Anda di halaman 1dari 19

PENGAMBILALIHAN HAK PRIORITAS BEKAS PEMEGANG HAK

UNTUK DISTRIBUSI TANAH OBYEK REFORMA AGRARIA

Gunanegara
gunanegara.fh@lecturer.uph.edu

Abstrak
Hak atas tanah yang habis jangka waktunya, hukum dan praktiknya selama 50 tahun
terakhr, kepada bekas pemegang hak memiliki hak prioritas untuk mengajukan
kembali pembaruan hak dan hak prioritas tersebut tidak dibatasi dengan waktu.
Ketentuan dan dan praktik hukum kemudian berubah, karena saat ini hak prioritas
pada bekas pemegang hak dibatasi 2 (dua) tahun, dan jika bekas pemegang hak
tidak mengajukan pembaruan hak paling lama 2 (dua) tahun maka tanahnya menjadi
tanah negara dan hak prioritas pemegang hak diambilalih oleh negara untuk menjadi
tanah obyek pendistribusian tanah dalam rangka reforma agraria. Hasil dari
penelitian yuridis normatif, berkesimpulan, untuk beberapa peraturan perundang-
undangan masih mengatur dan mengakui hak priortas sebagai hak keperdataan,
namun dalam konteks reforma agraria hak prioritas dibatasi berlaku 2 tahun dan
setelah itu hapus selamanya. Penelitian dilakukan untuk memberikan pendapat
hukum kedudukan hak prioritas bekas pemegang hak atas tanah dengan
mendasarkan pada hukum agraria Indonesia dan hakim di peradilan perdata,
pidana, dan tata usaha negara.
Kata Kunci: Hak atas Tanah, Hak Prioritas, Reforma Agraria

Abstract
Rghts of the land when due dated, the regulation and law practices for the past 50
years, the former of land rights holders are have the priority rights to reapply for land
rights renewal, and those priority rights are not time-limited. The regulation and law
practices of priority rights has changed, because the former of land rights holders
are limited to 2 (two) years only, and if the former of land rights holders does not
renewal of land rights for a maximum of 2 (two) years, the land becomes state land
and there are no more have priority rights, after that’s the land becomes the object
for land distribution of reforma agraria. The results of normative juridical research,
the conclusion, for some the regulations still regulates priority rights as private/real
property rights, but in the context of agrarian reform priority rights remain limited only
to 2 years after thats becomes the object of land distribution for agrarian reform. The
research was conducted to provide a legal opinion of the legal position of priority
rights of the former of rights holders in Indonesian agrarian law and court opinion in
civil, criminal, and administrative law.
Keywords: Land Rights, Priority Rights, Reforma Agraria

A. LATAR BELAKANG
Reforma Agraria menjadi gerakan masif setelah digelorakan petani miskin dan aktivis
Amerika Latin, mereka menuntut pendistribusian tanah untuk bertahan hidup dan untuk mata
pencaharian mereka. Pemaknaan lain muncul dari benua Eropa, bahwa reforma agraria
adalah penataan penatagunaan tanah dan formalisasi aset-tanah supaya pemanfaatan tanah
optimum. Pemaknaan reforma agraria oleh negara-negara Eropa menjadi lain dengan yang

1
dianut Amerika Latin, Rusia dan China akibat sejarah panjang di Perancis, karena berangkat
dari pengalaman traumatik pasca revolusi Perancis yang makan banyak korban dan
meruntuhkan status quo. Saat itu, tanah-tanah super luas milik raja, bangsawan, pemuka
agama, dan tentara disita dan diambilalih rakyat yang kemudian didistribusikan diantara
mereka. Pengalaman berdarah dan rusuh melahirkan pemaknaan reforma agraria oleh
negara Eropa, akhirnya menolak konsep distribusi tanah untuk rakyat (land distribution
program). Sebaliknya, negara-negara Amerika Latin terus digempur tuntutan demi tuntutan
agar segera dilakukan pendistribusian tanah untuk mereka para kaum papa. 1 Mereka
menuntut tanah-tanah kosong (vacant land), tanah nganggur (undeveloped land) dan tanah
telantar (abandoned land) dirampas-diambilalih negara untuk didistribusikan ke rakyat.
Berbeda lagi dengan Indonesia, memaknai reforma agraria yang dapat dilihat dari teks Pasal
1 angka 1 Perpres No. 86 Tahun 2018, yaitu menata kembali struktur penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan melalui penataan aset dan penataan
akses.2
Praktik reforma agraria di Indonesia pada sejarahnya, pernah sukses ketika distribusi
tanah di era transmigrasi pemerintahan Soeharto dan praktik pendistribusian tanah land
reform di masa Presiden Soekarno. Obyek atau asal tanah yang didistribusikan pemerintahan
Soeharto berasal dari tanah negara eks kawasan hutan. Sedangkan obyek atau asal tanah
yang didistribusikan Presiden Soekarno berasal dari tanah negara eks pengambilalihan tanah
milik orang atau badan hukum Belanda via nasionalisasi, dan/atau mengambil tanah privat
yang melampaui batas maximum, tanah absentee/guntai3 dan tanah partikelir/pertuanan.4
Pendistribusian tanah pasca Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto dilanjut
Presiden Joko Widodo, yang di tahun 2021 mendistribusikan tanah sebanyak 124.120 bidang
di 26 provinsi yang termasuk didalamnya tanah konflik sebanyak 5.512 dari 7 provinsi.5 Obyek
distribusi tanah di masa Presiden Joko Widodo, jika membaca Perpres No. 86 Tahun 2018,
salah satunya berasal dari tanah hak guna usaha dan hak guna bangunan yang haknya habis
masa berlakunya yang tidak dimohon perpanjangan dan/atau tidak dimohon pembaruan6 oleh
bekas pemiliknya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun7 untuk kemudian menjadi tanah obyek
reforma agraria (TORA).
Ketentuan penghapusan dan pengambialihan hak prioritas bekas pemegang hak yang
hak atas tanah berakhir yang diatur Perpres No. 86 Tahun 2018, sebelumnya ada diatur di
Permen ATR/KBPN No. 7 Tahun 2017 yang mengatur bahwa tanah negara bekas hak guna
usaha dapat diberikan kepada bekas pemegang hak atau pihak lain atau dapat digunakan
untuk reforma agraria manakala lebih dari 2 (dua) tahun tidak diajukan pembaruan hak.
Konsep pembatasan waktu, penghapusan hak, dan pengambilalihan hak prioritas di dalam
Perpres No. 86 Tahun 2018 dan Permen ATR/KBPN No. 7 Tahun 2017 diadopsi kembali oleh
Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021 yang mengatur tanah hak guna usaha, hak guna

1 Gunanegara. 2020. Reforma Agraria, Land Reform (+Bagi-Bagi Tanah): Pergulatan Konsepsi dan Perjalanan
Utopianisme”, Jakarta:Buku Elektronik, hlm 114, 180
2 Pasal 1 angka 3 dan 4 Perpres No. 86 Tahun 2018 menjelaskan yang dimaksud dengan penataan aset adalah

penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam rangka menciptakan
keadilan di bidang penguasaan dan pemilikan tanah dan yang dimaksud dengan Penataan Akses adalah
pemberian kesempatan akses permodalan maupun bantuan lain kepada subjek reforma agraria dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan yang berbasis pada pemanfaatan tanah, yang disebut juga pemberdayaan
masyarakat.
3 Tanah absentee atau guntai adalah tanah pertanian yang pemiliknya berdomisili jauh dari tanahnya atau

pemiliknya tinggal jauh dari tanah pertanian itu terletak, biasanya dihitung beda kecamatan.
4 Tanah Partikelir ialah tanah eigendom yang pemiliknya mempunyai hak-hak pertuanan seperti 1. hak untuk

mengangkat atau mengesahkan pemilihan serta memperhentikan kepala-kepala kampung atau desa dan kepala-
kepala umum; 2. hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk; 3.
hak mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang atau hasil tanah dari penduduk; 4. hak untuk
mendirikan pasar-pasar, memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan seperti negara dalam negara
(Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1958).
5 https://www.cnbcindonesia.com/news/20210922143827-4-278276/hore-jokowi-bagi-bagi-tanah-gratis-untuk-rak

yat di akses pada 13/03/2022 15:05 wib


6 Makna pembaruan adalah penambahan jangka waktu berlakunya sesuatu hak setelah jangka waktu berakhir.
7 Merujuk Pasal 5 ayat (1) huruf a dikaitkan dengan Pasal 6 huruf a dan Pasal 7 ayat (1) huruf a Perpres No. 86

Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.


