Anda di halaman 1dari 112

Hukum agraria

Landreform

Maria Emelia Retno. K


 Pengertian Landreform
Pada uraian ini landreform dipakai dalam arti sempit yaitu
serangkaian tindakan dlm rangka Agrarian Reform Indonesia,
tegasnya sebagai perombakan mengenai pemilikan dan
penguasaan tanah serta hubungan-hubungan yg bersang-
kutan dengan penguasaan tanah.

 Tujuan Landreform :
a. Memperkuat dan memperluas pemilikan tanah, terutama
para petani dan pengakuan atau perlindungan terhadap
Hak Milik sebagai hak yang terkuat bersifat perseorangan
dan turun temurun serta berfungsi sosial.
b. Untuk mengadakan pembagian yg adil atas sumber peng-
hidupan rakyat tani berupa tanah.
c. Untuk melaksanakan prinsip tanah utk petani  tanah tidak
dijadikan objek spekulasi dan alat pemerasan.
d. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus pemi-
likan atau penguasaan tanah secara besar-besaran 
mengadakan batas maksimum dan minimum tanah untuk
tiap keluarga.
e. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong
pertanian yang intensif.

 Program Landreform
a. Larangan menguasai tanah pertanian yg melampaui batas.
b. Larangan pemilikan tanah secara absentee.
c. Redistribusi tanah-tanah yg melebihi batas maksimum serta
tanah yang terkena larangan absentee.
d. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah
pertanian yang digadaikan.
e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
f. Penepatapan batas minimum pemilikan tanah pertanian di-
sertai larangan utk melakukan perbuatan yg mengakibatkan
pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang
terlalu kecil.

Ad.a. Larangan Untuk Menguasai Tanah Pertanian yang


melampaui batas
 Ketentuan pokok utk hal ini adalah Psl 7 dan Psl 17 UUPA.
 Pasal 7 bermaksud mengakhiri dan mencegah tertumpuk-
nya tanah di tangan golongan atau orang tertentu saja 
penegasan larangan Groot Grondbezit.
 Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas
merugikan kepentingan umum – berakibat penguasaan yg
melampaui batas memperkecil kesempatan petani untuk
memiliki tanah sendiri.
 Hal yg dilarang dalam Pasal 7 UUPA mencakup pemilikan
tanah yang melampaui batas dan penguasaan tanah yang
melampaui batas (penguasaan itu selain dengan HM, dapat
juga dgn hak gadai, sewa/jual tahunan, usaha bagi hasil).
 Untuk melaksanakan Psl 7 UUPA, perlu diadakan penetap-
an batas maksimum tanah yang boleh dikuasai seseorang
atau keluarga – Pasal 17 UUPA, yg merupakan pelaksana
dari Pasal 7 UUPA.

 Dengan melaksanakan pasal-pasal tsb dan juga melaksana


kan aturan pelaksanaannya diharapkan :
1. Akan lebih merata pemilikan tanah yang merupakan faktor
utama dalam produksi pertanian.
2. Dapat mendorong kenaikan produksi pertanian.
 Pembagian tanah-tanah yang merupakan kelebihan batas
maksimum dan pemberian ganti rugi kepada bekas pemilik-
nya diatur dengan PP.

 UU No.56 Prp Tahun 1960 – UU Landreform – ada 3 hal


yang diatur di dalam UU tersebut :
1. Penetapan luas maksimal pemilikan dan penguasaan tanah
pertanian.
2. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian dan
larangan untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pemecahan pemilikan tanah menjadi bagian yg terlalu kecil.
3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang
digadaikan.
Jadi walaupun Pasal 17 UUPA menunjuk pada semua tanah,
tetapi UU Landreform baru mengatur tentang tanah pertanian
saja.

 Luas maksimum pemilikan/penguasaan tanah pertanian :


 Dikatakan melebihi batas : letak tanah tidak perlu di satu
daerah yang sama, tetapi dapat juga di beberapa daerah
tingkat II.
 Penetapan luas maksimum memakai dasar keluarga.
 Tanah yang dikuasai dengan HGU atau hak-hak lain yang
bersifat sementara dan terbatas, yang didapat dari pemerin-
 tah, misalnya HP, tanah bengkok (tanah jabatan) serta
tanah pertanian yang dikuasai oleh badan-badan hukum 
Tidak terkena ketentuan mengenai luas maksimum
tersebut.

 Dilarang untuk memindahkan atau mengalihkan HM atas


seluruh atau sebagian tanah yang jumlah luasnya melebihi
luas maksimum, kecuali dengan ijin KKP.
 Larangan tersebut hanya berlaku selama belum ada pene-
gasan tanah yang mana yang akan diambil oleh pemerintah
 Tidak termasuk dalam pengertian memindahkan adalah
pewarisan tanpa wasiat.
 Ketentuan tersebut hanya mengenai pemindahan hak atas
tanah milik yg melampaui batas, namun jika yang dikuasai
adalah tanah milik dan tanah gadai maka utk mengalihkan
tanah gadai itu tidak diperlukan ijin.

 Apabila ada orang yang memperoleh tanah pertanian


sehingga tanahnya berjumlah lebih dari luas maksimum
(sesudah ada larangan tersebut di atas), maka :
a. Masih diperbolehkan dengan syarat, dalam jangka waktu 1
tahun sejak diperolehnya tambahan tanah itu, orang ter-
sebut wajib mengusahakan agar tanah pertanian yang di-
kuasainya tidak melebihi batas maksimum.
b. Tidak dipersoalkan cara perolehan tanah tambahan itu
(pewarisan, hibah, pembelian dll).

Ad.b.Larangan Pemilikan Tnh Pertanian secara absentee


 Dasar hukumnya : Pasal 10 ayat (2) UUPA yang diatur lebih
lanjut dlm Psl 3 PP No.224/1960 dan Psl I PP No.41/1964.
 Melarang pemilikan tanah pertanian yang letaknya di luar
daerah atau kecamatan tempat tinggal si pemilik.
 Pemilik tanah pertanian yang absentee ini dalam jangka
waktu 6 bulan sejak 24 Sept 1961 wajib mengalihkan hak
atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak
tanah itu atau pindah ke kecamatan tempat tanah itu.

 Dikecualikan dari ketentuan ini :


a. Mereka yang sedang menjalankan tugas negara.
b. Menunaikan kewajiban agama.
c. Mempunyai alasan khusus lain yg dapat diterima Men.Agr.
d. Pegawai negeri/pejabat militer dan yg dipersamakan dgn
mereka, yang sedang menjalankan tugas negara.
 Perkecualian itu terbatas yaitu :
a. Hanya boleh untuk tanah seluas 2/5 dari luas maksimum
yang ditentukan untuk daerah tersebut.
b. Hanya untuk pemilikan yang sudah ada pada 24 Sept 1961.

 Peristiwa-peristiwa hukum yang menyebabkan pemilikan


absentee :
a. Pemilik tanah meninggalkan kecamatan tempat letak ta-
nahnya sehingga ia menjadi pemilik absentee.
b. Menerima warisan atas tanah pertanian yang letaknya di
kecamatan lain, di luar kecamatan tempat tinggal ahli waris.
Semua bentuk pemindahan HM atas tanah pertanian (jual-beli,
hibah dan tukar menukar) yg mengakibatkan pemilikan baru
secara absentee adalah dilarang (kecuali dlm hal hibah waris).
Ad.c. Redistribusi tanah yang lebih dari batas maksimum
serta tanah-tanah yang terkena larangan absentee.
 Dasar hukumnya : PP No.224/1961 jo PP No.41/1964.
 Tanah-tanah yang diredistribusikan meliputi :
a. Tanah kelebihan batas maksimum.
b. Tanah absentee.
c. Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja.
d. Tanah-tanah lain yg dikuasai langsung oleh negara, misal-
nya tanah bekas perkebunan besar, bekas tanah partikelir.

 Syarat bagi petani yang akan menerima redistribusi tanah :


a. Petani penggarap atau buruh tani tetap yang berkewarga-
negaraan Indonesia.
b. Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak tanah tersebut
a. Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak tanah tersebut
b. Kuat bekerja dalam pertanian.
 Diprioritaskan adalah mereka yang telah mempunyai
hubungan erat dengan tanah yang digarapnya , alasannya :
atas dasar prinsip tanah untuk petani yang menggarap-
nya maka hubungan tersebut tidak boleh dilepaskan
tetapi harus dijamin kelangsungannya.
 Tanah yang dibagikan tersebut diberikan dengan HM &
wewenang pem-berian ada pada Men.Agr dan didelegasi-
kan kepada Kep.BPN Kab/Kota.

 Hak Milik atas tanah itu diberikan dgn syarat-syarat :


1. Penerima wajib membayar uang pemasukan.
2. Tanah yang bersangkutan harus diberi tanda batas.
3. Haknya harus didaftarkan untuk memperoleh sertipikat.
4. Penerima wajib mengerjakan tanahnya secara aktif.
5. Setelah 2 tahun sejak ditetapkan SK pemberian hak, wajib
dicapai kenaikan hasil tanaman seperti yg ditetapkan Dinas
Pertanian Daerah.
6. Penerima wajib menjadi anggota koperasi pertanian di
daerah tersebut.
7. Selama uang pemasukan belum dibayar lunas, HM yang
diberikan dilarang untuk dialihkan kepada pihak lain.
8. Kelalaian atas kewajiban tersebut di atas dapat berakibat
dicabutnya HM yang diberikan tanpa pemberian ganti rugi.

 Pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah yg


menjadi objek redistribusi tanah berupa :
 10% dalam bentuk uang simpanan di BRI.
 90% dalam bentuk Surat Hutang Landreform (SHL) diatur
lebih lanjut dengan UU No.6/1964.

Ad.d. Pengaturan tentang Pengembalian dan Penebusan


Tanah Pertanian yang Digadaikan.
 Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan
tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang
gadai daripadanya. Selama uang gadai belum dikembalikan
maka tanah itu dikuasai oleh pemegang gadai dan selama
itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai.
 Pasal 7 UU No.56 Prp tahun 1960 merupakan dasar hukum
pengaturan gadai tanah & sekaligus perubahan peraturan
gadai tanah menurut Hukum Adat.
 Dengan Keput. Men.Pertanian dan Agr No.SK.10/Ka/1963,
Pasal 7 tersebut berlaku juga terhadap gadai tanaman
keras, baik yang digadaikan dengan atau tanpa tanahnya.
 Tanah yang sudah digadaikan selama 7 tahun harus
dikembalikan kepada yg mempunyainya tanpa kewajib-
an untuk membayar uang tebusan.
 Untuk gadai yang belum sampai 7 tahun, setelah tanaman
yang ada selesai dipanen, sewaktu-waktu dapat ditebus
kembali dengan uang tebusan yang perhitungannya adalah:
(7+ ½) – waktu berlangsungnya gadai x uang gadai
7
 Peraturan tersebut berlaku untuk :
a. Gadai yang sudah ada pada saat berlakunya UU No.56 Prp
tahun 1960.
b. Gadai tanah yg diadakan sesudahnya.
c. Gadai yang harus dikembalikan karena melebihi batas
maksimum.
d. Gadai tanah pertanian pada umumnya yang tidak ada
hubungannya dgn pelaksanaan ketentuan luas maksimum.

Ad.e. Pengaturan kembali Perjanjian Bagi Hasil Tanah


Pertanian.
 Perjanjian bagi hasil adalah suatu perjanjian antara
pemilik dan seseorang atau badan hukum (penggarap)
untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah
pemilik dengan pembagian hasil yang tergantung pada
besarnya hasil tanah tersebut.
 Perbedaan Perjanjian Bagi Hasil dengan Perjanjian
Sewa Menyewa Tanah Pertanian :
 Dalam sewa menyewa apa yang akan diterima oleh pihak
yang menyewakan tanah sebagai sewa tidak dipengaruhi
oleh hasil tanah yang bersangkutan.
 Dalam sewa menyewa, risiko usaha menjadi tanggungan
penyewa sendiri, tetapi dalam bagi hasil risiko dipikul ber-
sama antara penggarap dan pihak yang mempunyai tanah.
 Dalam Perjanjian bagi hasil :
 Semula diatur menurut hukum adat setempat.
 Imbangan pembagian hasil ditetapkan atas persetujuan ke-
dua belah pihak.
 Biasanya merugikan pihak penggarap.
 Untuk melindungi petani ekonomi lemah dikeluarkan UU
No.2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil jo INPRES
No13/1980 tentang Perdoman Pelaksanaan UU No.2/1960.
 Dalam Pasal 3 UU No.2/1960 disebutkan : “Semua perjanji-
an bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap
sendiri secara tertulis di hadapan Kepala Desa dengan
disaksikan 2 orang saksi”.

Ad.f. Penetapan luas minimum tanah pertanian dan larang-


an pemecahan pemilikan tanah pertanian :
 Pasal 8 UU No.56 Prp tahun 1960 memerintahkan utk meng-
adakan usaha-usaha agar setiap petani sekeluarga memiliki
tanah pertanian minimal 2 hektar.
 Usaha-usaha yang harus dilakukan adalah :
 Perluasan tanah pertanian (ekstensifikasi), dgn pembukaan
tanah di luar Jawa yang diikuti dengan transmigrasi dan
industrialisasi.
 Pencegahan terjadinya pemecahan pemilikan tanah pertani-
an menjadi bagian yang kurang dari 2 hektar, dgn mengada-
kan pembatasan pemindahan Hak Milik atas tanah per-
tanian ”Dilarang pemindahan hak atas tanah pertanian,
jika pemindahan itu mengakibatkan timbulnya pemilikan
tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 ha.”
 Apabila sebidang tanah yang kurang dari 2 ha dipunyai oleh
2 orang atau lebih pada waktu mulai berlakunya UU
Landreform, maka dalam waktu 1 tahun mereka wajib untuk
menunjuk salah seorang dari mereka sebagai pemilik tanah
itu atau mereka memindahkannya kepada pihak lain.
 Usaha-usaha yang menyertai landreform :
a. Pembukaan tanah-tanah pertanian baru.
b. Transmigrasi.
c. Industrialisasi.
d. Usaha untuk mempertinggi produktivitas (intensifikasi)
e. Policy harga hasil pertanian rakyat yg dpt menguntungkan
petani.
f. Penyediaan kredit usaha dengan syarat ringan.
g. Bimbingan kepada koperasi.

 Peraturan perundang-undangan yang perlu dipelajari untuk


melengkapi materi tentang Landreform, antara lain :
 Perpres No.86/2018 tentang Reforma Agraria.
 PP No.20/2021 ttg Penertiban Kawasan dan Tnh Terlantar.
 PP No.43/2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata
Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah.

Catatan Tambahan
Ruang Lingkup Studi Reforma Agraria :
 Ruang lingkup studi reforma agraria (RA) sangat luas karena
jangkauan studi yang panjang dan lebar, akan tetapi
jangkauan studi yang dibahas relatif terbatas, dimulai dari
awal pembicaraan draft UUPA sampai lahirnya UUPA pada
tahun 1960.
 Pembahasan kemudian dilanjutkan pada kebijakan RA di
Indonesia dari presiden ke presiden.
 Kemudian, fokus studi diarahkan pada politik dan kebijakan
RA yang dijalankan oleh pemimpin negara.
 Pada bagian akhir studi ini fokus pada kebijakan RA yang
dijalankan oleh Presiden Joko Widodo dalam dua periode
kepemimpinannya. Pada ranah ini kajian cukup luas karena
objek RA (TORA) yang cukup luas, baik lahan non hutan
maupun kawasan hutan yang akan dan sedang dikelaurkan
sebagai objek TORA.

Definisi Land Reform/Reforma Agraria dan Lahirnya di


Indonesia.
 Beberapa pihak menyebutkan kata land reform dan reforma
agrarian, bahkan masih juga ditemui kata reformasi agraria
dengan merujuk reforma agraria.
 Reformasi agraria memiliki makna yg berbeda dgn refoma
agraria. Reformasi bermakna “mengoreksi bekerjanya ber-
bagai institusi dan berusaha menghilangkan berbagai institu-
si dan berusaha menghilangkan berbagai bentrokan yang di-
anggap sebagai sumber malfunction institusi dlm suatu tatan-
an sosial.
 Dalam konteks itu, reformasi bermakna sebagai upaya mem-
perbaiki sumbatan-sumbatan dlm birokrasi institusi, sehingga
dengan direfomasi akan mengalami perubahan dan fungsi-
fungsinya akan bekerja dengan lebih baik dan cepat.
 Reforma dalam konteks agraria “melibatkan perubahan fungsi
dan juga perubahan struktur. Oleh krn itu Reforma (Spanyol)
atau Reform (Inggris), mengandung esensi: "ketidak-tertiban
untuk sementara", karena prosesnya memang menata ulang,
membongkar yang lama, menyusun yg baru.
 Beberapa ahli memberi pengertian tentang Reforma Agraria
sbb :
 Reforma Agraria dimaknai sebagai “pembaruan struktur
agraria yg meliputi penguasaan tanah, hubungan produksi
(penyakapan/penyewaan, kelembagaan) dan pelayanan pen-
dukung pertanian antara lain: irigasi, kredit, pendidikan, pajak
(Bachriadi, Faryadi dan Setiawan, 1997).
 Menurut Gunawan Wiradi (2009), RA adalah Pengaturan
kembali atau perombakan penguasaan tanah. Perombakan
struktur, sistem, & penguasaannya menjadi lebih rapi, tertata
secara teratur.
 Lipton mendefinisikan land reform & agrarian reform secara
berbeda. Land reform dimaknai sebagai legislasi yg diniatkan
dan benar-benar diperuntukan utk meredistribusi kepemilik-
an, mewujudkan klaim-klaim, atau hak-hak atas tanah per-
tanian, dan dijalankan untuk memberi manfaat pada kaum
miskin dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan
pendapatan absolut maupun relatif mereka,berbanding dgn
situasi tanpa legislasi (Lipton 2009, 328-329). Sementara
agrarian reform adalah land reform plus (penyediaan kredit,
penelitian, penyuluhan, infrastruktur, dan jasa pemasaran
bagi penerima manfaat land reform).
 Pada umumnya orang meyakini konsep berjalannya land
reform terdiri atas 2 model, yakni land reform by grace
dan land refom by leverage.
 Land reform by leverage dimaknai sebagai land reform
yang mewadahi tuntutan masyarakat dari bawah, dimana
upaya tuntutan dan partisipasi masyarakat sebagai entri
poin upaya-upaya warga masyarakat menuntut hak-hak
atas tanah. Tuntutan masyarakat juga sebagai respons atas
kebijakan negara yg belum memenuhi upaya ideal mencipta
kan restrukturisasi penguasaan tanah.
 Land reform by grace merupakan kemurahan hati pemerin-
tah untuk menjalankan kebijakan land reform secara ideal,
sehingga terwujud apa yg seharusnya dilakukan (penataan
tanah) oleh negara. Land reform by grace mengandung
makna kebijakan yang dijalankan oleh negara untuk menata
struktur penguasaan tanah secara seimbang dan ideal
berdasarkan pertimbangan keadilan.
 Lahirnya land reform di Indonesia diilhami oleh perjalanan
panjang penguasaan tanah pada periode kolonial, dimana
Domein Verklaring dan Agrarische Wet yang diterapkan oleh
pemerintah kolonial cukup melukai perasaan masyarakat
Hindia Belanda.
 Setelah Indonesia merdeka, Soekarno mencoba mem-
bangun hkm agraria nasional selama lebih kurang 13 tahun
(1948-1960). Sampai akhirnya 1960 Pemerintahan Soekarno
berhasil menyelesaikan undang-undang agraria, kemudian
dikenal dgn UUPA Tahun 1960. Dari UUPA inilah kemudian
lahir gagasan terkait land reform yang akan segera dijalan-
kan oleh Pemerintahan Soekarno.
 Semua kebutuhan terkait pelaksanaan land reform disusun,
yg diawali dgn menyiapkan perangkat hkm utk menjalankan
landreform, baik lembaga, struktur organisasi, maupun pen-
danaan. Bahkan tahun 1961 sudah mulai dijalankan kebijak-
an land reform di beberapa wilayah, terutama di Jawa.

Perjalanan Kebijakan Reforma Agraria (RA)


 Soekarno berhasil membangun sistem dan kelembagaan
untuk menjalan-kan RA pada periode awal pasca Indonesia
merdeka. Semua prangkat hukum yang dibutuhkan oleh
negara untuk menyelenggarakan redistribusi tanah telah
dilahirkan pada periode tersebut, bahkan Sukarno juga ber-
hasil mendistribusikan tanah kepada petani tak bertanah,
petani miskin, & buruh tani. Lewat UU, Perpu, PP, Keppres,
dan peraturan lain Sukarno telah meletakkan dasar-dasar
penataan agraria secara nasional, namun sayang sebelum
semua program Sukarno dijalankan, peristiwa 1965 telah
menghancurkan mimpi dan cita-citanya.
 Soeharto telah menghancurkan semua perangkat hukum &
kelembagaan yg Sukarno ciptakan, dgn alasan komunis di-
balik semua gagasan RA Sukarno. Soeharto mengubah arah
dan strategi kebijakan RA, mereduksi menjadi distribusi tnh
kawasan hutan dgn metode transmigrasi.
 Periode reformasi yang diawali oleh Habibie dilanjutkan oleh
Gus Dur-Megawati dan SBY. Pada pemerintahan inilah isu
RA terus menguat dan negara kemudian memberikan ruang
yg cukup kepada masyarakat untuk menuntut pelaksaanaan
RA. Pada periode inilah gagasan RA benar-benar menemu-
kan momennya dan praktik RA diupayakan.
 Melalui TAP MPR IX 2001 menjadi titik balik pelaksanaan
kembali RA di Indonesia, dan SBY kemudian melanjutkan
dgn menjalankan program RA. Namun, praktiknya tdk mudah
dan jalannya pelaksanaan RA pada periode SBY tersendat
dan cenderung jalan di tempat.
 Periode Jokowi, RA kembali dihidupkan dgn mengangkat
isu RA, Jokowi berhasil membangun produk hukum yg dulu
gagal diselesaikan oleh SBY, yakni: peraturan pelaksanaan
RA. Salah satunya yg cukup gencar dilaksanakan adalah
legalisasi aset untuk membangun basis data kepemilikan
dan penguatan hak rakyat, RA kawasan hutan, dan social
forestry.
 Reforma agraria di kawasan hutan merupakan cita-cita dari
agenda kelima Nawacita, dimana salah satu sumber TORA
berasal dari pelepasan kawasan hutan.
 Reforma agraria di kawasan hutan dapat dijalankan melalui
skema pelepasan Kawasan hutan dengan mekanisme dica-
dangkan & skema PPTKH (Penyelesaian Penguasaan Tnh
Kawasan Hutan).
 Dua skema itu merupakan upaya percepatan penyelesaian
penguasaan tanah dlm kawasan hutan yg dilakukan oleh
masyarakat dan redistribusi kepada masyarakat yg mem-
butuhkan. Reforma agraria di kawasan hutan merupakan
kebijakan utk mewujudkan keadilan terkait aset dan akses
yang sumbernya berasal dari kawasan hutan.
 Reforma agraria mulai “menyentuh” kawasan hutan saat
dijalankannya PPAN (Program Pembaharuan Agraria Nasio-
nal) melalui kegiatan redis-tribusi tanah dgn salah satu
objeknya berupa kawasan hutan yg dpt di- konversi. Sejak
diterbitkannya PMK No. 35/PUU-X/2012 sebagai jawaban
dari gugatan terhadap UU No. 41/1999 semakin menguat-
kan pondasi akan dilaksananya reforma agraria di kawasan
hutan.
 Lahirnya TORA (Tanah Objek Reformasi Agraria) di kawasan
hutan dilakukan berdasarkan Permen LHK No.17/2018 me-
lalui pelepasan kawasan hutan. Sumber TORA dari Pelepas-
an kawasan hutan didapatkan melalui identifikasi kawasan
hutan yang lokasinya mengacu pada Peta Indikatif Alokasi
Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber TORA.
 Mekanisme penyediaan sumber TORA dari pelepasan
kawasan hutan diperoleh melalui pelepasan kawasan hutan
atau perubahan batas kawasan hutan.
 Pola penyelesaian penguasaan dan pemanfaatan tanah
dalam kawasan hutan sebagai TORA dapat ditempuh melalui
perubahan batas kawasan hutan, tukar menukar kawasan
hutan, perhutanan sosial (resettlement).
 Penyelesaian skema kedua (PPTKH) dilakukan dengan
menyelesaikan penguasaan tanah dlm kawasan hutan yang
dilakukan oleh masyarakat.
 Skema PPTKH dijalankan melalui cara inventarisasi terlebih
dahulu (Inver PTKH). Skema PPTKH menjadi suatu cara utk
menyelesaikan persoalan penguasaan hutan yang selama
ini menjadi persoalan masyarakat termasuk konflik-konflik
tenurial.
 Lahirnya Perpres 88 tahun 2017 dan Permenko No. 3 tahun
2018 menjadi suatu cara utk menyelesaikan persoalan ter-
sebut, dan upaya itu menjadi bagian konsentrasi pemerintah
Joko Widodo.
Pendaftaran tanah

Maria Emelia Retno. K


 Pendaftaran tanah bertujuan menjamin kepastian hukum dan
kepastian haknya  Pasal 19 UUPA telah dengan tegas meng-
amanatkan kepada Pemerintah agar di seluruh wilayah Indonesia
dilaksanakan pendaftaran tanah, dengan tujuan untuk mencapai
kepastian hukum.

 Pasal 23, 32, dan 38 UUPA, ditujukan kepada para pemegang hak
yang bersangkutan, agar setiap hak (perolehan hak), peralihan hak,
pembebanan hak maupun hapusnya hak atas tanah wajib
didaftarkan, dengan maksud agar pemilik tanah memperoleh
kepastian tentang haknya itu.

 Kegiatan pendaftaran tanah akan menghasilkan tanda bukti hak atas


tanah yang disebut sertifikat  kepastian hukum berkenaan dengan
jenis hak atasnya, subjek hak, dan objek haknya menjadi nyata.

 Dalam Pasal 19 ayat (2) UUPA diatur kegiatan utama penyelengga-


raan pendaftaran tanah yaitu meliputi kegiatan pengukuran,
perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak atas tanah
dan peralihan hak-hak serta, pemberian surat-surat tanda bukti hak,
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

 Untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah dimaksud secara ope-


rasional telah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah (PP No.10/1961), kemudian dlm per-
kembangannya disempurnakan dgn Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24/1997), yang
mulai berlaku efektif pada tanggal 8 Oktober 1997.
 PENDAFTARAN TANAH adalah Suatu rangkaian kegiatan berupa
pengumpulan keterangan ataudata tertentu mengenai tanah-tanah
tertentu di wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyaji-
annya bagi jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, ter-
masuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya.

 Kegiatan pendaftaran tanah meliputi :


a. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya.
b. Kegiatan pemeliharaan data yang tersedia.

 PENDAFTARAN TANAH UNTUK PERTAMA KALI (INITIAL


REGISTRATION)
Kegiatan mendaftar untuk pertama kalinya atas sebidang tanah yang
semula belum didaftar menurut peraturan pendaftaran tanah.
Initial Registration ini meliputi 3 bidang kegiatan :
1. Bidang fisik atau teknis kadastral.
2. Bidang yuridis.
3. Penerbitan dokumen tanda bukti hak.

Ad.1. Kegiatan di bidang fisik (teknis kadastral)


a. Memastikan letak tanah yang akan dikumpulkan data fisiknya.
b. Menetapkan batas-batasnya serta pemberian tanda-tanda batas di
setiap sudut-nya. Penetapan batas dilakukan oleh Petugas Pen-
daftaran Tanah (PPT) berdasarkan penunjukan dari pemegang HAT
yg disetujui oleh pemegang HAT yg berbatasan  Contradictoire
deliminatatie.
c. Pengukuran dan pembuatan petanya.
 Kegiatan fisik ini menghasilkan Peta Pendaftaran yang melukiskan
semua tanah yang ada di wilayah pendaftaran yang sudah diukur.
 Untuk tiap bidang tanah yang didaftarkan dibuatkan Surat Ukur.

Ad.2. Kegiatan bidang yuridis :


 Bertujuan untuk mendapatkan data mengenai haknya, siapa
pemegang hak tersebut dan ada atau tidak ada hak pihak lain yang
membebaninya. Pengumpulan data dilakukan melalui pengumpul-
an dokumen dan bukti-bukti lainnya.
 Kegiatan yang dilaksanakan dalam proses pendaftaran tanah untuk
pertama kalinya, yang meliputi pengumpulan dan penetapan
kebenaran data fisik dan data yuridis disebut Kegiatan Ajudikasi.

Ad.3. Penerbitan dokumen tanda bukti hak


 Kegiatan pendaftaran tanah dan hasilnya (termasuk penerbitan surat
tanda bukti hak) tergantung pada sistem pendaftaran yg digunakan
oleh suatu negara.
 Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat dilakukan
melalui/secara :
1. Secara Sistematik
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan
secara serentak, yang meliputi semua objek pendaftaran tanah
yang belum didaftar dalam suatu wilayah atau bagian wilayah suatu
desa atau kelurahan.
2. Secara Sporadik
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau
beberapa objek pendaftaran tanah dam wilayah atau bagian wilayah
suatu desa secara individual atau massal, yang dilakukan atas per-
mintaan pemegang atau penerima HAT ybs.

SISTEM PENDAFTARAN TANAH :


Ada 2 macam sistem pendaftaran tanah :
1. Sistem Pendaftaran Akta = Registration of Deeds
2. Sistem Pendaftaran Hak = Registration of Titles.

Ad. 1. Sistem Pendaftaran Akta = Registration of Deeds


Dalam sistem ini :
 Akta-akta yang didaftarkan oleh Petugas Pendaftaran Tanah (PPT).
 PPT bersifat pasif  ia tidak melakukan pengujian kebenaran data
yang disebutkan dalam akta yang didaftar.
 Tiap kali terjadi perubahan wajib dibuatkan akta sebagai bukti-nya,
sehingga dalam sistem ini data yuridis yg diperlukan harus dicari dlm
akta-akta yg bersangkutan (untuk mendapatkan data yuridis harus
dilakukan Title Search – memakan waktu dan biaya).
 Cacat hukum pada suatu akta dapat mengakibatkan tidak sahnya
perbuatan hukum yg dibuktikan dengan akta yang dibuat kemudian.
 Dalam sistem Pendaftaran Akta, segala perubahan itu dibuatkan
akta yang selanjutnya merupakan surat tanda bukti haknya.

Ad. 2. Sistem Pendaftaran Hak = Registration of Titles.


Dalam sistem ini :
 Bukan aktanya yang didaftarkan tetapi hak yang diciptakan dan
segala perubahan-nya. Akta merupakan sumber datanya.
 Untuk pendaftaran hak dan segala perubahannya disediakan suatu
daftar isian  disebut Buku Tanah (Register).
 Apabila terjadi perubahan, tdk dibuatkan buku tanah baru melainkan
dilakukan pencatatan pada ruang mutasi yg disediakan pada buku
tanah yang bersangkutan.
 Sebelum dilakukan pendaftaran hak dan perubahannya, PPT
melakukan pengujian kebenaran data yang dimuat dalam akta yang
bersangkutan  PPT bersikap aktif.
 Sebagai tanda bukti hak diterbitkan sertifikat = salinan register.
Sertifikat HAT terdiri atas salinan buku tanah dan surat ukur yang
dijilid menjadi satu dalam sampul dokumen.
 Dalam sistem Pendaftaran Hak, segala perubahannya dicatat dalam
buku tanah dan sertifikat hak yang bersangkutan berdasarkan data
yang dimuat dalam akta perubahannya.
 Sir Robert Richard Torrens 1853 (South Australia) – Sistem
Registration of Titles (sistem Torrens) : sistem yang lebih
sederhana dan memungkinkan orang memperoleh keterangan dgn
cara yang mudah tanpa harus mengadakan title search pada akta-
akta yang ada.

 PEMELIHARAAN DATA
 Data fisik maupun data yuridis yang disimpan atau disajikan perlu
disesuaikan dengan segala perubahan yang terjadi agar selalu
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
 Perubahan data fisik berkaitan dengan perubahan luas tanah
(pemisahan atau pemecahan, penggabungan). Perubahan itu diikuti
dengan pencatatannya pada peta pendaftaran dan pembuatan surat
ukur baru.
 Perubahan data yuridis berkaitan dengan :
 Haknya : berakhirnya jangka waktu hak yang bersangkutan,
dibatalkan, dicabut, dibebani dengan hak lain.
 Cara beralihnya pemegang hak : pewarisan, pemindahan
hak/penggantian nama.

SISTEM PUBLIKASI
 Data yang ada di kantor PPT mempunyai sifat terbuka bagi umum
yang memerlukannya, namun sejauhmana orang dpt mempercayai
kebenaran data yang disajikan dan siapa yang akan dilindungi oleh
hukum apabila data yang disajikan tersebut salah?
 Jawabannya : tergantung pada sistem publikasi yang digunakan
dalam pendaftaran tanah oleh suatu negara.
 Ada 2 macam sistem publikasi, yaitu :
1. Sistem publikasi positif – menggunakan sistem pendaftaran hak.
2. Sistem publikasi negatif – menggunakan sistem pendaftaran akta.
Ad.1. Sistem Publikasi Positif.
 Sistem publikasi positif merupakan sistem publikasi yang mengakui
kebenaran data yang disajikan dalam buku dan surat tanda bukti hak,
meskipun ternyata bahwa keterangan-keterangan yang tercantum
didalamnya tidak benar.

 Sistem ini memberikan kepercayaan yang mutlak kepada buku tanah.


Pendaftaran tanah yang dilakukan adalah menjamin dengan
sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah adalah tidak
dapat dibantah, kendatipun ternyata ia bukan pemilik yang berhak
atas tanah tersebut.

 Setiap nama seseorang yang telah tercatat sebagai pemegang hak


dalam buku tanah adalah sebagai pemegang hak atas tanah yang ber
sangkutan. Oleh karena itu pihak ketiga tidak perlu ragu-ragu apala-
gi akan melakukan perbuatan hukum dgn pihak yang Namanya ter-
daftar dalam buku tanah sebagai pemegang hak.

 Dalam sistem publikasi positif, Negara menjamin kebenaran data


yang disajikan. Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem
pendaftaran hak, sehingga selalu ada buku tanah sebagai bentuk
penyimpanan dan penyajian data yuridis serta selalu terdapat
sertipikat sebagai surat tanda bukti hak.

 Sertipikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda


bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya
tanda bukti hak atas tanah.
Jadi secara ringkas Sistem Publikasi Positif.
 Pendaftaran nama seseorang dalam register sebagai pemegang
hak-lah yang membuat orang menjadi pemegang HAT yang
bersangkutan bukan perbuatan hkm pemindahan hak yg dilakukan
(title by registration, the register is everything).
 Orang dapat mempercayai penuh data yang disajikan dalam register
data yang dimuat dalam register mempunyai daya pembuktian yang
mutlak.
 Orang yang beritikad baik, mendapat hak dari orang yang namanya
terdaftar sebagai pemegang hak dalam register – mendapat
“indefesiable title” = hak yang tidak dapat diganggu gugat –
dengan didaftarnya namanya sebagai pemegang hak dalam register.
Ad.2. Sistem Publikasi Negatif
 Dalam sistem publikasi negatif, Negara tidak menjamin mengenai
kebenaran data yang disajikan. Oleh karena itu dalam sistem ini,
untuk peralihan hak atas tanah berlaku asas yang dikenal sebagai
memo plus juris, atau secara lengkap disebut Memo plus juris in
alium transferre potest quam ipse habet, yakni melindungi
pemegang hak atas tanah yg sebenarnya dari tindakan orang lain yg
mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang sebenarnya.

 Dalam sistem ini, berpindahnya hak kepada pembeli tidak ditentukan


oleh pendaftaran yang dilakukan, melainkan ditentukan oleh sahnya
perbuatan hukum yg dilakukan. maka tanpa dilakukan pendaftar-
an, sesuatu pemindahan hak sudah dianggap sah, apabila syarat-
syarat yang bersifat materiil telah terpenuhi.
Jadi secara ringkas Sistem Publikasi Negatif
 Dalam sistem ini sahnya perbuatan hukum yg dilakukan yg menentu-
kan berpindahnya hak kepada pembeli (bukan pendaftarannya).
 Berlaku asas nemo plus yuris = orang tidak dapat menyerahkan
atau memindahkan hak melebihi apa yang dimilikinya 
pendaftaran tidak membuat orang yang memperoleh tanah dari pihak
yang tidak berhak, menjadi pemegang hak yang baru.
 Data yang disajikan dalam pendaftaran tidak dapat begitu saja
dipercaya kebenarannya.
 Kelemahan sistem ini diatasi dengan lembaga acquisitive verjaring
 Perbedaan kedua system publikasi tersebut adalah jika dlm sistem
publikasi positif disebutkan bahwa surat tanda bukti hak mempunyai
kekuatan pembuktian yg mutlak maka dlm sistem publikasi negatif
disebutkan bahwa surat tanda bukti hak itu berlaku sebagai alat pem
buktian yang kuat. Artinya keterangan-keterangan yang tercantum di
dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai
keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada pembuktian
lain yg membuktikan sebaliknya. Pendaftaran tanah yang dilakukan
tidaklah menjamin bahwa nama-nama yg terdaftar dalam buku tanah
tidak dapat untuk dibantah jika nama yang terdaftar bukanlah pemilik
sebenarnya.

 Overschrijvings Ordonnantie 1834 menggunakan sistem publikasi


negatif dan sistem pendaftarannya adalah sistem pendaftaran akta.

 UUPA dan PP No.10/1961 menggunakan sistem publikasi negatif


yang mengandung unsur positif, artinya sistemnya bukan negatif
murni  dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c :
“Pendaftaran menghasilkan surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat.” Selain itu juga dinyatakan dlm
Pasal 23 ayat (2), 32 ayat (2) dan 38 ayat (2) UUPA.  Lihat juga PP
No.24/1997.

Catatan :
 Pernyataan dalam pasal-pasal tersebut mengandung arti bahwa
selama tidak dapat dibuktikan yang sebaliknya, data yang disajikan
dlm buku tanah, peta pendaftaran dan sertifikat HAT harus diterima
sebagai data yang benar.
 Hal ini menunjukan UUPA tdk menggunakan sistem publikasi negatif
yang murni.
 Sistem publikasinya juga bukan sistem publikasi positif tampak
dalam Penjelasan Umum PP No.10/1961 : “Pembukuan suatu hak
dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan
bahwa orang yang sebenarnya berhak atas tanah itu akan kehilang-
an hak-nya, orang tersebut masih dapat menggugat haknya dari
orang yg terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak.”

Pendaftaran tanah yang merupakan Fiscal Cadastre.


Sampai tahun 1961 ada 3 macam pungutan pajak tanah yaitu :
1. Untuk tanah-tanah hak Barat : Verponding Eropa.
2. Untuk tanah-tanah HM adat di wilayah Gemeente : Verponding
Indonesia.
3. Untuk tanah-tanah HM adat di luar wilayah Gemeente : Landrent/
Pajak Bumi.
 Tanah hak milik adat ini sejak zaman Belanda sudah dikenakan
pajak yang disebut pajak hasil bumi yg dipungut oleh Kantor Pajak
Hasil Bumi (landrette). Kepada pembayar pajak diberikan surat bukti
pembayaran pajak yang namanya berbeda-beda untuk tiap daerah.
Kikitir untuk Jawa Barat, Petuk/Petok/ Pipil untuk Jawa Tengah dan
Jawa Timur serta girik untuk Batavia yang sekarang adalah Jakarta.
 Girik bukanlah surat tanda bukti hak atas tanah. Derajatnya sama
dengan Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.
 Hak Milik Adat diakui keberadaannya oleh UUPA. Untuk menjadikan-
nya Hak Milik menurut UUPA, harus didaftarkan di Kantor BPN.
 Surat pengenaan pajak ini pada kenyataannya sekarang dapat
digunakan sebagai unsur pembantu dalam penegasan konversi hak
milik adat menjadi hak milik menurut UUPA.
 Dasar penentuan objek pajak adalah status tanahnya sebagai tanah
hak barat atau tanah hak milik adat.
 Wajib pajaknya : pemegang hak/pemiliknya.

PENDAFTARAN TANAH BERDASARKAN PP NO. 24/1997


 Pada 8 Juli 1997 diundangkan PP No.24/1997 tentang Pendaftaran
Tanah sebagai pengganti PP No.10/1961.
 PP tersebut mulai berlaku 3 bulan sejak tanggal diundangkan yaitu 8
Oktober 1997.
 Dalam Pasal 64 Ketentuan Peralihan PP No.24/1997 dinyatakan :
 Semua peraturan pelaksana PP No.10/1961 yang telah ada tetap
berlaku.
 Hak-hak yang didaftarkan dan hal-hal lain hasil pendaftaran tanah
berdasarkan PP No.10/1961 tetap sah sebagai pendaftaran tanah
berdasarkan PP yang baru.
 Asas-asas pendaftaran – Pasal 2 : sederhana, aman, terjangkau,
mutkhir dan terbuka.
 Tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah : menjamin kepastian
hukum Recht/Legal Kadaster.
Lebih rinci tujuan pendaftaran adalah :
1. memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas tanah.
2. menyediakan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan,
termasuk bagi pemerintah.
3. tertib administrasi pertanahan – Pasal 34 ayat (2).

 Objek Pendaftaran Tanah – Pasal 9


1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan HM, HGU, HGB dan HP.
2. Tanah HPL.
3. Tanah wakaf.
4. HMSRS.
5. Hak Tanggungan.
6. Tanah negara dalam arti sempit – tidak diterbitkan sertifikat.

 Sistem pendaftaran yang digunakan : Sistem Pendaftaran Hak


(Registration of Title)  tampak dengan adanya buku tanah sebagai
dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik, serta diterbit-
kannya sertifikat sebagai bukti hak yang didaftar.

 Sistem Publikasi yang digunakan : Sistem negatif yang mengandung


unsur positif  menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat.
 Kekuatan pembuktian sertifikat :
1. Sertifikat berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat :
a. sepanjang data fisik dan yuridis sesuai dengan data dalam surat
ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
b. selama tidak ada yang dapat membuktikan sebaliknya.
2. Kelanjutan dari pemberian perlindungan hukum kepada para
pemegang sertifikat hak – Pasal 32 ayat (2) PP No.24/1997.

Catatan :
 Kelemahan sistem negatif : pihak yang namanya tercantum sebagai
pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi
kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai
tanah itu.
 Kelemahan tersebut biasanya diatasi dgn menggunakan lembaga
Aquisitive Verjaring atau Adverse Possession tetapi lembaga ini
tidak dikenal dalam Hukum Adat, sehingga dalam Hukum Adat yang
digunakan lembaga Rechtsverwerking.

 Satuan wilayah tata usaha pendaftaran tanah : Dilakukan desa demi


desa tetapi khusus untuk pendaftaran HGU, HPL, Hak Tanggungan
dan tanah negara, satuan tata usaha pendaftarannya adalah
kabupaten/ kota.

 Penyelenggara Pendaftaran Tanah :


a. KKP,kecuali mengenai kegiatan tertentu ditugaskan kepada pejabat
lain.
b. PPAT – pembuatan akta PPAT : PPAT diangkat/diberhentikan oleh
Men. Agr Kep BPN dan untuk memudahkan masyarakat di daerah
yang tidak ada PPAT dpt ditunjuk PPAT Sementara – Kepala Desa.
c. Notaris – pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan.
d. Pejabat lelang  membuat risalah lelang.
e. Panitia Ajudikasi – kegiatan yang dilakukan dalam rangka proses
pendaftaran tanah pertama kali, meliputi pengumpulan, penetapan
kebenaran data fisik dan yuridis mengenai satu/beberapa objek
pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.

 Pendaftaran tanah dilakukan terhadap :


 Hak-hak baru : hak-hak yang baru diberikan/diciptakan sejak mulai
berlakunya PP 24/1997.
 Hak-hak lama : hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak
yang ada pada waktu mulai berlakunya UUPA dan hak-hak yang
belum didaftarkan menurut PP 10/1961.

 Fungsi akta PPAT dan Pendaftaran Tanah dalam pemindahan hak :


a. Sebagai alat bukti bahwa telah dilakukannya perbuatan hukum tsb.
b. Merupakan syarat bagi pendaftaran pemindahan haknya, namun
sahnya perbuatan hukum tersebut ditentukan oleh terpenuhinya
syarat-syarat materiil yaitu :
1. Kecakapan dan kewenangan para pihak.
2. Penerima hak memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak atas
tanah yang akan didapatnya.
3. Kesepakatan kedua belah pihak.
4. Dipenuhi syarat terang, tunai, dan riil.
 Adapun hal-hal yang menyebabkan pemeliharaan data pendaftaran
adalah :
1. Pemindahan hak yang tidak melalui lelang.
2. Pemindahan hak melalui lelang.
3. Peralihan hak karena pewarisan.
4. Peralihan hak karena penggabungan/peleburan perseroan/koperasi.
5. Pemeliharaan data karena pembebanan hak.
6. Pemeliharaan data karena perpanjangan jangka waktu hak atas
tanah.
7. Pemeliharaan data karena pemecahan, pemisahan dan pengga-
bungan bidang tanah.
8. Pemeliharaan data karena pembagian hak bersama (tanah
HMSRS).
9. Pemeliharaan data karena hapusnya hak atas tanah, HPL dan
HMSRS.
10.Pemeliharaan data karena peralihan dan hapusnya hak
tanggungan.
11.Pemeliharaan data karena perubahan nama.
12.Pemeliharaan data berdasarkan putusan atau penetapan Ketua
Pengadilan
13.Pemeliharaan data sehubungan dengan Keput. Men.Agr/Kep BPN
No.9/1997 Tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah
Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS).
Hak tanggungan

Maria Emelia Retno. K


 Peraturan-Peraturan yang mengatur Hak Tanggungan (HT) :
a. UUPA : Pasal 25, 33, 39, dan 51.
b. UU No.4/1996 LN 1996 - 42, TLN 3632 : UU Hak Tanggungan
c. Peraturan Men.Agr/Kep BPN :
 No. 3/1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan HT, Akta Pemberian HT,
Buku Tanah HT dan sertipikat HT.
 No. 4/1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membeban-
kan HT Utk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit tertentu.
 No. 5/1996 tentang Pendaftaran HT.
d. Surat Men.Neg Agr/Kep BPN tanggal 26 Mei 1996 No.630.1-1826 tentang Pembuat
an buku tanah dan sertipikat HT.
e. Selama belum ada peraturan tentang eksekusi HT, maka berdasarkan Pasal 26
UUHT, peraturan tentang eksekusi hipotik – Pasal 224 Reglemen Indonesia yang
dibaharui S.1942 : 44 & Pasal 258 Rechts Reglemen Buitengewesten S.1927 :
227 berlaku thd eksekusi HT.
d. Permen ATR/BPN No.7/2019 tentang Perubahan Kedua Atas Permen ATR/BPN
No. 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksana PP No.24/1997
e. Permen ATR/BPN No.5/2020 tentang Pelayanan HT Terintegrasi Secara
Elektronik.

 UUHT berlaku terhadap : perbuatan hukum yang objeknya tanah dan atau
bangunan  Psl 27 UUHT menyatakan : Ketentuan UUHT berlaku juga terhadap
pembebanan hak jaminan atas rumah susun dan HMSRS.

 Hak Tanggungan sbg satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah


 Dengan diundangkannya UU No.4/1996 tentang UU Hak Tanggungan telah
terwujud unifikasi lembaga hak jaminan atas tanah yang diatur dalam hukum yang
tertulis.
 Kedudukan istimewa kreditur pemegang HT :
a. Droit de Preference :
Kedudukan diutamakan dengan pemberian hak mendahului tersebut tentunya tidak
mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan hukum yang
berlaku, misalnya seperti diatur dlm Titel XIX Buku Kedua KUHPerdata.

b. Droit de Suite :
Kreditur pemegang HT tetap berhak menjual lelang benda tersebut, walaupun
benda itu sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain.

Catatan :
Dua kedudukan istimewa tersebut mengatasi kelemahan perlindungan yang
diberikan secara umum oleh Pasal 1131 KUHPerdata, kepada setiap kreditur.
c. Pasal 21 UUHT :
Apabila pemberi HT dinyatakan pailit, kreditur pemegang HT tetap berwenang
melakukan segala hal yang didapatnya menurut UUHT  ini berarti objek HT tidak
termasuk dalam boedel pailit, sebelum kreditur mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan benda yang bersangkutan.

 Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi :


Pasal 2 ayat (1) – sifat HT tidak dapat dibagi-bagi, jika dibebankan atas lebih dari satu
objek  HT tersebut membebani objek-objek tsb masing-masing secara utuh dan jika
kreditnya dilunasi secara angsuran, HT tersebut tetap membebani setiap objek sisa
utang yang belum dilunasi.

 Kemudahan dan Kepastian dalam eksekusi HT :


Apabila debitur cidera janji, maka tidak perlu ditempuh acara gugatan perdata biasa
yang memakan waktu biaya  disediakan acara khusus, yang diatur dalam Pasal 20
yaitu menggunakan haknya menjual objek HT melalui pelelangan umum berdasarkan
Pasal 6 – Parate Executie – Pasal 224 RIB dan Pasal 158 RRBgw, dan dalam hal
tertentu dapat dilakukan penjualan di bawah tangan.

 Kepastian tanggal kelahiran HT ; diatur dalam Pasal 13 :


a. UUHT menetapkan dalam Pasal 13 ayat (4) bahwa tanggal pembuatan buku
tanah  tepatnya tanggal tersebut adalah tanggal hari ke tujuh setelah
penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan
jika hari ke tujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi
tanggal hari kerja berikutnya.

a. Dalam waktu 7 hari setelah dibuatkan buku tanah, oleh KKP diterbitkan sertipikat
HT sebagai surat tanda bukti adanya HT tersebut
c. Kepastian tentang tanggal kelahiran HT penting untuk menentukan peringkat HT,
jika ada kreditur lain pemegang HT.

 Perlindungan bagi Debitur, Pemberi HT dan Pihak Ketiga :


a. Pemberian dengan akta otentik :
Ditetapkan persyaratan bagi sahnya pembebanan HT atas benda-benda yang
dijadikan jaminan yaitu :
1. Pemberian HT wajib dilakukan dengan akta otentik yaitu Akta Pemberian HT
(APHT) yang dibuat oleh PPAT – Pasal 10.
2. Harus dipenuhi syarat spesialitas : dalam APHT selain nama, identitas dan
domisili kreditur dan pemberi HT, wajib disebutkan secara jelas piutang yang mana
yang dijamin jumlahnya atau nilai tanggungannya dan uraian mengenai benda
benda yang ditunjuk menjadi objek HT- Pasal 11.
3. Wajib dipenuhi syarat publisitas :
Pemberian HT wajib didaftarkan pada kantor pertanahan dengan dibuatkan Buku
Tanah HT  catatan itu disalin pada sertipikatnya. Tanggal buku tanah HT adalah
tanggal lahirnya HT tersebut – Pasal 13.
4. Janji yang dilarang :
Dilarang pemberian HT disertai janji bahwa jika debitur cidera janji, kreditur
berwenang untuk memiliki objek HT – janji demikian adalah batal demi hukum –
Pasal 12.

b. Perlindungan yang seimbang bagi debitur, pemberi HT bahkan juga bagi pihak
ketiga (khususnya para kreditur lain dan pihak yg membeli objek HT).

 Piutang yang dijamin :


a. Sifat accessoir pada piutang tertentu :
HT diberikan untuk menjamin pelunasan piutang kreditur. Jadi tanpa adanya suatu
piutang tertentu yang secara tegas dijamin pelunasannya, menurut hukum tidak
akan ada HT – Pasal 3.

b. Piutang yang sudah ada dan yang diperjanjikan :


Piutang yang dijamin itu dapat berupa utang yang sudah ada pada waktu
dibebankan HT, tetapi dapat juga utang yang sudah diperjanjikan, misalnya utang
yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan
debitur dalam rangka pelaksanaan bank garansi.

c. Jumlah piutang :
1. Kepastian jumlah piutang :
Dapat disebutkan secara pasti jumlahnya di dalam APHT, tetapi dapat juga
jumlahnya baru diketahui kemudian yaitu setelah diadakan perhitungan berdasar-
kan ketentuan dlm akta perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau
berdasarkan perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang.

2. Nilai Tanggungan :
Pada hakikatnya nilai tanggungan merupakan kesepakatan sampai sejumlah
berapa batas piutang yang dijamin dengan HT tersebut.

d. Pembaharuan dan Perubahan Perjanjian :


Pembaharuan atau perubahan perjanjian yang merupakan sumber piutang yang
dijamin akan mempengaruhi kelangsungan HT yang sudah dibebankan  artinya :
HT yang sudah dibebankan menjadi hapus dan harus dilakukan pembebanan HT
baru yang memerlukan biaya dan waktu. Untuk mencegah hal itu dalam APHT
sebaiknya dicantumkan rumusan penunjukan perjanjian yang merupakan dasar
pembebanan HT yang bersangkutan.
e. Sumber utang :
Utang yang dijamin dapat berasal dari 1 hubungan hukum, dapat juga dari
beberapa hubungan hukum.
Penjelasan Pasal 3 ayat (2) :
Seringkali terjadi debitur berutang kepada lebih dari 1 kreditur, yang masing-
masing didasarkan pada perjanjian utang-piutang yang berlainan. Piutang para
kreditur tersebut dijamin dengan 1 HT, yang dibebankan atas tanah yang sama 
Hubungan antar para kreditur tersebut diatur oleh mereka sendiri, sedangkan
hubungan antara para kreditur dgn debitur/pemberi Hak Tanggungan  pada
umumnya para kreditur itu menunjuk salah satu kreditur yang akan bertindak atas
nama mereka.

 Objek Hak Tanggungan :


a. Hak Milik, HGU dan HGB.
b. Hak Pakai atas tanah negara, yang menurut ketentuan wajib didaftar dan menurut
sifatnya dapat dipindahtangankan. Dengan ditunjuknya Hak Pakai menjadi objek
HT, maka lembaga fidusia tidak diperlukan lagi sebagai lembaga hak jaminannya.
c. Bangunan rumah susun dan HMSRS yang berdiri di atas tanah Hak Milik, HGB
atau Hak Pakai yg diberikan oleh negara.

Catatan :
Selain itu dimungkinkan juga hak atas tanah dibebani HT berikut bangunan,
tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
bersangkutan. Bangunan, tanaman dan hasil karya itu tidak terbatas pada yg
sudah ada pada waktu dibebankan HT, tetapi dapat juga untuk yang baru akan
ada.
Bangunan yang menggunakan ruang bawah tanah yang secara fisik tidak ada
hubungannya dengan bangunan yang ada di atasnya, tidak termasuk lingkup
pengaturan UUHT  Hak Guna Ruang Bawah Tanah.

d. Peringkat Hak Tanggungan :


 Satu objek dapat dibebani lebih dari 1 HT, yang masing-masing menjamin
pelunasan piutang tertentu.
 Tiap HT diberi peringkat yang berbeda, yang ditetapkan menurut tanggal
pembuatan buku tanah HT-nya atau tanggal pembuatan atau pemberian
nomor akta pemberiannya.
 Dalam hal lebih dari 1 HT atas satu objek HT diberikan pada tanggal yang
sama, peringkat HT ditentukan oleh nomor urut akta-akta pemberiannya.
 Peringkat HT menentukan urutan pengambilan pelunasan masing-masing piutang
yang dijamin.

e. Sebaliknya satu HT dapat dibebankan atas lebih dari satu objek. Jika kredit itu
dilunasi secara angsuran, HT yang bersangkutan tetap membebani seluruh objek
untuk sisa utang yang belum dilunasi  sifat HT tidak dapat dibagi-bagi  Untuk
mengatasi kesulitan ini dibuka kesempatan untuk menyimpanginya dengan
memperjanjikan di dalam APHT bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat
dilakukan dgn cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing
objek yang merupakan bagian objek HT  Penghapusan atau Roya HT sebagian-
sebagian  Roya Partial.

 Pemberi, Penerima/Pemegang Hak Tanggungan :


a. Pemberi Hak Tanggungan – Pasal 8 :
 Dapat orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap benda yang dijadikan objek HT.
 Kewenangan pemberi HT harus ada dan terbukti benar pada saat pendaftaran HT
dilakukan yaitu pada tanggal dibuatnya buku tanah HT
Namun kewenangan itu sebenarnya harus sudah ada pada waktu diberikan HT
dengan dibuatnya APHT oleh PPAT.

b. Penerima/Pemegang Hak Tanggungan :


Dapat perseorangan WNI/WNA, dapat juga badan hukum Indonesia/Asing yang
berkedudukan di Indonesia atau di luar negeri sepanjang kredit yang bersangkutan
dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah RI – Pasal 9 dan
Penjelasan Pasal 10 ayat (1).

 Pembebanan Hak Tanggungan :


Suatu proses yang terdiri dari 2 tahap yaitu :
1. Tahap Pemberiannya, dilakukan di hadapan PPAT.
 Tahap ini didahului dengan janji akan memberikan HT sebagai jaminan pelunasan
perjanjian utang-piutang.
 Pemberian HT dilakukan di kantor PPAT dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT).

2. Tahap Pendaftarannya, dilaksanakan oleh KKP.


 Dengan diberikannya HT di hadapan PPAT baru terpenuhi syarat spesialitas,
namun HT-nya belum lahir dan kreditur belum memperoleh kedudukan istimewa 
Untuk lahirnya HT tersebut, harus dipenuhi syarat publisitas yaitu Pendaftaran oleh
KKP, diatur dalam Pasal 13 Peraturan Men Agr/Kep BPN No.5/1996 serta Surat
Men.Neg Agr/Kep BPN tanggal 26 Juni 1996 Nomor 630.1-1826.

 Apabila objek HT berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak yang lama,
yang pendaftarannya belum dilakukan, maka pemberian HT dilakukan bersamaan
dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan  Jadi
pemberian HT dan pembuatan APHT-nya dapat dilakukan dalam keadaan tanah
yang dijadikan objek HT belum bersertipikat. Ketentuan tersebut berlaku
juga terhadap tanah yang sudah terdaftar tetapi belum atas nama pemberi HT.

 Dalam rangka memenuhi syarat spesialitas, menurut Pasal 11 (1) di dalam APHT
wajib dicantumkan (jika tidak dicantumkan secara lengkap, maka APHT yang
bersangkutan menjadi batal demi hukum)  (1) nama dan identitas pemberi
serta penerima HT, (2) domisili para pihak; (3) penunjukan dengan jelas utang atau
utang-utang yang dijamin yg meliputi nama dan identitas debitur jika pemberi HT
bukan debitur, (4) nilai tanggungan yang dijamin; (5) uraian yang jelas tentang
objek Hak Tanggungan.

 Proses Pendaftaran Hak Tanggungan :


1. Pembukuan di dalam Buku Tanah HT oleh KKP yang didasarkan data dalam APHT.
2. Mencatat tanggal pembuatan buku tanah, untuk menentukan tanggal lahirnya HT
– Pasal 13 (4).
3. Pencatatan dalam buku tanah dan sertipikat objek HT.

 Janji-janji dalam APHT :


a. Janji-janji Fakultatif, Pasal 11 ayat (2) :
Artinya dalam APHT janji-janji yang sifatnya fakultatif ini boleh dikurangi atau
ditambah, asal tidak bertentangan dengan ketentuan UUHT, tetapi walaupun
demikian janji-janji tersebut mempunyai sifat mengikat bagi pihak ketiga.
b. Janji yang wajib dihubungkan dengan Pasal 6 UUHT dan Pasal 1178 ayat (2)
KUHPerdata :
 Dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e disebutkan : “Pemegang HT yang pertama
mempunyai hak utk menjual atas kuasa sendiri objek HT apabila debitur
cidera janji.”
Janji ini tidak berdiri sendiri, tetapi melengkapi dan harus dihubungkan serta
merupakan satu kesatuan dengan ketentuan Pasal 6  muncul kewenangan yang
didasarkan pada Hak yang diberikan oleh UU kepada pemegang HT pertama Hal
ini berbeda dengan janji dalam Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata – yang
menjanjikan hal serupa kepada pemegang hipotik pertama.
 Pelaksanaan kewenangan pemegang hipotik pertama didasarkan pada janji yang
disebutkan dalam Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata, hanya dapat dilakukan melalui
pelelangan umum oleh kantor lelang negara (KLN) berdasarkan Pasal 224 RIB,
serta atas perintah & di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri.
 Pelaksanaan kewenangan pemegang HT pertama yang bersumber dari hak yang
diberikan oleh UUHT, langsung dilakukan melalui pelelangan umum oleh KLN,
tanpa memerlukan ijin lebih dulu dari Ketua Pengadilan Negeri.
c. Janji yang dilarang, Pasal 12 : “Dilarang diperjanjikan pemberian kewenangan
kepada kreditur memiliki objek HT, apabila debitur cidera janji.” Namun tidak
dilarang bagi kreditur untuk membeli objek HT dlm pelelangan umum yg diadakan.

 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)


 Pemberian kuasa wajib dilakukan di hadapan notaris/PPAT, dengan suatu akta
otentik  Surat Kuasa Membebankan HT (SKMHT).
 Bentuk dan isi SKMHT ditetapkan dalam Perat.Men.Agr/Kep.BPN No.3 Tahun 1996
 Pembuatan APHT oleh PPAT atas dasar kuasa yang bukan SKMHT in-original,
merupakan cacat hukum dalam proses pembebanan HT walau pun telah dilakukan
pendaftaran HT-nya.
 Akibatnya : kreditur/pihak lain yang dirugikan dapat menuntut ganti kerugian kepada
PPAT yang bersangkutan, tetapi tidak dapat menuntut kepada KKP, sebab para
KKP tidak berwenang bahkan dilarang meninjau keabsahan SKMHT; apalagi
SKMHT tersebut tidak disampaikan kepada KKP (sebagai salah satu dokumen atau
warkah utk pendaftaran HT).
 Pemberian kuasa harus dilakukan sendiri oleh pemberi HT dan untuk sah-nya
SKMHT ada larangan/persyaratan yang disebutkan dalam Pasal 15 (1), yaitu :
1. Dalam SKMHT dilarang memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain
daripada membebankan HT.
2. Dilarang memuat kuasa substitusi.
3. Wajib mencantumkan secara jelas objek HT, jumlah utang, nama dan identitas
kreditur dan debitur apabila debitur bukan pemberi HT.
 Apabila persyaratan ini tdk dipenuhi, maka SKMHT itu menjadi batal demi hukum.

 Perlindungan Bagi Kreditur Pemegang Kuasa.


 Kuasa untuk memberikan HT tidak dapat ditarik kembali dan tidak dapat berakhir
oleh sebab apa pun juga.
 Kuasa tersebut berakhir setelah dilaksanakan atau telah habis jangka waktunya.
 Batas waktu penggunaan SKMHT :
 Dalam Pasal 15 (3) dan (4) ditentukan :
a. Apabila objek HT adalah hak atas tanah yang sudah terdaftar, dalam waktu
selambat-lambatnya 1 bulan sesudah diberikan, wajib diikuti dengan pembuatan
APHT.
b. Apabila objek HT tersebut adalah hak atas tanah yang belum terdaftar, jangka
waktu penggunaannya dibatasi 3 bulan. Batas waktu 3 bulan ini juga berlaku jika
hak atas tanah tsb sudah bersertifikat, tetapi blm tercatat atas nama pemberi HT.

 Sertipikat Hak tanggungan :


 Sertipikat sebagai tanda bukti adanya HT diterbitkan oleh KKP dalam waktu 7 hari
kerja setelah dibuat buku tanah.
 Sertipikat HT terdiri atas salinan buku tanah HT & salinan APHT, yang keduanya
dijilid menjadi satu dalam satu sampul dokumen.
 Pada sampul sertipikat dibubuhi irah-irah “Demi Keadilan Berdasar-kan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
 Sertipikat ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dgn putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap & berlaku sebagai pengganti grosse
akte hipotik dalam pelaksanaan parate executie.

 Beralihnya Hak Tanggungan :


 Beralih karena hukum mengikuti peralihan piutangnya yg dpt terjadi karena cessie,
subrogasi, pewarisan dan sebab-sebab lain, Pasal 16.
 Peralihan HT ini terjadi karena hukum, sehingga cukup dibuktikan dgn akta
mengenai perbuatan hkm yg mengakibatkan beralihnya piutang yg dijamin kepada
kreditur baru.
 Peralihan HT wajib didaftarkan, walaupun terjadinya karena hukum. Hal ini utk
memenuhi syarat publisitas.
 Bagi pihak ketiga yg berkepentingan beralihnya HT baru mempunyai akibat hkm
sejak tanggal dibubuhkannya catatan oleh KKP pada buku tanah HT yang
bersangkutan dan pada buku tanah objek yg dibebani Hak Tanggungan.
 Hapusnya Hak Tanggungan :
 Dalam Pasal 18 disebutkan hapusnya HT karena :
1. Hapusnya piutang yang dijamin.
2. Dilepaskannya HT oleh kreditur pemegang HT.
3. Pembersihan HT berdasarkan penetapan Ketua PN atas permohonan pembeli
objek HT, apabila hasil penjualan objek HT tidak cukup untuk melunasi semua
utang debitur.
4. Hapusnya hak atas tanah yang dijadikan jaminan.
Namun hal tersebut tidak menyebabkan hapusnya piutang yang dijamin. (berbeda
kondisinya jika hak atas tanah yg dijadikan jaminan diperpanjang jangka waktunya
atau hak atas tanah yg bersangkutan diperbaharui).
 Pembersihan Hak Tanggungan :
 Dalam Pasal 19 diatur tentang Pembersihan HT yaitu : pembeli HT baik dalam
pelelangan umum maupun dalam jual beli sukarela dapat meminta kepada
pemegang HT, agar benda yg dibelinya dibersihkan dari segala beban HT yg
melebihi harga pembelian.

 Roya Hak Tanggungan :


 Tata cara roya HT, Pasal 22 : Pencatatan hapusnya HT dilakukan oleh KKP dgn
mencoret catatan adanya HT yg bersangkutan pada buku tanah dan sertipikat objek
HT, dlm 7 hari terhitung sejak diterimanya permohonan roya. Pencoret-an tersebut
dilakukan utk tertib administrasi.

 Eksekusi Hak tanggungan :


 Pengertian eksekusi Hak Tanggungan – Pasal 20
 Dasar eksekusi adalah :
1. Hak pemegang HT yang pertama untuk menjual objek HT.
2. Titel eksekutorial yang terdapat pada sertipikat HT.

 Pelaksanaan eksekusi Hak tanggungan :


1. Eksekusi yg mudah dan pasti pelaksanaannya.
2. Parate executie – peraturan tentang eksekusi hipotik yg ada pada waktu berlaku-
nya UUHT, berlaku terhadap eksekusi HT – Pasal 224 RIB dan Pasal 258 RR Bgw.
3. Penjualan di bawah tangan : Dalam keadaan tertentu, jika melalui pelelangan
umum diperkirakan tdk akan menghasilkan harga tinggi, atas kesepakatan pemberi
dan pemegang HT, dimungkinkan eksekusi dilakukan dgn cara penjualan di bawah
tangan. Penjualan di bawah tangan ini dimungkinkan juga dalam hal sudah diada-
kan pelelangan umum, tetapi tdk didapat penawaran yg mencapai harga minimum
yang ditetapkan.
 Sanksi-Sanksi Administratif :
 Dalam Pasal 23 ditetapkan sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada
pelaksana, atas pelanggaran/kelalaian dalam memenuhi berbagai ketentuan
pelaksanaan tugas masing-masing.
 Sanksi administratif tersebut berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian
sementara dari jabatan, pemberhentian dari jabatan.
 Selain itu, pelaksana dapat juga digugat secara perdata atau dituntut pidana.
Hukum Agraria
RUMAH SUSUN
Maria Emelia Retno. K
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

1. Pengertian.
a. Rumah Susun
b. Satuan Rumah Susun.
c. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

2. Pembangunan Rumah Susun


a. Tujuannya
b. Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun.
c. Tanah untuk Pembangunan Rumah Susun.
d. Persyaratan Pembangunan Rumah Susun.
e. Kewajiban Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun.
f. Hak dan Kemudahan Bagi Penyelenggara Rumah Susun.
3. Penjualan Satuan Rumah Susun
a. Pembeli atau Pemegang Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
b. Tata Cara Penjualan Satuan Rumah Susun.
c. Hak dan Kewajiban Pemilik Satuan Rumah Susun.

4. Masalah Hukum dan Pengaturannya.

Pengertian

 Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional,
baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang
masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat
hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama.
 Istilah yang berkembang di masyarakat : Apartemen, Condominium, Strata Title 
Pertanyaannya : mana yang benar?
Jawabannya :
 Apartemen berasal dari istilah dalam wet/undang-undang Belanda – Apartement.
 Condominium berasal dari pengertian di negara Anglo Amerika atau Common Law
 Co artinya bersama-sama, dominium artinya pemilikkan atau ownership.
 StrataTitle  stratum artinya bertingkat, title artinya hak.
 Satuan Rumah Susun (Sarusun) adalah unit rumah susun yang tujuan utamanya
digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan mem-
punyai sarana penghubung ke jalan umum.
 Menurut UU No.20 Tahun 2011, ada tiga konsep dasar berkaitan dengan rumah
susun, yaitu :
 Tanah Bersama adalah sebidang tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan yang
digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri
rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin mendirikan bangunan
 Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah
untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah
susun, contoh : lift atau tangga, lorong.
 Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun
melainkan bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian
bersama, contoh : lapangan parkir, tempat olahraga.

 Jenis rumah susun menurut tujuan penggunaannya:


1. Rumah susun umum adalah : rumah susun yang diselenggarakan utk memenuhi
kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
2. Rumah susun khusus adalah : rumah susun yang diselenggarakan utk memenuhi
kebutuhan khusus.
3. Rumah susun negara adalah : rumah susun yang dimiliki negara dan berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian sarana pembinaan keluarga, serta penunjang
pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.
4. Rumah susun komersial adalah: rumah susun yang diselenggarakan untuk
mendapatkan keuntungan.

 Kepemilikkan satuan rumah susun ditunjukkan dengan sertifikat  ada dua


macam sertifikat, yaitu :
1. Sertifikat hak milik sarusun (SHM sarusun) adalah tanda bukti kepemilikkan atas
sarusun di atas tanah Hak Milik, HGB atau Hak Pakai di atas tanah negara, serta
HGB atau Hak Pakai di atas tanah hak pengelolaan.
2. Sertifikat kepemilikan bangunan gedung sarusun (SKBG sarusun) adalah tanda
bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah
atau tanah wakaf dengan cara sewa.

Pembangunan Rumah Susun


 Tujuan Pembangunan Rumah Susun :
a. Menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau dengan
lingkungan yang sehat, aman, harmonis.
b. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta
menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan.
c. Mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan pemukiman kumuh.
d. Mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yg serasi, seimbang, efisien, dan
produktif.
e. Memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni dan
masyarakat, dgn tetap mengutamakan tujuan pemenuhan kebutuhan perumahan &
pemukiman yang layak, terutama bagi MBR.
f. Memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pembangunan rumah
susun.
g. Menjamin sepenuhnya kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau,terutama
bagi MBR.
h. Memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan, dan
kepemilikan rumah susun.

 Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun :


a. Pembangunan rumah susun umum, rumah susun khusus dan rumah susun negara
merupakan tanggungjawab pemerintah.
b. Pembangunan rumah susun umum dan rumah susun khusus dapat juga dilaksana-
kan oleh lembaga nirlaba dan badan usaha.
c. Pembangunan rumah susun komersial dapat dilaksanakan oleh setiap orang.
d. Pembangunan rumah susun dapat dilakukan melalui penanaman modal asing
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

 Tanah untuk Pembangunan Rumah Susun :


 Rumah susun dapat dibangun di atas tanah :
a. Hak milik.
b. HGB atau Hak Pakai atas tanah negara.
c. HGB atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan.

 Selain itu, rumah susun umum dan/atau rumah susun khusus dpt dibangun dengan :
a. Pemanfaatan barang milik negara atau daerah berupa tanah yg dilakukan dengan
cara sewa atau kerja sama pemanfaatan.
b. Pendayagunaan tanah wakaf yang dilakukan dengan cara sewa atau kerja sama
pemanfaatan sesuai dengan ikrar wakaf.
 Penyediaan tanah untuk pembangunan rumah susun dapat dilakukan melalui :
a. Pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang langsung dikuasai negara.
b. Konsolidasi tanah oleh pemilik.
c. Peralihan atau pelepasan hak atas tanah oleh pemegang hak atas tanah.
d. Pemanfaatan barang milik negara atau barang milik daerah berupa tanah.
e. Pendayagunaan tanah wakaf.
f. Pendayagunaan sebagian tanah negara bekas tanah terlantar.
g. Pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.

 Persyaratan Pembangunan Rumah Susun meliputi :


a. Persyaratan administratif meliputi status hak atas tanah dan IMB. Dalam hal
rumah susun dibangun di atas tanah sewa, pelaku pembangunan harus
melampirkan perjanjian tertulis pemanfaatan dan pendayagunaan tanah.
b. Persyaratan teknis terdiri dari :
1. Tata bangunan yang meliputi persyaratan peruntukan lokasi serta intensitas dan
arsitektur bangunan.
2. Keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan,
kenyamanan dan kemudahan.
c. Persyaratan ekologis mencakup keserasian dan keseimbangan fungsi lingkungan.

 Kewajiban Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun.


a. Pelaku pembangunan rumah susun komersial wajib menyediakan rumah susun
umum sekurang-kurangnya 20% dari total luas lantai rumah susun komersial yang
dibangun  dapat dilakukan di luar lokasi kawasan rumah susun komersial itu.
b. Dalam membangun rumah susun, pelaku pembangunan wajib memisahkan rumah
susun atas sarusun, bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama  Hal
ini untuk memberikan kejelasan atas :
1. Batas sarusun yang dapat digunakan secara terpisah untuk setiap pemilik.
2. Batas dan uraian atas bagian bersama dan benda bersama yang menjadi hak
setiap sarusun.
3. Batas dan uraian tanah bersama dan besarnya bagian yang menjadi hak setiap
sarusun.

c. Pemisahan rumah susun seperti kewajiban butir (b) dibuat sebelum pelaksanaan
pembangunan rumah susun dan wajib dituangkan dalam bentuk gambar dan uraian
 ini menjadi dasar untuk menetapkan NPP, SHM sarusun atau SKBG sarusun
dan perjanjian pengikatan jual beli.

d. Pelaku pembangunan rumah susun wajib mengajukan permohonan sertifikat laik


fungsi kepada bupati/walikota setelah menyelesaikan seluruh atau sebagian
pembangunan sepanjang tidak bertentangan dengan IMB.
e. Pelaku pembangunan wajib melengkapi lingkungan rumah susun dengan prasarana,
sarana, dan utilitas umum.

 Hak dan Kemudahan Bagi Penyelenggara Rumah Susun.


Pelaku pembangunan rumah susun dapat melakukan pemasaran sebelum
pembangunan rumah susun dilaksanakan.

Penjualan Satuan Rumah Susun

 Pemasaran/Penjualan sarusun dapat dilakukan, baik sebelum sarusun itu dibangun


atau sarusun itu belum selesai dibangun, atau setelah sarusun selesai dibangun.
 Dalam hal pemasaran dilakukan sebelum pembangunan rumah susun, segala
sesuatu yang dijanjikan oleh pelaku pembangunan dan/atau agen pemasaran
mengikat sebagai perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) bagi para pihak.
 Proses jual-beli sarusun sebelum pembangunan rumah susun selesai dapat
dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris  PPJB itu dilakukan
setelah memenuhi persyaratan kepastian atas :
a. Status kepemilikan tanah.
b. Kepemilikan IMB.
c. Ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas umum.
d. Keterbangunan paling sedikit 20%.
e. Hal yang diperjanjikan.

 Proses jual-beli yang dilakukan sesudah pembangunan rumah susun selesai,


dilakukan melalui akta jual beli (AJB).

 Pembangunan rumah susun dinyatakan selesai apabila telah diterbitkan :


a. Sertifikat Laik Fungsi.
b. SHM sarusun atau SKBG sarusun.
Penguasaan Sarusun pada :
a. Rusun Umum, dapat dilakukan dengan cara dimiliki atau disewa.
b. Rusun Khusus, dapat dilakukan dengan cara pinjam pakai atau sewa
c. Rusun Negara, dapat dilakukan dengan cara pinjam pakai, sewa atau sewa beli.
d. Rusun Komersial, dapat dilakukan dengan cara dimiliki atau disewa.

Pemilikan atas sarusun :


a. Hak kepemilikan atas sarusun merupakan HM atas sarusun yang bersifat per-
seorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda
bersama dan tanah bersama.
b. Sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah HM, HGB atau HP di
atas tanah negara, HGB atau HP di atas tanah HPL diterbitkan SHM sarusun.

 SHM sarusun diterbitkan oleh kantor pertanahan kabupaten/kota dan SHM sarusun
tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang terdiri dari :
a. Salinan buku tanah dan surat ukur atas hak atas tanah bersama sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Gambar denah lantai pada tingkat rusun bersangkutan yang menunjukkan sarusun
yang dimiliki.
c. Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama
dan tanah bersama bagi yang bersangkutan.

 SHM sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani dengan Hak
Tanggungan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

 Sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah
berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa, diterbitkan SKBG sarusun.

 SKBG sarusun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang terdiri atas :
a. Salinan buku bangunan gedung.
b. Salinan surat perjanjian sewa atas tanah.
c. Gambar denah lantai pada tingkat rumah susun yang bersangkutan yang me-
nunjukkan sarusun yang dimiliki
d. Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama dan benda bersama
yang bersangkutan.

 SKBG sarusun diterbitkan oleh instansi teknis kabupaten/kota yang bertugas dan
bertanggungjawab di bidang bangunan gedung.

 SKBG sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia dan harus
didaftarkan ke kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum.
 Setiap orang yang menempati, menghuni, atau memiliki sarusun wajib meman-
faatkan sarusun sesuai dengan fungsi untuk :
a. Hunian.
b. Campuran.
 Pengelolaan rumah susun meliputi : operasional, pemeliharaan, dan perawatan
bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama  harus dilaksanakan oleh
pengelola yang berbadan hukum, kecuali rumah susun umum sewa, rumah susun
khusus, dan rumah susun negara.
 Dalam menjalankan pengelolaan, pengelola berhak menerima sejumlah biaya
pengelolaan  dibebankan kepada pemilik dan penghuni secara proporsional.
 Pelaku pembangunan yang membangun rumah susun umum milik dan rumah susun
komersial dlm masa transisi sebelum terbentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni
Sarusun (PPPSRS) wajib mengelola rumah susun  yang dapat bekerja sama
dengan pengelola  besarnya biaya pengelolaan pada masa transisi ini ditanggung
oleh pelaku pembangunan dan pemilik sarusun berdasarkan NPP setiap sarusun.
 NPP (Nilai Perbandingan Proporsional) yaitu angka yang menunjukan perbandingan
antara sarusun terhadaphak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama yang dihitung berdasarkan nilai sarusun yang bersangkutan terhadap
jumlah nilai rumah susun secara keseluruhan pada waktu pelaku pembangunan
pertama kali memperhitungkan biaya pembangunanannya secara keseluruhan untuk
menentukan harga jualnya.

 Pemilik sarusun wajib membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Sarusun


(PPPSRS) yang beranggotakan pemilik atau penghuni yang mendapat kuasa dari
pemilik sarusun  PPPSRS diberi kedudukan sebagai badan hukum berdasarkan
UU ini, dan PPPRS tersebut dapat membentuk atau menunjuk pengelola.

 Dilihat dari status penguasaannya sarusun umum ada 2 macam :


1. Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa)
2. Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami).

 Rusunawa : bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan


yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah
horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing
digunakan secara terpisah, status penguasaannya sewa serta dibangun dengan
menggunakan APBN dan/atau APBD, dengan fungsi utamanya sebagai hunian.

 Sasaran penghuni rusunawa adalah WNI yang termasuk dalam kelompok MBR
sesuai peraturan yang berlaku dan melakukan perjanjian sewa sarusun dengan
badan pengelola.

 MBR adalah : keluarga/rumahtangga yang berpenghasilan s.d Rp.2.000.000 per-bln


(PERMENPERA No.08/PERMEN/M/2006), sedangkan menurut Murbaintoro, MBR
adalah masyarakat dgn kategori penghasilan antara Rp.350.000 sampai Rp.1,3 juta
perbulan.
 UU Rusun mengatur bahwa pembangunan apartemen komersial harus tetap
mengedepankan pola hunian berimbang dengan membangun rusun menengah ke
bawah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Kepedulian tersebut tampak dari
adanya kewajiban untuk pelaku pembangunan apartemen komersial untuk
menyediakan rusun umum sedikitnya 20% dari total luas lantai apartemen komersial.
 UU No.20/2011 tentang Rumah Susun ini melengkapi UU lain di bidang perumahan
yakni UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
 Baca :
- PP No.18/2021 Tentang HPL, HAT, SRS dan Pendaftaran Tanah.
- PP No.13/2021 Tentang Penyelenggaraan Rumah Susun.
- Perpres No.9/2021 Tentang Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan.
- PP No.14/2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman.

Anda mungkin juga menyukai