Anda di halaman 1dari 11

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Alih Fungsi Lahan dan Faktor-Faktor Penyebabnya

Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi

lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula

(seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah)

terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai

perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi

keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan

meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Menurut Agus (2004) konversi lahan sawah adalah suatu proses yang disengaja oleh

manusia (anthropogenic), bukan suatu proses alami. Kita ketahui bahwa percetakan sawah

dilakukan dengan biaya tinggi, namun ironisnya konversi lahan tersebut sulit dihindari dan

terjadi setelah system produksi pada lahan sawah tersebut berjalan dengan baik. Konversi lahan

merupakan konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses

pembangunan lainnya. Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun

pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang

masih produktif.

Menurut Kustiawan (1997) konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasinya lahan secara

umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan

ke penggunaan lainnya.
Pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan

pertanian. Proses terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian disebabkan

oleh beberapa faktor. Supriyadi (2004) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor penting

yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah sebagai berikut.

1. Faktor eksternal; merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan

perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi.

2. Faktor internal; faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi

rumah tangga pertanian pengguna lahan.

3. Faktor kebijakan; yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan.

Menurut Wahyunto (2001), perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan

pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya

keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua

berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Menurut Fauziah (2005), menyebutkan bahwa alih fungsi lahan yang terjadi di Indonesia

bukan hanya karena peraturan perundang-undangan yang tidak efektif, baik itu segi substansi

ketentuannya yang tidak jelas dan tidak tegas, maupun penegaknya yang tidak di dukung oleh

pemerintah sendiri sebagai pejabat yang berwenang memberikan izin pemfungsian suatu lahan.

Tetapi juga tidak didukung oleh tidak menariknya sektor pertanian itu sendiri. Langka dan

mahalnya pupuk, alat-alat produksi laiinnya, tenaga kerja pertanian yang semakin sedikit, serta

diperkuat dengan harga hasil pertanian yang fluktuatif, bahkan cenderung terus menurun drastis

mengakibatkan minat penduduk (atau pun sekedar mempertahankan fungsinya) terhadap sektor

pertanian pun menurun.


Jadi dari pendapat di atas disimpulkan bahwa alih fungsi lahan adalah suatu proses yang

disengaja oleh manusia (anthropogenic) dengan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang

menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Selain itu,

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: pertama faktor eksternal; merupakan faktor yang

disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, kedua faktor internal; faktor ini lebih

melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi, ketiga faktor kebijakan; yaitu aspek

regulasi. Pada perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat

dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi

kebutuhan makin kebutuhan penduduk dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang

lebih baik. Dalam hal ini alih fungsi lahan yang terjadi di Indonesia bukan hanya karena

peraturan perundang-undangan yang tidak efektif, tetapi juga tidak didukung oleh tidak

menariknya sektor pertanian itu sendiri. Langka dan mahalnya pupuk, alat-alat produksi

laiinnya, tenaga kerja pertanian yang semakin sedikit, serta diperkuat dengan harga hasil

pertanian yang fluktuatif.

2.2 Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Petani Pemilik Terhadap Kehidupan Rumah
Tangganya dan Masyarakat Luas

2.2.1 Dampak alih fungsi lahan sawah petani pemilik terhadap kehidupan rumah
tangganya

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dapat berdampak terhadap

turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang lebih luas berkaitan

dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat.

Menurut Somaji (1994), konversi lahan juga berdampak pada menurunnya porsi dan pendapatan

sektor pertanian petani pelaku konversi dan menaikkan pendapatan dari sektor non pertanian.
Sihaloho (2004) menjelaskan konversi lahan berimplikasi atau berdampak pada

perubahan struktur agrarian. Adapun perubahan yang terjadi sebagai berikut.

1. Perubahan pola penguasaan lahan. Pola penguasaan tanah dapat diketahui dari kepemilikan

tanah dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain. Perubahan yang terjadi akibat

alih konversi yaitu terjadinya perubahan jumlah penguasaan tanah. Dalam hal ini dapat

dijelaskan bahwa petani pemilik berubah menjadi penggarap dan petani penggarap berubah

menjadi buruh tani. Implikasi dari perubahan ini yaitu buruh tani sulit mendapatkan lahan

dan terjadinya proses marginalisasi.

