“DARI PENGADILAN LANDREFOM MENUJU PENGADILAN AGRARIA” H. MOHAMAD SHOLEH, S.H., M.H. (Wakil Ketua Pengadilan Negeri Atambua) Hotel Nusa Dua Betun, Kabupaten Malaka, 25 Agustus 2022 SEJARAH PEMBENTUKAN PENGADILAN LANDREFORM (UU NOMOR 21 TAHUN 1964) SEBAGAI PELAKSANAAN AMANAT UU NOMOR 5 TAHUN 1960 (UUPA), KHUSUSNYA PASAL-PASAL 7, 10, 14, 15, 52 AYAT (1) DAN PASAL 53; Pasal 7: PEMBATASAN KEPEMILIKAN TANAH “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.” Pasal 10: KEWAJIBAN MENGERJAKAN & LARANGAN PEMERASAN “Setiap orang/badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.” Pasal 14: MAKSUD DAN TUJUAN “Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya: a. untuk keperluan Negara, b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.” Pasal 15: LARANGAN PENELANTARAN “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.” Pasal 52: ANCAMAN PIDANA “Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-” Pasal 53: HAPUSNYA HAK GADAI, BAGI HASIL, MENUMPANG DAN SEWA “Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak- hak tersebut diusahakan hapusnya didalam waktu yang singkat.” PENJELASAN UMUM UU NOMOR 21 TAHUN 1964 “DI SAMPING ITU DIUSAHAKAN PULA SUPAYA SISTEM-SISTEM TUAN-TUAN TANAH DAN LAIN-LAIN SISTEM PEMERASAN DIAKHIRI, antara lain dengan: a. penghapusan tanah-tanah partikelir; b. peniadaan "grootgrondbezit" yang terang merugikan kepentingan rakyat; c. peniadaan usaha-usaha pertanian yang bersifat monopoli; d. pencegahan adanya akumulasi tanah dalam satu tangan di satu pihak dan lain pihak menjaga agar supaya rakyat tani tidak terjerumus ke arah kemiskinan total/fatal.” PERATURAN PELAKSANAAN LANDREFORM 1. UU Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir; 2.UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; 3.UU Nomor 21 Tahun 1964 Tentang Pengadilan Landreform; 4.UU Nomor 56 PRP. Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; 5.UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. PERATURAN PEMERINTAH: a. PP No. 224 Tahun 1961 jo. PP Nomor 41 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian; b. PP No. 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah secara Guntai/Absentee bagi Para Pensiunan Pagawai Negeri; c. PP No. 18 tahun 1958 Tentang Pelaksanaan Penghapusan Tanah Partikelir; KEPPRES DAN KEPMEN: a. KEPRES No. 131 Tahun 1961, No. 509 Tahun 1961, No. 263 Tahun 1964, No. 55 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Cara Penyelenggaraan Landreform; b. KEPRES No. 54 Tahun 1980 tentang Kebijaksanaan Percetakan Sawah; c. Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1960; d. Keputusan Menteri Agraria No. 978 Tahun 1960 tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian; e. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 1973 tentang Larangan Penguasaan Tanah Pertanian yang Melampaui Batas; f. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 4 Tahun 1964 tentang Penetapan Perimbangan Khusus dalam Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil; PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENGADILAN LANDREFORM Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 6/KM/845/M/A.III/67 tanggal 12 Juni 1967 I. MENGENAI PENGETRAPAN PASAL 7 UU NO. 56 PRP. TAHUN 1960: “Bahwa karena Pasal 7 tersebut menurut penjelasannya tidak hanya berlaku terhadap PENGEMBALIAN TANAH GADAI dalam pelaksanaan UU No. 56 Prp. tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah pertanian saja, melainkan berlaku juga terhadap pengembalian gadai pada umumnya, maka Pasal 7 UU No. 56 tahun 1960, BERLAKU PULA BAGI PERADILAN UMUM.” II. WEWENANG UNTUK MENGADILI PERKARA GADAI TANAH PERTANIAN: 1. Bahwa ketentuan “tentang PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN saja yang menjadi WEWENANG PENGADILAN LANDREFORM, sedangkan perkara gadai tanah lainnya menjadi wewenang Pengadilan Negeri. 