b. larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut "absentee" atau "guntai";
c. redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena
larangan "absentee", tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara;
f. penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi
bagian-bagian yang terlampau kecil.
Landreform di Indonesia pernah diimplementasikan dalam kurun waktu 1961 sampai 1965,
namun kurang berhasil (Rajagukguk, 1995). Landasan hukum pelaksanaan landreform di
Indonesia adalah UUPA No. 5 tahun 1960, yaitu pasal 7 dan 17 untuk sumber pengaturan
pembatasan luas tanah maksimum, pasal 10 tentang larangan tanah absentee, dan pasal 53 yang
mengatur hak-hak sementara atas tanah pertanian. Produk hukum yang secara lebih tajam lagi
dalam konteks ini adalah UU Nomor 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian,
serta PP No 224/ 1961 dan PP No 41/1964 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi.
Saat program landreform tersebut diluncurkan, kondisi politik di Indonesia sedang labil. Pada
masa itu dikenal pendekatan “politik sebagai panglima”, dimana tiap kebijakan pemerintah
dimaknai dalam konteks politik. Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadikan
landreform sebagai alat yang ampuh untuk memikat simpatisan. Landreform diklaim sebagai alat
perjuangan partai mereka, dengan menjanjikan tanah sebagai faktor penarik untuk perekrutan
anggota. Pola ini memang kemudian menjadikan PKI cepat disenangi oleh masyarakat luas
terutama di Jawa yang petaninya sudah merasakan kekurangan tanah garapan. Namun bagi
petani bertanah luas, landreform merupakan ancaman bagi mereka, baik secara politik maupun
ekonomi, yaitu kekhawatiran terhadap akan menurunnya luas penguasaan tanah mereka yang
akhirnya berimplikasi kepada penurunan pendapatan keluarga dan kesejahteraan. Program
landreform hanya berjalan intensif dari tahun 1961 sampai tahun 1965. Namun demikian,
pemerintahan Orde Baru yang berkuasa pada masa berikutnya mengklaim bahwa landrefrom
tetap dilaksanakan meskipun secara terbatas. Dalam makalah Posterman (2002) diuraikan, bahwa
dari tahun 1960 sampai 2000 secara akumulatif tercatat telah berhasil dilakukan distribusi lahan
dalam konteks landreform seluas 850.128 ha. Jumlah rumah tangga tani yang menerima adalah
1.292.851 keluarga, dengan rata-rata keluarga menerima 0,66 ha.
Data ini sedikit berbeda dengan yang dikeluarkan oleh BPN (Kepala BPN, 2001), dimana dari
total obyek tanah landreform 1.601.957 ha, pada kurun waktu 1961-2001 telah diredistribusikan
tanah seluas 837.082 ha (52%) kepada 1.921.762 petani penerima. Selain itu, untuk tanah
absentee dan tanah kelebihan maksimum telah dilakukan ganti rugi oleh pemerintah seluas
134.558 ha kepada 3.385 orang bekas pemilik, dengan nilai ganti rugi lebih dari Rp. 88 trilyun.
Khusus selama era pemerintahan Orde Baru, untuk menghindari kerawanan sosial politik yang
besar, maka landreform diimplementasikan dengan bentuk yang sangat berbeda. Peningkatan
akses petani kepada tanah dilakukan melalui kebijakan berupa penyeimbangan sebaran penduduk
dengan luas tanah, dengan cara memindahkan penduduk ke daerah-daerah yang tanahnya luas
melalui transmigrasi. Program ini kemudian dibarengi dengan program pengembangan PIR
(Perkebunan Inti Rakyat). Luas tanah yang diberikan kepada transmigran dan petani plasma
mengikuti ketentuan batas minimum penguasaan yaitu 2 ha lahan garapan per keluarga.
Tanah Absentee
Kata absentee berasal dari kata latin “absentee” atau “absentis”, yang berarti tidak hadir.
Absentee adalah yang tidak ada atau tidak hadir di tempatnya, atau landlord yaitu
pemilik tanah bukan penduduk daerah itu, tuan tanah yang bertempat tinggal di lain
tempat.1
Pemilikan tanah pertanian secara absentee atau di dalam bahasa Sunda : “Guntai” yaitu
pemilikan tanah yang letaknya di luar tempat tinggal yang empunya. (“Absent” artinya
tidak hadir, tidak ada di tempat). Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (1) PP No 224 Tahun 1961
tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yang mengatur
sebagai berikut :
“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat
letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas
tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah
ke kecamatan letak tanah tersebut”.
Selanjutnya Pasal 3d PP No. 224 Tahun 1961 jo. PP No. 41 Tahun 1964 berbunyi sebagai
berikut :
“Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas tanah
pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang
tanah di luar Kecamatan di mana ia bertempat tinggal”
Dari ketentuan diatas terdapat beberapa esensi yang merupakan ketentuan dari larangan
kepemilikan tanaah pertanian secara absentee, antara lain:2
1
John M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1996), hal : 3
2
Boedi Harsono, Op. Cit. Hal: 385
1. Pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak
tanahnya.
2. Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak
tanahnya, wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke Kecamatan
letak tanah tersebut.
3. Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada
orang atau badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar
Kecamatan tempat letak tanahnya.
4. Larangan pemilikan tanah secara absentee hanya mengenai tanah pertanian