Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUKUM AGRARIA

Tentang:

LANDREFORM

Disusun oleh :

Kelompok 4

Yolla Nurma Sari 1713030158 Namira Maulina Ummati 1713030188

Yeyen Mayda 1713030171 Sulaiman Alhamidi 1713030196

Ustini Hamro 1713030179 Annisa Wasya Hamma 1713030205

Dosen Pembimbing :

Ridha Mulyani, SH. MH

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH (HES-D)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

IMAM BONJOL PADANG

1441 H/ 2020 M
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang kepada
segenap makhluk-Nya yang pada-Nya kita mengucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-
Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan
makalah ilmiah tentang Lendreform.

Tak lupa pemakalah mengucapkan terimakasih pada dosen pembimbing dalam mata
kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia yakni Ibu Ridha Mulyani, SH. MH karena atas
bimbingan beliau makalah ilmiah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita. Aamiin.

Padang, 3 Maret 2020

Pemakalah
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
UUPA telah memberikan dukungan dalam pembangunan, khususnya yang berhubungan
dengan tanah. Namun, UUPA juga menunjukan kelemahan dalam kelengkapan isi dan
rumusannnya. Kelemahan UUPA tersebut, pada masa orde baru telah dimanfaatkan dengan
memberikan tafsiran yang menyimpang dari azas dan tujuan ketentuan yang bersangkutan.
Pada masa orde baru, orientasi kerakyatan ditinggalkan, orientasi agraria lebih ditekankan
pada pemberian kesempatan investor-investor dan pemodal-pemodal besar untuk dapat
memiliki tanah guna kepentingan pembangunan. Akibatnya adalah berupa warisan konflik
pertanahan yang tampak sekarang ini.
Banyaknya konflik-konflik pertanahan yang seringkali merugikan masyarakat,
mendorong perlunya dilakukan pembaruan agraria di negeri ini. Pembaruan agraria itu
hanya akan berhasil, apabila pembaruan hukum agraria itu mengutamakan petani sebagai
pilar utama pembangunan  ekonomi nasional, dengan tidak mengabaikan kepentingan
investor-investor dan pemodal-pemodal besar sebagai salah satu sumber pembiayaan
pembangunan. Hal ini karena sebab sebagaimana dikatakan oleh Samuel Huntington, jika
syarat-syarat penguasaan tanah itu adil, hingga memungkinkan para petani hidup layak,
kecil kemungkinannya akan terjadi suatu revolusi. Untuk mencegah terjadinya peringatan
tersebut, salah satunya adalah dengan program landreform. Landreform dapat dipergunakan
sebagai konsep dasar, baik untuk memenuhi beberapa langkah menuju kearah keadilan
sosial maupun untuk mengatasi rintangan dalam rangka pembangunan ekonomi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian landreform?
2. Apa tujuan landreform?
3. Apa dasar hukum pelaksanaan landreform di Indonesia?
4. Apa saja program-program landreform?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Landreform
Landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa Inggris, yaitu “land” dan “reform”.
“Land” artinya tanah, sedangkan “reform” artinya perubahan dasar atau perombakan atau
atau penataan kembali struktur tanah pertanian. Jadi, landreform adalah perombakan struktur
pertanian lama dan pembangunan struktur pertanian baru.

Boedi Harsono mengatakan Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan


penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan
tanah.

Landreform di Indonesia dibagi dua bagian yaitu :

1. Landreform dalam arti luas, yang dikenal dengan istilah Agraria Reform meliputi lima
program, terdiri dari :
a. Perombakan hukum agraria;
b. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
c. Mengakhiri penghisapan feodal;
d. Perubahan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum yang berkaitan
dengan penguasaan tanah (landreform dalam arti sempit), dan
e. Perencanaan persediaan peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya. Kelima program ini dapat diartikan sebagai
landreform dalam arti luas.
2. Landreform dalam arti sempit, menyangkut perombakan mengenai pemilikan dan
penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersagkutan dengan
pengusahaan tanah. Selanjutnya ketentuan ini akan digunakan dalam cara yang lebih
terbatas yang mengarah pada program pemerintah menuju pemerataaan kembali
pemilikan tanah.
Menurut Cohen, S.I dikutip oleh Lufti I. Nasoetion, Agraria Reform adalah upaya yang
luas dari pemerintah yang mencakup berbagai kebijakan pembangunan melalui redistribusi
tanah, berupa peningkatan produksi, kredit kelembagaan, pajak pertanahan, kebijakan
penyakapan dan upah, pemindahan dan pembukaan tanah baru. Ladejinski mengatakan
Landreform adalah sebuah program yang berisikan redistribusi drastis atas pemilikan dan
pendapatan melalui pengorbanan kaum tuan tanah, yang meliputi seluruh atau sebagian dari
unsur-unsur; redistribusi tanah kepada masyarakat tak bertanah, jaminan pengaturan
pembiayaan yang layak bagi pembelian tanah penyakapan, jaminan pengusaha dan
penyakapan tanah yang adil, bimbingan teknis, perkreditan yang baik, fasilitas pemasaran,
dan lain-lain.
Hukum agraria nasional menganut pengertian landreform dalam arti luas sebagaimana
pengertian yang digunakan oleh Food and Agricultural Organization (FAO), yaitu program
tindakan yang saling berhubungan dan bertujuan untuk menghilangkan penghalang di
bidang ekonomi dan sosial yang timbul dari kekurangan yang terdapat dalam struktur
pertahanan.

