Anda di halaman 1dari 73

KAJIAN REGULASI DAN

KEBIJAKAN PENGELOLAAN
PERTAMBANGAN RAKYAT

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL


DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA
DIREKTORAT PEMBINAAN PROGRAM MINERBA
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, hanya karena dengan rahmat dan
hidayah-Nya kajian regulasi dan kebijakan pengelolaan pertambangan rakyat sebagai dasar
penyusunan pedoman pelaksanaan kegiatan pertambangan rakyat di Indonesia dapat
diselesaikan sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Dokumen ini disusun dengan melibatkan pemangku kepentingan terkait yang terdiri dari internal
maupun eksternal Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (dalam bentuk SK Tim Perumus
dan Penyusun) agar dapat memberikan gambaran umum tentang pertambangan rakyat di
Indonesia. Disamping itu, dalam penyusunan dokumen ini juga melibatkan pemangku
kepentingan diluar tim perumus dan penyusun yaitu, melakukan koordinasi dengan Asosiasi
Penambang Rakyat Indonesia (APRI) dalam rangka melakukan kunjungan lapangan ke lokasi
tambang rakyat di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat secara
bersama-sama, kemudian berkoordinasi dan berdiskusi dengan United Nations Development
Programme (UNDP) terkait proyek Gold ISMIA (KLHK, BPPT dan UNDP), serta melakukan studi
literatur.
Dari kegiatan diatas yang merupakan mekanisme proses penyusunan kajian terhadap regulasi
dan kebijakan pengelolaan pertambangan rakyat yang ada pada saat ini, diharapkan hasil kajian
ini dapat digunakan sebagai dasar penyusunan pedoman pelaksanaan kegiatan pengelolaan
pertambangan rakyat di Indonesia, yang diharapkan dapat mengurangi penambangan illegal di
Indonesia.
Atas bantuan dan kerja sama seluruh pihak yang berkontribusi dalam penyusunan kajian ini
kami mengucapkan terima kasih serta permohonan maaf jika ada kesalahan penulisan maupun
perkataan. Semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi kemajuan pengelolaan pertambangan
Indonesia, khususnya pertambangan rakyat. Kajian ini tentunya tidak lepas dari kekurangan
dalam penyusunannya, oleh karena itu saran dan masukan kami harapkan dari semua pihak
terkait melalui email: penyiapan.program.minerba@esdm.go.id.

Jakarta, Desember 2020

Ketua Tim

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat| i


TIM PENYUSUN DAN PERUMUS

Pengarah : Dr. Ir. Ridwan Djamaluddin, M.Sc. - Direktur Jenderal Mineral dan Batubara

Pembina : Drs. Heri Nurzaman, M.M. - Sekretaris Direktorat Jenderal Minerba


Penanggung Jawab : Dr. Ir. Muhammad Wafid A. N, M.Sc. - Direktur Pembinaan Program Minerba
Ketua : Dr. Herry Permana, S.T., M.Sc. - Kepala Subdirektorat Penyiapan Program Minerba
Wakil Ketua : Hilarius Petrus BL De Rosari, S.Sos., M.T - Kepala Seksi Penyiapan Program Batubara
Sekretaris : Propana Okionomus Ali, S.T., M.Eng. - Kepala Seksi Penyiapan Program Mineral
Anggota Internal : 1. Andri Wijayanto, S.T. selaku Penanggungjawab 1
DJMB
2. Imam Fadli, S.T. selaku Penanggungjawab 2
3. Shofa Amalia, S.H.
4. Marsen Alimano S.T., M.T.

5. Deni Firmansyah, S.T., M.E


6. David Kurniawan, S.T.
7. Ilham Gani, S.T.

8. Daddy Amin, S.T, M.T.


Anggota Eksternal : 1. Tubagus Nugraha, ST, M.Si (Kemenko Marves)
DJMB
2. Kombes Pol. Adhi Satya Perkasa, S.Ik, M.H (Kemenko Polhukam)
3. AKBP. M. Huda (Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS, Bareskrim)
4. Ir. Haswi P. Soewoto (BPPT)

5. Dr. -Ing. Ir. Aryo P. Wibowo, M.Eng. (ITB)


6. Dr. mont. Imelda Hutabarat, S.T., M.T. (PPSDM Geominerba KESDM)
7. Harry Ahmad Fakri, S.Si (Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun
Berbahaya, KLHK)
8. Dr. Ir. Tri Margono, MIS; Eki Karsani Apriliyadi, S.Sos., M.Si.; Dr. Rachmini Saparita
(Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen IPTEK dan Inovasi, LIPI)
9. Mas Agung Wiweko, S.T., M.T.; Nyimas Nining (PPSDM Geominerba KESDM)
10. Umar Dani, S.T., M.T.; Drs. Bambang Yunianto (Puslitbang Tekmira ESDM)
11. Ronald H Simanungkalit, S.T (Kemenko Marves)
12. Ir. Sahruddin Sahminan (Poltek Geologi dan Pertambangan “AGP”)
13. Oktarian Wisnu Lusantono, S.T., M.Eng (UPN Veteran Yogyakarta)
14. Dr. Atep Abdu Rofiq (Majalah Tambang)
15. Rani Febrianti, S.H., L.LM. dan Tim MIND ID dan BUMN Pertambangan

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | ii


RINGKASAN EKSEKUTIF

Saat ini pelaksanaan pengelolaan pertambangan rakyat belum memiliki pedoman dan
kebijakan yang tepat untuk memberikan kontribusi yang besar bagi negara dan
perekonomian domestik. Hal ini penting untuk mendukung peningkatan Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) dari subsektor Minerba dan membangun kedaulatan Energi
dan Sumber Daya Mineral melalui kemandirian ekonomi pada sektor strategis ekonomi
domestik, yaitu peningkatan peran pertambangan rakyat. Kajian ini dilakukan untuk
memetakan dan mereviu pelaksanaan regulasi dan kebijakan pengelolaan pertambangan
rakyat untuk membuat rekomendasi dalam menyusun pedoman pelaksanaan kegiatan
pertambangan rakyat nasional.
Definisi dan kriteria pertambangan rakyat di dalam Undang-undang No. 3 tahun 2020
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara (UU No.3/2020) telah ada, namun demikian perlu diperjelas dalam
peraturan turunannya. Dalam Undang-undang tersebut, dijelaskan bahwa Izin
Pertambangan Rakyat (IPR) adalah Izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam
wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas. Namun
demikian, kriteria mengenai besaran investasi untuk pertambangan rakyat sendiri belum
disebutkan secara spesifik sebagai dasar pelaksanaannya sehingga perlu kajian lebih
lanjut dalam penentuan kriteria-kriteria tersebut.
Dalam UU No.3/2020, Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) merupakan bagian dari
Wilayah Pertambangan (WP). WP merupakan bagian dari Wilayah Hukum Pertambangan.
Dari 34 Provinsi di Indonesia, baru terdapat 25 Provinsi (sekitar 73.6%) yang sudah
menetapkan WPR dan beberapa daerah masih mengusulkan untuk dilakukan penetapan
WPR, misalnya dari Provinsi Jawa Barat dan Papua. Sesuai data yang diperoleh, WPR di
Indonesia mempunyai total luas 580.712 hektar dengan total blok sebanyak 3.329 blok.
Data IPR di seluruh Indonesia yang tercatat pada Direktorat Jenderal Mineral dan
Batubara per November 2020 sebanyak 16 IPR. Jumlah ini sangatlah minim dibandingkan
dengan Jumlah blok WPR dan total luas Wilayah WPR di Indonesia.
Beberapa permasalahan dalam pengelolaan pertambangan rakyat antara lain:
kewenangan penetapan WP setiap 5 tahun sekali, tumpang tindih wilayah dengan sektor
lain, wilayah yang ditetapkan tidak mengandung sumberdaya dan cadangan serta
keterbatasan dari Pemerintah Daerah untuk menyiapkan dokumen pendukung dalam
rangka penerbitan IPR. Dalam hal pembinaan dan pengawasan pertambangan rakyat,
Pemerintah dapat melakukan pembinaan dan pengawasan sesuai dengan amanat UU
No.3/2020 pasal 73 bahwasanya Menteri melakukan pembinaan di bidang pengusahaan,
teknologi pertambangan, serta permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan
kemampuan IPR serta bertanggung jawab terhadap pelaksanaan keselamatan
pertambangan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pemerintah selama ini banyak
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap aktivitas pertambangan yang memiliki
Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan aktivitas pertambangan ilegal di dalam IUP aktif, hal
ini tentunya diperlukan suatu terobosan bagaimana menata dan melakukan formalisasi
dan legalisasi kegiatan pertambangan rakyat yang sebelumnya ilegal menjadi legal

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | iii


sehingga dapat memberikan pemasukan bagi negara, menumbuhkan ekonomi lokal dan
tidak merusak lingkungan.
Kajian ini memberikan gambaran konsep pengelolaan pertambangan rakyat yang baik
dengan mencakup 4 (empat) aspek utama yaitu: a. Wilayah dan Perizinan, b.
Kelembagaan Penambang rakyat, c. Pendampingan, Pelatihan dan Pembinaan, dan d.
Pengawasan dan Pencegahan.
Konsep pengelolaan pertambangan rakyat ini perlu dibuat ke dalam suatu rencana
strategis sebagai dasar pelaksanaan konsep tersebut. Salah satu langkah strategis terkait
pertambangan rakyat adalah pembentukan regulasi mengenai pengawasan terintegrasi
dalam rangka pencegahan dan penegakan hukum pertambangan ilegal serta Percepatan
Formalisasi atau Legalisasi bagi penambang rakyat yang melakukan kegiatan sesuai
dengan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU
No.4/2009) pasal 24 yaitu Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah
dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai
WPR dengan mekanisme penilaian kriteria tertentu.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | iv


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................... i
TIM PENYUSUN DAN PERUMUS ................................................................................................................... ii
RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................................................ iii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR........................................................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................................ vii
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................................... 1
1.2. Tujuan ............................................................................................................................................ 1
1.3. Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 1
1.4. Metodologi Kajian ......................................................................................................................... 2
BAB II KONDISI SAAT INI................................................................................................................................ 3
2.1. Istilah Pertambangan Rakyat ......................................................................................................... 3
2.2. Regulasi Terkait Pertambangan Rakyat ......................................................................................... 4
2.3. Kriteria Pertambangan Rakyat dalam Regulasi ............................................................................. 4
2.4. Alur Penetapan Wilayah dan Izin Pertambangan Rakyat di Indonesia ......................................... 6
2.5. Potensi Pertambangan Rakyat di Indonesia .................................................................................. 9
2.5.1. Data WPR – IPR yang Telah Ditetapkan dan Diusulkan ........................................................ 9
2.5.2. Data Sumberdaya dan Cadangan Pertambangan Rakyat di dalam WPR ............................ 11
2.5.3. Penambang Rakyat dalam Kategori Tambang Rakyat yang sudah Berkegiatan ................. 12
2.5.4. Potensi Ekonomi dari Tambang Rakyat .............................................................................. 13
2.6. Kondisi Pertambangan Ilegal (PETI) di Indonesia ........................................................................ 13
2.6.1. Motif dan Pola PETI ............................................................................................................. 13
2.6.2. Tambang Ilegal di Luar dan di Dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan .......................... 15
2.6.3. Pelaku Kegiatan Penambangan Tanpa izin (PETI) .............................................................. 17
2.6.4. Komoditas tambang dari PETI ............................................................................................. 18
2.6.5. Dampak yang ditimbulkan PETI .......................................................................................... 18
2.6.6. Pelaksanaan Penertiban Tambang Ilegal ............................................................................ 18
2.7. Pengelolaan Pertambangan Rakyat di Nigeria ............................................................................ 20
BAB III PEMBAHASAN DENGAN PEMANGKU KEPENTINGAN...................................................................... 22
3.1. Definisi Pertambangan Rakyat .................................................................................................... 22
3.2. Aktivitas Tambang Rakyat Pada Wilayah yang Belum Ditetapkan Sebagai WPR ........................ 24
3.3. Hasil Kunjungan Lapangan........................................................................................................... 24
3.4. Permasalahan yang dihadapi oleh Pertambangan Rakyat .......................................................... 26
3.5. Kendala Permohonan dan Penetapan WPR – IPR ....................................................................... 26

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | v


3.6. Pembinaan dan Pengawasan Pertambangan Rakyat .................................................................. 27
3.7. Kegiatan Pengendalian Merkuri .................................................................................................. 29
3.8. Izin lingkungan terkait tambang rakyat ....................................................................................... 32
3.9. Permasalahan regulasi dan kebijakan ......................................................................................... 33
3.9.1. Regulasi Tambang Rakyat ................................................................................................... 33
3.9.2. Kebijakan tambang rakyat .................................................................................................. 34
3.10. Langkah Strategis Pengelolaan Pertambangan Rakyat ............................................................... 36
BAB IV KONSEP PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT YANG BAIK ..................................................... 39
4.1. Wilayah dan Perizinan ................................................................................................................. 41
4.2. Kelembagaan Pertambangan Rakyat........................................................................................... 43
4.3. Pendampingan, Pelatihan dan Pembinaan ................................................................................. 44
4.4. Pengawasan dan Pencegahan ..................................................................................................... 47
BAB V KESIMPULAN .................................................................................................................................... 49
BAB VI REKOMENDASI ................................................................................................................................ 52
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................... 54
LAMPIRAN ................................................................................................................................................... 56

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | vi


DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Flow Chart Penyusunan Kajian ............................................................................................. 2
Gambar 2. Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia ........................................................................... 7
Gambar 3. Alur Penetapan WPR dan IPR .............................................................................................. 8
Gambar 4. Status IUP Nasional Per November 2020 ........................................................................... 9
Gambar 5. Pola-Pola tindak Pidana PETI (Ombusdman RI, 2019) ...................................................... 15
Gambar 6. Statistik Penyebaran PETI .................................................................................................. 15
Gambar 7. Peta Sebaran PETI di dalam Wilayah PKP2B, IUP atau IUP PMA Batubara ................... 16
Gambar 8. Peta Sebaran PETI di dalam Wilayah KK dan IUP PMA Mineral ....................................... 16
Gambar 9. Sebaran PETI di luar wilayah izin kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara . 17
Gambar 10. penghargaan lingkungan dari KLHK ................................................................................. 19
Gambar 11. Rencana pengembangan Desa Ciguha ............................................................................ 20
Gambar 12. Legalitas Pertambangan Rakyat ....................................................................................... 23
Gambar 13. Lubang Galian Tambang Rakyat ...................................................................................... 25
Gambar 14. Tong Pengolahan menggunakan IDA ............................................................................... 25
Gambar 15. Peta Proyek Pembangunan Pabrik Pengolahan Emas (PESK) ....................................... 31
Gambar 16. Pengecualian wajib AMDAL bagi penambang rakyat ....................................................... 32
Gambar 17. Penyebab Utama masalah PETI....................................................................................... 33
Gambar 18. Tata Kelola Binwas Pertambangan................................................................................... 40
Gambar 19. Konsep pengelolaan PeRA ............................................................................................... 41
Gambar 20. Pendampingan dari hulu ke hilir pertambangan rakyat .................................................... 46
Gambar 21. Konsep pencegahan dan pemulihan akibat merkuri pada kegiatan pertambangan ....... 48

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbandingan UU 4/2009 dan UU 3/2020 ................................................................................ 4
Tabel 2. Regulasi terkait Pertambangan Rakyat .................................................................................... 5
Tabel 3. Rekapitulasi data WPR di Indonesia......................................................................................... 9
Tabel 4. Rekapitulasi IPR aktif di Indonesia ......................................................................................... 10
Tabel 5. Data PETI dan IPR di Indonesia ............................................................................................. 11
Tabel 6. Nigerian Minerals and Mining Act 2011 untuk small scale mining .......................................... 21
Tabel 7. Permasalahan Tambang Rakyat ............................................................................................ 26
Tabel 8. Pembangunan Fasilitas Pengolahan Emas Non Merkuri KLHK ............................................. 30
Tabel 9. Langkah-langkah Strategis Pertambangan Rakyat ................................................................ 36
Tabel 10. Konsep Pengelolaan Wilayah dan Percepatan Perizinan .................................................... 41
Tabel 11. Perbedaan antara Pendampingan, Pelatihan dan Pembinaan ............................................ 45
Tabel 12. Konsep Pengawasan dan Pencegahan ................................................................................ 47

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | vii


BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Saat ini pelaksanaan pengelolaan pertambangan rakyat belum memiliki pedoman dan
kebijakan yang tepat untuk memberikan kontribusi yang besar bagi negara dan
perekonomian domestik. Hal ini penting untuk mendukung peningkatan Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) dari subsektor Minerba dan membangun kedaulatan
Energi dan Sumber Daya Mineral melalui kemandirian ekonomi pada sektor strategis
ekonomi domestik, yaitu peningkatan peran pertambangan rakyat. Kajian ini dilakukan
untuk memetakan dan mereviu pelaksanaan regulasi dan kebijakan pengelolaan
pertambangan rakyat untuk membuat rekomendasi dalam menyusun pedoman
pelaksanaan kegiatan pertambangan rakyat nasional.
Urgensi kajian ini adalah pertambangan rakyat merupakan pelaksanaan kegiatan
penambangan dengan kriteria tertnetu yang telah diatur dalam regulasi maupun
kebijakan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, pertambangan rakyat masih
belum mengimplementasikan kaidah pertambangan yang baik secara optimal. Untuk
itu, kajian ini melakukan reviu dan analisis terhadap pelaksanaan regulasi dan
kebijakan kegiatan pertambangan rakyat secara komprehensif untuk menginventarisir
segala kekurangan yang ada dalam pelaksanaannya, sehingga hasil dari kajian ini
dapat dibuat suatu rekomendasi dan pedoman tentang pertambangan yang baik
dalam lingkup pertambangan rakyat.

1.2. Tujuan
Kajian ini bertujuan untuk menelaah secara komprehensif melalui reviu dan analisis
terhadap pelaksanaan regulasi dan kebijakan yang ada untuk kegiatan pertambangan
rakyat. Dengan demikian dapat diinventarisasi dan diidentifikasi segala kekurangan
dan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pertambangan rakyat
yang baik. Hasil kajian ini diharapkan menyediakan suatu konsep pengelolaan
pertambangan rakyat melalui rekomendasi dan pedoman tentang pertambangan yang
baik, khususnya dari segi keselamatan kerja dan lindungan lingkungan serta manfaat
bagi masyarakat setempat pelaku tambang rakyat.

1.3. Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam kajian ini berupa langkah awal dalam melakukan monitoring
dan evaluasi terhadap proses implementasi regulasi dan kebijakan khususnya terkait
dengan pertambangan rakyat. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan
masalah dalam kajian antara lain:
Keberadaan potensi sumberdaya dan cadangan dari sektor Pertambangan
Rakyat di Indonesia;
Implementasi regulasi dan kebijakan Pertambangan Rakyat yang ada saat ini;

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 1


Persepsi para pemangku kepentingan di bidang Pertambangan Rakyat terhadap
regulasi dan kebijakan yang sudah ada;
Strategi dan Konsep Pengelolaan Pertambangan Rakyat yang baik.

1.4. Metodologi Kajian


Dalam melakukan penulisan laporan kajian ini, kegiatan ini dilakukan melalui cara
sebagai berikut sesuai dengan Gambar 1:
Penyiapan bahan berupa dokumen literatur pelaksanaan pertambangan rakyat
dari berbagai sumber, regulasi dan kebijakan pertambangan rakyat, termasuk
dokumen kebijakan minerba nasional dan informasi keberadaan pertambangan
rakyat;
Pembentukan tim perumus dan penyusun dengan melibatkan stakeholder terkait
dalam pengelolaan tambang rakyat;
Pelaksanaan rapat koordinasi untuk memberikan sosialisasi terkait tujuan kajian
serta perumusan dan penelaahan yang melibatkan Internal Ditjen Mineral dan
Batubara (DJMB), Kementerian/Lembaga terkait (termasuk Lembaga penelitian),
dan akademisi;
Pelaksanaan koordinasi (bilateral meeting) dengan kementerian/Lembaga terkait
dalam penguatan substansi penelahaan kegiatan pertambangan rakyat eksisting;
Pelaksanaan kunjungan lapangan ke lokasi pertambangan rakyat yang
melibatkan internal DJMB, Pemerintah Daerah, Kementerian/Lembaga terkait dan
akademisi;
Analisis dan pengolahan data hasil diskusi, hasil koordinasi dan kunjungan
lapangan yang melibatkan internal DJBM dan akademisi;
Penulisan draf Kajian serta Finalisasi dokumen Kajian; dan
Sosialisasi hasil kajian.

Analisis &
Penyiapan Pembentukan Rapat Kunjungan Forum Group
Penulisan
Bahan Tim Perumus Koordinasi Lapangan Discussion
Laporan

Gambar 1. Flow Chart Penyusunan Kajian

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 2


BAB II KONDISI SAAT INI

Pada bab ini akan dibahas mengenai kondisi pertambangan rakyat yang ada di
Indonesia saat ini mulai dari istilah tambang rakyat, peraturan dan regulasi terkait,
mekanisme Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat
(IPR) serta jumlah IPR yang telah diterbitkan.

