PROVINSI BANTEN
Jalan Syekh Nawawi Al-bantani Kota Serang 42188
LAPORAN AKHIR
REVIEW RPPLH PROVINSI BANTEN
TAHUN 2019
Laporan Akhir
Review RPPLH Provinsi Banten Tahun 2019
Bab 1
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi
kewajiban bagi Negara, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dalam
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup dapat tetap
menjadi sumber dan penunjang hidup bagi masyarakat serta makluk hidup
lain. Pembangunan yang berkelanjutan sebagai upaya sadar dan terencana
yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam
strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini
dan generasi masa depan.
Untuk memperkuat perencanaan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup tersebut, Undang -Undang Nomor 32 Tahun 2009
memandatkan bahwa untuk menyusun Perencanaan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup harus berbasis ekoregion yang
mempertimbangkan keragaman dan karakteristik wilayah.
Bencana yang sering terjadi akhir-akhir ini, seperti banjir, longsor,
kekeringan, pencemaran sungai, laut, kekurangan air bersih, kerusakan tanah,
dan polusi udara mengindikasikan bahwa daya dukung lingkungan hidup telah
terlampui. Peningkatan frekuensi bencana lingkungan hidup tersebut terjadi
seiring dengan pembangunan yang terus berlangsung. Untuk itu, sangat
penting melakukan perbaikan kebijakan, rencana, maupun program
pembangunan secara terus menerus dengan mempertimbangkan semua aspek,
termasuk lingkungan hidup. Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009
mengamanatkan bahwa RPPLH dijadikan dasar dan dimuat dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM). Dalam hal ini, RPPLH Nasional menjadi sangat penting
dalam mengarahkan pembangunan nasional agar fungsi lingkungan hidup tetap
terjaga
10. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air.
11. Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
12. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P./MenLHK-
II/2015 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
13. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 110 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penetapan Daya Tampung Beban Pencemar Air Pada Sumber Air.
14. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 115 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penentuan Status Mutu Air.
15. Peraturan Pemerintah RI No. 43 tentang Air Tanah.
16. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
17. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 10 tahun 2012 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
18. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 4 Tahun 2012 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Banten Tahun 2012-2017
(Lembaran Daerah Prov Banten Tahun 2012 Nomor 42).
19. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Banten Tahun 2010-2030.
20. Peraturan Gubernur Banten Nomor 63 Tahun 2014 tentang Kebijakan
Pengelolaan Sumber Daya Air Minum Provinsi Banten.
21. Peraturan Daerah Provinsi Banten No 1 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana.
22. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 5 tahun 2014 tentang Perlindungan
Pertanian Pangan Berkelanjutan.
23. Keputusan Gubernur Banten No 672 tahun 2001 tentang Pengendalian Air
Permukaan.
24. Keputusan Gubernur Banten No 672 tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan
Air Bawah Tanah.
Bab 2
Kondisi dan indikasi daya dukung dan
daya tampung wilayah
2.1. Kondisi Wilayah
2.1.1. Potensi dan Kondisi Lingkungan Hidup
2.1.1.1. Air
Pengelolaan sumber daya air di Provinsi Banten dikelola berdasarkan azas
kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian,
keadilan, kemandirian serta transparansi dan akuntabilitas. Wewenang dan
tanggung jawab pemerintah provinsi adalah melaksanakan pengelolaan sumber
daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan
kepentingan provinsi sekitarnya sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan peraturan tambahan
/perubahannya.Pengelolaan SDA di Provinsi Banten dititik beratkan pada
pengembangan SDA melalui upaya konservasi sumber daya air, pendayagunaan
sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
Potensi sumber daya air wilayah Provinsi Banten berasal dari sumber daya
air tanah, sumber daya sungai, keberadaan waduk, embung serta situ-situ. Potensi
sumber daya air banyak ditemui di Kabupaten Lebak, sebab sebagian besar
wilayahnya merupakan kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas.
1. Air Tanah
Tata air permukaan untuk wilayah Provinsi Banten sangat tergantung pada
sumber daya air, khususnya sumber daya air bawah tanah. Terdapat 5 satuan
Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) yang telah di identifikasi, yang bersifat lintas
kabupaten maupun kota, antara lain CABT Labuan, CABT Rawadano dan CABT
Malingping dan lintas propinsi, meliputi CABT Serang-Tangerang dan CABT Jakarta
(Keputusan Menteri ESDM Nomor: 716.K/40/MEM/2003 Tentang Batas
Horisontal Cekungan Air Tanah Pulau Jawa dan Madura).
Potensi dari masing-masing cekungan air bawah tanah ini, adalah sebagai berikut:
a. Satuan Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Labuan
CABT Labuan ini mencakup wilayah Kabupaten Pandeglang (±93%) dan
Kabupaten Lebak (±7%) dengan luas lebih kurang 797 km. Batas cekungan air
bawah tanah di bagian barat adalah selat Sunda, bagian utara dan timur adalah
batas pemisah air tanah dan di bagian selatan adalah batastanpa aliran karena
perbedaan sifat fisik batuan. Jumlah imbuhan air bawah tanah bebas (air bawah
tanah pada lapisan akuifer tak tertekan/akuifer dangkal) yang berasal dari air
hujan terhitung sekitar 515 juta m3/tahun. Sedang pada tipe air bawah tanah pada
akuifer tertekan/akuifer dalam, terbentuk di daerah imbuhannya yang terietak
mulai elevasi di atas 75 m dpi sampai daerah puncak Cunung Condong, Gunung
Pulosari dan Gunung Karang.
b. Satuan Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Rawadano
CABT Rawadano mencakup wilayah Kabupaten Serang dan Kabupaten
Pandeglang, dengan total luas cekungan lebih kurang 375 km2. Batas satuan
cekungan satuan air bawah tanah ini di bagian utara, timur dan selatan berupa
batas pemisah air bawah tanah yang berimpit dengan batas air permukaan yang
melewati Gunung Pasir Pematang Cibatu (420 m), Gunung Ipis (550 m), Gunung
Serengean (700 m), Gunung Pule (259 m), Gunung Kupak (350 m), Gunung Karang
(1.778 m), Gunung Aseupan (1.174 m) dan Gunung Malang (605 m). Sedang batas
di bagian barat adalah Selat Sunda.
