Anda di halaman 1dari 13

Nama : Desi Kaloren

NPM : 6051901035
Kelas : Hukum Agraria Kelas B
Dosen : Aloysius Joni Minulyo, S.H., M.Hum.

UAS HUKUM AGRARIA


1. Landreform
A. Program landreform yang saat ini paling relevan untuk direalisasikan
Pada dasarnya kehadiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dapat disebut sebagai ujung tombak lahirnya
gagasan-gagasan baru tentang pertanahan, salah satunya adalah tentang landreform
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat1. Dalam landreform untuk
kesejahteraan rakyat itu sendiri terdapat 5 program utama yang keseluruhannya
bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Program-program tersebut
antara lain meliputi:
- Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;
- Larangan pemilikan tanah secara absentee;
- Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah
yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas Swapraja dan tanah-tanah
Negara;
- Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang
digadaikan Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;
- Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan
tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil2.
Dari lima program yang diuraikan tersebut di atas, menurut pendapat saya yang
paling relevan untuk dapat direalisasikan sesuai dengan kondisi pertanahan di
Indonesia saat ini yaitu program pembaharuan hukum agraria melalui redistribusi
tanah. Program redistribusi tanah yang disebutkan dalam poin kedua dari lima
program landreform tersebut dalam hal ini dapat dimaknai sebagai kegiatan yang
dilakukan oleh negara dengan merebut atau menarik kembali penguasaan tanah-
1
Herman Hermit, 2004, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara Dan Tanah Pemda,
Bandung: Mandar Maju, hlm. 183
2
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya), Jakarta: Djambatan, hlm. 367
tanah yang dikuasai oleh pihak tertentu secara berlebihan (berlebihan dalam hal ini
diartikan dalam kontes lebih dari batas luas wilayah tanah yang ditentukan) untuk
kemudian didistribusikan kembali kepada para petani-petani di Indonesia dengan
tingkat ekonomi rendah sehingga tidak memiliki tanah pertanian untuk
digarap/dimanfaatkan. Oleh karena itu, secara sederhana dapat ditarik kesimpulan
bahwa arah fokus utama program redistribusi sebagai bagian dari gagasan
Landreform tersebut yakni untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyat
khususnya para petani melalui pembagian tanah negara.
PP No. 41 Tahun 1964 Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian dapat dijadikan landasan utama untuk merealisasikan pembaharuan agraria
berkaitan dengan program redistribusi tanah tersebut secara lebih spesifik. Adanya
hukum pertanahan yang disebut juga oleh beberapa kalangan sebagai reforma
agraria dalam peraturan tersebut menurut penulis menjadi konsep paling strategis
dan relevan untuk menghadapi problematika-problematika yang dewasa ini muncul
pada sektor pertanahan khususnya dalam haI pengelolaan tanah itu sendiri
berdasarkan fungsinya3. Sebagai bagian dari pembaharuan agraria tersebut,
redistribusi tanah akan menghapuskan terjadinya penguasaan tanah secara
berlebihan oleh pihak-pihak tertentu serta mengembalikan fungsi dan manfaat tanah-
tanah pertanian ke fungsi awalnya yakni sebagai penghidupan utama masyarakat
bukan sebagai komoditas ekonomi semata.
B. UU Omnibus Law Klaster Pertanahan & Perpres Reforma Agraria
Perpres Nomor 86/2018 yang mengatur tentang lahirnya Reforma Agraria di
lingkup hukum pertanahan Indonesia pada hakikatnya telah dengan tegas
menunjukkan terdapatnya keseriusan negara dalam haI mengutamakan tersedianya
akses tanah yang berlandaskan asas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak
terkecuali juga bagi penduduk ekonomi rendah. Ketegasan komitmen dan keseriusan
negara dalam Perpres ini tampak pada fungsinya sebagai wadah dari berbagai
peraturan dan kebijakan di bidang hukum pertanahan serta sebagai bagian dari
pelaksana UUPA yang sejauh ini masih relevan untuk diterapkan di beberapa haI.
Selain itu, dengan diundangkannya Reforma Agraria tersebut maka pemerataan
tentang kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah beserta seluruh penggunaan dan
pemanfaatannya akan diatur secara lebih detail dengan melibatkan koordinasi dan
sinkronisasi dari lembaga-lembaga dan kementerian terkait yang bekerja dengan
3
Muhammad Ilham Arisaputra, 2015, Reforma Agraria di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 3
mengedepankan sinergitas dan profesionalisme untuk melayani rakyat. Serta hal
yang tidak kalah penting dalam Perpres ini yaitu terbukanya secara luas akses
kontribusi dan partisipasi publik secara luas yang menyelenggarakan reforma agraria
ini secara transparan baik dari prosesnya, pelaksanaannya, sampai dengan
pengawasannya4.
Namun cukup disayangkan, Perpres Reforma Agraria dengan segala manfaat
dan arah tujuan pembangunan sektor pertanahan yang menjunjung tinggi
kepentingan rakyat tersebut saat ini mengalami gejolak dengan diundangkannya UU
No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang disebut juga dengan Omnibus
law. Jika dianalisis dan dikaji lebih lanjut, pembentukan Omnibus law dengan
memasukkan substansi tentang pertanahan dalam hal ini dilatarbelakangi oleh
persepsi pemerintah yang menganggap bahwa keberlangsungan pembangunan
khususnya berkaitan dengan perizinan pelaksanaan usaha baik oleh investor asing
maupun pribumi dapat mengangkat perekonomian negara ke taraf yang lebih tinggi.
Persepsi pemerintah ini kemudian digunakan sebagai landasan pengidentifikasian
masalah bahwa lingkup sektor pembangunan yang berlangsung selama ini melalui
proses yang sulit dan berbelit-belit khususnya dalam hal perizinan di bidang
pertanahan terlebih lagi jika badan usaha tersebut merupakan badan asing. Oleh
karenanya demi mengatasi kesulitan berinvestasi dan pelaksanaan kegiatan usaha
tersebut pemerintah kemudian memasukkan klaster pertanahan dalam perumusan
dan penyusunan Omnibus law dengan. Dengan dipermudahnya proses perizinan
tanah dan kepemilikan tanah demi kelancaran usaha dan investasi, pemerintah justru
cenderung mengabaikan peraturan yang sudah ada dan jauh lebih ideal untuk
diterapkan sejalan dengan cita-cita luhur bangsa, salah satunya seperti Perpres
Refoma Agraria yang telah disebutkan di awaI. Salah satu wujud nyata pertentangan
antara Omnibus law ini dengan Perpres Reforma Agraria yakni adanya pembentukan
Bank Tanah. Bank Tanah tersebut cenderung memberi kesan bahwa 'kepemilikan
tanah oleh negara' adalah nyata. Padahal negara tidak dalam posisi memiliki tanah
tersebut melainkan 'menguasai tanah dalam rangka mensejahterakan rakyat'.
Keberpihakan pemerintah dalam Omnibus law klaster pertanahan terhadap investor
dan pelaku usaha dibandingkan terhadap rakyat sangat disayangkan. Kondisi ini