2.1. Istilah Pertambangan Rakyat


Definisi dari pertambangan rakyat secara global banyak ditemui dengan berbagai
istilah dan tidak memiliki kesepakatan untuk definisi tersebut. Beberapa istilah yang
sering digunakan untuk mengacu kepada pertambangan rakyat antara lain sebagai
berikut:
Artisanal mining adalah individu/orang yang melakukan kegiatan
pengambilan/penambangan emas secara manual menggunakan dulang;
Pertambangan skala sangat kecil (PSSK) / very small-scale mining; dan
Pertambangan skala kecil (PSK) / small scale mining.
Perbedaan diantara ketiganya didasarkan pada tingkat peralatan mekanik yang
digunakan serta skala produksi dari kegiatan tersebut.
Di Indonesia, pertambangan rakyat diatur dalam UU 3/2020 dan diberikan dalam
bentuk Izin Pertambangan Rakyat (IPR). IPR itu sendiri adalah Izin untuk
melaksanakan usaha pertambangan dalam Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)
dengan luas wilayah dan investasi terbatas. Menurut Pasal 67 UU 3/2020 Pihak yang
dapat diberikan IPR hanya orang perseorangan dan koperasi yang anggotanya
merupakan penduduk setempat.
Pertambangan rakyat memiliki ciri-ciri yang mudah dikenali, antara lain (Zulkarnain,
Pudjiastuti, Sumarnadi, & Sari, 2007):
Sangat sedikit menggunakan bantuan peralatan mekanik dan lebih didominasi
oleh tenaga fisik penambang;
Tingkat keselamatan dan kesehatan kerja yang rendah;
Memiliki keragaman kualifikasi sumberdaya manusia pada level operasi yang
sama;
Proses eksploitasi dan pengolahan yang tidak efisien (low recovery values) serta
tingkat produksi yang rendah;
Tingkat gaji dan penghasilan yang rendah;
Intensitas kegiatan sangat tergantung kepada perkembangan harga pasar;
Tingkat kepedulian sosial dan lingkungan yang kurang memadai;
Dukungan organisasi dan modal yang rendah;
Kebanyakan beroperasi tanpa izin resmi atau ilegal
Untuk Kegiatan Pertambangan Rakyat di Indonesia yang tidak mempunyai izin atau
ilegal disebut dengan Pertambangan tanpa Izin (PETI).

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 3


2.2. Regulasi Terkait Pertambangan Rakyat
Regulasi terkait pengelolaan kegiatan pertambangan rakyat telah ada dalam bentuk
Undang-undang sampai dengan perturan teknis berupa Keputusan Menteri/Peraturan
Menteri. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Regulasi tersebut merupakan peraturan
perundang-undangan yang saling terkait dalam proses penetapan WPR, Pemberian
IPR, Pembinaan dan Pengawasan serta Reklamasi dan Pasca Tambang.
2.3. Kriteria Pertambangan Rakyat dalam Regulasi
Pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) telah diatur dalam UU 4/2009, terutama
Pasal 20 hingga 26 mengenai WPR dan Pasal 66 hingga 73 tentang IPR. Pasal-pasal
ini kemudian diperbarui dalam UU No.3/2020 dengan memberikan beberapa
kelonggaran terhadap Pemegang IPR dari aspek total kedalaman dan luas WPR yang
semula 25 hektar menjadi 100 hektar dan kedalaman yang semula 25 meter menjadi
100 meter. Perubahan kriteria pertambangan rakyat dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan UU 4/2009 dan UU 3/2020
Kriteria UU 4 tahun 2009 UU 3 tahun 2020
Tambang Rakyat Pertambangan Minerba Perubahan UU 4 tahun 2009
WPR Ditetapkan oleh Bupati/Walikota WP (WUP, WPR, WPN dan WUPK) ditetapkan
setelah Berkonsultasi dengan DPRD oleh Pemerintah Pusat setelah ditentukan oleh
Penetapan WP dan WPR Kabupaten/Kota Pemerintah Daerah Provinsi sesuai dengan
kewenangannya dan berkonsultasi dengan DPR
RI
Kedalaman Maksimal 25 (dua puluh lima) Kedalaman Maksimal 100 (seratus) meter untuk
Kedalaman Cadangan meter (cadangan primer logam atau cadangan primer logam
Batubara)

Luas Maksimal WPR adalah 25 (dua Luas Maksimal WPR adalah 100 (seratus) hektar
Luas WPR puluh lima) hektar

Waktu untuk Tambang Merupakan wilayah tambang rakyat Dihapus


Eksisting sekurang-kurangnya 15 tahun

Memenuhi Kriteria pemanfaatan ruang Memenuhi Kriteria pemanfaatan ruang dan


Pemanfaatan Ruang dan dan Kawasan untuk kegiatan usaha Kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan
Kawasan pertambangan
Untuk Komoditas Batubara, Logam, Non Untuk Komoditas Logam, Non Logam dan
Komoditas Tambang
Logam dan Batuan Batuan
Rakyat

Tidak diatur mengenai jaminan terhadap Pemerintah menjamin terhadap WPR yang telah
Jaminan WPR WPR yang telah ditetapkan ditetapkan

Diberikan oleh Pemerintah Diberikan oleh Menteri kepada :


Kabupaten/Kota (Bupati/Walikota) kepada orang perseorangan (penduduk setempat)
perseorangan paling banyak 1 paling luas 5 (lima) hektar,
(satu) hektar, Koperasi (yang anggotanya penduduk
Pemegang IPR
Kelompok masyarakat paling setempat) paling luas 10 (sepuluh) hektar
banyak 5 (lima) hektar
Koperasi paling banyak 10
(sepuluh) hektar
Untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) Untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh)
Jangka Waktu IPR tahun dan dapat diperpanjang tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
masing-masing 5 (lima) tahun.
Tidak diatur Pemegang IPR dilarang memindahtangankan
Pemindahan IPR
IPR-nya kepada pihak lain
Iuran Pertambangan Membayar Iuran Tetap dan Iuran Membayar Iuran Pertambangan Rakyat
Rakyat (IPeRA) Produksi

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 4


Tabel 2. Regulasi terkait Pertambangan Rakyat

Perpres, Inpres,
No UU PP Permen Kepmen
Kepres
1. UU No 4/2009 tentang PP 22/2010 tentang Wilayah - Permen ESDM 11/2018 tetntang Tata Cara
Kepmen ESDM 1796K/30/MEM/2018
Pertambangan Mineral Pertambangan Pemberian Wilayah, Perizinan, Dan
Kepmen ESDM 1798K/30/MEM/2018
dan Batubara PP 23/2010 tentang Pelaksanaaan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha
Kepmen ESDM 1801K/30/MEM/2018
Kegiatan Usaha Pertambangan Pertambangan Mineral Dan Batubara
Kepmen ESDM 1802K/30/MEM/2018
Mineral dan Batubara Permen ESDM 25/2018 tentang
Kepmen ESDM 1806K/30/MEM/2018
PP 55/2010 tentang Pembinaan Dan Pegusahaan Pertambangan Mineral dan
Batubara Kepmen ESDM 1823K/30/MEM/2018
Pengawasan Penyelenggaraan
Pengelolaan Dan Pelaksanaan Permen ESDM 26/2018 tentang Kepmen ESDM 1824K/30/MEM/2018
Usaha Pertambangan Mineral Dan Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Kepmen ESDM 1825K/30/MEM/2018
Batubara Baik dan Pengawasan Pertambangan Kepmen ESDM 1826K/30/MEM/2018
PP 78/2010 tentang reklamasi dan Mineral dan Batubara Kepmen ESDM 1827K/30/MEM/2018
pasca tambang Kepmen ESDM 1828K/30/MEM/2018

2. UU 3/2020 Perubahan - - - -
atas Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara

3. UU 32/2009 tentang PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan Permen LH 102/2016 tentang Pedoman
Perlindungan dan PP 24/2018 tentang Pelayanan Perpres 21/2019
Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup
Pengelolaan Lingkungan Perizinan terintegrasi secara Rencana Aksi Nasional
bagi usaha dan/atau kegiatan yang telah -
Hidup Elektronik Pengurangan dan
memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tapi
PP 101/2014 tentang Pengelolaan Penghapusan Merkuri
belum memiliki dokumen lingkungan hidup
Limbah B3

4. UU 26/2007 tentang PP 26/2008 tentang Rencana Tata


Penataan Ruang Ruang Wilayah Nasional
PP 15/2010 Penyelenggaraan - - -
Penataan Ruang

5. UU 23/2014 tentang PP 12/2017 tentang Pembinaan dan


Pemerintahan Daerah Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah - - -

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 5


Di dalam UU 3/2020 Penambahan batasan paling luas Wilayah Pertambangan Rakyat
dari 25 hektar menjadi 100 hektar dan penambahan batasan kedalaman cadangan
dari 25 meter menjadi 100 meter diharapkan dapat semakin menggerakkan kegiatan
Pertambangan Rakyat sehingga Pertambangan Rakyat tidak lagi dianggap sebagai
kegiatan pertambangan yang termarjinalkan. Di dalam UU tersebut juga dihilangkan
IPR untuk kelompok karena kegiatan pertambangan rakyat untuk ke depannya
diharapkan dapat dilakukan dalam bentuk Koperasi. Untuk jenis pendapatan daerah,
sesuai UU 3/2020 Pasal 70, komponen Iuran Pertambangan Rakyat menjadi
kewajiban yang harus dibayarkan oleh para pemegang IPR sehingga dengan
demikian kontribusi pendapatan daerah dari pertambangan rakyat dapat berupa:
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. Iuran Pertambangan Rakyat (IPeRA); dan
d. Pendapatan daerah lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
Iuran Pertambangan Rakyat menjadi bagian dari struktur pendapatan daerah berupa
pajak dan/atau retribusi daerah yang penggunaannya untuk pengelolaan tambang
rakyat.
Pasal 123 B ayat (1) UU 3/2020 mengatur bahwa Mineral dan/atau Batubara yang
diperoleh dari kegiatan Penambangan tanpa IUP, IUPK, IPR, atau SIPB ditetapkan
sebagai benda sitaan dan/atau barang milik negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan. Ketentuan ini memberikan kejelasan terkait status
komoditas tambang Mineral dan/atau Batubara yang telah tergali dari kegiatan
penambangan tanpa izin, dengan penetapan status sebagai benda sitaan dan/atau
barang milik negara Mineral dan/atau Batubara yang telah tergali dapat dilakukan
penjualan sehingga manfaat ekonomisnya tidak sia sia.
Pasal 158 UU 3/2020 mengatur bahwa setiap orang yang melakukan Penambangan
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar. Dalam UU 4/2009
denda bagi pihak yang melakukan penambangan tanpa izin paling banyak Rp 10
miliar, peningkatan besaran denda dalam UU 3/2020 diharapkan dapat menimbulkan
efek jera bagi pihak yang akan melakukan penambangan tanpa izin (PETI).
Peraturan pelaksanaan untuk pertambangan rakyat telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara dan 3 PP lainnya, yaitu PP 22/2010 tentang Wilayah
Pertambangan, PP 55/2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pertambangan Mineral dan Batubara, PP 78/2010 tentang Reklamasi dan Pasca
Tambang.
2.4. Alur Penetapan Wilayah dan Izin Pertambangan Rakyat di Indonesia
Sesuai dengan UU 3/2020, Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) merupakan bagian
dari Wilayah Pertambangan. Wilayah Pertambangan (WP) itu sendiri merupakan
bagian dari Wilayah Hukum Pertambangan yang merupakan landasan bagi

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 6


penetapan kegiatan usaha pertambangan. Wilayah Hukum Pertambangan adalah
seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan dan landas kontinen.
Ilustrasi mengenai wilayah hukum pertambangan pada Gambar 2.

Gambar 2. Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia

WPR harus memenuhi kriteria yang disebutkan oleh Pasal 22 UU 3/2020, dan sesuai
dengan pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengusulan WPR dilakukan
dengan memperhatikan kesesuaian tata ruang, daya dukung lingkungan, daya
tampung kegiatan serta memperhatikan pasal 24 UU 4/2009, yaitu wilayah atau
tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tapi belum ditetapkan sebagai
WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR kemudian wilayah tersebut di
overlaykan dengan peta potensi/cadangan minerba yang memenuhi kriteria
penetapan WPR. Rencana tersebut kemudian ditetapkan dalam suatu Wilayah
Pertambangan (WP) oleh Pemerintah Pusat setelah ditentukan oleh Pemerintah
Daerah Provinsi sesuai dengan kewenangannya dan berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Untuk detail mengenai alur proses WPR dan
IPR dapat dilihat pada Gambar 3.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 7


Gambar 3. Alur Penetapan WPR dan IPR

Dalam penentuan WPR, beberapa lokasi yang tidak dapat dijadikan kawasan untuk
usaha pertambangan rakyat, yaitu:
a. Wilayah Suaka alam, Hutan Wisata dan Hutan Lindung;
b. Wilayah yang tertutup untuk umum (seperti lapangan dan bangunan sekitar
kawasan pertahanan);
c. Tempat umum (public spaces) seperti kuburan, jalanan, saluran air/listrik/gas,
tanggul sungai, dll;
d. Tempat perusahaan pertambangan; dan
e. Bangunan rumah tempat tinggal, pabrik dan halamannya, kecuali dengan izin
pemiliknya.
Izin Pertambangan Rakyat (IPR) menurut definisi dalam undang-undang adalah izin
untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat
dengan luas wilayah dan investasi terbatas. IPR harus diperoleh sebelum penambang
rakyat dapat melakukan kegiatan pertambangannya. Berdasarkan UU 3/2020, semua
perizinan termasuk perizinan pertambangan rakyat ditarik ke pemerintah pusat dalam
hal ini menteri, akan tetapi terdapat peluang untuk mendelegasikan kewenangan
tersebut kepada pemerintah Provinsi sesuai dengan Pasal 35 ayat 4 UU 3/2020.
Berdasarkan data yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, status
jumlah IUP Nasional per November 2020, terdapat 5.413 IUP dan IPR, dengan rincian
2.559 IUP Mineral logam dan batubara, 2.835 IUP Mineral Non Logam dan Batuan, 3
IUPK dan 16 IPR. Detail lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 4.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 8


Eksplorasi
28 IUP
Mineral Logam
1.392 IUP
Operasi Produksi
Min.Logam & 1.364 IUP
Batubara )*
2.559 IUP
Eksplorasi
6 IUP
Batubara
Mineral Non Logam &
1.167 IUP
Batuan Operasi Produksi
IUP & IPR Nasional 2.835 IUP 1.161 IUP
5.413 IUP

IUPK
3 IUPK

IPR
16 IPR

Gambar 4. Status IUP Nasional Per November 20201


2.5. Potensi Pertambangan Rakyat di Indonesia
Potensi Pertambangan Rakyat di Indonesia dapat dilihat dari beberapa hal antara lain
berdasarkan jumlah WPR yang telah ditetapkan dan diusulkan, data sumberdaya dan
cadangan terkait komoditas pertambangan rakyat di dalam WPR, jumlah penambang
rakyat yang ada saat ini, serta potensi ekonomi dari kegiatan pertambangan rakyat.
2.5.1. Data WPR – IPR yang Telah Ditetapkan dan Diusulkan
Dari 34 Provinsi di Indonesia, terdapat 25 Provinsi yang sudah menetapkan IPR
(73.6%) beberapa daerah masih mengusulkan untuk dilakukan penetapan WPR,
misalnya dari Provinsi Jawa Barat yang sampai saat ini belum ditetapkan. Total WPR
di Indonesia mempunyai total luas 580.712 hektar dengan jumlah total 3.329 blok
(Ditjen Minerba, 2020). Lebih lanjut detail data rekapitulasi luasan WPR masing-
masing Provinsi di indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rekapitulasi data WPR di Indonesia2
Jumlah Jumlah
No. Provinsi Luas (Ha) No. Provinsi Luas (Ha)
WPR WPR
1 Aceh 2 1.020 14 Kalbar 254 13.960
2 Jambi 363 66.341 15 Kalsel 81 27.899
3 Kep. Babel 207 19.918 16 Kalteng 227 35.080
4 Kep. Riau 203 4.371 17 Kaltim 43 18.852
5 Lampung 94 1.572 18 Malut 3 64
6 Riau 44 25.172 19 Papua 45 3.576
7 Sumbar 8 16.219 20 Gorontalo 57 8.995
8 Sumsel 347 8.675 21 Sulbar 44 3.539
9 Sumut 10 5.573 22 Sulsel 57 8.531
10 Banten 1 2.026 23 Sulteng 67 25.650
11 DIY 181 8.506 24 Sultra 77 73.197
12 Jateng 206 12.479 25 Sulut 2 106
13 Jatim 706 19.561 JUMLAH 3.329 580.712

1
Sumber: Ditjen Minerba tahun 2020
2
Sumber: Ditjen Minerba Tahun 2020

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 9


Sedangkan untuk sebaran IPR di seluruh Indonesia, data yang tercatat pada
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara per November 2020 adalah sebanyak 16
IPR (Tabel 4). Jumlah ini sangatlah minim dibandingkan dengan Jumlah blok WPR
dan total luas Wilayah WPR di Indonesia. Salah satu analisa awal mengenai
penyebab hal ini adalah adanya keengganan dari Pemerintah Daerah untuk
menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat dan Pemerintah Daerah belum melaporkan
penerbitan IPR tersebut kepada Pemerintah Pusat dalam hal ini diwakili oleh
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.
Pada bulan November 2020, Direktorat Pembinaan Program Minerba telah
mengirimkan surat kepada Dinas ESDM Provinsi se-Indonesia melalui Surat Direktur
Pembinaan Program Minerba mengenai permohonan Data dan Informasi terkait
dengan Pertambangan Rakyat (PERA) dan Pertambangan tanpa izin (PETI) baik di
dalam maupun di luar wilayah kegiatan usaha pertambangan maupun non
pertambangan. Hasil rekapitulasi data dan informasi terkait pengelolaan PERA dan
PETI yang disampaikan oleh dinas ESDM provinsi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 4. Rekapitulasi IPR aktif di Indonesia3
Badan Tanggal Luas
No. Provinsi Kabupaten Perusahaan Komoditas
Usaha Berakhir (ha)
1 Sumbar Sijunjung Kamang Saiyo (Kel I) Kelompok 19/08/24 5,00 Mangan
Tambang Rakyat Banjar
2 Sumbar Sijunjung Kelompok 10/09/24 5,00 Mangan
Tengah Sejati
3 Sumbar Sijunjung Kamang Sentosa (Kel II) Kelompok 18/08/24 5,00 Mangan

4 Sumbar Sijunjung Kamang Sentosa (Kel I) Kelompok 18/08/24 5,00 Mangan

5 Sumbar Sijunjung Kamang Saiyo (Kel V) Kelompok 19/08/24 5,00 Mangan

6 Kepri Karimun Sekop Jaya Koperasi 13/02/22 3,00 Pasir Laut

7 Jatim Malang Tambang Indonesia V Koperasi 01/01/24 9,52 Pasir Besi

8 Jatim Malang Tambang Indonesia VI Koperasi 01/01/24 9,90 Pasir Besi

9 Jatim Malang Tambang Indonesia III Koperasi 01/01/24 9,86 Pasir Besi

10 Banten Pandeglang Bumi Jaya Mandiri Koperasi 07/06/23 10,00 Pasir Besi

11 NTB Dompu Mitra Tambora Koperasi 20/11/21 10,00 Pasir Besi

12 NTB Dompu Mitra Tambang PT 14/10/21 10,00 Pasir Besi

13 NTT Alor Petrus Mauleti Sdr 01/11/21 1,00 Pasir dan Batu Kali

14 NTT Rote Ndao Tesabela Jaya Kelompok 11/11/21 3,74 Pasir Laut

15. Gorontalo Gorontalo Sinar Tambang Kelompok 19/11/20 5,00 Tembaga

16. Gorontalo Gorontalo Sinar Sukdam Kelompok 19/11/20 5,00 Tembaga

Total IPR yang dilaporkan berjumlah 89 IPR dengan jumlah terbanyak berada di
Lokasi Daerah Istimewa Yogyakarta, hal ini tentunya melebihi dari jumlah IPR yang
tercatat di Internal Ditjen Mineral dan Batubara sehingga memerlukan perhatian
khusus. Berdasarkan hasil diskusi beberapa data yang disampaikan oleh Dinas ESDM

3
Sumber: Ditjen Minerba Tahun 2020

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 10


harus dilakukan reviu kembali dikarenakan data yang disampaikan mungkin tidak
akurat dan terbaru.
Tabel 5. Data PETI dan IPR di Indonesia

No. Provinsi Data IPR Data PETI

1 Kepri 1 Laporan dari IPR Edy Anwar. Tidak ada Informasi.


37 PETI dengan 14 Masuk WPR dan 13
2 Jateng Tidak ada IPR.
tidak masuk WPR.
PETI berada di 12 Kabupaten, yaitu Kab.
Belum ada IPR. Sudah menyampaikan surat
Menpawah, Landak, Sambas, Bengkayang,
Gubernur Tanggal 28 Agustus 2020
3 Kalbar Sanggau, Sekadau, Ketapang, Kayong
mengenai penyampaian usulan perubahan
Utara, Sintang, Singkawang, Melawi,
Wilayah Pertambangan.
Kapuas Hulu.
4 Kalsel Tidak ada IPR. Tidak ada Informasi.
• Emas di G.Botak dan Gorgea (Pulau
Buru).
5 Maluku Tidak ada IPR.
• Cinabar di G.Tembaga (Seram Bagian
Barat).
Tidak ada IPR, Mengusulkan WPR untuk
Saat ini ada aktivitas PETI di Kab. Parigi
6 Sulteng Kabupaten Parigi Moutong, Banggai, dan
Moutong, Poso, Banggai, Tolitoli.
Tolitoli.
7 Sumbar 6 IPR komoditas Mangan. Tidak ada Informasi.
562 titik yang berada di 10 Kabupaten, yaitu
Kab. Muara Enim, OKI, Ogan Ilir, Lahat,
8 Sumsel Tidak ada IPR.
Pagar alam, Muratara, OKUT, OKUS, Musi
Rawas, Musi Banyuasin.
IPR sejumlah 75 IPR sbb : Kab. Kulon Progo
9 DIY 11 IPR, Kab. Bantul 20 IPR, Kab. Gunung Tidak ada PETI.
Kidul 39 IPR, Lintas Kabupaten 5 IPR.
Belum ada WPR sehingga belum pernah
menerbitkan IPR. Melihat potensi bahan
galian (batu cadas/tras) yang ada di
beberapa lokasi, dan layak ditambang
dengan pemberian IPR, sehingga
10 Bali Tidak ada Informasi.
Pemerintah Provinsi Bali pada tanggal 12
November 2019 mengusulkan WPR pada 4
(empat) lokasi, yaitu di (Lod Tunduh,
Kemenuh) di Kabupaten Gianyar, (Kelating
dan Gubug) di Kabupaten Tabanan.
11 NTT 7 IPR komoditas Batuan. Tidak ada Informasi.
Terdapat Pertambangan Emas Ilegal yang
1 IPR a.n Koperasi Emas Kembu Mandiri dilakkan oleh Masyarakat Adat Suku
Papua mengusulkan WPR untuk Kampung Sentani Keondoafian Rasim Klebheuw
12 Papua
Pokla Buper Waena, Distrik Heram, Kota (Suku Ohee) Kampung Pokla Buper Waena
Jayapura untuk wilayah seluas 12.86 Ha. yang sudah dikerjakan bertahun-tahun
(sudah diusulkan menjadi WPR).

