Evaluasi Pelaksanaan
Redistribusi Tanah
Pertanian
DITERBITKAN OLEH:
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG /
BADAN PERTANAHAN NASIONAL
2014
PAPER KEBIJAKAN
EVALUASI PELAKSANAAN
REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN
Tanah untuk petani merupakan suatu syarat mutlak untuk keberhasilan suatu
program landreform terutama bagi Indonesia, suatu pemerataan yang sudah
merupakan kehendak politik pemerintah (Parlindungan, 1987:92). Sehingga
Landreform merupakan kegiatan yang berkaitan langsung dengan upaya
“pemerataan”, sangat strategis posisinya dan dapat berperan besar dalam
melaksanakan penataan penguasaan tanah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Sasaran kegiatan Landreform ini meliputi Redistribusi
tanah pertanian, luas maksimum penguasaan tanah pertanian, Tanah Absentee/
Guntai, ganti rugi tanah pertanian, bagi hasil tanah pertanian, dan gadai tanah
pertanian.
C. Rekomendasi Kebijakan
viii
Pada akhirnya, tim penyusun paper kebijakan ini berharap agar rekomendasi dari
paper kebijakan ini dapat bermanfaat untuk memberikan masukan terhadap
penyusunan revisi kebijakan redistribusi tanah.
Penyusun,
xi
Tim Paper Kebijakan
Kata Pengantar x
Daftar Pustaka
xiii
UU Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 merupakan salah satu tonggak
utama pelaksanaan Landreform di Indonesia paska kemerdekaan Indonesia.
UU ini sendiri merupakan salah satu dari rangkaian undang-undang yang
memang dicanangkan untuk melaksanakan perubahan struktur agraria yang
memang timpang paska kolonialisme. Di masa kolonial, penguasaan, pemilikan
dan pengelolaan sumber daya agraria praktik dikuasai oleh negara, yang
dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan swasta yang diberi kewenangan
untuk itu. Tidak hanya dari segi struktur penguasaan dan pemilikan tanah,
2 namun juga ada ketimpangan dari sisi pengelolaan, seperti sistem bagi hasil
(tenancy) yang sangat eksploitatif dan merugikan pihak penggarap. Bahkan UU
Bagi Hasil dikeluarkan terlebih dahulu dibandingkan UU Pokok Agraria melalui
UU No. 2 Tahun 1960 (Mulyani dkk, 2011:67).
Tanah untuk petani merupakan suatu syarat mutlak untuk keberhasilan suatu
program landreform terutama bagi Indonesia, suatu pemerataan yang sudah
merupakan kehendak politik pemerintah (Parlindungan, 1987:92). Sehingga
Landreform merupakan kegiatan yang berkaitan langsung dengan upaya
“pemerataan”, sangat strategis posisinya dan dapat berperan besar dalam
melaksanakan penataan penguasaan tanah untuk mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sasaran kegiatan Landreform ini meliputi
Redistribusi tanah pertanian, luas maksimum penguasaan tanah pertanian,
Tanah Absentee/Guntai, ganti rugi tanah pertanian, bagi hasil tanah pertanian,
dan gadai tanah pertanian. Kegiatan-kegiatan Landreform tersebut yang paling
menonjol sampai saat ini adalah Redistribusi Tanah Pertanian.
• 154.750 Bidang
2014 • Tersebar pada 26 provinsi
• 107.150 Bidang
2015 • Tersebar pada 27 provinsi
Upaya yang dilakukan sehubungan dengan keterbatasan dana dan fasilitas diatasi
dengan mengkaitkan kegiatan ini dengan kegiatan rutin. Upaya lain yang terkait
dengan pengarsipan data yang kurang baik di tingkat desa dilakukan dengan
melakukan penyuluhan kepada aparat desa untuk melakukan pencatatan dan
penyimpanan data secara lebih baik. Arsip data yang hilang atau kurang baik
disarankan untuk mengutipnya di Kantor Kecamatan setempat.
TOL yang telah diredistribusikan berasal dari tanah kelebihan maksimum, tanah
absentee, tanah Negara, dan tanah eks swapraja. Hal ini dapat diketahui dari
TOL yang diredistribusikan di Sulawesi Selatan sebagian besar berasal dari tanah
kelebihan maksimum, tanah absentee, tanah Negara, dan sebagian kecil tanah
eks swapraja, TOL di Kalimantan Timur hampir keseluruhannya berasal dari
tanah Negara, dan TOL di Nusa Tenggara Barat sebagian besar berasal dari tanah
Negara, tanah kelebihan maksimum dan sebagian kecil tanah absentee dan
tanah eks swapraja. Sehingga dapat diketahui bahwa TOL yang diredistribusikan
sebagian besar merupakan tanah Negara.