4
M. Shohibuddin, dan M. Nazir Salim, 2013, Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007, Bunga
Rampai Perdebatan, Yogyakarta: STPN Press, hlm. 721
yang menjadikan timbulnya pertentangan antara UU Cipta Kerja dengan Perpres
Reforma Agraria.
2. Pendaftaran Tanah
A. Sistem pendaftaran tanah menurut UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menganut dua sistem pendaftaran hak
bukan sistem pendaftaran akta. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan
melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan sporadik. Pendaftaran tanah secara
lengkap diatur Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakan desa demi desa atau
daerah setingkat dengan itu. Sehingga Satuan wilayah tata usaha pendaftaran tanah
adalah Desa dan Kelurahan. Hal ini berbeda dengan pendaftaran HGU, HPL, Hak
Tanggungan dan Tanah Negara dimana penyelenggaraannya tidak dilakukan di Desa
atau Kelurahan melainkan Kabupaten atau Kota. Khusus untuk HGU, HPL, Hak
Tanggungan dan Tanah Negara satuan wilayah tata usaha pendaftarannya adalah di
Kabupaten/Kota hal ini disebabkan karena area atau batasan wilayah tanah yang
didaftarkan HGU, HPL dan Tanah Negara dapat dimungkinkan terletak di beberapa
desa/kelurahan, demikian pula dengan tanah yang dibebankan dengan Hak
Tanggungan. Batas wilayah tersebut dapat mengikuti alam (sungai) atau dibuat
(jalan, bukan jalan), atau di laut. Batas wilayah menjadi bagian yang paling penting
untuk menentukan luas tanah yang akan didaftarkan tersebut, sehingga satuan
wilayah tata usaha pendaftaran tanah harus disesuaikan dengan kebutuhan
pendaftaran hak atau pembebanan hak itu sendiri.
B. Pada setiap penetapan batas di lapangan seharusnya dihadiri oleh pemilik tanah dan
para pemilik tanah yang berbatasan. Penetapan batas tersebut disebut penetapan
batas secara kontradiktur (contradictoire delimitatie). Kedua belah pihak dalam hal
penetapan batas bidang tanah terdiri dari pemilik tanah dan para pemilik tanah
berbatasan, jadi bisa beberapa pihak. Setelah pihak-pihak tersebut tidak saling
membantah, maka batas bidang tanah dapat ditetapkan 5. Namun terdapat beberapa
permasalahan dalam penetapan batas secara kontradiktur, diantaranya:
1) Terdapat pihak yang tidak hadir. Dalam hal ini apabila terdapat pihak yang tidak
dapat hadir pada waktu yang ditentukan untuk menunjukkan batas-batas bidang
tanahnya, maka penunjukan batas itu dapat dikuasakan dengan kuasa tertulis
kepada orang lain. Dalam hal tanda batas yang sudah terpasang ternyata tidak
sesuai dengan hasil penetapan batas, pemohon pengukuran dan pemegang hak
5
R. Subekti dan Tjitrosoedibio, 2005, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 69
yang bersangkutan memindahkan tanda batas tersebut sesuai dengan batas yang
telah ditetapkan. Apabila para pihak yang tidak hadir tersebut juga tidak dapat
dihubungi atau tidak diketahui keberadaannya sehingga tidak memungkinkan
untuk dikuasakan, maka penetapan batas tanah ditentukan sepihak dengan
catatan pihak pemohon pendaftaran tanah harus bertanggung jawab atas
letaknya termasuk jika nantinya muncul sengketa. Permasalahan lain yang juga
terjadi pada saat penetapan batas dilapangan, yaitu kedua belah pihak hadir
bersama-sama menetapkan batas. Akan tetapi pada saat penetapan batas antara
kedua belah pihak tidak terjadi kata sepakat mengenai batas bidang tanah.
2) Tidak tercapainya kesepakatan para pihak. Berkaitan dengan permasalahan tidak
tercapainya kesepakatan penentuan batas tanah tersebut, maka upaya
penyelesaian permasalahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
- Dalam hal terjadi sengketa mengenai batas bidang-bidang tanah yang
berbatasan, Kepala Kantor Pertanahan/petugas pengukuran yang ditunjuk
dalam pendaftaran tanah secara sporadik berusaha menyelesaikannya secara
damai melalui musyawarah antara pemegang hak dan pemegang hak atas
tanah yang berbatasan, yang apabila berhasil, penetapan batas yang
dihasilkannya dituangkan dalam Risalah Penyelesaian Sengketa Batas
tepatnya pada Daftar Isian 200.
- Apabila sampai saat akan dilakukannya penetapan batas dan pengukuran
bidang tanah usaha penyelesaian secara damai melalui musyawarah tidak
berhasil, maka ditetapkan batas sementara berdasarkan batas-batas yang
menurut kenyataannya merupakan batas-batas bidang tanah yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dan kepada pihak yang merasa
berkeberatan, diberitahukan secara tertulis untuk mengajukan gugatan ke
Pengadilan. Hal dilakukannya penetapan dan pengukuran batas sementara
dicantumkan di dalam Daftar Isian 201 dan dicatat di gambar ukur.
- Apabila sengketa yang bersangkutan diajukan ke pengadilan dan oleh
pengadilan dikeluarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap mengenai tanah dimaksud yang dilengkapi Berita Acara Eksekusi atau
apabila dicapai perdamaian antara para pihak sebelum jangka waktu
pengumuman berakhir, maka catatan mengenai batas sementara pada Daftar
Isian 201 dan gambar ukur dihapus dengan cara mencoret dengan tinta
hitam.
C. Lembaga rechtsverwerking dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 digunakan sebagai
salah satu sarana pelengkap untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif di
Indonesia. Penegakan lembaga rechtsverwerking di Indonesia belum dapat
dilaksanakan sesuai dengan tujuannya, ini terbukti dengan dijumpainya gugatan-
gugatan terhadap sertifikat di pengadilan negeri maupun pembatalan sertifikat di
Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun bukan berarti sertifikat hak atas tanah tidak
menjamin kepastian hukum, karena sertifikat diakui sebagai alat bukti hak yang
kuat, sepanjang tidak ada putusan hakim yang mematahkan kebenaran data yuridis
dan data fisik yang tercantum dalam Sertifikat. Sepanjang tidak ada putusan hakim
yang membantahkan kebenaran data yuridis dan data fisik dari sertifikat maka
sertifikat tersebut dianggap benar, oleh karena itu kepastian hukum tidak dapat
dinilai atau ditentukan oleh berhasilnya penerapan lembaga rechtsverwerking.
Upaya perlindungan hukum terhadap pemegang sertifikat hak atas tanah yang
dibatalkan walaupun sudah 5 (lima) tahun atau lebih tidak ada kejelasan sejauh ini.
Disatu sisi ketentuan tersebut memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum tetapi disisi lain kebijakan tersebut juga riskan yaitu dengan menerima
gugatan setelah 5 (lima) tahun serta tak memberikan perlindungan hukum kepada
masyarakat yang sejauh ini belum sepenuhnya paham hukum 6. Dengan demikian
batasan waktu dari menggugat yang ada dalam Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24
Tahun 1997 tidak berlaku sehingga eksistensi lembaga rechtsverwerking ini belum
sepenuhnya berjalan karena tidak membawa pengaruh kepada pemilik sertifikat
yang telah dikeluarkan. Untuk itu gugatan yang diajukan oleh pihak lain yang
membatalkan sertifikat yang telah diterbitkan itu maka kedudukan yang sama
diberikan kepada pemilik yang sejati, artinya harus dibuktikan sebaliknya oleh
pemilik sertifikat yang telah dibatalkan dengan upaya hukum berikutnya baik
banding, kasasi, peninjauan kembali. Sejauh ini perlindungan hukum diberikan
kepada siapa saja yang dapat membuktikan dirinya sebagai pemilik sejati dari obyek
tanah tersebut dengan pilihan upaya hukum yang ada di pengadilan. Penerapan
lembaga rechtsverwerking dalam hal ini tidak berjalan, keberadaan Pasal 32 ayat (2)

