Anda di halaman 1dari 25

26

PENGARUH REFORMA AGRARIA DUNIA


TERHADAP REFORMA AGRARIA DI INDONESIA

Devi Kantini Rolaswati

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum UPN Veteran J akarta
J l. RS Fatmawati Pondok Labu J akarta Selatan , Telp 021 7656971 Ext. 165

Abstract

There are some problems in the kit is a defense that the development
paradigm of behavior that is not consistent with most of the people of Indonesia of
differences in behavior and interest in the land, is also a problem with conflict of
interest rules that are clear, concise, and contradictory. Therefore agrarian reform as
the only way for solving the problems of land

Key Words : Reforma, Agraria, World











Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
27

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Di awal abad dua puluh satu
ini, perbincangan mengenai penataan
struktur agraria atau lebih dikenal dengan
istilah agrarian reform/reforma
agraria/pemba-ruan agraria, muncul
kembali ke permukaan.
Berbagai studi mengenainya,
bahkan sudah pula menjadi agenda dari
berbagai badan internasional, negara
maupun berbagai organisasi gerakan
sosial pedesaan di Asia, Afrika dan
Amerika Latin.Lantas bagaimana dengan
Indonesia? Sebagai negara yang pernah
melakukan aborsi agenda reforma
agraria pada pertengahan tahun 1960-an,
kali ini Indonesia tidak mau ketinggalan
kereta dalam membincangkan hal ini.
Pada masa rezim politik SBY-J K
sekarang, melalui Kepala Pusat Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia
(BPN-RI) menggulirkan Program
Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).
Suatu program resmi dari pemerintah
yang ingin menata ulang struktur
penguasaan sumber-sumber agraria demi
kemakmuran rakyat dan keadilan sosial.
Kegiatan pembangunan secara
ideal dilaksanakan guna mencapai suatu
masyarakat adil, makmur, dan merata.
Bagi sebagian rakyat bukan soal siapa
yang berkuasa siapa yang memerintah
dan siapa yang diperintah, tetapi yang
penting adalah bagaimana proses atau
usaha untuk mencapai kemakmuran
dijalankan sesuai cinta rasa keadilan
rakyat dan jelmaan dari cita-cita dan
tujuan nasional.
1
Untuk terwujudnya masyarakat yang adil
dan sejahtera di suatu negara haruslah
memperhatikan beberapa hal pokok yaitu
sumber daya manusia sebagai
anggota masyarakat yang akan
mengelola sumber daya alam (bumi,
air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya yang
disebut agrarian dalam arti luas serta
hubungan manusia dengan sumber-
sumber daya alam termasuk
didalamnya mewujudkan keadilan
dalam mendapatkan kesempatan
memperoleh manfaat dari agrarian
tersebut.
Sumber daya manusia disuatu
negara umumnya sebanding dengan
kemajuan negara tersebut, apa[agi
ditunjang oleh sumber-sumber daya
alam yang dimiliki oleh negara itu yang
didistribusikan secara adil dan merata.
Sebaliknya ketiga factor
tersebut justru akan menimbulkan
masalah bila pemerataan pemilikan dan
penguasaannya tidak diperhatikan dan
tujukan untuk kesejahteraan rakyat.

2
1. Bonnei Setiawan, 1997, Reformasi Agraria,
Perubahan Politik, dan Agenda Pembaharuan
Agraria di Indonesia, Konsorsium Pembaruan
Agraria dan lembaga Penerbit FEUI, Jakarta.
Hal 3

2. A.P.Perlindungan, 1980, Komentar Atas
Undang-Undang Pokok Agraria, alumni
Bandung. Hal 27

Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
28

Dari berbagai zaman dan
penga-laman sejarah dunia ,ternyata
ketidakseimbangan pemilikan tanah
(agrarian) yang paling banyak menim-
bulkan masalah dan penyengsaraan
rakyat.
Sebaliknya indikasi sejahtera
tidaknya rakyat si suatu negara
ditentukan
oleh adanya pemerataan
pemilikan dan penguasaan agrarian
negara tersebut.
Istilah pembaruan agrarian
merupakan terjemahan dari agrarian
reform (reforma agrarian), yang dalam
pengertian terbatas dikenal sebagai
landreform, dimana salah satu
programnya yang banyak dikenal
adalah dalam hal redistribusi
(pembagian) tanah.
3
Tanah memiliki hubungan yang
abadi dengan manusia. Pengaturan
tentang penguasaan pemilikan tanah
telah disadari dan sejak berabat-abat
lamanya oleh negara-negara didunia.
Perombakan dan pembaharuan struktur
keagrarian terutama
tanah dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat
terutama rakyat tani yang semula tidak
memiliki lahan olahan/garapan untuk
memiliki tanah. Oleh A.P Parlindungan

4
dikatakan bahwa negara yang ingin
maju harus mengadakan land reform.
Hampir semua negara di dunia
pernah melakukan reforma agraria.
Tong-gak pertama reform agraria
dimulai dari Yunani Kuno, Romawi
Kuno, Inggris, Preancis, hingga Rusia.
Pada masa itu kaum bangsawan dengan
fasilitas yang dimilikinya pada
umumnya menguasai lahan-lahan
pertanian yang luas. Untuk mencegah
pemberontakan rakyat terutama petani-
petani yang tidak mempunyai lahan
atau mempunyai lahan tetapi sempit
maka kaisar mengeluarkan titah tentang
pembagian
kembali lahan-lahan pertanian
kepada petani. Dalam
perkembangannya reforma agraria
mengalami perkem-bangan dan
perubahan dimana ada negara yang
berhasil dan membawa perubahan
dalam perkembangan pembangunan
dalam negaranya namun ada pula yang
gagal. Oleh Walinsky dikatakan
reforma agraria sebagai masalah yang
belum selesai.

5

3. Gunawan Wiradi, 2000, Reforma Agraria
Perjalanan Yang Belum Berakhir,
LaperaPustaka Utama, Yogyakarta. Hal 36

4. Boedi Harsono, 2002, Hukum Agraria
Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA, Isi, dan
Pelaksanaan, Djambatan, Jakarta. Hal 123

5. Ibid

6. Ibid

7. ibid

Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
29

Terhadap pendistribusian tanah
atau program landreform dalam seja-
rahnya pertama kali dipopulerkan oleh
Amerika Serikat di J epang, Korea
Selatan dan Taiwan. Ini kemudian
berkembang ke negara lain di Asia,
Amerika Latin maupun Afrika terutama
dalam dekade 1950-an dan 1960-an.
Dilaksanakannya konferensi Dunia
mengenal Reformasi Agraria dan
pembangunan pedesaan (World
conference on Agrarian Reform and
Rural developent) yang
diselenggarakan oleh FAO (Food and
Agriculture Organisation) PBB di
Roma pada bulan J uli 1979 merupakan
tonggak yang penting dalam sejarah
perjuangan yang panjang untuk
melawan kemiskinan dan kelaparan.
Konferensi ini berhasil meru-
muskan deklarasi prinsip-prinsip dan
program kegiatan (decleration of
principles and Programme of Action)
yang dikenal dengan piagam petani (the
Peasants charter). Secara umum
deklarasi ini mengakui bahwa masalah
kemiskinan dan kelaparan merupakan
masalah dunia dan karenanya
ditekankan bahwa program reforma
agraria dan pembangunan pedesaan
haruslah dilaksanakan secara serentak
meliputi tiga bidang di tiga tingkat yang
saling berkaitan yaitu ditingkat desa,
mengikutsertakan lembaga pedesaan,
ditingkat nasional, mendorong
terlaksananya prinsip-prinsip tata
ekonomi Internasional baru.
Indonesia merupakan salah satu
peserta dari konfrensi dunia itu
melakukan pembaruan dibidang
keagrariaan pada periode 1960-an
sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945, dengan keluarnya
Undang-Undang No. 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (disingkat UUPA) pada tanggal
24 September 1960, yang selanjutnya
diikuti dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang undang (perpu) No. 1 tahun
1960 tentang Luas batas Maksimum
dan Minimum Pemilikan Tanah, pada
tanggal 24 Desember 1960. Perpu ini
kemudian disahkan menjadi Undang-
Undang Nomor. 1 tahun 1961 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Undang-undang ini lebih dikenal
dengan Undang-Undang Landreform.
Untuk aturan pelaksanaannya
dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)
No. 224 Tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian.
Bila di J epang, Taiwan dan
Korea Selatan bila dikatak berhasil
dalam program pembaruan agraria yang
dilaksanakan terutama landreform dan
menjadi contoh bagi negara-negara lain
terutama di Asia, maka Indonesia
setelah 32 tahun berlakunya UUPA,
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
30

