tanah) seperti yang diungkap oleh Borras Jr et al
(2012) adalah usaha untuk memberi kontrol dalam skala luas atas tanah, bahkan sumber daya alam lainnya
dengan berbagai cara termasuk dengan modal besar yang selalu mengalihkan orientasi pemanfaatan
sumberdaya untuk tujuan domestik atau internasional, dalam merespon konvergensi pangan, energi dan
krisis keuangan, migitasi iklim dan permintaan sumber daya dari kapital yang baru.
Permasalahan pertama adalah berkaitan dengan bagaimana proses Land Grabbing terjadi kepada
masyarakat sekitar. Peran penguasa lahan dan tanah dan premanisme menjadi pengaruh besar yang
mendorong masyarakat untuk menjual tanahnya. Beragam strategi yang dilakukan guna mempermudah
proses pembebasan lahan untuk Pembangunan dimulai dari tidak adanya keterbukaan informasi publik dan
minimnya keterlibatan masyarakat dalam mengambil kebijakan dan mendiskusikan kebijakan yang akan
dilaksanakan. Sejarah panjang mengalamai perubahan pada motif dan tingkat keinginan menjual tanah.
Tingkat kebutuhan setiap keluarga mengalahkan nilai penjagaan regenerasi pengetahuan local dan system
hidup yang minim adaptasi terhadap perubahan sosial yang terjadi. Sehingga memberikan dampak
mendalam kepada masyarakat sekitar bahkan secara jangka panjang jika kita tidak dapat memetakan
kondisi proses yang terjadi, bentuk perlawanan menjadi penting sasarannya. Bagaimana Tipologi Gerakan
Sosial perlawanan masyarakat pada Pembangunan Movieland?
Permasalahan kedua ditinjau dari sisi kekuatan aktor terhadap akses yang merata dan manifestasi
aturan-aturan sangat berpengaruh pada keberlangsungan pembangunan dan beban kerja setiap warga
masyarakat. Kebijakan pembangunan diduduki aktor secara ekologi politik yang menyebabkan akses
terhadap sumber daya sekitar di privatisasi. Menurut Fennell, Dowling (2003) kerangka kelembagaan dan
proses pengambilan keputusan. Kebijakan dibuat pada berbagai tingkatan, dari mikro, hingga medium
(regional, negara bagian atau provinsi) dan makro (Nasional atau global). Produk kebijakan sebagai bagian
dari politik memberi gambaran kepentingan aktor didalamnya serta peran-peran yang mendorong
kepentingannya berjalan dengan baik. Kondisi diperparah oleh aktor dengan mendorong kebijakan multi-
fungsi yang diizinkan dan direstui oleh pemerintah hingga pada titik-titik ternetu kecenderungan kebijakan
berpihak pada korporasi. Siapa saja aktor yang terlibat dalam gerakan sosial pada Pembangunan
Movieland?
Permasalahan ketiga berkaitan dengan pelemahan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat
dalam menolak pembangunan Movieland. Pembangunan tersebut dinilai dapat menimbulkan krisis ekologi
yang akan berdampak pada hajat hidup banyak orang, mulai dari penggunaan sumberdaya alam secara
besar-besaran (air dan tanah) untuk kepentingan pembangunan dan penghidupan element sekitarnya serta
upaya mendorong kesejahteraan masyarakat pada sektor ekonomi tidak sebanding dengan daya saing dan
kapasitas masyarakat menuju transformasi pembangunan secara masiff sehingga pelemahan perlawanan
menjadi aspek yang merugikan bagi masyarakat. Apa saja factor pelemahan gerakan sosial Land
Grabbing pada masyarakat terdampak?
Dari masalah-masalah dalam tiga sudut pandang tersebut tersebut peneliti ingin berfokus pada masalah-
masalah yang muncul dan mendalam dengan mengobservasi pada aspek : (1) Tipologi Gerakan Sosial; (2)
Aktor dan Kepentingan Kebijakan; dan (3) Faktor Pelemahan Masyarakat pada Gerakan Sosial.