6
Arief Rahman Hakim, 2017, “Lembaga Rechtsverwerking Dalam Sistem Pendaftaran Tanah Di Indonesia”,
Jurnal Jatiswara, Vol. 27, No. 1, hlm. 90
hanya sebatas diadopsi dari hukum adat saja tetapi belum ada realisasinya dalam
praktek pertanahan hukum agraria nasional7.
3. Hak Tanggungan
A. Kasus Hak Tanggungan Pak Bobby
1) Dalam pelaksanaan penandatanganan perjanjian APHT tersebut subyek pemberi
hak tanggungan adalah orang perorangan maupun badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan terhadap obyek hak
tanggungan yang bersangkutan8. Ketentuan ini sebagaimana yang dirumuskan
dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan. Dalam kasus ini
subyek yang dimaksud yakni Pak Bobby dan Ibu Jelly karena objeknya
merupakan harta bersama dan terdapat bangunan atas nama Ibu Jelly yang
berdiri di atas sebidang tanah tersebut. Subyek selanjutnya yaitu Bank Ridho
selaku penerima hak tanggungan atau dapat diartikan sebagai badan hukum
yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (Pasal 9 UUHT). Sementara
itu objek dalam penandatanganan perjanjian APHT tersebut yakni sebidang
tanah dan bangunan milik Pak Bobby. Perjanjian APHT tersebut dilaksanakan
di kantor PPAT yang berwenang membuat APHT berdasarkan daerah kerjanya
(daerah kerjanya adalah per kecamatan yang meliputi kelurahan atau desa letak
bidang tanah hak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan).
2) Pendaftaran masih tetap harus dilakukan setelah penandatanganan perjanjian
APHT. Ketentuan mengenai pendaftaran hak tanggungan telah diatur dalam
Pasal 13 – Pasal 14 UUHT, yang dilakukan di Kantor Pertanahan. Tata cara
pendaftaran tersebut yakni: PPAT dalam waktu 7 hari setelah ditandatanganinya
pemberian Hak Tanggungan wajib mengirimkan APHT dan warkah lainnya
kepada Kantor Pertanahan dengan membawa berkas-berkas yang dibutuhkan;
Kantor Pertanahan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya
dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta
menyalin catatan tersebut pada Sertipikat Hak atas Tanah yang bersangkutan;
Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah
penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan untuk pendaftaran. Jika

7
M. Irfan dan Nia Kurniati, 2018, “Kepastian Hukum Hak atas Tanah dan Eksistensi Lembaga
Rechtsverwerking dalam Perspektif Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”,
ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, Vol. 1, No. 2, hlm. 172
8
Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan (Asas-Asas, ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi
oleh Perbankan), Bandung: Alumni, hlm. 75
hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi
tanggal hari kerja berikutnya; Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku
tanah Hak Tanggungan dibutakan; Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat
Hak Tanggungan yang memuat irah-irah, “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”, sehingga sertifikat tersebut memiliki kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan dan kemudian diserahkan
kepada pemegang Hak Tanggungan9.
3) Apabila debitur (dalam kasus ini Pak Bobby) melakukan wanprestasi maka
dalam jaminan kebendaan kreditur mempunyai hak didahulukan (preferen)
dalam pemenuhan piutangnya di antara kreditur-kreditur lainnya dari hasil
penjualan harta benda milik debitur. Droit de preference adalah hak mendahului
yang dimiliki kreditur atas benda-benda tertentu yang dijaminkan pada kreditur
tersebut. Atas hasil penjualan benda-benda tersebut, kreditur berhak
mendapatkan pelunasan utang debitur terlebih dahulu10.
B. Lanjutan Kasus Hak Tanggungan Pak Bobby
1) Pasal 20 UU Hak Tanggungan ini memberikan perlindungan bagi kreditur
pemegang Hak Tanggungan (dalam hal ini Bank Ridho), dimana kreditur berhak
untuk mengajukan eksekusi dan melakukan lelang terhadap objek Hak
Tanggungan demi memenuhi hak dari kreditur apabila debitur cidera janji atau
wanprestasi. Sementara itu perlindungan hukum bagi pihak debitur selaku
pemberi Hak Tanggungan (dalam hal ini Pak Bobby dan Ibu Jelly) yaitu untuk
mendapatkan kepastian hukum terhadap kepemilikan obyek hak tanggungan
selama pelaksanaan prestasi dilakukan dengan baik dan menerima kembali
objek hak tanggungan tersebut saat perjanjian kredit dan pembebanan hak
berakhir.
2) Terdapat dua kondisi untuk menjawab soal tersebut yakni pendirian rumah
susun/apartemen dilakukan sebelum atau sesudah bidang tanah tersebut
dibebankan hak tanggungan oleh Pak Bobby kepada Bank Ridho. Pelaksanaan
perjanjian jual beli/sewa-menyewa rumah susun sebelum dijadikan jaminan
dengan jaminan Hak Tanggungan pada bank tidak dapat dilakukan, karena akan
bertentangan dengan janji-janji yang ada di dalam pasal 11 ayat (2) huruf a

9
Salim HS, 2017, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 179-184
10
Hasbullah Frieda Husni, 2005, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi Jaminan JILID II,
Jakarta: Ind-Hill & Co, hlm. 102
UUHT. Namun perjanjian jual beli/sewa menyewa tanah berikut bangunan yang
dilakukan setelah dijadikan jaminan dengan jaminan Hak Tanggungan pada
bank maka perjanjian sewa menyewa tersebut tetap dapat dilakukan, dengan
mendapat persetujuan secara tertulis terlebih dahulu dari bank sebagai
pemegang Hak Tanggungan. Ketika debitur melakukan jual beli terhadap pihak
lain maka perjanjian sewa menyewa yang dilakukan tidak akan putus oleh
karena jual beli tersebut seperti yang terdapat dalam ketentuan pasal 1576 KUH
Perdata. Akibat hukum bagi penyewa apabila terjadi kredit macet sebelum
dijadikan jaminan dengan jaminan Hak Tanggungan pada bank adalah
pelaksanaan lelang terhadap objek jaminan (tanah beserta bangunan) dapat
dilakukan, akan tetapi harus menunggu sampai perjanjian sewa menyewanya
berakhir.
C. Sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pelayanan Hak Tanggungan
Terintegrasi Secara Elektronik dikenal istilah Sistem Hak Tanggungan Elektronik.
Sistem HT elektronik tersebut dapat dimaknai sebagai serangkaian proses pelayanan
hak tanggungan dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah yang
diselenggarakan melalui sistem elektronik yang terintegrasi. Namun bagi daerah-
daerah tertinggal yang belum dapat memanfaatkan sistem ini secara maksimal,
pemerintah tetap memberlakukan sistem pendaftaran hak tanggungan secara
konvensional. Jadi, pelaksanaan Sistem HT Elektronik tidak secara serta merta
menghapuskan sistem pendaftaran konvensional.
4. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
A. Persamaan dan perbedaan antara pengaturan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
dalam UU Cipta Kerja (UU 11/2020) dengan UU Rumah Susun (UU 20/2011)

No. UU Cipta Kerja UU Rumah Susun Keterangan

1 Pasal 143 Pasal 46 ayat (1) Pasal 143 UU Cipta Kerja


mengatur tentang pengertian
dari hak milik atas satuan
rumah susun. Jika
dibandingkan, keduanya
mengatur substansi yang sama
yakni berkaitan dengan obyek
yang diatur dan sifat
kepemilikannya. Obyek yang
diatur dalam hal ini yakni
berupa hak milik atas satuan
rumah susun.
Namun perbedaan kedua
pasal ini yaitu pada aturan
mengenai kepemilikan oleh
WNA yang dalam Pasal 46 ayat
(1) UU Rumah Susun tidak
disebutkan. Dalam Pasal 143
disebutkan bahwa hak milik
atas satuan rumah susun
merupakan hak kepemilikan
atas satuan rumah susun yang
bersifat perseorangan yang
terpisah dengan hak bersama
atas bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama.

2 Pasal 144 ayat (1) Pasal 47 Aturan pada kedua pasal


tersebut pada hakikatnya tidak
bertentangan satu sama lain
karena keduanya sama-sama
mengatur tentang siapa yang
diperbolehkan mempunyai hak
milik atas satuan rumah susun.
Namun pembentukan Pasal 144
UU Cipta Kerja seharusnya
tetap tidak mengesampingkan
substansi dalam Pasal 47.
Karena jika begitu maka hak
milik atas satuan rumah susun
yang dibangun diatas tanah
HGB/HM dapat dimungkinkan
untuk dibeli atau dimiliki oleh
orang asing. Kepemilikan
properti oleh WNA tidak
diperkenankan dalam UUPA
karena nantinya akan
mengakibatkan WNI tidak
dapat memiliki hak milik
karena telah dikuasai oleh
WNA.
Pada akhirnya akan
menyebabkan persoalan atau
kendala pada aspek kepastian
hukum karena memungkinkan
warga asing untuk memiliki
tanah dengan HGB padahal
UUPA tidak memperbolehkan
hal tersebut. Sehingga akan
terjadi dualisme hukum.
Sehingga dapat
disimpulkan jika Pasal 144 ayat
(1) UU Cipta Kerja dan Pasal
47 UU Rumah Susun
merupakan pasal yang saling
melengkapi satu sama lain.
Substansi dalam Pasal 144 ayat
(1) UU Cipta Kerja penting
untuk diadakan saat ini untuk
lebih memperjelas siapa subjek
yang dapat memiliki hak milik
atas sarusun, karena pada UU
Rumah Susun tidak ada Pasal
yang secara tegas mengatur
tentang siapa yang dapat
menjadi subjek hak milik atas
sarusun.

3 Pasal 144 ayat (2) Pasal 47 Pasal 144 ayat (2) UU Cipta
Kerja mengatur mengenai
peralihan dan penjaminan
terhadap Hak Milik Atas
sarusun. Substansi yang diatur
dalam Pasal 144 ayat (2)
tersebut merupakan pengaturan
yang terbilang baru, karena
pada UU Rumah Susun
sebelumnya tidak mengatur
secara tegas mengenai
persoalan peralihan atau
penjamin terhadap Hak Milik
atas sarusun.

4 Pasal 144 ayat (3) Pasal 47 ayat (5) Substansi yang terdapat dalam
Pasal 144 ayat (3) tidak bereda
dengan substansi yang terdapat
dalam Pasal 47 ayat (5).