program landreform yang dilaksanakan
belum menampakkan hasil bahkan pada
pergantian pemerintahan dari Soekarno
(masa Orde Baru) program landreform
ini terpinggirkan posisinya dalam
kebijakan pembangunan nasional.
Pergantian dari Orde Baru ke reformasi
ternyata tidak mengubah wajah dari
pelaksanaan program landreform
walaupun pemerintah baru reformasi
mulai berupaya menggiatkan kembali
program landreform ini seperti dengan
dikeluarkannya Keputusan Presiden
(Keppres) No. 48 Tahun 1999 tentang
Tim
Pengkajian Kebijaksanaan dan
Peraturan Perundang-undangan Dalam
Rangka pelaksanaan landreform.
Namun sampai sekarang belum nampak
hasil dari tim yang dibentuk tersebut.
Hal ini menunjukkan kekurang seriusan
pemerintah untuk melaksanakan
program landreform, padahal program
landreform berhasil tidaknya
dilaksanakan sangat tergantung pada
kemauan politik pemerintah.
Kebijakan pembangunan yang
beriorientasi memacu pertumbuhan
ekonomi dalam negeri dengan
mengundang investor (dalam negeri
maupun asing) untuk menanamkan
modalnya merupakan salah satu
penyebab terhambatnya program
landreform sebab telah menempatkan
tanah sebagai asset yang bernilai
ekonomi sangat tinggi, akibat yang
dapat dilihat di masyarakat tani tak
bertanah semakin termarginalkan,
jumlah tani penggarap semakin banyak,
bahkan pemgambilalihan tanah rakyat
dengan alasan untuk pembangunan
tidak disertai dangtan pembagian ganti
kerugian yang layak.
Terlalu banyak kasus
pertanahan yang muncul, yang untuk
dapat disebutkan satu persatu. Sudah
terlalu banyak rakyat yang kehilangan
tanah untuk pembangunan negeri ini,
namun mereka tidak dapat ikut
menikmati hasil dari pembangunan ini.

Permasalahan
Berdasarkan uraian dari latar
belakang di atas,maka yang menjadi
pokok permasalahan dalam penulisan
ini adalah :
Bagaimanakah pengaruh
reforma agrarian dunia terhadap
reforma agrarian yang terjadi di
Indonesia ?

Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas terstruktur
dari mata kuliah Hukum Agraria
semester 2 Magister Kenotariatan
Universitas J ayabaya.
2. Untuk mengetahui dampak
positive pengaruh reforma
agrarian dunia terhadap reforma
agrarian di Indonesia sehingga
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
31

menghasilkan suatu penyelesaian
masalah masalah agrarian yang
selama ini menjadi persoalan.
PEMBAHASAN
Pengertian Reforma Agraria
Secara etimologis, kata
agrarian berasal dari kata bahasa Latin
ager yang artinya sebidang tanah
(bahasa Inggris acre). Kata bahasa
Latin aggrarius meliputi arti : yang ada
hubungannya dengan tanah ;
pembagian atas tanah terutama tanah-
tanah umum; bersifat rural. Sedangkan
kata reform sudah jelas menunjuk
kepada perombakan, mengubah dan
menyusun/ membentuk kembali sesuatu
untuk menuju perbaikan.
Dengan demikian, hakikat
makna reforma agrarian adalah :
penataan kembali (pembaruan) struktur
pemilikan, penguasaan dan
penggunaan tanah/wilayah, demi
kepentingan petani kecil,penyakap,
buruh tani tak bertuan.
Ada yang mengatakan
Reforma Agraria berasal dari bahasa
Spanyol, yang berarti Pembaharuan
Agraria yaitu Upaya melakukan
perombakan struktur tanah agraria
dengan cara menghapuskan
kepemilikan monopoli atas tanah dan
sumber-sumber agraria serta
mendistribusikan tanah dan sumber-
sumber agraria lainya kepada petani
penggarap, baik laki-laki maupun
perempuan.



Sejarah perkembangan Reforma
Agraria
Tonggak sejarah reforma
agraria dunia dimulai dari :
1. Yunani Kuno
Pada masa pemerintahan Solon (sekitar
tahun 549 SM) berusaha dilakukan
reforma agraria dengan dikeluarkannya
undang-undang agraria (Seisachtheia).
UU ini dikeluarkan karena menghadapi
kemungkinan terjadinya
pemberontakan hektemor dimana tujuan
UU
6
ini adalah membebaskan para
hektemor dari hutang, dan sekaligus
membebaskannya dari status mereka
sebagai budak dibidang pertanian.
Hektemor yaitu petani miskin yang
menjadi penyakap atau penggarap pada
tanah gadaian atau bekas tanahnya
sendiri yang telah digadaikan pada
orang kaya. Namun ternyata
pendapatan para hektemor ini tidak
mampu menebus kembali tanahnya
ataupun mengembalikan hutangnya
sehingga hektemor ini menjadi
semacam budak bagi sipemegang
gadai (petani kaya, pemilik uang).
Usaha Solon kemudian dilanjutkan oleh
Pisistratus yang melakukan reforma
agrarian melalui program redistribusi
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
32

land to the tiller dan land to the
landless. Petani kecilpun diberi fasilitas
perkreditan.
2. Romawi Kuno
7
Reforma agrarianyang dilakukan di
Roma juga untuk mencegah terjadinya
pemberontakan namun tujuannya
adalah mengangkat rakyat kecil, dengan
cara melakukan redistribusi tanah-tanah
milik umum. Tiberius Gracchus
(anggota DPR
tahun 134 SM) berhasil menggolkan
UU Agraria (Iex agrarian) yang intinya
berupa penetapan batas maksimum
penguasaan tanah. Tanah kelebihan
(yaitu kelebihan dari batas maksimum)
harus diserahkan kepada negara
(dengan ganti rugi) dan kemudian
dibagikan kembali kepada petani kecil
ataupun tunakisma.
3. Enclosure Movement di Inggris
8
Enclosure movement adalah suatu
proses pengkaplingan tanah-tanah
pertanian dan padang pengembalaan
yang semula merupakan tanah yang
dapat disewakan oleh umum, menjadi
tanah-tanah individu. Hal ini dilakukan
terutama oleh para tuan tanah yang
karena tekanan pasar mengalihkan
usahanya dari pertanian kepeternakan
sehingga memerlukan tanah-tanah
peternakan sendiri-sendiri.
4. Revolusi Perancis
Ini merupakan gerakan reforma agraria
besar-besaran yang terjadi pertama kali
pada jaman modern yang bersamaan
dengan terjadinya Revolusi Perancis
(1789). Sistem penguasaan tanah feodal
dihancurkan. Tanahnya dibagikan
kepada petani dan petani budak
dibebaskan. Kesan abadi yang
ditinggalkan oleh Revolusi Perancis
dalam hal reforma agraria adalah dua
hal yang menjadi tujuan pembaharuan,
yaitu :
a. membebaskan petani dari ikatan
tuan-budak (serfdom) dari system
feodal,
b. melembagakan usaha tani keluarga
yang kecil-kecil sebagai satuan
pertanian yang dianggap ideal.
9
Gagasan ideal reforma agraria
di Perancis ini membawa pengaruh luas
keseluruhan Eropa terutama Eropa
Barat dan Utara. Tahun 1870 Jhon
Stuart Mill membentuk Land Terune
Reform Association yang banyak
mendorong dilakukannya pembaharuan
di Inggris dimana feodalisme
digantikan dengan sistem penyakapan
(tenancy). Bulgaria merupakan contoh
negara yang telah lebih dahulu
melakukan pembaharuan agraria sekitar
seratus tahun yang lalu (1880-an) yaitu
pembaruan yang komprehensif, bukan
saja redistributive landreform, tetapi
mencakup pula secara terpadu program-
program penunjangnya seperti koperasi
kredit, tabungan terpusat untuk
kepentingan pengolahan, pabrik
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
33

