Inisiasi lima ini di cuplik dari sumber utamanya Modul 5 Administrasi Pertanahan dan
sumber lain yang relevan
Asas “tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya" yang
termuat dalam Pasal 10 diatur pelaksanaannya dalam PP No. 224/1961 dan No
41/1964. Pemilikan tanah pertanian secara absentee atau di dalam bahasa sunda:
guntai, adalah pemilikan tanah yang letaknya di luar daerah tempat tinggal yang
empunya. Ketentuan-ketentuan itu diatur di dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah
No. 224/1961 dan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 41/1964 (tambahan Pasal 3a
sampai dengan 3e).
Peraturan tersebut pada pokoknya melarang pemilikan tanah pertanian oleh
orang yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya. Larangan itu
tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di Kecamatan yang
berbatasan dengan Kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak
antara tempat tinggal pemilikan dan tanahnya menurut pertimbangan Panitia
Landreform Kabupaten masih memungkinkan untuk mengerjakan tanah tersebut
secara efisien.
Apakah ada pengecualian dari larangan absentee itu? Jawabannya adalah ada.
Adapun yang dikecualikan dari larangan absentee ialah:
a. mereka yang menjalankan tugas negara;
b. mereka yang sedang menunaikan kewajiban agama;
c. mereka yang mempunyai alasan khusus yang dapat diterima oleh Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Bagi pegawai negeri dan pejabat militer serta yang dipersamakan dengan
mereka, yang sedang menjalankan tugas negara, perkecualian tersebut terbatas
pada pemilikan tanah pertanian secara absentee seluas 2/5 dari luas maksimum
yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan. Di daerah yang sangat padat
misalnya batas itu adalah 2/5 x 5 hektar = 2 hektar. Di dalam perkecualian itu
termasuk pula pemilikan oleh isteri dan anak yang masih menjadi tanggungan.
Tetapi sewaktu-waktu seorang pegawai negeri atau yang dipersamakan dengan
mereka berhenti dari menjalankan tugas negara, misalnya pensiun, maka ia wajib
memenuhi ketentuan tersebut di dalam waktu 1 tahun terhitung sejak ia mengakhiri
tugasnya. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria jika ada
"alasan yang wajar".
Siapakah yang dimaksud dengan "pegawai negeri"? Dalam Pasal 1 huruf a UU
No. 8/1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ditentukan bahwa "pegawai negeri
adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang
berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu jabatan Negeri atau diserahi tugas
Negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan
dan digaji menurut Peraturan perundang-undangan yang berlaku". Termasuk
Pegawai Negeri adalah Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian,
pegawai-pegawai perusahaan negara, bank-bank negara dan daerah swatantra.
Apakah tanah absentee itu boleh dialihkan (dihibahkan) kepada pegawai negeri
yang tidak bertempat tinggal di kecamatan tempat tanah yang bersangkutan?
Jawabannya tidak boleh, karena kemungkinan bagi seorang pegawai negeri
(termasuk istri dan anaknya) untuk memiliki tanah pertanian secara absentee itu
pada asasnya hanya terbatas pada pemilikan tanah yang sudah ada pada tanggal
24 September 1961. Dalam Pasal 3d Peraturan Pemerintah No. 41/1964 ditegaskan
bahwa semua bentuk pemindahan hak atas tanah pertanian yang mengakibatkan
penerima hak memiliki tanah secara absentee dilarang.
Tetapi walaupun demikian, mengingat ketentuan dalam UUPA, para pegawai
negeri boleh memperoleh dan mempunyai tanah pertanian guna persediaan hari
tuanya. Menteri Agraria/Kepala BPN tidak keberatan untuk mengikuti tafsiran, bahwa
sebagai perkecualian dan dalam batas-batas tertentu bila pemberian hibah kepada
pegawai negeri yang absentee dapat juga dimungkinkan, tetapi (jumlah) tanah
pertanian yang dimiliki secara absentee tetap tidak boleh melebihi 2/5 luas
maksimum untuk daerah yang bersangkutan.
Untuk hibah diperlukan ijin Menteri Agraria, yang contoh permohon-annya
disertakan pada surat edaran tersebut sebagai lampiran. Izin itu hanya akan
diberikan, jika hibah tersebut dilakukan kepada orang yang menurut hukum
tergolong waris dari yang empunya (yang menghibahkan). Mengenai "waris-digaris-
samping" kemungkinan itu terbatas sampai pada 2 derajat (tingkatan saudara).
Dengan demikian maka hibah itu dapat pula dipandang sebagai pemberian waris
kepada ahli waris sewaktu pewaris masih hidup, suatu perbuatan hukum yang
tidak asing di dalam lingkungan hukum adat kita.
Dalam hubungan ini perlu diperhatikan bahwa selain pembatasan sampai 2/5
luas maksimum, jika yang menerima hibah itu sudah mempunyai tanah pertanian di
daerah kecamatan lainnya, jumlah luas tanah yang dipunyai tidak boleh melebihi
batas luas maksimum. Misalnya Camat Cileunyi (Kabupaten Bandung Jawa Barat),
yang sudah mempunyai sawah 2 hektar di kecamatannya, mendapat hibah sawah
yang letaknya di Purwakarta. Sawah yang boleh dihibahkan kepadanya hanya 2/5 x
5 hektar (daerah sangat padat) = 2 hektar. Jumlah sawah yang dipunyainya menjadi
4 hektar. Andai kata di Cileunyi itu sudah mempunyai 4 hektar sawah, maka hibah
yang boleh diterima hanya 1 hektar, karena jika tidak demikian jumlah tanah yang
dipunyai, menjadi lebih dari 5 hektar.
Kalau ia menghendaki sawah yang 2 hektar itu di Purwakarta, maka di dalam
waktu 1 tahun sejak diterimanya hibah ia harus melepaskan sawah yang di Cileunyi
seluas paling sedikit 1 hektar (Pasal 6 Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960).
Hibah tersebut dimungkinkan hingga akhir tahun 1962. Jika yang menghibahkan itu
pensiun, maka jangka waktunya diperpanjang hingga akhir tahun 1963 (Surat
Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria. No. SK 35/Ka/1062 (diktum kelima).
Sekarang hibah dimaksud tidak boleh lagi dilakukan.