2
bangunan dan hak pakai jika jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun tidak mengajukan
permohonan perpanjangan atau pembaruan hak maka tanahnya diserahkan kepada badan
bank tanah (selanjutnya disebut bank tanah) dan menjadi tanah obyek—pendistribusian
tanah—untuk reforma agraria. Penjelasan Pasal 22 ayat (3), Pasal 37 ayat (4) dan Pasal 52
ayat (5) PP No. 18 Tahun 2021 menguatkan proposisi tersebut, yang inti redaksinya, setelah
jangka waktu pemberian, perpanjangan, atau pembaruan berakhir, Menteri Agraria dan
Penataan Ruang/Kepala BPN berwenang menata kembali penggunaan, pemanfaatan, dan
pemilikan tanah tersebut dan (dapat) diberikan kepada bank tanah dengan hak pengelolaan.
Kewenangan ini rawan penyelewengan bahkan dimanfaatkan sebagai trading in influences
atau occupancy crime yang memeras perusahaan badan hukum, mengganggu iklim
investasi. Pembatasan waktu hak prioritas oleh Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021
berkoresponden dengan Pasal 6 huruf a dan Pasal 7 huruf a juncto Pasal 15 ayat (2) huruf d
PP No. 64 Tahun 2021 yang menyatakan perolehan bank tanah didapatkan dari tanah bekas
hak atas tanah yang ditetapkan pemerintah untuk kepentingan pendistribusian TORA. Tanah
yang ditetapkan pemerintah untuk kepentingan pendistribusian tanah tidak dijelaskan spesifik
di dalam PP No. 64 Tahun 2021, namun jika dikaitkan dengan Pasal 79 ayat (1) huruf c, Pasal
107 ayat (1) huruf c dan Pasal 131 ayat (1) huruf c Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021,
bahwa tanah obyek untuk pendistribusian tanah (dapat) berasal dari tanah negara bekas hak
atas tanah yang tidak mengajukan permohonan perpanjangan atau pembaruan lebih dari 2
(dua) tahun. Perolehan tanah untuk obyek pendistribusian yang diatur oleh beberapa
peraturan tersebut berbeda dengan tanah untuk obyek pendistrisbusian yang diatur PP No.
224 Tahun 1961 di masa Soekarno. Perbedaan substansial dengan PP No. 224 Tahun 1961
yakni negara hanya mengambilalih tanah yang pemiliknya melanggar UU No. 1 Tahun 1958,
UU No. 56 Tahun 1960, dan UU No. 2 Tahun 1960. Sedangkan peraturan PP No. 64 Tahun
2021 juncto Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021 negara mengambilalih hak dari bekas
pemegang hak yang tidak mengajukan permohonan perpanjangan atau pembaruan lebih dari
2 (dua) tahun. Konsepsi dan kebijakan pengaturan hak bekas pemegang hak atas tanah yang
diatur Perpres No. 86 Tahun 2018 dan PP No. 64 Tahun 2021 juncto Permen ATR/KBPN No.
18 Tahun 2021 berlawanan dengan konsepsi sebelumnya yang daitur PP No. 40 Tahun 1996
juncto Permen Agraria No. 9 Tahun 1999 yang masih mengakui hak prioritas bekas
pemegang hak atas tanah walau yang bersangkutan tidak mengajukan permohonan
perpanjangan atau pembaruan hak.
Pengaturan PP No. 40 Tahun 1996 juncto Permen Agraria No. 9 Tahun 1999 eksplisit
mengatur bahwa hak prioritas bekas pemegang hak atas tanah tidak dibatasi oleh waktu dan
melekat pada bekas pemegang hak selama tidak dialihkan. Untuk contoh, dikutif rumusan
Pasal 8 PP No. 40 Tahun 1996, bahwa hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu paling
lama tiga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh
lima tahun. Sesudah jangka waktu hak guna usaha dan perpanjangannya berakhir, kepada
pemegang hak dapat diberikan pembaruan hak guna usaha di atas tanah yang sama. Lanjut
Pasal 10 PP No. 40 Tahun 1996, permohonan perpanjangan jangka waktu hak guna usaha
atau pembaruannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka
waktu hak guna usaha. Rumusan pengaturan hak prioritas di dalam Pasal 8 dan Pasal 10 PP
No. 40 Tahun 1996 sama sekali tidak ada norma yang membatasi jangka waktu hak prioritas
bekas pemegang hak apalagi norma yang menghapuskan hak prioritas untuk kepentingan
pendistribusian tanah. Pengaturan dan konsep hak prioritas inilah yang berubah pasca
Perpres No. 86 Tahun 2018 dan PP No. 64 Tahun 2021 dan Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun
2021 yang mengatur jika dua tahun pemegang hak tidak mengajukan perpanjangan atau
pembaruan hak maka tanahnya (dapat) menjadi TORA. Dengan kalimat lain, peraturan
perundang-undangan yang lama bahwa hak prioritas melekat pada bekas pemegang hak dan
tidak dibatasi oleh waktu, sedangkan Perpres No. 86 Tahun 2018 dan peraturan pasca UUCK
hak prioritas hapus jika hak tidak diperpanjang dan/atau tidak diperbarui lebih dari 1 tahun

3
dalam domain Perpres No. 86 Tahun 2018 atau lebih dari 2 (dua) tahun dalam domain PP
No. 64 Tahun 2021 juncto Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021.8
Keberadaan Perpres No. 86 Tahun 2018 dan PP No. 64 Tahun 2021 juncto Permen
ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021 seperti diposisikan sebagai dasar negara untuk menghapus
dan mengambilalih paksa hak privat atau hak keperdataan e.g. mengambil hak privat tanpa
ganti kerugian. Padahal dasar pengambilalihan hak privat oleh negara telah diatur UU No. 2
Tahun 2012 yang mewajibkan negara memberikan ganti kerugian secara layak dan adil 9
termasuk didalamnya hak prioritas pada bekas hak atas tanah. Artinya, proses
pengambilalihan hak prioritas yang diatur Keppres No. 86 Tahun 2018 dan PP No. 64 Tahun
2021 juncto Permen No. 18 Tahun 2021 bertolak belakang secara konsepsional atau legal
conflicting dengan UU No. 2 Tahun 2012.
Jika Penulis merujuk UU No. 2 Tahun 2012, penghargaan hak prioritas bekas
pemegang hak ditemukan di penjelasan Pasal 40 yang menyatakan bekas pemegang hak
yang telah habis jangka waktunya berhak atas ganti kerugian dari negara. Artinya, UU No. 2
Tahun 2012 menjadi dasar hukum paling tinggi di dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan, bahwa hak prioritas dari bekas pemegang hak bernilai keperdataan karena itu
kemudian negara memberi ganti kerugian. Paralel dengan praktik hukumnya, bekas
pemegang hak yang dilibatkan pada kegiatan konsultasi penetapan lokasi pembangunan
proyek mass rapid transit (MRT) di Lebak Bulus Jakarta dan menjadi pihak yang ikut
bermusyawarah serta tanahnya tetap dinilai oleh jasa penilai untuk mendapat ganti kerugian
dari negara.10
Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan hak prioritas bekas pemegang hak dan
konflik norma antar peraturan perundang-undangan yang melingkupi hak prioritas bekas
pemegang hak atas tanah, Penulis melakukan penelitian konsepsional dengan tujuan
penyampaian pendapat dan/atau pandangan atas hak prioritas pada bekas pemegang hak
atas tanah yang haknya dihapus dan diambilalih negara untuk TORA dan tidak diberi ganti
kerugian oleh negara.

B. PERMASALAHAN
Bertitik tolak dari pengaturan pengambilalihan hak prioritas bekas pemegang hak atas
tanah yang problematik pasca UUCK menjadikan perubahan konsep (juridischebegripen) dan
pengaturan (beleidsregel) hak prioritas pada hukum agraria Indonesia, karenanya Penulis
melakukan penelitian konseptual atas permasalahan hak prioritas tersebut dengan rumusan
masalah; Bagaimana Pengambilalihan Oleh Negara Pada Hak Prioritas Bekas Pemegang
Hak Atas Tanah Akibat Tidak Mengajukan Permohonan Perpanjangan Dan/Atau Pembaruan
Hak Lebih Dari 2 (Dua) Tahun Untuk Distribusi Tanah Obyek Reforma Agraria.

C. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan metode
penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundangan-
undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan
pendekatan kasus (cases approach). Semua bahan hukum dianalisis secara yuridis kualitatif
dan kesimpulan dilakukan dengan deduktif.

8 Penjelasan Pasal 22 ayat (3) PP No. 18 Tahun 2021 “…Kewenangan Menteri dimaksudkan untuk mengatur
kembali penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dengan tetap memberikan prioritas kepada bekas pemegang hak atau diberikan Hak Pengelolaan
antara lain kepada Badan Bank Tanah…”.
9 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
10 Ralph Poluan, ‘Pelaksanaan Pemberian Ganti Rugi Atas Tanah Hak Milik Dalam Pengadaan Tanah Untuk

Pembangunan Jalur Mass Rapid Transit (MRT) Di Lebak Bulus Jakarta Selatan’, E-Journal Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, http://e-journal.uajy.ac.id/9224/1/ JURNALHK10719.pdf, hlm 8-11. Diakses pada 26/03/2022 12:00
wib.
4
D. PEMBAHASAN

1. Hak Prioritas Dalam Sejarah Hukum Agraria


Praktik administrasi pertanahan yang berlangsung selama 5 dekade terakhir, bahwa
hak atas tanah yang berakhir atau diakhiri, bekas pemegang hak atas tanah masih memiliki
hak keperdataan dan memiliki hak prioritas untuk memohon kembali hak atas tanahnya.11
Makna hak prioritas dalam pernyataan tersebut, kepada bekas pemegang hak mendapat
prioritas urutan pertama untuk mohon hak dan memperoleh kembali hak atas tanahnya.
Pemaknaan hak prioritas yang lain, hak prioritas disamakan dengan hak keperdataan yaitu
suatu hak yang melekat pada bekas pemegang hak yang menjadikan yang bersangkutan
berhak mengajukan permohonan hak atas tanah. 12 Menurut Mujiburohman hak prioritas
dalam makna urutan ataupun hak keperdataan diakui eksistensinya dalam hukum pertanahan
dan dengan hak prioritas seseorang dapat memperoleh hak atas tanah atau dapat kehilangan
hak atas tanah.13 Hak prioritas merupakan frasa hukum yang terdiri dari kata hak dan prioritas,
makna hak pada dasarnya claim atau tuntutan dan kepentingan yang dilindungi oleh hukum,
sedangkan kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk
dipenuhi dan mengandung didalamnya kekuasaan atau kewenangan yang dijamin dan
dilindungi hukum. 14 Sedangkan kata prioritas menurut KBBI bermakna didahulukan atau
diutamakan, jika ditelusuri dari asal usul kata (tesaurus), prioritas bermakna pengedepanan,
pengutamaan, penomorsatuan. 15 Jika prioritas dialihbahasakan dengan priority, menurut
britanica dictionary dimaknakan something that is more important than other things and that
needs to be done or dealt with first or the things that someone cares about and thinks are
important atau the condition of being more important than something or someone else and
therefore coming or being dealt with first.16 Sedangkan menurut black’s law dictionary adalah
a legal preference or precedence. When two persons have similar rights in respect of the
same subject-matter, but one is entitled to exercise his right to the exclusion of the other, he
is said to have priority.17 Hak prioritas, menurut Mariam Darus Badrulzaman, diperlukan guna
menghindari dan mencegah konflik kepemilikan. Kemudian bagaimana pengertian atau
konsep hak prioritas dalam hukum agraria Indonesia, dalam sub-bab ini, Penulis bahas
pengertian dan konsep hak prioritas berdasarkan hukum agraria Indonesia sebagaimana
yang diatur hukum land reform, hukum pengadaan tanah, hukum pemberian hak, dan menurut
pandangan hakim perdata, pidana, dan tata usaha negara.
Hak Prioritas dalam makna didahulukan atau diutamakan, dijumpai di dalam ketentuan
hukum land reform Indonesia,18 yakni ketika petani miskin atau buruh tani sudah ditetapkan
sebagai penggarap maka petani tersebut menjadi pemilik hak prioritas untuk mendapatkan
hak milik. Sejalan pada praktiknya, petani penggarap yang memiliki hak prioritas berdasarkan
SK Redistribusi bisa menjual hak prioritasnya kepada pihak ketiga sebagaimana yang terjadi
dalam Perkara No. 1870 K/Pdt/2017,19 artinya walaupun masih dalam bentuk hak prioritas
pemegangnya bisa menjualnya kepada pihak lain, dan itulah subtansi hak keperdataan dari
hak prioritas.
Penetapan prioritas oleh pemerintah dalam hukum land reform selain bermakna
pengutamaan tetapi terkandung didalamnya pemberian hak kepemilikan yang bersifat

11 Dian Aries Mujiburohman, ‘Legalisasi Tanah-Tanah Bekas Hak Eigendom, Kajian Putusan Nomor 17/Pdt.G/
2014/PN.Pkl’, Jurnal Yudisial, 14.1 (2021), 120.
12 Bekas pemegang hak barat, berhak mengajukan kembali hak atas tanah atau mendapat ganti kerugian atas

bangunan miliknya jika hak atas tanah tidak diberikan padanya, lihat Keppres No. 32 Tahun 1979.
13 Mujiburohman, Ibid, 131.
14 Gunanegara, 2008. Rakyat dan Negara dalam Pengadaan Tanah oleh Negara (Pelajaran Filsafat, Teori Ilmu,

dan Jurisprudensi). Jakarta: Tatanusa, hlm 13.