kalengan dan juga pembinaan usaha
tani intensif.
5. Rusia
Sekitar tahun 1906- 1911 lahir
pembaharuan yang dikenal dengan
Stollpin Reforms, intinya petani
dibebaskan dari komune-komune dan
menjadi pemilik tanah secara bebas,
sehingga terjadi kesenjangan yang
tajam antara petani kaya (kulak) dan
para tunakisma. Berhasilnya kaum
komunis merebut kekuasaan di Rusia
melalui Revolusi tahun 1917 telah
memberikan ciri radikal pada reforma
agraria Uni Soviet, yaitu :
a. hak
pemilikan tanah pribadi
dihapuskan;
b. penyak
apan atau tenacy (sewa, bagi
hasil, gadai dan sebagainya)
dilarang;
c. pengua
saan tanah absentee dilarang;
d. hak
garap dan luas hak garapan
ditentukan atas dasar kriterium
seluas tanah seorang petani telah
benar-benar menggarap tanah itu;
e. mengg
unakan buruh upahan dilarang.
6. The Peasants Charter (Piagam
Petani)
Pasca Perang Dunia II dibawah
pengawasan tentara sekutu reforma
agrarian dilancarkan di J epang, Korea
Selatan dan Taiwan. Kemudian
berkembang keberbagai negara baik di
Asia, Afrika, Amerika Latin terutama
dalam decade 1950-an dan 1960-an.
Setiap negara memiliki ciri khas sendiri
dalam melakukan reforma agraria. Pada
bulan juli di Roma oleh FAO PBB
diselenggarakan konverensi sedunia
mengenai reforma agraria dan
pembangunan pedesaan (World
Conference on Agrarian Reform and
Rural Development). Konverensi ini
berhasil merumuskan Deklarasi prinsip-
prinsip dan program kegiatan
(declaration of principles and
programe of action).
Yang disebut piagam petani (the
peasents charter). Dalam piagam itu
dinyatakan bahwa tujuan reforma
agraria dan pembangunan pedesaan
adalah transformasi kehidupan dan
kegiatan pedesaan dalam semua
aspeknya yaitu aspek ekonomi, aspek
sosial budaya, kelembagaan,
lingkungan dan kemanusiaan. Sasaran
dan strategi untuk mencapai itu
haruslah dipusatkan pada penghapusan
kemiskinan dan haruslah dikendalikan
oleh kebijaksanaan yang berusaha
mencapai pertumbuhan dan
pemerataan, redistribusi kuasakuasa
ekonomi daqn politik, serta partisipasi
rakyat. Inti dari piagam itu bahwa
program reforma agraria dan
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
34

pembangunan pedesaan haruslah
dilaksanakan secara serentak meliputi
tiga bidang dan tiga tingkat yang saling
berkaitan yaitu :
a. di tingkat desa, mengikutsertakan
lembaga pedesaan ;
b. di tingkat nasional, rieoriantasi
kebijakan pembangunan ;
c. di tingkat internasional, men-dorong
terlaksananya prinsip-prinsip tata
ekonomi internasional baru;
Isi piagam ini nampaknya ber-orientasi
kepada lapisan masya-rakat pedesaan.
Dengan piagam petani maka telah ada
pengangkutan dunia mengenai perlunya
program reforma agraria sebagai dasar
pembangunan.
A. Reforma Agraria Indonesia.
Dari berbagai zaman dan
pengalaman sejarah dunia ternyata
ketidak seimbangan pemilikan tanah
(agraria) yang paling banyak
menimbulkan masalah dan
penyengsaraan rakyat. Sebaliknya
indikasi sejahtera tidaknya rakyat
disuatu negara sangat ditentukan oleh
adanya pemerataan pemilikan dan
penguasaan agrarian tersebut.
Secara spesifik lagi Iman
Soetijkno
10
mengungkapkan bahwa
majunya suatu negara selalu
(umumnya) didahului atau disertai
dengan perombakan struktur agrarianya
yang berat sebelah , dalam arti adanya
segolongan manusia
menguasai/memiliki tanah disatu pihak,
dan adanya segolongan besar manusia
yang hidup dari bercocok tanam, tetapi
tidak mempunyai tanah atau hanya
mempunyai tanah sempit. Sebagai
contoh :
1. domexico pada tahun 1859 oleh
juarez, semua tanah gereja disita
kemudian dibagi-bagi pada petani.
Tapi baru berhasil pada tahun 1910
yaitu adanya Agraria Revolution
, yang berakibat adanya perubahan
besar-besaran mengenai struktur
agraria.
2. Sebelas negara dieropa, 60 juta are
tanah yaitu 11% dari luas seluruh
wilayah negara-negara itu disita
atau dibeli oleh pemerintah masing-
masing dari tangan tuan-tuan tanah,
bangsawan, raja maupun gereja dan
kemudian dibagi-bagikan kepada
petani yang tidak mempunyai
tanah.
3. Di Chekoslovakia, 10 juta area tanah
disita, seperdua dibagi-bagikan
kembali kepada petani kecil atau
petani yang tidak mempunyai tanah
selebihnya tetap dikuasai negara
untuk kepentingan umum.
Melihat program pembaruan
agraria yang dilakukan oleh berbagai
negara didunia tersebut, Indonesia
nampaknya kurang belajar dari sejarah
agraria tersebut.
_______
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
35

1. Anonim, 13 Mei 2002,
Pengalaman dan Hikmah
Sejarah UUPA, kompas Cyber
Banyak dokumen baik sebelum maupun
semasa penjajahan menunjukan bahwa
ternyata penumpukan pemilikan dan
penguasaan tanah pada segolongan
kecil selalu berulang dan baru disadari
setelah terjadi tuntutan-tuntutan,
bahkan pemborontakan rakyat.
Pada saat Indonesia masih
terdiri dari kerajaan kecil maupun
besar, umumnya yang paling banyak
menikmati hasil agraria adalah raja,
keluarga raja dan kronikroninya.
Kepentingan rakyat nampak
disepelekan dan kepentingan rajalah
yang diutamakan. Yang terjadi
kemudian kerajaan muda disusupi dan
diadu domba sehingga terjadi perang
antar kerajaan (perang saudara). Salah
satu penyebab utamanya dapat
dikatakan karena kerajaan tidak berakar
oada kepentingan rakyat.
Pada masa penjajahan, yang
paling banyak menikmati hasil agraria
pastilah penjajah dan orang-orang yang
dekat dengan pemerintahan penjajah
sebab politik agraria yang ditetapkan
memang politik yang tidak berpihak
pada kesejahteraan
rakyat jajahan.
Pada saat merdekapun ternyata
tidak serta merta politik agraria
nasional, memerlukan belasan tahun
untuk mewujudkan suatu UU sebagai
jelmaan politik agraria nasional yaitu
tanggal 24 September 1960 yang
dikenal dengan UU No.5 Tahun 1960
tentang peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (Disingkat UUPA) , bahkan
lebih awal dari dilaksanakannya
konfrensi Dunia di Roma tahun 1979
yang menghasilkan piagam petani
dimana Indonesia merupakan salah satu
negara yang
mengirimkan delegasi besar ke
konfrensi tersebut.
Diundangkannya UUPA merupakan
tonggak penting dalam hukum Nasional
Indonesia terutama dalam pembaruan
agraria yaitu ketentuan-ketentuan
Landreform
seperti ketentuan-ketentuan mengenai
luas maksimun-minimum hak milik
atas tanah
(pasal 7 dan 17ayat (1) UUPA) dan
pembagian tanah kepada petani tak
bertanah
(Pasal 17 ayat (3) UUPA).
Pengaturannya terdapat dalam UU
No.56 Prp 1960 tentang Penetapan Luar
Tanah Pertanian (lebih dikenal dengan
UU landreform) dan PP no.224 tahun
1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberioan Ganti Kerugian.
Tujuan dari dilaksanakannya
landreform oleh Boedi Harsono
dikatakan adalah untuk mempertinggi
penghasilan dan taraf hidup para
penggarap petani, sebagai landasan atau
prasyarat untuk menyelenggarakan
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
36