2.5.2. Data Sumberdaya dan Cadangan Pertambangan Rakyat di dalam WPR


Data sumberdaya dan cadangan di dalam WPR belum tersedia data yang telah
divalidasi secara pasti. Hal ini mengakibatkan potensi sumberdaya dan cadangan dari
pertambangan rakyat yang berlokasi di dalam WPR belum dapat diketahui secara
pasti. Untuk pengelolaan data dan informasi yang lebih baik, perlu dilakukan
koordinasi antara Ditjen Minerba, Pemerintah Daerah, Pemilik IPR dan Badan Geologi
KESDM untuk dapat melakukan kajian penghitungan sumber daya dan cadangan

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 11


dalam WPR di seluruh Indonesia untuk komoditas IPR. Sehingga di masa yang akan
datang data sumber daya dan cadangan dapat dibedakan sesuai dengan wilayah
peruntukannya (WUP, WPR, WUPK dan WPN).
Sebagai informasi awal, saat ini potensi cebakan emas primer di Indonesia pada
neraca Badan Geologi KESDM tahun 2019 dalam bentuk sumber daya sekitar 10.800
ton dan cadangan 3.600 ton logam emas. Cebakan emas primer dapat dijumpai dalam
bentuk tersebar dan mengisi celah membentuk urat. Cebakan bijih emas tipe tersebar
umumnya berkadar rendah, sedangkan urat cenderung berkadar tinggi. Bijih emas
tipe tersebar dengan kadar relatif rendah memerlukan cebakan dalam jumlah besar
untuk dapat dimanfaatkan secara ekonomis, serta penambangan dan pengolahannya
memerlukan teknologi tinggi dan padat modal. Sedangkan cebakan tipe urat dengan
kadar relatif tinggi dapat ditambang dan diolah dengan teknologi sederhana dalam
bentuk usaha pertambangan skala kecil.
Sumber daya emas primer skala kecil merupakan cebakan bijih emas urat kuarsa
dengan ketebalan kurang dari satu meter dan panjang beberapa ratus meter, berkadar
cukup tinggi, sehingga masih dapat diusahakan secara ekonomis untuk usaha
pertambangan skala kecil, Pada sistem mineralisasi sering dijumpai beberapa urat
dengan sumber daya semacam ini pada beberapa lokasi yang berjauhan.
2.5.3. Penambang Rakyat dalam Kategori Tambang Rakyat yang sudah
Berkegiatan
Berdasarkan Data dari Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) yang
disampaikan kepada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, disebutkan bahwa
jumlah penambang Rakyat di Indonesia ada sebanyak lebih dari 3,6 juta orang,
dimana 1,4 juta dari penambang tersebut adalah penambang emas dengan total
produksi emas sebanyak ± 120 ton emas/ tahun, dan ratusan ribu untuk
penambangan batuan (golongan C) untuk konstruksi, minyak, batubara serta timah,
galena, tembaga,dst. Namun demikian hal ini perlu dilakukan klarifikasi dan validasi
data lebih lanjut mengenai jumlah penambang rakyat yang sebenarnya.Sesuai
penjelasan pada bab terdahulu, kategori utama yang perlu menjadi dasar kuat bahwa
seseorang atau kelompok masyarakat dikatakan sebagai Penambang Rakyat adalah
mereka yang dinyatakan dan memiliki identitas sesuai hukum adalah penduduk lokal
setempat. Apabila penduduk lokal setempat ini melakukan kegiatan tambang rakyat
maka perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari pembinaan dan penertiban tambang
tanpa izin ke dalam bentuk formal menjadi tambang rakyat.
Apabila klarifikasi dan validasi data tambang rakyat eksisting dilakukan dengan tepat,
maka apabila diasumsikan dengan perkiraan 75% dari data di atas adalah penduduk
lokal setempat yang aktif menambang maka kurang lebih ada sekitar 1 juta
penambang rakyat. Dengan demikian potensi yang dapat dihitung dengan asumsi
bahwa dalam satu tahun diperkirakan terdapat 240 hari kerja, jumlah produksi emas
rata-rata minimal 0.5g/hari/penambang, maka total produksi emas dari tambang
rakyat sesuai data APRI tersebut dalam setahun adalah 120 ton. Jumlah ini tentunya
lebih besar dari produksi PT Antam Tbk yang hanya 2,5 ton per tahun dan jumlah
produksi emas dari 13 perusahaan Kontrak Karya (KK) komoditas emas sekitar 40 ton
per tahun (termasuk PT Freeport Indonesia sejumlah 28,01 ton per tahun).

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 12


2.5.4. Potensi Ekonomi dari Tambang Rakyat
Potensi ekonomi yang dapat diperoleh dengan adanya kegiatan pertambangan rakyat
antara lain adalah penyerapan tenaga kerja, efek pengembangan ekonomi akibat
adanya efek berganda dari kegiatan tambang rakyat, penerimaan daerah dan
penerimaan negara.
Dalam hal penyerapan tenaga kerja, asumsi yang dilakukan secara sederhana adalah
apabila diasumsikan bahwa 1 IPR dapat membuka 500 lowongan kerja, maka dengan
adanya 15 IPR sesuai data yang masuk diperkirakan terdapat 7.500 pekerja yang
terlibat secara langsung dalam kegiatan IPR yang ada saat ini. Potensi ini tentunya
dapat dijadikan dasar sederhana untuk menghitung misal di Indonesia terdapat 514
Kabupaten, apabila ada 400 Kabupaten mengeluarkan IPR maka jumlah tenaga kerja
yang mampu diserap adalah: 400 Kabupaten x 15 IPR x 500 Lowongan Kerja =
7.500.000 pekerja langsung yang terlibat dalam tambang rakyat.
Asumsi perhitungan sederhana dari jumlah tenaga kerja yang mampu diserap
tentunya akan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan distribusi pendapatan
diantara penduduk lokal setempat sehingga meningkatkan kegiatan perdagangan dan
jasa di wilayah tersebut sebagai efek berganda dari kegiatan tambang rakyat. Dengan
adanya peningkatan ekonomi wilayah setempat maka diharapkan akan mendorong
situasi kondusif di daerah dan membantu roda-roda pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan secara tidak langsung.
Dari sisi pendapatan dan penerimaan negara tentunya terdapat potensi yang perlu
didata dan divalidasi lebih lanjut utamanya untuk menghitung secara detail berapa
angka pemasukan dari Penerimaan Negara berupa Pajak dan Bukan Pajak dari
kegiatan tambang rakyat. Namun demikian hal ini perlu dibuat regulasi teknis lebih
lanjut mengenai pengelolaan pendapatan dan penerimaan negara dari tambang
rakyat.
2.6. Kondisi Pertambangan Ilegal (PETI) di Indonesia
Kegiatan Pertambangan Rakyat saat ini ditengarai banyak yang belum memiliki izin
secara resmi namun pada faktanya banyak kegiatan tambang rakyat sudah
dilaksanakan, hal ini tentunya sangat merugikan dari berbagai sisi dan tentunya
bertentangan dengan regulasi yang ada. Sehingga banyak kegiatan pertambangan
rakyat dipersepsikan sebagai kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI), tentunya
perlu dilaksanakan evaluasi menyeluruh untuk memisahkan antara PETI dengan
Pertambangan Rakyat (PERA).
2.6.1. Motif dan Pola PETI
Dalam kegiatan PETI, ada 3 Aspek yang menjadi motif terjadinya kegiatan PETI, yaitu
Aspek Ekonomi, Peraturan Perundangan serta Pendidikan. Motif dari aspek ekonomi
mendorong kegiatan PETI terjadi karena Kemiskinan serta adanya potensi
keuntungan/pendapatan yang besar dari kegiatan PETI dengan durasi waktu
perolehan yang cukup cepat (hanya angkut gali), sedangkan motif dari aspek
peraturan perundangan didasarkan atas ketentuan mengenai pertambangan rakyat
dirasakan tidak impelementatif untuk dilaksanakan serta adanya anggapan tentang
lemahnya penegakan hukum dan adanya oknum yang mendukung kegiatan PETI.
Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 13
Untuk motif aspek pendidikan dilihat sebagai adanya pemahaman di masyarakat
bahwa kepemilikan hak atas tanah dipahami juga sebagai kepemilikan sumberdaya
alam yang ada di bawahnya tanpa diperlukan adanya izin usaha menggali /
memanfaatkan bahan galian berupa Izin Usaha Pertambangan.
Pertambangan rakyat menurut sifatnya (UNITAR & UN Environment, 2018) terbagi ke
dalam beberapa kategori sebagai berikut:
1. Tradisional (Tradisional), Di daerah di mana emas berada telah diketahui selama
beberapa generasi, Pertambangan Rakyat dianggap sebagai bagian penting dari
mata pencaharian tradisional di daerah tersebut. Kegiatan ini seringkali melibatkan
anggota keluarga dimana pengetahuan tradisional dan hak pertambangan
diwariskan melalui ikatan keluarga. Selain fungsi mata pencahariannya,
Pertambangan Rakyat juga bisa dianggap sebagai tradisi budaya.
2. Musiman (Seasonal), Pertambangan Rakyat sering dilakukan dengan kombinasi
dengan mata pencaharian lain seperti pertanian, dimana petani beralih bertani
menjadi penambang.
3. Koeksistensi Permanen (Permanent Co-Existence), Operasi Pertambangan
Rakyat mungkin juga berada di dalam area perusahaan pertambangan yang
berizin, dimana pekerja bekerja di area yang sudah ditinggalkan oleh perusahaan
ataupun di daerah dimana endapan mineral yang ada sudah tidak sesuai lagi
dengan operasi perusahaan. Para penambang rakyat ini merupakan penduduk
sekitar. Kategori ini memungkinkan untuk timbulnya konflik sehingga perlu diatur.
4. Guncangan (Shock), Masyarakat lokal dapat terdorong untuk melakukan
kegiatan pertambangan dalam rangka mendapatkan penghasilan baru setelah
mengalami guncangan, seperti kekeringan, gagal panen, kejatuhan ekonomi,
fluktuasi harga komoditas, konflik, penutupan perusahaan pertambangan yang
berizin (IUP) yang berada di daerah tersebut serta meningkatnya angka
penggangguran yang tiba-tiba, misalnya dikarenakan adanya pandemi COVID-19.
5. Masuknya Pendatang (Influx of Migrants), Ketika cadangan emas yang cocok
untuk kegiatan pertambangan rakyat ditemukan di suatu daerah, akan banyak
penambang pendatang yang kemudian menciptakan komunitas penambangan
rakyat, dari awalnya hanya beberapa menjadi ribuan penambang hanya dalam
waktu beberapa bulan. Seiring waktu, jenis pertambangan rakyat ini dapat menjadi
koeksistensi permanen yang mungkin akan menyebabkan konflik dengan
masyarakat lokal di daerah tersebut.
Pertambangan tanpa izin (PETI) di Indonesia mempunyai beberapa pola sebagai
berikut (Ombusdman RI, 2019), yaitu Pelaku memanfaatkan masyarakat untuk
melakukan kegiatan penambangannya (cukong), Izin Pertambangan (IUP) sudah
berakhir tapi tetap melakukan kegiatan penambangan, Perusahaan menambang di
luar titik koordinat IUP, IUP Ekplorasi tapi melakukan Kegiatan Operasi Produksi, PETI
di dalam kawasan hutan tanpa IPPKH, Gratifikasi kepada pejabat untuk mendapatkan
IUP dengan melawan hukum seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 14


Gratifikasi untuk
Menambang penerbitan IUP
tanpa IUP melawan hukum
oleh pejabat

Menambang Menambang di
dengan Izin luar Wilayah
Eksplorasi IUPnya

Kerjasama
Pelaku dengan Oknum IUP sudah
memanfaatkan atau berakhir tapi
Masyarakat untuk memalsukan masih melakukan
menambang penambangan
untuk dapatkan
SKAB

Gambar 5. Pola-Pola tindak Pidana PETI (Ombusdman RI, 2019)

2.6.2. Tambang Ilegal di Luar dan di Dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan
Berdasarkan data yang dihimpun dari Direktorat Pembinaan Pengusahaan Mineral
tahun, Direktorat Pengusahaan Batubara, serta Pelaporan dari Pemerintah Provinsi,
Penyebaran PETI cukup merata dari Sabang sampai Merauke (Ditjen Minerba, 2019).
Berdasarkan laporan dari Pemerintah Provinsi, PETI terdapat di lokasi Jawa Timur,
Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Sumatera Utara, Jambi, Maluku, Kalimantan Tengah serta Gorontalo (Gambar 6).

Gambar 6. Statistik Penyebaran PETI4


Penyebaran PETI di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga), yang pertama adalah PETI di
dalam wilayah PKP2B, IUP atau IUP PMA Batubara seperti yang ditunjukan pada
Gambar 7. Dengan rincian terdapat 22 lokasi PETI, yaitu: PT Tanito Harum,
PT Santan Batubara, PT Manambang Muara Enim, PT Bukit Asam, PT Selo
Argokencono, PT Selo Argodedali, PT Barasentosa Lestari, PT Wahana Baratama
Mining, PT Banjar Intan Mandiri, PT Gerbang Daya Mandiri, CV Mulianan Jaya,
PT Arutmin Indonesia, PT Jorong Barutama Greston, PT Sumber Kurnia Buana,

4
Sumber : Ditjen Minerba tahun 2019

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 15


PT Kadya Caramulia, PT Bukit Baiduri Energi, CV Benny Putra, PT Mantim Coal
Mining, PT Batubara Selaras Sapta, PT Antang Gunung Meratur, PT Lanna Harita
Indonesia, serta di dalam PT Kendilo Coal Indonesia.

Gambar 7. Peta Sebaran PETI di dalam Wilayah PKP2B, IUP atau


IUP PMA Batubara5
Selanjutnya yang kedua adalah PETI yang berada di dalam wilayah KK, IUP atau IUP
PMA Mineral seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. Lokasi PETI yang diidentifikasi
sebanyak 18 lokasi, yaitu: PT Woyla Aceh Mineral, PT Sorikmas Mining, PT Agincourt
Resources, PT Timah tbk, PT Dwinad Nusa Sejahtera, PT Mindoro Tiris Emas, PT
Ensbury Kalteng Mining, PT Kalimantan Surya Kencana, PT Gorontalo Sejahtera
Mining, PT Gorontalo Mineral, PT Tambang Mas Sangihe, PT Nusa Halmahera
Mineral, PT J Resources Bolaang Mongondow, PT Freeport Indonesia, PT Citra Palu
Mineral, PT Indomuro Kencana, PT Pelsart Tambang Kencana serta PT Amman
Mineral Nusa Tenggara.

Gambar 8. Peta Sebaran PETI di dalam Wilayah KK dan IUP PMA Mineral6

5
Sumber: Ditjen Minerba tahun 2019.
6
Sumber: Ditjen Minerba tahun 2019.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 16


Kemudian yang ketiga adalah PETI diluar wilayah izin kegiatan usaha pertambangan
mineral dan batubara, seperti yang ditunjukan pada Gambar 9 dibawah ini.

Gambar 9. Sebaran PETI di luar wilayah izin kegiatan usaha pertambangan


mineral dan batubara7

2.6.3. Pelaku Kegiatan Penambangan Tanpa izin (PETI)


Pelaku kegiatan PETI dapat diidentifikasi menjadi 2 (dua) bagian yaitu, sebagai
berikut:
a. Pelaku yang tidak berasosiasi
Pelaku kegiatan penambangan dapat dilakukan 1 (satu) orang atau lebih yang
tidak berasosiasi kepada kelompok atau organisasi tertentu. Dengan kriteria
adalah mayoritas pelaku kegiatan penambangan dilakukan oleh pendatang dari
luar lokasi atau daerah tambang (mine location), walaupun juga terdapat
penambang lokal atau setempat dengan jumlah yang bervariasi. Adapun peran
yang dilakukan dapat sebagai penambang, pemodal dan/atau pelaku jual beli.

b. Pelaku yang berasosiasi


Pelaku kegiatan penambangan yang dilakukan lebih dari 1 (satu) orang yang
berasosiasi kepada kelompok atau organisasi tertentu, atau dapat juga dikatakan
bahwa pelaku PETI yang dimaksud adalah berupa kumpulan-kumpulan
penambang yang memiliki wadah tertentu, namun belum atau tidak memiliki izin
kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Pelaku-pelaku ini dapat
beroperasi di dalam wilayah izin kegiatan usaha pertambangan maupun di luar
wilayah izin kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
Pada umumnya PETI menggunakan teknologi atau peralatan yang sederhana, baik
yang dilakukan di permukaan ataupun bawah tanah (underground). Penambangan
untuk bijih emas sekunder (aluvial) biasanya dilakukan dengan cara pendulangan tapi
kadangkala dibantu juga dengan peralatan mekanik sederhana seperti pompa untuk
menyedot material berukuran pasir dan alat konsentrasi gravimetri (misalnya sluice

7
Sumber: Ditjen Minerba tahun 2019.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 17


box) yang berfungsi untuk memisahkan konsentrat (mineral berharga) dari tailing
(ampas atau mineral yang tidak berharga). Sementara itu penambangan bijih emas
primer yang terdapat berupa urat (vein) di dalam bumi biasanya dilakukan dengan
sistem tambang bawah tanah (underground mining) yaitu dengan cara membuat
lubang bukaan vertikal (shaft) atau lubang bukaan horizontal (adit) sebagai jalan
masuk ke tambang bawah tanah. Penambangan emas bawah tanah yang dilakukan
oleh rakyat pada lubang bukaan horizontal, pada umumnya dilakukan dengan kondisi
lubang di dalam yang relatif sempit (kurang lebih 1 m tinggi dan lebar kurang dari 1
m), dengan arah penggalian tidak beraturan karena mengikuti arah urat bijih atau vein,
sehingga sering disebut juga dengan gophering. (Zulkarnain, Pudjiastuti, Sumarnadi,
& Sari, 2007).
Pertambangan emas primer skala kecil umumnya mengolah bijih dengan metoda
amalgamasi yang mempersyaratkan kadar bijih tinggi untuk dapat dimanfaatkan
secara ekonomis. Namun demikian akhir-akhir ini telah digunakan juga pengolahan
dengan cara sianidasi yang mengolah bahan baku berupa tailing dari hasil proses
amalgamasi.
2.6.4. Komoditas tambang dari PETI
PETI di Indonesia saat ini dilakukan untuk berbagai komoditas seperti Batubara, Emas
DMP, Tembaga, Galena, Timah, mangan, belerang, Bentonit, Dolomit, Batu Kapur,
Kaolin, Zirkon, Batu Andesit, Pasir, Pasir Besi, Marmer, Gemstone/Akik, Intan, dll.
Namun demikian data dan informasi terkait dengan jumlah dan lokasi-lokasi PETI di
Indonesia untuk masing-masing komoditas tersebut masih perlu verifikasi, validasi,
dan konfirmasi secara komprehensif antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah serta pemangku kepentingan terkait lainnya.
2.6.5. Dampak yang ditimbulkan PETI
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLK
menyebutkan potensi hilangnya penerimaan negara dari aktivitas pertambangan
emas ilegal mencapai 38 triliun rupiah setiap tahun dan untuk non emas sekitar 315
miliar per tahun. Besaran nilai tersebut belum memperhitungkan biaya rehabilitasi
terhadap kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat PETI (Ridwan Nanda
Mulyana, 2018).
Selain kerusakan lingkungan seperti kebakaran, air asam tambang, serta pecemaran
merkuri ke lingkungan, kegiatan PETI juga menimbulkan korban jiwa dikarenakan
kecelakan pada saat kegiatan pertambangan yang mengakibatkan meninggalnya
pekerja PETI. Pada lokasi PETI yang berlokasi di dalam Wilayah Izin usaha
Pertambangan, maka sumberdaya dan cadangan yang dimiliki oleh perusahaan juga
menurun secara signifikan serta mengganggu perkembangan kegiatan pertambangan
yang dilakukan oleh perusahaan.
2.6.6. Pelaksanaan Penertiban Tambang Ilegal
Kegiatan Penertiban Pelaksanaan Tambang Ilegal sudah banyak dilakukan dimana-
dimana, sebagai contoh kegiatan Penertiban sudah dilaksanakan di Gunung Botak,
Ketapang, Pongkor, Sukabumi, dll. Akan tetapi penertiban tersebut kurang efektif
dikarenakan pemerintah tidak dapat menyediakan lapangan pekerjaan lainnya
Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 18
sehingga para penambang dapat melakukan alih profesi. Profesi penambang juga
merupakan profesi yang dapat menghasilkan pemasukan yang cukup besar dalam
waktu singkat dibandingkan dengan profesi lainnya seperti petani.
Salah satu keberhasilan dalam proses transisi yang semula merupakan wilayah PETI
emas dapat dilihat di Desa Ciguha, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang
berdekatan dengan wilayah kegiatan usaha pertambangan emas PT Antam Tbk.
UBPE Pongkor (info dari tokoh masyarakat bernama bang Willi). Pada lokasi ini, tahun
2015 dilakukan penertiban terhadap kegiatan PETI emas tersebut oleh aparat
penegak hukum dan instansi terkait lainnya. Pasca penertiban para penambang dari
luar Desa Ciguha (pendatang) diminta untuk kembali ke daerah masing-masing
dengan pendekatan sosial yang baik. Selanjutnya atas kesadaran sendiri, masyarakat
Desa Ciguha secara swadaya melakukan proses perbaikan lingkungan dan
melakukan transformasi perubahan mata pencaharian yang semula para pelaku PETI
menjadi penggiat ekonomi lokal setempat, antara lain peternak ikan, petani kebun dan
buah-buahan, serta pelaku agrowisata. Hal ini telah mendapat apresiasi pada tahun
2020 berupa penghargaan pengelolaan lingkungan untuk Desa Ciguha dari KLHK
kepada tokoh masyarakat setempat dan Bupati Kabupaten Bogor pada tanggal 27
Oktober 2020 (Gambar 10).