2. Perubahan pola penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah dapat dari bagaimana masyarakat

dan pihak pihak lain memanfaatkan sumber daya agrarian tersebut. Konversi lahan

menyebabkan pergesaran tenaga kerja dalam pemanfaatan sumber agraria, khususnya tenaga

kerja wanita. Konversi lahan mempengaruhi berkurangnya kesempatan kerja di sektor

pertanian. Selain itu, konversi lahan menyebabkan perubahan pada pemanfaatan tanah

dengan intensitas pertanian yang makin tinggi. Implikasi langsung dari perubahan ini adalah

dimanfaatkannya lahan tanpa mengenal sistem bera, khususnya untuk tanah sawah.

3. Perubahan pola hubungan agraria. Tanah yang makin terbatas menyebabkan memudarnya

sistem bagi hasil tanah maro menjadi mertelu. Demikian juga dengan munculnya sistem

tanah baru yaitu sistem sewa dan sistem jual gadai. Perubahan terjadi karena meningkatnya

nilai tanah dan makin terbatasnya tanah.

4. Peruban pola nafkah agraria. Pola nafkah dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian

masyarakat dan hasil hasil produksi pertaanian dibandingkan dengan hasil non pertanian.

Keterbatasan lahan dan keterdesakan ekonomi rumah tangga menyebabkan pergeseran

sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.


5. Perubahan sosial dan komunitas. Konversi lahan menyebabkan kemunduran kemampuan

ekonomi (pendapatan yang makin menurun).

Alih fungsi lahan yang tidak terkendali dan terjadi secara berlebihan sudah tentu akan

berdampak negatif bagi masa depan pertanian. Apalagi Indonesia dikenal sebagai Negara agraris

dengan sawah terbentang luas dari sabang sampai merauke. Jika lahan pertanian berkurang atau

bahkan habis dikonversi maka Indonesia akan mengalami krisis pangan. Dari tahun ke tahun,

luas lahan produktif yang beralih fungsi terus bertambah, yang akan mengakibatkan terjadi

penurunan produksi pangan nasional. Sedangkan kebutuhan pangan penduduk semakin besar

karena adanya pertumbuhan penduduk yang juga semakin besar. Untuk memenuhi kebutuhan

pangan masyarakat yang semakin meningkat, otomatis diperlukan lahan pertanian yang luas

pula. Namun, dengan adanya alih fungsi lahan maka produksi pangan mengalami penurunan dan

kebutuhan masyarakat akan sangat sulit dipenuhi (Timnine, 2015).

Dampak alih fungsi lahan secara langsung mengurangi luas lahan sektor pertanian yang

dapat ditanami berbagai komoditas pertanian yang dapat ditanami berbagai komoditas pertanian

terutama padi. Apabila hal ini terus dibiarkan dan tidak ada penanganan lebih lanjut, maka

dampaknya akan mengancam ketahanan pangan (Depkeu, 2014).

2.2.2 Dampak alih fungsi lahan sawah petani pemilik terhadap kehidupan masyarakat luas

Impilkasi alih fungsi lahan pertanian terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat

sangat kompleks. Dimulai dari semakin mahalnya harga pangan, hilangnya lapangan keja bagi

petani hingga tingginya angka urbanisasi. Selain itu, dampak yang ditimbulkan yaitu

berkurangnya minat generasi muda untuk bekerja di bidang pertanian dan rusaknya saluran

irigasi akibat pendirian bangunan di atas lahan yang awalnya merupakan lahan sawah (Sihaloho

