Anda di halaman 1dari 3

KONFLIK TPL (TOBA PULP LESTARI)

Toba Pulp Lestari adalah perusahaan penggilingan kertas asal Indonesia berdiri di


Provinsi Sumatra Utara, Indonesia, pada tahun 1989 dan dimiliki oleh pengusaha asal
Indonesia, Sukanto Tanoto. Pada awal mula berdirinya perusahaan ini bernama Inti
Indorayon Utama dan memiliki kode saham INRU. Perusahaan ini berdiri pada tanggal 26
April 1983 dan memulai kegiatan usaha komersialnya pada tanggal 1 April 1989.
Perseroan ini didirikan dengan nama awal PT Inti Indorayon Utama. Pendirian pabrik
tersebut tidak berjalan mulus, karena bermasalah dengan masyarakat setempat, yang
menyebutkan adanya pencemaran tanah, deforestasi besar-besaran, dan perampasan
tanah secara tidak adil di daerah tersebut. Sejak awal, pabrik pulp pertama di Indonesia
penuh dengan sejarah konflik. Tuntutan masyarakat berisi sengketa tanah, penurunan
kualitas udara dan air di sekitar Sungai Asahan, yang juga dikatakan bertanggung jawab
atas penyakit kulit tertentu, menurunkan produksi perusahaan, dan masalah pencemaran
air,[7]pertanggungjawaban atas beberapa bencana tanah longsor di daerah tersebut, dan
pelepasan gas klorin beracun selama ledakan boiler yang terjadi pada tahun 1993.
[8]
 Namun, pada masa pemerintahan Suharto, Indorayon menikmati kebebasan
kegiatannya karena hubungan yang erat antara pemiliknya dengan Suharto. Demonstrasi
dan tindakan hukum kepada instansi pemerintah yang telah dimulai sejak 1986 gagal
menghentikan aktivitas pabrik yang pada gilirannya dijawab dengan penahanan,
penangkapan, pemukulan, penggerebekan dan tindakan kekerasan oleh aparat
keamanan setempat.[8]
Menyusul jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, tekanan publik mulai tumbuh, tetapi selalu
dijawab dengan kekerasan dan teror oleh petugas polisi yang disewa oleh perusahaan.
Bentrokan antara penduduk setempat, staf dan anggota pasukan keamanan tidak dapat
dihindarkan dan mengakibatkan enam kematian dan ratusan luka-luka pada tahun 1999.
[9]
 Akibatnya, Presiden Habibie menghentikan sementara pabrik pada 19 Maret 1999 dan
menunjuk audit independen untuk menilai kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh
pabrik, yang auditnya tidak pernah dilakukan. Keputusan tersebut kemudian didukung
oleh Menteri Lingkungan Hidup Indonesia saat itu Sony Keraf dari pemerintahan
Presiden Gusdur bahwa produksi pulp kertas dan serat rayon Indorayon harus ditutup
atau direlokasi.[10]
Beberapa pendukung Indorayon, termasuk Menteri Perdagangan Jusuf Kalla saat itu,
membantah tuduhan kasus pencemaran pabrik dan meminta perusahaan tetap dapat
melanjutkan operasinya. Masalah tersebut juga meningkat menjadi masalah internasional
karena Indorayon 86% dimiliki oleh orang asing.[11] Sebuah arbitrase internasional
di Washington kemudian dibuka dan Presiden Gusdur menyatakan
bahwa Indonesia harus mematuhi keputusan arbitrase tersebut. Khawatir akan ganti rugi
US$600 juta atau menghadapi gugatan internasional, menteri kabinet Indonesia memberi
'lampu hijau' bagi pabrik untuk kembali beroperasi pada Mei 2000 dengan persyaratan
penghentian produksi rayon. Keputusan tersebut kemudian ditanggapi oleh oposisi lain
dari masyarakat setempat dan beberapa kelompok lingkungan hidup seperti WALHI.
[7]
 Seorang mahasiswa ditembak mati oleh polisi selama demonstrasi pada 21 Juni 2000,
puluhan tewas dan ratusan lainnya terluka parah selama 27 bulan konflik.[12]
Kisah panjang antara Indorayon Tanoto dengan masyarakat lokal berakhir dengan status
ditutup pada masa pemerintahan Presiden Gusdur.[12] Pemangku kepentingan berhenti
melakukan pembayaran operasional bulanan sebesar US$1 juta sejak 1 September 2000.
Perusahaan telah mencoba mengubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari untuk
memastikan masyarakat setempat tidak lagi memproduksi rayon, tetapi masih gagal untuk
melanjutkan operasinya karena perlawanan masyarakat lokal.[8] Perusahaan
memberhentikan 7.000 tenaga kerjanya dalam beberapa minggu dan menyetujui utang
US$400 juta ditukarkan menjadi saham.

Namun, konflik TPL masih berlanjut higga saat ini. Konflik yang terjadi juga sama atau polanya
berulang ulang.
-kerusakan hutan alam,
-merusak tangkapan air
-mengganggu sumber kehidupan masyarakat adat, seperti hutan kemenyan, daerah
pertanian dan persawahan (kesuburan tanah berkurang)
-sengketa tanah masyarakat
-limbah yang menggangu ekosistem Danau Toba.

TPL sejatinya perusahaan ini tidak takut pemerintah. Ada banyak kebijakan
pemerintah dilanggar perusahaan hingga tak heran terjadi pelanggaran HAM, maupun
pencemaran lingkungan. Contoh di Parlilitan, tanaman masyarakat adat terbabat
habis, konflik pun terjadi.

Dia bilang, dugaan pelanggaran bukan hanya kriminalisasi, atau pelanggaran HAM,
dan perampasan wilayah adat, juga berpotensi rugikan negara. Mereka, katanya, tidak
melaporkan satu produk mereka ke negara yang menyebabkan perusahaan tak
membayar pajak cukup besar.

Dia bilang, strategi TPL mengkriminalisasi masyarakat adat dengan cara mengadu
domba dengan kelompok masyarakat yang lain.

Ketika masyarakat adat memiliki data, perusahaan tidak melakukan komunikasi untuk
penyelesaian. Bahkan, memancing emosi masyarakat adat di lapangan agar terjadi
bentrok dengan pekerja perusahaan.

Bentuk Konflik Menurut Lewis A. Coser, Konflik ini termasuk konflik realistis. Konflik
realistis berasal dari kekecewaan individu atau kelompok terhadap sistem atau tuntutan
dalam hubungan sosial.

Konflik antarkelompok yang terorganisir dan kelompok yang tidak terorganisir.


Pihak terorganisir memiliki kekuasaan yang lebih dalam menentukan kebijakan.
Sedangkan pihak tidak terorganisir tidak memiliki kekuasaan. Konflik ini biasanya terjadi
saat melakukan aksi unjuk rasa, yakni polisi dengan massa demonstrasi.

PEMETAAN KONFLIK

Latar Belakang

Seperti yang kita tau,

Anda mungkin juga menyukai