5 Pasal 145 Pasal 17 Dalam Pasal 17 UU


Rumah Susun dinyatakan
bahwa satuan rumah susun
dapat dibangun diatas tanah hak
milik sedangkan dalam Pasal
145 UU Cipta Kerja tidak
dijelaskan demikian.
Pasal 145 UU Cipta Kerja
tidak menjelaskan mengenai
hak milik dan pertimbangan-
pertimbangan atas banyaknya
penduduk yang tinggal di
daerah padat penduduk yang
mempunyai hak milik.
Dikarenakan terdapat
perbedaan pengaturan materi
muatan/substansi antara kedua
pasal dalam UU yang berbeda
tersebut, maka yang dianggap
berlaku saat ini yaitu Pasal 145
UU Cipta Kerja.

B. Jika bangunan Rumah Susun tersebut mengalami kerusakan dan roboh maka akibat
hukumnya Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan hapus. Kerusakan dan
robohnya bangunan Rumah Susun akan hapus, yang disebabkan keadaan force
majeure membebaskan kreditur untuk bertanggung jawab. Hal ini membawa akibat
seluruh hak-hak yang melekat atau tertumpang atau menumpangi di atas Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun akan turut pula berakhir dan hapus. Perlindungan
konsumen dalam Pasal 3 menyebutkan tentang ketentuan hak untuk memperoleh
ganti kerugian. Hak atas ganti rugi dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang
telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa
yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan
produk yang telah merugikan konsumen, baik yang berupa kerugian materi, maupun
kerugian yang menyangkut diri konsumen. untuk merealisasikan hak ini tentu saja
harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai diluar
pengadilan maupun yang diselesaikan melalui pengadilan11.
C. Mengacu pada Pasal 144 ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)
memastikan warga negara asing ( WNA) bisa membeli dan memiliki satuan rumah
susun atau apartemen. Namun demikian, kesempatan untuk memiliki apartemen ini
akan disertai syarat ketat dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang kini tengah disusun.
Satu diantara syarat tersebut adalah, orang asing tidak diperkenankan membeli
apartemen yang dibangun untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dalam
PP tersebut juga nantinya dijelaskan bahwa orang asing hanya dapat membeli

11
Urip Santoso, 2017, Hak Atas Tanah, Hak Pengelolaan dan Hak Milik Satuan Rumah Susun, Cetakan Kesatu,
Jakarta: Gramedia, hlm. 202
sarusun yang dibangun di atas tanah hak guna bangunan (HGB). Karena dibangun di
atas tanah berstatus HGB, artinya WNA tak memiliki hak kepemilikan tanah
bangunan. Tetapi hanya hak kepemilikan ruang bangunan.

DAFTAR PUSTAKA

Arisaputra, M. Ilham. 2015. Reforma Agraria di Indonesia. Jakarta:  Sinar Grafika.


Hakim, Arief Rahman. 2017. “Lembaga Rechtsverwerking Dalam Sistem Pendaftaran Tanah
Di Indonesia.” Jurnal Jatiswara, Vol. 27, No. 1.
Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya). Jakarta: Djambatan.
Hasbullah, Frieda Husni. 2005. Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi
Jaminan JILID II. Jakarta: Ind-Hill & Co.
Hermit, Herman. 2004. Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara Dan
Tanah Pemda. Bandung: Mandar Maju.
Irfan, M. dan Nia Kurniati 2018. “Kepastian Hukum Hak atas Tanah dan Eksistensi Lembaga
Rechtsverwerking dalam Perspektif Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah." ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan,
Vol. 1, No. 2.
Salim HS. 2017. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Santoso, Urip. 2017. Hak Atas Tanah, Hak Pengelolaan dan Hak Milik Satuan Rumah Susun,
Cetakan Kesatu. Jakarta: Gramedia.
Shohibuddin, M. dan M. Nazir Salim. 2013. Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-
2007, Bunga Rampai Perdebatan. Yogyakarta: STPN Press.
Sjahdeini, Sutan Remy. 1999. Hak Tanggungan (Asas-Asas, ketentuan Pokok dan Masalah
Yang Dihadapi oleh Perbankan). Bandung: Alumni.
Subekti, R. dan Tjitrosoedibio. 2005. Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.

Anda mungkin juga menyukai