Berdasarkan perhitungan imbuhan air bawah tanah, menunjukkan intensitas air
hujan yang turun dan membentuk air bawah tanah di wilayah satuan cekungan ini
sejumlah 180 juta m3/tahun, sebagian diantaranya mengalir dari lereng Gunung
Karang menuju Cagar Alam Rawadano sekitar 79 m3/tahun. Sedang air bawah
tanah yang berupa mata air pada unit akuifer volkanik puma Danau yang dijumpai
di sejumtah 115 lokasi menunjukkan total debit mencapai 2.185 m3/tahun.
Sementara itu pada unit akuifer volkanik Danau pada 89 lokasi, mencapai debit
367 m3/tahun. Total debit dari mata air keseluruhan sebesar 2.552 m3/tahun.
c. Satuan Sub Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Serang –Cilegon.
Satuan sub cekungan ini merupakan bagian dari CABT Serang-Tangerang, yang
secara administratif termasuk dalam wilayah Kota Serang, Kabupaten Serang,
Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Pandeglang, dengan luas wilayah sekitar 1.200
km2. Batas satuan cekungan ini di bagian utara adalah laut Jawa, bagian timur
adalah K.Ciujung, bagian selatan merupakan batas tanpa aliran dan bagian barat
adalah Selat Sunda.
Berdasarkan hasil perhitungan neraca air menunjukkan jumlah imbuhan air
bawah tanah di wilayah satuan cekungan ini sebesar 518 juta m3/tahun, sedang
jumlah aliran air bawah tanah pada tipe lapisan akuifer tertekan sekitari
3m3/tahun, berasal dari daerah imbuhan yang terletak di sebelah utara dan barat
daya yang mempunyai elevasi mulai sekitar 50 m dpl.
d. Satuan Sub Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Tangerang
Satuan sub cekungan ini mencakup wilayah Kota Tangerang, Kabupaten
Tangerang, Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak dan sebagian Kabupaten Bogor
(Provinsi Jawa Barat), dengan total luas sekitar 1.850 km2. Batas sub cekungan ini
di sebelah Utara adalah Laut Jawa, bagian timur adalah Kali Cisadane, bagian
Selatan yang merupakan kontak dengan lapisan akuifer,serta bagian barat adalah
Kali Ciujung. Jumlah imbuhan air bawah tanah di seluruh sub CABT Tangerang
sekitar 311 juta m3/tahun, sedangkan jumlah aliran air bawah tanah tertekan
terhitung sekitar 0,9 juta m3/tahun.
2. Sungai
Definisi dari Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan
satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
danau atau ke laut secara alami, dan batas di laut sampai dengan daerah perairan
yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7 Tahun 2004).
Berdasarkan pembagian Daerah Aliran Sungai (DAS), Provinsi Banten terbagi
menjadi enam DAS, yaitu:
a) DAS Ujung Kulon, meliputi wilayah bagian Barat Kab. Pandeglang (Taman
Nasional Ujung Kulon dan sekitarnya).
lokasi Kab. Pandeglang terdiri dari 65 sungai dan yang berada di Kab. Lebak
terdapat 5 sungai. Sementara itu untuk WS Cibaliung-Cisawarna, di wilayah Kab.
lebak terdapat 34 sungai dan Kab. Pandeglang terdapat 31 sungai.
a. Sungai Ciujung
Sungai Ciujung merupakan salah satu sungai besar di Provinsi Banten yang
mengalir melalui wilayah Kab. Bogor (Provinsi Jawa Barat), Kab. Lebak, dan Kab.
Serang. Sungai ini berhulu di G. Karang (+ 1778 m) di Kab. Serang dan G. Halimun
(+ 1929 m) di Kab. Bogor, memiliki panjang sungai + 84,8 km dengan luas daerah
aliran sungai (DAS) seluas + 1.858 km2, memiliki dua anak sungai yang besar yaitu
S. Cisimeut (DAS = 458 km2) dan S. Ciberang (DAS = 305 km2). Kedua anak sungai
ini menyatu di sebelah selatan kota Rangkasbitung dan mengalir ke utara
bermuara di laut Jawa.
Kualitas air sungai yang terdapat pada provinsi Banten tidak terlepas dari adanya
pencemaran air, sebagai akibat adanya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat dan industri. Adanya pencemaran air pada sungai menjadikan
beberapa parameter kualitas air menurun dan berada di luar baku mutu yang di
telah ditetapkan. Penurunan parameter kualitas air menyebabkan fungsi sungai
menjadi berkurang, sehingga kebutuhan masyarakat akan air yang baik akan
semakin berkurang.
b. Sungai Ciliman
Sungai Ciliman dengan luas DAS + 500 km2 mengalir sepanjang 55 km melalui
kabupaten Lebak dan Pandeglang, berhulu di Gunung Liman, Gunung Kencana, dan
Gunung Kendeng serta bermuara di teluk Lada. Anak-anak sungai Ciliman adalah:
Sungai Cidima, Cicaringin, Citeureup, Cipendeuy dan Ciseuleuhdeungen. Bentuk
DAS berbentuk cabang pohon, sungai induknya memanjang dengan anak-anak
sungai langsung mengalir masuk ke sungai induk.
c. Sungai Cidanau
Sungai Cidanau mengalir dari Rawa Danau ke arah Barat dan bermuara ke selat
Sunda, sehingga Cidanau merupakan aliran keluar (outflow) dari air di rawa
Danau. Karena sungai ini menyatu dengan Rawa Danau, maka daerah resapannya
juga merupakan daerah resapan Rawa Danau.
d. Sungai Cibanten
Sungai Cibanten mengalir melalui kota Serang dan bermuara di teluk Banten.
