Anda di halaman 1dari 14

SENGKETA HGU PT.

IFISHDECO DENGAN MASYARAKAT DI KECAMATAN TINANGGEA KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA Oleh : Kariyono1

A. Pendahuluan Problematika pertanahan terus meningkat dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Berbagai daerah di nusantara tentunya memiliki karakteristik permasalahan pertanahan yang berbeda terkait dengan kondisi sosial dan geografi, keadaan ini semakin nyata sebagai konsekuensi dari dasar perbedaan pemahaman pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemanfaatan sumber daya alam, baik yang berada permukaan bumi maupun dalam tubuh bumi sering kali tidak sesuai dengan peruntukannya atau tidak sesuai dengan perencanaan tata ruang. Hal ini disebabkan oleh inkonsistensi peraturan perundang-undangan. Realitas yang terjadi, pembentukan berbagai undang-undang yang bersifat sektoral tersebut tidak berpedoman pada Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), seperti undang-undang kehutanan, perkebunan, lingkungan hidup, penataan ruang dan pertambangan. Bahkan dalam perkembangannya kedudukan UUPA didegradasi menjadi undang-undang yang bersifat sektoral yang hanya mengatur masalah pertanahan.2 Apabila dicermati UUPA tampak beberapa hal yang dapat dipandang sebagai fungsi sosial hak milik atas tanah, yakni penggunaan tanah harus sesuai dengan keadaan tanahnya, sifat dan tujuan pemberian haknya sehingga menurut UUPA tanah yang ditelantarkan adalah bertentangan dengan fungsi sosial, penggunaan tanah harus sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan oleh pemerintah, jika kepentingan umum menghendaki didesaknya kepentingan individu sehingga mengalami kerugian maka kepadanya harus diberikan penggantian kerugian, tanah bukan barang komoditi perdagangan sehingga tidak dibenarkan menjadikan tanah sebagai objek spekulasi. 3
Mahasiswa Semester VII Kelas Perpetaan NIM.10192526 , Utusan Kantor Pertanahan Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara 2 Maria S.W. Sumardjono, Penyempurnaan UUPA dan Sinkronisasi Kebijakan, Kompas, tanggal 24 September 2003, hlm 5.
3 1

Ibid, hlm.3.

Berdasarkan hal tersebut maka fungsi sosial hak atas tanah diharapkan mampu memberikan wewenang penuh kepada masyarakat untuk mengelolah, memanfaatkan serta mengatur hubungan hukum dengan sumber-sumber agraria. Wewenang penguasaan untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum sering kali menimbulkan benturan antar sektoral, padahal pemerintah telah mengeluarkan Inpres No 1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas

Bidang Keagrariaan dengan Bidang Pertambangan, Kehutanan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum. Ketika otoritas pertambangan menetapkan wilayah pertambangan dan wilayah kerja, penetapan tersebut tidak mempersoalkan/mempedulikan hak dan atau penguasaan/pemilikan dan penggunaan lain yang telah ada dikawasan tersebut.4 Belum terdapatnya kesamaan persepsi mengenai dapat tidaknya penetapan wilayah pertambangan, penetapan izin usaha pertambangan, menyebabkan munculnya berbagai kasus seperti tumpang tindihnya wilayah pertambangan dengan kawasan lain, seperti wilayah pertambangan dengan kehutanan dan perkebunan. Seperti yang terjadi di Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, di mana terjadi sengketa antara masyarakat setempat dengan pihak perusahaan perkebunan PT. Ifishdeco yang peruntukannya untuk perkebunan Jambu Mete, dan Coklat. Untuk diketahui bahwa HGU kepada PT. Ifishdeco berdasarkan Surat Keputusan Kepala BPN