Gambar 10. penghargaan lingkungan dari KLHK

Selain penghargaan tersebut, Desa ini juga telah mendapat kunjungan dari 38 negara
dibawah naungan organisasi PBB yaitu Environmental Protection Agency (EPA).
Rencana selanjutnya adalah mengembangkan Desa Ciguha menjadi desa wisata
alam bagi masyarakat Indonesia yang terintegrasi (Perkebunan, perikanan,
peternakan, pertanian, kolam pemandian, dll) dengan tidak meninggalkan ciri khas
desa sebagai lokasi bekas tambang emas tanpa izin, ilustrasi dapat dilihat pada
Gambar 11.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 19


Gambar 11. Rencana pengembangan Desa Ciguha

2.7. Pengelolaan Pertambangan Rakyat di Nigeria


Bentuk kegiatan pertambangan rakyat di negara lain biasanya lebih dikenal dengan
nama artisanal dan small scale mining. Hal ini berdasarkan studi literatur diketahui
terdapat pada beberapa negara antara lain: Brazil, Ethiopia, Pakistan, Madagaskar,
Zimbabwe, Kolombia, Nigeria dan lain-lain. Untuk lebih memahami mengenai
Pengelolaan Pertambangan Rakyat, pada sub-bab ini akan dibahas mengenai
pengelolaan pertambangan rakyat di Nigeria. Nigeria dipilih dikarenakan kondisi
pengelolaan pertambangan rakyatnya yang dirasa sudah cukup baik dibandingkan
dengan negara-negara berkembang lainnya.
Kebijakan Pertambangan Rakyat di Nigeria tercantum di dalam Nigerian Minerals and
Mining Act 2011 dan di dalam Mining Law tersebut yang dimaksud dengan
pertambangan rakyat adalah Small Scale Mining yang diberikan dalam Small Scale
Mining Lease.
Definisi Small Scale Mining : Artisanal, Alluvial atau bentuk lain dari penambangan
yang tidak menggunakan teknologi tinggi dan tidak membutuhkan modal yang besar.
Untuk Small Scale Mining Lease luasan yang diberikan tidak kurang dari 1,2 hektar
dan tidak melebihi 300 hektar. Izin diberikan untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat
diperpanjang kembali (dapat diperpanjang berkali-kali). Pemegang izin tersebut juga
tidak boleh menggunakan bahan peledak, bahan kimia beracun, tidak mempekerjakan
lebih dari 50 pekerja untuk operasi per hari, serta kedalaman vertikal maximum 7
meter, dan horizontal maximum sebesar 10 meter dari shaft.
Kegiatan Reklamasi dilakukan oleh pemegang Izin dan Pemerintah melalui
Kementerian terkait akan memberikan asistensi kepada pemegang Small Scale
Mining dan artisanal, yaitu asistensi dalam kegiatan prospeksi dan eksplorasi, testing
mineral dan penentuan kadar mineral, desain tambang dan perencanaan yang sesuai

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 20


dengan endapan mineral serta mengenalkan para penambang kepada teknologi baru.
Hasil penambangan dari Small Scale Mining Lease harus dijual kepada Licensed
Mineral Procurement Centre atau yang disebut Mineral Buying Centre sehingga harga
jual yang di dapatkan oleh penambang rakyat akan lebih baik.
Di Indonesia sendiri sebenarnya inisiatif untuk membuat semacam Mineral Buying
Centre seperti yang ada di Nigeria saat ini sedang dimatangkan oleh UNDP dengan
program GOLD-ISMIA yaitu proses sertifikasi emas sehingga para penambang rakyat
dapat mengakses pasar emas yang formal (formal gold markets) dengan tujuan agar
para penambang rakyat ini dapat mendapatkan harga jual dari komoditasnya yang
lebih baik, karena saat ini ditengarai kalau harga jual emas yang didapat oleh
penambang rakyat masih berada di bawah harga pasaran emas yang ada (harga
spot). Saat ini GOLD-ISMIA masih dilakukan proses penjajakan dengan PT. Antam
Tbk mengenai mekanisme sertifikasi emas tersebut. Untuk rekap mengenai Nigerian
Minerals and Mining Act 2011 untuk small scale mining dapat dilihat pada Tabel 6 di
bawah ini:
Tabel 6. Nigerian Minerals and Mining Act 2011 untuk small scale mining

No. Aspek Ketentuan

1 Umur Tambang 5 tahun dan dapat diperpanjang berkali-kali tanpa batas.

2 Luas Wilayah 1,2 hektar – 300 hektar.


tidak boleh menggunakan bahan peledak;
tidak boleh menggunakan bahan kimia beracun;
3 Metode Penambangan dan Teknologi
kedalaman vertikal maximum 7 meter;
kedalaman horizontal maximum 10 meter dari shaft
4 Jumlah tenaga kerja tidak mempekerjakan lebih dari 50 pekerja untuk operasi per hari
tidak menggunakan teknologi canggih (sederhana);
5 Pengelolaan dan Pemurnian
tidak menggunakan merkuri
6 Pemasaran dan Penjualan Dijual kepada Mineral Buying Centre
dilakukan oleh pemegang Izin dan dibantu dengan asistensi dari
7 Reklamasi dan Pasca Tambang
Pemerintah melalui Kementerian terkait.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 21


BAB III PEMBAHASAN DENGAN PEMANGKU KEPENTINGAN

Dalam proses penyusunan kajian ini, sesuai dengan metodologi yang dijelaskan pada
Bab 1, salah satu aktifitas yang dilaksanakan untuk mengidentifikasi, merumuskan,
memetakan dan mencari solusi untuk pengelolaan pertambangan rakyat yang tepat
guna maka dilakukan beberapa kali Focus Group Discussion dengan seluruh
pemangku kepentingan terkait dalam kegiatan pertambangan rakyat.

3.1. Definisi Pertambangan Rakyat


Untuk lebih memahami konteks pertambangan rakyat, kita harus melihat
pertambangan rakyat dari aspek legalitasnya. Pertambangan rakyat dibedakan
menjadi dua, yaitu pertambangan yang legal dalam bentuk Izin Pertambangan Rakyat
(IPR) dan Ilegal dalam bentuk Pertambangan tanpa Izin (PETI) seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 12. Kegiatan Pertambangan Rakyat menurut UU adalah
kegiatan yang legal dan berizin, sedangkan kegiatan pertambangan yang dilakukan
oleh masyarakat hampir semuanya tidak berizin atau ilegal.
Sejauh ini khususnya di Indonesia belum ada kesepakatan pemahaman mengenai
pengertian tambang rakyat. Di dalam UU 3/2020 yang dimaksud dengan Izin
Pertambangan Rakyat (IPR) adalah Izin untuk melaksanakan usaha pertambangan
dalam Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dengan luas wilayah dan investasi
terbatas. Dalam UU tersebut diatur juga bahwa pemegang IPR adalah Perseorangan
atau Koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat. Saat ini banyak
digunakan terminologi Penambang Emas Skala Kecil (PESK) padahal di dalam UU
3/2020 tidak ada istilah PESK dikarenakan belum adanya klasifikasi mengenai skala
pertambangan.
Berdasarkan UU 11/1967, Pertambangan Rakyat adalah suatu pertambangan bahan-
bahan galian dari semua golongan a, b, dan c seperti yang dimaksud dalam pasal 3
ayat (1) yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-
royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri sedangkan
berdasarkan Perpu 37/1960 rakyat adalah warga setempat yang sudah turun temurun
tinggal di daerah tersebut.
Kondisi yang ada saat ini, ada persepsi keliru dan pemahaman yang salah terhadap
pelaksanaan tambang rakyat. Kegiatan PETI sering dilaksanakan dengan asumsi
atau berkedok sebagai Pertambangan Rakyat (PERA). Hal ini tentunya menyebabkan
adanya kendala dalam pelaksanaan penertiban dan pengelolaan tambang rakyat itu
sendiri serta keberadaan PETI tidak memberikan kontribusi penerimaan negara serta
merusak lingkungan akibat kegiatan yang tidak bertanggung jawab.
Dalam rangka melakukan pembinaan dan penertiban PETI dapat dibedakan dengan
prinsip utama bahwa tambang rakyat adalah kegiatan pertambangan yang
dilaksanakan oleh masyarakat lokal atau penduduk setempat. Dengan demikian
apabila kegiatan pertambangan atau kegiatan PETI yang dilakukan oleh masyarakat

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 22


atau penduduk pendatang tentunya dapat secara langsung dilakukan penegakan
hukum dan penutupan kegiatan.
Hal ini dapat kita lihat berdasarkan sejarah bahwa pertambangan rakyat adalah
kegiatan tambang yang dilakukan oleh penduduk setempat dan dalam konteks untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Apabila kita melihat pada peraturan terdahulu
misal pada Permentamben 1/1986 mengenai Pedoman Pengelolaan Pertambangan
Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (Golongan A dan B) telah diatur bahwa untuk
mendapatkan Izin Pertambangan Rakyat perlu melampirkan syarat-syarat yang
meliputi penjelasan tentang riwayat usaha pertambangan rakyat yang bersangkutan,
penjelasan tentang tata guna tanah, surat tidak keberatan dari pemilik lahan serta
penjelasan tentang penduduk setempat sebagai peserta dalam usaha pertambangan
rakyat atau kelompok pertambangan rakyat.

Pertambangan
Rakyat

Legal (IPR) Ilegal (PETI)

Gambar 12. Legalitas Pertambangan Rakyat


Dikarenakan sifatnya yang hanya untuk pemenuhan hidup sehari-hari maka
penambang rakyat dilarang untuk menggunakan alat-alat berat dan bahan peledak,
akan tetapi perkembangan saat ini banyak penambang rakyat yang melakukan
kegiatan penambangan pada endapan batuan yang keras sehingga diperlukan
bantuan alat-alat berat. Hal ini tentunya harus disiapkan pedoman teknis tentang tata
kelola pelaksanaan kegiatan pertambangan rakyat sebagai pedoman pembinaan
pengusahaan dan pelaksanaan kaidah teknis pertambangan rakyat yang baik sebagai
aturan turunan dari UU 3/2020.
Lebih lanjut di dalam UU 3/2020 pasal 73 ayat (1) disebutkan bahwa Menteri
melaksanakan pembinaan di bidang pengusahaan, teknologi Pertambangan, serta
permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan kemampuan IPR dan ayat
(2) Menteri bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kaidah teknis pada IPR yang
meliputi keselamatan Pertambangan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk
Reklamasi dan Pascatambang. Sedangkan kewajiban bagi pemegang IPR sesuai UU
3/2020 pasal 70 Pemegang IPR memiliki kewajiban untuk a. melakukan kegiatan
Penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan; b. mematuhi
peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan Pertambangan, pengelolaan
lingkungan dan memenuhi standar yang berlaku; c. mengelola lingkungan hidup
bersama Menteri; d. membayar iuran Pertambangan rakyat; dan e. menyampaikan
laporan pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan rakyat secara berkala kepada
Menteri.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 23


3.2. Aktivitas Tambang Rakyat Pada Wilayah yang Belum Ditetapkan Sebagai
WPR
Mengacu kepada UU 4/2009 Pasal 24 yang menyebutkan bahwa Wilayah atau tempat
kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tapi belum ditetapkan sebagai WPR
diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR. Namun demikian pada UU 3/2020
kriteria untuk menetapkan WPR dengan klausul: “merupakan wilayah atau tempat
kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas)
tahun” telah dicabut. Untuk itu perlu dibuat peraturan perundangan turunan lebih lanjut
untuk membuat detail pelaksanaan penetapan WPR dari kegiatan tambang rakyat
yang sudah eksisting atau sudah dikerjakan. Kriteria-kriteria yang dapat menjadi
pertimbangan dalam penetapan WPR bagi tambang rakyat yang sudah dikerjakan
antara lain wilayah yang dikerjakan oleh tambang rakyat tidak tumpang tindih dengan
perkebunan, kehutanan, pertanian. Dengan demikian dapat diusulkan dan ditetapkan
menjadi WPR sesuai UU 4/2009 Pasal 24.
Kendala yang dihadapi adalah bagaimana melakukan evaluasi terhadap seluruh
kegiatan tambang rakyat yang sesuai dengan kriteria yang disebutkan dan pasal 24
UU 4/2009 yang ada di seluruh Indonesia sehingga diperoleh data yang valid untuk
memisahkan antara tambang rakyat dan PETI.

3.3. Hasil Kunjungan Lapangan


Dalam tahapan penyusunan kajian, telah dilakukan kunjungan lapangan sebanyak 2
(dua) kali ke lokasi penambangan dan pengolahan tambang rakyat.
Kunjungan pertama yaitu ke lokasi penambang rakyat komoditas emas yang terletak
di Blok Tengki, Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi,
Provinsi Jawa Barat. Di lokasi ini para penambang dikoordinir oleh Komunitas
Penambang Sukabumi (KPS) dan menjadi anggota Asosiasi Penambang Rakyat
Indonesia (APRI). Kegiatan tambang rakyat ini telah dilakukan selama 4 generasi
secara turun temurun atau sejak zaman Belanda berdasarkan hasil diskusi dengan
para penambang. Di Lokasi tersebut diperkirakan terdapat 37 lubang tambang
dengan kedalaman antara 60 - 120 meter dan mencakup luas wilayah sekitar 3 Ha.
Masing-masing lubang mempunyai jumlah pekerja (penambang) sebanyak 20 - 60
orang, dengan total penambang diperkirakan sekitar 2000 orang. Salah satu lubang
penambangan ditunjukkan pada Gambar 13.Lebar urat emas diperkirakan 40 cm dan
produksi rata-rata dari masing-masing lubang tambang adalah 100 karung (1 karung
kurang lebih 40 – 50 kg) per hari dengan kadar emas per karung adalah 2 – 3 gram.
Pengolahan bijih dilakukan di rumah masing – masing pemilik lubang dan
menghasilkan bullion dengan kadar emas sekitar 80 persen, dan kemudian dijual ke
toko emas (penampung) sekitar dengan harga 600.000 per gram.Pembagian hasil
penjualan emas adalah sebagai berikut: 40% untuk Penambang, 25% untuk Koperasi,
20% untuk Pemilik Alat, dan 15% untuk Pemilik Lubang.Wilayah ini sudah diusulkan
oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk diusulkan menjadi wilayah WPR sehingga
diharapkan dapat menjadi Role Model dan Center Of Excellence.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 24


Gambar 13. Lubang Galian Tambang Rakyat
Kunjungan kedua yaitu ke lokasi pengolahan emas yang tidak menggunakan sianida
dan merkuri namun menggunakan reagen kimia Inichem Dressing Agent (IDA) yang
ramah lingkungan yang berlokasi di Desa Harumsari, Kecamatan Cipanas, Kabupaten
Lebak, Provinsi Banten. Di lokasi Pengolahan emas ini terdapat kurang lebih 100
gelondong/tromol yang digunakan untuk menghancurkan batuan serta terdapat
kurang lebih 10 tong pengolahan yang menggunakan IDA (Gambar 14). Berdasarkan
hasil diskusi dengan APRI, IDA adalah kompenen bahan kimia yang bisa membentuk
unsur karbon dan nitrogen. Unsur inilah yang akan membentuk kompleks emas,
mengikatnya membentuk C,Na,O,H yang masuk dalam kategori garam lemah.
Bereaksi dengan logam dan dibentuk menjadi alkali dengan derajat keasaman (PH)
10,5-11,5 serta tidak berbau atau tidak membentuk gas HCN pada saat PH turun di
bawah 10. Proses ekstraksi emas yang semula 48 jam menggunakan sianida, dengan
IDA ini hanya membutuhkan waktu 36 jam. Puslitbang Tekmira KESDM menyatakan
bahwa hasil lab mereka berdasarkan sampel yang diserahkan oleh APRI relatif tidak
mempunyai kandungan merkuri dan sianida. Reagent yang digunakan oleh APRI
adalah pupuk dan nitrit, akan tetapi belum diketahui berapa recovery rate pengolahan
yang dihasilkan dengan menggunakan reagent ini.

Gambar 14. Tong Pengolahan menggunakan IDA

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 25


3.4. Permasalahan yang dihadapi oleh Pertambangan Rakyat
Berdasarkan hasil studi literatur dan beberapa pembahasan bersama para pemangku
kepentingan, beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan
pertambangan rakyat dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini:
Tabel 7. Permasalahan Tambang Rakyat

No. Aspek Permasalahan


Proses perizinan yang cukup lama hingga bertahun-tahun.
Tumpang tindih kebijakan antara KESDM dan KLHK.
Tata Kelola Tidak adanya persamaan persepsi terkait definisi dan kriteria pertambangan
1 rakyat.
Pertambangan
Dengan hilangnya batubara dari komoditas yang dapat diberikan sebagai IPR
menyebabkan adanya sekitar 20.000 penambang batubara yang tergabung dalam
APRI tidak dapat dilegalkan dan memerlukan solusi terobosan lainnya.
Tanah yang digunakan berada di lokasi perkebunan dan pertanian dan kehutanan,
Tumpang Tindih Lahan dengan Kawasan HGU perkebunan sehingga tidak bisa
dijadikan WPR, perlu dibicarakan mana yang lebih dahulu dikerjakan,
2 Wilayah pertambangan atau perkebunan.
WPR yang telah ditetapkan oleh pemerintah tidak memiliki kandungan atau
cadangan mineral dan batubara sehingga mereka menambang di tempat lain
termasuk dalam wilayah izin usaha pertambangan berizin.
Tidak mempunyai akses terhadap tanah.
Tidak memahami peraturan perundangan terkait dengan mineral dan batubara.
3 Penambang
Tidak ada mata pencaharian lain untuk alih profesi.
Tidak mempunyai kemampuan teknis penambangan dan pengolahan yang baik.
Pembatasan penggunaan alat berat sesuai Pasal 48 PP23/2010 menyulitkan para
Teknologi penambang rakyat untuk melakukan kegiatan di batuan keras, karena batasan
Pertambangan, teknis tersebut hanya efektif untuk pertambangan jenis aluvial dengan batuan
4
Pengolahan dan sekunder.
Pemurnian Pengolahan masih menggunakan merkuri.
Recovery Pengolahan yang rendah.
Masyarakat tidak punya akses finansial sehingga dimanfaatkan para cukong tanpa
5 Permodalan
ada kontribusi kepada pemerintah.
Tidak dilaksanakannya pengelolaan dan pemantauan lingkungan sesuai peraturan
6 Pengelolaan Lingkungan
perundangan yang berlaku.
Pelaksanaan K3 K3 pertambangan dalam kegiatan tambang rakyat tidak terlaksana dengan
7
Pertambangan bertanggungjawab.