2004).
Dampak alih fungsi lahan berpengaruh pada ketahanan sosial. Ketahanan sosial atau

social resilience dalam konteks ini merujuk pada kemampuan masyarakat, kelembagaan

sosial atau komunitas sosial yang terkait dengan lahan pertanian agar tetap bertahan dan mampu

menghadapi perubahan karena alih fungsi lahan. Untuk kasus Bali, eksistensi kelembagaan

subak mewakili kelembagaan sosial tersebut. Sosial Resilience mencerminkan upaya kelompok

atau kelembagaan masyarakat mempertahankan kelembagaan dan nilai sosial serta norma lokal

dalam proses intervensi atau introduksi nilai dan norma eksternal. Pada ketahanan ekonomi

merujuk pada kemampuan masyarakat yang secara ekonomi harus mampu menghadapi

perubahan sebagai akibat proses terjadinya alih fungsi lahan. Dengan membandingkan beberapa

variabel ekonomi seperti. peluang kerja, tingkat pendapatan dan kesejahteraan sebelum dan

sesudah alih fungsi lahan. Sedangkan pada ekologi mengacu pada pemahaman subak sebagai

suatu ekosistem. Hal yang paling sederhana yang dapat dilihat dalam ekosistem subak setelah

terjadinya alih fungsi lahan adalah menyangkut debit air, pencemaran air, dan lahan sawah,

keadaan biota sawah, produktivitas hasil dan keberlanjutan usahatani (Suradisastra, 2008).

Menurut Lestari (2009) faktor eksternal terjadinya alih fungsi lahan tersebut dengan

adanya dinamika pertumbuhan ekonomi. Faktor jumlah penduduk, jumlah industri, dan PDRB

per kapita berpengaruh terhadap terjadinya penurunan luas lahan pertanian.

Alih fungsi lahan pertanian pada umumnya berdampak sangat besar pada bidang sosial

dan ekonomi. Hal tersebut dapat terlihat salah satunya dari berubahnya fungsi lahan. Semakin

sempitnya lahan pertanian akan menyebabkan banyak masalah dalam jangka pendek ataupun

jangka panjang. Implikasi alih fungsi lahan pertanian terhadap kehidupan sosial-ekonomi

masyarakat sangat kompleks. Di mulai dari semakin mahalnya harga pangan, hilangnya lapangan

pekerjaan bagi petani hingga tingginya angka urbanisasi. Selain itu dampak yang ditimbulkan
yaitu berkurangnya minat generasi muda untuk bekerja di bidang pertanian dan rusaknya saluran

irigasi akibat pendirian bangunan di atas lahan yang awalnya merupakan lahan sawah. Pertanian

bagi masyarakat di Bali tidak hanya sebagai sumber pangan dan pendapatan tetapi juga sebagai

sumber budaya. Sebagian besar aktivitas budaya masyarakat Bali bersumber dari sektor

pertanian. Upacara dari penanaman bibit hingga panen semuanya dari kegiatan pertanian

(masaba, mapeed, ngaturang sarin taur, mapag toya, sampai mantenin padi dijineng). Bila

kemudian lahan-lahan produktif pertanian dialih fungsikan menjadi pemukiman, pertokoan, dan

pariwisata maka budaya Bali pun akan berkurang. Pada masa mendatang generasi muda tidak

akan dapat melihat budaya pertanian yang khas (Timnine, 2015).

Dampak alih fungsi lahan menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat. Dampak sosial

yang muncul berupa dampak positif, dampak negatif dan masalah sosial. Dampak positif yang

ditimbulkan yaitu terbukanya kesempatan kerja bagi masyarakat. Dampak negatif yang

ditimbulkan yaitu berkurangnya minat generasi muda untuk bekerja di bidang pertanian dan

rusaknya saluran irigasi akibat pendirian bangunan di atas lahan yang awalnya merupakan lahan

sawah. Masalah sosial yang timbul adalah adanya kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat

serta masalah keamanan dan kenakalan remaja (Munazat, 2013).

2.3 Wujud Kebudayaan

Ada tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaningrat (1979). Pertama yaitu, wujud pola

pikir sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua wujud aspek sosial sebagai aktivitas atau

pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga adalah aspek artefak/kebendaan sebagai benda-

benda hasil karya manusia. Wujud pertama berbentuk abstrak, sehingga tidak dapat dilihat
dengan indera penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam pikiran masyarakat. Gagasan itu selalu

berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antara setiap

gagasan ini disebut sistem. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kata adat dalam bahasa

Indonesia adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang

berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan adat istiadat.