No.35/HGU/BPN/1992,tanggal 25 Maret Tahun 1992 dengan No sertipikat HGU No. 01/1992, di atas tanah negara seluas 4.680,29 Ha. 5 Tanpa disadari masyarakat, pihak PT. Ifishdeco ternyata melakukan eksplorasi tambang di bawah HGU Nomor 2/Ngapaaha yang ternyata mengandung bahan mineral tambang yaitu Nikel, bahkan pada tahun 2008 Bupati Konawe Selatan menerbitkan SK Bupati Konawe Selatan No.2249 tanggal 18 Desember 2008 tentang pemberian Izin Kuasa Pertambangan Eksplorasi kepada PT. Ifishdeco di areal HGU Nomor 2/Ngapaaha. Hal ini dipertegas dengan diterbitkannya SK Bupati Konawe Selatan No.1321 tanggal 8 September 2010 tentang Persetujuan Peningkatan Kuasa Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan

op.cit, Julius Sembiring, Tanah Negara, Yogyakarta. hlm.48. Kantor Wilayah BPN Provinsi Sulawesi Tenggara, Ekspose Tanah terindikasi terlantar dalam rangka kunjungan kerja Bapak Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kendari, Juli 2010.
5

Operasi Produksi kepada PT. Ifishdeco di areal HGU Nomor 2/Ngapaaha seluas 800 ha.6 Secara tidak langsung pemberian Izin Usaha Pertambangan kepada PT. Ifishdeco di bawah HGU No.2/Ngapaaha a.n PT. Ifishdeco merupakan akibat dari inkonsistensi peraturan perundang-undangan lintas sektoral sehingga melahirkan rasa ketidakadilan dan ketidakpastian hukum di masyarakat yang menimbulkan komplikasi-komplikasi terutama masalah lingkungan. Dalam pelaksanaan penyelesian sengketa antara PT. Ifishdeco dengan masyarkat ini dapat ditempuh dengan jalur litigasi maupun jalur non litigasi. Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah kronologis sengketa antara PT PT. Ifishdeco dengan masyarakat, Dampak lingkungan yang terjadi akibat adanya IUP yang diberikan diatas tanah HGU PT Infidescho dan langkah penyelesaian yang dilakukan dalam rangka penyelesaian sengketa tersebut.

B. Kronologis Sengketa PT Infidescho dengan Masyarakat Di Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara Kronologis sengketa sangat penting guna mengetahui dan memberikan gambaran tentang urutan terjadinya peristiwa. Tabel 1 : Kronologis Sengketa di areal HGU No.2/Ngapaaha a.n PT. Ifishdeco. No 1
1

Tahun 2
1992

Kronologis 3
- Berdasarkan Surat Penunjukan Lokasi dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kendari No.593.61/1989 dan SK. Izin Pencadangan Tanah dari Gubernur

Keterangan 4
- SK. Kepala BPN No.7/ HGU/BPN/ 1992 Tanggal Maret peruntukan untuk jambu tanaman mete, 25 1992,

Sulawesi Tenggara No.850/1989 dan Risalah Pemeriksaan Tanah Panitia B No.5/Rs/BPN/ HGU tanggal 9 Juni Tahun 1990, maka diterbitkan Sertipikat Hak Guna Usaha No.1/ Ngapaaha Seluas 4.680,29 Ha atas nama PT. Ifishdeco.

Jarak, Coklat.

Dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada Pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya.

No 1
2

Tahun 2
1993 4.680,29

Kronologis 3
- Hak Guna Usaha No.1/ Ngapaaha Seluas Ha dilakukan pemecahan

Keterangan 4
- Terjadi kesepakatan antara manajemen PT.

menjadi HGU No.2/Ngapaaha seluas 2.580,29 Ha dan HGU No.3/ Roraya seluas 2.100 Ha atas nama PT.

Ifishdeco dengan PT. Agromete

Ifishdeco. Tanggal 18 Nopember 1994 diterbitkan Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 27 VIII 1994 tentang pemberian ijin perolehan HGU Nomor 3/Roraya dari PT. Ifishdeco kepada PT. Agromete Pranatani.

Pranatani, hingga saat ini akte

peralihannya belum didaftarkan. - Pengelolan perkebunana oleh PT.