15 http://tesaurus.kemdikbud.go.id/tematis/lema/prioritas diakses pada 17/03/2022 14:08 wib
16 https://www.britannica.com/dictionary/priority- diakses pada 20/03/2022 06:25 wib
17 https://thelawdictionary.org/priority/ diakses pada 20/03/2022 06:25 wib
18 PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian.
19 Akbar, D., Tanawijaya, H., Analisis Tentang Keabsahan Jual-Beli Tanah Garapan Bekas Tanah Partikelir

Verponding (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1870 K/PDT/2017) Tahun 2021. Jurnal Hukum
Adigama (Vol. 4 No. 1) hlm 1424.
5
konstitutif. Hak prioritas dalam makna hak keperdataan juga dianut hukum land reform,
misalnya atas dasar UU No. 1 Tahun 1958 semua hak eigendom yang dihapuskan haknya
oleh negara sebagai akibat dari pemegang hak yang mempraktikan hak-hak pertuanan di
bidang tanahnya karenanya hak yang bersangkutan diambilalih negara, 20 kepada bekas
pemegang hak diberikan ganti kerugian dengan uang (Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1958).
Pengakuan hak prioritas sebagai hak keperdataan dalam hukum land reform semakin tegas
keberadaannya di PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian. Pada PP No. 224 Tahun 1961 tersebut diatur bahwa semua tanah
yang melebihi batas maksimum dan tanah yang pemiliknya berdomisili tidak satu kecamatan
dengan tanahnya (absentee) dan telah melanggar UU No. 56/Prp/1960 maka haknya dihapus
dan diambilalih negara. Tanahnya menjadi tanah obyek land reform (sekarang TORA) dan
kepada bekas pemegang hak diberikan ganti kerugian berupa tanah pengganti dan/atau
berupa uang. Pemberian ganti kerugian kepada bekas pemegang hak yang haknya sudah
dihapus dan diambilalih oleh negara diatur di dalam Pasal 6 ayat (1), tegas mengatur kepada
bekas pemilik tanah-tanah yang diambilalih oleh negara untuk dibagi-bagikan kepada yang
berhak atau dipergunakan oleh Pemerintah, diberikan ganti kerugian, yang besarnya
ditetapkan oleh panitia land reform daerah tingkat II (sekarang Pemkab/Pemkot). Bertitik tolak
dari ketentuan hukum land reform yang dianut UU No. 56 Tahun 1960 juncto PP No. 224
Tahun 1961, walaupun hak atas tanah sudah dihapus dan tanahnya ditetapkan menjadi tanah
negara tetapi bekas pemegang hak masih memiliki hak keperdataan yang bernilai
keekonomian karenanya bekas pemegang hak diberikan ganti kerugian.
Hak Prioritas dalam pemaknaan hak keperdataan, dapat ditemukan juga dalam
Keputusan Menteri Negara Agraria/KBPN Nomor 6 Tahun 1998 yang mempersilahkan
pemegang hak guna bangunan yang habis jangka waktunya, dan sudah menjadi tanah
negara, dipersilahkan mengajukan permohonan hak tanah bekas hak guna bangunan
tersebut. Hak prioritas yang dimiliki seseorang tersebut diutamakan meskipun hak guna
bangunan telah hapus namun secara keperdataan tetap milik bekas pemegang hak. 21 Hukum
pemberian hak dan praktik peningkatan hak di masa itu, hak guna bangunan yang sudah lama
habis jangka waktunya tetap diakui hak keperdataannya bahkan diperbolehkan ditingkatkan
ke hak milik. Pemaknaan hak prioritas sebagai hak keperdataan juga dianut oleh UU No. 20
Tahun 1961 pada Pasal 11, yang mengatur apabila pencabutan hak sudah dilakukan oleh
negara tetapi kemudian ternyata tanah dan/atau benda yang bersangkutan batal
dipergunakan untuk kepentingan umum, maka orang-orang yang semula berhak atasnya
diberi prioritas pertama untuk mendapatkan kembali tanah dan/atau benda tersebut. 22 Makna
Pasal 11 UU No. 20 Tahun 1961 adalah perlindungan negara kepada bekas pemilik hak untuk
mendapatkan kembali hak keperdataan mereka sekalipun pencabutan hak atas tanah sudah
dilakukan. Artinya, negara memberikan kembali hak atas tanah kepada bekas pemegang hak,
menunjukan negara mengakui kedudukan dan keberadaan hak prioritas dan hak keperdataan
yang melekat pada bekas pemegang hak. Hak prioritas dalam konteks Keputusan Menteri
Negara Agraria/KBPN Nomor 6 Tahun 1998 dan UU No. 20 Tahun 1961 adalah hak
keperdataan atas tanah yang bersubstansikan hak kebendaan atau hak kepemilikan.
Pengaturan hak prioritas yang bersubstansikan hak keperdataan juga dianut oleh Perancang
UU No. 2 Tahun 2012 yang mengharuskan pemerintah membayar ganti kerugian kepada
bekas pemegang hak walau hak atas tanah sudah berakhir.23 Berikut inti penjelasan Pasal 14
UU No. 2 Tahun 2012 terkait pemberian ganti kerugian pada bekas pemegang hak;

20 Tanah eigendom yang mempraktikan hak-hak pertuanan dihapus oleh Negara karena bertentangan dengan
keadilan sosial, kedaulatan negara, kewibawaan negara, dan kepentingan umum.
21 Rachseria Isneni Hakim, Yani Pujiwatib, Betty Rubiatic. ‘Hak Prioritas Dalam Perolehan Tanah Hak Guna

Bangunan Yang Habis Jangka Waktunya Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Dan Keputusan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998’. Jurnal Ilmu Hukum
Kenotariatan’. 2.1 (2018), 116.
22 Pasal 11 UU No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya.
23 Gunanegara, 2016. “Hukum Administrasi Negara Jual Beli dan Pembebasan Tanah. Sejarah Pembentukan

Hukum Pengadaan Tanah Indonesia.” Jakarta: Tatanusa, hlm. 160-165


6
Pihak yang menguasai tanah negara yang dapat diberikan ganti kerugian adalah
pemakai tanah negara yang sesuai dengan atau tidak melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan. Misalnya, bekas pemegang hak yang telah habis jangka
waktunya yang masih menggunakan atau memanfaatkan tanah yang bersangkutan,
pihak yang menguasai tanah negara berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak lain
yang menggunakan atau memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Merujuk hak bekas pemegang hak, baik dalam konteks hak didahulukan atau hak
keperdataan, yang diatur UU No. 20 Tahun 1961 dan UU No. 2 Tahun 2012 yang menjadi
dasar hukum pengambilalihan tanah melalui pencabutan hak atas tanah dan pengadaan
tanah, menunjukan bahwa hukum pencabutan hak dan hukum pengadaan tanah
mendudukan hak prioritas sebagai hak keperdataan yang bernilai kebendaan, karenanya
diberikan ganti kerugian sebagaimana layaknya hak atas tanah yang masih hidup/
berlangsung.24
Tafsir hak prioritas sebagai hak keperdataan, dapat juga ditemukan di dalam UU No.
5 Tahun 1960 juncto Permen Agraria No. 2 Tahun 1961 juncto Permen Dalam Negeri No. 2
Tahun 1970 yakni ketika mengatur konversi tanah eks hak barat. 25 Pasal 1 Permen Dalam
Negeri No. 2 Tahun 1970 ekplisit menyebutkan bahwa hapusnya hak guna bangunan dan hak
guna usaha yang awalnya dari tanah eks hak barat kepada bekas pemegangnya diberikan
hak pakai dan berhak mendapatkan sertipikat. Pengaturan hak prioritas pada tanah-tanah eks
hak barat kembali diatur oleh Keppres No. 32 Tahun 1979 yang mengatur konversi hak barat
atau hak Indonesia menentukan bahwa tanah negara eks hak barat atau hak guna bangunan,
hak guna usaha, dan hak pakai yang awalnya berasal dari eks hak barat sejak tanggal 24
September 1980 ditetapkan menjadi tanah Negara (TN) dan pemberian hak baru atas tanah
eks konversi dilaksanakan berdasarkan penguasaan fisik yang sah. Berdasarkan Keppres
No. 32 tahun 1979, Menteri Agraria berwenang menghentikan semua hak atas tanah eks hak
barat dan menetapkannya menjadi tanah negara sekaligus berwenang memberikan hak atas
tanah kepada subyek hak dengan urutan pertama untuk pemerintah atau kepentingan umum
baru kemudian untuk bekas pemegang hak yang menguasai fisik; atau orang lain yang
menguasai fisik. Materi Keppres No. 32 Tahun 1979 ketentuannya berkarakter beleidsregel,
kebijakan hukum negara, karena berdampak orang yang semula punya hak menjadi tidak lagi
punya hak dan orang yang semula penggarap dan tidak punya hak menjadi punya hak (atas
tanah). Bekas pemegang hak eks hak barat yang tanahnya menjadi tanah negara mempunyai
(hak) prioritas memohon kembali hak atas tanah jika benar-benar menguasai fisik. Jika, tanah
eks hak barat dikuasai pihak lain maka Pasal 4 dan Pasal 5 Keppres No. 32 Tahun 1979
menentukan bahwa penguasa fisik feitelijke lebih mempunyai prioritas mohon hak atas tanah
eks hak barat. Manakala pemerintah menghapuskan hak bekas pemegang hak tanah eks hak
barat, hak-hak keperdataan bekas pemegang hak diberikan ganti kerugian yang besarannya
ditetapkan oleh panitia penaksir. Pasal 3 Keppres No. 32 Tahun 1979 mengatur kepada bekas
pemegang hak yang tidak diberikan hak baru karena tanahnya diperlukan untuk proyek
pembangunan, akan diberikan ganti rugi yang besarnya ditetapkan oleh Panitia Penaksir. Hak
prioritas dalam pemaknaan yang diutamakan atau didahulukan, karena menguasai fisik,
dalam praktik dapat mengalahkan tanah yang sudah diterbitkan sertipikat hak pakai atas
nama pemerintah, sebagaimana yang terjadi pada Putusan MA No. 48 PK/TUN/2016 yang
memenangkan Ny. Hadi Susanti Idris Cs selaku penguasa fisik tanah eks hak barat dan
membatalkan sertipikat hak pakai No. 287/Selong atas nama Pemerintah cq. Departemen
Pendidikan Nasional. 26 Hak prioritas Ny. Hadi Susanti Idris Cs, berdasarkan putusan