3.5. Kendala Permohonan dan Penetapan WPR – IPR


Beberapa kendala pada proses permohonan dan penetapan WPR – IPR, yaitu
sebagai berikut:
Berdasarkan UU 23/2014, WPR masuk ke dalam WP menjadi kewenangan pusat.
Dalam penetapannya WP tersebut ditetapkan 5 tahun sekali sehingga menyulitkan
ketika ada usulan baru mengenai WPR;
Wilayah yang akan diusulkan menjadi WPR juga banyak yang tumpang tindih
dengan sektor lain misalnya sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, dan ada
wilayah-wilayah yang merupakan hutan konservasi;
Belum semua Pemerintah Provinsi melakukan inventarisasi wilayah yang dapat
diusulkan menjadi WPR, dan Pemerintah Provinsi juga belm mendapatkan usulan
dari Pemerintah Kabupaten;
Pemerintah Provinsi harus menyiapkan seluruh kelengkapan dokumen seperti
dokumen AMDAL, Rencana Reklamasi dan Pasca Tambang serta dana untuk
kegiatan eksplorasi, pembinaan dan pengawasan, dll, hal ini tentunya akan sangat

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 26


memberatkan Pemerintah Provinsi, terutama Pemerintah Provinsi yang tidak
mempunyai kompetensi dan kapabilitas baik dari sumber daya manusia atau
pendanaan;
Terkait permasalahan penetapan WPR, Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu
mengacu pada ketentuan Pasal 24 UU 4/2009. Pasal tersebut menjelaskan bahwa
wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tapi belum
ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR. Oleh
sebab itu Pemerintah Melalui Kementerian ESDM bersama dengan Kementerian
dalam Negeri harus aktif mendorong Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk melakukan inventarisasi pertambangan ilegal oleh
masyarakat untuk diusulkan menjadi WPR kepada Menteri ESDM agar wilayah-
wilayah pertambangan yang saat ini dikuasai dan dimanfaatkan oleh masyarakat
dapat ditetapkan menjadi WPR;

3.6. Pembinaan dan Pengawasan Pertambangan Rakyat


Kementerian ESDM dan Pemerintah Provinsi berdasarkan Undang-undang nomor 4
tahun 2009 dan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 mempunyai kewenangan
dalam tata kelola pertambangan mineral dan batubara. Pembinaan dan pengawasan
hanya dapat dilakukan oleh Inspektur Tambang bagi Pertambangan Rakyat (PERA)
yang berijin/ legal (IPR) sebagai berikut:

Pasal 69, 73, 139 – 144 UU 4/2009 mengatur tentang pembinaan dan
pengawasan;
Pasal 73 UU 3/2020 mengatur tentang pembinaan dan pengawasan yang
dilakukan oleh Menteri;
Pasal 24 UU 4/2009: Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah
dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan
sebagai WPR.
PP 55 tahun 2010 Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan
Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara
Kepmen ESDM no. 1827/2018 tentang Pedoman pelaksanaan Kaidah Teknik
Pertambangan yang Baik dalam lampiran 2 butir 8 poin p: penggunaan bahan
kimia beracun (sianida, asam sulfat, asam nitrat, caustic soda, dan sejenisnya)
dan poin q: penggunaan merkuri untuk proses pengolahan dan pemurnian
dilarang.
Pengawasan oleh daerah Kab/kota tidak efektif, sejak pemberlakuan UU 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan daerah, sejalan dengan hilangnya kewenangan
perizinan oleh Bupati/Walkot di Bidang Minerba termasuk WPR dan IPR. Pengawasan
akan efektif jika dilakukan sendiri oleh pemberi IPR.
Sifat permisif masyarakat/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga memicu
maraknya PETI dengan dalih Pertambangan Rakyat padahal justru banyak merugikan
negara dan tidak mensejahterakan rakyat. Pembinaan dan pengawasan tambang
rakyat harus diutamakan, apabila tidak bisa dibina maka akan ditertibkan. Pembinaan
kepada penambang rakyat harus dari pemerintah. Konsep Bapak asuh dan bapak

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 27


angkat untuk pertambangan rakyat yang dimotori oleh Perusahaan BUMN dapat
merupakan salah satu solusi untuk membantu pertambangan rakyat.
Aspek sosial dalam penanganan pertambangan rakyat perlu menjadi fokus utama
melalui pembinaan dan pengawasan, dan upaya penegakan hukum sebagai langkah
terakhir adalah hal yang perlu dilaksanakan. Untuk itu, perlu dikaji analisis dampak
positif dan negatif dari kegiatan pertambangan rakyat atau PETI.
Kegiatan pertambangan rakyat juga harus memenuhi aspek Good Mining Practices
khususnya meliputi pengelolaan lingkungan (penambangan tanpa merkuri) dan
keselamatan pertambangan serta perlu dilakukan mediasi oleh pemerintah terhadap
masyarakat setempat yang melakukan kegiatan penambangan didalam wilayah
perkebunan/pertanian atau wilayah izin lainnya dengan pemilik izin, agar tidak terjadi
benturan kepentingan.
Dalam rangka mengoptimalkan kinerja Inspektur Tambang, pemerintah perlu
menambah anggaran pengawasan untuk Inspektur Tambang agar dapat dipastikan
setiap perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan tidak melakukan operasi produksi
dan/atau penjualan. Selain itu, untuk mengatasi keterbatasan anggaran, sumberdaya
manusia serta lokasi yang sulit dijangkau, pemerintah perlu mengembangkan model
pengawasan secara digital dengan memanfaatkan teknologi informasi agar setiap
aktivitas pertambangan dapat selalu dimonitor.
Selain Inspektur Tambang, terdapat juga Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ditjen
Minerba yang mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap pertambangan ilegal berdasarkan pasal 149 UU 4/2009. Namun hingga saat
ini kegiatan PPNS hanya melakukan pengumpulan bahan dan keterangan. Kendala-
kendala yang dihadapi dan perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan peran PPNS
antara lain sebagai berikut:
1. Belum adanya wadah organisasi PPNS secara struktural di lingkungan
Kementerian ESDM khususnya Ditjen Minerba hal ini tentunya menjadi tantangan
dalam penanggulangan PETI;
2. Rasio Jumlah PPNS Ditjen Minerba terhadap jumlah Izin Pertambangan Minerba
yang dikelola belum memiliki angka ideal sebagai contoh saat ini jumlah PPNS
Ditjen Minerba hanya berjumlah 34 orang. Tentunya perlu dilakukan analisis lebih
lanjut mengenai jumlah kebutuhan PPNS yang tepat untuk menangani seluruh
permasalahan di sub sektor minerba;
3. Belum ada sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan operasional PPNS;
dan
4. Belum ada anggaran khusus untuk mendukung tugas penyidikan.
Hambatan di atas harus menjadi perhatian untuk memperkuat kelembagaan PPNS di
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara karena peran PPNS yang cukup penting
dalam pemberantasan PETI. Para PPNS juga memerlukan insentif dan kenaikan
pangkat apabila berhasil melakukan penindakan terhadap PETI.
Selain kementerian ESDM, Pemerintah Provinsi juga memiliki peran dalam upaya
pencegahan dan penertiban pertambangan ilegal dengan melakukan pengawasan

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 28


terhadap kegiatan usaha pertambangan yang memiliki izin. Proses pengawasan
dapat dilakukan melalui evaluasi terhadap kinerja perusahaan melalui dokumen
RKAB, sehingga tidak hanya melakukan evaluasi terhadap dokumen administrasi.
Pengawasan juga harus dilakukan melalui pengecekan di lapangan secara berkala
untuk memastikan kesesuaian antara laporan administrasi dengan fakta lapangan.
Untuk Penertiban PETI seharusnya dilakukan oleh POLRI. Kepolisian merupakan
institusi yang bertugas memelihara keamanan dan ketertibatan masyarakat,
menegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Namun
penegakan hukum pertambangan ilegal oleh Polri masih tebang pilih. Adanya
keterlibatan oknum aparat membuat beberapa kasus PETI sulit terungkap, hal ini
menyebabkan koordinasi antara PPNS Ditjen Minerba Kementerian ESDM dan PPNS
Gakum KLHK dengan Polri dalam melakukan upaya penanganan aktivitas PETI
cenderung tidak efektif.
Diketahui bahwa selama ini pengawasan terhadap aktivitas PETI berjalan secara
parsial berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Setidaknya terdapat 4 (empat) instansi
yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan, yaitu Kementerian ESDM,
Kementerian LHK, Kepolisian dan Pemerintah Provinsi. Masing-masing Instansi
memiliki perbedaan persepsi terkait PETI dan belum melakukan koordinasi secara
intensif dalam pertukaran informasi. Koordinasi antar instansi hanya dilakukan
berdasarkan kasus yang dilaporkan, tetapi tidak ada upaya pencegahan yang
dilakukan oleh masing-masing instansi, sehingga belum cukup untuk menghentikan
PETI yang masif dilakukan.

3.7. Kegiatan Pengendalian Merkuri


Pemerintah berkomitmen untuk menghapus dan mengurangi penggunaan merkuri di
Indonesia terutama yang dihasilkan dari aktivitas Pertambangan Emas Skala Kecil
(PESK) hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang
Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN-PPM).
KESDM dalam hal ini Ditjen Minerba bertanggung Jawab untuk mengisi lampiran
dalam Perpres tersebut sebagai berikut:
Mengisi form C.1.1 mengenai bidang prioritas Pertambangan Emas Skala Kecil
(PESK) yang terdiri dari form C.1.1.1 mengenai melakukan sosialisasi kebijakan
kepada pemerintah Daerah Provinsi dan form C.1.1.2 mengenai melakukan
monitoring dan evaluasi (Monev) terhadap penerapan Kepmen ESDM tentang
pelarangan pengolahan emas menggunakan amalgamasi.
Mengisi form C5.1.6 mengenai peningkatan pemahaman good mining practice
bagi pelaku usaha izin pertambangan rakyat (IPR) di dalam lampiran Perpres
tersebut.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 29


Untuk realisasi pada tahun 2020, KESDM telah melakukan beberapa hal berikut:
Sosialiasi penghapusan merkuri pada penambangan emas skala kecil (PESK) di
4 Provinsi (Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Yogyakarta, dan Kalimantan
Tengah);
Menyelenggarakan Monev terhadap penerapan Kepmen ESDM tentang
pelarangan pengelolaan penggunaan emas menggunakan merkuri di 4 provinsi
(Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Yogyakarta dan Kalimantan Tengah);
Sudah terlaksana kegiatan peningkatan pemahaman pemahaman good mining
practice bagi pelaku usaha IPR yang sebanyak 1 (satu) kali dari target 2 (dua) kali,
dengan capaian pelaksanaan terhadap pemegang IPR di D.I. Yogyakarta secara
daring. Pencapaian yang belum sesuai target disebabkan adanya pandemi
COVID-19.
Bahan alternatif kimia utama yang disarankan untuk menggantikan merkuri dalam
kegiatan pengolahan emas yaitu sianida selain beberapa alternatif lainnya. Saat ini
KLHK sedang melakukan inventarisasi data PESK yang menggunakan merkuri.
Pengolahan emas yang dilakukan oleh para penambang rakyat harus benar-benar
diawasi terutama pengolahan limbahnya sehingga memenuhi standar lingkungan
hidup. Lebih baik melakukan pencegahan daripada melakukan pembenahan terhadap
lingkungan hidup yang sudah rusak. Untuk Pengolahan emas dengan menggunakan
Natrium sianida, limbahnya harus diolah sesuai dengan SOP yang benar sehingga
tidak menjadi racun baik di dalam lingkungan tambang itu sendiri ataupun setelah
limbahnya dibuang ke sungai.
KLHK telah melakukan Pembangunan Fasilitas Pengolahan Emas Non Merkuri di 7
(tujuh) lokasi yang diatur pada APBN pada tahun 2017-2019 seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 8 . Perizinan fasilitas-fasilitas tersebut diberikan oleh Pemerintah Daerah
dan proyek-proyek ini masih termasuk dalam skala pilot project sehingga izin
lingkungannya hanya dalam bentuk UPL/UKL. KLHK sudah memberikan alat kepada
PESK untuk tidak menggunakan merkuri, namun sampai saat ini masih mengalami
kendala dalam formalisasi kegiatan PESK.
Tabel 8. Pembangunan Fasilitas Pengolahan Emas Non Merkuri KLHK
Tahun
Kapasitas Jumlah
No. Lokasi Pemban Teknologi
Pengolahan Bijih Penambang
gunan
Desa Lebaksitu, Kecamatan Lebakgedong,
1 2017 Sianidasi 1,5 ton/batch 18 orang
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
Desa Pelangan, Kecamatan Sekotong,
2 Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa 2018 Sianidasi 1,2 ton/batch 30 orang
Tenggara Barat
Desa Sambi, Kecamatan Arut Utara,
3 Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi 2018 Sianidasi 0,5 ton/batch 22 orang
Kalimantan Tengah
Desa Kadundung, Kecamatan Latimojong, Konsentrasi
4 2018 0,75 ton/hari 20 orang
Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan Gravitasi
Desa Ramang, Kecamatan Buntulia, Konsentrasi
5 2019 180 kg/hari 25 orang
Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo Gravitasi
Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia, Konsentrasi
6 2019 150 kg/hari 22 orang
Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo Gravitasi
Desa Anggai, Kecamatan Obi, Kabupaten
7 2019 Sianidasi 1 ton/batch 28 orang
Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 30


Salah satu Proyek percontohan pengolahan emas tanpa merkuri yang telah dilakukan
oleh KLHK dan BPPT adalah di Kulon Progo, DIY. Pabrik pengolahan ini
menggunakan bahan kimia sianida dengan nilai recovery berkisar antara 85 – 92%,
sedangkan apabila menggunakan merkuri hanya menghasilkan recovery rate sebesar
45%. Kedepannya untuk pengawasan operasional pihak BPPT akan bekerja sama
dengan pihak UPN Veteran Yogyakarta.
Untuk Pabrik Pengolahan Emas yang dibuat oleh KLHK dan bekerja sama dengan
BPPT yang berlokasi di Sekotong untuk saat ini statusnya tidak berjalan (mangkrak)
dikarenakan pertambangan rakyat di wilayah tersebut bukanlah masuk wilayah WPR
dan tidak ada IPR yang diterbitkan di dalam area tersebut, walaupun secara potensi
pertambangan rakyat disitu sangat besar. Pihak dari BPPT dan KLHK sudah
menghadap Gubernur untuk memohon agar area tersebut dapat diusulkan menjadi
WPR, akan tetapi Gubernur tidak berkenan dikarenakan rencana dari pemerintah
daerah adalah untuk membuat kawasan wisata di Sekotong.
Program pendampingan terhadap Penambang Rakyat yang telah dilakukan oleh
GOLD ISMIA dengan dukungan UNDP meliputi pendampingan intensif dalam hal
teknologi, pembiayaan, lingkungan termasuk pengelolaannya kepada para
penambang rakyat. Tujuan dari proyek Gold-ISMIA ini adalah
mengurangi/menghilangkan penggunaan merkuri di PESK dengan cara memberikan
bantuan teknis, transfer teknologi, pembentukan kemitraan antara swasta-publik dan
akses terhadap pendanaan untuk pembelian peralatan pengolahan emas tanpa
merkuri.
Ada empat keluaran yang diharapkan, yang pertama yaitu penguatan lembaga dan
kerangka kebijakan/peraturan untuk PESK tanpa merkuri. Kedua yaitu pembentukan
sistem pembiayaan untuk penyediaan pinjaman untuk pembelian peralatan
pengolahan emas tanpa merkuri. Ketiga yaitu peningkatan kapasitas teknis PESK
melalui bantuan teknis, transfer teknologi dan dukungan terhadap formalisasi. Dan
terakhir yaitu monitoring dan evaluasi dan penyadartahuan masyarakat terkait bahaya
merkuri. Proyek ini berlokasi di 6 lokasi proyek : Gorontalo Utara, Minahasa Utara,
Kuantan Singingi, Kulon Progo, Lombok Barat dan Halmahera Selatan seperti yang
ditunjukan pada Gambar 15.

Gambar 15. Peta Proyek Pembangunan Pabrik Pengolahan Emas (PESK)


Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 31
3.8. Izin lingkungan terkait tambang rakyat
Izin Lingkungan diberikan untuk setiap orang yang akan melakukan kegiatan usaha
dan Izin lingkungan harus sesuai dengan Tata Ruang. Izin lingkungan menjadi syarat
dalam regulasi dan dapat menjadi kendala bagi pelaku usaha. Khusus untuk Mineral
dan Batubara diatur dalam Permen LH 38/2019, dan Izin Usaha semuanya
mewajibkan adanya izin lingkungan.
Untuk Pertambangan Rakyat sendiri wajib mempunyai AMDAL kawasan (pasal 8 PP
27/2012) dimana AMDAL tersebut dibuat oleh Pemerintah yang mencakup informasi
sebagai berikut: berapa lokasi pengolahan, berapa lokasi penambangan dan jika ada
perubahan jumlahnya maka dapat direvisi dalam AMDAL tersebut. Untuk pelaku
Pertambangan Rakyat hanya membuat SPPL (Surat Pernyataan Pengelolaan
Lingkungan ) di dalam AMDAL Kawasan (pasal 32 UU 32 /2009). Untuk pelaksanaan
di daerah maka dokumen ini dibuat oleh Dinas Pertambangan dan kemudian dinilai
oleh Dinas Lingkungan Hidup. Penilaian ini juga didasarkan berdasarkan Tata Ruang
yang ada, jika tidak ada maka harus dibuat/disesuaikan dahulu tata ruangnya dimana
WPR ini terakomodir. Diagram alir yang untuk pengecualian Wajib AMDAL bagi
penambang rakyat dijelaskan pada Gambar 16.

Gambar 16. Pengecualian wajib AMDAL bagi penambang rakyat


Dalam Proyek Percontohan pengolahan emas tanpa merkuri yang dilakukan BPPT di
Kulon Progo, DIY, Izin lingkungan yang digunakan adalah Rencana Pengelolaan
Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Dasar yang
digunakan adalah bahwa proyek percontohan ini merupakan kegiatan penelitian.
Kendala yang timbul adalah apabila fasilitas pengolahan dan pemurnian ini
diserahkan kepada koperasi ataupun BUMDes sebagai fasilitas pengolahan dan
pemurnian tambang rakyat maka dasar kegiatan penelitian untuk fasilitas pengolahan
dan pemurnian tersebut menjadi tidak tepat karena fasilitas tersebut menjadi skala
komersial. Hal ini sesuai dengan peraturan perundangan terkait lingkungan maka

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 32


diwajibkan menyusun AMDAL dan melakukan kegiatan upaya pengelolaan
lingkungan (UKL) dan pemantauan lingkungan (UPL) yang tentunya memiliki beban-
beban biaya untuk memenuhi standar baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
Keadaan ini akan memberatkan pemegang IPR dengan adanya kewajiban tersebut
oleh karenanya perlu dipikirkan mekanisme kemudahan dalam kewajiban pelaporan
hasil kegiatan UKL – UPL agar transformasi penyerahan fasilitas proyek percontohan
yang ada menjadi lebih ekonomis dan bermanfaat bagi pertambangan rakyat.

3.9. Permasalahan regulasi dan kebijakan


Persoalan yang saat ini banyak berkembang di Indonesia yang ditimbulkan akibat
aktivitas yang dilakukan oleh para penambang tidak dapat dilepaskan dari persoalan
perizinan. Idealnya, melalui perizinan sebagaimana ketentuan yang ada, maka semua
telah diatur dalam peraturan di tingkat pusat dan dijabarkan di tingkat daerah. Namun
ternyata dalam kenyataannya, karena situasi dan kondisi pertambangan rakyat yang
ada sulit memenuhi ketentuan perizinan, maka yang terjadi adalah sebaliknya.
Terdapat berapa permasalahan dalam pertambangan rakyat baik dari segi regulasi
maupun kebijakan yang ada, regulasi dan kebijakan yang ada saat ini masih
dipandang belum mampu untuk menyelesaikan permasalahan pertambangan rakyat
yang terjadi di lapangan. Hal ini diperburuk dengan adanya oknum aparat yang
bermain, baik aparat keamanan mapun pemerintah daerah yang malah menjadi
pemodal dan pemilik tromol serta tong sianida serta oknum keamanan yang
melakukan pungutan kepada para penambang.
Terdapat dua permasalahan pokok dalam penerbitan dan tata kelola IPR oleh
Pemerintah dan Pemerintah Provinsi (Gambar 17). Pertama, belum adanya peraturan
di tingkat pemerintah provinsi yang mengatur mengenai pedoman pelaksanaan tata
kelola IPR, Padahal pada pasal 72 UU Minerba nomor 4 tahun 2009 menyebutkan
bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IPR diatur oleh peraturan
daerah.