2.Untuk mengetahui apakah suatu perkara gadai tanah mempunyai sangkut- paut dengan pelaksanaan Landreform, maka wajiblah disampaikan SURAT KETERANGAN TENTANG ITU dari Panitia Landreform Daerah Tingkat II yang bersangkutan atau KARENA JABATAN HAKIM yang bersangkutan memanggil Ketua Panitia tersebut/wakilnya untuk didengar sebagai saksi. 3.Apabila ternyata, perkara gadai tanah tersebut TIDAK MEMPUNYAI SANGKUT PAUT dengan pelaksanaan Landreform (Penetapan Luas Tanah Pertanian), maka PENGADILAN NEGERILAH YANG BERWENANG memeriksanya. III. LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK ATAU KUASANYA (UU NO. 51 PRP. TAHUN 1960): 1. Bahwa ketentuan Pasal 2 dari Undang-undang tersebut, supaya diartikan secara terbatas ialah pemakaian tanah yang “BERSIFAT LIAR” atau “BERSIFAT PENYEROBOTAN” oleh pihak tergugat. 2.Bahwa sering kali SURAT GUGAT SENDIRI TIDAK JELAS menentukan apakah pemakaian tanah yang terperkara “bersifat liar/penyerobotan” ataukah perkara di ajukan karena perselisihan hak milik atas tanah, misalnya persengketaan bersumber pada sah tidaknya jual beli atas tanah, termasuk sah-tidaknya dalam suatu warisan dan sebagainya. 3.Untuk itu wajiblah disampaikan oleh yang berkepentingan SUATU SURAT KETERANGAN TENTANG ITU dari Kepala Daerah yang bersangkutan. Atau karena jabatannya HAKIM YANG BERSANGKUTAN MEMANGGIL Kepala Daerah tersebut atau wakilnya untuk didengar sebagai saksi. IV. KETENTUAN PERALIHAN: 1. Gugatan yang belum diputus oleh Pengadilan Landreform Daerah dan berdasarkan pedoman ini ternyata BUKAN WEWENANGNYA, bersama dengan biaya perkara dengan suatu surat penetapan tidak berwenang segera dikirimkan kepada Pengadilan Negeri untuk diselesaikan. 2. Sebaliknya gugatan yang belum diputus oleh Pengadilan Negeri dan berdasarkan pedoman ini ternyata BUKAN WEWENANGNYA, dengan biaya perkaranya dengan suatu penetapan tidak berwenang segera dikirimkan kepada Pengadilan Landreform Daerah untuk diselesaikan. IV. KETENTUAN PERALIHAN: 3. Perkara yang termasuk WEWENANG PENGADILAN LANDREFORM, dan sebelum pedoman ini telah DIPUTUS OLEH PENGADILAN NEGERI, maka keputusannya DIANGGAP SAH dengan ketentuan kalau pihak mengajukan BANDING KEPADA PENGADILAN LANDREFORM PUSAT. 4. Perkara yang termasuk WEWENANG PENGADILAN NEGERI dan sebelum pedoman ini telah DIPUTUS PENGADILAN LANDREFORM, maka keputusannya DIANGGAP SAH, dengan ketentuan kalau pihak mengajukan BANDING KEPADA PENGADILAN TINGGI. 5. Perkara yang telah diputus Pengadilan Negeri dan dalam tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi dinyatakan BUKAN JADI WEWENANGNYA, kini terdaftar di Pengadilan Landreform Pusat dan belum diputus tetap harus DISELESAIKAN PENGADILAN LANDREFORM PUSAT. Sebaliknya perkara yang termasuk wewenang peradilan umum, bersama-sama dengan biaya perkaranya dengan ketetapan tidak berwenang, segera DIKIRIMKAN KEPADA PENGADILAN TINGGI untuk diselesaikan selanjutnya. 6. Perkara yang telah diputus Pengadilan Negeri dan pada waktu pedoman ini berlaku karena dalam tingkat banding kini terdaftar pada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan tetap harus DISELESAIKAN PENGADILAN TINGGI. Sebaliknya perkara yang termasuk wewenang Pengadilan Landreform, bersama-sama dengan biaya perkaranya dengan suatu ketetapan tidak berwenang, segera dikirimkan KEPADA PENGADILAN LANDREFORM PUSAT untuk diselesaikan selanjutnya. PENGHAPUSAN PENGADILAN LANDREFORM (UU NOMOR 7 TAHUN 1970) a. bahwa susunan Pengadilan Landreform berporoskan nasakom adalah bertentangan dengan Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan No.XXXVIII/MPRS/ 1968; b. bahwa penyelenggaraan peradilan perkara-perkara oleh Pengadilan Landreform mengalami kesulitan dan kemacetan; c. bahwa peradilan perkara perdata dan pidana, termasuk perkara Landreform adalah wewenang dari Pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum; KETENTUAN PENCABUTAN: 1. Pengadilan Landreform berdasarkan UU No. 21/1964 DIHAPUSKAN dengan UU ini; 2. Perkara yang termasuk wewenang Pengadilan Landreform DIPERIKSA DAN DIPUTUS oleh Pengadilan dalam lingkungan PERADILAN UMUM; 3. Perkara-perkara Landreform yang pada saat berlakunya Undang-undang ini: a. Sedang diperiksa Pengadilan Landreform Daerah, diselesaikan oleh PENGADILAN NEGERI YANG BERSANGKUTAN; b. Sedang diperiksa Pengadilan Landreform Pusat, diselesaikan oleh PENGADILAN TINGGI YANG BERSANGKUTAN. 4. Hal-hal yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sebagai akibat peralihan wewenang yang tercantum dalam pasal-pasal tersebut diatas DIATUR LEBIH LANJUT OLEH MENTERI KEHAKIMAN dan/atau KETUA MAHKAMAH AGUNG. 5. SEGALA PERATURAN perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang undang ini DINYATAKAN TIDAK BERLAKU. MULAI BERLAKUNYA PENGHAPUSAN: 6. Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan, tanggal 31 Juli 1970. KEBIJAKAN REFORMA AGRARIA SETELAH 1970 (UU NOMOR 7 TAHUN 1970) a. Permendagri No 15/1974 Tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Reforma Agraria; b. Perkaban No 3/1991 Tentang Pengaturan Penguasaan Tanah Obyek Landreform Secara Swadaya; c. TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaharuan Agraria Dan Pengelolaan SDA; d. Keppres No. 34/2003 Tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan; e. PP No.11/2010 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar; f. Perpres No. 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan; e. Perpres No. 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria; f. PP No. 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum PENANGANAN SENGKETA DAN KONFLIK AGRARIA (Pasal 17 Perpres No. 86 Tahun 2018) (1) Penanganan Sengketa dan Konflik Agraria dilaksanakan berdasarkan PRINSIP KEPASTIAN HUKUM dan KEADILAN SOSIAL, terhadap para pihak yang melibatkan: a. antara orang perorangan; b. perorangan/kelompok dengan badan hukum; c. perorangan/kelompok dengan lembaga; d. badan hukum dengan badan hukum; e. badan hukum dengan lembaga; dan f. lembaga dengan lembaga. (2) Penanganan Sengketa dan Konflik Agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) DIFASILITASI oleh Gugus Tugas Reforma Agraria secara berjenjang. (3) Ketentuan lebih lanjut Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020 . KEBIJAKAN LANDREFORM MENURUT MK (PUTUSAN NO. 001-021-022/PUU-I/2003 JO. NO. 62/PUU-XIII/2015) “Mengenai penyelenggaraan Landreform di Indonesia berkaitan dengan LARANGAN PEMILIKAN/PENGUASAAN TANAH YANG MELAMPAUI BATAS (Pasal 7 UU No. 5/1960) yang kemudian ditegaskan dalam Pasal 17 Ayat (1) UU No. 5/1960) yang mengamanatkan pengaturan luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak atas tanah oleh satu keluarga atau badan hukum. TIDAK BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945?” PANDANGAN MAHKAMAH “Mahkamah memberikan PERLUASAN MAKNA DIKUASAI OLEH NEGARA BUKAN hanya sebagai hak untuk mengatur, namun lebih dari itu bahwa rakyat memberikan kekuasaan kepada negara untuk melakukan serangkaian tindakan pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang MELIPUTI 5 (LIMA) FUNGSI PENGUASAAN NEGARA, yakni Fungsi KEBIJAKAN (BELEID), Fungsi PENGURUSAN (BESTUURDAAD), Fungsi PENGATURAN (REGELENDAAD), Fungsi PENGELOLAAN (BEHEERDAAD), dan Fungsi PENGAWASAN (TOEZICHTHOUDENSDAAD).” PUTUSAN MAHKAMAH: “Berdasarkan hal tersebut diatas, DALAM KONTEKS PENGATURAN LUAS MAKSIMUM dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak atas tanah oleh satu keluarga atau badan hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 17 Ayat (1) UU No. 5/1960, TIDAK DITEMUKAN ADANYA PERSOALAN KONSTITUSIONALITAS terhadap UUD 1945.” PENGADILAN YANG BERWENANG MENANGANI (UU NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN) “BADAN PERADILAN sebagai sub sistem KEKUASAAN KEHAKIMAN menurut PASAL 24 UUD 1945 diadakan dalam rangka MENEGAKKAN HUKUM DAN KEADILAN terdiri dari 4 (EMPAT) LINGKUNGAN PERADILAN, yaitu Lingkungan PERADILAN UMUM, Lingkungan PERADILAN AGAMA, Lingkungan PERADILAN MILITER, dan Lingkungan PERADILAN TATA USAHA NEGARA di bawah Mahkamah Agung.” PERADILAN TUN (Pasal 47: UU No. 5/1986, 9/2004, 51/2009 ) “Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan SENGKETA TUN, jika seluruh upaya administratif telah digunakan.” PERADILAN AGAMA (Pasal 50 UU No. 7/1989, No. 3/2006): (1) Dalam SENGKETA HAK MILIK/SENGKETA LAIN sebagaimana dalam Pasal 49, KHUSUS mengenai OBJEK SENGKETA tersebut harus DIPUTUS dahulu oleh PENGADILAN dalam LINGKUNGAN PERADILAN UMUM. PERADILAN UMUM (2) Apabila SENGKETA HAK MILIK sebagaimana (Pasal 50: UU No. 2/1986, 8/2004, 49/2009) ayat (1) yang SUBJEK HUKUMNYA antara “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang ORANG-ORANG BERAGAMA ISLAM, objek memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa DIPUTUS PENGADILAN AGAMA PERKARA PIDANA dan PERKARA PERDATA di BERSAMA-SAMA PERKARA sebagaimana tingkat pertama.” dimaksud dalam Pasal 49. UU NOMOR 2 TAHUN 2012 (PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM) PENGADAAN TANAH: kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.” (Pasal 1 Ang.2) KEPENTINGAN UMUM: kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan pemerintah dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.” (Pasal 1 Ang.6) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan melalui PERENCANAAN, MELIBATKAN SEMUA PENGAMPU dan PEMANGKU KEPENTINGAN.” (Pasal 7) PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH: (PP NOMOR 19 TAHUN 2021) Pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum, dilaksanakan oleh KAKANWIL BPN selaku KETUA PELAKSANA PENGADAAN TANAH.” (Pasal 53 Ayat 2) PERPRES NO. 71 TAHUN 2012 DAN NO. 148 TAHUN 2015 (PENYELENGGARAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM) Pasal 121 : (1) Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya TIDAK LEBIH DARI 5 HEKTAR, dapat DILAKUKAN LANGSUNG oleh INSTANSI YANG MEMERLUKAN tanah dengan PIHAK YANG BERHAK. (2) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) HARUS SESUAI DENGAN TATA RUANG WILAYAH. (3) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) TIDAK MEMERLUKAN PENETAPAN LOKASI. (4) Penilaian tanah dalam rangka pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi yang memerlukan tanah MENGGUNAKAN HASIL PENILAIAN JASA PENILAI. PERLUKAH PENGADILAN AGRARIA??? 1. MARNI E. MUSTAFA, “PERLU PENGADILAN AGRARIA”: a. Lamanya proses peradilan umum; b. Biaya perkara yang mahal sehingga asas peradilan cepat, sederhana serta murah kemudian hanya menjadi asas di atas kertas semata; c. Asumsi bahwa putusan pengadilan tidak berpihak kepada rakyat; c. Putusan Pengadilan dianggap belum memenuhi rasa keadilan di masyarakat. 