3. Situ/Rawa
Potensi air permukaan yang tersimpan dalam bentuk situ / rawa adalah sebagai
berikut :
• Volume situ / rawa di SWS Ciujung-Ciliman 1.841.700 m3
Gambar 2.1. Gambar Inventarisasi Situ, Rawa, dan Danau di Provinsi Banten
Sumber: BLHD Prov. Banten, 2015
4. Mata Air
• Jumlah mata air di SWS Ciujung-Ciliman berjumlah 337 buah
Kualitas Air di Provinsi Banten
Daerah Aliran Sungai (DAS) beserta Wilayah Sungai di Provinsi Banten, sebagai
berikut:
persen), Kota Cilegon sebesar 1.611 hektar (0,79 persen), Kota Serang sebesar
8.325 hektar (4,07 persen) dan terakhir Kota Tangerang Selatan adalah
kabupaten/kota di Provinsi Banten yang memiliki luas lahan sawah terkecil yaitu
hanya sebesar 99 hektar atau 0,05 persen dari total lahan sawah dibanten.
Sebesar 203.123 hektar atau 99,31 persen lahan sawah di Provinsi Banten
ditanami padi, sedangkan sisanya sebesar 0,69 persen tidak ditanami padi, dari
sekitar 1.416 hektar lahan sawah yang tidak ditanami padi, 969 hektar (68,43
persen) ditanami tanaman lainnya selain padi, sedangkan sisanya sebesar 447
hektar (31,57 persen) tidak ditanami apapun. Sebesar 64,10 persen dari luas lahan
yang ditanami padi atau sekitar 130.198 hektar lahan sawah ditanami padi
sebanyak dua kali dalam setahun, sisanya sebesar 33.115 hektar (16,30 persen)
hanya ditanami padi sebanyak satu kali dalam setahun dan selebihnya sekitar
39.810 hektar (19,60 persen) ditanami padi lebih dari tiga kali dalam setahun.
Berdasarkan jenis pengairan, 106.403 hektar atau 52,02 persen luas lahan
sawah diantaranya adalah lahan sawah irigasi. Jenis lahan sawah irigasi yang
terluas terdapat di Kabupaten Serang (27.516 hektar atau 25,86 persen),
kemudian diikuti oleh Kabupaten Lebak (25.909 hektar atau 24,35 persen),
Kabupaten Tangerang (24.805 hektar atau 23,31 persen), Kabupaten Pandeglang
(22.674 hektar atau 21,31 persen), sedangkan Kota Serang dan Kota Tangerang
masih dibawah 5 persen dari total luas lahan sawah irigasi di provinsi banten.
Berdasarkan luasnya berturut-turut adalah Kota Serang (4.993 hektar atau 4,69
persen) dan Kota Tangerang (506 hektar atau 0,48 persen) sedangkan di Kota
Tangerang Selatan dan dan Kota Cilegon tidak terdapat lahan sawah irigasi.
Hampir seluruh luas lahan sawah irigasi ditanami padi, sebesar 105.459 hektar
atau 99,11 persen lahan sawah irigasi di Provinsi Banten ditanami padi, sedangkan
sisanya sebesar 0,89 persen tidak ditanami padi, dari sekitar 944 hektar lahan
sawah irigasi yang tidak ditanami padi, 605 hektar (64,09 persen) ditanami
tanaman lainnya selain padi, sedangkan sisanya sebesar 339 hektar (35,91 persen)
tidak ditanami apapun. Sebesar 65,92 persen dari luas lahan sawah irigasi yang
ditanami padi atau sekitar 69.521 hektar lahan sawah irigasi ditanami padi
sebanyak dua kali dalam setahun, sisanya sebesar 26.435 hektar (25,07 persen)
ditanami padi lebih dari atau sampai dengan tiga kali dalam setahun dan
selebihnya sekitar 9.503 hektar (9,01 persen) hanya ditanami padi sebanyak satu
kali dalam setahun.
2.1.1.4. Keanekaragaman Hayati
Provinsi Banten sebagai daerah dataran tropis yang terletak diujung Barat
Pulau Jawa memiliki kekayaan dan kekhasan keanekaragaman hayati. Salah satu
kekayaan dan kekhasan keanekaragaman hayati Provinsi Banten yang menjadi
bagian dari perlindungan dan kekayaan alam dunia (the world heritage) adalah
Badak Jawa (Rhinocerosnsondaicus). Selain Badak Jawa, Cagar Alam Rawa Danau di
Kabupaten Serang dan Taman Nasional Gunung Halimun–Salak di perbatasan Jawa
Barat dengan Banten Selatan, merupakan kawasan–kawasan endemis yang kaya
dengan keanekaragaman hayati. Cagar Alam Rawa Danau memiliki ±131 jenis
keanekaragaman hayati, yang beberapa diantaranya secara internasional
disepakati sebagai flora dan fauna yang mutlak harus dilindungi, flora endemis
yang ada di kawasan tersebut antara lain; Derris danauensis (Backer dan
Bakhuizen van den Brink; 1963); Glochidion palustre, Coix palustris dan Alocasia
bantemensis (Kooders, 1892 dan 1912; dan Endert, 1932). Sementara Taman
Nasional Gunung Halimun–Salak merupakan pusat habitat Owa jawa atau Owa
Abu–Abu (Hylobates moloch), yang juga fauna endemis yang yang mutlak harus
dilindungi.
Disamping cagar alam dan tanaman nasional tersebut di atas, Banten masih
memiliki banyak kawasan–kawasan lindung baik untuk kepentingan pelestarian
keanekaragaman hayati, seperti; burung (Cagar Alam Pulau Dua), penyu (Taman
Nasional Ujung Kulon dan Taman Wisata Alam Pulau Sanghyang), juga memiliki
keanekaragaman hayati yang memiliki nilai ekonomis dan menjadi unggulan
kabupaten/kota di Provinsi Banten.
