Anda di halaman 1dari 30

HUKUM TANAH ABSENTEE

REDISTRIBUSI TANAH ABSENTEE

SERTA PELAKSANAANNYA DI INDONESIA

PEMBAHASAN

2.1 Redistribusi Tanah Absentee

Tanah-tanah yang diredistribusikan dalam rangka landreform tidak hanya tanah absentee
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 5 PP No. 224 tahun 1961 jo PP No. 41 tahun 1964
melainkan pula tanah kelebihan batas maksimun berdasarkan Undang-Undang No. 56 Prp.
Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian serta tanah-tanah yang jatuh kepada
negara karena subyek haknya melanggar ketentuan landreform, tanah swapraja dan tanah
negara eks swapraja yang beralih kepada negara sebagai mana dimaksud diktum keempat
huruf A UU No. 5 tahun 1960 dan tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara yang
akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

Penguasaan tanah-tanah kelebihan maksimum dan tanah bekas absentee dimulai pada tanggal
24 September 1961 secara berangsur–angsur, setelah ditetapkan bagian mana yang akan
dikuasai oleh pemerintah maka tanah-tanah yang bersangkutan di ijinkan untuk dikerjakan
oleh para petani penggarapnya untuk paling lama 2 tahun dengan kewajiban membayar sewa
kepada pemerintah sebesar 1/3 dari hasil panen atau uang yang senilai dengan itu1[1].

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang akan menerima redistribusi tanah, yaitu
petani penggarap atau buruh tani tetap yang berkewarganegaraan Indonesia, bertempat
tinggal di kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan dan kuat bekerja dalam pertanian.
Tempat tinggal ini masih dapat dispensasi sesuai dengan ketentuan tentang absentee yaitu
tidak ada keberatan jika petani penggarap bertempat tinggal yang berbatasan dengan letak

1[1] Lihat pasal 14 ayat 1 PP No. 224 tahun 1961.


tanahnya asal jarak antara tempat tinggal penggarap dan tanah yang bersangkutan masih
memungkinkan mengerjakan tanah itu secara efisien2[2].

Oleh karena luas tanah yang akan diredistribusikan sangat sedikit jika dibandingkan dengan
jumlah petani yang membutuhkan maka diadakan prioritas dalam pembagiannya. Para
penggarap tanah yang bersangkutan mendapat prioritas pertama karena mereka mempunyai
hubungan yang paling erat dengan tanah yang digarapnya sehingga atas dasar prinsip ”tanah
untuk tani yang menggarap” hubungan tersebut tidak boleh dilepaskan, bahkan harus dijamin
kelangsungannya3[3].

Apabila setelah dibagikan kepada golongan petani penggarap yang mengerjakan tanah yang
bersangkutan sebagai prioritas pertama masih ada sisa, maka sisanya dibagikan berdasarkan
prioritas berikutnya yang terdiri dari :

§ Buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;

§ Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan;

§ Penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan;

§ Penggarap yang mengerjakan tanah hak pemilik;

§ Penggarap tanah-tanah yang oleh pemerintah diberikan untuk peruntukan lain

§ Penggarap yang tanahnya kurang dari 0,5 hektar;

§ Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 hektara;

§ Petani atau buruh tani lainnya4[4].

Tanah-tanah yang dibagi-bagikan itu diberikan dengan hak milik dengan syarat-syarat
sebagai berikut:

1. Penerima redistribusi wajib membayar uang pemasukan .

2. Tanah yang bersangkutan harus diberi tanda-tanda batas.

2[2] Lihat pasal 3 ayat (2) PP No. 224 tahun 1961.

3[3] Lihat penjelasan pasal 8 PP No. 224 tahun 1961.

4[4] Lihat Pasal 8 PP No. 224 tahun 1961.


3. Haknya harus didaftarkan kepada kantor pendaftaran tanah untuk memperoleh
setifikat hak milik.

4. Menerima redistribusi wajib mengerjakan/mengusahakan tanahnya secara aktif.

5. Setelah dua tahun sejak tanggal ditetapkannya surat keputusan pemberian haknya
wajib dicapai kenaikan hasil tanaman setiap tahunnya sebanyak yang ditetapkan oleh
dinas pertanian daerah.

6. Yang menerima hak wajib menjadi anggota koperasi pertanian di daerah letak tanah
yang bersangkutan.

7. Selama uang pemasukannya belum dibayar lunas hak milik yang diberikan itu
dilarang untuk dialihkan kepada pihak lain tanpa ijin terlebih dahulu dari Kepala
Agraria Daerah (sekarang Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota).

8. Kelalaian dalam memenuhi kewajiban-kewajiban atau pelanggaran terhadap larangan


tersebut diatas dapat dijadikan alasan untuk mencabut hak milik yang diberikan itu
tanpa pemberian sesuatu ganti kerugian. Pencabutan hak milik itu dilakukan dengan
Surat Keputusan Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya5[5].

Uang pemasukan yang harus dibayar oleh para petani penerima redistribusi ditetapkan
berdasarkan harga tanah yang besarnya sama dengan rata-rata jumlah ganti kerugian tiap
hektar yang diberikan kepada bekas pemilik di daerah tingkat II yang bersangkutan menurut
klasifikasi tanahnya, ditambah biaya administrasi 6%. Uang pemasukan boleh diangsur
selama 15 tahun sejak tanggal ditetapkannya surat keputusan pemberian hak milik yang
bersangkutan dengan bunga 3% pertahun.

Dan sekarang berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 tahun 1991
tentang Peraturan Penguasaan Tanah Obyek Landreform Secara Swadaya, bahwa kepada
petani yang memperoleh tanah obyek landreform secara swadaya membayar ganti rugi
kepada bekas pemilik tanah melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dengan
pengendalian Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi yang
bersangkutan.

Biaya pelaksanaan pengaturan penguasaan tanah obyek landreform meliputi :

5[5] Boedi Harsono, 1999, Op.cit., hal 300.


1. Biaya operasional, untuk membiayai kegiatan operasional penataan penguasaan dan
penggunaan tanah dan kegiatan operasional redistribusi tanah.

2. Sewa tanah, harga tanah dan biaya administrasi;

3. Biaya pendaftaran tanah dan

4. Biaya pembinaan pengelolaan tanah.

Biaya operasional ditetapkan :

a. untuk daerah Jawa dan Bali :

1. Untuk tanah garapan yang luasnya sampai dengan 2.500 (dua ribu lima ratus) M 2 : Rp
25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah).