2. IKAHI, “TIDAK PERLU PENGADILAN AGRARIA”: a. Anggota IKAHI, sebagian menyatakan penolakan atas pengadilan pertanahan dengan alasan kesulitan mencari hakim memiliki kompetensi di bidang pertanahan serta faktor teknis PENYELESAIAN SENGEKTA YANG LEBIH DIPANDANG SEBAGAI MASALAH BPN daripada MASALAH DI TINGKAT PENGADILAN. b. Di kalangan akademis, gagasan Pengadilan Agraria juga MENJADI PRO DAN KONTRA terutama bila dipandang dari perspektif pembatasan yurisdiksi mengingat ada titik singgung antara Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Pengadilan TUN dalam kasus pertanahan; 3.PENDAPAT MAHKAMAH AGUNG (SEMA No. 7 Tahun 2012) “Masih tetap diperlukan PENEGASAN BATAS KOMPETENSI penanganan pada kasus-kasus agraria khususnya tanah. KOMPLEKSITAS PERSOALAN tanah biasanya tercermin dari sifat sertifikat tanah, apakah merupakan keputusan deklaratif atau konstitutif. Selain itu penting dikaji konsep PERADILAN KONEKSITAS dalam penanganan sengketa pertanahan mengingat hukum pertanahan di Indonesia begitu kompleks dan plural.” “KONSEPSI PENGADILAN AGRARIA BUKAN BERARTI MENGHIDUPKAN PENGADILAN LANDREFORM (UU NO. 21 TAHUN 1964), TAPI LEBIH FOKUS PADA CORAK SENGKETA DAN MODEL PENANGANANNYA. MANAKALA SENGKETA AGRARIA HANYA DIJADIKAN BAGIAN DARI PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA ATAU HANYA SEKEDAR MENJADI PERSOALAN PERDATA, MAKNA TANAH SEBAGAI SUMBER KEHIDUPAN YANG MEMILIKI DIMENSI SOSIAL- POLITIK-EKONOMI RELIGIUS MENJADI HILANG.” KEBIJAKAN MAHKAMAH AGUNG (REFORMA AGRARIA/PENGADAAN TANAH BAGI KEPENTINGAN UMUM) 1. PERSIDANGAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA MURAH: a. PERMA No. 1 Tahun 2014 tentang Prosedur Bantuan Hukum di Pengadilan; b. SEMA No. 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan; c. PERMA No. 1 Tahun 2019 tetang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (e-Court); c. SEMA No. 3 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Sidang di Luar Gedung Pengadilan; d. PERMA No. 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik (e-Litigasi). 2. PROSEDUR KEBERATAN DAN KONSINYASI: a. PERMA No. 3 Tahun 2016 diubah dengan PERMA No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian Ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum; 3.KESEPAKATAN KAMAR MAHKAMAH AGUNG a. SEMA No. 4 Tahun 2016: “Sengketa hak milik Pasal 50(2) UU No. 3/2006 merupakan KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA sepanjang AKIBAT DARI TRANSAKSI PERTAMA yang dilakukan salah seorang ahli waris dengan pihak lain. Dalam hal AKIBAT DARI TRANSAKSI KEDUA DAN SETERUSNYA, merupakan KEWENANGAN PERADILAN UMUM.” b. SEMA No. 10 Tahun 2020: “HAKIM PERDATA TIDAK BERWENANG MEMBATALKAN SERTIFIKAT, namun hanya berwenang menyatakan SERTIFIKAT TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM, dengan dasar tidak mempunyai alas hak yang sah. PEMBATALAN SERTIFIKAT adalah TINDAKAN ADMINISTRATIF merupakan KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA.” BIODATA NARASUMBER NAMA LENGKAP : H. MOHAMAD SHOLEH, S.H., M.H.; N.I.P. : 197710252001121002; T.T.L. : KUDUS, 25 OKTOBER 1977; GOL/RUANG : PEMBINA TK.I (IV/b); JABATAN : HAKIM MADYA UTAMA/ WAKIL KETUA PN ATAMBUA; RIWAYAT PENDIDIKAN: SEKOLAH DASAR : MI SURYAWIYAH, KUDUS 1989; SLTP : MTS MIFTAHUT THOLIBIN, KUDUS 1992; SLTA : SMA ISLAM AL MA’RUF, KUDUS 1996; SARJANA (S-1) : FH. UNIV. JENDRERAL SOEDIRMAN, PURWOKERTO 2001; MASTER (S-2) : FH. UNIVERSITAS INDONESIA, JAKARTA 2013; RIWAYAT PEKERJAAN: CPNS/PNS : CALON HAKIM PN RANGKASBITUNG, BANTEN (2002 – 2005); HAKIM PRATAMA : HAKIM PN TUAL, MALUKU TENGGARA (2005 – 2008); HAKIM PRATAMA MADYA : HAKIM PN SAUMLAKI, MALUKU TENGG. BARAT (2008 – 2013); HAKIM PRATAMA UTAMA : HAKIM PN SUNGGUMINASA, SULAWESI SELATAN (2013 – 2016); HAKIM MADYA PRATAMA : HAKIM PN KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR (2016 – 2018); HAKIM MADYA MUDA : KETUA PN AIRMADIDI, SULAWESI UTARA (2018 – 2021); HAKIM MADYA UTAMA : HAKIM PN SLEMAN, D. I. YOGYAKARTA (2021 – 2022); HAKIM MADYA UTAMA : WAKIL KETUA PN ATAMBUA, KAB. BELU-MALAKA (2022 …. )