24 Gunanegara, 2016. Ibid, hlm 205-212.


25 Jika hak prioritas dimaknai secara leksikal, bukan pemaknaan konsepsional, maka frasa hak prioritas tidak ada
di dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), namun ketika dikaji pada
peraturan pelaksanaan konversi ditemukan pengaturan hak prioritas sebagai hak keperdataan dan hak prioritas
sebagai hak yang didahulukan.
26 Dias Pasah Ramadhani dan Suparjo Sujadi, ‘Kajian Penerbitan Sertipikat Hak Pakai Nomor 287/Selong Atas

Nama Departemen Pendidikan Nasional (Putusan Mahkamah Agung No. 48 PK/TUN/2016), Notary Indonesia,
1.2. (2019), tanpa halaman.
7
pengadilan tata usaha negara substansinya berubah menjadi hak keperdataan atau
kepemilikan oleh karena itu mengalahkan sertipikat milik pemerintah.
Hak prioritas dalam pemaknaan yang diutamakan atau didahulukan juga dianut
Peraturan Presidium Kabinet Dwikora No. 5/Prk/1965 tentang Penegasan Status
Rumah/Tanah Kepunyaan Badan-Badan Hukum Yang Ditinggalkan Direksi/Pengurusnya.
Didalam peraturan ini menentukan bahwa penguasa fisik tanah negara bekas milik badan
hukum Belanda (tanah obyek Prk 5) memiliki hak prioritas untuk membeli tanah/rumah obyek
Prk 5 dan mendapatkan hak atas tanah setelah mendapat persetujuan Menteri Agraria
(sekarang ATR/BPN), sebagaimana yang diatur Pasal 2 ayat (2) Peraturan No. 5/Prk/1965,
Pasal 2
(2) a. Penjualan rumah/tanah tersebut dalam ayat (1) pasal ini hanya akan dilakukan
kepada Warga Negara Republik Indonesia.
b. Prioritas diberikan kepada penghuni rumah/tanah itu yang mempunyai surat-
surat penghunian yang sah dari instansi yang berwenang, baik sebagai pegawai
negeri ataupun bukan.
c. Apabila suatu rumah/tanah tersebut didiami oleh beberapa penghuni/ keluarga,
maka prioritas diberikan kepada penghuni sah yang terlama, sepanjang
rumah/tanah itu tidak dapat/layak untuk dibagi-bagi.
Hak prioritas dalam pemaknaan yang diutamakan mutatis mutandis pemberian hak
keperdataan, dianut oleh UU No. 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan-
perusahaan milik belanda yang berada di dalam wilayah republik indonesia, yang mengatur
tanah bekas asset Belanda yang dinasionalisasi (diambilalih) oleh negara prioritasnya
diberikan kepada instansi pemerintah/BUMN inheren pemberian hak keperdataan dan hak
atas tanah. Kepada bekas pemegang hak yang tanahnya dinasionalisasi oleh negara diakui
hak keperdataannya dan diberikan ganti kerugian oleh Indonesia. Kata hak prioritas tidak
ekplisit tertulis dalam undang-undang, tetapi substansi hukumnya diatur di peraturan
pelaksana UU Nasionalisasi. Di dalam peraturan pemerintah menjelaskan bahwa hak
keperdataan bekas pemilik tanah yang berkewargaannegaraan Belanda atau perusahaan
milik Belanda tetap berhak atas ganti kerugian. Salah satu contoh peraturan pelaksanaan UU
No. 86 Tahun 1958, yakni PP No. 13 Tahun 1960 tentang Penentuan Perusahaan Bank di
Indonesia Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi, dalam ketentuannya mengatur
perusahaan bank milik Belanda Escomptobank yang berkedudukan di Jakarta dinasionalisasi
dan pemilik saham perusahaan yang haknya dicabut diberi ganti kerugian. Dalam konteks
nasionalisasi, semua hak atas tanah milik perusahaan Belanda dihapus dan ditetapkan
menjadi tanah negara dan menjadi asset negara dan bekas pemiliknya mendapat
pembayaran ganti kerugian. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa hak prioritas dalam
domain hukum nasionalisasi adalah pengakuan hak keperdataan orang atas tanah, bukan
dalam makna pengutamaan. Kecuali bagi instansi pemerintah/BUMN yang diberikan prioritas
baru bermaknakan yang diutamakan sekaligus pemberian hak keperdataan atas tanah.
Hak prioritas dalam pemaknaan yang diutamakan atau didahulukan, juga diatur dalam
hukum pemberian, perpanjangan, pembaruan hak atas tanah sebagaimana ketentuan Pasal
10, Pasal 25, dan Pasal 47 PP No. 40 Tahun 1996. Tiga pasal tersebut ekplisit mengatur
bahwa hak memperpanjang dan memperbaharui disarankan 2 (dua) tahun sebelum berakhir
jangka waktu hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Penyebutan angka 2 (dua)
tahun dalam PP No. 40 Tahun 1996 bukan untuk membatasi hak prioritas pemegang hak,
tetapi pemberian waktu yang memadai bagi aparat BPN untuk memproses surat keputusan
perpanjangan atau permbaruan sebelum haknya berakhir.27

Pasal 10
(1) Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha atau pembaharuannya
diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak
Guna Usaha tersebut.

27 Hasil wawancara dengan Kepala Sub Direktorat di Kementerian ATR/BPN bulan Januari 2022.
8
(2) Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha dicatat dalam buku tanah
pada Kantor Pertanahan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara permohonan perpanjangan atau pembaharuan Hak
Guna Usaha dan persyaratannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden

Pasal 25
(1) Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diberikan untuk
jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama dua puluh tahun.
(2) Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan
pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama.

Pasal 47
(1) Permohonan perpanjangan waktu Hak Pakai atau pembaharuan diajukan
selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Pakai
tersebut.
(2) Perpanajngan atau pembaharuan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. (3) Ketentuan mengenai
tata cara permohonan perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai dan
persyaratannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden
Hak prioritas pemegang hak atas tanah tidak akan hapus dan/atau diakhiri, walau jangka
waktu hak atas tanah sudah berakhir dan menjadi tanah negara. Jika pemegang hak dan
waktu perpanjangan berakhir, bekas pemegang hak tetap memiliki hak prioritas untuk
mengajukan pembaruan hak tanpa dibatasi waktu dan tanahnya tidak akan diambilalih oleh
negara, kecuali karena melanggar hukum (lihat Gambar 1). Konsep dan proposisi hak prioritas
yang ada dan diatur di dalam sub-sub hukum agraria sebagaimana yang sudah didiskripsikan
di atas, dalam perkembangannya berubah dan diubah oleh Permen ATR/BPN No. 7 Tahun
2017, Perpres No. 86 Tahun 2018, PP No. 18 Tahun 2021, PP No. 20 Tahun 2021, dan PP
No. 64 Tahun 2021 juncto Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2021.
Gambar 1. Perbandingan Hak Prioritas Dalam Sejarah Pengaturan Hukum Agraria

Hak Prioritas, Hak Berlaku Selamanya, kecuali


Hak Atas Tanah Keperdataan, Hak Kebendaan terjadi pelanggaran hukum
(HAT) pra Kementerian ATR/BPN

HAT Hapus Karena Hak


Jangka Waktu Berakhir Bekas Pemegang Hak

Hak Prioritas, Hak Berlaku Paling Lama


Keperdataan, Hak Kebendaan 2 (dua) Tahun
pasca Kementerian ATR/BPN

Berdasarkan peraturan perundang-undangan agraria dari undang-undang, keputusan


presiden, dan peraturan menteri pada rentang 1950-an, 1960-an, 1970-an, dan 1980-an
menunjukan hukum agraria Indonesia mengenal, mengakui, mengatur hak prioritas sebagai
hak keperdataan yang bernilai kebendaan. Konsep hak prioritas yang dianut selama 5
dekade, konsisten diikuti oleh perancang UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan PP No. 11 Tahun 2010
tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Konsistensi pengakuan hak
prioritas sebagai hak keperdataan yang dianut UU No. 2 Tahun 2012 dengan memberikan