II. LOKASI PENELITIAN
A. Peta Wilayah
D. Sosial Ekonomi
Kecamatan Cigombong terdiri dari 9 desa, 80 RW, 287 RT, dan 21.562 KK. Jumlah penduduk pada
akhir desember 2010 adalah 82.042 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 41.848 jiwa dan perempuan
sebanyak 40.194 jiwa. Angkatan kerja penduduk terdiri dari 50.519 jiwa termasuk dalam usia
produktif dan 16.580 jiwa termasuk dalam usia tidak produktif. Sebagian besar penduduk memiliki
tingkat pendidikan tamat SDsederajat yaitu 24.250 jiwa, sebanyak 13.375 jiwa merupakan lulusan
SMPsederajat, sebanyak 9.698 jiwa merupakan lulusan SMAsederajat, sebanyak 1.045 jiwa
merupakan lulusan D1, sebanyak 1.457 jiwa merupakan lulusan D2, sebanyak 289 jiwa merupakan
lulusan D3, sebanyak 8 50 jiwa merupakan lulusan D4, sebanyak 107 jiwa merupakan lulusan S1,
dan sebanyak 18 jiwa merupakan lulusan S2. Mayoritas penduduk bekerja di bidang pertanian yaitu
sebanyak 10.680 jiwa yang terdiri dari 4.800 jiwa pemilik tanah, 2.130 petanipenggarap, dan 3.750
buruh tani. Penduduk lainnya kebanyakan bekerja sebagai buruh industri, buruh bangunan,
pedagang, PNS, pengemudi, dan pengrajin.
Dalam perkembangan sosial ekonomi terkini, Peraduan yang harmonis antara kekuatan kapital dan
politik yang massif membuat Megaprojek Movieland Lido berjalan dengan akselerasi dan konflik
yang mempengaruhi tingkat modal sosial masyarakat. Peran Pemerintah mengangap jika dengan
dikembangkannya Lido menjadi skala internasional akan meningkatkan perekonomian daerah
Cigombong dan sekitarnya. Yang kemudian akan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Pertumbuhan ekonomi secara makro memang dinilai menumbuhkan perecepatan
perkembangan, tetapi pertumbuhan ekonomi secara makro itu akan merata ke semua elemen
masyarakat, menyerap banyak tenaga kerja, dan peran pengelolaan sumberdaya dengan posisi-
posisi strategis yang terjadi tidak menjamin kolaboratif pembangunan itu terhubung. Pembangunan
Tol Bocimi (Bogor-Ciawi-Sukabumi) menandakan Cigombong dan sekitarnya tengah berada
dalam pusaran projek pembangunan yang sangat massif. Secara ekonomi diprediksi akan terjadi
pool of growth tetapi tidak sebanding dengan harapan dan value masyarakat Cigombong dan
sekitarnya terwadahi dalam konsepsi pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Penguasaan aset tanah atau lahan tersebut seringkali terjadi melalui proses jual beli, sewa, penyitaan
dan pengambilan secara tindakan kekerasan tanpa konfirmasi (land grabbing). Fenomena mengenai land
grabbing seperti kasus 2 desa di Keamatan Cigombong dan Kecamatan Cicurug menjadi salah satu daerah
yang mengalami dampak dari industrialisasi serta membuka peluang bagi korporasi besar untuk
berinvestasi. Kecamatan Cicurug menjadi lahan basah incaran para korporat untuk melancarkan ekspansi
kapitalnya dengan berusaha menguasai lahan dengan berbagai cara.
B. Dinamika Pelemahan Perlawanan Masyarakat terhadap Penolakan Pembangunan
Upaya mengakumulasi kapital dengan cara privatisasi lahan yang terjadi Kecamatan cigombong
menggunakan praktik penjualan lahan dan premanisme serta klaim atas penguasaan lahan melalui legalisasi
sertifikat lahan. Adanya tanah dengan luas ratusan ribu hektar, yang digarap warga, belum ada ganti rugi
serta klaim dari pihak MNC soal kepemilikan tanah makam, yang sampai sekarang belum pernah
menunjukan bukti seingga membuat warga bentrok dengan aparat setempat. Warga dan para ahli waris,
menolak keras upaya penggusuran pemakaman umum di Ciletuh Hilir dengan alasan penduduk yang selama
puluhan tahun menggarap tanah eks HGU yang kini dikuasai MNC Land sehingga menuntut kompensasi
karena kehilangan mata pencaharian setelah masuknya MNC Group ke Ciletuh Hilir. Selain kehilangan
pekerjaan, warga juga mulai kesulitan akses jalan menuju rumahnya karena perkampungan berada di jatung
areal Pembangunan MNC Land.
Kehadiran mafia tanah dan preman juga ikut memperkuat posisi korporasi dalam menguasai tanah.