14
Beberapa permasalahan dikemukakan Erizal, 2014 berkaitan dengan redistribusi
tanah bahwa:
1. Penerima : batasan kita tentang Petani dan Petani yang layak menerima
tanah redistribusi
Jumlah petani yang mempunyai tanah pertanian sempit (petani gurem) sampai
saat ini masih banyak, sehingga hasil dari usahataninya tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya, bahkan banyak pula petani yang tidak mempunyai tanah
garapan untuk penghidupannya sehingga menjadi buruh tani. Redistribusi
tanah merupakan suatu kegiatan agar petani tersebut menjadi petani yang
mempunyai tanah garapan yang cukup untuk kehidupannya, namun keinginan
untuk memberikan tanah pertanian kepada petani tersebut dihadapkan
pada terbatasnya TOL. Oleh karena itu arah kebijakan BPN RI tidak lepas dari
bagaimana upaya untuk memperoleh tanah yang dapat dijadikan obyek
landreform (BPN RI, 2013:4).
1. Subyek tidak tepat sasaran karena domisili subyek diluar lokasi Kecamatan
dan pekerjaan subyek bukan petani tetapi pengusaha, anggota DPRD dan
PNS;
2. Obyek tidak sesuai dengan ketentuan, karena luasnya lebih dari 5 hektar
dan bukan tanah pertanian;
3. Pembiayaan ganda, karena pengukuran redistribusi di lokasi IP4T;
4. Honor PPL belum diserahkan;
5. Tidak mengikuti tahapan kegiatan, karena kegiatan pengukuran bidang
mendahului kegiatan seleksi subyek;
6. Perencanaan pembiayaan kegiatan yang tidak sesuai, karena pengalokasian
anggaran pembuatan peta tematik potensi tanah dibebankan pada
anggaran redistribusi tanah;
7. Penyerahan sertipikat belum dimonitoring, karena tidak termonitor jumlah
sertipikat yang sudah diserahkan dan Berita Acara Penyerahan Sertipikat
belum diterima oleh Kantor Pertanahan;
8. Administrasi, berkas, warkah dan peta-peta hasil kegiatan tidak
terdokumentasi dengan baik;
9. Realisasi fisik dan serapan dana relatif rendah;
10. Pengawasan terhadap kegiatan Redistribusi Tanah rendah, karena tidak
tertib perencanaan disebabkan terdapat Kantor Pertanahan yang tidak
mengetahui berapa target kegiatan Redistribusi Tanah, tidak tertib
anggaran, dan tidak tertib laporan (BPN RI, 2012).
Temuan-temuan BPK ini menunjukkan adanya permasalahan dalam pelaksanaan
16
redistribusi tanah.
Berdasarkan hasil penelitian Puslitbang BPN RI Tahun 2007 tentang Kondisi Awal
Sosial Ekonomi Masyarakat Penerima Program Pembaharuan Agraria Nasional
(PPAN) bahwa:
Fakta saat ini di lapang banyak petani yang tidak mau mencantumkan
pekerjaannya sebagai petani dalam KTP nya. Mereka lebih memilih
mencantumkan diri sebagai pegawai swasta atau wiraswasta. Tahun 2014
ini ada SE menteri dalam negeri bahwa dengan adanya e-KTP maka e-KTP
ini wajib digunakan sebagai dasar dalam setiap program pemerintah
termasuk redistribusi TOL. Surat pernyataan dari yang bersangkutan dan
dikuatkan oleh kepala desa setempat sebagaimana diatur dalam petunjuk
pelaksanaan redistribusi tanah akan lemah posisinya bahkan sudah tidak
dapat digunakan lagi.
Fakta di lapang juga masih ditemui penerima tanah yang berprofesi sebagai
PNS/TNI/Polri/Anggota DPR/DPRD/Hakim/ pejabat negara lainnya yang
tentu saja tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan ketentuan
pasal 8 dan 9 PP 224/1961.
Saat ini masih ada yang tidak melaksanakan akses reform karena :
a. Sebagian besar akses reform baik itu permodalan, bibit, sarana
dan prasarana kewenangannya ada di Kementerian/Lembaga/dinas
lainnya.
b. Perlu koordinasi untuk mempertemukan aset reform dan akses
reform
c. Fungsi dan kewenangan koordinasi ada di Bappenas
Tanah negara lainnya sekarang ini banyak yang tidak ditegaskan dan
disertipikatkan melalui program selain redistribusi tanah. Hal ini
mengakibatkan obyek redistribusi tanah semakin bekurang.
Sumber-sumber TOL saat ini yang berasal dari poin 1,2,3 sangat
terbatas jumlahnya (Direktorat Landreform BPN RI, 2014).