9
ganti kerugian pada pemegang hak prioritas, sedangkan yang dianut PP No. 11 Tahun 2010
obyek pendistribusian TORA berasal dari pemegang hak yang melanggar hukum dan
penghapusan hak atas tanah tanpa ganti kerugian menjadi bentuk sanksi atas pelanggaran
hukum dari pemegang hak. Pengambilalihan hak prioritas tanpa ganti kerugian kepada bekas
pemegang hak sama artinya dengan pengambilan paksa tanah orang dengan menggunakan
instrumen peraturan pemerintah. Pemanfaatan kewenangan publik yang melekat pada
kementerian ATR/BPN yang menghapuskan hak prioritas jika dilakukan tanpa ganti kerugian
menjadi bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2012. Singkatnya, hak prioritas bekas
pemegang hak yang diambilalih akibat pemegang hak tidak mengajukan permohonan
perpanjangan hak atau pembaruan hak paling lama 2 (dua) tahun adalah melanggar hukum
pengadaan tanah dan hukum pencabutan hak atas tanah. Masalah menjadi rumit manakala
hasil pengambilalihan hak prioritas bekas hak didistribusikan kepada pihak ketiga, oleh Bank
Tanah, untuk keuntungan kementerian/lembaga; pemerintah daerah; organisasi sosial dan
keagamaan dan kepentingan masyarakat.28
2. Hak Prioritas Menurut Hakim Perdata, Pidana, dan Tata Usaha Negara
Peraturan perundang-undangan agraria tidak memberikan definisi ekplisit mengenai
hak prioritas pada hak atas tanah, menjadikan hak prioritas berubah problematik di dalam
praktik administrasi pertanahan dan tidak sedikit yang menjadi perkara di lembaga peradilan.
Persoalannya tidak hanya persoalan politik pembentukan konsep hukum di peraturan
perundang-undangan, tetapi ada persoalan di ranah praxis yang membuka lebar penggunaan
diskresi oleh aparat pertanahan, bahkan menjadi masalah empirik di beberapa pengadilan i.e.
peradilan perdata, pidana, dan tata usaha negara.
Masalah hak prioritas tidak sedikit yang menjadi obyek perkara perdata, sebagai
sampel perkara perdata No. 281PK/Pdt/2019 antara Sendang Ngawiti, Dkk sebagai
Penggugat melawan Alm. Kusnaningsih yang kemudian dilanjutkan oleh Ahli Waris Yakni
Listiyo Witono, dkk sebagai Tergugat. Penggugat I dan Penggugat II adalah istri dan anak ahli
waris dari Alm. Mostofa Sutopo dengan harta waris berupa tanah dan bangunan sebagaimana
diuraikan dan dibuktikan sertipikat hak guna bangunan No. 515 seluas 1.395 m2 tertulis atas
nama Mustofa Soetopo yang terletak di Kelurahan Mojo, Kecamatan Gubeng, Kota Surabaya
atau dikenal dengan Jalan Dharmahusada Indah C3 dan C4 Surabaya. Tanpa sepengetahuan
ahli waris—Penggugat I dan Penggugat II, ternyata telah terjadi balik nama menjadi atas
nama Tergugat I yang bukan ahli waris Mustofa Soetopo. Bahwa Tergugat I berhasil
melaksanakan balik nama hak guna bangunan No. 515 dengan menggunakan alas hak
berupa penetapan PN Surabaya No. 419/Pdt.P/1994/PN.Sby yang kemudian penetapan telah
dibatalkan oleh PT Jawa Timur No. 484/Pdt/2006/PT.Sby atas gugatan para Penggugat.
Pasca pembatalan penetapan PN Surabaya No. 419/Pdt.P/1994/PN.Sby, ternyata Tergugat I
melakukan penjualan bangunan rumah yang berdiri di atas tanah negara bekas Hak Guna
Bangunan No. 515 kepada Tergugat II sebagai pihak ketiga berdasarkan Akta Jual Beli
Bangunan No. 54 tanggal 31 Juli 2013. Karena hak guna bangunan No. 515 sudah berakhir
jangka waktunya dan menjadi tanah negara saat dijual oleh Tergugat I, maka Tergugat I
menggunakan pola pelepasan hak prioritas untuk kepentingan Tergugat II. Perbuatan Terugat
I dan Tergugat II telah melawan hukum dan Penggugat I dan II yang merupakan ahli waris
syah dan pemilik sah atas bangunan rumah tempat tinggal berikut dengan segenap bahagian
dan turut-turutannya, karenanya Penggugat I dan II adalah pemegang hak prioritas untuk
mengajukan permohonan pembaruan tanah negara bekas hak guna bangunan No. 515.
Perkara ini bersubstansi perkara waris, balik nama, dan hak prioritas dan telah diputus oleh
majelis hakim tingkat pertama No.1004/Pdt.G/2013/PN.Sby juncto tingkat peninjauan kembali
No. 128PK/ Pdt/2019 dengan amar antara lain berbunyi:
− Menyatakan Penggugat pemegang hak prioritas untuk mengajukan permohonan hak
atas tanah negara bekas sertipikat Hak Guna Bangunan No.515 luas 1.395 M2
Kelurahan Mojo, Kecamatan Gubeng, Kota Surabaya ;
− Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum

28 Pasal 15 ayat (2) PP No. 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah
10
− Menghukum Kepala Kantor Pertanahan Surabaya II (Turut Tergugat II) untuk
menerima dan memproses permohonan hak yang diajukan Penggugat terhadap tanah
negara bekas Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 515 luas 1.395 M2 Kelurahan Mojo,
Kecamatan Gubeng, Kota Surabaya sampai terbit sertipikat hak atas tanah
Penggugat.
Memetik kaidah hukum dari Putusan Mahkamah Agung No. 128PK/Pdt/2019 menunjukan
bahwa tanah hak guna bangunan sekalipun sudah dibalik nama ke pihak lain (Tergugat I)
dengan alas hak penetapan pengadilan dan kemudian dijual kepada pihak ketiga (Tergugat
II) yang beriktikad baik dengan bukti otentik AJB ternyata oleh hakim perdata menyatakan
bahwa hak kepemilikan ada pada Penggugat I dan II sekaligus menyatakan bahwa Penggugat
I dan Penggugat II adalah pemilik hak prioritas tanah negara bekas hak guna bangunan,
Hakim perdata memberikan kaidah bahwa hak keperdataan atau hak kepemilikan para
tergugat adalah tidak syah, melawan hukum, karenanya walaupun sudah resmi dibalik nama
menjadi atas nama Tergugat I dan sudah dibeli secara syah oleh Tergugat II tetapi hak
kepemilikan tanah tetap diserahkan kepada Penggugat I dan II sebagai pemegang hak
prioritas yang benar dan dilindungi hukum perdata. Konsepsi hak prioritas dalam pandangan
hakim perdata bermaknakan hak kepemilikan atas tanah atau hak keperdataan atas tanah,
dengan demikian hak prioritas dalam makna hak keperdataan tidak hanya ada di dalam
praktik administrasi pertanahan tetapi juga dipraktikan secara empirik oleh hakim perdata (law
in concreto).
Masalah hak Prioritas sering terjadi dalam perkara pidana, pandangan hakim pidana
dalam kasus tindak pidana Maryamah binti H. Rasim yang menjadi terdakwa akibat di bulan
Mei tahun 2014 hingga Mei 2017 di desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten
Bogor dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan atau seolah-olah surat
asli, dengan kronologi ringkas sebagai berikut: awalnya PT. Swakarsa Wira Mandiri menerima
pelepasan penyerahan hak dan prioritas berupa areal tanah seluas 93.500 m 2 dan seluas
31.900 m2 di Desa Curug Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor berdasarkan:
1) Surat Perjanjian Pemanfaatan Tanah (SPPT) PT.Perkebunan XI Gunung Sindur, Serpong
dan Tangerang Nomor : 178/SP/Kop.XI/VII/94 tanggal 18 Juli 1994, dari A. Syamsudin Bsc,
selaku ketua koperasi karyawan kepada Ir. Burhanudin selaku Direktur PT. Swakarsa Wira
Mandiri; dan addendum Surat Perjanjian Nomor: XI.U/PERJ/53/1994 Nomor: SP/D.IV/
5254/IX/1996 tanggal 08 September 1996.
2) Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah (SPHAT) tanggal 01 Nopember 1997 dari Ir.
H. Imam Wahyudi selaku Direktur Umum dan SDM PT. Perkebunan Nusantara VIII
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 21 tanggal 07
Desember 1994:
− Ferarianty selaku Direktur PT. Kartika Buana Kelola awalanya memesan untuk
dicarikan tanah kepada terdakwa Maryamah binti H. Rasim yang merupakan Kepala
Desa Curug dan oleh terdakwa Maryamah binti H. Rasim ditunjukan tanah yang
terletak di Desa Curug Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor dengan luas
sekitar 6-7 Ha yang berstatus tanah negara dengan hak prioritas atas nama PT
Swakarsa Wira Mandiri;
− Setelah dilakukan pengecekan lokasi dan terjadi kesepakatan bahwa harga tanah
per meter persegi sebesar Rp. 250.000,- antara Ferarianti selaku Direktur PT. Kartika
Buana Kelola sehingga PT. Kartika Buana Kelola sepakat dengan harga Rp.
15.000.000.000,- dan saat ini sudah menyerahkan dana sebesar Rp. 7.000.000.000.-
yang diterima terdakwa Maryamah binti H. Rasim yang merupakan Kepala Desa
Curug guna pembayaran tanah seluas 7,3 Ha termasuk untuk pengurusan 5 Surat
Surat Pemindahan dan Penyerahan Hak (SPPH) sampai dengan terbitnya 5
Sertifikat HGB atas tanah tersebut;
− Terdakwa Maryamah binti H. Rasim bulan Mei tahun 2017 memerintahkan saksi
Candra untuk bertemu sdr. (alm) Nadjib Baharmuz untuk menandatangani 5 (lima)
Surat pemindahan dan Penyerahan Hak atas tanah milik PT. Swakarsa Wira Mandiri
yang diwakili oleh (alm) Nadjib Baharmuz bertindak selaku Direktur PT. Swakarsa
Wira Mandiri kepada saksi Ferarianty selaku Direktur yang mewakili PT. Kartika
11
Buana Kelola, dan 5 SPPH tersebut diketahui serta ditandatangani juga oleh saksi
Wawan Darmawan (camat Gunung Sindur) dan terdakwa Maryamah binti H. Rasim
(selaku Kepala Desa Curug). Sampai akhirnya terjadi perbuatan pemindahan hak
antara PT. Swakarsa Wira Mandiri kepada PT. Kartika Buana Kelola dilengkapi
dengan bukti:
1) Surat Pemindahan dan Penyerahan Hak No: 194/Dirut/SWM/II/2014 tanggal
05 Februari 2014 (hak atas sebidang tanah negara seluas kurang lebih
15.372 meter persegi);
2) Surat Pemindahan dan Penyerahan Hak No: 196/Dirut/SWM/II/2014 tanggal
05 Februari 2014 (hak atas sebidang tanah negara seluas kurang lebih
15.378 meter persegi);
3) Surat Pemindahan dan Penyerahan Hak No: 197/Dirut/SWM/II/2014 tanggal
05 Februari 2014 (hak atas sebidang tanah negara seluas kurang lebih
15.375 meter persegi);
4) Surat Pemindahan dan Penyerahan Hak No: 198/Dirut/SWM/II/2014 tanggal
05 Februari 2014 (hak atas sebidang tanah negara seluas kurang lebih
15.388 meter persegi);
5) Surat Pemindahan dan Penyerahan Hak No: 211/Dirut/SWM/II/2014 tanggal
05 Februari 2014 (hak atas sebidang tanah negara seluas kurang lebih
12.446 meter persegi);
Berdasarkan kelima Surat Pemindahan dan Penyerahan Hak (SPPH) tersebut
kemudian BPN menerbitkan hak guna bangunan untuk dan atas nama PT. Kartika
Kelola Buana.
− Perkembangannya, ternyata 5 SPPH isinya tidak benar dan tidak sesuai dengan
fakta hukumnya, dan pejabat yang menandatangani SPPH bukan pejabat yang
berhak untuk mewakili PT. Swakarsa Wira Mandiri bahkan tanpa didahului RUPS,
semakin rumit masalahnya ternyata tanah tersebut sebelumnya telah dilepaskan
haknya oleh PT. Swakarsa Wira Mandiri kepada PT. Bukit Sentul tbk.
− Perbuatan jual beli hak prioritas atas tanah negara tersebut, dan pemalsuan SPPH
menjadikan perbuatan Maryamah binti H. Rasim menjadi terdakwa dalam perkara
pidana karena dengan sengaja menggunakan kelima SPPH yang merugikan PT.
Swakarsa Wira Mandiri dan PT. Kartika Kelola Buana.