Belum adanya
peraturan di WPR yang
tingkat Pemerintah ditentukan oleh
Provinsi yang
mengatur
mengenai
Pemda tidak
memiliki
kandungan atau
PETI
pelaksanaan Tata cadangan minerba
Kelola IPR

Gambar 17. Penyebab Utama masalah PETI


3.9.1. Regulasi Tambang Rakyat
Persoalan terkait pertambangan rakyat adalah tidak adanya regulasi yang memadai
untuk mengatur keberadaannya. UU No.3 tahun 2020 lebih mengarahkan pada upaya
melakukan pembatasan terhadap aktivitas tambang rakyat diantaranya dengan
pembatasan luasan wilayah ataupun pembatasan teknis penambangan sedangkan
untuk pembuatan regulasi turunan di tingkat daerah misalnya melalui peraturan

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 33


daerah tidak mudah untuk dilaksanakan sehingga Pemerintah Provinsi belum
mempunyai wewenang yang memungkinkan pengaturan terkait pertambangan rakyat
Hingga saat ini masih banyak Kabupaten maupun Kota dan Provinsi yang belum
memiliki Peraturan Daerah terkait dengan WPR. Untuk Kondisi objektif IPR itu sendiri
sering disalahgunakan untuk menambang di area diluar wilayah IPR sehingga tidak
ada bedanya dengan IUP. Dalam regulasi sendiri pun terdapat kerancuan norma
dengan dihapusnya Pasal 21 UU 4/2009, tetapi Pasal 24 dan 25 UU 3/2020 masih
mengacu kepada pasal tersebut. Mengenai permasalahan belum adanya peraturan
daerah terkait dengan pedoman pelaksanaan tata kelola IPR, Menteri ESDM cq
Direktur Jenderal Minerba harus melakukan penyederhanaan regulasi dengan
mengutamakan kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh IPR.
Sejak diterbitkannya UU No. 11/1967 hingga UU No. 3/2020, meski tidak ditutup
kesempatan untuk Pertambangan Rakyat, namun persyaratan, ruang lingkup, serta
batasan-batasan yang dibuat menyulitkan rakyat untuk memenuhi aspek perizinan
tersebut (WPR, IPR, AMDAL/UKL-UPL, IPPKH). Selama ini Penambang Rakyat
diperlakukan seperti perusahaan sedangkan penambang rakyat tidak mempunyai
kemampuan baik secara finansial ataupun sumber daya manusia yang setara dengan
perusahaan, sehingga pada prakteknya banyak penambang rakyat yang kesulitan
untuk memenuhi aspek-aspek yang disebutkan di dalam peraturan perundang-
undangan.
Sebagai contoh dalam Pertambangan Emas Skala Kecil, semua kegiatan pengolahan
logam memerlukan AMDAL dan limbah yang dihasilkan dari pengelolaan emas
merupakan limbah yang dikategorikan dalam limbah B3 sesuai dengan Undang-
undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup termasuk dalam kode limbah B416 dengan jenis Limbah B3 berupa tailing.
Penambang Rakyat juga banyak yang tidak memperdulikan aspek lingkungan
maupun keselamatan kerja maupun perbaikan lingkungan pasca tambang, sehingga
sebenarnya perlu dilakukan pendekatan persuasif kepada para penambang rakyat ini
sehingga dapat mengubah sifat negatif para penambang seperti kesadaran hukum
rendah, tanggung jawab rendah, berorientasi jangka pendek menjadi sifat positif yaitu
taat hukum, bertanggung jawab kepada diri sendiri dan lingkungannya serta
berorientasi kepada jangka panjang.
3.9.2. Kebijakan tambang rakyat
Sesuai dengan 9 (sembilan) Visi Misi Presiden tahun 2020 – 2024 yaitu:
1. Peningkatan Kualitas Manusia Indonesia
2. Struktur Ekonomi yang produktif mandiri dan berdaya saing
3. Pembangunan yang merata dan berkeadilan
4. Mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan
5. Kemajuan Bangsa yang mencerminkan Kepribadian Bangsa
6. Penegakan Sistem Hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya
7. Perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh
warga

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 34


8. Pengelolaan pemerintah yang bersih, efektif dan terpercaya
9. Sinergi Pemerintah Daerah dalam Kerangka Negara kesatuan
Dan melihat 7 (tujuh) agenda pembangunan, maka kebijakan terkait tambang rakyat
mengacu kepada peningkatan ketahanan ekonomi, mengembangkan wilayah untuk
mengurangi kesenjangan serta meningkatkan sumberdaya manusia yang berkualitas
dan berdaya saing serta membangun lingkungan hidup.
Visi misi Presiden dan Agenda Pembangunan ini kemudian dituangkan ke dalam
Renstra KESDM tahun 2020 – 2024 (4 Agenda) yaitu :
1. Peningkatan Kemandirian dan Ketahanan Energi,
2. Optimalisasi pengelolaan energi dan mineral yang bekelanjutan dalam rangka
meningkatkan nilai tambah,
3. Penguatan kapasitas organisasi dalam rangka menjadi penggerak utama sektor
ESDM dan;
4. Ketersediaan data dan informasi mitigasi dan penanggulangan kebencanaan
geologi yang cepat dan akurat.
Renstra KESDM kemudian dituangkan lagi dalam Sasaran Strategis dan Indikator
Kinerja Utama (IKU) DJMB 2020 – 2024. Dalam Renstra dan IKU Ditjen Minerba
belum ada kebijakan spesifik yang ditujukan untuk sektor pertambangan rakyat,
terutama dalam mebenahi perizinan di sektor Hulu (Penetapan WPR dan IPR) serta
Kegiatan Penertiban atau formalisasi dan legalisasi Pertambangan Tanpa Izin (PETI).
Sedangkan dari Kementerian Lingkungan Hidup, sesuai dengan Peraturan Presiden
nomor 21 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan
Penghapusan Merkuri dengan target pengurangan merkuri sektor Pertambangan
Emas Skala Kecil adalah sebesar 100% pada tahun 2025.
Untuk kebijakan di sektor usaha mikro kecil dan menengah yang mendukung kegiatan
tambang rakyat yang berizin atau proses formalisasi tambang rakyat dalam bentuk
usaha modal sudah mulai coba dilakukan oleh Dinas ESDM Jawa Tengah dengan
menggandeng Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah untuk memberikan bantuan
dengan bunga rendah sekitar 5%, serta pemerintah mencoba untuk dapat
memberikan bantuan teknis atau permodalan dengan metode hibah atau bantuan
sosial. Akan tetapi langkah ini baru dijalankan secara parsial dan belum dikerjakan
secara nasional dikarenakan belum ada kebijakan yang spesifik untuk mengaturnya.
Pandemi COVID-19 telah menyebabkan efek yang luar biasa terhadap masyarakat
baik dari aspek ekonomi, budaya dan sosial dan kegiatan tambang rakyat ini
diharapkan dapat menjadi salah satu penggerak dalam roda perekonomian
khususnya untuk masyarakat lokal di lingkar tambang Hal ini sejalan dengan Program
Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akibat pandemi COVID-19 sesuai
dengan PP 43 tahun 2020 dimana Pemerintah dapat memberikan Pinjaman ataupun
dengan belanja negara, tapi sejauh ini belum ada ketentuan yang mengatur mengenai
pertambangan rakyat masuk ke dalam UMKM yang dapat diberikan pinjaman ataupun
bantuan dana PEN Tersebut.
Kebijakan-kebijakan yang ada dipandang tidak pro terhadap tambang rakyat. Meski
nyatanya keberadaan Pertambangan Rakyat sedikit banyak berkontribusi dalam

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 35


pengentasan kemiskinan, namun pemerintah belum melihat Pertambangan Rakyat
sebagai salah satu sumber pendapatan masyarakat desa seperti layaknya pertanian,
perkebunan, dsb. Karenanya sebagian besar Penambang Rakyat “terpaksa” memilih
tetap menjadi PETI.

3.10. Langkah Strategis Pengelolaan Pertambangan Rakyat


Untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada kegiatan pertambangan rakyat,
maka perlu disusun langkah-langkah strategis sebagai dasar perbaikan dalam
pengelolaan pertambangan rakyat. Beberapa langka strategis tersebut dapat secara
detil dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Langkah-langkah Strategis Pertambangan Rakyat

No. Klaster Langkah Strategis


a. Pendataan awal terkait penambangan tanpa izin (PETI);
b. Inventarisasi isu terkait dengan kebijakan tambang rakyat;
c. Identifikasi lokasi PETI di dalam dan diluar wilayah Izin Pertambangan;
Data dan d. Perhitungan potensi kerugian negara akibat kegiatan PETI;
1
Informasi e. Pemetaan permasalahan dan penanganan PETI yang pernah dilakukan oleh
perusahaan
f. Integrasi data dan informasi pengelolaan pertambangan rakyat antar
Kementerian/Lembaga/Daerah sebagai baseline;
a. Definisi pertambangan rakyat perlu dikaji kembali, dengan
mempertimbangkan bahwa sekecil apapun usaha pertambangan tetap
memiliki resiko yang besar, modal, tanggung jawab kaidah pertambangan
yang baik yang sama;
b. Penyusunan konsep pengelolaan pertambangan rakyat dari hulu ke hilir;
c. Pengkajian terhadap teknologi terkait dengan tambang rakyat, isu keluarga
yang dibawa oleh pekerja tambang, kerugian negara, kerusakan lingkungan,
distribusi perdagangan emas, dan klasifikasi pertambangan rakyat
2 Tata Kelola berdasarkan jenis kegiatannya;
d. Perumusan Kebijakan dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait;
e. Penentuan kebijakan dalam penanganan PETI dan kebijakan yang telah
disusun dapat diimplementasikan dalam bentuk proyek percontohan di suatu
wilayah untuk mendapatkan umpan balik dari kebijakan tersebut sehingga
dapat diimplementasikan dalam skala yang lebih besar;
f. Pengolahan emas skala kecil (baik alluvial maupun primer dapat dilakukan
tanpa menggunakan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida
dengan proses direct smelting
a. Percepatan Legalisasi dan Formalisasi untuk kegiatan pertambangan rakyat
yang sudah berlangsung sejak lama atau turun-temurun melalui penetapan
WPR oleh Menteri yang diajukan Gubernur untuk menghindari konflik sosial,
kerusakan lingkungan hidup, perambahan hutan serta hilangnya potensi
penerimaan negara. Dalam proses ini harus diutamakan aspek pembinaan
dan pendampingan. Untuk Percepatan Penetapan WPR, wilayah yang
diprioritaskan yaitu:
Wilayah APL yang dikuasai oleh masyarakat/Greenfield dan tidak
Legalisasi dan tumpang tindih;
3
Formalisasi Kegiatan pertambangan rakyat di wilayah perkebunan (HGU) dan
kawasan hutan, tapi dalam mekanisme WPR dan IPR-nya perlu
mekanisme perundingan kepada penguasa lahan;
Penanganan PETI di dalam IUP dapat dilakukan pola-pola kemitraan; dan
Penindakan PETI di dalam area terlarang dapat dilakukan kegiatan
penertiban dan alih profesi.
Jika sudah berizin (IPR) maka wajib mengikuti semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan dapat dilakukan Pembinaan dan
Pengawasan secara komprehensif;

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 36


No. Klaster Langkah Strategis
b. Koordinasi Penetapan WPR antar Provinsi Kabupaten dalam Satu Pulau yang
sama untuk dimasukan dalam Kepmen Perubahan WP Pulau Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara, Jawa dan lain-lain;
c. Provinsi melakukan deregulasi penerbitan IPR untuk masyarakat lokal
setempat di lokasi Ring 1 WPR agar memudahkan masyarakat setempat
mendapatkan IPR, serta Pemda Provinsi wajib menyediakan anggaran untuk
pembinaan dan pengawasan serta pemulihan lingkungan dalam WPR;
d. Penerapan konsep atau mekanisme formalisasi tambang rakyat dan
Pertambangan Rakyat perlu juga mengedepankan konsep partisipasi publik,
karena selama ini belum pernah dilakukan sebelum menetapkan kebijakan;
e. Pertambangan Rakyat perlu dielaborasi lebih lanjut dari jenis komoditasnya
yaitu komoditas logam, non logam dan batuan (batubara tidak termasuk)
dikarenakan apabila Pertambangan Rakyat tidak boleh menggunakan bahan
peledak maka mereka akan kesulitan untuk melakukan penambangan di
batuan keras.
f. IPR Perorangan sebaiknya diberikan untuk jenis endapan alluvial/ sekunder
metoda penambangan sederhana dan tidak padat modal
a. Penyesuaian substansi regulasi terkait pertambangan rakyat dan kemudahan
mendapatkan izin.
b. Pengkajian kembali mengenai persyaratan mengenai pembatasan
penggunaan pompa mekanik, penggelundungan atau permesinan dengan
jumlah tenaga maksimal 25 (dua puluh lima) horse power untuk 1 IPR dan
tidak menggunakan alat berat.
c. Pembuatan pedoman kegiatan eksplorasi, reklamasi dan psaca tambang
untuk pertambangan rakyat.
d. Definisi yang berbeda antara penambang tanpa izin (PETI) dan Penambang
Rakyat (PERA).
e. Pembentukan regulasi mengenai pengawasan terintegrasi dalam rangka
pencegahan dan penegakan hukum pertambangan ilegal;
f. Koordinasi Lintas K/L/D/S dalam rangka penetapan Perpres atau Kepres atau
Inpres untuk mengakomodir peran pertambangan rakyat dalam
meningkatkan perekonomian daerah dan penerimaan negara.
g. Pembuatan rancangan peraturan presiden tentang pertambangan rakyat dan
penanganan PETI yang dikoordinir oleh Kemenko Marves serta Mendorong
percepatan terbentuknya UMKM pertambangan rakyat yang berbadan
hukum koperasi.
h. Regulasi baru untuk wilayah-wilayah IUP yang telah diciutkan dan kembali ke
dalam Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dan bagaimana petunjuk
Regulasi dan
4 teknisnya agar wilayah tersebut dapat ditetapkan menjadi WPR dan
Kebijakan
diterbitkan izinnya menjadi IPR.
i. Pemerintah mendorong Pertambangan Rakyat dalam bentuk IPR koperasi
walaupun dalam Undang-Undang 3 tahun 2020 disebutkan mengenai IPR
Perseorangan, dikarenakan dengan bentuk koperasi, IPR tersebut menjadi
berbadan hukum sehingga dapat diberikan bantuan kredit untuk badan
usaha, dikelola oleh masyarakat setempat termasuk juga diawasi oleh
pemerintah daerah.
j. Koordinasi untuk kegiatan yang bersifat nasional dalam memperbaiki tata
kelola pertambangan rakyat, sehingga peran koordinasi ini dapat
dilaksanakan misal oleh Bappenas selaku pembina perencana nasional
dengan melibatkan KLHK, BPPT, Kemenko Marves, KESDM, Pemerintah
Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya. Disamping itu, perlu percepatan
formalisasi pertambangan rakyat dalam rangka menggerakkan pemulihan
ekonomi nasional kegiatan pertambangan rakyat menjadi salah satu prioritas.
k. Penyederhanaan birokrasi atau pembentukan lembaga khusus dalam hal
penanganan PETI dan pengelolaan Tambang Rakyat sehingga dapat efekfif
dan efisien terutama dalam segi penganggaran yang bersumber dari APBN;
l. Penetapan kebijakan terkait pencegahan dan penertiban pertambangan
ilegal dengan mengupayakan sinergitas antara Kementerian ESDM, KLHK
serta kementerian teknis terkait, kepolisian dan pemerintah provinsi agar
pencegahan dan penertiban pertambangan ilegal dapat optimal.
a. Peningkatan Peran BUMN khususnya bidang Pertambangan dapat
melakukan Binwas secara Bersama-sama dengan Pemerintah atau melalui
Pembinaan dan
5 penugasan, baik sebelum dan sesudah Pertambangan Rakyat berizin
Pengawasan
khususnya bagi penambang rakyat yang berada didalam konsesi tambang
milik BUMN;

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 37


No. Klaster Langkah Strategis
b. Pembentukan wadah bagi penambang rakyat seperti yang telah dilaksanakan
di Tetelu, dimana di wilayah tersebut dikelola oleh Koperasi Batu Emas dan
sudah tidak menggunakan merkuri.
c. Pengelolaan dan pemanfaatan sisa hasil pengolahan mineral logam dan
nonlogam secara optimal (konservasi mineral);
d. Pengkajian program sertifikasi emas. Salah satu konsep yang saat ini sedang
dimatangkan oleh GOLD ISMIA yaitu proses sertifikasi emas sehingga para
penambang rakyat dapat mengakses pasar emas yang formal (formal gold
markets). Saat ini masih dilakukan proses penjajakan dengan PT. Antam Tbk
mengenai mekanismenya;
e. Pembuatan pilot project atau percontohan desa mandiri pertambangan rakyat
di Papua, Papua Barat, Sukabumi – Jawa Barat, Pulau Buru (Gunung Botak)
Di Maluku dan lokasi lainnya;
f. Pembuatan standar untuk pengelolaan dan pemanfaatan tailing dan limbah
B3 dari pertambangan rakyat;
g. Pembuatan proyek percontohan nasional di sektor pertambangan rakyat yang
dapat dijadikan role model untuk diimplementasikan secara nasional dimana
pemerintah berperan penting diseluruh aspek pertambangan rakyat serta
mendidik, membina, mengawasi serta mencari “bapak asuh” bagi penambang
rakyat;
h. Penyusunan perangkat pengawasan aktivitas pertambangan berbasis
teknologi informasi yang terintegrasi dan terbuka;
i. Penyusunan Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat
(PPM) oleh Badan usaha Pertambangan.
a. Pelaksanaan sosialisasi, pencegahan dan penindakan tindak pidana
Penambangan Tanpa Izin;
b. Penertiban Pertambangan Rakyat pada daerah yang tidak diusulkan menjadi
WPR melalui koordinasi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan di
bidang pertambangan rakyat;
c. Pembentukan tim pencegahan dan penegakan hukum pertambangan ilegal
terintegrasi baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang dikoordinir
Penindakan dan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Ham yang terdiri dari
6
Pencegahan unsur:
Tingkat Pusat : Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Ham,
Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi, Kementerian
Keuangan, Kementerian dalam negeri, Kementerian ESDM, KLHK,
Kepolisian serta unsur masyarakat
Tingkat Daerah : Gubernur, Kepolisian Daerah, BIN daerah, Dinas ESDM
provinsi, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi
serta unsur masyarakat.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 38


BAB IV KONSEP PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT
YANG BAIK

Berdasarkan hasil studi literatur, fakta dan hasil diskusi, praktek-praktek


pertambangan rakyat yang ada saat ini lebih cenderung berasosiasi kepada PETI
sehingga banyak memberikan kerugian dibandingkan manfaat yang diperoleh. Hal ini
dapat dilihat dari keadaan para penambang, hilangnya potensi penerimaan negara
dan rusaknya lingkungan di area kegiatan pertambangan rakyat/PETI. Lebih lanjut,
kegiatan pelarangan maupun penertiban yang telah dilakukan tidak memberikan efek
jera terhadap pelaku pertambangan rakyat tanpa izin. Kegiatan pertambangan rakyat
saat ini belum dikelola secara tepat dan memunculkan kegiatan PETI, hal ini lebih
cenderung menimbulkan konflik sosial di lapangan dan dampak negatif kepada
lingkungan. Oleh karenanya diperlukan jalan keluar konsep pengelolaan
pertambangan rakyat yang baik serta penanganan PETI yang tepat disamping
penyediaan lapangan kerja pengganti apabila tambang rakyat itu tidak bisa
dilaksanakan.
Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-undang 3 tahun 2020, pasal 73
bahwasanya Menteri melakukan pembinaan di bidang Pengusahaan, Teknologi
Pertambangan serta Permodalan dan Pemasaran dalam usaha meningkatkan
kemampuan IPR. Menteri juga bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kaidah
teknis pada IPR yang meliputi keselamatan pertambangan dan pengelolaan
lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pasca tambang. Untuk itu perlu disusun
suatu peraturan turunan mengenai pedoman pelaksanaan pengelolaan
pertambangan rakyat yang baik.
Lebih lanjut dibawah ini digambarkan diagram konsep usulan Tata Kelola Pembinaan
dan Pengawasan Pertambangan yang membagi pertambangan menjadi 3 (tiga)
bagian utama yaitu: Pertambangan Tanpa Izin (PETI), Pertambangan Rakyat (PERA)
dan Pertambangan Berizin (PERI) seperti yang ditunjukan pada Gambar 18.
a. PERI merupakan kegiatan pertambangan yang dilaksanakan oleh pihak atau
perusahaan Pemegang Izin Seperti PKP2B, KK, IUP, IUPK, IPR dan SIPB. Sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kegiatan pertambangannya
dilakukan di dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).
b. PETI adalah kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat atau
perusahaan tanpa memiliki izin. PETI umumnya dilakukan di dalam wilayah yang
memiliki izin pertambangan atau dapat pula di luar wilayah izin pertambangan.
c. PeRA adalah kegiatan pertambangan yang memiliki izin secara legal dalam
bentuk Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang dilakukan oleh masyarakat setempat dengan kriteria
tertentu dan dilaksanakan di dalam Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Konsep penanganan PETI di luar PERI yang berada di dalam wilayah Hak
Pengusahaan Hutan (HPH), Perkebunan, Pertanian, dll. diusulkan untuk ditertibkan
atau diakomodir dengan pola Kemitraan. Sedangkan untuk PETI di dalam wilayah
Greenfield dapat diberikan usulan penertiban dan penerbitan Izin dengan

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 39


mempertimbangkan syarat dan kriteria di dalam peraturan perundangan. Kemudian
untuk PETI di dalam hutan terlarang untuk kegiatan pertambangan (Hutan Konservasi,
Hutan Lindung, dll) maka sebaiknya dilakukan penertiban hukum. Sedangkan Untuk
PETI di dalam area PERI, ada 2 (dua) opsi yang ditawarkan yaitu Penegakan Hukum
dengan melibatkan Polisi dan PPNS dan usulan pola kemitraan. Konsep tata kelola
binwas untuk PERI adalah binwas terpadu yang melibatkan Inspektur Tambang dan
pihak-pihak yang berkepentingan.

Pertambangan

PETI PERI PeRA

Didalam KK, IUPK, PKP2B, IUP, Kegiatan Usaha Pertambangan


SIPB Kegiatan usaha pertambangan Rakyat (IPR dalam WPR)
Didalam HGU Perkebunan, (eksplorasi dan eksploitasi): Penampingan, Pembinaan dan
Pertanian KK. IUPK, PKP2B, IUP, SIPB Pengawasan
Penegakan Hukum atau Pembinaan dan Pengawasan,
Penertiban atau Kemitraan Penegakan hukum

1. Kegiatan eksisting dalam


Green field
Prioritas Penetapan WPR dan
Diluar KK, IUPK, PKP2B, IUP, SIPB, Penerbitan IPR
yaitu: 2. Kegiatan eksisting dalam
1. Green field: HGU Perkebunan, Pertanian
Penertiban/Penerbitan Izin Pola Kemitraan dengan
2. Kawasan Hutan Lindung, Penetapan WPR dan Penerbitan
Konservasi, Taman Nasional: IPR
Penegakan Hukum atau Penertiban

Gambar 18. Tata Kelola Binwas Pertambangan


Catatan untuk Gambar 18, bahwa untuk membedakan PETI dan PeRA adalah pelaku
kegiatan penambangannya antara lain:
1. PETI pelaku utama penambangan berasal dari luar lokasi atau pendatang; dan
2. PeRA pelaku utama kegiatan penambangan adalah masyarakat setempat atau
masyarakat lokal yang ditunjukkan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) serta
pengakuan Kepala Desa.
Untuk konsep Pengelolaan Pertambangan Rakyat yang baik, sesuai hasil kegiatan
dalam menyusun kajian ini, terdapat 4 (empat) aspek Utama Pengelolaan
Pertambangan Rakyat yang baik seperti yang ditunjukan pada Gambar 19 yaitu:
Wilayah dan Perizinan, Kelembagaan Penambang Rakyat, Pendampingan, Pelatihan
dan Pembinaan serta Pengawasan dan Pencegahan.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 40


Wilayah dan
Kelembagaan
Perizinan
Pengelolaan
Pertambangan
Rakyat yang
Baik
Pendampingan,
Pengawasan dan
Pelatihan dan
Pencegahan
Pembinaan

Gambar 19. Konsep pengelolaan PeRA

4.1. Wilayah dan Perizinan


Wilayah dan Perizinan merupakan aspek terpenting dalam pengelolaan
pertambangan rakyat karena mencakup aspek legalitas dari para penambang rakyat.
Dengan program percepatan formalisasi dan legalisasi para penambang rakyat maka
mereka akan masuk ke dalam sistem pembinaan dan pengawasan yang dapat
dilaksanakan oleh pemerintah secara sah dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Untuk lebih lengkapnya mengenai konsep antara pengelolaan
wilayah dan pengelolaan percepatan perizinan dapat dilihat pada Tabel 10 dibawah
ini:
Tabel 10. Konsep Pengelolaan Wilayah dan Percepatan Perizinan

No. Kegiatan Penjelasan


Dalam melakukan percepatan Perizinan, terutama dalam menetapkan Wilayah
Pertambangan Rakyat (WPR), pemerintah memerlukan langkah-langkah sebagai
berikut dalam pembuatan database terkait pertambangan rakyat, yaitu :
Inventarisasi dan Pemetaan Kondisi Fisik dan Geografis Lokasi
Pertambangan Rakyat
Inventarisasi Lokasi Pertambangan Rakyat
Identifikasi Proses Produksi Pertambangan Rakyat
Klasifikasi Kegiatan Pertambangan Rakyat
Pemetaan Potensi Sumberdaya dan Cadangan Mineral

Sangatlah penting untuk melakukan penetapan WPR di wilayah yang mempunyai


1 Wilayah potensi sumberdaya dan cadangan mineral yang ekonomis untuk diusahakan oleh
penambang rakyat.

Oleh karena itu Pemerintah Daerah perlu melakukan kegiatan eksplorasi dalam
rangka mempersiapkan lahan yang potensial bagi penambang rakyat dengan
mempertimbangkan keterdapatan dan distribusi dari endapan mineral dan akses
menuju lokasi.

Pemerintah Daerah juga perlu berkoordinasi dengan para penambang lokal yang
ada didaerah tersebut serta para pemangku kepentingan terkait untuk memberikan
masukan mengenai pengusulan WPR tersebut.

Untuk PETI yang telah ada saat ini diperlukan percepatan formalisasi dan
2 Perizinan legalisasi kegiatannya dengan mempertimbangkan dan mengevaluasi kriteria-
kriteria tertentu sesuai peraturan perundangan dengan opsi penertiban atau

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 41


No. Kegiatan Penjelasan
penerbitan izin sehingga hal ini dapat menjadi solusi prioritas dalam penyelesaian
PETI menjadi pertambangan rakyat.

Berdasarkan lokasinya, maka perizinan terhadap PETI dapat dibedakan menjadi 3,


yaitu :
1. Penetapan WPR melalui mekanisme usulan Pemerintah Daerah dimana lokasi
PETI berada dan Penerbitan IPR untuk penambang rakyat yang berlokasi di
wilayah yang memenuhi syarat untuk ditetapkan.
2. Program Kemitraan untuk penambang rakyat di dalam wilayah yang berizin
(IUP, IUPK, KK dan PKP2B). Sesuai peraturan perundangan yang
berlaku,Pasal 56 Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2020 Pemegang IUP/IUPK
Operasi Produksi dapat menyerahkan kegiatan penggalian endapan Mineral
aluvial kepada masyarakat melalui program kemitraan setelah mendapatkan
persetujuan Direktur Jenderal atas nama Menteri dengan ketentuan sebagai
berikut :
Pemegang izin KK, IUP, IUPK menentukan lokasi untuk kegiatan
kemitraan penambangan mineral aluvial;
Yang bisa dilakukan kemitraan adalah mineral aluvial di pertambangan
mineral (emas dan timah) yang berada di wilayah konsensi (diluar
kawasan yang dilarang untuk ditambang yaitu kawasan konservasi dan
kawasan hutan);
Masyarakat lokal yang menjadi mitra adalah masyarakat yang memiliki
KTP dan berdomisili di kabupaten setempat;
Membentuk koperasi yang anggotanya masyarakat setempat di
kabupaten tersebut;
Gubernur mengeluarkan IUJP lokal untuk koperasi penambang;
Pemerintah Daerah mendanai kegiatan eksplorasi untuk mitra
pemegang IUJP;
Metode penambangan mengikuti pola penambangan IPR;
Dalam pelaksanaan operasional penambangan, pemegang izin wajib
melakukan pembinaan dan pengawasan (khususnya K3 dan LL)
terhadap mitra pemegang IUJP;
Perusahaan pemegang izin melakukan kontrak kerjasama dengan
pemegang IUJP lokal;
Menteri ESDM memberikan persetujuan kemitraan pemegang izin
dengan IUJP lokal;
Menggunakan teknologi sederhana dan di dalam area izin, karena
pemegang Izin harus bertanggung jawab apabila terjadi kecelakaan
pada lokasi tambang rakyat;
Hasil yang diperoleh oleh penambang rakyat tidak boleh keluar dari
wilayah berizin;
Tidak ada transaksi jual beli di dalam wilayah berizin;
Perlu diatur mengenai mekanisme penyerahan bahan galian kepada
pemegang izin, apakah akan dihitung berdasarkan kualitas dan
kuantitas barang ataukah akan dikonversi menjadi upah/perjam;
Memiliki izin sebagai kontraktor (IUJP) dan pemegang Izin yang harus
mengurus Perizinan para mitra kepada Pemerintah Pusat;
Untuk wilayah-wilayah yang akan dikerjakan oleh mitra akan dibuat
Surat Perintah Kerja (SPK);
Mekanisme bisnis yang digunakan untuk sisa hasil penambangan dan
hasil pengolahan dengan sistem borongan dan sistem kontrakto;
Khusus untuk PETI batubara tidak dapat dilakukan pola kemitraan,
karena memerlukan volume dan modal yang besar serta menggunakan
alat berat.
Pola kemitraan juga tidak boleh untuk pertambangan jenis underground.
3. Penegakan hukum untuk Pertambangan Rakyat yang tidak memenuhi syarat
untuk dilegalisasi dikarenakan berlokasi di wilayah hutan lindung, hutan
konservasi ataupun wilayah lain yang terlarang untuk dilakukan kegiatan
penambangan. Untuk PETI batubara juga akan dilakukan penegakan hukum
dikarenakan menurut Undang-Undang 3 tahun 2020 sudah tidak ada lagi IPR
Batubara.

Untuk mendukung formalisasi kegiatan pertambangan rakyat diperlukan koordinasi


antar lintas kementerian lembaga, terutama wilayah pertambangan rakyat yang

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 42


No. Kegiatan Penjelasan
tumpang tindih dengan sektor lain seperti kehutanan, pertanian serta perkebunan
dengan mengacu kepada pasal 24 UU no. 4 tahun 2009 yaitu Wilayah atau tempat
kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai
WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR.

Dalam proses percepatan Perizinan juga harus dipertimbangkan beberapa hal


sebagai berikut agar penambang rakyat dapat melakukan kegiatan
pertambangannya sesuai dengan kaidah pertambangan yang baik, yaitu :
1. Akses kepada lahan yang prospek
Untuk WPR yang ditetapkan harus mempunyai sumberdaya dan cadangan
yang cukup ekonomis ditambang oleh penambang rakyat tapi tidak cukup
ekonomis untuk ditambang pada tingkat perusahaan.
2. Akses kepada data geologi
Dalam menentukan pola pertambangan rakyat yang baik sangat diperlukan
data geologi sumberdaya dan cadangan sehingga Pemerintah Daerah dalam
hal ini Pemerintah Provinsi ataupun perusahaan BUMN sebagai pembimbing
dapat memberikan bimbingan teknis mengenai metode penambangan yang
baik serta optimal sesuai dengan bentuk endapan/cebakan.
3. Akses kepada pendanaan
Akses kepada pendanaan bisa dengan melibatkan Bank Pembangunan
Daerah untuk memberikan bantuan modal kerja dengan bunga yang rendah,
ataupun Pemda dapat memberikan bantuan sosial (hibah) kepada pemegang
IPR Koperasi (IPR perorangan tidak dapat diberikan bantuan).
4. Pembuatan Tempat Pengolahan Terpadu (Centralized Processing Centre)
Pemerintah Daerah dapat menyediakan Pusat Pengolahan terpadu kepada
Penambang-penambang Rakyat yang ada di daerahnya, hal ini juga dalam
rangka memantau kelestarian lingkungan dan mencegah peredaran merkuri
ke lingkungan sehingga pertambangan rakyat menjadi lebih baik.

Perlunya dibuat suatu proyek percontohan nasional di sektor pertambangan rakyat


yang dapat dijadikan role model untuk diimplementasikan secara nasional, dimana
pemerintah berperan penting diseluruh aspek pertambangan rakyat serta
mendidik, membina, mengawasi serta mencari “bapak asuh” bagi penambang
rakyat.

Apabila diperlukan kegiatan yang bersifat nasional untuk memperbaiki tata kelola
pertambangan rakyat, maka sebaiknya dapat dikoordinasikan oleh Bappenas
selaku pembina perencana nasional dengan melibatkan KLHK, BPPT, Kemenko
Marves, KESDM, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya.
Disamping itu, perlu percepatan formalisasi pertambangan rakyat dalam rangka
menggerakkan pemulihan ekonomi nasional kegiatan pertambangan rakyat
menjadi salah satu prioritas.

4.2. Kelembagaan Pertambangan Rakyat


Pengembangan kelembagaan ini sangat penting dalam pemberian Izin Pertambangan
Rakyat dikarenakan seiring mereka menjadi legal maka para penambang rakyat juga
mempunyai sejumlah kewajiban yang harus mereka penuhi. Oleh karena itu dengan
adanya lembaga yang mewadahi mereka tentu akan sangat membantu dalam
membantu kewajiban mereka, disamping itu pula Pemerintah dapat dengan mudah
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap para penambang tersebut karena
sudah tergabung di dalam suatu organisasi berbadan hukum. Dengan dibentuknya
koperasi maka akan mempermudah pemerintah atau investor untuk memberikan
bantuan atau penyertaan modal dalam kegiatan pertambangan rakyat, disamping
secara tidak langsung menghindarkan para penambang rakyat ini dari cukong-cukong
ataupun pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu koperasi dapat membantu

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 43


para penambang untuk mendapatkan pinjaman modal serta untuk melakukan
diversifikasi pekerjaan sehingga mereka dapat meyakini bahwa pertambangan
bukanlah satu-satunya pekerjaan. Dengan dibentuknya sebuah lembaga yang dapat
menaungi penambang rakyat dapat mempermudah untuk melakukan kerja sama
dengan BUMN sebagai bapak asuh dari para penambang rakyat tersebut.
Salah satu hambatan dalam pelembagaan ini adalah tidak semua penambang rakyat
mau diatur ke dalam suatu lembaga/wadah karena biasanya mereka sudah
mempunyai suatu komunitas-komunitas kecil. Pembentukan lembaga juga
dikhawatirkan akan mengurangi pendapatan mereka.

4.3. Pendampingan, Pelatihan dan Pembinaan


Prinsip Pengelolaan Pertambangan Rakyat itu sendiri merupakan Pendampingan,
Pelatihan, dan Pembinaan dimana Pemerintah melaksanakan amanat Pasal 73
Undang-undang 3 tahun 2020 bahwasanya Menteri melakukan Pembinaan di bidang
Pengusahaan, Teknologi Pertambangan serta Permodalan dan Pemasaran dalam
rangka meningkatkan kemampuan IPR. Menteri juga bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan kaidah teknis pada IPR yang meliputi keselamatan pertambangan dan
pengelolaan lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pasca tambang. Kedepannya
Izin Pertambangan Rakyat ini akan didelegasikan kepada Pemerintah Daerah dan
diharapkan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan amanat UU tersebut serta
memberikan pembinaan teknis dan pengawasan dengan melibatkan
Kementerian/Lembaga terkait seperti KESDM, KLHK dan juga menggandeng
BUMDes, Koperasi, BUMD, dan BUMN sebagai “ayah asuh” dalam memberikan
bantuan teknis kepada pemegang IPR mulai dari Perencanaan tambang, Teknik
Penambangan, Metode Pengolahan, Pengangkutan, Pemasaran serta Penjualan
hasil Pertambangan Rakyat. Sebagai contoh skema yang telah dibuat adalah Dinas
ESDM Provinsi dapat mengusahakan bantuan permodalan dengan bunga di bawah 5
persen dengan bekerja sama dengan Bank Pembangunan Daerah serta pemberian
bantuan hibah barang dan bahan pengolahan peningkatan nilai tambah mineral logam
dalam bentuk kerajinan tangan. Apabila Pemerintah ingin memberikan bantuan sosial
ataupun hibah kepada penambang rakyat, maka harus berbadan hukum (tidak bisa
dalam bentuk IPR perseorangan).
Dalam Kegiatan Pertambangan Rakyat, sangat penting untuk dilakukan
pendampingan, pelatihan dan pembinaan kepada para penambang rakyat. Untuk
lebih memahami mengenai perbedaan diantara ketiganya, maka perbedaan antara
ketiga istilah tersebut dirangkum dalam Tabel 11.
Dalam konsep Pendampingan, bentuk yang dilakukan adalah pendampingan dari
kegiatan hulu hingga hilir. Hal ini termasuk dengan dilakukannya pendampingan
pelaksanaan kegiatan pertambangan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia,
peningkatan nilai tambah serta pemasaran atau promosi hasil olahan (Gambar 20).
Dengan dilakukannya pembelian hasil pertambangan rakyat oleh BUMDes, Koperasi,
BUMD, dan BUMN maka masyarakat bisa mendapatkan harga jual emas yang lebih

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 44


baik dan diharapkan ke depannya dengan IPR yang sudah legal dan tidak merusak
lingkungan dapat juga terbentuk sentra-sentra pengrajin industri (UMKM) emas perak
yang dapat menghidupkan perekonomian lokal.

Tabel 11. Perbedaan antara Pendampingan, Pelatihan dan Pembinaan

No. Kegiatan Penjelasan

Pendampingan lebih bermakna pada kebersamaan atau kesejajaran,


dimana kedudukan antara keduanya (pendamping dan yang
didampingi) sederajat, sehingga tidak ada istilah atasan maupun
bawahan;
Konsep pendampingan ini tepat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah
1 Pendampingan karena memerlukan proses yang lama, bisa setahun atau lebih, selama
24 jam sehari dan 7 hari seminggu; dan
Pendamping yang dibutuhkan tidak perlu harus tahu banyak namun
yang penting hadir di lokasi kegiatan sehari-hari dan menyelesaikan
masalah sehari-hari yang dihadapi oleh peserta pendampingan.

Pelatihan merupakan proses membantu tenaga kerja untuk


memperoleh efektifitas dalam pekerjaan dalam hal ini penambangan
dan pengolahan;
Menyampaikan teori, konsep dan penjelasan mengenai pertambangan
yang baik kepada para penambang rakyat baik dari cara penambangan
ataupun metode pengolahan;
2 Pelatihan Memberi pengetahuan, keterampilan dan sikap posifit kepada para
penambang rakyat;
Waktunya pendek, biasanya hanya selama 2-3 hari, paling lama
seminggu atau 10 hari; dan
Bisa dilakukan oleh tenaga ahli pertambangan baik yang dimiliki oleh
Kementerian, Lembaga, Dinas ataupun akademisi terkait.

Pembinaan diartikan sebagai usaha untuk menata kondisi yang pantas.


Dalam konteks pertambangan rakyat dapat diartikan menjadi pembinaan
watak dan pola pikir dimana pola pikir yang tadinya negatif seperti
3 Pembinaan kesadaran hukum rendah, tanggung jawab rendah, berorientasi jangka
pendek menjadi sifat positif yaitu taat hukum, bertanggung jawab kepada
diri sendiri dan lingkungannya serta berorientasi kepada jangka panjang.

Penambang rakyat diharapkan dapat menggunakan Produk-Produk dalam Negeri


(P3DN) serta menggunakan Tenaga Kerja Lokal (Penduduk Setempat), Pemegang
Izin Usaha Pertambangan Rakyat wajib menggunakan tenaga kerja lokal (penduduk
setempat), untuk mekanisme pengaturan tenaga kerja dapat diserahkan kepada
Pemerintah Provinsi atau dilakukan pengaturan mandiri oleh Pemegang IPR. Dengan
menggunakan tenaga kerja lokal maka perlu dilakukan Pelatihan Tenaga Kerja
dengan Pendirian dan Pemanfaatan Balai Latihan Kerja (BLK) dan Pembuatan Pilot
Project SMK Energi dan Pertambangan.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 45


Pendampingan Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan

Pendampingan Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia

Pendampingan Peningkatan Nilai Tambah

Pendampingan Pemasaran atau Promosi hasil olahan

Gambar 20. Pendampingan dari hulu ke hilir pertambangan rakyat

Tujuan dari Pendampingan, Pelatihan dan Pembinaan ini agar para penambang
rakyat dapat mengimplementasikan Good Mining Practices dan Sustainable Mining.
Good Mining Practices adalah seluruh proses yang dilalui dari awal sampai akhir yang
dilakukan dengan baik dengan mengikuti standar yang telah ditetapkan, mengikuti
norma dan peraturan yang berlaku sehingga mencapai tujuan pertambangan yang
efektif dan efisien. Good Mining Practices juga harus memenuhi 2 (dua) aspek utama
yaitu Aspek Keselamatan Pertambangan dan Aspek Perlindungan Lingkungan.
Dengan implementasi aspek-aspek ini diharapkan kasus-kasus kematian pada
kegiatan pertambangan rakyat serta kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
penggunaan merkuri pada pengolahan emas dapat diminimalisir serta dihilangkan.
Sedangkan konsep Sustainable Mining adalah setiap pengembangan dan
pemanfaatan mineral dan batubara harus berkesinambungan dan/atau tergantikan
dengan kegiatan ekonomi lainnya setelah pascatambang. Bahan Carbon Active dapat
digunakan sebagai bahan bakar pengolahan dan pemurnian emas pada
pertambangan rakyat dengan menggunakan produk yang dibuat oleh Puslitbang
Tekmira yang berbahan baku dari tempurung kelapa.
Salah satu hambatan untuk program pendampingan, pelatihan dan pembinaan
kepada penambang rakyat ini adalah sebagai berikut :
Kurangnya infrastruktur dan kapasitas sumberdaya manusia dari pemerintah
daerah terutama pemerintah Provinsi sehingga memerlukan keterlibatan instansi
Kementerian/Lembaga terkait lainnya seperti KLHK, BPPT, LIPI, Puslitbang
Tekmira KESDM, dan Perguruan Tinggi.
Penambang Rakyat yang mungkin sulit untuk menerima teknologi baru terutama
para penambang yang sebelumnya sudah terbiasa menggunakan suatu teknologi
seperti menggunakan merkuri.
Di masa lalu Pemerintah Daerah pernah memberikan pelatihan akan tetapi materi
yang disampaikan tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Hal ini
disebabkan karena pelatihan yang diberikan berpatokan pada konsep
penambangan skala besar, sehingga tidak cocok dan tidak ekonomis untuk
diterapkan dalam skala pertambangan rakyat. Maka karena itu perlu dibuat suatu

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 46


petunjuk teknis pelaksanaan good mining practices pada pertambangan rakyat
sehingga kegiatan pelatihan, bimbingan serta pendampingan yang dilakukan
dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya.

4.4. Pengawasan dan Pencegahan


Tahap terakhir dari konsep Pengelolaan Pertambangan Rakyat yang Baik adalah
Pengawasan serta Pencegahan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas
pertambangan rakyat seperti kecelakaan, kejahatan ataupun pencemaran lingkungan
di daerah tambang rakyat tersebut beroperasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12
bawah ini.

Tabel 12. Konsep Pengawasan dan Pencegahan

No. Kegiatan Penjelasan

Kegiatan Pengawasan dilakukan untuk memastikan bahwa kegiatan


pertambangan rakyat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kegiatan pengawasan dilakukan oleh Inspektur
tambang untuk pemegang IPR. Sedangkan untuk di daerah yang
merupakan kegiatan PETI, kegiatan pengawasan dilakukan oleh PPNS
Ditjen Minerba dengan bekerja sama dengan pihak kepolisian dan KLHK.

Kegiatan Pengawasan dilakukan untuk setiap aspek pertambangan rakyat


1 Pengawasan sesuai dengan pasal 73 UU 3 tahun 2020 yaitu pelaksanaan kaidah teknis
pada IPR yang juga meliputi keselamatan pertambangan, pengelolaan
lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pasca tambang.

Salah satu hambatan dalam pengawasan adalah lokasi pertambangan


rakyat yang biasanya sulit untuk dijangkau (akses terbatas), kurangnya
koordinasi antar pemerintah, serta korupsi dan suap kepada aparatur
pemerintah, baik aparatur penegak hukum ataupun aparatur pemerintah
lainnya.

Pencegahan dan pemulihan dilakukan dengan mengidentifikasi faktor resiko


yang mungkin terjadi dari kegiatan pertambangan rakyat yang dilakukan,
misalnya terjadi kecelakaan ataupun pencemaran lingkungan dikarenakan
penggunaan merkuri dalam kegiatan pengolahan dan/ atau pemurnian.

Konsep Pencegahan dan pemulihan dampak kegiatan pertambangan yang


menggunakan merkuri untuk lokasi-lokasi yang terkontaminasi oleh merkuri
seperti yang ada di gunung botak, perlu dilakukan kegiatan sebagai berikut
Pencegahan (Gambar 21):
2 dan
Inventarisasi dan Pemetaan lokasi tercemar Merkuri (Peta Risiko
pemulihan
Lokasi Merkuri);
Klasifikasi lokasi tercemar berbasis risiko;
Inventarisasi Kesehatan masyarakat yg tercemar merkuri melalui
Medical Check-Up secara keseluruhan (Peta Masyarakat
Terpapar); dan
Grand Design Merkuri/ Hg Risk Strategic Plan/ Mitigation Plan.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 47


Gambar 21. Konsep pencegahan dan pemulihan akibat merkuri
pada kegiatan pertambangan
Dalam melakukan pencegahan dan pemulihan dampak kegiatan
pertambangan perlu melibatkan publik secara aktif, dan pemangku
kepentingan terkait, dan dapat dijadikan acuan untuk wilayah pertambangan
rakyat yang belum terpapar oleh merkuri.
Pemulihan lokasi terpapar dapat dilakukan dengan melakukan remediasi
wilayah sedangkan untuk pemulihan kesehatan masyarakat terpapar dapat
dengan pemeriksaan medical check up dan perawatan kesehatan oleh
tenaga kesehatan di daerah tersebut

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 48


BAB V KESIMPULAN

1. Pertambangan ilegal selama ini belum menjadi objek pengawasan dari pemerintah
pusat dan pemerintah provinsi. Pemerintah pusat dan provinsi hanya mengurus
kegiatan kegiatan pertambangan yang sudah memiliki izin atau legal dan belum
melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pertambangan rakyat (PERA)
dan pertambangan ilegal (PETI);
2. Sistem pengawasan dari pihak pemerintah dan aparat penegak hukum yang tidak
terintegrasi menjadi salah satu penyebab kegiatan pertambangan ilegal tetap
terjadi sehingga diperlukan suatu kebijakan khusus pemerintah dengan cara
membentuk tim pengawasan terpadu yang didukung dengan sistem, pola kerja,
dan sarana prasarana yang memadai;
3. Terbatasnya kewenangan, sumberdaya manusia dan anggaran menjadi kendala
bagi pemerintah untuk mengurus pertambangan ilegal yang terjadi di wilayahnya,
oleh karena itu diperlukan kerja sama antar instansi terkait dengan kegiatan
pertambangan dan berjalan secara terus menerus;
4. Berdasarkan UU 23/2014, WPR masuk ke dalam WP menjadi kewenangan pusat
dalam penetapannya, WP tersebut ditetapkan 5 tahun sekali. Sebaiknya
pengajuan WPR jangan dibatasi 5 tahun sekali. Kalau ada pengajuan dari
Kabupaten, harus tetap diproses di Provinsi dan Kementerian, minimal setiap
tahun diperbolehkan untuk dilakukan pengajuan dari masyarakat mengingat masih
banyaknya wilayah penambang rakyat yang belum masuk di dalam Wilayah
Pertambangan Rakyat (WPR) dan antara Jumlah WPR dan Jumlah IPR yang
diterbitkan tidak sebanding. Beberapa Wilayah yang akan diajukan menjadi WPR
sebagian besar tumpang tindih dengan wilayah kegiatan perkebunan, pertanian
dan kehutanan sehingga diperlukan suatu langkah terobosan bagaimana
mengatasi permasalahan lintas sektoral;
5. Beberapa Permasalahan Pemda dalam menetapkan WPR yaitu:
a. Belum semua Pemerintah Daerah melakukan inventarisasi lahan mana saja
yang dapat dibuat menjadi WPR dengan mempertimbangkan status legal lahan
dari lokasi yang sudah dieksploitasi masyarakat;
b. Sebelum pemerintah dapat mengusulkan WPR, Pemerintah Provinsi harus
menyiapkan seluruh kelengkapan dokumen serta dana untuk eksplorasi,
pembinaan dan pengawasan, reklamasi,pasca tambang, dll. Beberapa
Pemerintah Daerah tidak mempunyai kompetensi dan kapabilitas untuk
melakukan itu.
6. Perlu dibuat suatu program Percepatan Formalisasi dan Legalisasi Kegiatan
Pertambangan Rakyat, terutama kegiatan yang sudah berlangsung secara turun
temurun dan sesuai dengan pasal 24 UU 4/2009 untuk wilayah yang sudah
dikerjakan. Untuk kegiatan pertambangan rakyat yang dikerjakan oleh penduduk
setempat dan tidak termasuk di dalam daerah yang tumpang tindih dengan sektor
kehutanan, perkebunan, pertanian dan bukan termasuk di dalam area yang
terlarang untuk ditambang dapat ditetapkan menjadi WPR dan kemudian
diterbitkan menjadi IPR;

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 49


7. Belum adanya pedoman untuk kegiatan eksplorasi, reklamasi dan pasca tambang
untuk pertambangan rakyat sebagai bagian dari kebijakan pemerintah terhadap
kegiatan pertambangan rakyat, dan belum adanya belum adanya kebijakan level
nasional yang jelas untuk mendukung penataan Pertambangan Rakyat;
8. Izin Pertambangan Rakyat berdasarkan UU No.3 Tahun 2020 hanya dapat
diberikan kepada orang perserorangan yang merupakan penduduk setempat atau
koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat, pengaturan ini
diharapkan dapat mengurangi adanya PETI karena kegiatan Pertambangan
Rakyat akan dikelola secara langsung oleh masyarakat di sekitar wilayah
pertambangan rakyat. Penambahan batasan paling luas Wilayah Pertambangan
Rakyat dari 25 hektar menjadi 100 hektar dan penambahan Batasan kedalaman
cadangan dari 25 meter menjadi 100 meter di dalam Undang-Undang 3 tahun 2020
diharapkan dapat semakin menggerakkan kegiatan Pertambangan Rakyat
sehingga Pertambangan Rakyat tidak lagi dianggap sebagai kegiatan
pertambangan yang “termarjinalkan”;
9. Dalam penulisan kajian ini juga dilakukan kunjungan lapangan secara langsung ke
wilayah kegiatan pertambangan rakyat dari hulu sampai hilir, mulai dari kegiatan
penambangan hingga pengolahan bijih emas di kabupaten Sukabumi dan
kabupaten Bogor yang perlu mendapatkan prioritas penetapan WPR;
10. Contoh keberhasilan transisi (2015-2020) pengelolaan dan pemanfaatan wilayah
bekas kegiatan PETI Emas menjadi Desa Wisata Alam di Desa Ciguha,Kab. Bogor
dan masih berlangsung hingga saat ini adalah merupakan suatu keberhasilan
peran swadaya dan swakelola masyarakat lokal Desa Ciguha untuk meningkatkan
kesejahteraan dan ekonomi rakyat, peran kerjasama dari pelaku usaha PT Antam
Tbk. UBPE Pongkor, serta peran instansi pemerintah yang saling bersinergi dan
bekerjasama saling menguatkan;
11. Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahwa dalam
kegiatan pertambangan khususnya pertambangan rakyat dilarang menggunakan
merkuri dalam proses pengolahan emas, harus melakukan kegiatan
pertambangan yang baik serta ramah lingkungan;
12. Adanya mekanisme Program Kemitraan untuk penggalian endapan mineral aluvial
dengan masyarakat di sekitar tambang juga diharapkan menjadi alternatif solusi
adanya PETI pada kegiatan pertambangan mineral logam (timah);
13. Untuk mengoptimalkan penghasilan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal
atau setempat maka perlu dibentuk sentra-sentra pengrajin industri (UMKM) emas,
perak, dan mineral logam ikutan lainnya untuk mencapai kesejahteraan rakyat;
14. Larangan penggunaan alat berat dan pembatasan Horse Power Mesin pada
Kegiatan IPR perlu dilakukan pengkajian kembali, jangan sampai memperlemah
kemampuan penambang rakyat untuk memperoleh cadangan mineral yang
nantinya akan membuat para penambang memilih untuk membuka lahan
pertambangan baru diluar IPRnya; dan
15. Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-undang 3 tahun 2020, pasal 73
bahwasanya Menteri melakukan pembinaan di bidang Pengusahaan, Teknologi
Pertambangan serta Permodalan dan Pemasaran dalam usaha meningkatkan
kemampuan IPR. Menteri juga bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kaidah
teknis pada IPR yang meliputi keselamatan pertambangan dan pengelolaan

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 50


lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pasca tambang. Untuk itu perlu dibuat
suatu konsep pengelolaan pertambangan rakyat yang baik yang mencakup a.
Wilayah dan Perizinan, b. Kelembagaan Penambang Rakyat, c. Pendampingan,
Pelatihan dan Pembinaan dan d. Pengawasan, Pengendalian dan Pencegahan.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 51


BAB VI REKOMENDASI

1. Proses penetapan WPR dan proses penerbitan IPR agar dipermudah sesuai
dengan usulan Pemerintah Daerah dan Revisi WPR agar dapat ditinjau kembali
untuk tidak dilakukan 5 tahun sekali karena pemda kesulitan mengajukan WPR
ketika harus menunggu 5 tahun. Pengajuan WPR jangan dibatasi 5 tahun sekali.
Kalau ada pengajuan dari Kabupaten, harus tetap diproses di Provinsi dan
Kementerian. Minimal boleh tiap tahun ada pengajuan dari masyarakat;
2. Larangan Penggunaan Alat Berat dan Pembatasan Horse Power Mesin untuk
Kegiatan IPR sebaiknya dihilangkan untuk IPR Koperasi dikarenakan tidak
mendukung kegiatan pertambangan yang efektif dan efisien;
3. IPR Perorangan sebaiknya diberikan untuk jenis endapan aluvial/sekunder,
metode penambangan sederhana dan tidak padat modal, sedangkan untuk
endapan Primer dapat diberikan untuk IPR yang berbentuk badan hukum seperti
koperasi;
4. Penghilangan Komoditas Batubara dalam pemberian Izin IPR tidak menyelesaikan
masalah terutama untuk daerah-daerah yang hanya mempunyai sumberdaya dan
cadangan batubara dan mata pencaharian penduduk setempat hanya dari
kegiatan pertambangan tersebut sehingga harus dipikirkan kembali alternatif mata
pencaharian bagi penambang rakyat komoditas Batubara;
5. Perlu adanya kajian terhadap teknologi terkait dengan tambang rakyat, isu
keluarga yang dibawa oleh pekerja tambang, kerugian negara, kerusakan
lingkungan, distribusi perdagangan emas dan klasifikasi pertambangan rakyat
berdasarkan jenis kegiatannya;
6. Perlu adanya pedoman kaidah teknis pertambangan rakyat yang diatur di dalam
turunan peraturan perundangan minerba termasuk di dalamnya terkait dengan
permohonan perizinan, metode penambangan, metode pengolahan, penjualan
termasuk kaidah teknik pertambangan yang baik;
7. Perlu dibuat Rencana tata kelola pertambangan rakyat yang terintegrasi lintas
K/L/D/S dan percepatan formalisasi atau legalisasi pertambangan rakyat yang
belum berizin menjadi IPR atau bentuk perizinan lainnya yang sesuai dengan
Undang-undang serta pelibatan asosiasi atau LSM terkait pertambangan rakyat
sehingga pemerintah mempunyai data yang cukup dan mendapat pemahaman
dari berbagai aspek;
8. Kunjungan lapangan secara langsung ke wilayah kegiatan pertambangan rakyat
(sesuai bunyi pasal 24 UU 4 tahun 2009) dari hulu sampai hilir dari penambangan
sampai pengolahan (contoh bijih emas) perlu dilakukan agar dalam penyusunan
regulasi dan kebijakan sesuai dengan kondisi nyata di lapangan;
9. Cerita sukses dari Desa Ciguha dapat menjadi alternatif dalam pengelolaan dan
pemanfaatan wilayah bekas PETI (bijih emas) menjadi wilayah wisata alam
(dengan ciri masih ada contoh wilayah bekas PETI) sesuai dengan keinginan
masyarakat lokal/ setempat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan
ekonomi rakyat lokal secara swadaya/ swakelola maupun kemitraan dengan
pemangku kepentingan terkait lainnya;

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 52


10. Perlu satu aksi yang terintegrasi dari pemangku kepentingan yang terkait dalam
menemukan alternatif atau terobosan pengganti bahan kimia merkuri agar dalam
kegiatan pertambangan rakyat khususnya dalam pengolahan emas dapat
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan ramah lingkungan;
11. Perlu adanya Pelaksanaan kemitraan dengan pertambangan rakyat dengan IUP
atau bentuk perijinan lain sesuai UU;
12. Dalam rangka mensejahterakan penambang rakyat dan pekerja terkait lainnya
serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal atau setempat maka
perlu dibentuk sentra-sentra pengrajin industri (UMKM) emas, perak, dan mineral
logam ikutan lainnya;
13. Penegakkan peraturan untuk wilayah yang tidak dapat dilakukan formalisasi atau
legalisasi dan perlunya peningkatan keberdayaan aparat penegak hukum;
14. Perlunya dilakukan kegiatan pembinaan dan pendampingan terhadap penambang
rakyat oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan BUMN terkait, agar
kegiatan pertambangan rakyat dapat berjalan dengan baik;
15. Perlunya pemberian modal kepada penambang rakyat (Badan usaha Koperasi),
pembelian hasil tambang oleh perusahaan BUMN atau yang ditunjuk pemerintah
dengan pola kemitraan serta memastikan bahwa kegiatan pertambangan rakyat
tidak ditumpangi oleh oknum tidak bertanggung jawab (cukong);
16. Perlu ditetapkan definisi dan kriteria mengenai pertambangan rakyat dalam
peraturan perundangan dengan pertimbangan utama adalah:
a. Pertambangan rakyat hanya dilakukan oleh dan untuk masyarakat setempat
dengan syarat KTP dan pengakuan Kepala Desa setempat
b. Dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah pertambangan yang baik dan
mendapat pendampingan serta pembinaan dan pengawasan dari Pemerintah.
17. Iuran Pertambangan rakyat yang tercantum di dalam Undang-undang 3 tahun
2020 harus diperjelas lagi di dalam aturan turunan, bagaimana kontribusinya
terhadap pembangunan daerah serta bagaimana untuk pelaksanaan reklamasi
dan pasca tambang dari kegiatan pertambangan rakyat;
18. Dalam pelaksanaannya perlu dibentuk Lembaga Khusus Pertambangan rakyat di
tingkat Nasional untuk memudahkan koordinasi semua pemangku kepentingan
terkait dalam rangka pengelolaan pertambangan rakyat agar efisien dan efektif;
19. Adanya kemudahan akses permodalan dan pemasaran hasil tambang rakyat agar
pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat meningkat; dan
20. Perlu dibentuk lembaga yang berbadan hukum di dalam masyarakat yang
disepakati dan diakui oleh pemerintah dalam melaksanakan kegiatan
pertambangan rakyat, yang mengutamakan masyarakat setempat. Sebaiknya
lembaga ini bukanlah bagian dari perangkat pemda yang sudah baku, melainkan
suatu institusi yang dijalankan oleh orang-orang yang berpengalamanan secara
profesional namun bertanggung jawab kepada pemerintah, baik pusat maupun
daerah.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 53


DAFTAR PUSTAKA

APRI. (2020). Pengelolaan Tambang rakyat dan Solusi PETI. Jakarta: APRI.
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. (2015). Cetak Biru Pertambangan untuk
mendukung Pembangunan yang berkelanjutan. Jakarta: Kementerian ESDM.
Ditjen B3. (2020). Alternatif Solusi Penggunaan Bahan Kimia untuk Pengolahan
Emas non Merkuri. Jakarta: KLHK.
Ditjen Minerba. (2019, Juli). Penanganan Penambangan Tanpa Izin. Jakarta, DKI
Jakarta, Indonesia.
Ditjen Minerba. (2020, Mei 20). Kondisi Penambangan Emas Skala Kecil di
Indonesia. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia.
Ditjen Minerba. (2020, Desember). Status IUP Nasional. Jakarta, DKI Jakarta,
Indonesia.
Hutabarat, I. (2020). Peran Pendidikan dalam Pembangunan Kapasitas Pekerja
Tambang Pada Pertambangan Rakyat . Bandung: PPSDM Geominerba.
Nigerian Minerals and Mining Regulations. (2011). Diambil kembali dari
https://www.a-mla.org/masteract/download/565
Nurjaman, D. M. (2020). Efektivitas Metode Pengolahan Bijih Emas dengan Teknik
Pelarutan. Jakarta: BPPT.
Ombusdman RI. (2019). Pengawasan Terintegrasi dalam Rangka Pencegahan dan
Penegakan Hukum Pertambangan Ilegal. Jakarta: Ombusdman RI.
Ongku P Hasibuan. (2020). Penanganan PETI Di lingkungan PT Indo Muro
Kencana. Jakarta: PT IMK.
Perkasa, K. P. (2020). Peran Polhukam dalam Sinergisitas Pengelolaan Tambang
Rakyat untuk Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: Kemenko Polhukam.
Planet Gold Indonesia. (2020). Peran Project Gold ISMIA dalam Membantu PESK.
Jakarta: GOLD ISMIA.
Pusat Sumber Daya Geologi. (2019). Pemutakhiran Data dan Neraca Sumberdaya
Mineral dan Batubara Status 2019. Bandung: PSDG.
Ridwan Nanda Mulyana. (2018, September 11). Nasional Peristiwa. Diambil kembali
dari Kontan: https://nasional.kontan.co.id/news/klhk-terindikasi-
pertambangan-ilegal-negara-rugi-lebih-dari-rp-38-triliun-per-tahun
SDBH. (2020). Pertambangan Rakyat dan Alternatif Solusi PETI. Jakarta: ESDM.
Suprapto, S. J. (2006). Sumber Daya Emas Primer Sekala Kecil untuk
Pengembangan Wilayah Pertambangan Rakyat. Bandung: Pusat
Sumberdaya Geologi.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 54


UNITAR & UN Environment. (2018). Handbook for Developing National ASGM
Formalization Strategies Within National Action Plans. Geneva: UNITAR &
UN Environment.
Wiriosudarmo, R. (1990). PSK- the Indonesian Concept of Small Scale Mining.
Jakarta : Kementerian ESDM.
Zulkarnain, I., Pudjiastuti, T. N., Sumarnadi, E. T., & Sari, B. R. (2007). Dinamika
dan Peran Pertambangan Rakyat di Indonesia. Bandung: Pusat Penelitian
Geoteknologi, LIPI.

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 55


LAMPIRAN

1. Notulensi kegiatan dapat diilihat pada Lampiran CD.


2. Dokumentasi kunjungan lapangan ke Blok Tengki, Desa Kertajaya, Kecamatan
Simpenan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.

Tromol Suasana area penambangan

Mendengarkan Penjelasan Para Penambang Penambang Rakyat yang tergabung dalam


Rakyat Koperasi Penambang Sukabumi

Lubang Vertikal Penambang Rakyat Diskusi dengan Para Penambang Rakyat

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 56


Suasana area penambangan
Lubang Vertikal Penambang Rakyat yang
sedang libur

Suasana area penambangan Tong Pengolahan

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 57


3. Dokumentasi kunjungan lapangan ke lokasi pengolahan emas yang tidak
menggunakan sianida dan merkuri namun menggunakan reagen kimia Inichem
Dressing Agent (IDA) yang ramah lingkungan yang berlokasi di Desa Harumsari,
Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Tong pengolahan Emas dengan IDA Mesin Penggerak Tromol

Tromol Kolam Pengendapan

Tong pengolahan Emas dengan IDA Suasana tempat pengolahan

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 58


4. Peta Sebaran PETI di dalam Wilayah PKP2B dan IUP PMA

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat| 59


5. Peta Sebaran PETI di dalam Wilayah KK dan IUP PMA

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 60


6. Sebaran PETI di Luar Wilayah Berizin

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 61


7. Rekapitulasi Sumberdaya dan Cadangan Mineral Logam 2019

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 62


8. Peta Sebaran Lokasi Mineral Logam Kelompok Logam Mulia

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 63


9. Peta Sebaran WPR di Indonesia

Kajian Pengelolaan Pertambangan Rakyat | 64

Anda mungkin juga menyukai