Anda di halaman 1dari 4

ANALISIS HUKUM SENGKETA TANAH ANTARA

PT. PULAU SUMBAWA AGRO DENGAN MASYARAKAT


ADAT TALONANG DI SUMBAWA BARAT

Disusun oleh :

Nama : Moch Dinel Setisa’ok

NPM : 2018270012

Dosen pengampu :

Tika Christy Novianty, ST., M.Eng.

Mata Kuliah Pendaftaran Tanah

PROGRAM STUDI SURVEI DAN PEMETAAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI
PALEMBANG
2019
Masalah Tanah mempunyai arti dan peranan yang sangat penting bagi kehidupan
manusia, karena semua orang memerlukan tanah semasa hidupnya sampai meninggal
dunia dan mengingat susunan kehidupan dan pola perekonomian sebagian besar yang
masih bercorak agraris. Sebagai negara yang bersistem agraris, tanah merupakan lahan
penghidupan yang sangat layak dan kompleks bagi tiap-tiap orang untuk mencapai
kemakmuran di berbagai bidang, yang mana tanah itu sendiri juga merupakan modal dasar
dalam pembangunan suatu bangsa dan manfaatnya harus dapat diusahakan dengan
sebaik-baiknya. Tanah bagi kehidupan manusia, mengandung makna yang
multidemensional. Pertama, dari sisi ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang
dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara politis, tanah dapat menetukan posisi
seseoarang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai kapital budaya,
dapat menetukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna
sakral, karena pada akhir hayat setiap orang akan kembali kepada. Seperti konflik yang
terjadi di Desa Talonang Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa Barat. Ketika
Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 17 Oktober 1992, mengeluarkan Surat
Keputusan Nomor 404 tentang Pencadangan Tanah untuk Keperluan Lokasi Proyek
Transimigrasi, meliputi lahan seluas lebih kurang 4.050 hektar untuk wilayah Kecamatan
Sekongkang dan Kecamatan Jereweh. Dan seluas lebih kurang 3.000 hektar tanah di Desa
Tatebal Kecamatan Ropang Kabupaten Sumbawa Barat. Dalam lampiran SK tersebut,
terdapat peta yang memuat lokasi proyek pencadangan transmigrasi, dan Desa Talonang
menjadi bagian dari lokasi tanah seluas lebih kurang 4.050 Tersebut.
Konflik Blok Batu telah ada sejak Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mendorong
masuknya Investasi ke daerah tersebut dengan bekerjasama dengan PT. Pulau Sumbawa
Agro, dan terbitnya Surat Keputusan Bupati Sumbawa Barat Nomor 557 Tahun 2014
Tentang Izin Lokasi untuk Perkebunan Tanaman Sisal (Avage SP) PT. Pulau Sumbawa di
Desa Talonang Baru Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa Barat. Dan sebelumnya
telah terbit Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
KEP.263/MEN/XI/2010 Tentang Izin Pelaksanaan Transmigrasi kepada PT. Pulau Sumbawa
Agro untuk berperan dalam pelaksanaan Transmigrasi melalui pembangunan Tanaman
Sisal (Agave SP) dengan pola kemitraan di lokasi Tongo Kecamatan Sekongkang
Kabupaten Sumbawa Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 356 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.263/MEN/VI/2010 tentang
Izin Pelaksanaan Transmigrasi kepada PT. Pulau Sumbawa Agro dalam Pembangunan
Tanaman Sisal (Agave SP) Pola Kemitraan di lokasi Tongo Kecamatan Sekongkang
Kabupaten Sumbawa Barat Propinsi Nusa Tenggara Barat. Dalam putusan tersebut izin PT.
Pulau Sumbawa Agro ikut berperan serta dalam pelaksanaan Transmigrasi dengan
melaksanakan pemberdayaan kurang lebih 1.475 KK (Kepala Keluarga), Meliputi
Transmigrasi di lokasi Pemukiman Transmigrasi yang Ada (PTA), Pemukiman-pemukiman
Transmigrasi yang Telah Diserahkan (PTD), dan Pemukiman Transmigrasi Baru (PTB),
serta masyarakat di sekitar kebun inti melalui penenaman kebun plasma seluas kurang lebih
4.050 Ha, dan sejak saat itu Konflik tanah Blok Batu Nampar Terjadi.
Dalam konflik tersebut, terdapat dua pendapat yang berbeda terhadap status tanah Blok
Batu Nampar tersebut. Pertama, Pihak Pemerintah Daerah dalam hal ini Plh. Sekretaris
Daerah Dr. Ir. H. Amry Rakhman, M.Si., bersama Kepala Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Sumbawa Barat H. Abdul. Hamid S.Pd., M.Pd., yang menyatakan
bahwa Blok Batu Nampar adalah Tanah Negara yang telah dikelola oleh Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi dalam bentuk Hak Pengelolaan berdasar Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 88/HPL/BPN/2002 tentang pemberian Hak Pengelolaan atas
nama Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi atas tanah di Kabupaten Sumbawa
Propinsi Nusa Tenggara Barat. Keputusan tersebut berdasarkan pencadangan tanah dari
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat sesuai Surat Keputusan tanggal 17
oktober 1992 Nomor 404 Tahun 1992 seluas kurang lebih 4.050 Hektar di Dusun Tongo
Desa Sekongkang Kecamatan Jereweh Kabupaten Sumbawa yang saat ini adalah Desa
Ai’Kangkung, Tatar loka dan Talonang baru Kecamatan Sekongkang kabupaten Sumbawa
Barat.
Dalam pelaksanaan proyek Transmigrasi dan Penanaman Sisal oleh PT. Pulau Sumbawa
Agro, lahan plasma berada di daerah Ai’kangkung, Tatar Loka dan Taloang baru sedangkan
lahan Inti di Talonang Lama dalam hal ini adalah Blok Batu Nampar yang menjadi objek
sengketa dalam penelitian ini. Penanaman Sisal telah dilakukan sejak tahun 2015 dengan
penanaman di daerah lahan plasma dan lahan inti.
Pendapat Kedua, yaitu dari pihak masyarakat Talonang dalam hal ini Ketua Adat Talonang
Jamaluddin Amin yang mengatakan bahwa tanah Blok Batu Nampar tersebut adalah tanah
hak ulayat yang dimiliki masyarakat adat Talonang sejak dahulu kala dengan bukti bekas
kuburan lama, bekas rumah, bekas masjid dan pohon kelapa yang ada di area tersebut.