B. Tujuan Landreform
Landreform adalah upaya perombakan secara mendasar terhadap struktur penguasaan dan
kepemilikan tanah di Indonesia. Oleh karena itu, Secara garis besar tujuan utama program
Landrefrom adalah sebagai berikut
1. Pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat
2. Pelaksanaan prinsip tanah untuk petani
3. Memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia
4. Mengakhiri sistem tuan rumah dan pemilikan tanah secara besaran
5. Mempertinggi produksi nasional dan mendorong pertanian secara intensif, gotong
royong dan koperasi.

Dengan demikian tujuan diadakan landreform dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian,


yaitu:

1. Secara umum bertujuan untuk mempertinggi taraf hidup dan penghasilan petani
penggarap, sebagai landasan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila
2. Secara khusus terdapat 3 aspek :
a. Tujuan sosial ekonomi
1) Mempertinggi keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik
serta memberi isi dan fungsi sosial pada hak milik
2) Mempertinggi produksi nasional khususnya sector pertanian guna
mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.
b. Tujuan sosial politik
1) Mengakhiri sistem tuan rumah dan menghapuskan pemilikan tanah yang luas
2) Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat
tani berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula.
c. Tujuan mental psikologis
1) Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan
memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah
2) Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya.
(Arba, 2015: 180)

Tujuan akhir yang hendak dicapai dengan penyelenggaraan landrefrom berdasarkan


pasal 17 UUPA adalah pengunaan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam
arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, sebagaimana ditetap kan dalam pasal
2 ayat2 UUPA. (Santoso, 2012: 212)