2. Untuk tanah garapan yang luasnya lebih dari 2.500 (dua ribu lima ratus) M 2 : Rp
25.000,- ditambah Rp 1,- (satu rupiah) per M 2 untuk tanah garapan selebihnya
daripada 2.500 M2.

b. Untuk Daerah luar Jawa dan Bali :

1. Untuk tanah garapan yang luasnya sampai dengan 5.000 (lima ribu) M 2 : Rp 35.000,-
(tiga puluh lima ribu rupiah).

2. Untuk tanah garapan yang luas lebih daripada 5000 (lima ribu) M 2 Rp 35.000,- (tiga
puluh lima ribu rupiah) ditambah Rp 2,- (dua rupiah) per M 2 untuk tanah garapan
selebihnya daripada 25.000 M2.

3. Bendaharawan Khusus penerimaan pada kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya


(sekarang Kota) menerima biaya operasional dari petani penggarap yang menerima
tanah obyek landreform, menyetor dan mengambil dari rekening Kepala Badan
Pertanahan Nasional cq. Bendaharawan Penerimaan Khusus Penerimaan yang
bersangkutan pada Bank Pemerintah setempat, dan membukukannya pada Buku Kas
Umum (BKU) dan Buku Kas Pembantu (BKP) sesuai ketentuan yang berlaku6[6].

6[6] Boedi Harsono, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, Djambatan, hal 833.
4. Adanya syarat-syarat yang ketat untuk menyeleksi calon petani yang menerima tanah
redistribusi agar tidak diterlantarkan atau disalahgunakan. Maksud lainnya adalah
untuk menaikkan produktifitas tanah dan produktifitas tenaga kerja karena kebijakan
redistribusi ini tidak hanya alasan politis dan kemanusiaan semata tetapi juga alasan
ekonomis. Jadi persoalan redistribusi tanah itu tidak hanya menekankan bagaimana
membagi-bagi tanah kepada rakyat namun juga dimaksudkan untuk mengubah
kedudukan atau “status politis “ dari seorang petani penggarap menjadi petani
pemilik, tetapi follow up dari redistribusi itulah yang lebih penting untuk saat
sekarang.

Pelaksanaan landreform di Indonesia sendiri secara historis tidak berjalan dengan lancar.
Berbagai permasalahan dan kendala dihadapai oleh pemerintahan dari masa ke masa mulai
dari Pemerintahan Orde Lama hingga era reformasi saat ini.

a. Orde Lama

Sebagaimana disebut sebelumnya, peraturan mengenai redistribusi tanah telah diawali dengan
Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian. Secara
historis, Orde Lama telah menempatkan landreform sebagai kebijakan revolusioner dalam
pembangunan semestanya. Bahwa syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian
adalah antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari
pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan melaksanakan
landreform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar
bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan
dikuasai negara. TAP MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga
landasan filosofis pembangunan pada masa ini yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh
manusia (Iâ exploitation de Iâ homme per Iâ homme); kemandirian ekonomi; dan anti
kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda
pokoknya.

Demikian juga dari jumlah Peraturan Perundang-Undangan bidang Hukum Pertanahan


Periode 1960-1966, sebagian besar dari keseluruhan peraturan perundang-undangan yang
diterbitkan pada masa ini adalah tentang landreform dan pengurusan hak atas tanah7[7].

7[7] Perinciannya adalah sebagai berikut: Land Reform terdiri dari 4 Undang-Undang, 2
Peraturan Pemerintah, 3 Keputusan Presiden, 10 Peraturan Menteri, 12 Keputusan Menteri, 9 Surat
Edaran Menteri (40 peraturan); dan tentang Pengurusan Hak Tanah terdiri dari 1 Undang-Undang, 3
Tampak jelas bahwa era pemerintahan ini meletakkan isu agraria sebagai pokok bidang yang
harus segera diprioritaskan. Landreform sebagai bagian mutlak daripada revolusi Indonesia
adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat
produksi tidak boleh dijadikan sebagai alat penghisapan.

Menurut Utrecht, landreform merupakan strategi politik agraria yang dilatarbelakangi oleh
perseteruan beberapa kepentingan, terutama kepentingan para petani tak bertanah melawan
kepentingan para tuan tanah8[8]. Kepentingan dari dua golongan ini muncul pula di tingkat
elite kenegaraan, dimana terbentuk tiga golongan yaitu golongan radikal yang mengusulkan
pembagian tanah berdasar prinsip “tanah bagi mereka yang benar-benar menggarapnya”.

Sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan penghisapan terhadap
manusia lainnya. Golongan ini terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba. Golongan kedua
adalah golongan konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari
pendapat golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah
dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan. Sedangkan golongan ketiga adalah
golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima pendapat
golongan radikal tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan inilah Soekarno
dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam perumusan UUPA menjadi
anggotanya9[9].

Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang
pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih (melebihi batas
maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada sebanyak mungkin petani
tidak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang
Perjanjian Bagi Hasil.

Peraturan Pemerintah, 2 Keputusan Presiden, 1 Instruksi Presiden, 4 Peraturan Menteri, 10


Keputusan Menteri, 7 Surat Edaran Menteri (28 peraturan), dari keseluruhan yang berjumlah 92
peraturan. Lihat dalam Nurhasan Ismail, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu
Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, hal. 185.

8[8] Noer Fauzi, 1999, Petani & Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia,
kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 141.

9[9] Ibid.
Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan sebagaimana dikatakan oleh Sadjarwo
bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna yang menyulitkan redistribusi tanah; dan
kurangnya dukungan baik itu dari rakyat, organisasi petani, organisasi politik, tokoh-tokoh
dan panitia landreform sendiri. Hal ini kemudian menyebabknan terjadinya aksi sepihak, baik
itu oleh petani yang lapar tanah maupun tuan tanah 10[10]. Akibat banyaknya aksi sepihak ini,
dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform.

Sehingga dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai awalan pelaksanaan tujuan
tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan11[11]. Hal itu karena12[12]:

1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam pelaksanaan Hak Menguasai Negara;

2. Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin meredistribusikan tanah secara segera
sehingga kemudian timbul aksi sepihak;

3. Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai mobilisasi kekuatan tanding dan
siasat mengelak dari dan untuk menggagalkan landreform;

4. Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak yaitu yang pro dan kontra landreform.
Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik yang lebih besar di dalam konflik
elite politik yang berujung pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan jatuhnya rezim
Orde Lama.

Akan halnya hasil dari program landreform masa ini -menurut Utrecht- adalah
diredistribusikannya sekitar 450.000 hektar13[13], yaitu sejak program ini dicanangkan
pertama kalinya hingga akhir tahun 1964. Perinciannya adalah tahap I sejumlah 296.566
hektar dan tahap II sejumlah 152.502 hektar karena tahap II ini belum selesai. Pembagian ini
terutama baru dilaksanakan di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan
tanah kelebihan yang telah ditentukan adalah 337.445 hektar.

b. Orde Baru

10[10] Noer Fauzi, Op. Cit., hal. 143-144.

