HUKUM AGRARIA
Tentang:
LANDREFORM
Disusun oleh :
Kelompok 4
Dosen Pembimbing :
1441 H/ 2020 M
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang kepada
segenap makhluk-Nya yang pada-Nya kita mengucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-
Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan
makalah ilmiah tentang Lendreform.
Tak lupa pemakalah mengucapkan terimakasih pada dosen pembimbing dalam mata
kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia yakni Ibu Ridha Mulyani, SH. MH karena atas
bimbingan beliau makalah ilmiah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita. Aamiin.
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
UUPA telah memberikan dukungan dalam pembangunan, khususnya yang berhubungan
dengan tanah. Namun, UUPA juga menunjukan kelemahan dalam kelengkapan isi dan
rumusannnya. Kelemahan UUPA tersebut, pada masa orde baru telah dimanfaatkan dengan
memberikan tafsiran yang menyimpang dari azas dan tujuan ketentuan yang bersangkutan.
Pada masa orde baru, orientasi kerakyatan ditinggalkan, orientasi agraria lebih ditekankan
pada pemberian kesempatan investor-investor dan pemodal-pemodal besar untuk dapat
memiliki tanah guna kepentingan pembangunan. Akibatnya adalah berupa warisan konflik
pertanahan yang tampak sekarang ini.
Banyaknya konflik-konflik pertanahan yang seringkali merugikan masyarakat,
mendorong perlunya dilakukan pembaruan agraria di negeri ini. Pembaruan agraria itu
hanya akan berhasil, apabila pembaruan hukum agraria itu mengutamakan petani sebagai
pilar utama pembangunan ekonomi nasional, dengan tidak mengabaikan kepentingan
investor-investor dan pemodal-pemodal besar sebagai salah satu sumber pembiayaan
pembangunan. Hal ini karena sebab sebagaimana dikatakan oleh Samuel Huntington, jika
syarat-syarat penguasaan tanah itu adil, hingga memungkinkan para petani hidup layak,
kecil kemungkinannya akan terjadi suatu revolusi. Untuk mencegah terjadinya peringatan
tersebut, salah satunya adalah dengan program landreform. Landreform dapat dipergunakan
sebagai konsep dasar, baik untuk memenuhi beberapa langkah menuju kearah keadilan
sosial maupun untuk mengatasi rintangan dalam rangka pembangunan ekonomi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian landreform?
2. Apa tujuan landreform?
3. Apa dasar hukum pelaksanaan landreform di Indonesia?
4. Apa saja program-program landreform?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Landreform
Landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa Inggris, yaitu “land” dan “reform”.
“Land” artinya tanah, sedangkan “reform” artinya perubahan dasar atau perombakan atau
atau penataan kembali struktur tanah pertanian. Jadi, landreform adalah perombakan struktur
pertanian lama dan pembangunan struktur pertanian baru.
1. Landreform dalam arti luas, yang dikenal dengan istilah Agraria Reform meliputi lima
program, terdiri dari :
a. Perombakan hukum agraria;
b. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
c. Mengakhiri penghisapan feodal;
d. Perubahan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum yang berkaitan
dengan penguasaan tanah (landreform dalam arti sempit), dan
e. Perencanaan persediaan peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya. Kelima program ini dapat diartikan sebagai
landreform dalam arti luas.
2. Landreform dalam arti sempit, menyangkut perombakan mengenai pemilikan dan
penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersagkutan dengan
pengusahaan tanah. Selanjutnya ketentuan ini akan digunakan dalam cara yang lebih
terbatas yang mengarah pada program pemerintah menuju pemerataaan kembali
pemilikan tanah.
Menurut Cohen, S.I dikutip oleh Lufti I. Nasoetion, Agraria Reform adalah upaya yang
luas dari pemerintah yang mencakup berbagai kebijakan pembangunan melalui redistribusi
tanah, berupa peningkatan produksi, kredit kelembagaan, pajak pertanahan, kebijakan
penyakapan dan upah, pemindahan dan pembukaan tanah baru. Ladejinski mengatakan
Landreform adalah sebuah program yang berisikan redistribusi drastis atas pemilikan dan
pendapatan melalui pengorbanan kaum tuan tanah, yang meliputi seluruh atau sebagian dari
unsur-unsur; redistribusi tanah kepada masyarakat tak bertanah, jaminan pengaturan
pembiayaan yang layak bagi pembelian tanah penyakapan, jaminan pengusaha dan
penyakapan tanah yang adil, bimbingan teknis, perkreditan yang baik, fasilitas pemasaran,
dan lain-lain.
Hukum agraria nasional menganut pengertian landreform dalam arti luas sebagaimana
pengertian yang digunakan oleh Food and Agricultural Organization (FAO), yaitu program
tindakan yang saling berhubungan dan bertujuan untuk menghilangkan penghalang di
bidang ekonomi dan sosial yang timbul dari kekurangan yang terdapat dalam struktur
pertahanan.