Adanya penguasaan tanah oleh korporasi di Kecamatan Cigombong dan Kec.Cicurug menimbulkan
perjuangan dan perlawanan masyarakat untuk menuntut hak kepemilikan tanahnya. Adanya pemagaran di
beberapa akses jalan warga, meskipun belum ditutup secara total dengan motif pagar tersebut didirikan
sebagai pembatas. Padahal, hingga kini warga belum memberikan izin berkaitan dengan pembatasan
tersebut. Pada jumlah 600 bidang tanah seluas sekitar lima hektare masih belum dibebaskan tetapi
pembangunan terus dilanjutkan hingga kini proyek pembangunan MNC Lido City sudah berjalan secara
bertahap. Masalah pembebasan tanah di RW 04/06/08 Kampung Ciletuh Hilir belum dibebaskan padahal
dalam proyeksi site plan pembangunan merupakan pusat dari proyek di Lido yang akan diubah
menjadi theme park. Konflik yang sudah berlangsung sekitar delapan tahun dan perlawanan yang dilakukan
oleh Masyarakat semakin diperkecil intensitasnya kini diperparah dengan makin sulitnya akses warga, yang
terkena banjir lintasan saat hujan deras, belum adanya sistem saluran air.
Motif perlawanan petani umumnya berakar pada beberapa bentuk keluhan atau ketidakadilan yang
dirasakan. Hilangnya akses atas tanah menjadi motivasi utama terjadinya perlawanan masyarakat di
wilayah tersebut. Secara tidak langsung, Perlawanan yang hard dengan berbagai macam bentuk perlawanan
dilakukan oleh masyarakat Ciletuh Hilir (Desa Watesjaya) terhadap pembangunan dari aksi protes,
menggugat, unjuk rasa, aksi jalan kaki hingga demonstrasi demi untuk memperjuangkan hak tanah.
Sedangkan pada sisi lainnya perlawanan secara soft yang dilakukan Masyarakat Ciwaluh (Desa Watesjaya)
dan Warga Bodogol (Desa Benda) mengakses hutan kemitraan (Perhutanan Sosial) dengan TNGGP sebagai
bentuk pertahanan terhadap wilayah yang akan digusur serta dengan membuat tata kelola wisata berbasis
kelompok tani hutan (KTH) meskipun secara kawasan kegiatan itu berdiri diatas lahan Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango (TNGPP).
• Pejabat Publik
• Investor
Korporasi • Pemilik Perusahaan dan
Media
• Biong dan Mafia Tanah
• Kebijakan Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK)
• PTSL
Pemerintah • Perhutanan Sosial- HKM
(Hutan Kemitraan)
• Kerjasama Balai Besar
TNGPP
• Masyarakat Desa
• Petani (Lahan Pertanian)
Masyarakat
• Masyarakat Pengguna Aliran
Sungai Cisadane
Kerja sama antara Kementerian Pertanian dan MNC Land sebagai pengelola Lido World Garden
diejawantahkan dalam (MoU) dengan proyeksi pemanfaatan hasil inovasi teknologi pertanian dan
dukungan pelaksanaan wisata yang terintegrasi serta akan memberikan dukungan pelaksanaan pengadaan
tanaman endemik untuk riset, serta kerja sama program pemberdayaan masyarakat di bidang pertanian.
Beragamnya serta rumitnya kepentingan publik yang harus diakomodasi maka konsekuensinya
kemudian mereka yang terlibat dalam gerakan sosial tersebut harus mampu menyusun suatu konsep,
rencana dan program yang bersifat sistematis serta terukur sehingga sasaran kegiatan yang menjadi
agenda program gerakan sosial itu dapat tercapai.
Berkaitan dengan Konflik Reforma Agraria terjadi karena Tata kelola pemerintah cenderung jauh dari
semangat sejati reformasi. Watak militeristik, seperti menggunakan kekerasan, tidak dibawa dalam
mewujudkan reforma agraria karena hanya berpotensi menambah konflik, kriminalisasi dan kekerasan.
Konflik agraria pertanahan yang di bawah yurisdiksi Kementerian ATR/BPN. Selama ini reforma agraria
hanya disempitkan menjadi program sertifikasi tanah. Selain itu cara-cara penanganan konflik agraria tidak
mengedepankan kekerasan terhadap rakyat. Persoalan agraria kini mendera warga masyarakat Kecamatan
Cigombong dan Kecamatan Cicurug yang bertahun-tahun berseteru dengan MNC Land dalam rangka
pembangunan Movieland. Adanya praktik kriminalisasi terhadap petani dan masyakat belum menyentuh
pada peningkatkan kesejahteraan masyarakat yang secara tidak langsung meningkatkan kualitas hidup
masyarakat yaitu rasa aman berada ditempat tinggalnya sendiri.