11[11] Terjadinya aksi sepihak, baik itu dalam arti aksi sepihak yang dilakukan oleh petani (di
bawah naungan BTI) maupun oleh tuan tanah karena keduanya sama-sama tidak memperhatikan
prosedur normal landreform.

12[12] Noer Fauzi, Op. Cit., hal. 124.

13[13] Ibid., hal. 147.


Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Soeharto ini memfokuskan pembangunan pada
pertumbuhan ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan ekonominya dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing untuk
menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam. Terjadi denasionalisasi
(privatisasi) perusahaan asing pada tahun 1967 yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh
pemerintahan Soekarno pada tahun 1958. Hal ini dengan alasan kondisi perekonomian yang
kritis dan defisit sebagai peninggalan Orde Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan negosiasi
penjadwalan ulang atas utang-utang luar negeri sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman
baru14[14].

Stigma “PKI” atau subversif sering dicapkan kepada orang-orang atau organisasi-organisasi
yang tidak se-ide dengan rezim ini sehingga terjadi pembekuan gerakan-gerakan
revolusioner. Sebagaimana landreform yang merupakan salah satu kebijakan Orde Lama
yang populis, dianggap sebagai produk PKI sehingga dihentikan secara total. Bahkan
perebutan kembali tanah-tanah yang semula dientukan sebagai tanah kelebihan —dan
karenanya menjadi objek redistribusi tanah— dilakukan oleh sejumlah tuan tanah.

Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai masalah tehnis, atau sebagai program
rutin birokrasi pembangunan. Rezim ini menghapus peraturan perundang-undangan yang
menjadi pokok landreform, terutama dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970
yang menghapus Undang-Undang tentang Pengadilan Landreform dan Undang-Undang
Perjanjian Bagi Hasil yang secara sosiologis tidak diberlakukan pada era ini.

Konsepsi hukum agraria Orde Lama yang cenderung populis sebagaimana dalam UUPA,
diganti dengan konsepsi yang berorientasi pada pembangunan ekonomi. Landreform yang
menjadi program pokok Orde Lama dalam pemerataan tanah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat menjadi terabaikan. Kebijakan pertanahan Orde Baru lebih ditujukan
pada pemusatan penguasaan atas tanah dan pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan
produksi pertanian sehingga tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan
bahkan ekspor hasil pertanian ke sejumlah negara lain.

Dari data yang diperoleh pada Sensus Pertanian yang dilakukan tahun 1993, didapatkan data
penguasaan tanah pertanian sebagai berikut: (1) 22, 41% dari 19.713.806 rumah tangga tani
hanya menguasai tanah seluas 0,25 sampai 0,49 hektar lahan pertanian; (2) 48,61%

14[14] Rikardo Simarmata, 2006, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia,
UNDP Regional Centre in Bangkok, hal. 64-65.
menguasai lahan lebih dari 0,5 hektar. Tetapi terdapat perincian yang menunjukkan
ketimpangan yang tajam dalam penguasaan dan pemilikan tanah pertanian tersebut, yaitu: (1)
8.726.343 atau 48,54% dari keseluruhan rumah tangga tani hanya menguasai 13,6% dari
keseluruhan lahan pertanian; (2) 217.720 atau 1,21% dari keseluruhan rumah tangga tani
menguasai 1.457.477,46 hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan pertanian yang ada. Dari
data tersebut, berarti kelompok pertama hanya menguasai lahan pertanian rata-rata seluas
0,24 hektar, sedangkan kelompok kedua rata-rata penguasaannya adalah sekitar 22,174
hektar15[15]. Data tersebut menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah pada rezim ini yang
didominasi oleh para pemilik modal. Demikian juga dalam hal penguasaan akan hutan dan
sumber daya agraria lainnya.

Selain itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian mengganti Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank Dunia dan

lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan produk Orde Lama
yang bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform, produk
hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini adalah demi yang disebut kepastian hukum
dari pemilikan hak atas tanah melalui sertifikat.

Perbedaan lainnya adalah jika UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 lebih
mendasarkan pada pendaftaran tanah dengan stelsel negatif. Bahwa apa-apa yang terdaftar
tidak secara otomatis dan mutlak menjamin kebenaran akan pemilikan tanah. Sebaliknya
dalam stelsel positif, apa-apa yang terdaftar merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Dalam
stelsel negatif, orang yang sebenarnya berhak atas tanah dapat mengajukan gugatan pada
pengadilan atas tanah miliknya meskipun tanah tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang
lain. Dalam peraturan yang baru disebutkan bahwa masih digunakan stelsel negatif sesuai
dengan UUPA. Tapi diakomodir juga stelsel positif, yang diimbangi dengan upaya untuk
meningkatkan kebenaran dari data yang terdaftar itu.

Ketika ini dikaitkan dengan LAP (Proyek Administrasi Pertanahan) yang


mengatakan: ...permasalahan tanah selama ini terletak pada sistem administrasi yang
pluralistik yang dimiliki masyarakat adat... terlihat bahwa peraturan ini bertujuan untuk
menciptakan homogenitas administrasi pertanahan akan memudahkan kepentingan bisnis

15[15] Biro Pusat Statistik 1993.


untuk memperoleh tanah yang selama ini dimiliki masyarakat adat secara komunal. Dan
inilah yang kemudian dinilai banyak pihak semakin mengeliminir keberadaan tanah ulayat.

Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari 1.397.167 hektar yang
menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931 hektar (56,4%) yang
diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani16[16].

c. Orde Reformasi

Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat, dan
dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga menggema
dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan
dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap UUPA. Beberapa peraturan perundang-
undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria) dikeluarkan sejak dilakukannya
reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah
maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya.

Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu disebutkan
dalam pasal 5 TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan
agraria adalah:

- melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan


tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah oleh rakyat;

- menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan,


pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sisematis dalam
rangka pelaksanaan landreform.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi tanah pun
kembali diagendakan. Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini
akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan
dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha
untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar
di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu

16[16] Maria SW Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan


Implementasi, edisi revisi, Kompas, Jakarta, hal. 51.
berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak
guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja17[17].

2.2 Ganti Rugi Bagi Pemilik Tanah Absentee

Para pemilik tanah absentee yang diambil oleh negara dalam rangka landreform berhak untuk
mendapat ganti rugi atas tanah mereka menurut PP Nomor 224 tahun 1961 dan PP Nomor 41
tahun 1964 ini merupakan ciri utama pelaksanaan landreform di Indonesia yang
menunjukkan bahwa tidak ada penyitaan dalam politik pertanahan di Indonesia18[18].