Bahan hukum yang berasal dari perkara pidana No. 39/Pid.B/2019/PN.Cbi juncto No. 120/Pid/
2019/PT.Bdg bukan untuk menganalisis perbuatan terdakwa Maryamah binti H. Rasim yang
memberikan keterangan tidak benar dan/atau menggunakan surat palsu tetapi menganalisis
masalah hak prioritas di atas tanah negara yang dialihkan dan menjadi obyek jual beli dari
satu pihak ke pihak lain bahkan menjadi dasar kantor pertanahan untuk menerbitkan sertipikat
hak atas tanah.29 Pengalihan hak prioritas dengan model pelepasan hak menunjukan hak
prioritas dimaknakan sebagai hak untuk diutamakan atau didahulukan, sekaligus hak prioritas
dimaknakan sebagai hak keperdataan. Bukti hak prioritas sebagai hak keperdataan dibuktikan
ketika para pihak melakukan transaksi jual beli hanya berdasarkan hak prioritas dari PT
Swakarsa Wira Mandiri kepada PT. Kartika Kelola Buana. Pada sisi lain, hak prioritas sebagai
hak untuk diutamakan atau didahulukan juga menjadi obyek perbuatan hukum ketika PT
Swakarsa Wira Mandiri melepaskan hak prioritasnya kepada PT. Bukti Sentul tbk. Dalam
perkara ini, menunjukan koresponden konseptualnya bahwa hak prioritas tidak hanya dapat
dimaknakan sebagai hak untuk diutamakan atau didahulukan tetapi juga dapat sekaligus
bermakna hak keperdataan yang bersubstansi kepemilikan yang ada di ranah hukum
kebendaan. Sejalan dengan pandangan hakim pidana, yang berhasil mengungkapkan fakta
bahwa perbuatan terdakwa telah merugikan banyak pihak akibat sebelum hak prioritas yang
dialihkan PT. PT. Swakarsa Wira Mandiri kepada PT. Kartika Kelola Buana sebenarnya telah
dialihkan kepada PT. Bukit Sentul. Perkara pidana ini menjadi praktik hukum in concreto
bahwa hak prioritas dapat diperdagangkan selayaknya hak atas tanah, artinya hak prioritas

29 Putusan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (tidak ada putusan Kasasi dan Peninjauan Kembali)
12
yang sekalipun belum terbit sertipikat hak atas tanah tetap memiliki nilai keperdataan. Sejalan
pertimbangan hukum hakim pidana yang intinya menyatakan bahwa berdasarkan keterangan
beberapa saksi, tanah seluas 31,9 Ha tersebut telah dilepaskan haknya oleh PT. Swakarsa
Wira Mandiri kepada PT. Bukit Sentul Tbk dan selanjutnya oleh PT. Bukit Sentul Tbk, tanah
dimaksud telah pula dilepaskan haknya kepada Pemerintah Kabupaten Bogor untuk tanah
makam; Pengalihan hak kepemilikan atas tanah seluas 31,9 Ha tersebut maka hak prioritas
turut beralih dari PT. Swakarsa Wira Mandiri kepada PT. Bukit Sentul Tbk dan selanjutnya
oleh karena PT. Bukit Sentul Tbk telah melepaskan hak tersebut kepada Pemerintah
Kabupaten Bogor dengan demikian hak prioritas menjadi beralih kepada Pemerintah
Kabupaten Bogor. Berdasarkan dari perkara pidana, menurut Penulis, pelepasan hak prioritas
PT. Swakarsa Wira Mandiri kepada PT. Kartika Kelola Buana tidak syah sekalipun sudah
diterbitkan sertipikat hak guna bangunan atas nama PT. Kartika Kelola Buana, karena pejabat
perusahaan yang bertindak untuk atas nama PT. Swakarsa Wira Mandiri sudah pensiun dan
sebelumnya hak prioritasnya sudah dilepaskan kepada PT. Bukti Sentul tbk yang kemudian
oleh PT. Bukit Sentul tbk melepaskan haknya kepada Pemerintah Kabupaten Bogor.
Hak prioritas dalam perkara dan pandangan hakim tata usaha negara, perkara tata
usaha No. 200 K/TUN/2016 juncto No. 42 PK/TUN/2017 antara Ny. Srie Sinleanty Losianah
dkk selaku Penggugat dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat selaku
Tergugat. Perkara tata usaha negara terjadi ketika Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Pusat
menerbitkan surat keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat No.
1137/HGB/BPN.31.71/2014 tanggal 19 September 2014 tentang pemberian hak guna
bangunan kepada PT. Ayalis Lenggang Wisesa berkedududkan di Jakarta Timur; dan
sertipikat hak guna bangunan No.1882/Gunung Sahari Selatan tanggal 9 Oktober 2014 seluas
3.020 m2 surat ukur No. 26 tanggal 5 September 2014 tercatat atas nama PT. Ayalis
Langgeng Wisesa berkedudukan di Jakarta Timur terletak di Kelurahan Gunung Sahari
Selatan, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat yang diterbitkan di atas tanah yang dikuasai
secara fisik oleh Ny. Srie Sinleanty Losianah dkk selaku Para Penggugat. Para penggugat
menguasai fisik pada tanah bekas hak barat sejak tahun 1948 secara turun temurun dari
kakek/nenek mereka. Penguasaan fisik penggugat didasarkan pada alas hak berupa Surat
Ijin Perumahan (SIP) No. TS.1.02/00008/08 tanggal 14 Januari 1987 yang diterbitkan Dinas
Perumahan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan pelunasan pajak bumi dan
bangunan (PBB), sebagian penggugat mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) saat
merenovasi rumahnya. PT. Ayalis Lenggang Wisesa mendapatkan hak guna bangunan
berdasarkan pecahan dari hak guna bangunan No. 721/Gunung Sahari Selatan seluas 4.579
M2 dari Lucas Mulya Suryadi. Gugatan Ny. Srie Sinleanty Losianah dkk selaku para
penggugat diputus tingkat pertama dengan amar putusan gugatan penggugat tidak diterima
yang kemudian amarnya dikuatkan oleh putusan banding, pada tingkat kasasi amar putusan
berubah menjadi menolak gugatan penggugat, dan pada putusan peninjauan kembali amar
putusan menolak permohonan peninjauan kembali dari para penggugat. Pertimbangan
hukum majelis kasasi antara lain bukti-bukti penguasaan fisik berupa SIP, PBB, IMB yang
disampaikan para penggugat tidak dapat untuk membuktikan bahwa para penggugat sebagai
pemilik hak prioritas, karena para penggugat terbukti berkedudukan sebagai penyewa.
Beranjak dari hasil pemeriksaan hakim tata usaha negara, hak prioritas dihargai dan dinilai
jika perolehannya sesuai hukum yakni penguasaan fisik berdasarkan iktikad baik, tidak
melanggar hukum, dan tidak pernah dipermasalahkan pihak lain. Pembuktian penguasaan
fisik dengan SIP, PBB, IMB secara umum dapat dibenarkan, sebab SIP, PBB, IMB adalah
legaitas yang dapat untuk membenarkan penguasan fisik dan menjadi bukti adanya hak
prioritas namun menjadi tidak bernilai sebagai pembuktian manakala mereka hanyalah
seorang penyewa. Dengan demikian hak prioritas yang dilindungi oleh hukum tata usaha
negara, hukum perdata dan hukum pidana adalah hak prioritas yang diperoleh sesuai
peraturan perundang-undangan dan/atau tidak melanggar hukum.
Beranjak dari diskripsi dan substansi hak prirotas bekas pemegang hak yang
dipaparkan sebelumnya, menunjukan bahwa peraturan perundang-undangan hukum agraria
dan hakim perdata, pidana serta tata usaha negara memaknai hak prioritas sebagai hak
mendahului-diutamakan atau sebagai hak keperdataan-kepemilikan dan/atau hak untuk
13
mendahului-diutamakan sekaligus didalamnya terkandung hak keperdataan-kepemilikan.
Hak prioritas dimaknai sebagai mendahului-diutamakan ditemukan dan dianut oleh UU No.
3/Prp/1960, Peraturan Presidium Kabinet Dwikora No. 5/Prk/1965, dan PP No. 224 Tahun
1961. Sedangkan hak prioritas dimaknakan sebagai hak keperdataan-kepemilikan ditemukan
dan dianut oleh UU No. 86 Tahun 1958, UU No. 20 Tahun 1961, UU No. 2 Tahun 2012, PP
No. 40 Tahun 1996 dan Keputusan Menteri No. 6 Tahun 1998. Hak prioritas sebagai hak
mendahului-diutamakan yang didalamnya mengandung hak keperdataan-kepemilikan yang
tidak bisa dipilah secara diametral ditemukan di dalam hukum land reform dan UU No. 5
Tahun 1960 juncto Permen Dalam Negeri No. 2 Tahun 1970 juncto Keppres No. 32 Tahun
1979. Meminjam pendapat Mariam Darus Badrulzaman, guru besar hukum perdata UGM, hak
prioritas dimaknai sebagai hak keperdataan manakala beresensikan hak kebendaan yakni
terpenuhinya azas-azas hukum kebendaan (zaakelijkrechts) seperti azas absolute,
specialiteit, publiciteit, prioriteit. Pengertian azas absolute yaitu ketika benda itu dapat
dipertahankan dari tangan siapapun dari gangguan siapapun. Pengertian azas specialiteit
ketika benda tersebut ada kejelasan wujudnya, dapat dtetapkan batasnya, dan tertentu
letaknya. Azas publicieit yakni hak dan benda tidak ada halangan untuk dilakukan
pengumuman guna mendapat pengakuan umum untuk mengikat publik (openbaarheids) dan
dapat didaftarkan ke dalam sistem administrasi pemerintahan. Azas prioriteit terpenuhi
manakala hak prioritas itu dapat didahulukan berdasarkan saat terjadinya hak, serta
terpenuhinya azas dapat dialihkan sebagian atau seluruhnya dan diatur dengan undang-
undang.30 Masih menurut Badrulzaman, hak kebendaan bersubstansikan wewenang untuk
mengalihkan (nemo plus regel) atau wewenang menguasai/berbuat bebas (beschikkings
bevoegheid) dan dapat dikuasai dengan hak milik (Pasal 499 BW), serta bernilai dan dapat
menjadi obyek transaksi hukum. Usanti dalam abstraksinya membedakan hak kebendaan
menjadi dua yaitu hak kebendaan yang sifatnya memberikan jaminan (zakelijkzakenheids
recht) antara lain hak tanggungan, jaminan fidusia, gadai, hipotek dan hak kebendaan yang
sifatnya memberikan kenikmatan (zakelijkgenotrecht) antara lain bezit dan hak milik.31
Penulis masih menggunakan pendapat Badrulzaman, jika hak prioritas diteliti dari
materi pengaturan pada hukum land reform, hukum pencabutan hak, hukum pengadaan
tanah, hukum pemberian hak dan dihubungkan dengan pendapat hakim perdata, hakim
pidana, dan hakim tata usaha negara tampak koheren dan koresponden bahwasanya hak
prioritas selain bermaknakan hak didahulukan atau diutamakan tetapi juga hak keperdataan
yang bersubstansikan hak kebendaan yang dapat dikuasai, dimiliki, didaftarkan dan dapat
menjadi obyek transaksi hukum, serta dapat dipertahankan dari gangguan siapapun. Hak
prioritas sebagai hak kebendaan yang dapat dipertahankan berkoresponden dengan
dimenangkannya pemilik hak prioritas dari penguasa fisik sekalipun tanahnya sudah terbit
sertipikat hak pakai atas nama pihak lain e.g. Putusan No. 128PK/Pdt/2019. Hak prioritas
bersusbtansikan hak kebendaan tidak dibatasi waktu dan melekat pada pemilik hak sejalan
dengan putusan No. 120/Pid/2019/PT.Bdg dan sesuai dengan konsep yang dianut PP No. 40
Tahun 1996, UU No. 2 Tahun 2012 dan UU No. 20 Tahun 1961. Sebaliknya hak prioritas tidak
bernilai hak kebendaan jika perolehannya tidak sesuai dengan hukum sebagaimana putusan
No. 42 PK/TUN/2017. Dengan demikian, hak prioritas merupakan hak keperdataan yang
memiliki ciri-ciri hak kebendaan maka dari itu—menurut hukum agraria, hukum perdata, dan
di dalam putusan pengadilan—hak prioritas bisa dijual, dialihkan, dilepaskan, disewakan,
diwariskan, digadaikan dan dijadikan obyek perbuatan hukum keperdataan. Hak prioritas
sebagai claim atau tuntutan telah memberikan kewenangan pada pemegang hak untuk
melakukan tuntutan atau gugatan dan/atau permohonan perlindungan hukum atas tanah yang
dikuasainya.
3. Pengambilalihan Hak Prioritas untuk Pendistribusian TORA
Pengambilalihan tanah merupakan perbuatan atau tindakan negara yang mengambil
tanah hak privat untuk kepentingan negara dan/atau pemerintah. Terdapat 3 cara negara