pembangunan ekonomi menuju
masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila .
Namun saat diundang oleh
Presiden soekarno untuk membantu
melakukan program serupa di
Indonesia, Ladeijensky berpendapat
program landreform ini akan gagal di
Indonesia, karena minimnya
pemerintah yang dapat digunakan
membeli tanah-tanah luas yang akan
dibagikan. J uga setelah kunjungannya
yang pertama (1961) beliau
mengatakan bahwa keadaan tanah
dijawa yang langkah dan penduduk
yang banyak maka ketentuan luas
maksimun tidak memungkinkan
tersedianya tanah yang cukup untuk
dibagikan.
11

Ketika UUPA tercipta ternyata
dalam pelaksanaanya banyak juga
hambatan yang menghadangtermasuk
pro-kontra substansialnya dan
kecurigaan terhadap penyusupan paham
komunis di dalamnya, akibat kendala-
kendala itu, maka landreform yang
begitu krusial sempat tidak berjalan
begitu lama. Padahal dalam sejarahnya
landreform justru pertama kali
dipopulerkan oleh Amerika Serikat di
J epang, Taiwan dan Korea Selatan.
Ahli Tanah dari New York, Wlf
Ladeijensy, dikontrak untuk
melancarkan kebijakan pembagian
tanah guna menangkal pengaruh
komunisme.
12
Meski tanah memang langkah karena
tidak bisa diperbaharui (unrenewable
resources ), saling sengketa antara

J ika konsistensi pemantau batas
pemilikan tanah terus dijaga baik batas
maksimal maupun minimal tentu
persoalan keadilan dibidang pertanahan
tidak akan merebak.
Sejak awal pelaksanaan
landreform sekitar tahun 1961 sampai
dengan tahun 2002 setidak-tidaknya
sebanyak 840.227 hak tanah obyek
landreform sudah didistribusikan
kepada 1,328 juta lebih keluarga petani
yang tersebar diseluruh Indonesia
antara lain adanya administrasi
pertanahan yang tidak sempurna. Hal
ini mengakibatkan luas tanah obyek
landreform yang akan dibagikan
menjadi tidak tepat Kelemahan ini
sangat rawan dan membuka peluang
bagi penyimpangan dan
penyelewengan.
Hambatan utama pelaksanaan
landreform adalah lemahnya kemauan
politik pemerintah seperti pada masa
Orde Baru yang lebih mengejar
pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Kebijakan ini kurang memberikan
keberpihakkan pada masyarakat
golongan ekonomi lemah termasuk
petani yang memang membutuhkan
tanah.
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
37

rakyat dengan pemodal diuntungkan
dengan kebijakan ekonomi yang lebih
disebabkan oleh ekspansi modal secara
besar-besaran. Dalam hal, ini para
pemodaldiuntungkan para kebijakan
ekonomi yang lebih condong pada
pertumbuhan ketimbang pemerataan
ekonomi. Data sensus pertanian tahun
1983 dan 1993 misalnya menyebutkan
ternyata hampir 2 (dua) juta petani
dijawa digusur dan melorot statusnya
menjadi buruh tani karena lahan mereka
digunakan pembangunan prasarana
ekonomi, kawasan industri dan
perumahan tanpa konpensasi yang amat
memadai.
Oleh Maria W. Soemarjono
13
1. Sudarga Gautama, 1990, Tafsiran Undang-
Undang Pokok Agraria, PT.Citra Aditya.
Hal 23

dikatakan tanah tidak pernah dijadikan
strategis
pembangunan sehingga pelaksanaan
UUPA sering terhambat secara politis
psikologis Pergantian rezim peme-
rintahan tidak membawa banyak
perubahan pada wilayah pelaksanaan
landreform Indonesia. Walaupun
Pemerintah dimasa reformasi
ini berupaya untuk menggiatkan
kembali landreform dengan
mengeluarkan KepresNo.48 tahun 1999
tentang tim Pengkajian Kebijaksanaan
dan Peraturan Per
Undang-Undangan Dalam Rangka
Pelaksanaan landreform. Tim
Landreform ini mempunyai tugas (pasal
3) yaitu :
a) melakukan pengkajian terhadap
peraturan perundang-undangan
dibidang pertanahan ;
b) melakukan pengkajian dan
penelahan terhadap pelaksanaan
kebijakan dan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan
landreform;
c) menyusun dan merumuskan
kebijaksanaan dan rancangan
peraturan perundang-undangan
yang diperlukan untuk
terlaksananya landreform.
Namun belum kita lihatadanya
hasil dari pembentukan tim tersebut.
Semakin menumpuknya masaalah
pertanahan tidak bisa dilepas dari
macetnya pelaksanaan landreform di
Indonesia. Mencermati perkembangan
masyarakat sekarang dan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang begitu
tinggi maka kiranya kebijakan
pertanahan dalam rangka landreform
perlu ditinjau ulang. Kebijakan ini perlu
untuk disesuaikan dengan konsep
pembaharuan agraria dan paeadigma
baru yang mendukung ekonomi
kerakyatan, demokratis dan partisipatif,
namun hal ini tidak bisa dilepaskan dari
keseriusan pemerintah. Sebab berhasil
tidaknya suatu program tergantung dari
kemauan politik pemerintah berkuasa.


Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
38

D.Agenda Pembaruan Agraria Posta
Orde Baru: antara Harapan dan
Kenyataan
Setelah rezim Soeharto terbukti
mengesampingkan agenda pembaruan
agraria penataan dan pengaturan
penguasaan, pemilikan, pemanfaatan
dan penggunaan tanah secara adil -
sehingga kita harus terus berhadapan
dengan masalah ketimpangan dan
sengketa tanah yang berkepanjangan,
maka pertanyaannya sekarang adalah,
apakah setelah secara formal rezim ini
jatuh lantas dengan sendirinya
pembaruan agraria bisa dilaksanakan?
J awabannya adalah bisa dan harus
diperjuangkan untuk bisa! Namun
demikian, jika kita kembali pada
landasan filosofis yang mendasari ide
dan cita-cita pembaruan agraria, sambil
melihat kecenderungan dan
mempehitungkan peluang serta
kemungkinan yang ada, upaya untuk
melempangkan jalannya tidaklah
semudah seperti kita membalik tangan,
sekalipun di tengah iklim kehidupan
sosial-politik yang lebih demokratis
seperti saat ini.
Mengapa demikian, sebab jika
jalan bagi pembaruan agraria cukup
mulus, mungkin tidak akan muncul
pertanyaan seperti yang pernah
dilontarkan Gunawan Wiradi dalam
bukunya yang berjudul Reforma
Agraria: Perjalanan yang belum
Berakhir (2000: 15), dan dalam
beberapa kesempatan diskusi yang
pernah digelar setelah kelahiran TAP
MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam, serta Keppres
Nomor 34 Tahun 2003 tentang
Kebijakan Nasional di Bidang Agraria:
mengapa isu pembaruan agraria yang
kembali bergema posta lengsernya
Soeharto setelah kurang lebih 32
tahun dipetieskan hanya berlangsung
sesaat, kemudian lenyap lagi?
Pertanyaan ini muncul, tentu saja bukan
karena masalah pertanahan di Indonesia
sudah menemukan muara
pemecahannya. J ustru sebaliknya,
pertanyaan itu lahir sebagai respon
kritis paling tidak terhadap tiga hal.
Pertama, jatuhnya kekuasaan
Soeharto yang oleh banyak kalangan
dinilai sebagai pintu masuk bagi
terwujudnya tata kehidupan sosial,
ekonomi dan politik yang demokratis,
ternyata belum memberi jaminan apa-
apa bagi upaya pemecahan masalah
pertanahan. Seperti pada era Orde Baru,
hingga kini kita masih bisa
menyaksikan maraknya sengketa tanah
di berbagai daerah, yang beberapa
diantaranya bahkan harus merenggut
korban jiwa dan harta benda yang tidak
sedikit. Sekadar untuk menunjuk satu
contoh, kasus sengketa tanah di
Bulukumba yang belum lama ini
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
39