Terbatasnya TOL karena belum ada grand desain Reforma Agraria (RA)
sehingga landreform belum menjadi landasan dasar pembangunan.
Terbatasnya obyek TOL juga disebabkan belum terbangunnya
database penguasaan dan pemilikan tanah diseluruh Indonesia
karena tidak dilaksanakannya pemetaan desa lengkap.
Bila pelaksanaan LP2B ini bisa didorong maka sebenarnya bisa pula
redistribusi tanah dilakukan pada LP2B terhadap tanah-tanah yang bukan
tanah pertanian. Tentu saja ini berdampak pada pemberian ganti kerugian
bagi masyarakat yang memiliki tanah non pertanian di kawasan LP2B.
29
Menurut Puslitbang BPN dan Fakultas Pertanian IPB, 1995:87, redistribusi tanah
pertanian merupakan kegiatan pelaksanaan Landreform yang paling menonjol.
Pelaksanaan kegiatan tersebut diketahui sebagai berikut:
1. TOL mencakup tanah-tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, tanah
bekas swapraja, tanah bekas partikelir, tanah bekas erfpacht dan tanah
Negara bebas,
2. TOL ditegaskan melalui prosedur tertentu yang sudah cukup baik,
3. Sebagian besar TOL berasal dari tanah bekas erfpacht dan tanah Negara
bebas,
4. Sebagian besar TOL yang sudah ditegaskan telah diredistribusikan,
5. Penerima redistribusi tanah sebagian besar adalah penggarap tanah yang
sudah mengerjakan tanah yang bersangkutan sebelumnya,
6. Pelaksanaan redistribusi tanah menghadapi berbagai permasalahan yaitu
masalah sertipikasi tanah, kekurangan tenaga, dana, sarana/prasarana dan
organisasi/ kelembagaan,
7. Untuk mengurangi permasalahan yang muncul ada provinsi yang telah
32 mengambil kebijakan yang tidak sesuai dengan ketentuan, tetapi dianggap
paling sesuai untuk kondisi daerahnya,
1 Wilson (1987:47) dalam bukunya “the Political Economy of Contract Farming”, Review of Radical Political Econom-
ics 18, No. 4:47-70.
Fakta saat ini di lapang banyak petani yang tidak mau mencantumkan
pekerjaannya sebagai petani dalam KTP nya. Mereka lebih memilih
mencantumkan diri sebagai pegawai swasta atau wiraswasta. Tahun 2014
ini ada SE menteri dalam negeri bahwa dengan adanya e-KTP maka e-KTP
ini wajib digunakan sebagai dasar dalam setiap program pemerintah
termasuk redistribusi TOL. Surat pernyataan dari yang bersangkutan dan
dikuatkan oleh kepala desa setempat sebagaimana diatur dalam petunjuk
pelaksanaan redistribusi tanah akan lemah posisinya bahkan sudah tidak
dapat digunakan lagi.
Fakta di lapang juga masih ditemui penerima tanah yang berprofesi sebagai
PNS/TNI/Polri/Anggota DPR/DPRD/Hakim/ pejabat negara lainnya yang
tentu saja tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan ketentuan
pasal 8 dan 9 PP 224/1961.
2 Dibuktikan dengan bukti Kartu Tanda Penduduk. Bilamana profesi subyek di dalam KTP mencantumkan diri swasta
atau wiraswasta, sementara dalam kenyataannya yang bersangkutan secara terus menerus atau tidak terus me-
nerus menggarap/mengerjakan tanah pertanian maka harus dilengkapi dengan surat pernyataan dari yang ber-
sangkutan dan dikuatkan oleh kepala desa setempat.
Namun demikian, dalam pelaksanaan di lapang masih ada yang tidak mau
mencantumkan ketentuan tersebut dalam buku tanah dan sertipikat.
Ketentuan ini sebenarnya masih mempunyai celah karena tidak ada aturan
lebih lanjut mengenai alasan-alasan/hal-hal/kondisi apa saja sehingga
kepala kantor dapat/tidak dapat memberikan ijin pengalihan hak atas tanah.
Di beberapa tempat penerima redistribusi tanah juga tidak mengindahkan
larangan pengalihan hak atas tanah selama 10 tahun. Secara diam-diam
atau dibawah tangan sebagian penerima tanah memperjualbelikan
tanahnya. Bahkan di Jawa Tengah disinyalir adanya penerima tanah yang
mengagunkan tanah hasil redistribusi TOL kepada lembaga keuangan
(bank) walaupun tidak punya kemampuan untuk membayar cicilannya. Hal
ini berakibat tanah akan disita oleh bank (secara tidak langsung berpindah
tangan)
Saat ini telah ada inisiasi kegiatan pilot project Reforma Agraria yang
menyatukan antara BPN (aset reform), K/L (akses reform) dan Bappenas
sebagai koordinator. Pilot projectnya di dua provinsi yaitu di Jawa
Tengah dan Bangka Belitung. Namun demikian peraturan mengenai
pelaksanaannya perlu dibuat.