Ketika MNC Land menyerang masuk ke kawasan warga sampai merusak tanaman dan perkebunan
waga sedangkan perusahaan tidak berpikir manusiawi. Peran pememerintah daerah seakan melakukan
penindasan terstruktur terhadap masyarakat yang secara tidak langsung lebih mengupayakan kepentingan
global daripada masyarakat lokal yang telah membantu menghidupkan kawasan dan prose penjagaan
budaya yang telah dilakukannya secara turun temurun harus menerima kenyataan pahit dampak
pembangunan dan permainan politik kepentingan. Sehingga produk kebijakan membuat upaya
pembangunan menjadi tidak berkeadilan dan minim berkelanjutan karena korporasi dirawat pengusaha dan
penguasa lahan sehingga gugatan hukum Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki oleh masyarakat akan
dirasa tidak berhasil karena alur kepentingan yang selalu berjalan beriringan dengan strategi perusahaan
dan kepentingan politik semakin tidak terhindarkan.
Abbas, R. R. (2021). Land Grabbing di Telukjambe Barat, Karawang, Jawa Barat. Journal Sodality, 1-21.
Bogor, B. (2014). Kecamatan Cigombong Dalam Angka 2014. Bogor: Badan Pusat Statistik Kab.Bogor.
Kec.Cigombong. (2019, Januari 11). Profil Kecamatan. Retrieved from Kecamatan Cigombong:
https://text-id.123dok.com/document/dy49eljkz-kondisi-geografis-kecamatan-cigombong-
keadaan-sosial-dan-ekonomi-penduduk-kecamatan-cigombong.html
Kompas. (2003, 06 03). kompas.com. Retrieved from MNC Ambil Alih Rp 2 Triliun Utang Grup Bakrie:
https://money.kompas.com/read/2013/06/03/08143317/MNC.Ambil.Alih.Rp.2.Triliun.Utang.Gru
p.Bakrie
KPA. (2020). Catatan Akhir Tahun 2020 Konsorsium Pembaruan Agraria: Pandemi Covid-19 dan
Perampasan Tanah Berskala Besar. Edisi Peluncuran I: Laporan Konflik Agraria di Masa
Pandemi dan Krisis Ekonomi. . Jakarta: Konsorsium Pembaharuan Agraria.
Peluso, N. L. (2011). New Frontiers of Land Control: Introduction. United Kingdom: Journal of Peasant
Studies, 38(4), 667–681. .
Rachman, N. (2012). Land reform dari masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air Beta.
Republika. (2021, Maret 15). republika.co.id. Retrieved from Warga Terdampak Proyek MNC Lido City
Menolak Pindah: https://www.republika.co.id/berita/qpzke8484/warga-terdampak-proyek-mnc-
lido-city-menolak-pindah
RMI. (2019, Mei 30). Upaya Mendapatkan Akses Legal Lahan Garapan Di Wilayah Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango. Retrieved from RMI Bogor: https://rmibogor.id/2019/05/30/upaya-
mendapatkan-akses-legal-lahan-garapan-di-wilayah-taman-nasional-gunung-gede-pangrango/
SembilanBintang. (2022, Februari 26). sembilanbintang.co.id. Retrieved from SEMBILAN BINTANG
GELAR DIALOG HUKUM TERKAIT KONFLIK CILETUH HILIR DI PWI BOGOR:
https://www.sembilanbintang.co.id/sembilan-bintang-gelar-dialog-hukum-terkait-konflik-ciletuh-
hilir-di-pwi-bogor/
Thontowi, J. (2000). Penguasaan dan Pemilikan Tanah yang Diskriminatif. Lahan . Yogyakarta: Jurnal
Hukum Ius Quaia Lustum.
Tjonronegoro, S. (2008). Negara Agraris Ingkari Agraria (Pembangunan Desa dan Kemiskinan di
Indonesia). Bandung: Yayasan Akatiga.
White, B. B. (2012). The New Enclosures: Critical. Washington: Journal of Peasant Studies, 39(3–4), 619–
647.