B. Tujuan Landreform
Landreform adalah upaya perombakan secara mendasar terhadap struktur penguasaan dan
kepemilikan tanah di Indonesia. Oleh karena itu, Secara garis besar tujuan utama program
Landrefrom adalah sebagai berikut
1. Pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat
2. Pelaksanaan prinsip tanah untuk petani
3. Memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia
4. Mengakhiri sistem tuan rumah dan pemilikan tanah secara besaran
5. Mempertinggi produksi nasional dan mendorong pertanian secara intensif, gotong
royong dan koperasi.
1. Secara umum bertujuan untuk mempertinggi taraf hidup dan penghasilan petani
penggarap, sebagai landasan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila
2. Secara khusus terdapat 3 aspek :
a. Tujuan sosial ekonomi
1) Mempertinggi keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik
serta memberi isi dan fungsi sosial pada hak milik
2) Mempertinggi produksi nasional khususnya sector pertanian guna
mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.
b. Tujuan sosial politik
1) Mengakhiri sistem tuan rumah dan menghapuskan pemilikan tanah yang luas
2) Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat
tani berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula.
c. Tujuan mental psikologis
1) Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan
memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah
2) Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya.
(Arba, 2015: 180)
D. Program Landreform
Program landreform sangat ditentukan oleh kondisi dari suatu negara, sebab landreform
merupakan sasaran atau target yang harus diwujudkan oleh pemerintah suatu negara. Oleh
karena itu, suatu negara yang telah beralih dari negara agraris menuju negara industri, berarti
pemerintahnya mampu mewujudkan tujuan lendreform tersebut. Di Indonesia program
landreform meliputi: (Supriadi, 2008:203)
1. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah,
2. Larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai,
3. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang
terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara,
4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan,
5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan
6. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian
menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
Penetapan luas maksimum tanah pertanian memakai dasar keluarga, yaitu sesuai
dengan ketentuan pasal 17 UUPA, biarpun yang berhak atas tanahnya mungkin orang
seorang. Menurut penjelasan pasal 17 UUPA, yang dimaksud dengan keluarga adalah
suami, istri, dan anak – anak yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang
jumlahnya berkisar 7 orang. Berapa luas tanah yang dikuasai oleh anggota – anggota
suatu keluarga jumlah itulah yang menentukan maksimum luas tanah bagi keluarga
tersebut.
Dalam pasal 1 ayat ( 2 ) undang – undang NO.56 Prp tahun 1960 ditetapkan bahwa
luas maksimum kepemilikan dan penguasaan tanah yang diperbolehkan adalah sebagai
berikut:
Khusus untuk pemilikan dan penguasaan tanah pertanian yang melampaui batas
maksimum, tetapi diakibatkan karena adanya warisan tanpa wasiat diperbolehkan,
asalkan dalam jangka waktu satu tahun sejak perolehannya, penerima warisan
tersebut berusaha agar tanah pertanian yang dikuasainya tersebut tidak melebihi
batas maksimum. Selain itu ada juga pengecualian dari ketentuan larangan pemilikan
tanah yang melampaui batas maksimum yang dikuasai hak guna usaha atau hak – hak
lainnya yang bersifat sementara.
Selain tersebut diatas, tanah – tanah yang akan dibagikan oleh negara kepada rakyat
yang membutuhkan adalah tanah – tanah bekas perkebunan besar dan tanah – tanah
partikelir.
4. Pengaturan Soal Pengembalian dan Penebusan Tanah – tanah Pertanian Yang
Digadaikan
Gadai tanah ( hak gadai ) sebagai salah satu hak atas tanah yang bersifat sementara
disebutkan dalam pasal 53 UUPA. Menurut Boedi Harsono Gadai tanah hubungan
hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang
gadai dari padanya . selama uang gadai belum dikembalikan tanah tersebut dikuasai
oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai
atau yang lazim disebut penebusan tergantung pada kemampuan pemilik tanah yang
menggadaikan.(Harsono, 2008:356)
Gadai tanah ( hak gadai ) bagi masyarakat Indonesia khususnya petani bukanlah hal
yang baru. Semula gadai tanah diatur atau tunduk pada hukum adat tentang tanah dan
pada umumnya dibuat tidak tertulis. Kenyataan ini selaras dengan sistem dan cara
berpikir hukum adat yang sifatnya sangat sederhana. Dalam praktik adalah gadai tanah
pada umumnya dilakukan tanpa sepengetahuan kepala desa/kepala adat. Gadai tanah
hanya dilakukan oleh pemilik tanah dan pihak yang memberikan uang gadai dan
dilakukan tidak tertulis. Hak gadai menurut sistem hukum adat ini mengandung unsur
eksploitasi dan pemerasan. Tanah yang digadaikan dikuasai oleh pemegang gadai ,
tanah tidak akan dikembalikan kepada pemilik apabila tidak ditebus. Dengan menguasai
atau menggarap tanah yang digadaikan selama enam sampai tujuh tahun saja, hasil yang
diperoleh pemegang gadai sudah melebihi uang gadai dan bunga gadai.
Kemudian diaturlah aturan dalam pasal 7 ayat (1) Undang – undang No.56 Prp tahun
1960 yakni “ Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada
mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih wajib
mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman
yang ada selesai dipanen dengan tidak ada hak untuk menuntut uang tebusan”. Atas
dasar ketentuan ini gadai tanah yang sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih maka
tanah yang digadaikan harus dikembalikan kepada pemiliknya.