Saat ini sumber tanah dari kelebihan maksimum, absentee dan tanah
swapraja atau bekas swapraja sangat terbatas jumlahnya. Selain jumlahnya
yang terbatas terdapat permasalahan dalam meredistribusikan tanah
kelebihan maksimum. Saat ini nilai ganti rugi tanah kelebihan maksimum
hanya bernilai Rp. 3.500.000/ha. Hal ini menyebabkan bekas pemilik
tanah menolak untuk diganti rugi sehingga redistribusinya pun tidak dapat
dilakukan. Untuk itu diperlukan adanya perubahan peraturan terkait nilai
44 ganti kerugian.
Tanah negara lainnya sekarang ini banyak yang tidak ditegaskan dan
disertipikatkan melalui program selain redistribusi tanah. Hal ini
mengakibatkan obyek redistribusi tanah semakin bekurang.
Pasal-pasal yang perlu dirubah dalam PP No. 224 Tahun 1961 yang terkait
dengan permasalahan dalam pelaksanaan redistribusi tanah adalah
sebagai berikut:
a) Tanah Obyek Landreform (TOL) yang semakin terbatas, 1) Pasal 1 ayat
(1)
48
Sumber-sumber tanah obyek landreform (TOL) pasal 1 PP 224 Tahun
1961 Tanah-tanah yang dalam rangka pelaksanaan Landreform akan
dibagikan:
(1) tanah kelebihan batas maksimum
Terbatasnya TOL karena belum ada grand desain Reforma Agraria (RA)
sehingga landreform belum menjadi landasan dasar pembangunan.
Terbatasnya obyek TOL juga disebabkan belum terbangunnya
database penguasaan dan pemilikan tanah diseluruh Indonesia
karena tidak dilaksanakannya pemetaan desa lengkap.
(1) Tanah-tanah Hak Guna Usaha tertentu. Tanah hak guna usaha
yang dapat dijadikan TOL meliputi:
i. Tanah Hak Guna Usaha yang tidak diusahakan sesuai dengan
peruntukan dan tujuan pemberian haknya.
ii. Tanah Hak Guna usaha yang telah berakhir jangka waktunya
dan tidak diperpanjang.
iii. Tanah lebih dari luas tanah yang tercantum dalam Surat
Keputusan Pemberian Hak Guna Usaha yang bersangkutan.
iv. Tanah Hak Guna Usaha yang telah diduduki/digarap
oleh masyarakat lebih dari 5 tahun sebelum berlakunya
peraturan ini.
v. Tanah Hak Guna Usaha yang diserahkan secara sukarela
oleh pemegang haknya.
Tahun 1945-1949 adalah masa revolusi fisik, perang dan damai silih
berganti. Status pemerintahan pun berubah-ubah. Karena itu kerja
Panitia Agraria pun tersendat-sendat, dan mengalami pergantian Ketua
Panitia beberapa kali. Pada tahun 1958, RUU Agraria, yang dikenal
sebagai rancangan Panitia Soenaryo diserahkan kepada Presiden,
tetapi ditolak dengan alasan agar isinya diuji dulu di universitas. 57
Maka DPR kemudian bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada.
Pertanyaan pokok yang muncul adalah; “Bagi bangsa Indonesia, tanah
itu apa, dan milik siapa?”. Ringkas kata, akhirnya disepakati bahwa
bagi bangsa Indonesia, “tanah adalah milik bersama seluruh bangsa”.
Kita semua tahu bahwa sejak lahirnya Orde Baru, pemerintah tidak lagi
mengambil kebijakan dasar bahwa RA sebagai basis pembangunan.
Bahkan UUPA 1960 di “peti es kan”. Artinya, walaupun tidak dicabut 59
tetapi tidak dilaksanakan sebagaimana yang dicita-citakan. Bahkan
untuk sekitar 10 tahun diberi “citra” bahwa UUPA 1960 adalah
“komunis”. Barulah pada tahun 1978, secara resmi dinyatakan bahwa
UUPA 1960 adalah produk nasional, dan bukan produk PKI. Namun
63
Sekretaris Anggota
Pembantu Peneliti
MELIA YUSRI, SP DR. ASLAN NOOR, SH, MH, SP.1 Dra. RATNA DJUITA INDRIAYATI S.SiT., M.AP.