2.1.1.5. Laut
Perairan laut Provinsi Banten terbagi ke dalam tiga wilayah perairan laut
yaitu Samudera Indonesia, Laut Jawa dan Selat Sunda. Ketiga wilayah perairan laut
tersebut terbentang di Wilayah Provinsi Banten bagian utara, bagian barat dan
bagian selatan dan memiliki luas perairan laut secara keseluruhan sekitar
11.486,72 km2.. Masing-masing luas wilayah perairan laut tersebut adalah luas
Samudera Indonesia seluas 3.077,36 km2, luas perairan Laut Jawa 2.797,20 km2
dan luas perairan Selat Sunda 5.612,16 km2.
Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial yang cukup
padat. Selat Sunda merupakan salah satu jalur yang dapat dilalui kapal-kapal besar
yang menghubungkan Eropa, Asia Selatan, Australia dan Selandia Baru dengan
kawasan Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia dan Singapura. Perairan Banten
ini juga merupakan jalur utama perlintasan/penghubung dua pulau besar di
Indonesia yaitu Jawa dan Sumatera. Gambaran rinci luas wilayah perairan laut
Provinsi Banten dijelaskan pada Tabel berikut ini.
Tabel 2.3. Luas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Banten
Luas Wilayah
No. Kabupaten/Kota Luas Darat (Km2) Luas Laut (Km2)
(Km2)
1 Kabupaten Pandeglang 4.448,89 2.746,89 1.702,00
2 Kabupaten Lebak 3.721,96 3.044,72 677,24
3 Kabupaten Tangerang 1.337,01 959,61 377,40
4 Kabupaten Serang 2.148,15 1.467,35 680,80
5 Kota Tangerang 164,55 164,55 -
6 Kota Cilegon 360,51 175,51 185,00
dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh izin. Dengan demikian pengelolaan wilayah pesisir, laut dan Pulau-
Pulau kecil dapat terencana dengan baik dan terukur.
2.1.1.7. Pertambangan
Pada tahun 2016, jumlah perusahaan pertambangan di Provinsi Banten
sebanyak 140 perusahaan, dimana yang terbanyak adalah perusahaan
pertambangan pasir darat, andesit, dan pasir laut. Dilihat dari luas wilayah
penambangannya, bahan tambang jenis pasir laut memiliki wilayah terluas, yaitu
sebesar 21.304,29 ha. Sementara itu, dari jumlah produksinya, pasir laut juga
memiliki produksi terbesar yaitu 7.902.666 m3.
Tabel 2.4. Luas Wilayah Pertambangan Berdasarkan Jenis Bahan Tambang
di Provinsi Banten Tahun 2014-2016
No Jenis Bahan Tambang Luas
(Ha)
2014 2015 2016
1. Batu Bara 6.101 12,53 5.611
2 Emas 13.987 438,98 15.327
3. Perak - - -
4. Andesit 244 340,28 1.293
5. Zeolit 1.005 - 1.005
6. Galena 18 0,14 18
7. Pasir Darat 163,20 30 308,50
8. Pasir Kuarsa 555 0,02 453
9. Pasir Kali - - -
10 Bentonit - 56 40
11. Tanah Liat 698,26 1,02 500
12. Tanah Urug - - -
13. Batu Gamping 7.442,31 439 7.054
14. Tras 105 49,04 134
15. Pasir Besi - 30 10
16. Pasir Laut 15.735,36 76.822,70 304,29
17. Feldspar 5 - 5
18 Seng/Zn 435 - -
Total 32.063
Sumber : Banten Dalam Angka,2017
Tabel 2.5. Daftar IUP Eksplorasi Logam Provinsi Banten Tahun 2017
NO NAMA KABUPATEN/KOTA LUAS TAHAPAN KOMODITAS
PERUSAHAAN (HA) KEGIATAN
1 2 3 4 5 6
1 PT. Graha Makmur LEBAK 1972 EKSPLORASI Pasir Laut (Emas
Coalindo dmp)
Tabel 2.6. Daftar IUP Eksplorasi Batubara Provinsi Banten Tahun 2017
NO NAMA KABUPATEN/KOTA LUAS TAHAPAN KOMODITAS
PERUSAHAAN (HA) KEGIATAN
1 2 3 5 6 7
1 PT. Alam Sinsegye LEBAK 1971,80 EKSPLORASI BATUBARA
Tanah Banten
Kulon untuk kegiatan eksplorasi dan pada saat ini tengah menawarkan Blok
Rangkasbitung.
Bab 3
PERMASALAHAN DAN TARGET
LINGKUNGAN HIDUP
3.1. Permasalahan Lingkungan Hidup
3.1.1. Isu Pokok Permasalahan
Wilayah Banten mengalami krisis lingkungan yang luar biasa, di antaranya
adalah persoalan pencemaran lingkungan, sampah, air, kerusakan hutan, banjir,
polusi, tanah longsor dan sebagainya. Kondisi Lingkungan hidup dan sumber-
sumber kehidupan berada di ambang kehancuran akibat over-eksploitasi selama
ini. Berlakunya otonomi daerah dengan tidak disertai tanggung jawab dan
tanggung gugat dari pelaksana Negara juga merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya krisis lingkungan selama ini, sehingga rakyat semakin terpinggirkan dan
termarjinalkan hak-haknya, sementara perusakan lingkungan dan sumber
kehidupan berlangsung di depan mata.
Alih fungsi wilayah terjadi dibeberapa wilayah di Banten, selain Cilegon dan
Tanggerang yang memang sejak semula sudah menjadi kawasan Industri, kini
giliran wilayah serang Utara juga disulap menjadi Kawasan industri. Sejak tahun
90-an, telah didirikan sekitar sebelah kawasan industri yang tentunya sedikit
banyak akan mengakibatkan permasalahan lingkungan dan pada gilirannya
melanggar Hak-hak Azasi masyarakat. Kerusakan, pencemaran lingkungan,
kualitas dan kuantitas air yang menurun adalah konsekwensi yang dialami
masyarakat bersamaan dengan perkembangan industri. Pada prosesnya juga
melanggar Hak-hak Masyarakat untuk mendapatkan kehidupan dan penghidupan
yang layak.
Dampak nyata kebijakan-kebijakan pembangunan yang tidak berwawasan
lingkungan adalah rusak dan tercemarnya sejumlah DAS yang ada di Banten;
menurunnya Kuantitas dan kualitas air, sehingga tidak lagi layak konsumsi. Di
sejumlah daerah di sepanjang pantai utara Kabupaten Serang telah merasakan
imbasnya, diantaranya petani gagal panen dan atau produksinya menurun, begitu
juga yang dirasakan petani petambak dan nelayan. Semenjak berdirinya kawasan
Kerusakan hutan akibat penebangan hutan secara liar terjadi di daerah hulu
sungai. Daerah hulu sungai merupakan bagian dari ekosistem Daerah Aliran
Sungai (DAS). Peningkatan buangan sedimen ke dalam ekosistem perairan akibat
semakin tingginya laju erosi tanah yang disebabkan oleh perusakan hutan,
kegiatan pertanian, dan pembangunan sarana dan prasarana di daerah aliran
sungai. Kerusakan yang diakibatkan oleh rusaknya hutan di daerah hulu
diindikasikan oleh meluapnya sungai di musim hujan yang berpotensi
menimbulkan banjir di daerah hilir dan keringnya sungai di musim kemarau
karena tidak adanya vegetasi yang menyimpan air. Tidak adanya vegetasi penutup
tanah di daerah aliran sungai juga menyebabkan top soil akan ikut tercuci bersama
dengan air hujan.
Selain permasalahan sedimentasi, abrasi pantai juga terjadi di beberapa
titik lokasi di Provinsi Banten.Abrasi yang terjadi sebagian besar diakibatkan oleh
faktor alam dan kegiatan manusia seperti kegiatan pertambakan, penebangan
hutan mangrove, penggalian pasir pantai, maupun reklamasi. Kerusakan terumbu
karang mengakibatkan hilangnya areal nursery ground dan feeding ground bagi
berbagai biota laut. Hal ini mengakibatkan menurunnya produksi ikan-ikan karang
dan menghilangkan fungsi terumbu karang sebagai pelindung pantai terhadap
gempuran tekanan gelombang dan badai yang mengakibatkan abrasi pantai
2. Pencemaran Air, Udara, dan Tanah
a. Pencemaran Air
Berdasarkan hasil identifikasi, permasalahan lingkungan yang terkait
dengan sumberdaya air di wilayah kota/kabupaten di provinsi Banten dapat
dikatakan beragam sesuai dengan karakteristik daerah dan aktifitas
pembangunannya. Penyebaran sumberdaya air di Provinsi Banten secara alamiah
tidak merata, ada daerah yang memiliki potensi sumber air cukup tinggi tetapi ada
juga daerah yang minim sumber air. Potensi sumberdaya air di wilayah Provinsi
Banten digambarkan melalui kondisi sumber air permukaan dan air tanah.
Kuantitas air sungai relatif cukup tinggi meskipun terjadi fluktuasi debit
aliran yang cukup besar antara musim hujan dan musim kemarau, sedangkan
kualitasnya menunjukkan adanya indikasi pencemaran di beberapa sungai.
Kab.Pandeglang 29,5425,86 21,94 13,39 41,7 12,9 17,1 25,5 11,34 12,15 11,75
Kab Lebak 57,2233,43 6,68 8,58 36 25 16,2 16,3 13,24 11,69 12,47
Kab.Tangerang 46,4737,25 17,42 15,96 62,3 73,4 36,2 32 14,64 25,49 20,07
Kab.Serang 24,4926,02 10,08 24,86 56,1 44,5 39,4 28 10,68 21,00 15,84
Kota Serang 25,4924,64 35,76 62,97 35,5 44,09 18,8 35,02 18,61 16,68 17,65
Kota Tangerang 28,1244,05 41,71 69,86 24,3 48,4 12,2 18,92 22,97 12,98 17,98
Kota Cilegon 26,1424,54 27,56 37,66 38,2 44,22 34,98 40,98 17,76 18,02 17,89
Kota Tangsel 10,8448,74 30,92 71,55 62,45 57 62,6 56,9 12,26 29,87 21,07
Nilai Indeks Rata-rata 15,19 18,49 16,84
Sumber : Hasil Perhitungan, 2018
Tabel 3.3 Indeks Kualitas Udara Provinsi Banten Tahun 2018
Dari tabel Perhitungan Indeks Kualitas Udara Tahun 2018 di Provinsi Banten
menunjukkan angka 72,63 yang berarti indeks kualitas udara Provinsi Banten berada pada
kondisi baik. Kualitas udara yang sudah berada dalam kondisi baik ini harus
dipertahankan dengan mengontrol peningkatan jumlah kegiatan transportasi, industri,
perkantoran, dan perumahan yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap
pencemaran udara.
c. Kerusakan/Pencemaran Tanah
Kerusakan tanah di Provinsi Banten antara lain akibat dari kegiatan
Penambangan bahan galian C terutama pasir, tanah dan batu secara tidak
terkendali mengakibatkan kerusakan lahan produktif disekitarnya. Dari sekian
banyak pelaku usaha penambangan bahan galian C yang belum melengkapi dan
melaksanakan usahanya dengan program perencanaan penambangan dan
program reklamasi masih sedikit. Rusaknya lahan hutan dan tingginya luas lahan
terbangun menyebabkan semakin tingginya aliran permukaan (banjir) dan
urbanisasi yang pada akhirnya akan memunculkan kelas sosial baru di masyarakat
kota. Adanya perumahan kumuh adalah contoh konkrit dari masalah ini.