C. Dasar Hukum Pelaksanaan Landreform di Indonesia


Pelaksanaan Landreform di Indonesia pada peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-pokok Agraria,
yaitu diatur dalam Pasal 7,10,13 dan 17.
a. Pasal 7 yang menyatakan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan uum maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
b. Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang dan badan hukum yag mempunyai
sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan dan
mengusahakan sendiri secara aktif dengan cara-cara pemerasan.
c. Pasal 13 ayat (2) menyatakan bahwa pemerintah mencegah adanya usaha-usaha
dalam lapangan agraria dan organisasi-organisasi, perorangan yang bersifat
monopoli.
d. Pasal 17 menyatakan:
1) Dengan mengingat ketentuan pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksut
pada pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum tanah yang boleh dipunyai dengan
sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
2) Penetapan batas maksimum dimaksut dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan
peraturan perundang-undangan didalam waktu yang singkat.
3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksut dalam
ayat (2) pasal ini diambil pemerintah dengan ganti rugi, untuk selanjutnya
dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan –ketentuan
dalam peraturan pemerintah.
4) Terciptanya batas maksimum termaksut dalam ayat (1) pasal ini akan ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan dilaksanakan secara berangsur-angsur.
2. Undang- undang No. 56 Tahun 1950 tentang penetapan luas Tanah pertanian . undang-
undang ini mengatur tentang penetapan luas maksimum dan minimum pemilikan tanah
oleh satu keluarga, serta mengatur tentang pelaksanaan gadai tanah pertanian. Undang-
undang ini sering disebut sebagai undang – undang tentang Landreform di Indonesia.
3. Peraturan pelaksanaan landreform, antara lain sebagai berikut:
a. Peraturan pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 jo peraturan pemerintah Nomor 41
Tahun 1964 tentang pelaksanaan pembagian Tanah dan pemberian ganti kerugian.
b. Peraturan pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang pemilikan Tanah secara guntail
Absentee bagi para pensiun Pegawai Negri.
c. Keputusan presiden tanggal 5 April 1961 Nomor 131 Tahun 1961 yang kemudian
diubah dengan keputusan presiden tanggal 6 September 1961 No 509 Tahun 1961
dan keputusan presiden tanggal 17 okyober 1964 No. 263 Tahun1964 tentang
organisasi penyelenggaraan Landreform yang kemudian dicabut dan di ganti dengan
keputusan presiden No 55 Tahun 1980 tentang organisasi tatacara penyelenggaraan
Landreform.
d. Keputusan Mentri Agraria tanggal 31 Desember 1960 No. 978 tentang penegasan
luas maksimum Tanah pertanian.
e. Instruksi Mentri dalam Negritanggal 18 september1973 No 21 Tahun1973 tentang
larangan penguasaan pertanian yang melampui batas.
4. Peraturan perundang-undngan yang berkenaan dengan penghapusan Tanah Partikelir
adalah antara lain:
a. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang penghapusn Tanah partikelir.
b. Peraturan pemerintah Nomor 18 Tahun 1958 tentang pelaksanaan Undang-undang
penghapusan Tanah partikelir.
c. Peraturan Mentri Agraria No. 1 Tahun 1958 tentang panitia kerja likuidasi Tanah-
tanah partikelir.
d. Keputusan Deputi Mentari/ kepala Depag No. SK. 15/Depag /1966 tanggal 4 Mei
1966 tentang pedoman penetapan ganti rugi kepada bekas Pemilik Badan
partikelir.
5. Peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan perjanjian bagi hasil antara lain:
a. Undang-undang No 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.
b. Keputusan presiden Nomor 54 Tahun 1980 tentang kebijaksanaan mengenai
percetakan sawah.
c. Instruksi presiden Nomor 13 Tahun 1980 tentang pedoman pelaksanaan undang-
undang Nomor 2 Tahun 1960.
d. Peraturan Mentri pertanian dan Agraria Nomor 4 Tahun 1964 tentang penetapan
perimbangan khusus dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil.

D. Program Landreform
Program landreform sangat ditentukan oleh kondisi dari suatu negara, sebab landreform
merupakan sasaran atau target yang harus diwujudkan oleh pemerintah suatu negara. Oleh
karena itu, suatu negara yang telah beralih dari negara agraris menuju negara industri, berarti
pemerintahnya mampu mewujudkan tujuan lendreform tersebut. Di Indonesia program
landreform meliputi: (Supriadi, 2008:203)
1. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah,
2. Larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai,
3. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang
terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara,
4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan,
5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan
6. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian
menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

Program-program landreform tersebut di atas, masing-masing akan dijelaskan berikut ini.

1. Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah


Pokok – pokok ketentuan mengenai hal – hal tersebut diatur dalam pasal 7 dan pasal
17 UUPA, dimana apa yang diatur dalam pasal 7 diatur lebih lanjut di dalam pasal 17.
Pasal 7 menetapkan, “bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan
dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Bahwa pasal 7 ini
bermaksud untuk mengakhiri dan mencegah tertumpuknya tanah di tangan golongan –
golongan dan orang – orang tertentu saja. Pasal tersebut menegaskan dilarangnya apa
yang disebut groot grond bezit.
Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas dan merugikan kepentingan
umum karena terbatasnya persediaan tanah pertanian khususnya di daerah – daerah
tanah yang padat penduduknya, hal itu menyebabkan menjadi sempitnya, kalau tidak
dapat dikatakan hilangnya sama sekali kemungkinan bagi banyak petani untuk memiliki
tanah sendiri. Menurut taksiran pada waktu itu 60% dari jumlah petani adalah petani tak
bertanah.(Harsono, 2008:368) Selain itu yang dilarang oleh pasal 7 itu bukan hanya
pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi penguasaan tanah tersebut.
Penguasaan itu selain dengan hak milik, dapat dilakukan juga dengan hak gadai sewa
(jual tahunan), usaha bagi hasil dan lain-lainnya. Sebagai pelaksanaan dari pasal 17
UUPA pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang – undang
( perppu ) No. 5 tahun 1960. Perppu tersebut kemudian di tetapkan menjadi undang –
undang No.56 Prp tahun 1960 merupakan Undang – undang landreform Indonesia. Ada
tiga soal yang diatur dalam UU No.56 Prp tahun 1960 yaitu:
a. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian.
b. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan
perbuatan – perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah – tanah itu
menjadi bagian – bagian yang terlampau kecil.
c. Soal pengembalian dan penebusan tanah – tanah pertanian yang digadaikan.