1997

- Pada Tahun 1997 dalam negeri terjadi krisis moneter yang berlanjut pada krisis ekonomi berdampak perusahaan secara nasional yang juga

negatif PT.

pada

kondisi sehingga

Ifishdeco di areal HGU No.2/Ngapaaha tidak begitu

Ifishdeco,

manajemen PT. Ifishdeco mengurangi kegiatan operasional diperkebunan (slow down).

optimal, banyak tanaman mati. yang

2000

- PT. Ifishdeco mengadakan kerjasama dengan masyarakat setempat melalui pola kemitraan bagi hasil yakni melibatkan 150 orang (dalam wadah Koperasi Mitra Alam Makmur) yang mendapat/ masing-masing orang 3 Ha. Namun

- Koperasi

Mitra

Alam merupakan kelompok masyarakat setempat (lokal) dalam budidaya tanaman Mete. - Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Mineral. Jambu usaha tani

mengolah

Koperasi Mitra Alam tidak memenuhi kewajiban sehingga PT. Ifishdeco

memutuskan hubungan kerja.

2008

- Bupati Konawe Selatan menerbitkan Surat Keputusan Bupati Konawe Selatan No.2249 tanggal 18 Desember Tahun 2008 tentang Pemberian Izin Kuasa Pertambangan Eksplorasi di areal HGU No.2/Ngapaaha a.n PT. Ifishdeco.

No 1
6

Tahun 2
2010

Kronologis 3
- Bupati Konawe Selatan menerbitkan Surat Keputusan Bupati Konawe Selatan 1321 Tanggal 8 September Tahun 2010 tentang Pemberian Izin Kuasa

Keterangan 4
- Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Mineral.

Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Produksi di areal HGU No.2/Ngapaaha a.n PT. Ifishdeco.

2010

- Kanwil

BPN

Provinsi

Sulawesi

- Kondisi lapangan, HGU No.2/Ngapaaha

di areal

Tenggara melalui Panitia Identifikasi dan Penerbitan Tanah Terlantar (Panitia C ) No.53.A/Kep.500/2010 tanggal 6 Mei 2010 yang mengindikasikan bahwa HGU No.2/Ngapaaha a.n PT. Ifishdeco terlantar.

a.n PT. Ifishdeco sebagian dikuasai masyarakat. oleh

2011

- Masyarakat Desa Asingi, Roraya dan Lalongggasu menolak segala bentuk usaha perpanjangan HGU

- PT. tidak

Ifishdeco mengakui atas

hak-hak

No.2/Ngapaaha.

Masyarakat menuduh

tanah masyarakat lokal. Masyarakat mengklaim Sejak tahun

bahwa PT. Iifshdeco selaku pemegang HGU No.2/Ngapaaha HGU-nya ganti rugi dalam tidak lahan proses pernah milik

penerbitan melakukan masyarakat.

1994-2010 HGU PT. Ifishdeco

ditelantarkan.

2011

- Di areal

HGU

No.2/Ngapaaha

PT.

- Terjadi sengketa antara PT

Ifishdeco telah terbit sebanyak 2(dua) Izin Usaha Pertambangan, yaitu

Ifishdeco dengan PT. Baula Petra Buana .

PT.Ifishdeco dan PT. Baula Petra Buana.

10

2011

- Berita Acara Identifikasi dan Penelitian Panitia C Nomor 394/B.A.500/74/V/2011 mengusulkan Wilayah kepada Kepala Kantor Nasional

- Masyarakat menolak secara

tegas keputusan terhadap Ifisdeco PT. keluar

Badan

Pertanahan

Provinsi Sulawesi Tenggara bahwa tanah

No 1

Tahun 2

Kronologis 3
HGU No. 2/Ngapaaha seluas 2.580,29 Ha A.n. PT. Ifishdeco dapat dikeluarkan dari database tanah terindikasi terlantar BPN RI.

Keterangan 4
dari database tanah terlantar.

Sumber : Kanwil BPN Prov Sulawesi Tenggara 2011

Tabel di atas menggambarkan kronologis sengketa, di mana diawali dengan adanya klaim dari masyarakat yang menyatakan bahwa sebagian tanah yang masuk dalam areal HGU No.2/Ngapaaha a.n PT.Ifishdeco adalah merupakan tanah warisan. Dalam kurun waktu tahun 1993 s/d 1996 tanaman Jambu Mete tumbuh dengan baik dan pada akhir tahun 1996 panen perdana selanjutnya disusul panen kedua tahun 1997. Pola kemitraan perusahaan dan masyarakat ini hanya berlangsung selama 4 tahun (1997 s/d 2001) karena koperasi sebagai pihak pengelola tidak melaksanakan kewajibannya sehingga pada tahun 2001 pihak perusahaan tidak lagi melakukan kerjasama di atas tanah HGU tersebut. Pada tahun 2001 s/d 2004 aktivitas perkebunan tetap berjalan sebagaimana biasa, namun intensitas kegiatan di lapangan dikurangi. Tanpa disadari oleh masyarakat pihak perusahaan PT. Ifishsdeco melakukan eksploitasi di areal HGU No.2/Ngapaaha a.n PT. Ifishdeco berdasarkan Surat Keputusan Bupati Konawe Selatan No.2249 tanggal 18 Desember 2008 tentang Pemberian Izin Kuasa Pertambangan Eksplorasi kepada PT. Ifishdeco di areal HGU No.2/Ngapaaha. Hal ini dipertegas dengan diterbitkannya Surat Keputusan Bupati Konawe Selatan No.1321 tanggal 8 September 2010 tentang Persetujuan Peningkatan Kuasa Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT. Ifishdeco di areal HGU No.2/Ngapaaha seluas 800 Ha. (SK. Bupati Konawe Selatan No.1321 tanggal 8 September 2010 dan Peta Izin Usaha Pertambangan PT. Ifishdeco) Penyebab sengketa antara PT. Ifishdeco dengan PT. Baula Petra Buana adalah tumpang-tindihnya Izin Usaha Pertambangan yang diterbitkan oleh Bupati Konawe Selatan. PT. Baula Petra Buana memperoleh Izin Kuasa Pertambangan dari Bupati Konawe Selatan tanggal 25 Februari 2008 Nomor 44 Tahun 2008 kemudian di tingkatkan menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Nomor 1931 tanggal 14 Desember 2009 seluas 997,3 Ha. Namun IUP Produksi PT. Baula Petra
6

Buana direvisi oleh Bupati Konawe Selatan melalui SK.No.1320 tanggal 30 Agustus 2010 yang menyatakan bahwa luas areal IUP PT. Baula Petra Buana berkurang menjadi 397,3 Ha.

C. Permasalahan Lingkungan Akibat adanya IUP dalam HGU PT Ifishdeco Menurut Sahala Bistok Silalahi, karut-marut masalah pertanahan terjadi karena masing-masing departemen (kini disebut kementerian) membuat undang-undang sektoral atau departemental yang mengebiri Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Semestinya, undang-undang sektoral itu menginduk ke UUPA sebagai peraturan dasar pokok-pokok agraria.7 . Berdasarkan SK. Gubernur Tumpang tindih kewenangan lintas sektoral juga terjadi antara HGU PT. Ifishdeco dengan IUP PT. Baula Petra Buana di Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Untuk diketahui di areal HGU No.2/Ngapaaha a.n PT. Ifishdeco telah terbit IUP atas nama PT. Ifishdeco berdasarkan SK. Bupati Konawe Selatan No.1321 tanggal 8 September Tahun 2010 seluas 800 Ha dan IUP PT. Baula Petra Buana berdasarkan SK. Bupati Konawe Selatan No.1931 tanggal 14 Desember Tahun 2009 seluas 997,3 Ha. Akibatnya terjadi sengketa antara kedua pemegang IUP pertambangan tersebut.8 Dampak terhadap lingkungan akibat adanya tumpang tindih antar sector adalah sebagai berikut: Tabel 2 : Dampak Lingkungan akibat Tumpang Tindih HGU dan Izin Usaha Pertambangan No Komplikasi
1 Lingkungan

Akibat
- menyebabkan terjadinya

Keterangan
- Kegiatan pertambangan merupakan penyumbang terbesar penyebab kerusakan

pencemaran lingkungan di sekitar areal pertambangan, air, tanah, baik dan

pencemaran

pencemaran udara; - menyebakan terjadinya kerusakan


7

Sahala Bistok Silalahi, Karut Marut Masalah Pertanahan Karena Banyak Undang-undang Sektoral, Dalam Kompasiana,Diakses dari, Www.Kompas.Com. Tanggal 29 November 2013. Sahala Bistok Silalahi merupakan Mantan tenaga ahli Badan Pertanahan Nasional (BPN), mantan Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta. 8 Kanwil BPN Provinsi Sulawesi Tenggara, Laporan Identifikasi PT. Ifishdeco tahun 2011.

No Komplikasi
jalan

Akibat
desa sekitar akibat di areal lalui

Keterangan
lingkungan; - Huruf (e) pemegang IUP dan IUPK wajib mematuhi batas toleransi daya lingkungan.

pertambangan

kendaraan-kendaraan setiap saat.

tambang

Sumber : Majalah Tambang Online Tahun 2012.

Tumpang tindih kewenangan lintas sektoral tersebut juga mengakibatkan degradasi lingkungan di sekitar areal pertambangan, seperti proses land clearing pada saat operasi pertambangan dilaksanakan menghasilkan dampak

lingkungan yang sangat signifikan yaitu hilangnya vegetasi alami. Dampak hilangnya vegetasi, perubahan topografi yang tidak teratur atau membentuk lereng yang curam akan memperbesar laju aliran permukaan dan meningkatkan erosi. 9 Kondisi bentang alam/topografi yang membutuhkan waktu lama untuk terbentuk, dalam sekejap dapat berubah akibat aktivitas pertambangan dan akan sulit dikembalikan dalam keadaan yang semula, kondisi tersebut juga menyebabkan perubahan pola hidrologi sekitar tambang terbuka yang

mengalami perubahan akibatnya hilangnya vegetasi yang merupakan salah satu kunci dalam siklus hidrologi. Berkurangnya sumber keseimbangan alam akibat aktivitas pertambangan menghasilkan polutan yang sangat besar sejak awal eksploitasi sampai proses produksi hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan faktor kelestarian lingkungan.10 Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal. Salah satunya adalah kegiatan pertambangan wajib memiliki amdal dengan luas di atas 200 Ha. Hal

9 10

Ibid .hlm 1. Ibid .hlm 2.

ini didasari bahwa luas wilayah kegiatan operasi produksi berkorelasi dengan luas penyebaran dampak. Kegiatan pertambangan PT. Ifishdeco yang dirangkaikan dengan adanya kegiatan penggalian, pengolahan, pemanfaatan, dan penjualan bahan galian telah memberikan dampak negatif terhadap kondisi lingkungan. Dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan PT. Ifishdeco menyebabkan kerusakan lingkungan yang berupa perubahan sifat fisik dan sifat kimia tanah. Selain itu kegiatan pertambangan telah mengubah struktur tanah akibat penggalian top soil untuk mendapatkan Nikel yang dibutuhkan. Polusi akibat pertambangan juga terjadi di daerah Selat Kolono Kecamatan Tinanggea dan Selat Tiworo akibat aktivitas pengapalan ore nikel yang akan diekspor menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang dan hutan mangrove. Gangguan ekosistem akibat penambangan Nikel ini dikategorikan dalam gangguan yang mempunyai intensitas berat. Hal ini dikarenakan sturuktur terumbu karang rusak berat/hancur yang menyebabkan produktivitas tangkapan perikanan menurun.11

Gambar 1. Aktivitas pertambangan PT. Ifishdeco yang mencemari wilayah pesisir pantai Gambar di atas menunjukkan aktivitas pertambangan PT. Ifishdeco telah mencemari wilayah pesisir pantai serta mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan bakau. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, dampak lain yang timbul akibat penambangan nikel adalah lahan yang terdegradasi akibat bahan berbahaya beracun (B3). Degradasi lahan pada bekas tambang meliputi perubahan sifat fisik
11

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Konawe Selatan.

dan kimia tanah, penurunan drastis jumlah spesies baik flora, fauna serta mikroorganisme tanah, dengan kata lain, lahan yang terdegradasi memiliki tingkat kesuburan yang rendah dan stuktur tanah yang kurang baik untuk pertumbuhan tanaman. Berdasarkan data minapolitan tahun 2011, terumbu karang diperairan Konawe Selatan telah mengalami kerusakan hingga 45 persen, kondisi itu semakin parah pasca pengukuran langsung awal tahun 2013, tutupan terumbu karang yang ada tinggal tersisa 30 persen. Dampak nyata dari kegiatan pertambangan telah menyebabkan terjadinya pencemaran baik udara, air, dan tanah. Hal ini sangat mengganggu, karena telah mempengaruhi aktivitas masyarakat sekitar. Adanya pengaturan bahwa pemegang ijin usaha pertambangan (IUP) dan ijin usaha pertambangan khusus (IUPK), dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan (Pasal 91). Hal ini jelas merugikan masyarakat, sebab dibebaskannya perusahaan tambang dalam menggunakan sarana publik akan merugikan masyarakat maupun pemerintah daerah sendiri. Di Kelurahan Ngapaaha Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan, sejumlah lahan tambak dan persawahan milik warga tak dapat lagi diolah akibat tertutup lumpur tanah dari aktivitas penambangan Nikel. Warga di sekitar kawasan pesisir laut kini dalam ancaman penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat debu tanah nikel yang beterbangan di perkampungan warga ketika mobil truk pengangkut tanah nikel tersebut lalu-lalang keluar masuk kawasan tambang.

D. Langkah Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup 1. Non Litigasi


Berbagai tradisi, struktur dan proses yang terdapat dalam setiap budaya bisa sangat membantu dalam menyelesaikan konflik dan mengembangkan perdamaian (Fisher, 2001). Di beberapa tempat ada metode yang sudah diterapkan selama berabadabad untuk menangani sengketa antar pribadi dan antar kelompok. Fenomena tersebut terdapat dalam budaya Suku Tolaki yang disebut Kalosara sebagai instrumen untuk menyelesaikan konflik (Tarimana, 1993). Dengan demikian, maka mengatasi konflik diperlukan sutau strategi atau suatu seni, karena menanganinya tidak mudah, sehingga dituntut suatu seni tersendiri, suatu budaya tersendiri sehingga suatu konflik dapat diatasi. Dalam kebudayaan feodal segala konflik diatasi dengan memakai kekuasaan
10

yang dimiliki oleh segelintir orang yang menentukan segalanya dan keistimewaan mereka tidak boleh diganggu-gugat, misaknya peran pabitara dalam Masyarakat Tolaki, yang memanfaatkan Kalosara. Dalam suatu dunia yang penuh perubahan termasuk mengatasi konflik, menuntut suatu keterbukaan dari semua pihak yang berkepentingan untuk mencari jalan keluar dengan memanfaatkan instrumen budaya dan menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Bagi masyarakat Sultra khususnya Suku Tolaki yang wilayahnya paling banyak terbit IUP, memiliki bentuk instrumen adat yang dapat dijadikan sebagai solusi konflik yang disebut kalosara. Prospek pemanfataan instrumen kalosara dalam kehidupan social sebagai instrumen utama tata kehidupan masyarakat sampai di era sekarang ini masih eksis dipertahankan oleh segenap lapisan masyarakat, terutama dalam kehidupan sosial budaya. Dengan demikian seiring dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan melahirkan berbagai permasalahan termasuk konflik bernuansa sara di wilayah pertambangan, maka kehadiran kalosara sebagai instrumen solusi perludipertahankan dan dikembangkan. Selain dengan instrument tersebut langkah yang dapat ditempuh adalah dengan menggunakan jalur mediasi,negosiasi arbritase dll.

2. Litigasi Keberadan gugatan perwakilan kelompok, baik class action maupun legal standing, mulai mendapat perhatian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan sudah memasukkan aturan mengenai gugatan perwakilan kelompok, yakni di dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolalan Lingkungan Hidup, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU. No. 41 Tahun 1999 yang mengatur tentang Kehutanan, PERMA No. 2 Tahun 1999 tentang Pengawasan Mahkamah Agung Terhadap Partai Politik, serta PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang tata cara gugatan perwakilan kelompok. Class action dikenal juga dengan istilah gugatan perwakilan kelompok. Pada prinsipnya gugatan class actions merupakan suatu cara untuk memudahkan pencari keadilan untuk mendapatkan pemulihan hak hukum yang dilanggar melalui jalur keperdataan. Bahwa sangatlah tidak praktis apabila kasus yang menimbulkan kerugian terhadap banyak orang, memiliki fakta-fakta atau dasar hukum, serta tergugat yang sama, diajukan secara sendiri-sendiri sehingga menimbulkan ketidak
11