Dari segi pendidikan dan kesehatan sebagian besar penduduk tidak akan
mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai. Rendahnya
kualitas pendidikan adalah salah satu faktor yang menyebabkan suatu negara
rendah akan sumber daya manusianya. Dampak dari kemiskinan adalah
ketidakmampuan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik, tidak mampu
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, kebutuhan pangan yang
tidak tercukupi yang menyebabkan kebutuhan gizi tidak terpenuhi, daya beli yang
rendah. Ancaman terhadap keberlanjutan penghidupan masyarakat tergambar
pada peningkatan angka pengangguran yang merupakan korelasi dari kemiskinan
masyarakat.
Angka jumlah penduduk terbuka pengangguran berdasarkan Data BPS
Tahun 2016 di Provinsi Banten berjumlah kurang lebih 509.383 jiwa, Ini artinya
kondisi ketenagakerjaan Banten masih belum memiliki kinerja yang baik. Ini
sangat ironis mengingat Banten merupakan wilayah yang sangat prospektus untuk
berinvestasi.
Jumlah penduduk harus berbanding lurus dengan luas pemukiman. Masalah
terjadi ketika lahan untuk pemukiman tidak cukup lagi untuk menampung
banyaknya penduduk. Untuk mengatasi masalah ini, penduduk pun mengubah
lahan pertanian atau hutan menjadi areal pemukiman baru. Masalah tidak sampai
di situ saja, membuka lahan pertanian atau hutan menjadi lahan pertanian justru
menimbulkan masalah lingkungan.
Lahan pertanian atau hutan yang di sulap menjadi areal pemukiman
mengakibatkan hilangnya daerah resapan air. Sebab, lahan yang semula jadi
resapan air kini di poles dengan semen dan beton. Sehingga air tidak dapat
meresap. Banjir pun tidak terhindarkan. Selain itu, ketika membuka hutan menjadi
areal pemukiman, penduduk biasanya membakar hutan tersebut, sebagai
akibatnya timbullah polusi udara yang disebabkan oleh hutan yang terbakar.
Eksisting hutan sebagai buffer zone dan kawasan lindung telah terjadi degradasi
lahan yang dikarenakan banyaknya perambahan hutan dan illegal logging yang
bisa menimbulkan potensi bencana tanah longsor, bencana banjir bandang seperti
yang terjadi di Kecamatan Sobang Kabupaten Lebak.
Kegiatan penambangan emas di Cisoka yang dilakukan oleh masyarakat,
sebagian besar merupakan kegiatan penambangan emas tanpa izin (PETI) yang
mengakibatkan kerusakan lingkungan berupa kerusakan bentang alam, erosi dan
pendangkalan sungai. Merkuri yang digunakan dalam proses pengolahan emas
dapat terlepas ke alam yang mengakibatkan terjadinya pencemaran Daerah Aliran
Sungai (DAS) Ciberang (wilayah ekoregion 32, 6, 37, 26) bagian hulu.
Tailing pengolahan amalgamasi menunjukkan kandungan merkuri (Hg)
sangat tinggi berkisar antara 11.500-23.700 ppb akibat proses amalgamasi yang
tidak sempurna. Kondisi ini perlu dicermati dan dilakukan pemantauan khusus,
mengingat sisa tailing tersebut diproses lagi dengan cara sianidasi dan tidak
dikelola dengan baik lalu terbuang ke badan air.
Kandungan merkuri dalam endapan sungai yang sangat tinggi (lebih besar
dari 1000 ppb), berkaitan erat dengan adanya aktifitas penambangan dan
pengolahan emas yang tersebar di daerah penelitian sehingga berpotensi
menyebabkan terjadinya pencemaran air sungai, karena pada kondisi tertentu
merkuri tersebut dapat larut ke dalam air.
Tingginya kadar Hg dalam tanah (lebih dari 1000 ppb) di Kampung Cisoka,
Lebak Sampai dan di Muara sangat berkaitan erat dengan aktifitas pengolahan dan
penggarangan bullion yang dilakukan di ruang terbuka dan berpotensi
menyebabkan pencemaran merkuri ke dalam air sumur, sungai, dan tumbuhan.
Kandungan unsur Hg dan logam berat lainnya dalam air secara umum
masih di bawah baku mutu Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas (PP No. 82 Tahun
2011), hanya 3 lokasi yang berada di atas baku mutu, yaitu di sekitar daerah zona
penambangan dan pengolahan emas Cisoka dan Hulu Ciupih.
Kerusakan hutan mangrove dan konversi hutan mangrove di pantai utara,
selatan dan barat khususnya akibat pengembangan lahan tambak dan praktek
produksi yang tidak ramah lingkungan dapat mengakibatkan abrasi pantai seperti
yang terjadi di Kabupaten Serang, Tangerang dan Kecamatan Panimpang
Kabupaten Pandeglang.
transportasi yang digunakan untuk mengangkut bahan dan hasil industri adalah
truk-truk besar yang tentunya jumlah zat-zat hasil buangan knalpotnya tidaklah
sedikit.
Di wilayah Provinsi Banten tidaklah sedikit masalah yang berkaitan dengan
polusi yang sering dirasakan dampaknya oleh masyarakat, terutama masyarakat
yang berlokasi di dekat pabrik. Beberapa kecelakaan yang tejadi di pabrik,
misalnya kebocoran pipa, tumpahan tangki dari bahan kimia, bahkan kebakaran
pabrik. Tentunya hal ini menghasilkan dampak yang mengkhawatirkan untuk
kesehatan masyarakat sekitar. Cara penanggulangan serta pencegahannya
sangatlah penting. Peran pihak terkait seperti pihak penanggung jawab dari pabrik
serta pemerintah setempat perlu diperhatikan karena sudah banyak sungai yang
ada di Provinsi Banten mengalami penurunan kualitas air diantaranya Sungai
Cirarab, Cibanten, Cisadane, dan Ciujung yang kondisinya kini kritis akibat
pencemaran.
Isu permasalahan lingkungan di Provinsi Banten juga dianalisis dengan
metode DPSIR, seperti yang dimuat dalam Tabel 3.5.
Tabel 3.5. Analisis DPSIR untuk Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Provinsi Banten
Pendorong Tekanan (Pressure) Kondisi Dampak
(Driver) Lingkungan (Impact)
(State)
Pertumbuhan • Pemekaran • Rusaknya • Turunnya
penduduk di perkotaan kemampuan kemampuan
perkotaan menyebabkan alih daya tampung produksi
fungsi lahan air di dataran pangan
pertanian fluvial • Turunnya daya
• Kebutuhan air baku • Subsiden di dukung
dan SDA meningkat pesisir penyediaan air
Kebijakan • Alih fungsi lahan • Indeks • Turunnya
pemerintah budidaya pertanian pencemaran kemampuan
untuk sekitar perkotaan di atas produksi
industrialisasi menjadi kawasan ambang batas pangan
dan industri dan lahan di wilayah • Turunnya daya
pemberian izin budidaya perkotaan dukung
tambang • Kebutuhan air, SDA, • Banyak kasus penyediaan air
dan energi penyakit • Hilangnya
• Urubanisasi untuk akibat cadangan
• Inventarisasi dan
penyelesaian pengaduan dan
konflik terkait lingkungan
hidup
• Penyelenggaraan Diklat dan
penyuluhan
• Inventarisasi dan pemberian
penghargaan Lingkungan
Hidup
• Pengelolaan sampah dan
penetapan TPA
• Implementasi KEHATI
• Peningkatan program
rehabilitasi
• Peningkatan program
perlindungan tumbuhan
• Peningkatan kapasitas SDM
• Peningkatan program
pemberdayaan masyarakat
• Inventarisasi dan penetapan
MHA dan pengakuan
kearifan lokal
• Peningkatan kapasistas
kelembagaan SKPD/OPD
• Peningkatan kapasitas
masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan
hidup dan kehutanan
2 Telaahan visi, misi, • Peningkatan SDM • SDM, kapasitas kelembagaan
dan program kepala • Peningkatan kapasitas dan infrastruktur
daerah dan wakil kelembagaan / OPD • Akses pendidikan, kesehatan
kepala daerah • Peningkatan infrastruktur dan ekonomi
terpilih • Peningkatan akses
pendidikan
• Peningkatan akses kesehatan
• Peningkatan pertumbuhan
ekonomi
3 Telaahan renstra • Peningkatan sarana • Sarana prasarana pengukura
KLHK prasarana pengukuran dan dan pemantauan kualitas
pemantauan kualitas lingkungan (digital
lingkungan (digital equipments)
equipments) • SDM dan kapasitas
• Peningkatan jumlah dan kelembagaan
kapasitas tenaga surveyor
dan laboran terkait
pengukuran dan
pemantauan kualitas
lingkungan
• Peningkatan kapasitas
kelembagaan / OPD terkait
pengukuran dan
pemantauan kualitas
4 Telaahan RTRW • Peningkatan perizinan • Perizinan dan pengawasan
dan KLHS permukiman dan jaringan perlindungan dan
• Peningkatan pengawasan pengelolaan lingkungan
pengelolaan lingkungan hidup
khususnya permukiman dan • Peralatan pengukuran (digital
jaringan equipment)
• Peningkatan peralatan • Nilai ekonomi kawasan hutan
pengukuran dan
pemantauan kualitas
lingkungan (air, udara, tanah
dan vegetasi)
• Peningkatan keahlian SDM
khususnya terkait
pengukuran dan
pemantauan kualitas
lingkungan (air, udara, tanah
dan vegetasi)
• Peningkatan kualitas
lingkungan dan pelestarian
keanekaragaman hayati
• Peningkatan nilai kawasan
• Peningkatan nilai ekonomi
masyarakat di sekitar
kawasan
3.2. Target Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Target Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Banten didasarkan Misi ke-
5 ‘Pembangunan Ekonomi’ Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Provinsi Banten Tahun 2017-2022.
Misi 5: Meningkatkan Kualitas Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi
Tujuan: Menjaga kualitas LH, pengendalian pemcemaran, keanekaragaman hayati,
pengendalian perubahan iklim, menjaga luasan dan fungsi hutan, menyediakan
hutan untuk sosial dan ekonomi masyarakat serta merawat keseimbangan
ekosistem
Sasaran:
1. Meningkatnya pengendalian pencemaran lingkungan hidup
Strategi:
1.a. Mendorong Peningkatan kualitas lingkungan hidup
Arah Kebijakan:
1.a. Mendorong peningkatan kualitas air dan udara melalui pengelolaan sampah
dan limbah B3, pengendalian pencemaran dan kerusakan, pemeliharaan
lingkungan hidup, perencanaan dan pengkajian dampak lingkungan hidup,
pengaduan dan penegakan hukum.
Sasaran:
2. Meningkatnya kualitas perencanaan, pengendalian, dan perlindungan hutan
Strategi:
2.a. Mendorong peningkatan fungsi hutan dan kawasan lindung melalui
perencanaan dan penatagunaan hutan, pemanfaatan dan penatausahaan hasil
hutan, pengembangan aneka usaha dan promosi kehutanan serta peningkatan
pengelolaan Tahura Banten.
2. b. Meningkatkan fungsi hutan dan kawasan lindung
Arah Kebijakan:
2.a. Peningkatan konservasi DAS melalui penigkatan fungsi hutan dan kawasan
lindung, perencanaan dan penatagunaan, pemanfaatan dan penatausahaan hasil
hutan, aneka usaha dan promosi kehutanan, rehabilitasi hutan dan lahan, serta
pemberdayaan masyarakat.
2.b. Peningkatan fungsi hutan dan kawasan lindung serta kesadaran masyarakat
peduli hutan.
Secara garis besar Indikator target Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup terbagi menjadi 7 (tujuh): (1) Peningkatan indeks kualitas
lingkungan hidup (IKLH), (2) peningkatan indeks kualitas air (IKA), (3)
peningkatan indeks kualitas udara (IKU), (4) peningkatan indeks tutupan hutan
(ITH), (5) peningkatan peran serta masyarakat dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, (6) peningkatan luas lahan kritis yang terehabilitasi
dan peningkatan fungsi hutan bagi masyarakat serta (7) indeks kepuasan
masyarakat.
Sasaran
3. Pembangunan Rendah Karbon
Strategi
Perwujudan Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan Berbasis Ramah Lingkungan
Bab 4
Review rencana pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup
Berdasarkan data inventarisasi sumber daya alam, profil ekoregion, dan isu
permasalahan lingkungan hidup yang ada di Provinsi Banten, maka review
rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Provinsi Banten dapat
dilihat pada tabel berikut :
Bab 5
Kesimpulan dan rekomendasi
5.1. Kesimpulan
Dialog berbagai pihak perlu segera dilakukan secara terus menerus agar dapat
dihasilkan sebuah produk kebijakan yang “legitimate” dan dapat dipertanggung
jawabkan dihadapan publik Provinsi banten. Secara substansif, dalam RPPLH ini
juga tidak dapat menjawab persoalan pokok dalam pengelolaan sumber daya alam
di Provinsi Banten, yakni: Kerusakan sumberdaya alam yang telah melampaui daya
dukung lingkungan, konflik pemanfaatan sumberdaya alam berbasis lahan akibat
belum selesainya urusan kepastian hak-hak atas tanah maupun penguasaan
sumber daya alam oleh negara serta ketidak-adilan alokasi manfaat sumberdaya
alam. Selain itu banyak dan luasnya keterlanjuran izin-izin yang tidak sesuai
dengan lokasinya, misalnya pertambangan, tumpang-tindih izin, investasi usaha
besar dan pengembangan ekonomi yang tidak dikaitkan dengan kapasitas
masyarakat lokal.
5.2. Rekomendasi
penyusunan dan pembahasan serta substansi RPPLH memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. RPPLH Provinsi Banten harus disusun dan dibahas berdasarkan prinsip
keterbukaan dan partisipasi publik agar masyarakat luas dapat ikut terlibat
secara aktif dalam proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian
ruang di Provinsi Banten
2. RPPLH Provinsi Banten harus menjawab persoalan kerusakan sumberdaya
alam yang telah melampaui daya dukung lingkungan dengan pendekatan
pengelolaan kawasan berbasis eco-region.
3. RPPLH Provinsi Banten harus mengatur mekanisme mitigasi dan resolusi
konflik pemanfaatan sumberdaya alam berbasis lahan akibat belum
selesainya urusan kepastian hak-hak atas tanah maupun penguasaan
Kata Pengantar
Penyusunan Review Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH)
Provinsi Banten Tahun 2019 merupakan kegiatan lanjutan dari Pemantapan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Provinsi Banten Tahun 2018.
Penyusunan Review RPPLH didasarkan pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Arahan Kebijakan RPPLH memuat rencana-rencana perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di Provinsi Banten, yang didasarkan pada potensi-potensi sumber daya
alam dan lingkungan hidup, yaitu (1) kehutanan dan perkebunan, (2) kelautan dan
perikanan, (3) air, (4) pertambangan dan energi, (5) pariwisata, dan (6) keanekaragaman
hayati.
Penyusunan Review RPPLH akan menjadi dasar bagi penyusunan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Provinsi Banten. RPPLH diharapkan dapat menjadi acuan pengelolaan
lingkungan hidup dalam setiap proses pembangunan di Provinsi Banten, baik itu oleh
stakeholder, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan di Provinsi Banten dapat terlaksana dengan baik.
Kepala DLHK Provinsi Banten
Ir. H. M. Husni Hasan., CES
Kata Pengantar ....................................................................................................................................................... i
Daftar Isi ..................................................................................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan................................................................................................................. I-1
1.1. Posisi dan Peran RPPLH.................................................................................................. . ............. I-1
1.2. Tujuan dan Sasaran RPPLH ............................................................................................ ............. I-2
1.3. Kerangka Hukum.............................................................................................................................. 1-2
BAB II Kondisi dan Indikasi Daya Dukung dan Daya Tampung Wilayah ............... II-1
2.1 Kondisi wilayah ........................................................................................................................................... II-1
2.1.1. Potensi dan Kondisi Lingkungan Hidup ............................................................................... II-1
2.1.2. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup ................................................................................ II-64
2.1.3. Resiko Bencana.................................................................................................................................. II-94
2.2. Kependudukan dan Kegiatannya ...................................................................................................... II102
2.2.1. Jumlah Penduduk Laki-Laki dan Perempuan .................................................................. II103
2.2.2. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan ........................................................... II104
2.3. Indikasi DD dan DT LH Berbasis Jasa Ekosistem ....................................................................... II-108
2.3.1. Sektor Kehutanan ........................................................................................................................... II-112
2.3.2. Sektor Pertanian ............................................................................................................................. II-121
2.3.3. Sektor Industri ................................................................................................................................ II-125
BAB III Permasalahan dan Target Lingkungan Hidup ................................................. III-1
3.1. Permasalahan Lingkungan Hidup ...................................................................................................... III-1
3.1.1. Isu Pokok Permasalahan ............................................................................................................ III-1
3.1.2. Analisis DPSIR .................................................................................................................................. III-6
3.1.3. Penentuan Isu-Isu Strategis ...................................................................................................... III-14
3.2. Target Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ................................................... III-16
BAB IV Review Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup .......... IV-1
4.1. Review Rencana Pemanfaatan dan/atau Pencadangan Sumber Daya Alam (SDA) . IV-2