Penetapan luas maksimum tanah pertanian memakai dasar keluarga, yaitu sesuai
dengan ketentuan pasal 17 UUPA, biarpun yang berhak atas tanahnya mungkin orang
seorang. Menurut penjelasan pasal 17 UUPA, yang dimaksud dengan keluarga adalah
suami, istri, dan anak – anak yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang
jumlahnya berkisar 7 orang. Berapa luas tanah yang dikuasai oleh anggota – anggota
suatu keluarga jumlah itulah yang menentukan maksimum luas tanah bagi keluarga
tersebut.

Dalam pasal 1 ayat ( 2 ) undang – undang NO.56 Prp tahun 1960 ditetapkan bahwa
luas maksimum kepemilikan dan penguasaan tanah yang diperbolehkan adalah sebagai
berikut:

Di daerah yang kepadatan Digolongkan Sawah Tanah kering


penduduknya tiap kilo meter daerah
 (hektar)    atau  (hektar)
persegi

a.       0 sampai 50 Tidak padat 15 20

b.      51 sampai 250 Kurang padat 20 12

c.       251 sampai 400 Cukup padat 7,5 9

d.      4001 keatas Sangat padat 5 6

Khusus untuk pemilikan dan penguasaan tanah pertanian yang melampaui batas
maksimum, tetapi diakibatkan karena adanya warisan tanpa wasiat diperbolehkan,
asalkan dalam jangka waktu  satu tahun sejak perolehannya, penerima warisan
tersebut  berusaha agar tanah pertanian yang dikuasainya tersebut tidak melebihi
batas  maksimum. Selain itu ada juga pengecualian dari ketentuan larangan pemilikan
tanah yang melampaui batas maksimum yang dikuasai hak guna usaha atau hak – hak
lainnya yang bersifat sementara.

2. Larangan Pemilikan Tanah Pertania Secara Absentee


Secara Implisit, Ketentuan Pasal 10 UUPA menetapkan laarangan pemilikan tanah
secara absentee, kemudian pelaksanaannya diatur dalam pasal 3 PP No. 224 tahun 1961
dan pasal 1 PP No.41 tahun 1964 ( pasal tambahan 3a s/d 3e )  . Agar tanah pertanian
dapat dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya, maka diadakanlah ketentuan untuk
menghapuskan penguasaan tanah pertanian secara absentee atau dalam bahasa sunda
disebut guntai. Pemilikan tanah pertanian secar absentee / guntai adalah pemilikan tanah
pertanian yang terletak diluar kecamatan tempat tinggal pemilik tanah.
Semua bentuk pemindahan hak milik atas tanah pertanian melalui jual beli, tukar
menukar, atau hibah yang mengakibatkan pemilikan baru tanah pertanian
secara absentee / guntai dilarang. Tanah – tanah pertanian yang terkena larangan
pemilikan tanah pertanian secara  absentee / guntai akan di kuasai oleh pemerintah
untuk selanjutnya dijadikan objek landreform (diredistribusikan) kepada petani yang
memerlukan tanah dan kepada bekas pemilik tanah pertanian secara absentee / guntai
akan diberikan ganti kerugian oleh pemerintah. Namun demikian ada hal – hal yang
dikecualikan dari ketentuan larangan pemilikan tanah prertanian secara absentee  /
guntai yakni:
a. Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan
dengan kecamatan tempat letak tanah serta menurut pertimbangan panitia
landreform kabupaten / kota masih memungkinkan untuk mengerjakan tanah secara
efisien.
b. Pegawai negeri sipil dan tentara nasional indonesia, yang dipersamakan dengan itu,
antara lain pensiunan janda Pegawai negeri sipil, janda pensiunan mereka ini tidak
kawin lagi dengan bukan pegawai negeri sipil atau pensiunan, istri dan anak – anak
pegawai negeri sipil dan tentara nasioal indonesia yang masih menjadi tanggungan.
c. Mereka yang sedang menjalankan tugas negara atau menunaikan kewajiban agama.
d. Mereka yang memiliki alasan khusus lainnya yang dapat di terima oleh kepala
badan pertanahan nasional republik Indonesia.
3. Redistribusi Tanah yang Selebihnya dari Batas Maksimum Serta Tanah – tanah
yang Terkena Larangan Absentee, Tanah bekas Swapraja dan Tanah Negara
lainnya.
Ketentuan tentang redistribusi tanah pertanian diatur dalam pasal 17 ayat ( 3 )
UUPA, yaitu “ Tanah – tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum
termaksud dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk
selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan – ketentuan
dalam peraturan pemerintah”. Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah peratura
pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian
ganti kerugian. Peraturan pemerintah ini dirubah oleh peraturan pemerintah No. 41
tahun 1964 tentang perubahan dan tambahan peraturan pemerintah No. 224 tahun 1961
tentang pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian. Kedua peraturan pemerintah ini
memuat ketentuan – ketentuan tentang tanah – tanah yang akan di bagikan istilah yang
lazim adalah diredistribusikan, pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik,
pembagian tanah, dan syarat – syaratnya.
Pasal 1 peraturan pemerintah No. 224 tahun 1961 menetapkan tanah – tanah yang
akan dibagikan ( diredistribusikan ) dalam rangka pelaksanaan landreform adalah:
a. Tanah – tanah selebihnya dari batas maksimum sebagai yang dimaksud dalam
undang – undang No.56 Prp tahun 1960 dan tanah – tanah yang jatuh pada negara,
karena pemiliknya melanggar kententuan – ketentuan undang – undang tersebut.
b. Tanah – tanah yang diambil oleh pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal
diluar daerah atau terkena larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee.
c. Tanah – tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara.
d. Tanah – tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang akan di tegaskan lebih
lanjut oleh menteri agraria ( sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia )

Selain tersebut diatas, tanah – tanah yang akan dibagikan oleh negara kepada rakyat
yang membutuhkan adalah tanah – tanah bekas perkebunan besar dan tanah – tanah
partikelir.
4. Pengaturan Soal Pengembalian dan Penebusan Tanah – tanah Pertanian Yang
Digadaikan
Gadai tanah ( hak gadai ) sebagai salah satu hak atas tanah yang bersifat sementara
disebutkan dalam pasal 53 UUPA. Menurut Boedi Harsono Gadai tanah hubungan
hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang
gadai dari padanya . selama uang gadai belum dikembalikan tanah tersebut dikuasai
oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai
atau yang lazim disebut penebusan tergantung pada kemampuan pemilik tanah yang
menggadaikan.(Harsono, 2008:356)
Gadai tanah ( hak gadai ) bagi masyarakat Indonesia khususnya petani bukanlah hal
yang baru. Semula gadai tanah diatur atau tunduk pada hukum adat tentang tanah dan
pada umumnya dibuat tidak tertulis. Kenyataan ini selaras dengan sistem dan cara
berpikir hukum adat yang sifatnya sangat sederhana. Dalam praktik adalah gadai tanah
pada umumnya dilakukan tanpa sepengetahuan kepala desa/kepala adat. Gadai tanah
hanya dilakukan oleh pemilik tanah dan pihak yang memberikan uang gadai dan
dilakukan tidak tertulis. Hak gadai menurut sistem hukum adat ini mengandung unsur
eksploitasi dan pemerasan. Tanah yang digadaikan dikuasai oleh pemegang gadai ,
tanah tidak akan dikembalikan kepada pemilik apabila tidak ditebus. Dengan menguasai
atau menggarap tanah yang digadaikan selama enam sampai tujuh tahun saja, hasil yang
diperoleh pemegang gadai sudah melebihi uang gadai dan bunga gadai.
Kemudian diaturlah aturan dalam pasal 7 ayat (1) Undang – undang No.56 Prp tahun
1960 yakni  “ Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada
mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih wajib
mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman
yang ada selesai dipanen dengan tidak ada hak untuk menuntut uang tebusan”. Atas
dasar ketentuan ini gadai tanah yang sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih maka
tanah yang digadaikan harus dikembalikan kepada pemiliknya.
5. Pengaturan Kembali Perjanjian Bagi Hasil Tanah pertanian
Perjanjian bagi hasil sebagai salah satu hak atas tanah yang bersifat sementara
disebutkan dalam pasal 63 UUPA. Perjanjian bagi hasil adalah hak seseorang atau
badan hukum untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah kepunyaan orang
lain dengan perjanjian bahwa hasil akan dibagi antara kedua pihak menurut imbangan
yang telah disetujui sebelumnya.
Perjanjian bagi hasil yang pada mulanya bersifat tolong menolong, namun pada
perkembangannya mengandung sifat pemerasan. Berhubung dengan kenyataan bahwa
pada umumnya tanah yang tersedia tidak banyak sedang calon penggarap sangat besar
maka seringkali terpaksalah menerima syarat – syarat yang sangat merugikan, misalnya
besarnya imbangan yang diterima tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan
untuk mengusahakan tanahnya.
Mengingat kelemahan perjanjian bagi hasil yang diatur menurut hukum adat,
digolongan penggarap tanah yang biasanya berasal dari golongan ekonomi lemah dan
selalu dirugikan. Untuk mengurangi sifat pemerasan, memberikan perlindungan hukum
bagi penggarap, dan dalam rangka pelaksanaan landreform, perjanjian bagi hasil diatur
kembali yaitu dengan menerapkan ketentuan bagi hasil sabagaimana diatur dalam
undang – undang No.2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil. Didalam penjelasan
umum UU No.2 tahun 1960 dijelaskan bahwa tujuan perjanjian bagi hasil tersbut yakni:
a. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik tanah dengan penggarapnya dilakukan
atas dasar yang adil.
b. Dengan menegaskan hak – hak dan kewajiban – kewajiban dari pemilik tanah dan
penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap.