terjadi, adalah sebagian sisi gelap dari
sekian banyak kisah pahit persoalan
tanah di Indonesia yang hadir dan ada
di hadapan kita saat ini.
Kedua, pembaruan agraria
sebagai satu-satunya jalan bagi
pemecahan masalah pertanahan juga
masih belum menjadi agenda politik
utama pemerintah. Sebagai persoalan
yang sangat serius, hingga kini masalah
pertanahan masih belum memperoleh
perhatian yang semestinya. Itulah
sebabnya masalah krisis keadilan yang
kita hadapi sejak jaman penjajahan
yang di era kekuasaan Soeharto
menemukan muara kesuburannya
juga tidak kunjung reda. Di satu pihak
kita masih menyaksikan semakin
banyaknya rakyat yang menjadi
pengungsi-pengungsi pembangunan
(development refugees) akibat
hilangnya penguasaan mereka atas
tanah; sementara di lain pihak tanah
mereka (rakyat) diusahakan secara
eksklusif dan eksploitatif oleh
perusahaan-perusahaan raksasa yang
berlindung di balik kata pembangunan.
Muara dari semua itu adalah krisis
keadilan. Dalam soal tanah, krisis itu
mewujud dalam bentuk: (1)
ketidakadilan dalam akses dan kontrol
berbagai kelompok sosial terhadap
tanah; (2) ketidakadilan dalam
pemanfaatan dan pengelolaan tanah,
terutama berbagai usaha dan organisasi,
serta kehidupan yang ada di atas tanah;
dan (3) pemusatan pengambilan
keputusan berkenaan dengan akses dan
kontrol, serta pemanfaatan tanah.
Ketiga, meskipun saat ini sudah
lahir TAP MPR Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam,
kebijakan produk kompromi politik
yang oleh beberapa kalangan dinilai
sebagai kemunduran dalam perjuangan
pembaruan agraria tersebut juga
tampak belum mampu memberi
jaminan apa-apa bagi upaya pemecahan
masalah pertanahan. Selain kandungan
isinya yang masih memiliki banyak
kelemahan, pemerintah pun belum
menunjukkan komitmen politiknya
yang tegas dan bersungguh-sungguh
untuk mengimplementasikannya. Oleh
sebab itu, lahirnya Keppres Nomor 34
tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional
di Bidang Agraria yang menurut
pemerintah merupakan tindak lanjut
dari amanat yang tertuang dalam TAP
MPR Nomor IX/MPR/2001 kebijakan
itu pun tampaknya masih belum dapat
dijadikan sebagai indikator adanya
kehendak politik dari pemerintah untuk
sesegera mungkin melaksanakan
pembaruan agraria yang sejati.
2. Erman Rejagukguk, 1985, landreform :
Suatu Tinjauan kebelakang dari pandangan
kedepan, Majalah Hukum dan
Pembangunan No.4 Tahun XV, FHUI,
Jakarta. Hal 323
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
40

Dengan melihat kondisi dan
kecenderungan yang ada, sulitnya
pelaksanaan pembaruan agraria di
Indonesia paling tidak disebabkan oleh
lima hal. Pertama, pembaruan agraria
pada dasarnya adalah perubahan
struktur sosial, ekonomi dan politik
masyarakat. Itu artinya, pembaruan
agraria akan membawa konsekuensi
terjadinya perubahan struktur
kekuasaan di masyarakat di satu sisi;
dan akan selalu berhadapan dengan
kekuatan pro dan kontra di sisi lain.
Tidak terkecuali pembaruan agraria,
upaya apa pun yang secara hakiki
hendak melakukan perubahan
fundamental dan radikal transformasi
sosial pada dasarnya hanya bisa
diwujudkan bila seluruh kekuatan
pendukungnya masuk ke dalam arena
pertarungan politik dan kepentingan
yang berbeda-beda, bahkan bertolak
belakang. Diletakkan dalam konteks
inilah, maka perjuangan mewujudkan
pembaruan agraria akan senantiasa
berhadapan dengan kekuatan pro status
quo yang tidak menghendaki
perubahan.
Tantangan terbesar yang
signifikan menjadi perintang jalan
pembaruan agraria terutama datang dari
pihak-pihak yang merasa kepentingan
ekonomi-politiknya terancam bila
kehendak politik itu dilaksanakan.
Mereka yang menguasai dan memiliki
sumber agraria banyak (elite
ekonomi/kaum kapitalis); dan mereka
yang dapat meraup keuntungan besar
dari kondisi tersebut (kaum oportunis),
adalah pihak-pihak yang sama sekali
tidak menghendaki perubahan. Dilihat
dari kacamata kepentingan mereka,
perubahan untuk mewujudkan keadilan
dan kemakmuran bagi sebagian besar
rakyat yang hidup di lapisan bawah
merupakan kerugian besar yang harus
tetapi tidak mau mereka terima.
Kedua, diletakkan dalam
konteks kekinian, faktor yang ikut
merintangi pembaruan agraria datang
dari kekutan kapitalis global yang
secara sistematis dan terencana
melalui institusi WTO, World Bank,
IMF, bahkan Organisasi Non
Pemerintah (Ornop) terus
menggulirkan dan mendesakkan
gagasan globalisasi dan pasar bebas
(neoliberalisme). Seperti telah banyak
dibahas oleh kalangan intelektual kritis,
faham pemikiran yang meyakini
persaingan bebas sebagai kunci
mewujudkan kemakmuran dan keadilan
ini pada dasarnya merupakan instrumen
perubahan sosial, ekonomi, politik dan
budaya yang diciptakan oleh kekuatan
kapitalis global untuk memperlancar
proses penghisapan terhadap sumber
daya alam maupun manusia yang
melimpah di negara-negara Dunia
Ketiga. Dengan demikian, maka tak
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
41

pelak lagi, tanah dan sumber agraria
lainnya menjadi sasaran pokok yang
hendak dikuasai dan dieksploitasi untuk
kepentingan akumulasi modal. Sumber-
sumber agraria yang secara hakiki
merupakan sumber pemenuhan
kebutuhan hidup orang banyak
memiliki fungsi sosial hendak diubah
menjadi barang modal yang penguasaan
dan pemilikannya terkonsentrasi hanya
dibeberapa tangan pemilik modal besar.
Dengan begitu, maka tidak saja rakyat
menjadi kehilangan akses dan kontrol
mereka atas sumber-sumber agraria
bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya,
juga kehilangan basis sumber daya bagi
diperolehnya kuasa ekonomi, sosial,
dan politik mereka.
Berkaca pada kecenderungan
seperti itu, ada dua hal yang harus
senantiasa dicermati dan terus dikritisi.
Pertama, kekuatan neoliberal yang
bercita-cita mewujudkan globalisasi
dan pasar bebas tidak hanya menyusupi
wilayah kekuasaan negara dengan cara
mendikte dan mengarahkan kebijakan-
kebijakan pemerintah agar selaras
dengan kepentingannya, melainkan
juga menyusupi wilayah perjuangan
ornop yang selama ini diharapkan
menjadi salah satu kekuatan
transformasi sosial dengan cara
mengarahkan agenda perjuangannya
sesuai dengan tuntutan globalisasi dan
pasar bebas. Paralel dengan itu, kedua,
didukung oleh pakar teori perubahan
sosial dan sokongan dana yang sangat
besar, para pengusung neoliberalisme
pun terus aktif mewacanakan konsep
dan teori perubahan yang tanpa disadari
oleh penerimanya baik pemerintah,
kalangan akademisi, intelektual
maupun ornop sebagai upaya
pembelokan arah perubahan sosial
sejati yang berpijak pada ide-ide
kerakyatan dan keadilan.
Faktor ketiga yang ikut
menambah daftar kesulitan pelaksanaan
pembaruan agraria di Indonesia datang
dari kekuatan pro pembaruan agraria
sendiri. Hingga kini ornop dan
organisasi rakyat (tani) masih belum
mampu menjadi kekuatan pendorong
perubahan yang cukup kuat dan solid.
Diakui atau tidak, baik ornop maupun
organisasi rakyat (tani) masih banyak
menghadapi kendala baik pada tataran
ideologis maupun teknis-operasional
yang potensial menjadi faktor
penghambat, bahkan kontra produktif
terhadap upaya-upaya pembaruan
agraria. Padahal, jika kita kembali pada
prasyarat pokok pembaruan agraria,
selain adanya political will dari
pemerintah, terpisahnya elite penguasa
dari pengusaha, dan tersedianya data
tentang masalah agraria yang lengkap,
prasyarat pokok lain yang tidak kalah
pentingnya adalah adanya organisasi
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
42

rakyat (tani) yang kuat, solid dan
memiliki komitmen yang tinggi.
Keempat, kita juga masih
menghadapi kenyataan di mana cita-
cita untuk mewujudkan pembaruan
agraria, terutama land reform masih
sering dituduh sebagai kehendak yang
berakar dari ideologi komunis yang
harus diperangi. Ironisnya, sikap phobi
dan paranoid semacam ini tidak hanya
melanda kalangan masyarakat awam
dan mereka yang merasa
sumberdayanya terancam, melainkan
juga melanda kalangan intelektual,
akademisi dan elit politik, bahkan
sebagian kaum tani di pedesaan. Petani
dan masyarakat pedesaan pada
umumnya cenderung menghindari
pembicaraan yang menyangkut masalah
pembaruan agraria dan land reform.
Alasannya, mereka takut dicap BTI
(Barisan Tani Indonesia) atau dituduh
PKI.
Kelima, faktor penting lain yang ikut
menghambat pelaksanaan pembaruan
agraria di Indonesia adalah langkanya
pakar agraria di dalam negeri yang mau
secara serius dan komprehensif
mendalami masalah agraria,
menyebarluaskan dan mewacanakan
pemikirannya ke hadapan publik luas.
Akibatnya, baik wacana teoretis,
historis maupun deskripsi-empiris
tentang masalah agraria menjadi barang
yang sangat langka. Dengan begitu,
maka proses sosialisasi dan penyadaran
baik kepada masyarakat luas, ornop,
organisasi tani maupun pemerintah
tentang hakikat dan arti pentingnya
pembaruan agraria menjadi terhambat.
Ini tentu saja bukan masalah kecil,
sebab jika kita bercermin pada
pengalaman Orde Lama, selain
disebabkan oleh adanya instabilitas
sosial, ekonomi, dan politik, kegagalan
untuk melaksanakan pembaruan agraria
juga disebabkan karena belum
meratanya pengetahuan dan
pemahaman masyarakat tentang
substansi pembaruan agraria.
Akhirnya, apa yang bisa kita simpulkan
dari kenyataan yang tergambar di atas
adalah, bahwa meskipun kehidupan
politik saat ini bisa dikatakan lebih
demokratis, tetapi hal itu belum bisa
memberi ruang yang cukup signifikan
bagi pemecahan masalah pertanahan
melalui pembaruan agraria. Padahal,
jika kita sadari, kehendak untuk
menyelesaikan masalah pertanahan
tanpa pembaruan agraria adalah MIMPI
YANG AKAN TETAP MENJ ADI
MIMPI.

3. Maria W. Soemarjono, 2001, tanah dari
rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk rakyat,
MediaTransparansi Indonesia Cyber.


Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
43

E.Masalah Pokok Pertanahan bukan
Masalah Teknis-administratif:
Upaya Meluruskan Cara Pandang
Seperti telah dikemukakan di
muka, masalah pokok yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah
bagaimana menerjemahkan masalah
pertanahan; dan hal-hal apa saja yang
harus diperhatikan/dipertimbangkan
dalam upaya menangani/memecahan
masalah pertanahan diletakkan dalam
konteks persoalan pokok pertanahan,
pembangunan dan pembaruan agraria.
Sebelum tiba ke sana, terlebih dahulu
akan dibahas apa sesungguhnya yang
menjadi hakikat masalah pertanahan
diletakkan dalam konteks pembangunan
dan pembaruan agraria. Untuk itu,
pertama-tama perkenankanlah saya
untuk meluruskan dan mempetajam
cara pandang atau perspektif kita dalam
melihat hakikat pembangunan dan
kaitannya dengan masalah ketimpangan
dan sengketa/konflik tanah. Hal ini
penting agar pembahasan kita
senantiasa selaras dan berada dalam
koridor kepentingan pembaruan agraria
dan kepentingan sebagian besar rakyat
Indonesia.
Berkenaan dengan
pembangunan, pelaksanaan
pembangunan dalam arti sebagai upaya
untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran (dalam arti luas) seluruh
rakyat secara adil dan merata adalah
keniscayaan. Karena itu, jika akhir-
akhir ini banyak orang yang menggugat
pembangunan, menurut hemat saya,
yang menjadi poin pokok kritiknya
bukan terletak pada kata dan aktivitas
pembangunan, melainkan pada faham
pemikiran atau paradigma termasuk
praktik-praktik yang menyertainya
yang melandasi sebuah konsep
pembangunan. Karena itu,
pembangunan dikatakan gagal, dalam
arti tidak mampu mewujudkan
kesejahteraan dan kemakmuran, tetapi
justru malah menyengsarakan rakyat
banyak, hal itu bukan karena adanya
pelaksanaan atau aktivitas
pembangunan an sich. Kegagalannya
bisa disebabkan oleh tiga kemungkinan.
Pertama, karena praktik
pembangunannya yang menyimpang
dari kerangka dasar yang melandasinya.
Itu artinya, ada kekeliruan (dalam arti
luas) pada tataran implementasi
kebijakan dan program pembangunan.
Kedua, karena secara
paradigmatis/filosofis, konsep
pembangunan yang digunakan memang
tidak memiliki kehendak untuk
mensejahterakan rakyat secara adil dan
merata. Dengan kalimat lain,
kesejahteraan yang ditawarkan konsep
pembangunan semacam ini adalah
pseudo kesejahteraan. Ketiga, karena
baik secara paradigmatis/filosofis
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
44

maupun implementasinya sudah tidak
sejalan dengan kehendak untuk
mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan bagi rakyat banyak.
Dengan demikian, menjadi
jelas kiranya, setiap kita hendak
mengkritik dan membaiki kondisi-
kondisi buruk akibat pembangunan,
maka harus cukup jernih untuk melihat,
apakah dampak buruk yang muncul itu
lahir sebagai akibat dari adanya (1)
kekeliruan pada tataran implementasi
pembangunan; (2) karena konsep
pembangunannya itu sendiri yang
secara paradigmatis/ filosofis sudah
sesat; atau (3) karena keduanya.
Kejernihan dalam melihat dan
mengkritisi pembangunan seperti itu
akan menghindarkan kita paling tidak
dari: (1) upaya-upaya perubahan dan
pembaikan yang sifatnya pragmatis,
parsial, dan semu; serta (2) kerancuan
teoretis dalam merumuskan konsep dan
mengimplementasikan program
pembangunan.
J ika kita bercermin pada
pengalaman buruk pembangunan yang
diprakarsai Orde Baru, maka
kelemahan utamanya terletak pada
paradigma yang mendasarinya, yakni
kapitalisme/ developmentalisme, bukan
semata-mata kekeliruan pada tataran
implementasi kebijakan pembangunan
sebagaimana menurut beberapa
kalangan. Gagasan tersebut secara
empiris telah gagal memenuhi janjinya,
karena terbukti telah menyengsarakan
sebagian besar rakyat Indonesia.
Sampai pada titik ini, maka ada dua hal
penting yang menyangkut masalah
pertanahan yang harus digarisbawahi.
Pertama, akar masalah pertanahan yang
sudah sedemikian parahnya pada
dasarnya bukan terletak pada tataran
masalah teknis administrasi pertanahan.
Bukan pula karena tidak adanya
kepastian hukum atas kepemilikan
tanah (sertifikat tanah). Kedua,
persoalan pertanahan muncul pertama-
tama dan terutama karena tidak adanya
kehendak politik dari pemerintah Orde
Baru untuk meletakkan agenda
pembaruan agraria sebagai basis utama
pembangunan. Ketiadaan kehendak itu
terutama disebabkan oleh ide dan
gagasan pembangunan Orde Baru yang
secara hakiki tidak sejalan dengan cita-
cita pembaruan agraria yang
berorientasi pada kepentingan sebagian
besar rakyat Indonesia.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Membahas masalah
pengambilalihan tanah untuk
kepentingan pembangunan di saat
kita tengah dihadapkan pada masalah
pertanahan yang sangat berat dan belum
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
45

menemukan akhir penyelesaiannya,
jelas bukan perkara mudah. J ika tidak
jernih dalam melihat pokok
persoalannya, besar kemungkinan akan
terjebak pada upaya-upaya dan tawaran
solusi yang seolah-olah hendak
memecahkan masalah, padahal tanpa
disadari justru menambah, bahkan
memperparah beban permasalahan yang
sudah ada. Karena itu, agar terhindari
dari jebakan kerancuan teoretis
semacam itu, di akhir tulisan ini saya
hendak menggarisbawahi dua hal yang
mungkin berguna sebagai catatan dalam
menangani masalah pertanahan yang
ada saat ini.
Pertama, berkenaan dengan faktor
penyebab terjadinya sengketa tanah
sebagai dampak buruk pelaksanaan
pembangunan. Sebagai bagian penting
dari sumber agraria, tanah memiliki
fungsi dan kedudukan yang sangat
strategis, baik secara sosial, ekonomi
maupun politik. Karena nilai
strategisnya itu pulalah tanah menjadi
contested resources yang potensial
melahirkan konflik/sengketa, baik
antara rakyat dengan rakyat; rakyat
dengan perusahaan; rakyat dengan
pemerintah; maupun antarketiganya,
atau antarsiapa pun yang
berkepentingan terhadap sumber agraria
tanah. Oleh sebab itu, faktor penyebab
utama timbulnya konflik/sengketa tanah
dalam konteks pembangunan
sesungguhnya bukan semata-mata
terletak pada persoalan teknis-
administratif pertanahan, seperti adanya
kekacauan dalam pengelolaan dan
mekanisme pengaturan administrasi
pertanahan, ketidaklayakan dalam soal
ganti rugi dalam pengambilalihan tanah
dan sebagainya. Meskipun dalam
beberapa kasus masalah seperti itu
memang terjadi, tetapi bukanlah sumber
utama penyebab timbulnya
konflik/sengketa tanah yang sifatnya
mendasar dan signifikan mempengaruhi
baik buruknya kondisi kehidupan
rakyat.
Masalah tersebut hanyalah satu
dari sekian banyak turunan masalah
pertanahan yang berakar dari: (1)
pilihan paradigma pembangunan yang
tidak selaras dengan kepentingan
sebagian besar rakyat Indonesia. (2)
Adanya perbedaan
pemaknaan/perlakuan dan kepentingan
atas tanah yang secara diametral
bertolak belakang. Di satu pihak tanah
dimaknai sebagai aset ekonomi yang
memiliki fungsi sosial; sementara di
pihak lain dimaknai semata-mata
sebagai barang komoditi dan modal
untuk mencetak nilai lebih. (3) Adanya
benturan kepentingan semacam itu
semakin diperparah oleh absennya tata
aturan yang jelas, tegas, tidak
kontradiktif, komprehensif, dan sesuai
dengan kepentingan sebagian besar
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
46

rakyat tentang bagaimana benda yang
disebut tanah itu dikuasai, dimiliki,
digunakan, dikelola dan dimanfaatkan.
Ketiadaan tata aturan itu pulalah yang
telah memberi ruang kebebasan bagi
setiap prinsip siapa kuat dia dapat
untuk menguasai dan memperlakukan
tanah tanpa memperhatikan hajat hidup
orang banyak. Akibatnya, hanya
mereka yang memiliki kekuasaan
ekonomi-politik besarlah yang memiliki
akses dan kontrol atas tanah secara
leluasa. Sebaliknya, rakyat kecil yang
miskin kuasa ekonomi dan politik
menjadi tersingkirkan.
Kedua, berkenaan dengan
kebutuhan tanah untuk pembangunan,
penulis sepakat, bahwa pembangunan
menuntut ketersediaan tanah yang terus
bertambah. Pertambahan itu terjadi
seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk, serta meningkatnya
kebutuhan akan sarana dan prasarana
umum. Itu artinya, harus ada sekian
banyak tanah yang harus diambil dan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan
itu. Namun, satu hal yang kiranya
penting untuk dicatat, bahwa upaya
untuk merespon perubahan tersebut
harus senantiasa disesuaikan dengan
kondisi obyektif dilihat dari aspek
manusia maupun alam yang ada.
Artinya, apakah penggunaan tanah itu
benar-benar untuk memenuhi
kepentingan sebagian besar rakyat atau
tidak; bagaimana dampaknya terhadap
lingkungan; dan seterusnya? Di atas itu,
agar pembangunan bisa dilaksanakan
tanpa merugikan rakyat banyak di satu
pihak; dan tidak mendapat rintangan
yang berarti di lain pihak, maka
sebelum pengambilalihan tanah untuk
pembangunan dijalankan, terlebih
dahulu harus ada upaya holistik dan
komprehensif untuk: (1) merumuskan
strategi pembangunan yang secara
paradigmatis/filosofis berpijak pada
kepentingan sebagian besar rakyat
rakyat Indonesia; dan (2) melakukan
pembaruan agraria penataan atas
penguasan, pemilikan, penggunaan,
pengelolaan dan pemanfaatan tanah.
J ika kedua upaya tersebut tidak
dilaksanakan, maka persoalan
ketimpangan dan konflik/sengketa
tanah bisa dipastikan akan terus terjadi
dan tetap menjadi karib persoalan
bangsa dan rakyat kita.
Melihat perkembangan
program landreform di Indonesia yang
ternyata dapat
dikatakan sama sekali macet dalam
pelaksanaannya, Indonesia nampaknya
kurang
dapat belajar dari sejarah pembaharuan
agraria, terutama landreform yang
dilakukan
oleh negara-negara lain didunia guna
mendukung pelaksanaan landreform di
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
47

Indonesia, hal ini terutama disebabkan
oleh kurangnya kemauan politik
pemerintah
serta kebijakan pembangunan yang
lebih mengarah pada upaya mengejar
pertumbuhan tanpa memperhatikan
pemerataan ekonomi, akibatnya
dirasakan oleh
rakyat terutama yang tidak memiliki
tanah yang semakin terpuruk pada
kemiskinan.