30 Mariam Darus Badrulzaman, 2015. Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung: Alumni, hlm 10-12.
31 Trisadini Prasastinah Usanti, ‘Lahirnya Hak Kebendaan’, Jurnal Perspektif, 17. 1 (2012), hlm. 44.
14
mengambialih tanah hak privat yakni (1) menggunakan instrumen hukum privat (privaatrechts)
dengan jual beli, tukar menukar, dan cara perdata lain berdasaarkan burgerlijk wetboek; (2)
menggunakan instrumen hukum publik (publiekrechts) dengan nasionalisasi berdasarkan UU
No. 86 Tahun 1958, perampasan, pengambilan tanah untuk land reform berdasarkan UU No.
1 Tahun 1958, UU No. 56 Tahun 1960, UU No. 2 Tahun 1960 dan pencabutan hak
berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961; (3) menggunakan instrumen hukum campuran
(gemeenschappelijk rechts) dengan prijsgeving atau pengadaan tanah berdasarkan UU No.
2 Tahun 2012. 32 Ketiga instrumen hukum tersebut adalah cara legal bagi negara untuk
mengambilalih tanah hak privat dan pengambilalihan tanah tidak hanya untuk fisik tanah tetapi
juga hak yang melekat dengan tanah dan benda-benda yang diatasnya.
Tindakan negara mengambilalih tanah hak privat, sejak UUCK, boleh dilakukan oleh
bank tanah guna menjalankan fungsi dan usahanya.33 Sejalan dengan ketentuan PP No. 64
Tahun 2021, bahwa bank tanah merupakan badan sui generis yang dibentuk untuk mengelola
tanah dari hasil penetapan pemerintah dan/atau dari hasil pengadaan tanah.34 Khusus tanah
dari hasil penetapan pemerintah, in casu penetapan Menteri ATR/KBPN, antara lainnya
berasal dari hasil penertiban tanah telantar dan dari penyerahan tanah negara bekas hak atas
tanah (lihat Gambar 2). Kedudukan hukum (legal standing) bank tanah ini menurut Widyarini
I. Wardani badan bank tanah Indonesia bersifat ambigu, apakah termasuk the public land
bank atau the public- private land bank.35
Gambar 2. Skema Pengambialihan Hak Prioritas Bekas Hak Atas Tanah untuk Bank Tanah

HAK ATAS TANAH

Tanah yang tidak diajukan


Tanah Telantar perpanjangan/pembaruan paling
lama 2 tahun

TANAH NEGARA
Bekas Hak Atas Tanah diberikan Kembali Bekas
Pemegang Hak

Keputusan
Menteri ATR/KBPN
BANK TANAH

Diskresi secara diserahkan kepada


sporadic berpotensi DISKRESI
dijadikan intrumen
pemerasan/pungli

Issu hukum yang hendak Penulis dalami adalah perolehan bank tanah yang berasal
dari penyerahan tanah negara bekas hak atas tanah. Pengertian dari penyerahan tanah
negara bekas hak atas tanah, yakni merujuk Pasal 27 huruf d PP No. 64 Tahun 2021, yaitu
tanah yang tidak diajukan permohonan perpanjangan atau pembaruan paling lama 2 (dua)
tahun menjadi salah satu sumber kekayaan bank tanah. Ketentuan itu dapat ditemukan jika
Pasal 27 huruf d dikaitkan dengan ketentuan yang ada di Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun
2021, sebab Pasal 27 huruf a, b, c, d pada PP No. 64 Tahun 2021 menyatakan bahwa sumber

32 Gunanegara. 2008. op cit, hlm 115-171.


33 Dengan surat penugaasan khusus dari Pemerintah.
34 Pasal 6 ayat (1) juncto Pasal 9 PP No. 64 Tahun 2021
35 Widyarini Indriasti Wardani, ‘Harmonisasi Lembaga Bank Tanah dengan Pengaturan Pengadaan Hak Atas

Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Tahun’, Jurnal Spektrum Hukum, 18. 2 (2021), hlm. 6.
15
kekayaan bank tanah hanya berasal 4 sumber, yakni dari: a. anggaran pendapatan dan
belanja negara; b. pendapatan sendiri; c. penyertaan modal negara; dan/atau d. sumber lain
yang sah, artinya dari empat sumber kekayaan bank tanah tidak ada frasa eksplisit yang
berasal dari tanah negara bekas hak yang tidak diajukan permohonan atau pembaruan paling
lama 2 (dua) tahun. Keterhubungan menjadi kongkrit manakala Pasal 27 huruf d dikaitkan
dengan ketentuan Pasal Pasal 79 ayat (2) huruf b juncto Pasal 107 ayat (2) huruf b juncto
Pasal 131 ayat (2) huruf b Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021 yang mengatur bahwa
jangka waktu pemberian berakhir dan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun tidak
dimohonkan pembaruan atau jangka waktu perpanjangan berakhir dan dalam jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun tidak dimohonkan pembaruan maka (dapat) diberikan kepada bank
tanah dengan hak pengelolaan. Dengan kalimat lain, Pasal 79 dan Pasal 107 serta Pasal 131
Permen ATR/KBPN No. 18 Tahun 2021 menjadi dasar hukum penyerahan tanah negara
bekas hak yang tidak diajukan perpanjangan atau pembaruan paling lama 2 (dua) tahun
kepada bank tanah berikut sertipikat hak pengelolaan untuk kemudian menjadi kekayaan
bank tanah.
Kemudian jika dihubungkan lagi dengan Pasal 33 PP No. 20 Tahun 2021 disebutkan
bahwa tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah telantar dapat menjadi asset (kekayaan)
bank tanah. Rumusan lengkap ketentuan Pasal 33 tersebut adalah tanah yang telah
ditetapkan sebagai tanah telantar dapat menjadi aset bank tanah dan/atau tanah cadangan
umum negara (TCUN) juga merupakan bekas hak atas tanah, hanya saja pemiliknya telah
melanggar hukum karena menelantarkan tanah. Interkoneksi antar pasal dari beberapa
peraturan di atas, inti ketentuannya, menurut Penulis adalah cara dan instrumen hukum bank
tanah mengambil hak prioritas bekas hak atas tanah yang tidak diperpanjang-tidak diperbarui
tanpa memberikan ganti kerugian. Pola pengambilalihan tanah hak privat untuk kekayaan
bank tanah model PP No. 20 Tahun 2021 juncto PP No. 18 Tahun 2021 juncto Permen
ATR/BPN No. 18 Tahun 2021 dan PP No. 64 Tahun 2021 menyelisihi prinsip pemberian ganti
kerugian yang layak dan adil yang diamanatkan UU No. 2 Tahun 2012. Semua tindakan untuk
pengambilalihan tanah hak privat oleh negara ketentuannya harus mengacu UU No. 20 Tahun
1961 dan UU No. 2 Tahun 2012 yang mengharuskan pemberian ganti kerugian. Prinsip dan
konsep pemberian ganti kerugian yang dianut UU No. 2 Tahun 2012 adalah cangkokan
hukum dari Inggris, Norwegia, Finlandia, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru,
Singapura, Malaysia, Belanda yang mengharuskan pemberian ganti kerugian dalam hal
negara melakukan tindakan pengambialihan tanah hak privat untuk kepentingan negara,
sebab ganti kerugian merupakan bagian penting dalam proses pembangunan termasuk
dalam hal terjadi disorder pembangunan.36 Sedangkan prinsip dan konsep UU No. 20 Tahun
1961 deregulasi dari peraturan lama yang beberapa pengaturannya adopsi dari ketentuan
Belanda yang ada didalam onteigeningswet yang karakternya memaksa (dwingend).
Bank tanah sebagai lembaga sui generis, sebenarnya lebih tepat disebut hybrid
institution atau gemeenschappelijkorgaan, yang didirikan berdasarkan PP No. 64 Tahun 2021
juncto Perpres No. 113 Tahun 2021 tidak dapat begitu saja mengambil tanah bekas hak yang
diajukan permohonan perpanjangan atau pembaruan paling lama 2 (dua) tahun untuk menjadi
asset atau kekayaannya. Sebab tanah negara bekas hak atas tanah didalamnya masih
melekat hak prioritas yang bernilai kebendaan, yang bisa menjadi obyek transaksi hukum,
bisa dipertahankan dari tangan siapapun, dan masih diutamakan jika diajukan kembali
permohonan hak atas tanah. Artinya, yang diambilalih bank tanah adalah hak prioritas bekas
pemegang hak yang mempunyai nilai kebendaan yang merupakan bagian dari harta
kekayaan pribadi (ius in rem) jika diambilalih tanpa memberikan ganti kerugian maka itu
menyelisihi hukum pengadaan tanah UU No. 2 Tahun 2012. Sekalipun bank tanah 30%
mandatnya untuk melaksanakan pendistribusian tanah dalam kerangka reforma agraria yang
dinantikan masyarakat berpenghasilan rendah.
Apakah kemudian ke depan, implementasinya, pengambilalihan hak prioritas bekas
hak atas tanah untuk kepentingan pendistribusian tanah tetap tidak harus diberikan ganti
kerugian sedangkan pengambilalihan tanah bukan untuk pendistribusian tanah wajib

36 Gunanegara. 2008. loc cit, hlm 187.


16
memberikan ganti kerugian. Karena pertanyaan hukumnya soal implementasi, maka
diperlukan penelitian sosio-antropologis atau penelitian sosio-yuridis guna melengkapi
penelitian yuridis normatif yang bersifat yuridis-spekulatif yang berbasiskan norma, proposisi
dan konsep-konsep hukum. Dengan kalimat lain, secara yuridis normatif ada konflik hukum
pengambialihan hak prioritas yang didalamnya mengandung hak keperdataan dan hak
kebendaan yang masih dimiliki oleh bekas pemegang hak sekalipun tanahnya untuk distribusi
tanah obyek reforma agraria.

E. PENUTUP
1. Kesimpulan
Pengambilalihan oleh negara pada hak prioritas (prioriteit rechts) bekas pemegang
hak atas tanah untuk distribusi tanah obyek reforma agraria tanpa pembayaran ganti kerugian
yang layak dan adil menyelisihi hukum keperdataan dan hukum pengadaan tanah. Setelah
dilakuan penelitian, bahwa hak prioritas bekas pemegang hak atas tanah yang tidak diajukan
permohonan perpanjangan dan/atau pembaruan paling lama 2 (dua) tahun tetap melekat hak
kebendaan yang bernilai hukum dan ekonomi, maka dari itu hak prioritas yang diambilalih
oleh negara menurut UU No. 2 Tahun 2012 diberikan ganti kerugian yang layak dan adil
sekalipun hak atas tanah telah berakhir. Jika negara tetap melaksanakan pengambilalihan
hak prioritas tanpa pemberian ganti kerugian yang layak dan adil maka negara menggunakan
instrumen hukum diluar tiga cara negara memperoleh tanah sebagaimana yang diatur di
dalam instrumen hukum privat (privaatrechts) berdasarkan burgerlijk wetboek, instrumen
hukum publik (publiekrechts) berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958, UU No. 1 Tahun 1958, UU
No. 56 Tahun 1960, UU No. 20 Tahun 1961 dan instrumen hukum campuran (gemeen
schappelijk echts) berdasarkan UU No. 2 Tahun 2012.
2. Saran
Pengambilalihan hak prioritas (prioriteit rechts) bekas pemegang hak atas tanah yang
tidak diajukan permohonan perpanjangan dan/atau pembaruan hak paling lama 2 (dua) tahun
untuk kepentingan program distribusi tanah reforma agraria disarankan dengan pemberian
ganti kerugian yang layak dan adil, sepertihalnya pemberian ganti kerugian yang diatur dan
dikonsepsikan oleh UU No. 2 Tahun 2012, UU No. 20 Tahun 1961, atau PP No. 224 Tahun
1961. Demikian pula tidak dapat dengan serta merta diserahkan kepada Bank Tanah untuk
kemudian dijadikan assetnya secara sepihak yang berpeluang obyek gugatan dan pelaporan
tindak pidana.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Badrulzaman, MD. 2015. Sistem Hukum Benda Nasional. Bandung: Alumni.
Gunanegara, 2008. Rakyat dan Negara dalam Pengadaan Tanah oleh Negara: Pelajaran
filsafat, Teori Ilmu, dan Jurisprudensi. Jakarta: Tatanusa.
__________, 2016. Hukum Administrasi Negara, Jual Beli dan Pembebasan Tanah: Sejarah
Pembentukan Hukum Pengadaan Tanah Indonesia. Jakarta: Tatanusa.
__________, 2020. Reforma Agraria, Land Reform (+Bagi-Bagi Tanah): Pergulatan Konsepsi
dan Perjalanan Utopianisme”, Jakarta: Buku Elektronik,

Jurnal
Akbar, D. Tanawijaya, H. 2021. Analisis Tentang Keabsahan Jual-Beli Tanah Garapan Bekas
Tanah Partikelir Verponding (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1870
K/PDT/2017). Jurnal Hukum Adigama Tahun 2021 (Vol. 4 No. 1). https://journal.untar.
ac.id/index.php/ adigama/article/viewFile/12023/7710.
17
Hakim, RI. Pujiwati, Y, & Rubiati. B. 2018. Hak Prioritas Dalam Perolehan Tanah Hak Guna
Bangunan Yang Habis Jangka Waktunya Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 Dan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 6 Tahun 1998. Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Tahun 2018 (Vol. 2 No. 1),.
https://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/acta/ article/view/192/142.
Mujiburohman, DA. 2019. Legalisasi Tanah-Tanah Bekas Hak Eigendom, Kajian Putusan
Nomor 17/Pdt.G/2014/PN.Pkl. Jurnal Yudisial Tahun 2021 (Vol. 14 No. 1). https://jurnal.
komisi yudisial.go.id/index.php/jy/article/view/443
Ramadhani, DP. Sujadi. S. 2019. Kajian Penerbitan Sertipikat Hak Pakai Nomor 287/Selong
Atas Nama Departemen Pendidikan Nasional (Putusan Mahkamah Agung No. 48
PK/TUN/2016). Notary Indonesia Tahun 2019 (Vol. 1 No. 2). http://www.notary.ui.ac.id
/index.php/home/article/ viewFile/216/85
Poluan, Ralph. 2016. Pelaksanaan Pemberian Ganti Rugi Atas Tanah Hak Milik Dalam
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Jalur Mass Rapid Transit (MRT) Di Lebak
Bulus Jakarta Selatan. Jurnal Hukum Tahun 2016. http://ejournal.uajy.ac.id/9224/1/
JURNALHK 10719.pdf
Usanti, TP. 2012. Lahirnya Hak Kebendaan. Jurnal Perspektif Tahun 2012. (Vol. 17 No. 1).
http://jurnal-perspektif.org/index.php/perspektif/article/view/93
Wardani, WI. 2021. Harmonisasi Lembaga Bank Tanah dengan Pengaturan Pengadaan Hak
Atas Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Tahun 2021 Jurnal
Spektrum Hukum (Vol. 18 No. 2) http://jurnal.untagsmg.ac.id/index.php/SH/article/
view/2476

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik
Belanda.
Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperpu/ 032/1958 tentang Larangan Adanya
Organisasi Yang Didirikan Oleh dan/atau Untuk Orang-Orang Warga Negara Dari
Negara Asing Yang Tidak Mempunyai Hubungan Diplomatik Dengan Negara Republik
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 3/Prp/1960 Tentang Penguasaan Benda Benda Tetap Milik
Perseorangan Warga Negara Belanda
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-
Benda Yang Ada Diatasnya.
Peraturan Presidium Kabinet Dwikora No. 5/Pr/1965 Tentang Penegasan Status Rumah/
Tanah Kepunyaan Badan-Badan Hukum Yang Ditinggalkan Direksi/ Pengurusnya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah,
Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah
Telantar
Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah

18
Peraturan Menteri Agraria dan Tataruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18
Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah.

Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Agung No. 48 PK/TUN/2016
Putusan Mahkamah Agung No. 42 PK/TUN/2017
Putusan Mahkamah Agung No. 281PK/Pdt/2019
Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 120/Pid/ 2019/PT.Bdg

Internet
https://ekonomi.bisnis.com/read/20210628/47/1411104/2025-seluruh-bidang-tanah-
terdaftar-dalam-ptsl
http://tesaurus.kemdikbud.go.id/tematis/lema/prioritas
https://www.britannica.com/dictionary/priority-
https://thelawdictionary.org/priority/

19

Anda mungkin juga menyukai