Anda di halaman 1dari 8

CRITICAL REVIEW

KONSEP GREEN ECONOMY SEBAGAI MANIFESTO REFORMA AGRARIA DI INDONESIA

Latar belakang

Indonesia sebagai negara agraris membawa pengaruh terhadap produksi sumber daya alam yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan ekonomi
kerakyatan bahwa tanah-tanah milik rakyat harus ditanami dengan kebutuhan masyarakat. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
pasal 1 ayat 2 tentang pengertian agraria menjelaskan bahwa agraria dapat berarti luas dan sempit. Dalam arti luas yaitu mengatur bumi, air,
dan ruang angkasa. UUPA terdiri dari 58 pasal yang didominasi oleh pengaturan tentang pertahanan, sehingga pada saat penerbitannya disebut
Undang-Undang Pertahanan, yang kemudian dalam perkembangan ditambahkan ketentuan-ketentuan yang tidak hanya menyangkut
pertahanan.

Menurut Tjondronegoro, para pemikir negeri ini pasca kemerdekaan memahami pentingnya perbaikan struktur kepemilikan tanah di
masyarakat, selain karena upaya ini berkaitan dengan hak atas penghidupan yang lebih baik, hal tersebut menjadi landasan untuk mengubah
tatanan kehidupan yang lebih baik. ekonomi. struktur pertanian dalam perekonomian. suatu struktur yang didasarkan pada perkembangan
industri dan pertanian. Reforma agraria adalah serangkaian kebijakan dan tindakan pemerintah yang bertujuan untuk mengubah struktur
kepemilikan dan pengelolaan tanah di suatu negara. Tujuan utama dari reforma agraria adalah mencapai distribusi tanah yang le bih adil,
mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi, serta meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan. Reforma agraria pada
dasarnya mengusulkan suatu program untuk menyelesaikan masalah kemiskinan masyarakat pedesaan, meningkatkan kesejahteraan melalui
kemandirian gizi nasional, meningkatkan produktivitas tanah, mengakui hak-hak atas tanah milik swasta, negara, dan tanah yang
pemanfaatannya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. kebutuhan kehidupan Reforma agraria mengambil tiga bentuk, yaitu: legalisasi
kepemilikan, pembayaran tanah dan perhutanan sosial.

Dalam penerapan reforma agrarian terdapat konsep ekonomi hijau atau green economy yang mana konsep ekonomi hijau ini muncul dari
kebutuhan mendesak akan pendekatan ekonomi yang mempertimbangkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian
lingkungan. Dalam beberapa dekade terakhir, kekhawatiran akan kerusakan lingkungan dan dampak negatif aktivitas manusia terhadap
ekosistem global semakin meningkat. Konsep ini berkembang sebagai respons terhadap perubahan iklim yang semakin terasa, menurunnya
kualitas lingkungan, dan kerusakan ekosistem yang memengaruhi kesejahteraan manusia dan keberlanjutan planet ini. Pendorong utama latar
belakang ekonomi hijau adalah kesadaran akan perilaku eksploitatif terhadap sumber daya alam yang menghasilkan dampak lingkun gan yang
merugikan. Dalam pandangan tradisional, alam sering dipandang sebagai sumber daya yang tak terbatas untuk dimanfaatkan semata demi
pertumbuhan ekonomi. Namun, dampaknya telah terlihat dalam bentuk kerusakan lingkungan, termasuk perubahan iklim, kehilangan
keanekaragaman hayati, dan penurunan kualitas air dan udara.

Seiring kesadaran akan eskalasi masalah lingkungan, latar belakang ekonomi hijau semakin menguat. Konsep ini menekankan perlu nya
transformasi paradigma ekonomi, memandang lingkungan bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi sebagai fondasi bagi pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan. Tujuannya adalah mempromosikan efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya, penggunaan teknologi yang ramah
lingkungan, dan praktik bisnis yang mendukung keberlanjutan lingkungan. Ekonomi hijau menjadi landasan untuk memperbaiki hubungan antara
aktivitas manusia dengan lingkungan, dengan harapan mencapai pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan bagi semua pihak, ba ik manusia
maupun planet ini.

DASAR TEORI

Dasar teoritis yang melandasi paparan ini mencakup dua aspek krusial. Pertama, filosofi tentang pandangan manusia terhadap alam
yang telah terwariskan dari zaman klasik hingga modern. Pandangan tradisional ini menganggap manusia terpisah dan di luar alam, memandang
alam sebagai sumber daya yang eksploratif untuk kebutuhan manusia. Dampaknya adalah perilaku eksploitatif terhadap lingkungan yang terjadi
akibat pandangan pragmatis terhadap pemanfaatan sumber daya alam.