Kepada bekas pemilik tanah absentee diberikan ganti rugi yang besarnya ditetapkan oleh
panitia landreform daerah tingkat II yang bersangkutan atas dasar perhitungan perkalian hasil
bersih rata-rata selama lima tahun terakhir yang ditetapkan tiap hektarnya menurut golongan
kelas tanahnya. Dengan menggunakan degresivited dibawah ini :

a. Untuk 5 hektar yang pertama tiap hektarnya 10 kali hasil bersih setahun;

b. Untuk 5 hektar yang kedua, ketiga, keempat tiap hektarnya 9 kali hasil bersih per tahun;

c. Untuk yang selebihnya tiap hektarnya 7 kali hasil bersih setahun;

1. Dengan ketentuan bahwa jika harga tanah menurut perhitungan tersebut lebih tinggi dari
harga umum, maka harga umumlah yang dipakai untuk menetapkan ganti kerugian tersebut.
(pasal 6 ayat (1)). Ganti rugi diberikan sejumlah 10% dalam bentuk uang simpanan di Bank
sedang sisanya berupa Surat Hutang Landreform (SHL). Surat Hutang Landreform tersebut
diberi bunga 3% setahun. Selama pemilik belum dapat mengambil uangnya di bank mendapat
bunga 3% setahun19[19].

2. Berdasarkan pasal II PP No. 41 tahun 1964 bunga 3% diubah menjadi 5% pertahun. Pada
Tahun 1967 Direktur Jenderal Agraria mengeluarkan suatu peraturan hubungannya dengan
penyesuaian jumlah ganti rugi untuk obyek-obyek landreform20[20] antara lain ditentukan

17[17] Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30
Januari 2007.

18[18] Eddy Ruchiyat, 1983, Pelaksanaan Landreform dan Jual Gadai Berdasarkan UU Nomor
56 (Prp) tahun 1966, Armico, Bandung, hal. 34.

19[19] Lihat pasal 7 ayat (1) dan (4) PP No. 224 tahun 1961

20[20] Peraturan Dirjen Agraria Nomor 4 Tahun 1967


ganti rugi yang akan dibayar kepada bekas pemilik pada tahun 1968 akan terbatas sampai Rp.
50.000,- .

Selanjutnya ditentukan bahwa pelaksanaan pembayaran ganti rugi berdasarkan tingkat


prioritas sebagai berikut :

1. Bekas pemilik yang tanah kelebihannya kurang dari 2 Hektar

2. Bekas pemilik yang tinggal didaerah tertentu melipui tanah yang relatif kecil

3. Bekas pemilik yang tanahnya pernah diredistribusikan sebelumnya.

4. Bekas pemilik yang sudah terkena larangan absentee.

Apabila ada beberapa prioritas yang sama sedangkan jumlah dana yang tersedia tidak cukup
untuk membayar ganti rugi maka panitia landreform akan mengadakan undian unuk
menentukan siapa yang mempunyai hak untuk pembayaran pertama. Menurut PP No. 224
tahun 1961 sumber-sumber pembiayaan lainnya meliputi dana anggaran pemerintah melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pengumpulan biaya administrasi dari
harga tanah yang harus dibayar oleh para petani/beaya ini telah diturunkan dari 10% menjadi
6% berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Agraria No. 4 tahun 1967 dan penghasilan dari
uang sewa serta penjualan dalam melaksanakan landreform.

Peraturan Direktur Jenderal Agraria No. 4 tahun 1967, menetapkan besarnya ganti kerugian
maksimal Rp 50.000,- tiap hektarnya, yang akan dibayarkan sekaligus. Berhubung dengan
keadaan keuangan Negara, maka pembayaran ganti kerugian tersebut baru dapat dimulai
sebagian dalam tahun 196821[21].

Untuk memperlancarkan pembiayaan landreform dan mempermudah pemberian fasilitas–


fasilitas kredit kepada para petani dibentuk suatu yayasan yang berkedudukan sebagai badan
hukum yang otonom dengan nama Yayasan Dana Landreform (YDL). Berdasarkan ketentuan
PP No. 224 tahun 1961 tersebut pada tanggal 25 Agustus 1961 dibentuk oleh menteri Agraria
Yayasan Dana Ladreform dengan Akta Notaris R. Kardiman Jakarta No. 110. Yayasan Dana
Landreform diurus oleh suatu dewan pengurus dan diawasi oleh suatu dewan pengawas.
Pekerjaan sehari–hari diselenggarakan oleh seorang administratur.

21[21] Boedi Harsono, 1999, Op. Cit., hal. 303-304.


Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 257 Tahun 1975 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Tekhnis Pembayaran Ganti Rugi Secara Langsung dinyatakan bahwa para
penerima redistribusi asal tanah absentee dan tanah kelebihan dapat melakukan pembayaran
ganti rugi secara langsung dengan pembayaran tunai pada suatu waktu tertentu untuk seluruh
ganti rugi yang belum dibayar. Pembayaran gantai rugi secara langsung tersebut dilakukan di
kantor Kecamatan tempat letak tanah. Lalu lintas pembayaran ganti rugi secara langsung dan
biaya administrasi dicatat dan dibukukan secara terpisah oleh Bendaharawan Yayasan Dana
Landreform22[22].

Dalam Surat Pengurus Yayasan Dana Landreform tanggal 4 Januari l979 No.
YDL/KEU/2/1/79/GR : Perihal Pelaksanaan Pembayaran ganati rugi kepada Bekas Pemilik
tanah dijelaskan bahwa :

Dalam pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada para bekas pemilik tanah kelebihan dan
absentee dimana dijumpai kasus :

1. Bekas pemilik telah meninggal dunia, mempunyai beberapa orang ahli waris yang
terpencar, bahkan diantaranya tidak diketahui alamatnya dan Bekas Pemilik tidak lagi
diketaui alamatnya, akan tetapi ada salah seorang ahli warisnya yang diketahui
alamatnya, maka :

o Pembayaran dapat dilakukan/diterimakan kepada salah seorang ahli waris yang sah dan jelas
diketahui alamatnya.

o Kepada ahli waris tersebut agar diminta membuat pernyataaan yang isinya menyatakan
bahwa yang bersangkutan sebagai salah seorang ahli waris akan bertanggung jawab atas
penandatanganan STP 3 maupun penerimaan uang ganti rugi dari Pemerintah apabila
dikemudian hari ada gugatan diantara ahli waris lainnya.

o Surat Pernyataan itu dilegalisir oleh Pamong Desa setempat (Kepala Desa/Lurah dan Camat)
di mana ahli waris tersebut bertempat tinggal, dan demikian juga oleh Pamong Desa tempat
letak tanah yang akan dibayar ganti ruginya.

2. Bekas pemilik tidak lagi diketahui alamatnya, maupun ahli warisnya, maka tidak
dapat dibayarkan uang ganti ruginya. Demikian pula terhadap bekas Pemilik yang

22[22] Direktorat Landreform, 1981, Op Cit. hal 542.


telah meninggal dunia dan tidak lagi diketahui ahli warisnya, maka dengan sendirinya
juga tidak dapat dibayarkan uang ganti ruginya.

Dalam hal seperti tersebut dalam pengusulan permohonan pembayaran ganti rugi diharapkan
kepada mereka diberikan catatan/penjelasan untuk diketahui karena ada kemungkinan
dikemudian hari akan muncul salah seorang ahli warisnya.

Sekarang kegiatan Yayasan Dana Landreform telah dibekukan. Untuk selanjutnya


pelaksanaan landreform dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dengan peraturan kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1992 pembayaran harga–
harga yang diredistribusikan, yang semula merupakan uang Yayasan Dana Landreform
dilakukan kepada Bank Rakyat Indonesia Unit Desa atau Cabang Bank Rakyat Indonesia di
Kabupaten/Kotamadya (sekarang Kota) setempat23[23].

Cara pemungutan uang dalam rangka pelaksanaan landreform diatur di dalam Peraturan
Menteri Agraria No. 3 tahun 1964 (TLN no. 2681). Tetapi menurut kenyataan terutama
sebagai akibat dari inflansi dan tentangan PKI dengan BTI-nya semasa pra G30S, yang
memang tidak menyetujui diberikannya ganti kerugian kepada para bekas pemilik, hal itu
sukar dilaksanakan, hingga terpaksa Pemerintah menanggungnya. Sehubungan dengan itu
maka dikeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Agraria No. 4 tahun 1967, yang menetapkan
besarnya ganti kerugian maksimal Rp 50.000,- tiap hektarnya, yang akan dibayarkan
sekaligus. Berhubung dengan keadaan keuangan Negara, maka pembayaran ganti kerugian
tersebut baru dapat dimulai sebagian dalam tahun 196824[24].

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional no. 4 tahun 1992 tentang
Penyesuaian Harga Ganti Rugi Tanah Kelebihan Maksimal dan Absentee/guntai telah diubah
nilai ganti ruginya,bukan lagi maksimalnya Rp 50.000/hektar. Selain itu pula sekarang ini
pembiayaan pelaksanaan landreform selain dana dari APBN juga pembayaran ganti kerugian
kepada bekas pemilik tanah yang ditanggung oleh para petani penerima tanah redistribusi.
Namun kenyataan sekarang ini dalam pembayaran ganti rugi para bekas pemilik tanah
kelebihan dan absentee belum memperoleh penyediaan anggaran sebagaimana diharapkan,

23[23] Boedi Harsono, 1999, Op.cit. Hal. 320.

24[24] Ibid, hal. 303-304


sehingga menimbulkan tanggapan-tanggapan yang negatif dikalangan masyarakat terhadap
pelaksanaan landreform25[25].

3. Upaya Pemerintah Mencegah Penyelundupan Larangan Pemilikan Tanah Absentee

Adanya peraturan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee, dari pemilik-pemilik
tanah absentee untuk tetap mempertahankannya. Baik secara legal maupun illegal, atau
secara penyelundupan hukum. Secara legal yaitu dengan pindah ke kecamatan dimana tanah
pertanian itu terletak. Dan untuk benar-benar pindah maka haruslah diartikan bahwa mereka
benar-benar berumah tangga dan menjalankan kegiatan-kegiatan hidup bermasyarakat sehari-
hari di tempat yang baru, sehingga memungkinkan penggarapan tanah miliknya secara
efisien. Belum cukup hanya mempunyai kartu tanda penduduk di tempat yang baru, padahal
kenyataan sehari–hari ia masih tetap berada ditempat tinggal yang lama.

Contoh penyelundupan hukum pemilikan tanah pertanian secara absentee, adanya tanah
absentee itu ditanami pohon-pohon murbei, sedangkan pemiliknya mempunyai pabrik ulat
sutera di Bandung. Di kebun murbeinya di luar kota Bandung ia mendirikan rumah tinggal
yang dalam masa–masa tertentu didiaminya bila ia mengerjakan tanaman-tanamannya. Di
Bandung ia juga mempunyai rumah yang juga di diaminya bila ia mengusahakannya
pabriknya. Tentu dalam hal ini harus dilihat domisilinya atau de feitelijke woonplaats, untuk
itu para petugas harus dilengkapi dengan pedoman yang cukup, supaya dapat bertindak tepat.
Kebun murbei dan pabrik ulat sutera secara ekonomis merupakan satu kesatuan 26[26]. Untuk
itu pemerintah melakukan tindakan preventif dan represif guna mencegah terjadinya
penyelundupan pemilikan tansah pertanian secara absentee.

Tindakan preventif, yaitu tindakan pemerintah yang bermaksud mencegah atau


menghindarkan arus penyalahgunaan lembaga pemilikan tanah secara guntai, dilakukan
dengan cara :

 Mengeluarkan peraturan-peraturan yang disertai ancaman pidana, jadi merupakan


tindakan yang menakut-nakuti baik terhadap pemilik tanah atau pejabat yang
berhubungan dengan itu27[27].

25[25] Ibid, hal. 318.

26[26] A. Teluki, 1966, Perbandingan Hak Milik atas Tanah dan Recht Van Eigendom, PT
Eresco, Bandung, hal. 50-51.

27[27] Lihat PP No. 224 tahun 1961


 Penyuluhan tentang pemilikan tanah yang baik dan lain sebagainya.

Untuk mencegah timbulnya pemilikan tanah pertanian secara absentee, pemerintah telah
mengeluarkan Intruksi Mendagri No. 27/1973 tentang pengawasan pemindahan hak-hak atas
tanah28[28]. Depdagri mengeluarkan buku tuntunan bagi PPAT, salah satu petunjuknya
menyebutkan sehubungan dengan peraturan-peraturan landreform, maka pembelian tanah
pertanian di luar kecamatan tempat tinggal si pembeli harus ditolak oleh para PPAT 29[29].
Tindakan represif, yaitu tindakan pemerintah yang bermaksud melenyapkan atau
memusnahkan penyalahgunaan tersebut yaitu dengan melaksanakan sanksi/ancaman pidana
itu melalui pengadilan.

Menurut ketentuan PP No. 224 tahun 1961 pasal 19, yaitu bahwa terhadap pemilik tanah
diancam pidana kurungan/denda serta tanahnya dicabut oleh negara tanpa ganti rugi (ayat 2),
sedangkan terhadap mereka yang menghalang-halangi terlaksanakannya PP No. 224 ini
diancam pidana kurungan/denda (ayat 1).

BAB I

28[28] Direktorat Landreform, Op.cit., hal 422.

29[29] Departemen Dalam Negeri, 1985, Buku Tuntunan Bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah,
Yayasan Hudaya Bina Sejahtera, Cetakan keempat puluh sembilan, halaman II.
PENDAHULUAN

1. A. Latar Belakang

Dalam melakukan perbuatan hukum tertentu terhadap hak atas tanah, biasanya calon
penerima hak diwajibkan membuat pernyataan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 99
PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997. Surat Pernyataan itu antara lain memuat masalah
kepemilikan tanah absentee dan landreform. Namun ternyata tidak sedikit yang kurang
paham mengenai absentee dan landreform. Bahkan terkadanga terkadang ditemukan ada akta
Perjanjian Ikatan Jual Beli yang objeknya adalah tanah sawah, dan Pembelinya
berstatus absentee.

Dalam UUPA telah menjelaskan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan . maka seorang
tanah mempunyai tanah yang luas cenderung untuk menjadi tuan tanah atau landlord dan
landlord itu cenderung untuk tidak bertempat tinggal di daerah pertanihannya atau diman
tanahnya itu terdapat.

Dalam pertanian mengingat rationnya maka syarat akan tempat tinggal itu kiranya masih
dapat diperlukan sesuai dengan ketentuan tentang absentee yaitu tidak ada keberatan jika
petani penggarap bertempat tinggal dikecamatan yang berbatasan dengan tempat letak
tanahnya asala jarak tempat tinggal pengarap dan tanah yang bersangkutam masih
memungkinkan mengerjakan tanah itu secara efisien.

Dalam melakukan perbuatan hukum tertentu terhadap hak atas tanah, biasanya calon
penerima hak diwajibkan membuat pernyataan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 99
PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997. Surat Pernyataan itu antara lain memuat masalah
kepemilikan tanah absentee dan landreform. Namun ternyata tidak sedikit yang kurang
paham mengenai absentee dan landreform. Bahkan terkadanga terkadang ditemukan ada akta
Perjanjian Ikatan Jual Beli yang objeknya adalah tanah sawah, dan Pembelinya
berstatus absentee.
1. B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tanah Absentee ?
2. Apa tujuan larangan tanah Absentee ?
3. Apa tujuan larangan pembatasan kepemilikan tanah secara maksimum dan
minimum tanah ?
2. C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan pengertian tanah Absentee.
2. Untuk menerangkan larangan tanah Absentee.
3. Untuk menguraiklarangan pembatasan kepemilikan tanah secara maksimum
dan minimum tanah.
BAB II

PEMBAHASAN

1. 1. Pengertian tanah absentee

Dalam pembahasan pasal 10 UUPAtelah dijelaskan bahwa yang mempunyai tanah pertanian
wajib mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, sehingga dibentuklah
ketentuan untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian yang disebut dengan tanah
absentee.

Tanah absentee yaitu pemilikan tanah yang letaknya diluar daerah tempat tinggal yang
mempunyai tanah tersebut[1]. Dengan kata lain tanah absentee adalah tanah yang letaknya
berjauhan dengan pemiliknya.

Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam pasal 3 peraturan pemerintah No.224 tahun 1960
dan pasal 1 peraturan pemerintah No.41 taqhun 1964 ( sebagai tambahan pasal 3a-3e )
sedangkan dasar hukumnya adalah pasal 10 ayat 2 UUPA. Adapun larangan pemilikan tanah
secara absentee berpangkal pada dasar hukum yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) UUPA,
yaitu sebagai berikut :

“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada
azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan
mencegah cara-cara pemerasan”.

Untuk melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat (1) PP No. 224/1961 jo. PP No.
41/1964 menentukan sebagai berikut :

“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya,
dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di
Kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut”.[2]

Selanjutnya Pasal 3d PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan :

“Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas tanah pertanian yang
mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar Kecamatan di
mana ia bertempat tinggal”.
Dengan demikian, terdapat beberapa esensi yang merupakan ketentuan dari absentee, antara
lain :

1. Tanah-tanah pertanian wajib dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif.


2. Pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak tanahnya.
3. Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak
tanahnya, wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke Kecamatan letak tanah
tersebut.
4. Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada orang atau
badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Kecamatan tempat
letak tanahnya.

5. Larangan pemilikan tanah secara absentee hanya mengenai tanah pertanian.

Pada inti pokok dari undang-undang tersebut adalah pemilikan tanah pertanian oleh orang
yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya[3]. Namun larangan tersebut
tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan
kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak antara tempat tinggal pemilik itu
dan tanahnya menurut pertimbangan pada waktu itu masih memungkinkan untuk
mengerjakan tanahnya secara efisien.

Contoh kasus:

Prioritas utama sebagai yang disebut di dalam Undang-Undang adalah petani penggarap yang
mengerjakan tanah yang bersangkutan masih mempunyai ikatan keluarga dengan bekas
pemilik. Tetapi panitia Landreform Daerah Klaten memprioritaskan sebagai yang disebut
oleh undang-undang. Alasan yang mendasari kebijakan Panitia Landreform Kabupaten
Klaten dalam melaksanakan redistribusintanah kelebihan karena berstatus tanah absente,
adalah bahwa pemegang hak atas garapan atau tanah sanggan di masa lampau mempunyai
beban berat. Petani pemegang hak atas tanah pada masa penjajahan selain mempunayai hak
untuk memetik hasil dari tanah yang digarapnya, juga mempunyai kewajiban-kewajiban
terhadap perusahaan perkebunan atau terhadap desa. Kewajiban dari pemegang hak atas
tanah garapan terhadap perkebunan antara lain ialah bekerja beberapa hari di dalam satu
minggu tanpa dibayar.[4]
Didaerah klaten tidak terdapat tanah nkelebihan dari batas maksimum. Tanah yang
didistribusikan didalam pelaksanaan landreform didaerah klaten adalah tanah absentee.

1. 2. Tujuan larangan tanah absentee

Tujuan dari larangan pemilikan tanah secara absentee adalah:

1. agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati
oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik
tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil[5].
2. karena kepentingan sosial danperlindungan tanah, karena ada kekhawatiran dari
pemerintah kalau tanah absente dibiarkan akan menjadi tanah yang terlantar dan
kurang produktif sebab tempat tinggal pemiliknya jauh. Untuk itu pemerintah akan
segera mengambil langkah penyelamatan yaitu dengan cara melarang pemilikan tanah
secara absente ini.
3. Tanah penggarapan menjadi tidak efisien, termasuk mengawasinya dan pengangkutan
hasil-hasilnya. Hal ini keadaan dapat menimbulkan pengisapan dari orang-orang kota
terhadap desa, baik dengan sistem sewa ataupun bagi hasil. Dengan demikian keringat
dan tenaga para petani juaga dinikmati oleh pemiliknya yang tidak berada didaerah
tersebut

Pemilikan tanah absente ini dilarang oleh pemerintah kecuali pegawai negeri dan
ABRI .Sedangkan pegawai negeri dan ABRI masih dimungkinkan sebab golongan ini adalah
abdi negara yang tugasnya dapat berpindah-pindah tempat.maka mereka boleh mempunyai
tanah absentee dengan luas yang dikurangi yaitu 2/5 dari luas maksimum yang ditolerir oleh
UU 56/60 dan kemudian dengan surat edaran dari menteri agraria yang ketika itu dijabat oleh
Mr. Sadjarwo diperluas lagi kemungkinan seorang pegawai negri yang disebut kan dalam
pasal 33 PP 224 tahin 1961 termasuk diperbolehkannya menerima hobah tanah pertanian
untuk persediaan hari tuanya, denga tetap maksimum yang diperbolehkannya 2/5 dari luas
yang diperbolehkannya. Maksud dengan pegawai negari adalah baik pegawai negeri, anggota
ABRI, pengawai perusahaan negara dan jika hibah itu diberikan kepada seseorang waris yang
merupakan istri atau anak pegawai negara, asal saja mereka masih menjadi tanggunagan dari
pegawai negeri tersebut.[6]
Jika seseorang penduduk kecamatan tersebut pindah ke kecamatan lain selam dua tahun
berturut-turut, maka daia harus mengalihkan hak atas tanah pertaniaan kepada oranga lain di
kecamatan tersebut. Adapun penduduk kecamatan itu diartikan jiak dia mempunyai kartu
penduduk di kecamatan tersebut dan inilah yang merupakan penyelundupan formal dari suatu
peraturan. Yang tepat lagi arti dari penduduk kecamatan seharusnya bertempat tinggal secara
fisik di kecamatan tersebut dan mengerjakan sendiri tanah pertanian tersebut.

Bagi pemilik tanah absente dapat menyelamatkan haknya antara lain dengan jalan :

1. Tanah tersebut dijual kepada masyarakat disekitar lokasi


2. Ditukarkan kepada penduduk setempat
3. Salah satu anggota keluarganya pindah tempat tinggal
4. Diberikan secara sukarela kepada penduduk setempat ( biasanya berupa wakaf atau
hibah ).

Yang wajib dilakukan oleh seorang pemilik tanah pertanian yang meningalkan kecamatan
tempat letak tanahnya sehingga ia menjadi pemilik absente adalah melaporkannya kepada
pejabat setempat. Jika hal itu tidak dilaporkannya kepada pejabat setempat, maka didalam
waktu 2 tahun terhitung sejak ia meninggalkan tempat kediamannya itu ia wajib untuk
memindahkan hak atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal dikecamatan itu.
Jika hal itu dilaporkannya kepada pejabat setempat yang berwenang maka kewajiban ituharus
dilaksanaknnya dalam waktu 1 tahunterhitung sejak berahirnya jangka waktu 2 tahun ia
meninggalkan tempat tingalnya. Dikecualikan dari kewajiban tersebut pemilik yang
berpindah dari kecamatan yang berbatasan dengan tempat tingalnya semula dan pemilik
yangbmenjalankan tugas negara atau mennaikan tugas agama.

Jika seseorang mendapatkan warisan tanahpertanian yang letaknya dikecamatan lain kecuali
jika ia pegawai negeri maka didalam waktu satu tahun sejak meninggalnya pewaris tanah itu
wajib dipindahkannya kepada oarng yang bertempat tinggal dikecamatan tersebutr atau ia
sendiri pindah ke kecamatan itu. Sesuai dengan asas umum diatas, maka biarpun tidak ada
penegasannya kiranya jika penerima waris bertempatr tinggal dikecamatan yang berbatasan,
ia tidak terkena kewajiban itu. Jangka waktu 1 tahun itu dapat diperpanjang oleh menteri
agraria jika misalnya pembagian warisannya belum selesai.
Sesuai dengan yang dikemukakan diatas bahwa semua bentuk pemindahan hak milik atas
tanah pertanian yaitu jual beli, hibah, dan tukar menukar yang mengakibatkan pemilikan baru
secara absente dilarang. Larangan itu juga mengenei golongan pegawai negeri keculai dalam
hibah dan waris. Misalnya seorang pegawai negeri yang bertempat tinggal di daerah
cijantung jakarta tidak boleh membeli tanah sawah didaerah cipayung bogor.

Sanksi yang akan dikenakan jika kewajiban diatas tidak dilaksanakan atau terjadi
pelanggaran terhadap sesuai yang diterangkan diatas maka tanah yang bersangkurtan akan
diambil oleh pemerintah untuk kemudian didistribisikan dalam rangka landreform. Dan
kepada bekas pemilinya diberikan ganti kerugian sesui peraturan yang berlaku bagi para
bekas pemilik tanah kelebihan.

Larangan pemilian tanah secara absente itu hanya mengenai tanah pertanian.larangan
pemilikan tanah absente ini berlaku juga terhadap bekas pemilik tanha berlebihan, jika sisa
tanh yang menurut ketentuan undang-undang no 56 Prp tahun1960 bileh tetap dimilikinya,
letaknya ditempat lain diluar kecamatan tempat tinggalnya.[7]

SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN DAN AGRARIA

No. Sk. 35/Ka/1962

tentang

PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH PERTANIAN

ABSENTEE

MENTERI PERTANIAN DAN AGRARIA,


MENIMBANG :

Bahwa kesempatan bagi pemilik tanah pertanian absenteeuntuk mengalihkan hak ats
tanahnya atau pindah kecamatan letak tanah telah berakhir pada tanggal 31 Desember 1962
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961, maka
karena itu perlu diatur pelaksanaan penguasaan lebih lanjut.

MENGINGAT :

1. Undang-Undang pokok Agraria (Undang-Undang No.5 tahun 1960 LN tahun 1960


No. 104) ;
2. Peraturan Pemerintah No.224 tahun 1961 dan Surat Keputusan Menteri Agraria
tanggal 8 Januari 1962 No. Sk. VI/6/Ka ;
3. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 131 tahun 1961.

MEMUTUSKAN :

MENETAPKAN :

Pertama :

Menyatakan tanah-tanah pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal di luar daerah


Kecamatan letak tanah, sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

Kedua :

Menyerahkan wewenang untuk melaksanakan penguasaan tanah-tanah tersebut dalam


ketentuan pertama kepada Panitia Landreform Daerah Tingkat II dengan dibantu Panitia
Landreform Kecamatan dan Panitia dan Panitia Landreform Desa, dengan mengingat
peraturan-peraturan yang berlaku, serta mewajibkan untuk :

1. Menetapkan besarnya ganti rugi


2. Mengurus pemberian surat izin mengerjkan tanah kepada para penggarapnya
3. Menyelenggarakan redistribusinya.

Ketiga :

Ketentuan Pertama dan Kedua tersebut diatas, tidak berlaku atas tanah-tanah
pertanian absentee yang selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 1962 :

1. Oleh pemiliknya tellah dialihkan kepada orang yang bertempat tinggal di Kecamatan
letak tanah, di muka pejabat pembuat akta tanah
2. Pemiliknya telah pindah ke Kecamatan letak tanah dan kepindahannya itu telah telah
terdaftar di desa dan diketahui oleh Camat yang bersangkutan
3. Oleh pemilik tanah telah diajukan permohonan izin untuk dihibahkan, dan surat
permohonannya telah sampai di Departemen Pertanian dan Agraria.

Keempat :

Pemilik tanah pertanian absentee yang telah mengajukan permohonan hibah kepada
Menteri Pertanian dan Agraria sedang permohonannya ternyata kemudian ditolak, diberi
kesempatan untuk mengalihkan tanahnya kepada petani di tempat letak tanah atau pindah ke
Kecamatan letak tanah, selambat-lambatnya dalam tempo 6 bulan sejak tanggal
pemolakannya.

Kelima :

Para pensiunan dan janda pensiunan Pegawai Negeri diberi kesempatan untuk
memenuhi pasal 3 ayat 1 dari Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 daam waktu satu
tahun terhitung sejak tanggal 1 Januari 1963.

Keenam :

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1963. Agar supaya setiap orang
dapat mengetahuinya, maka Keputusan ini akan dimuat dalam Tambahan Lemabarn Negara
Republik Indonesia.[8]
3. Tujuan Larangan Pembatasan Kepemilikan Tanah Secara Maksimum dan Minimum
Tanah

1. Luas Maksimum Tanah Pertanian

Luas maksimum tanah pertanian ditetapkan berdasarkan kepadatan penduduk dan jenis tanah,
dengan catatan harus memperhatikan keadaan sosial dan ekonomi daerah yang bersangkutan.
Hal ini tegas disebutkan dalam Keputusan Menteri Agraria No. Sk/978/Ka/1960, tanggal 31
Desember 1960.

Batas maksimal tanah pertanian yang dapat dimiliki tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut
ini :

Jumlah penduduk Penggolongan Jenis Tanah


Sawah Tanah Kering
Tiap kilometer daerah
persegi
> 50 Tidak Padat 15 20
51 – 250 Kurang Padat 10 12
251 – 400 Cukup Padat 7,5 9
< 401 Sangat Padat 5 6
1. Batas Minimal Tanah Pertanian.

Menurut Pasal 8 UU No 56 Prp Tahun 1960, luas minimal tanah pertanian yang harus
dimiliki oleh petani sekeluarga adalah 2 hektar, dan inilah tujuan yang secara berangsur-
angsur harus diusahakan untuk dicapai.[9]

BAB III

PENUTUP

1. A. Kesimpulan

Tanah absentee yaitu pemilikan tanah yang letaknya diluar daerah tempat tinggal yang
mempunyai tanah tersebut. Dengan kata lain tanah absentee adalah tanah yang letaknya
berjauhan dengan pemiliknya.

Untuk melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat (1) PP No. 224/1961 jo. PP No.
41/1964 menentukan sebagai berikut :

“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya,
dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di
Kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut”.

Pada inti pokok dari undang-undang tersebut adalah pemilikan tanah pertanian oleh orang
yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya. Namun larangan tersebut
tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan
kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak antara tempat tinggal pemilik itu
dan tanahnya menurut pertimbangan pada waktu itu masih memungkinkan untuk
mengerjakan tanahnya secara efisien
1. B. Saran

Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dengan adanya makalah ini bisa meluaskan
wawasan pembaca mengenai Tanah Absentee. Namun makalah kami masih jauh dari
kesempurnaan oleh karenanya, kami mengharapkan kritik dan saran pembaca yang mungkin
dalam penjelasan dan pembahasan di atas masih memiliki banyak kekurangan guna dijadikan
acuan dalam penulisan atau pembahasan selanjutnya. Demikian akhir kata semoga makalah
ini bermanfaat bagi semua khususnya pembaca dan penulis. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi. 1962. Hukum Agraria Jilid I. Jakarta : Djambatan.

Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta : Djambatan.

Padmo, Soegijanto. 2000. Landreform. Jakarta : Media Pressindo.

Parlindungan, A.P. 1987. Landreform di Indonesia Suatu Studi Perbandingan. Medan :


Anggota IKAPI.

Ranoemihardja, Atang. 1982. Perkembangan Hukum Agraria di Indonesia. Bandung :


Tarsito.

Soebargo, R. 1962. Perundang-Undangan Indonesia. Bandung : NN Eresco.

Soedalhar. 1984. UUPA dan Lanreform Beberapa Undang-Undang dan Peraturan Hukum
Tanah. Surabaya : Karya Bhakti.

Supriadi. 2006. Hukum Agraria. Palu : Sinar Grafika.

Wiradi, Gunawan. 2001. Prinsip Reforma Agraria. Jakarta : Lapera Pustaka Utama.

Mujiono. 1997. Politik dan Hukum Agraria. Yogyakarta : Liberty.


[1] Boedie harsono,hukum agrarian Indonesia, ( Jakarta:djambatan,2008) 384

[2] Parlindungan,landreform di Indonesia suatu studi perbandingan,( medan: anggota


IKAPI,1987)123

[3] Soegijanto padmo,landreform, ( Jakarta: medi presindo,2000), 89

[4] Soegijanto Padmo, Landreform, (Jakarta : Media Pressindo, 2000), 89

[5] Budi harsono, hukum agrarian,385

[6] Parlindungan, landrefrom di Indonesiah, 124

[7] Boedi Harsono, Hukum Agraria Jilid I, (Jakarta : Djambatan,1962), 309.

[8] Soedalhar,UUPA dn landreform beberapa undang-undang dan peraturan hukum tanah,


(Surabaya:karya bakti,1984)122.

Anda mungkin juga menyukai