Kesimpulan
1. Status tanah yang menjadi objek sengketa antara PT. Pulau Sumbawa Agro dengan
Masyarakat Adat Talonang yaitu Blok Batu Nampar di Desa Talonang Baru Kecamatan
Sekongkang Kabupaten Sumbawa Barat merupakan tanah negara yang saat ini di kelola
oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam bentuk Hak Pengelolaan berdasar Surat
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No 88/HPL/BPN/2002 sebagai lahan
pencadangan transmigrasi dan kemudian bekerjasama dengan PT. Pulau Sumbawa Agro
dengan pola kemitraan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Sumbawa Barat Nomor 557
Tahun 2014 Tentang Izin Lokasi Untuk Perkebunan Tanaman Sisal (avage SP) di Desa
Talonang Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa Barat.

2. Kebijakan Pemerintah terhadap konflik tersebut adalah dengan menciptakan kondisi


yang kondusif, tidak melakukan kegiatan apapun dilokasi konflik selama proses
penyelesaiaan masalah ini berlansung. Mengadakan pertemuan bersama masyarakat adat
Talonang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sumbawa Barat, Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten Sumbawa Barat, Kepala Dinas Transmigrasi dan Kepala
Dinas Kehutanan untuk membahas status tanah yang menjadi objek permasalahan, dan
dengan peningkatan infrastruktur di daerah konflik yaitu perbaikan sarana dan prasaran
baik jalan maupun Jembatan agar menjamin kenyamanan masyarakat di daerah sehingga
konflik tidak terjadi. Selain itu, diadakan Inkuiri Nasional oleh Komnas HAM untuk
membahas dan menyelesaikan permasalahan masyarakat adat termasuk konflik adat
Talonang yang kemudian menghasilkan beberapa rekomendasi, salah satunya yaitu
Pemerintah Sumbawa Barat agar membuat program prioritas bagi masyarakat adat
Talonang, seperti pemenuhan lahan penghidupan dan pengembangan diri.

Saran
1. Perlu adanya transparansi oleh Pemerintah Daerah terhadap mengelolahan lahan dan
terhadap penerbitan izin perkebunan di daerah sekitar tanah yang sebelumnya di kelola oleh
masyarakat setempat agar masyarakat mengetahui status tanah tersebut, dan perlu adanya
penelitian kembali secara mendalam terhadap eksistensi masyarakat adat di Talonang

2. Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Barat agar memberi kebijakan-kebijakan dalam


menyelesaikan masalah tersebut karena konflik yang terjadi bukan hanya dengan pihak
swasta dalam hal ini Perusahaan Sisal, tetapi juga terhadap Pemerintah kabupaten dimana
adanya perbedaan pendapat terhadap status tanah.

Anda mungkin juga menyukai