Wujud kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial dijelaskan

Koentjaningrat sebagai keseluruhan aktivitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang

berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktivitas ini dilakukan setiap waktu dan membentuk pola-

pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Tindakan-tindakan yang

memiliki pola tersebut disebut sebagai sistem sosial oleh Koentjaningrat. Sistem sosial berbentuk

kongkrit karena bisa dilihat pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan. Kemudian wujud

ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik. Wujud kebudayaan ini bersifat konkret

karena merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau

perbuatan manusia dalam masyarakat.

Menurut Arifin (2011) setiap karya budaya selalu mempunyai tiga wujud budaya yaitu:

Wujud ide, wujud berkelakuan berpola, dan wujud teknologi. Dalam aktivitas manusia sehari-

hari ketiga wujud budaya tersebut saling berhubungan timbal balik. Demikian juga setiap karya

budaya suatu masyarakat mempunyai unsur budaya, dari unsur-unsur budaya yang mempunyai

ruang lingkup luas sampai unsur budaya yang mempunyai ruang lingkup sangat kecil. Karya

budaya manusia itu mempunyai unsur unsur budaya yang selalu dijumpai di setiap kehidupan

masyarakat dimana pun di dunia ini. Unsur-unsur budaya tersebut disebut unsur budaya

universal.
Menurut Hoenigman (dalam Koentjaraningrat, 2000), wujud kebudayaan dibedakan

menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak/kebendaan.

1. Gagasan (Wujud ideal)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan,

nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang bersifat abstrak; tidak dapat diraba atau

disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga

masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu daalam bentuk tulisan,

maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para

penulis warga masyarakat tersebut.

2. Aktivitas

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam

masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari

aktivitasaktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta begaul dengan

manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya

konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

3. Artefak/kebendaan

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan

karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,

dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

2.4 Kerangka Pemikiran

Alih fungsi lahan sawah petani pemilik terhadap kehidupan rumah tangganya berdampak

pada turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada perubahan orientasi ekonomi,
sosial, budaya, dan politik masyarakat. Penggunaan lahan semakin meningkat untuk tempat

tinggal, tempat melakukan usaha, pemenuhan akses umum dan fasilitas lain menyebabkan lahan

lahan pun semakin menyempit. Subak Lange berada di kawasan Desa Pemecutan Kelod,

Kecamatan Denpasar Barat. Alih fungsi lahan yang terdapat di Subak Lange sangat drastis.

Lahan pun semakin menyempit termakan zaman. Hal ini dapat diteliti pada Subak Lange dengan

wujud kebudayaan yaitu: pola pikir, sistem sosial, dan artefak/kebendaan. Adapun kerangka

pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1

Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Petani Pemilik Terhadap


Kehidupan Rumah Tangganya di Subak Lange

Wujud Kebudayaan

Sistem Sosial Artefak/kebendaan


a. Pendapatan
a. Kehidupan
setelah menjual perbulan
sawah sebelum dan
b. Interaksi dengan sesudah
keluarga dan menjual
lingkungan sawah
sekitar setelah b. Luas lahan
menjual sawah sebelum dan
sesudah
dijual
c. Harga lahan
sawah per
are
Pola Pkir d. Pemanfaatan
hasil
a. Tujuan menjual sawah
b. Alasan menjual sawah penjualan
sawah
c. Perasaan setelah
menjual sawah

d. Memang ada
sebelumnya
merencanakan
menjual sawah

e. Manfaat yang
dirasakan setelah
menjual lahan sawah

Simpulan

Rekomendasi

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Petani Pemilik Terhadap
Kehidupan Rumah Tangganya, di Kawasan Desa Pemecutan Kelod, Kecamatan
Denpasar Barat Tahun 2015

Anda mungkin juga menyukai