B. Saran
Disini pemerintah harus bekerja
keras dengan memaksimalkan segala
perundang-undang yang mendukung
agrarian reform kejalan yang lebih baik
lagi denagn membangun politi
pertanahan yang mengangkat derajat
rakyat miskin dimana peruntukan tanah
ditujukan kepada kesejahteraan rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 13 Mei 2002, Pengalaman dan
Hikmah Sejarah UUPA,
kompas Cyber.
A.P.Perlindungan, 1980, Komentar
Atas Undang-Undang Pokok
Agraria, alumni Bandung,
Bonnei Setiawan, 1997, Reformasi
Agraria, Perubahan Politik,
dan Agenda Pembaharuan
Agraria di Indonesia,
Konsorsium Pembaruan
Agraria dan lembaga Penerbit
FEUI,J akarta.
Erman Rejagukguk, 1985, landreform :
Suatu Tinjauan kebelakang
dari pandangan kedepan,
Majalah Hukum dan
Pembangunan No.4 Tahun
XV, FHUI, J akarta.
Gunawan Wiradi, 2000, Reforma
Agraria Perjalanan Yang
Belum Berakhir, Lapera
Pustaka Utama, Yogyakarta.
Maria W. Soemarjono, 2001, tanah dari
rakyat, Oleh Rakyat dan
Untuk rakyat, Media
Transparansi Indonesia
Cyber.
Sudarga Gautama, 1990, Tafsiran
Undang-Undang Pokok
Agraria, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Aminuddin Salle,2007, Hukum
Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum, Kreasi
Total Media, Makassar.
Syaiful Azam, 2003, Eksistensi Hukum
Tanah Dalam Mewujudkan
Tertib Hukum Agraria,,
Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Hasan Wargakususma, 1992, Hukum
Agraria I, PT Garamedia
Pustaka, J akarta.
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
48

Maria, Sumardjono, 2001, Kebijakan
Pertanahan antara Regulasi
dan Implementasi, J akarta.
Munir, 2002, Perebutan Kuasa Tanah,
Lappera Pustaka Utama,
J akarta
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
Gunawan Wiradi, 2002a. Tantangan
Gerakan Pembaruan Agraria
Posta Tap MPR No.
IX/2001, makalah dalam
Munas III KPA di Garut, 23
April 2002.
Gunawan Wiradi , 2002b, Pembaruan
Agraria Anak Kandung Konflik
Agraria, Konflik Agraria Anak
Kandung Pembaruan Agraria,
makalah yang disampaikan
dalam Seminar Nasional
Pembaruan Agraria,
diselenggarakan oleh Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional
(STPN), Badan Pertanahan
Nasional (BPN), di Yogyakarta,
tanggal 16 J uli 2002.
Wiradi, Gunawan, 2001. Masalah
Pembaruan Agraria: Dampak
Land Reform tehadap
Perekonomian Negara,
Makalah dalam diskusi
peringatan Satu Abad Bung
Karno di Bogor, tanggal 4 Mei
2001
Mochamad Tauchid, 1952. Masalah
Agraria: Sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran
Rakyat Indonesia, J akarta:
Tjakrawala.
M.P Sediono Tjondronegoro, M.P.,
1999. Sosiologi Agraria:
Kumpulan Tulisan Terpilih,
Bandung: Akatiga.
Lexy J . Moleong, 1990, Metode
Penelitian Kualitatif, Remaja
Rosdakarya,Bandung.
Maria, Sumardjono, 2001, Kebijakan
Pertanahan antara Regulasi
dan Implementasi, J akarta.
Mertokusumo., Sudikno, 1985, Hukum
Acara Perdata Indonesia,
Liberty ,Yogayakarta
-------------, 2005, Mengenal Hukum
Sebagai Suatu
Pengantar,Liberty,Yogyakarta
Munir, 2002, Perebutan Kuasa Tanah,
Lappera Pustaka Utama,
J akarta
Perangin., Effendi, 1991, Hukum
Agraria Indonesia (Suatu
Telaah dari Sudut Pandang
Praktisi Hukum, CV
Rajawali,J akarta.
Prodojodikoro., Wirjono, 1961,
Rancangan Undang-Undang
Hukum Perjanjian Hukum
dan Masyarakat, Kongres I
Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
49

-----------, Asas-Asas Hukum
Perjanjian, Sumber Bandung,
J akarta
Rahardjo., Seotjipto, 1998, Penyusunan
Undang-Undang yang
Demokratis Suatu Kajian
Sosiologis, Undip, Semarang.
Salle., Aminuddin ,2007, Hukum
Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum, Kreasi
Total Media, Makassar.
Satrio, J , 1992, Hukum Perjanjian, PT.
Cipta Aditia, Bandung.
Soepomo, 1994, Bab-bab tentang
Hukum Adat, PT Pradya
Paramita, J akarta.
Sihombing, 2005, Hukum Tanah
Indonesia, Gunung Agung,
J akarta.
Subekti, 1965, Kumpulan Putusan
Mahkamah Agung mengenai
Hukum Adat, Gunung Agung,
J akarta
-----------, 1999, Hukum Pembuktian,
Pradya Paramita, J akarta
----------, 1995, Aneka Perjanjian, PT
Aditya Bakti, Bandung
----------, 2001, Hukum Perjanjian,
Intermasa, J akarta.
Sumardjono., Maria, 1997, Pedoman
Pembuatan Usulan Penelitian
SebuahPanduan Dasar,
Gramedia Pustaka Umum,
J akarta..
Sutanto.,Retnowulan, 2002, Hukum
Acara Perdata Dalam Teori
dan Praktek, Mandar Maju,
Bandung.
Supardi, 1993, Metodologi Penelitian
Bisnis, Seria 1, BPFE VII
UGM, Yogyakarta.
Soekamto., Soerjono, 1986, Pengantar
Penelitian Hukum, UI Press,
Cet Ketiga.
----------, 2002, Hukum Adat Indonesia,
PT Raja Grafindo Persada,
J akarta.
Soegiyono, 2000, Metode Penelitian
Suatu Pendekatan, Ghalia
Indonesia,J akarta.
Hanintijo, S., R., 1992, Metode
Penelitian Hukum, Ghalia
Indonesia, J akarta.
----------, 1990, Metode Penelitian
Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, J akarta.
Wahid., Muchtar, 2008, Memaknai
Kepastian Hukum Hak Milik
atas Tanah,
Republika, J akarta.
Wignidjodipoero., Soerojo, 1993,
Pengantar dan Asas-asas
Hukum Adat, CV Haji
Masagung, J akarta





Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta
50

B. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, 2007,
Pustaka
Yuastisa, Yogyakarta.
Undang-undang No.4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan atas
Tanah beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah.
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah No.37 Tahun
1997 tentang Peraturan J abatan
Pembuat Akta Tanah
Peraturan Pemerintah N0.24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah








C. Kamus dan Lain-lain
Echols, J ohn., M dan Shadily Hasan,
1997, Kamus Inggris
Indonesia, An English
Dictonery, Penerbit Pt
Gramedia, J akarta.
Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, PT
Rineka Cipta, J akarta.
Keputusan Pengadilan Negeri
Semarang dengan Perkara
No.95/Pd.t/G/PNSMGcinta
rasa keadilan rakyat dan
jelmaan dari cit-cita dan
tujuan nasional.
1

Perpustakaan UPN "Veteran" Jakarta

Anda mungkin juga menyukai