Kedua, dasar teori ekonomi hijau sebagai solusi atas kerusakan lingkungan yang dihasilkan oleh paradigma tradisional. Teori ini
mendorong pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Konsep ini menitikberatkan perlunya integrasi antara
perlindungan lingkungan, efisiensi energi, daur ulang, dan inovasi teknologi ramah lingkungan dalam kebijakan ekonomi. Melalui pendekatan ini,
tujuannya adalah menciptakan keseimbangan yang sejalan antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan pelestarian ling kungan. Dua
dasar teori ini menjadi landasan yang kuat untuk pemahaman tentang urgensi pergeseran paradigma dalam memandang interaksi manusia
dengan alam serta pentingnya menerapkan konsep ekonomi hijau dalam menangani tantangan lingkungan global dan ketidakpastian ekonomi.
PEMBAHASAN

Reforma Agraria

Sejak masa awal perdagangan global pada abad ke-15, rempah-rempah telah menjadi salah satu faktor yang secara signifikan
mengukuhkan Indonesia sebagai pusat perdagangan dunia. Perdagangan hasil perkebunan menjadi salah satu aspek utama yang
memvisualisasikan Indonesia sebagai negara yang kuat dalam sektor pertanian. Dampaknya terasa melalui minat yang tinggi dari pelaku
ekonomi Eropa, khususnya Belanda, yang menjadikan Indonesia sebagai destinasi komersial utama. Pertumbuhan sistem perdagangan sejalan
dengan perkembangan sistem mata pencaharian yang dijalankan oleh para petani dan perkebunan, sementara juga menunjukkan peningkatan
minat dan kesadaran publik terhadap sektor pertanian secara keseluruhan (Azis, 2020). Meskipun konsep Hukum Agraria masih dalam tahap
awal perkembangannya, tetapi pada saat itu, landasan untuk perkembangan hukum ini sudah mulai terbentuk, meskipun masih dalam bentuk
yang sangat primitif. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesetaraan hak dan kewajiban yang seharusnya terjadi antara pemerintah dan warga negara
belum diatur secara sempurna (Simatupang, n.d.).

Sejalan dengan perjalanan waktu, hukum agraria terus berkembang, mengalami berbagai revisi dan pembaruan sejak awal
pembentukannya. Bagi banyak sektor hukum, sejarah hukum agraria telah menunjukkan perkembangan yang panjang dan berkelanjutan
(Justisia, 2018). Dalam konteks evolusi ini, Hukum Agraria bisa dipandang sebagai tonggak awal yang menandai upaya manusia un tuk
menciptakan keseimbangan hidup melalui regulasi-regulasi yang terkait dengan penguasaan tanah (Nugroho, 2018). Di era 1870-an,
perekonomian Indonesia masuk ke fase baru yang ditandai dengan diresmikannya UU Agraria dan UU Gula. UU Agraria, sebagai penjamin hak
kepemilikan tanah dan landasan bagi badan usaha swasta, menjadi faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi (Putra, 2022).

Peran hukum agraria di Indonesia tidak hanya berdampak pada perkembangan politik hukum semata, namun juga menunjukkan bahwa
isu agraria dalam masyarakat harus selalu diperbaharui agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi yang pesat di negeri ini
(Utomo, 2021). Hal ini menuntut kewajiban bagi kita sebagai warga negara untuk secara aktif dan kritis membahas serta menentukan arah utama
dalam proses reformasi ekonomi. Melalui proses ini, diharapkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dapat terjamin sesuai dengan prinsip-
prinsip yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam pelaksanaan program Reforma Agraria di Filipina, salah satu keberhasilannya adalah dalam memastikan perlindungan hak -hak
agraria masyarakat adat. Hasil kunjungan belajar KPA bersama Kementerian ATR/BPN ke Filipina menampilkan gambaran yang jelas dan positif
tentang pemeliharaan hak-hak agraria bagi kaum adat di sana. Program Comprehensive Agrarian Reform Program (CARP) di Filipina berhasil
membawa perubahan signifikan dalam struktur kepemilikan tanah pada periode 1987-2000an. Seiring dengan itu, lahir tiga lembaga setingkat
kementerian yang mengatasi berbagai isu agraria dalam tiga cakupan yang berbeda. Ketiga lembaga tersebut adalah Department Agrarian
Reform (DAR) yang menangani reformasi tanah dan akses bagi rakyat Filipina; National Council for Indigenous People (NCIP) yang bertanggung
jawab atas hak-hak masyarakat adat; serta Department of Environment and Natural Resource (DENR) yang mengurusi aktivitas ekstraktif di
kawasan perhutanan atau pertambangan.

NCIP menjadi bukti konkret dari perlindungan hak-hak agraria masyarakat adat, termasuk hak atas tanah adat secara kolektif dengan
mekanisme yang jelas dalam menetapkan identitas masyarakat adat. Di Filipina, seseorang diakui sebagai anggota masyarakat adat jika memiliki
setidaknya 25% darah keturunan dari salah satu masyarakat adat yang ada. Keberhasilan pengakuan hak-hak agraria masyarakat adat di Filipina
melalui CARP atau program UUPA sejenisnya memiliki dampak luas, yang turut mempertahankan keberagaman budaya dan kearifan lokal.
Keterkaitan yang terjaga antara manusia dan tanah pada masyarakat adat memperlihatkan komitmen mereka dalam menjaga lingkunga n
dibandingkan masyarakat umumnya. Melalui kepemilikan tanah secara kolektif, upaya mengkapitalisasi tanah adat oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab menjadi sulit.

Sementara di Thailand, Landreform telah menjadi program pembangunan yang dimulai pada tahun 1975 dengan Land Reform Act yang
kemudian mengalami dua kali revisi. Tujuan utama dari program Landreform di Thailand adalah mengubah peran petani penyewa dan penggarap
menjadi pemilik, menetapkan status kepemilikan tanah bagi penggarap liar melalui legalisasi dan redistribusi tanah, meningkatkan produksi
pertanian dengan perbaikan sistem akses ekonomi, serta mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi. Program ini diharapkan memberikan manfaat
kepada petani yang bergerak di bidang pertanian atau yang tidak memiliki lahan dan berdampak pada peningkatan standar kehidupan mereka.

Keputusan mengenai penerima manfaat dari program Landreform ditetapkan oleh National Agricultural Land Reform Executive
Committee (NLRC). Selama periode 1975 hingga 1997, ALRO telah mendistribusikan 6,22 juta hektar tanah, sebagian besar dari tanah negara,
kepada 596.246 petani. Landreform di Thailand bukan hanya tentang pemilikan tanah, tetapi juga terintegrasi dalam program pembangunan
ekonomi pedesaan. Landreform di Thailand juga dijadikan bagian dari National Economic and Social Development Plan yang mendukung Land
Reform Plan. NLRC pada tahun 1991 merumuskan Land Reform Plan (1992-1999) dengan empat strategi utama untuk meningkatkan kesadaran
dan mengembangkan riset mengenai landreform bagi masyarakat. Landreform di Thailand dianggap berhasil dalam beberapa aspek, seperti
pengembangan infrastruktur pedesaan dan penurunan kerusakan hutan.

Tentang Australia, situasi masyarakat adat Aborigin masih menunjukkan ketertinggalan yang signifikan dalam hal perlindungan hak-hak
mereka dan pelestarian kebudayaan. Meskipun pada tahun 1967 pemerintah Australia mengakui masyarakat adat sebagai bagian dari Warga
Negara Australia, mereka masih merasa sebagai warga negara kelas kedua, terutama dalam hal kepemilikan tanah. Diskriminasi terhadap
masyarakat adat Aborigin masih berlanjut hingga saat ini, terutama dalam konteks agraria. Meskipun memiliki hak untuk mengajukan klaim atas
tanah adat melalui pengadilan sebagai warga negara sah, klaim ini sering mudah digugurkan oleh kepentingan pemerintah atau korporasi
perkebunan dan pertambangan. Sebagai hasilnya, masyarakat adat Aborigin hanya mampu memperoleh klaim atas tanah adat di daera h
terpencil di tengah Australia. Keterbatasan akses ini, sebagian disebabkan oleh hambatan hukum dan budaya antara masyarakat adat dan
masyarakat umum, serta kurangnya dukungan bagi masyarakat adat di tanah mereka sendiri. Situasi ini telah mengarah pada marginalisasi
mereka, dengan eksploitasi berlebih dari masyarakat kulit putih yang tidak memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat adat. Akibatnya,
banyak yang masih menganggap Australia sebagai daerah yang masih terjebak dalam pola kolonial.

Di Jepang, land reform memiliki dampak yang signifikan. Land reform di sana bertujuan untuk membangun fondasi ekon omi dalam
pemerintahan demokratis menuju negara industri. Hasilnya terlihat setelah land reform, di mana hampir semua petani di Jepang menjadi pemilik
tanah tanpa utang. Keluarga-keluarga yang sebelumnya tidak memiliki tanah selama beberapa generasi, kini mampu memperoleh pendapatan
dari penyakap dan juga sebagai pemilik tanah. Mereka juga mampu menabung, yang tercermin dalam surplus kas tahunan per keluarga petani.
Perubahan status sosial-ekonomi ini mencerminkan transformasi struktural agrarian yang sukses di Jepang. Keberhasilan ini juga terlihat dalam
peningkatan konsumsi dan investasi pertanian, serta produktivitas yang lebih tinggi. Ada kesesuaian antara pengalaman petani Jepang dan
petani Eropa ketika Eropa menjadi negara industri. Dengan land reform, Jepang berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi di pedesaan dan
meningkatkan produktivitas pertanian dengan pemanfaatan teknologi yang lebih maju.

Korea Selatan juga memiliki pengalaman yang berhasil dalam program land reformnya pada tahun 1953. Evaluasi oleh ILO menunjukkan
hasil yang memuaskan, terutama dalam peningkatan produksi, distribusi, tabungan, dan akumulasi. Keberhasilan ini terletak pad a langkah-
langkah yang dilakukan, termasuk redistribusi tanah kepada petani sebelumnya dan penghambatan kembalinya struktur penguasaan tanah yang
tidak merata.

Di Taiwan, land reform dianggap berhasil karena strategi uniknya. Land reform di sana tidak hanya tentang redistribusi tanah, tetapi juga
tentang membangun pedesaan secara menyeluruh. Kompensasi kepada tuan tanah diatur atas dasar harga komoditas, dan formula kompensasi
dibangun untuk mendorong modal ke sektor industri. Dalam proses land reform, petani berhasil meningkatkan pendapatan mereka d an
memfasilitasi pembayaran selama redistribusi tanah.

Di China, program pembaruan agraria dimulai sejak tahun 1927 ketika komunis menguasai beberapa wilayah di bawah kekuasaan
Kuomintang. Kebijakan land reform berbeda-beda berdasarkan wilayah, namun pada intinya mencakup redistribusi tanah dan pendapatan untuk
memperkuat kaum tani dan kaum buruh. Land reform ini menjadi prasyarat bagi pengembangan sosialisme di pedesaan. Land reform di China
bukan hanya memberikan tanah kepada kaum tani miskin, tetapi juga mendorong mereka untuk mengorganisasi diri dan menumbangkan struktur
kelas yang sudah ada sebelumnya. Proses ini menjadi dasar bagi pengembangan sosialisme di pedesaan dan mendorong pembentukan modal
untuk investasi yang kemudian digunakan oleh pemerintah.

Green Economy

Konsep Green Economy Krisis lingkungan saat ini merupakan dampak yang dibawa oleh globalisasi teknologi. Hal ini bersumber pada
kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan
ekosistem. Manusia, dalam pandangan etika yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf Barat modern, dianggap berada diluar dan terpisah
dengan alam. Alam sekedar alat pemuas manusia. Hal ini nantinya menjadikan pemikiran pragmatis seorang manusia dalam pemanfaa tan
globalisasi yang jatuhnya menjadi perilaku kapitalistik yang ekploitatif dan akhirnya membawa dampak kerusakan terhadap alam. Problematika
dari kerusakan lingkungan sendiri tidak hanya dirasakan di Indonesia saja, melainkan sudah menjadi problematika internasional. Hal ini memantik
beberapa negara untuk melahirkan solusi yang dapat dirasakan komunal.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) bumi tahun 1992 di Rio De Janeiro (Brasil) muncul konsensus global bahwa perubahan iklim bumi, pola
konsumsi sumber daya, dan ledakan jumlah penduduk mengancam keanekaragaman hayati. Hal ini menimbulkan beberapa ancaman pada
ekosistem di dunia, seperti spesies fauna yang punah, konsumsi energi, pertumbuhan ekonomi dan masih banyak lagi. Permasalaha n-
permasalahan tersebut melahirkan sebuiah konsep pembangunan ekonomi dengan reducing emission form deforestation and degradation
(REDD). Pembangunan ekonomi yang bermuatan konsep green economy atau ekonomi hijau. Ekonomi hijau merujuk pada suatu pendekatan
ekonomi yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan dan perlindungan lingkungan. Tujuannya adalah untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang memperhatikan dampak positif terhadap lingkungan alam dan mendorong penggunaan sumber daya secara efisien. Hal ini sejalan
dengan pendapat Muhkamat (2022) yang menjelaskan bahwa ekonomi hijau harus mengatasi masalah skala ekonomi secara keseluruhan,
melalui penempatan material dan energy. Ekonomi hijau berusaha mengintegrasikan aspek-aspek seperti perlindungan lingkungan, efisiensi
energi, daur ulang, dan inovasi teknologi ramah lingkungan ke dalam kebijakan ekonomi.

Pendekatan ini mendorong adopsi praktik bisnis yang ramah lingkungan, investasi dalam teknologi hijau, dan pengembangan sekto r
ekonomi yang berkelanjutan. Dengan demikian, ekonomi hijau berusaha menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi,
kesejahteraan sosial, dan pelestarian lingkungan, sebagai respons terhadap tantangan-tantangan lingkungan. Terdapat lima prinsip
pembangunan ekonomi berbasis ekonomi hijau. Pertama, ekonomi hijau harus mampu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Kedua, harus mampu menciptakan kesetaraan untuk berbagaiperiode generasi. Ketiga, harus mampu memelihara, memulihkan, dan
berinvestasi dalam berbagai kegiatan yang berbasis sumber daya alam. Keempat, diharapkan mampu mendukung tingkat konsumsi
dan produksi yang berkelanjutan. Kelima, harus didukung oleh sistemyang kuat, terintegrasi, dan akuntabel. Penelitian green economy
melalui tinjauan literatur telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian yang membahas terkait green economy, bertumpu pada
kebijakan fiskal dan instrument pendanaan untuk perubahan iklim (Makmun, 2016). Penelitian Kemenangan dan Setiawan menggunakan
pendekatan green economymelalui Sovereign Wealth Funddalam rangka meningkatkan ekonomi. Dalam kedua penelitian, green
economymerupakan praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang dapat mengoptimalkan pe mulihan
ekonomi nasional (A.K. & Setiawan, 2021).Namun penelitian Angling Nugroho Kemenangan dan Lisno Setiawan hanya membahas
terkait pendanaan berbasis green economy sehingga kurang mendalami pengaruh green economyterhadap ekonomi makro Indonesia (A.K.
& Setiawan, 2021). Berbagai isu terkait green economyterhadap gejolak dunia yang tidak menentu membuat ketertarikan penulis untuk
meneliti pengaruh ekonomi hijau terhadap pemulihan atau perkembangan ekonomi makro hingga masalah multilateral.

Sementara dari dilihat dari geopolitik, pertumbuhan ekonomi di Asia dan Pasifik diproyeksikan melambat menjadi 4,2 persen
pada 2022 mengalami penurunan 0,7 poin lebih rendah dari perkiraan bulan April dan lebih lambat dari pertumbuhan 6,5
persen pada tahun 2021. Ekonomi Asia Pasifik pada 2023 diprediksi tumbuh 4,6 persen(Srinivasan, 2022). Total uta ng Asia terhadap
global telah meningkat dari 25 persen sebelum krisis keuangan global menjadi 38 persen pasca-COVID, meningkatkan
kerentanan kawasan terhadap perubahan kondisi keuangan global. Selain itu, meningkatnya ketidakpastian kebijakan perdagangan
dan keretakan rantai pasokan yang berkontribusi pada tren fragmentasi geoekonomi diperkirakan akan menunda pemulihan ekonomi
dan memperburuk jaringan produksi di Asia salah satu penerima manfaat terbesar selama beberapa dekade dari pendalaman perdagangan
global. Sementara pertumbuhan melemah, tekanan inflasi Asia meningkat, didorong oleh lonjakan global dalam biaya makanan, dan bahan
bakar akibat perang dan sanksi terkait. Hal yang paling parah menimpa kaum miskin dan rentan, yang paling tidak mampu mengatasi,
mengurangi konsumsi, dan meningkatkan kemungkinan kerusuhan sosial. Kebijakan fiskal perlu diperketat di negara -negara yang
menghadapi tingkat utang yang tinggi melengkapi upaya moneter untuk menjinakkan inflasi. Dukungan fiskal tersebut harus netral anggaran
dalam banyak kasus, didanai dengan meningkatkan pendapatan baru atau reorientasi anggaran untuk menghindari penambahan utang
atau bekerja melawan kebijakan moneter. Di luar ini solusi kolaboratif global dan regional yang mengurangi ketidakpastian
kebijakan perdagangan, mengurangi pembatasan perdagangan, dan menghindari skenario fragmentasi yang paling para h sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas dan meningkatkan standar hidup Masyarakat Tanah merupakan komoditas vital dalam kehidupan
bernegara, warganya, dan masyarakat lainnya. Yurisdiksi di bidang pertanahan antara pemerintah federal, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota juga menjadi topik pembahasan dalam isu pertanahan saat ini. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menetapkan Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menetapkan kewenangan pemerintah di bidang pertanahan sebagai kewenangan terpusat. Berdasarkan kewenangan yang
terdapat dalam undang-undang pertanahan nasional, tampak bahwa pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk membuat dan melaksanakan undang-
undang pertanahan nasional dan peraturan pelaksanaannya. Desentralisasi atau pelimpahan wewenang kepada daerah dan medebewind (dukungan)
merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah di bidang pertanahan, yang menandakan bahwa di sektor ini, pemerintah pusat memegang
seluruh kekuasaan. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sulit untuk menangani masalah pertanahan secara cepat dan tepat karena yurisdiksi yang
terkonsentrasi ini. Pada saat yang sama, seiring dengan pertumbuhan populasi dunia, kebutuhan akan tanah juga meningkat. Menurut para ahli hukum alam,
untuk memp Tidak tampak tegas dalam arti negara tidak dapat memiliki tanah dalam arti memiliki (eigendom) yang mengandung kekuasaan mutlak atas
tanah, tetapi negara dapat menguasai tanah (tanpa memilikinya) untuk kepentingan umum, sesuai dengan aliran pandangan hukum alam. Menurut kutipan
Ulpianus dan Vegting dari Ronald Z. Titarelu, sebuah negara yang dibangun di atas ikatan khusus dapat memiliki wilayah yang bertentangan dengan hukum
alam (walaupun dangkal). Masyarakat diuntungkan dari kepemilikan tanah (res publica). Kepemilikan atau penguasaan dapat menjadi dasar hubungan hukum.
Dengan cara ini, negara dapat memiliki tanah yang digunakan oleh pemerintah secara langsung. Jika tanah yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum
dianggap lebih bermanfaat daripada tanah yang dikuasai masyarakat, maka negara dapat mengaturnya. Dalam konsep hukum alam, gagasan tentang
kepemilikan tanah oleh sebuah negara dapat menjadi subjek diskusi yang kompleks. Meskipun negara tidak memiliki tanah secara absolut seperti dalam
konsep kepemilikan pribadi, ada argumen yang mendukung bahwa negara memiliki kemampuan untuk menguasai tanah untuk kepentingan umum.

Menurut pandangan ini, kepemilikan atau penguasaan tanah oleh negara bisa menjadi dasar hubungan hukum yang penting. Ini berarti bahwa,
meskipun negara tidak memiliki tanah dengan cara yang sama seperti individu memiliki properti, negara dapat memiliki hak yang memungkinkannya untuk
mengatur dan menggunakan tanah untuk kepentingan umum, yang kemudian bisa memberikan manfaat bagi masyarakat (res publica).
Dalam situasi di mana tanah yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum dianggap lebih bermanfaat daripada tanah yang dikuasai oleh masyarakat,
negara memiliki kemampuan untuk mengatur penggunaan tanah tersebut. Ini dapat mencakup penggunaan langsung oleh pemerintah atau aturan yang
mengatur cara tanah tersebut dimanfaatkan.

Namun, perlu dicatat bahwa konsep ini juga memiliki pertentangan terkait dengan hukum alam. Beberapa pandangan berpendapat bahwa negara
yang dibangun di atas ikatan khusus bisa saja memiliki wilayah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum alam, walaupun hal ini mungkin memiliki
implikasi yang terbatas atau dangkal.
Intinya, ide bahwa negara dapat menguasai tanah untuk kepentingan umum, walaupun tidak dalam arti kepemilikan absolut, tetap menjadi topik
diskusi yang menarik dalam konteks hukum alam dan hak-hak masyarakat. Dalam ranah hukum alam, pertimbangan mengenai hak kepemilikan tanah oleh
negara melahirkan perspektif yang rumit dan mendalam. Ketika kita membicarakan kepemilikan, negara tidak dapat dianggap memiliki tanah dengan cara
yang sama seperti individu memiliki properti pribadi yang dapat mereka klaim secara mutlak. Namun demikian, ada aliran pemikiran yang menegaskan bahwa
negara memiliki kemampuan untuk menguasai tanah dengan tujuan memenuhi kepentingan umum.
Konsep ini melibatkan pengertian bahwa meskipun negara tidak memiliki tanah secara fisik, ia memiliki hak atau wewenang tertentu yang
memungkinkannya untuk mengatur dan menggunakan tanah sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas (res publica). Kepemilikan atau penguasaan tanah
oleh negara di sini bukanlah dalam konteks kepemilikan tradisional, tetapi lebih terkait dengan kewenangan untuk mengontrol dan mengarahkan penggunaan
tanah guna mencapai tujuan Bersama.
Dalam skenario di mana pemanfaatan tanah untuk kepentingan umum dianggap lebih berharga daripada tanah yang dimiliki secara kolektif oleh
masyarakat, negara memiliki kemampuan untuk menetapkan regulasi terkait penggunaan tanah tersebut. Hal ini bisa berarti penggunaan langsung oleh entitas
pemerintah atau pembentukan regulasi yang mengatur cara penggunaannya.
Namun demikian, pemahaman ini sering kali menimbulkan kontroversi sehubungan dengan prinsip-prinsip hukum alam. Sebagian pendapat
menyoroti bahwa ada kemungkinan bagi negara yang terbentuk atas dasar ikatan khusus memiliki wilayah atau hak-hak yang bertentangan dengan prinsip-
prinsip mendasar hukum alam. Meskipun demikian, implikasi dari pertentangan tersebut mungkin terbatas atau hanya bersifat permukaan.
Dalam keseluruhan konteksnya, gagasan bahwa negara dapat menguasai tanah untuk kepentingan umum, meskipun tidak dalam makna kepemilikan
mutlak, tetap menjadi topik yang menarik dan mengundang diskusi dalam lingkup hukum alam dan hak-hak masyarakat. Hal ini menjadi pusat perdebatan
mengenai batas kekuasaan negara, kewajiban terhadap kepentingan umum, serta hak-hak individu dalam ranah pemilikan tanah yang berkaitan erat dengan
prinsip-prinsip hukum yang lebih luas.
Permasalahan sengketa agraria merupakan sumber utama dalam ketimpangan kepemilikan tanah di suatu negara. Meskipun Peraturan Presiden
86/2018 telah mengatur mengenai penyelesaian konflik agraria melalui pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria, terdapat batasan pada lingkup
penyelesaian konflik yang hanya melibatkan pihak-pihak tertentu. Lebih lanjut, delegasi tanggung jawab untuk mengatur lebih detil diberikan kepada Peraturan
Menteri. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada kerangka kerja yang disusun, namun belum cukup untuk menyelesaikan permasalahan secara menyeluruh,
memerlukan pembentukan regulasi lebih lanjut. Tuntutan akan peraturan yang lebih komprehensif menekankan perlunya pemerintah untuk lebih berhati-hati
dalam merumuskan kebijakan agraria, menghindari inkonsistensi atau tumpang tindihnya aturan hukum yang dapat menimbulkan permasalahan baru.
Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan utama dari reformasi agraria secara umum adalah untuk mengubah struktur sosial masyarakat dari
warisan stelsel feodalisme dan kolonialisme pada masa penjajahan Belanda menjadi suatu susunan yang lebih adil dan merata. Secara khusus, tujuan ini
bertujuan untuk memberdayakan masyarakat melalui kepemilikan aset, khususnya tanah, sehingga memberikan kesempatan bagi mereka untuk menjadi lebih
mandiri. Dengan kepemilikan ini, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan tanah secara produktif, mengurangi angka pengangguran, dan meningkatkan
taraf hidup secara keseluruhan.
Pada tanggal 24 September 1961, pemerintah mulai menjalankan reformasi agraria dengan pembentukan kepanitiaan di Daerah Otonom yang
bertugas melakukan pencatatan kepemilikan tanah yang melampaui batas yang ditetapkan. Namun, kebijakan-kebijakan lanjutan yang dirumuskan kemudian
menunjukkan fokus yang tidak hanya pada penduduk umum, tetapi juga dalam mendukung masuknya modal asing. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya
penyelesaian masalah agraria pada waktu itu mungkin lebih mengutamakan kepentingan modal asing daripada kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Adanya hambatan-hambatan dalam menyelesaikan permasalahan reformasi agraria telah menjadi penghalang serius dalam pencapaian tujuan ini.
Kendala-kendala tersebut antara lain meliputi kurangnya pemahaman pemerintah terhadap permasalahan agraria secara mendalam, kurangnya komitmen
dalam melaksanakan reformasi agraria yang tercermin dalam stagnasi atau penelantaran terhadap Rancangan Undang-undang Agraria, campur tangan politik
yang menghambat redistribusi tanah, serta kesulitan dalam mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai elemen terkait untuk mewujudkan
pembaharuan agraria yang efektif. 1). Baru sebagian pelepasan kawasan hutan dari adendum IUPHHK yang ditindaklanjuti dengan SK Penetapan/Perubahan;
2). Tidak semua lokasi review RTRW diperuntukkan untuk TORA; 3).Untuk kategori permukiman transmigrasi: Daftar subjek/objek sudah banyak berubah,
belum ada usulan masyarakat/rekomendasi camat dan bupati, SK pencadangan areal dari Gubernur/Bupati belum lengkap; 4).Tanda batas di lapangan sulit
ditemukan untuk kategori tata batas; 5). Skala Peta Objek TORA dari Pelepasan Kawasan Hutan relatif menggunakan skala kecil (1:250.000), sehingga kesulitan
untuk diidentifikasi di lapangan (Tenrisau, 2022). Dalam mewujudkan reforma agraria saat ini banyak menemui kendala dan hambatan. Program prioritas ini
tercetus dikarenakan banyaknya sengketa dan konflik yang akar masalahnya berawal dari diberikannya hak atas tanah kepada masyarakat. Menurut data yang
dihimpun oleh Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (2022) jumlah kasus pertanahan total 8.111 kasus, yang terbagi ke dalam
kejahatan pertanahan 60 kasus; sengketa 4.211 kasus; perkara 3.290 kasus; konflik 550 kasus, dari 51 Juta bidang tanah yang terdaftar, tanah yang bermasalah
sebanyak 0,015%. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada dasar merupakan undang-undang yang
mengatur pertanahan, karena terdapat 58 pasal yang mayoritas berisi tentang peraturan pertanahan (Sulistyaningsih, 2021). UUPA mengatur reformasi
struktur pertanahan yang tidak merata agar menjadi lebih adil, menyelesaikan sengketa pertanahan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setelah
pelaksanaan reforma agraria (Martini et al., 2019). Namun dalam implementasi reforma agraria belum mampu diwujudkan karena banyak ditemukan
penyimpangan dalam pelaksanaannya, hal ini disebabkan banyak regulasi yang saling bertentangan (Maladi, 2013). Misalnya terbitnya undang-undang
kehutanan, pertambangan, perkebunan, sumber daya air, ketentuan undang-undang mengabaikan keberadaan UUPA, menyebabkan tumpang tindih
peraturan yang terjadi antar kementerian sehingga sering menjadi pemicu sengketa dan konflik (Mujiburohman, 2019). Reforma agraria sejatinya dapat
menjawab ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah, bukan hanya sekedar redistribusi tanah. Reforma agraria diharapkan dapat menjadi salah satu
jalan keluar terciptanya pemerataan terhadap kepemilikan tanah untuk kesejahteraan dan keadilan. Banyak manfaat mengimplementasi reforma agraria
diantaranya dapat menciptakan kemandirian ekonomi dan ketahanan pangan (Waryanta, 2018), berkontribusi terhadap pendapatan masyarakat (Istiningdyah
at al., 2018), dapat mengurangi sengketa tanah dan berkontribusi terhadap pencegahan konflik berulang yang dapat berpotensi menyebabkan disintegrasi
bangsa (Martini at al., 2019; Tarfi & Amri, 2021), reforma agraria sebagai pemenuhan hak asasi petani (Suhendro, 2013). Reforma agraria di Indonesia memiliki
riwayat sejarah yang panjang berbanding lurus dengan pemerintahan yang silih berganti dengan rezim yang satu diganti dengan rezim yang lain. Demikian
juga pelaksanaan reforma agraria tergantung dengan rezim yang sedang memerintah, model dan cara melaksanakan reforma agraria juga berbedabeda.
Penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut ialah penelitian Sutadi at al (2018) membandingkan kebijakan reforma agraria pada masa orde lama, orde baru,
dan orde reformasi. Kemudian kajian reforma agraria awal masa orde baru (1967-1973) (Aprianto, 2021), kebijakan reforma agraria pada tahun 2006-2007
(Shohibuddin & Salim 2012), kebijakan reforma agraria era Joko Widodo-Jusuf Kalla (Luthfi, 2019; Nurdin, 2015; Wicaksono & Purbawa 2018). Penelitian terkait
dengan reforma agraria fokus pada kawasan hutan dikaji dengan berbagai perspektif (Ekawati at al., 2019; Manik at al., 2021; Khanifa at al., 2021; Dempo at
al., 2021; Junarto & Djurdjani 2020; Kurniawati et al., 2019; Salim et al., 2021). Penelitian
agrarialis atau Hutan Adat dapat diubah statusnya menjadi TORA. Namun, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala. Salah satunya adalah
proses birokrasi yang rumit dan panjang untuk mengubah status kawasan hutan menjadi objek reforma agraria. Alur ini seringkali memperlambat atau bahkan
menghambat implementasi program, mengingat perlunya persetujuan dari berbagai pihak terkait yang memiliki pemahaman yang berbeda-beda terkait
kebijakan dan peraturan yang berlaku.
Dari kajian yang dilakukan oleh Salim dan rekan (2021), terlihat bahwa koordinasi di tingkat pusat dalam Tim Reforma Agraria Nasional hanya bersifat
koordinatif. Sementara itu, di tingkat provinsi, kabupaten, atau kota, lembaga pelaksana reforma agraria juga menghadapi kendala serupa terkait lemahnya
koordinasi. Salah satu faktor utama adalah absennya sekretariat bersama sebagai fasilitas dalam menjalankan rapat atau koordinasi. Ketidakmampuan dalam
menyediakan infrastruktur ini menjadi penghalang nyata dalam upaya koordinasi antar lembaga di tingkat lokal.
Selain itu, masalah kelembagaan juga menjadi hambatan dalam implementasi reforma agraria. Meskipun Gugus Tugas Reforma Agraria telah dibentuk
sebagai pelaksana kegiatan di daerah, beberapa hambatan muncul karena kurangnya kantor bersama sebagai sekretariat yang mempersulit koordinasi.
Keterbatasan sumber daya manusia juga menjadi faktor penghambat, terutama ketika kantor pertanahan lebih fokus pada Program PTSL. Hal ini membuat
pelaksanaan kegiatan reforma agraria menjadi prioritas kedua.
Menurut pandangan Resti dan Wulansari (2022), kendala yang dihadapi Gugus Tugas Reforma Agraria termasuk kesulitan dalam menyesuaikan jadwal,
minimnya pemahaman masyarakat, kesulitan akses ke lokasi, keterbatasan jaringan seluler, perbedaan pendapat, keterbatasan anggaran, serta dampak dari
pandemi Covid-19. Semua faktor ini memberikan tekanan tambahan dalam pelaksanaan program agraria.
Terkait permasalahan regulasi, ketidaksinkronan antara Kementerian ATR/BPN dan KLHK dalam kebijakan dan pemahaman mengenai pelaksanaan
reforma agraria menjadi hambatan. Salah satu contohnya adalah proses panjang dalam melepaskan kawasan hutan guna menjadi objek dalam redistribusi
tanah. Regulasi yang belum sinkron antar-kementerian seringkali memperlambat langkah-langkah pelaksanaan.
Selain itu, permasalahan terkait objek TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) juga mencakup kompleksitas proses birokrasi untuk mengubah status
kawasan agrarialis atau hutan adat menjadi TORA. Meskipun regulasi telah disahkan, implementasinya masih terbentur oleh proses birokrasi yang rumit dan
memakan waktu.
Dalam keseluruhan, kompleksitas koordinasi, kendala kelembagaan, permasalahan regulasi, dan kesulitan terkait objek TORA menjadi tantangan nyata
yang harus diatasi dalam upaya pelaksanaan reforma agraria. Diperlukan upaya bersama antar lembaga terkait dan perbaikan dalam regulasi serta proses
birokrasi untuk memastikan kelancaran pelaksanaan program ini guna mencapai tujuan reforma agraria yang lebih inklusif dan efektif.
Tentu, masalah sengketa agraria telah menjadi pusat perhatian dalam konteks ketidakseimbangan kepemilikan tanah yang ada di banyak negara.
Meskipun upaya dalam Perpres 86/2018 telah mencoba mengatasi sengketa ini dengan membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria, tetapi terdapat kekurangan
dalam cakupan penyelesaian konflik tersebut. Faktanya, kerangka kerja yang telah ditetapkan masih terbatas pada aspek-aspek tertentu dari sengketa agraria,
dengan delegasi kewenangan untuk mengatur lebih lanjut diberikan kepada Peraturan Menteri. Situasi ini menandakan bahwa masih ada kebutuhan mendesak
akan regulasi yang lebih terperinci dan komprehensif dalam menangani permasalahan agraria secara menyeluruh. Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah
untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang ada, terutama dalam ranah agraria, untuk menghindari kebingungan atau pertentangan antara berbagai
peraturan hukum yang dapat menciptakan masalah baru di kemudian hari.
Pemahaman yang lebih dalam atas tujuan utama reformasi agraria secara keseluruhan menggambarkan upaya transformasi struktur sosial masyarakat.
Maksud utamanya adalah untuk menggeser sistem yang sebelumnya dipengaruhi oleh warisan sistem feodalisme dan kolonialisme masa lalu menjadi suatu
tatanan yang lebih merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Secara spesifik, tujuan tersebut adalah memberdayakan masyarakat dengan kepemilikan
aset, terutama tanah, yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengelola sumber daya tersebut secara produktif.
Dengan penguatan kepemilikan ini, diharapkan dapat mengurangi angka pengangguran dan secara signifikan meningkatkan taraf hidup masyarakat secara
keseluruhan.
Pada 24 September 1961, pemerintah mulai melaksanakan langkah awal reformasi agraria dengan pembentukan kepanitiaan di Daerah Otonom yang
bertugas melakukan registrasi atau pencatatan kepemilikan tanah yang telah melampaui batas yang telah ditetapkan. Namun, kebijakan-kebijakan yang
kemudian dirumuskan menunjukkan bahwa fokusnya tidak hanya terhadap penduduk secara keseluruhan, tetapi juga dalam mendukung masuknya modal
asing. Hal ini mencerminkan bahwa pada saat itu, penyelesaian masalah agraria mungkin lebih mengutamakan kepentingan pihak luar, seperti modal asing,
daripada memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara menyeluruh.
Namun, seiring dengan upaya pembaharuan agraria, ada sejumlah hambatan yang menghalangi penyelesaiannya. Kurangnya pemahaman yang
mendalam dari pemerintah tentang aspek-aspek agraria yang kompleks, kurangnya komitmen dalam menerapkan reformasi agraria yang tercermin dalam
kemunduran atau pengabaian terhadap Rancangan Undang-undang Agraria, campur tangan politik yang menghambat redistribusi tanah, serta kesulitan dalam
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai elemen terkait, semuanya menjadi tantangan serius yang menghambat tercapainya tujuan pembaharuan
agraria secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.unbari.ac.id/188/1/buku%20green%20ekonomi.pdf
Tjondronegoro, S.M.P. 1999. Pembaruan Agraria Demi Menghindari Revolusi Anarkis dan Memasuki Era Industrialisasi. Seminar Pembaruan
Agraria Mendesakkan Agenda Pembaruan Agraria dalam Sidang Umum (SU) MPR. 1999. KPA, ELSAM dan LAB-SAK IPB Bogor.
http://repository.stpn.ac.id/60/1/Buku%20Ajar%20Reforma%20Agraria.pdf
Anwar Muhkamat. 2022. GREEN ECONOMY SEBAGAI STRATEGI DALAM MENANGANI MASALAH EKONOMI DAN MULTILATERAL. Jurnal
Pajak dan Keuangan Negara Vol.4, No.15, Hal.343-356 Bernstein, Henry. 2015. Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria. Yogyakarta: Insist
Press. Boedi Harsono. (1999). Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan

Anda mungkin juga menyukai