5. Pengaturan Kembali Perjanjian Bagi Hasil Tanah pertanian
Perjanjian bagi hasil sebagai salah satu hak atas tanah yang bersifat sementara
disebutkan dalam pasal 63 UUPA. Perjanjian bagi hasil adalah hak seseorang atau
badan hukum untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah kepunyaan orang
lain dengan perjanjian bahwa hasil akan dibagi antara kedua pihak menurut imbangan
yang telah disetujui sebelumnya.
Perjanjian bagi hasil yang pada mulanya bersifat tolong menolong, namun pada
perkembangannya mengandung sifat pemerasan. Berhubung dengan kenyataan bahwa
pada umumnya tanah yang tersedia tidak banyak sedang calon penggarap sangat besar
maka seringkali terpaksalah menerima syarat – syarat yang sangat merugikan, misalnya
besarnya imbangan yang diterima tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan
untuk mengusahakan tanahnya.
Mengingat kelemahan perjanjian bagi hasil yang diatur menurut hukum adat,
digolongan penggarap tanah yang biasanya berasal dari golongan ekonomi lemah dan
selalu dirugikan. Untuk mengurangi sifat pemerasan, memberikan perlindungan hukum
bagi penggarap, dan dalam rangka pelaksanaan landreform, perjanjian bagi hasil diatur
kembali yaitu dengan menerapkan ketentuan bagi hasil sabagaimana diatur dalam
undang – undang No.2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil. Didalam penjelasan
umum UU No.2 tahun 1960 dijelaskan bahwa tujuan perjanjian bagi hasil tersbut yakni:
a. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik tanah dengan penggarapnya dilakukan
atas dasar yang adil.
b. Dengan menegaskan hak – hak dan kewajiban – kewajiban dari pemilik tanah dan
penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap.
c. Dengan terselenggaranya apa yang disebut pada huruf (a) dan huruf (b) diatas,
maka akan bertambahlah kegembiraan bekerja kepada para petani penggarap hal
mana akan berpengaruh baik pada caranya memelihara kesuburan dan
mengusahakan tanahnya.
6. Penetapan Batas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian, Disertai Larangan Untuk
Melakukan Perbuatan – Perbuatan yang Mengakibatkan Pemecahan Pemilikan
Tanah – tanah Pertanian Manjadi Bagian – bagian yang Terlampau Kecil.
Ketentuan mengenai batas minimum pemilikan tanah pertanian diatur dalam pasal 17
ayat (1) UUPA yaitu “ Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk
mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 dan 3 diatur luas maksimum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh
satu keluarga atau badan hukum”. Selanjutnya dalam pasal 17 ayat (4) UUPA
dinyatakan bahwa “ Tercapainya batas minimum termasuk dalam ayat 1 pasal ini yang
akan ditetapkan dalam peraturan perundang – undangan dilaksanakan secara berangsur
– angsur”. Peraturan perundang – undangan yang melaksanakan ketentuan pasal 17
UUPA adalah Undang – undang No.56 Prp tahun 1960 tentang penetapan luas tanah
pertanian.
Maksud ditetapkannya batas minimum pemilikan tanah pertanian adalah agar petani
yang bersangkutan mendapatkan penghasilan yang cukup atau layak untuk menghidupi
diri sendiri dan keluarganya. Batas minimum pemilikan tanah pertanian oleh petani
sekeluarga menurut pasal 8 UU No.56 Tahun 1960 adalah seluas dua hektar tanpa
mempersoalkan apakah tanah tersebut berupa tanah sawah atau tanah kering.
Berdasarkan ketentuan pasal 8 UU No.56 Prp tahun 1960 pemerintah mengadakan
usaha – usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum
dua hektar. Ditetapkannya luas minimum pemilikan tanah pertanian ini tidak berarti
bahwa orang – orang yang mempunyai tanah prtanian yang kurang dari dua hektar
diwajibkan untuk melepaskan tanahnya, tanah pertanian itu merupakan target yang
harus diusahakan pemerintah bagi petani sekeluarga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Landreform adalah upaya perombakan secara mendasar terhadap struktur penguasaan dan
kepemilikan tanah di Indonesia. Oleh karena itu, Secara garis besar tujuan utama program
Landrefrom adalah sebagai berikut
1. Pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat
2. Pelaksanaan prinsip tanah untuk petani
3. Memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia
4. Mengakhiri sistem tuan rumah dan pemilikan tanah secara besaran
5. Mempertinggi produksi nasional dan mendorong pertanian secara intensif, gotong
royong dan koperasi.
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat pemakalah sajikan dan sampaikan, semoga bermanfaat
bagi para pembaca. Apabila ada penulisan atau kata-kata yang kurang berkenaan mohon
dimaafkan. Kritik dan saran yang membangun senantiasa pemakalah harapkan untuk
kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga bermanfaat dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Waskito, Harnowo Hadi. 2017. Pertanahan, Agraria, dan Tata Ruang. Jakarta: Kencana.