c. Dengan terselenggaranya apa yang disebut pada huruf (a) dan huruf (b) diatas,
maka akan bertambahlah kegembiraan bekerja kepada para petani penggarap hal
mana akan berpengaruh baik pada caranya memelihara kesuburan dan
mengusahakan tanahnya.
6. Penetapan Batas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian, Disertai Larangan Untuk
Melakukan Perbuatan – Perbuatan yang Mengakibatkan Pemecahan Pemilikan
Tanah – tanah Pertanian Manjadi Bagian – bagian yang Terlampau Kecil.
Ketentuan mengenai batas minimum pemilikan tanah pertanian diatur dalam pasal 17
ayat (1) UUPA yaitu “ Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk
mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 dan 3 diatur luas maksimum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh
satu keluarga atau badan hukum”. Selanjutnya dalam pasal 17 ayat (4) UUPA
dinyatakan bahwa “ Tercapainya batas minimum termasuk dalam ayat 1 pasal ini yang
akan ditetapkan dalam peraturan perundang – undangan dilaksanakan secara berangsur
– angsur”. Peraturan perundang – undangan yang melaksanakan ketentuan pasal 17
UUPA adalah Undang – undang No.56 Prp tahun 1960 tentang penetapan luas tanah
pertanian.
Maksud ditetapkannya batas minimum pemilikan tanah pertanian adalah agar petani
yang bersangkutan mendapatkan penghasilan yang cukup atau layak untuk menghidupi
diri sendiri dan keluarganya. Batas minimum pemilikan tanah pertanian oleh petani
sekeluarga menurut pasal 8 UU No.56 Tahun 1960 adalah seluas dua hektar tanpa
mempersoalkan apakah tanah tersebut berupa tanah sawah atau tanah kering.
Berdasarkan ketentuan pasal 8 UU No.56 Prp tahun 1960 pemerintah mengadakan
usaha – usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum
dua hektar. Ditetapkannya luas minimum pemilikan tanah pertanian ini tidak berarti
bahwa orang – orang yang mempunyai tanah prtanian yang kurang dari dua hektar
diwajibkan untuk melepaskan tanahnya, tanah pertanian itu merupakan target yang
harus diusahakan pemerintah bagi petani sekeluarga.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Landreform adalah upaya perombakan secara mendasar terhadap struktur penguasaan dan
kepemilikan tanah di Indonesia. Oleh karena itu, Secara garis besar tujuan utama program
Landrefrom adalah sebagai berikut
1. Pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat
2. Pelaksanaan prinsip tanah untuk petani
3. Memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia
4. Mengakhiri sistem tuan rumah dan pemilikan tanah secara besaran
5. Mempertinggi produksi nasional dan mendorong pertanian secara intensif, gotong
royong dan koperasi.

Pelaksanaan Landreform di Indonesia pada peraturan perundang-undangan. Di Indonesia


program landreform meliputi:

1. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah,


2. Larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai,
3. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang
terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara,
4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan,
5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan
6. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian
menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat pemakalah sajikan dan sampaikan, semoga bermanfaat
bagi para pembaca. Apabila ada penulisan atau kata-kata yang kurang berkenaan mohon
dimaafkan. Kritik dan saran yang membangun senantiasa pemakalah harapkan untuk
kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga bermanfaat dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Arba. 2015. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Santoso, Urip. 2012. Hukum Agraria: Kajian Komprehensif. Jakarta: Kencana.

Supriadi. 2008. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.

Waskito, Harnowo Hadi. 2017. Pertanahan, Agraria, dan Tata Ruang. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai