Anda di halaman 1dari 5

TUGAS

POLITIK HUKUM PERTANAHAN

OLEH :

NAMA : ALVIN FAUZI


NIM : 032024253006
KELAS : Politik Hukum Pertanahan - B / Malam

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2021
1. Tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dalam mencapai
kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata. Tanah merupakan sumber daya
yang penting bagi masyarakat sebagai media untuk melakukan berbagai kegiatan.
Sehubungan dengan itu, penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan
pemeliharaannya perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya dan
terselenggaranya perlindungan hukum bagi rakyat, terutama golongan petani yang bertujuan
mempertahankan kelestarian kemampuannya dalam mendukung kegiatan pembangunan.
Tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee adalah agar hasil yang diperoleh
dari pengusahaan tanah pertanian dapat dinikmati oleh masyarakat petani yang tinggal di
pedesaan.
Aturan larangan pemilikan tanah secara absentee yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 10 Ayat (1) Tentang Peraturan Pokok-pokok Agraria yang
selanjutnya disebut UUPA, sebagai berikut:
“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah
pertanian pada asanya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya
sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”.
Untuk melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 Ayat (1) PP Nomor 224 Tahun 1961
jo. PP Nomor 41 Tahun 1964, sebagai berikut:
“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat
letak tanahnya, dalam jangka wktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas
tanahnya kepada orang lain di Kecamatan tempat letak tanah itu atau
pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut”.
Selanjutnya Pasal 3d PP Nomor 224 Tahun 1961 jo. PP Nomor 41 Tahun 1964, sebagai
berikut:
“Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas
tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan
memiliki bidang tanah di luar Kecamatan di mana ia bertempat tinggal”.
Dengan demikian, beberapa esensi ketentuan dari absentee, antara lain:
1. Tanah-tanah pertanian wajib dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif
2. Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di kecamatan tempat letak tanahnya
3. Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak
tanahnya, wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke kecamatan letak
tanahnya tersebut
4. Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada orang atau
badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar kecamatan letak
tanahnya
5. Larangan pemilikan tanah secara absentee hanya mengenai tanah pertanian.

Dengan demikian, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 10 UUPA termasuk peraturan-


peraturan yang tidak boleh dilanggar. Undang-Undang ini dari segi hukum, jelas bahwa
secara formal keseluruhan peraturan perundangan uang mengatur adalah sah, karena
dibentuk oleh pejabat/instansi yang berwenang dan dalam pembentukannya telah melalui
proses sebagaimana yang ditentukan. Namun, dari segi materiil, keseluruhan peraturan
yang mengatur tentang larangan pemilikan/penguasaan tanah pertanian secara absentee
adalah produk sekitar tahun 60-an. Sehingga pemikiran-pemikiran pada saat itu, ternyata
dalam kenyataannya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat
saat ini. Dengan demikian, jelaslah terbukti bahwa ketentuan-ketentuan arangan
pemilikan/penguasaan tanah pertanian secara absentee yang ada pada saat ini masih perlu
ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat
pada saat ini.

2. Terhadap pengecualian dari larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee yang
diperoleh Pegawai Negeri Sipil, memberikan peluang bagi Pegawai Negeri Sipil untuk dapat
memiliki tanah Absentee tersebut. Instrumen hukum yang mengatur terkat kepemilikan tanah
absentee oleh Pegawai Negeri Sipil / PNS ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
1977 sebagaimana diuraikan dalam ketentuan Pasal di bawah ini:

1. Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 4 Tahun 1977

Menetapkan bahwa seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri.
Sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, pengecualian dari ketentuan-
ketentuan mengenai larangan untuk memiliki tanah pertanian secara guntai (absentee)
yang berlaku bagi para pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 (LN Tahun 1961 Nomor 280) jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 (LN tahun 1964 Nomor 112) sampai batas 2/5
(dua perlima) dari maksimum pemilikan tanah untuk Daerah Tingkat II yang
bersangkutan diperlakukan juga bagi:
a. Pensiunan Pegawai Negeri; dan
b. Janda Pegawai Negeri dan Janda Pensiunan Pegawai Negeri selama tidak menikah
lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri.

2. Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 4 Tahun 1977

Ketentuan-ketentuan tersebut pada ayat (1) berlaku juga bagi karyawan dan
pensiunan karyawan yang sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dipersamakan dengan Pegawai Negeri dan pada
saat mulai berlakunya Undang-Undang itu sudah memiliki tanah pertanian secara
guntai.

3. Pasal 2 ayat (3) PP Nomor 4 Tahun 1977

Dalam hal seorang karyawan atau pensiunan karyawan seperti dimaksud dalam
ayat (1) dan (2) meninggal dunia maka pemilikan tanah pertanian tersebut secara
guntai dapat dilanjutkan oleh janda yang ditinggalkannya, selama ia tidak menikah
lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri.

4. Pasal 2 ayat (4) PP Nomor 4 Tahun 1977

Jika tanah warisan yang ditinggalkan oleh seorang pegawai negeri ataupun
jandanya, demikian juga yang dimaksudkan dalam ayat (3) jatuh kepada para ahli
waris yang tidak memenuhi syarat untuk memiliki tanah pertanian secara guntai,
maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak meninggalnya pemilik, pemilikan
secaraguntai itu wajib diakhiri.

Melihat ketentuan dalam pasal tersebut secara tersurat Pegawai Negeri Sipil dapat
memiliki tanah pertanian secara absentee. Akan tetapi pengecualian tersebut berlaku
selama seseorang masih menjabat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pada saat ia pensiun
maka berlakulah baginya larangan yang dimaksudkan itu, dalam artian dalam waktu yang
telah ditentukan Pegawai Negeri Sipil tersebut wajib bertempat tinggal di Kecamatan
letak tanahnya itu atau memindahkan pemilikan tanahnya kepada pihak lain yang boleh
memilikinya.

Anda mungkin juga menyukai