efisiennan bagi para pihak yang mengalami kerugian, maupun pihak tergugat bahkan kepada pihak pengadilan sendiri.Tujuan gugatan class actions, agar supaya proses berpekara lebih ekonomis dan biaya lebih efisien (judicial economy) Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara luas yaitu akses orang perorangan atau kelompok/ organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat.Legal standing, Standing tu Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding) disederhanakan sebagai hak gugat. Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip tiada gugatan tanpa kepentingan hukum (poit dinterest point daction). Pelibatan unsur pemerintahan ini mulai dari DPRD sampai dengan tingkat kelurahan karena masalah penambangan merupakan masalah yang cukup kompleks sehingga perlu melibatkan seluruh unsur lapisan masyarakat dalam

penyelesaiannya. Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dijadikan pilihan oleh para pihak yang bersengketa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

E. Penutup 1. Kesimpulan 1. Penyebab terjadinya sengketa HGU PT. Ifishdeco dengan masyarakat di Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan adalah sebagai berikut: a. klaim terhadap sebagian tanah HGU PT. Ifishdeco yang dilakukan oleh masyarakat. b. penggunaan tanah yang tidak efektif dan tidak maksimal dilakukan oleh PT. Ifishdeco dalam mengelola areal HGU; c. kecemburuan sosial masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang/ karyawan perusahaan; d. keterbatasan akses terhadap pemilikan tanah sehingga mendorong masyarakat untuk memanfaatkan tanah HGU PT. Ifishdeco. 2. Dampak lingkungan yang timbul akibat pemberian Izin Usaha Pertambangan di bawah HGU No.2/Ngapaaha a.n PT. Ifishdeco adalah mengakibatkan terjadinya
12

kerusakan lingkungan ekosistem yaitu sebagai ekosistem yang tidak dapat lagi mampu menjalankan fungsinya secara optimal, seperti perlindungan tanah, tata air, pengatur cuaca dan fungsi-fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan serta terjadinya degradasi lingkungan hutan mangrove dan terumbu karang; 3. Penyelesian sengketa secara non litigasi dapat dilakukan dengan memnfaatkan
kalosara sebagai media solusi, dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan ini dapat berjalan dengan mudah dan biaya yang murah. Peran pabitara selaku tokoh masyarakat Tolaki pemegang otoritas kalosara, perlu dikembangkan untuk menjadi mediasi dalam penyelesaian berbagai masalah yang dihadapai masyarakat dengan memanfaatkan kalosara sebagai instrumen utama.Secara litigasi penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat dilakukan dengan class action dan legal standing sesuai dengan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2.

Saran 1. Untuk tindakan preventif, agar tidak terjadi sengketa antar masyarakat terhadap tanah-tanah perkebunan, maka dalam penerbitan sertipikat HGU oleh pemerintah khususnya BPN harus dilakukan secara cermat dan berhati-hati serta mampu mengawasi penggunaan dan pemanfaatan tanah-tanah HGU yang diberikan sehingga tidak diterlantarkan. 2. Pemerintah diharapkan lebih selektif dan teliti dalam menerbitkan Hak Guna Usaha serta lebih meningkatkan koordinasi lintas sektoral, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 3. Pemerintah diharapkan mampu membentuk suatu lembaga pemerintah yang mampu dan memiliki otoritas penuh lintas sektoral yang memadai dalam menangani sengketa agraria yang telah, sedang dan akan terjadi.

13

F. Daftar Pustaka Kantor Wilayah BPN Provinsi Sulawesi Tenggara, Ekspose Tanah terindikasi terlantar dalam rangka kunjungan kerja Bapak Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kendari, Juli 2010 Maria S.W. Sumardjono, Penyempurnaan UUPA dan Sinkronisasi Kebijakan, Kompas, tanggal 24 September 2003, hlm 5. Sembiring, Julius. Tanah Negara, Yogyakarta: STPN Press; 2012. Sahala Bistok Silalahi, Karut Marut Masalah Pertanahan Karena Banyak Undangundang Sektoral, Dalam Kompasiana,Diakses dari, Www.Kompas.Com. Tanggal 29 November 2013 Kanwil BPN Provinsi Sulawesi Tenggara, Laporan Identifikasi PT. Ifishdeco tahun 2011 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup; Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

14

Anda mungkin juga menyukai