Anda di halaman 1dari 9

Nama : Alexander Satrio

NIM : 049468489

Program Studi : Hukum

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Katolik

TUGAS 2

A. Gereja Katolik memiliki norma hukum yang disebut dengan Kitab Hukum Kanonika
(KHK). Kitab Hukum Kanonik ini berisi pengaturan/norma kehidupan menggereja
baik menyangkut kehidupan beriman Katolik maupun kehidupan hirarki/struktur
organisasi dalam Gereja Katolik. Menilik kemunculannya (perspektif historis)
terbitnya KHK ini tidak sesekali jadi akan tetapi mengalami perkembangan-
perkembangan. Untuk mengetahui lebih jelas dan benar, maka perlu
1. Dijelaskan sejarah hukum kanonik
2. Bagaimana diklasifikasikan hukum Kanonik dalam Kitab Hukum Kanonik.
3. Bagaimana diklasifikasikan hukum kanonik dalam hukum perkawinan

B. Setiap manusia bertujuan untuk mengarahkan hidupnya menjadi Bahagia dan


sejahtera. Untuk mencapai hal tersebut, manusia mengalami berbagai kesulitan dan
kendala. Kesulitan itu dapat meliputi internal dalam diri manusia itu sendiri maupun
faktor eksternal diluar dirinya, atau lingkungan sekitara yang kadang terdiri berbagai
praktek-praktek yang keliru atau bahkan menyimpang dari keteraturan akan hidup
yang baik. Untuk itu diperlukan pegangan dan paduan agar melihat kesulitan dan
kendala itu dalam cara pandang yang komprehensif dan benar dalam iman Katolik.
Selanjutnya diperlukan
4. Penjelasan pengertian moral, immoral, dan amoral.
5. Penjelasan makna moralitas sebagai ciri khas manusia.
6. Pemberian contoh tradisi Gereja terkait dengan prinsip-prinsip moral dasar.
JAWABAN

1. Hukum kanonik (bahasa Belanda: Canoniek recht, bahasa Inggris: canon law) adalah
seperangkat tata cara dan aturan yang ditentukan oleh suatu otoritas gerejawi atau
pengurus gereja dalam mengatur suatu organisasi atau gereja beserta umatnya dalam
Kekristenan. Lebih lanjut, istilah ini secara khusus digunakan oleh Gereja Katolik
Roma (baik Gereja Latin maupun Gereja-Gereja Timur), Gereja Ortodoks Timur dan
Oriental, serta masing-masing gereja partikular dalam Persekutuan Anglikan untuk
hukum gerejawi atau kebijakan-kebijakan operasional yang mengatur Gereja-Gereja
tersebut. Meskipun istilahnya sama, cara bagi Gereja-Gereja tersebut untuk membuat,
menafsirkan, dan mengadili berdasarkan hukum masing-masing sangatlah bervariasi.
Menurut tradisi gerejawi, kanon awalnya merupakan suatu aturan yang diputuskan
oleh dewan gereja, dan kanon-kanon ini menjadi dasar bagi hukum-hukum kanonik.
(Sumber: https://brainly.co.id/tugas/35530075)

2. Hukum Gereja mengacu pada Kitab Hukum Kanonik, mengatur kehidupan warga
Gereja Katolik. Kitab Hukum Kanonik terdiri dari 1752 pasal yang disebut kanon,
yang berarti ruas. Satu ruas, satu norma. (Sumber:
https://brainly.co.id/tugas/40858852)

3. Dalam tahun ketahun setelah Konsili Vatikan II, pemahaman tentang Perkawinan
Kristiani mengalami perkembangan yang pesat. Perkawinan yang semula dilihat
hanya sebagi kontrak, kini dipandang sebagai perjanjian (covenant, foedus) yang
membentuk suatu persekutuan hidup dan cinta yang mesra.

Dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 (hukum lama), kan. 1013 dikatakan bahwa tujuan
pertama perkawinan adalah mendapat keturunan dan pendidikan anak; sedangkan
yang kedua adalah saling menolong sebagai suami dan sebagai obat penyembuh atau
penawar nafsu seksual. Namun sekarang, dengan mengikuti ajaran ensiklik Humanae
Vitae dari Paus Paulus VI, cinta suami istri dilihat sebagai elemen perkawinan yang
esensial. Kodeks baru (KHK 83) dalam Kan 1055, $ 1 berbicara tentang hal itu dalam
arti “bonum coniugum” (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).

Hak atas tubuh suami-istri dalam kodeks lama merupakan tindakan yang sesuai bagi
kelahiran anak. Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (GS) no. 48 menekankan
pemberian atau penyerahan diri seutuhnya (total self donation, total giving of self).
Maka, perkawinan tidak dilihat sebagai suatu kesatuan antara dua badan (tubuh),
melainkan suatu kesatuan antara dua pribadi (persona).

Paham Dasar perkawinan


“Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentu antara mereka
kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada
kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan
perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat
Sakramen.” (Kan. 1055 $ 1)
a. Perjanjian Perkawinan
Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus).
Dalam tradisi Yahudi, perjanjian berarti suatu “agreement” (persetujuan) yang
membentuk (menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga
mempunyai kekuatan mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang
yang mempunyai hubungan darah. Konsekwensinya, hubungan itu tidak
berhenti atau berakhir, sekalipun kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik
kembali.
b. Kebersamaan Seluruh Hidup
Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup
(consortium totius vitae. “Consortium”, con = bersama, sors = nasib, jadi
kebersamaan senasib. Totius vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini
terjadi oleh perjanjian perkawinan. Suami istri berjanji untuk menyatukan
hidup mereka secara utuh hingga akhir hayat (bdk. janji Perkawinan).
c. Antara Pria dan Wanita
Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu
sama lain, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya.
Menjadi “satu daging” (Kej 2:24).
d. Sifat Kodrati Keterarahan kepada suami-istri (Bonum Coniugum)
Selain tiga “bona” (bonum = kebaikan) perkawinan yang diajarkan St.
Agustinus, yakni (a) bonum prolis: kebaikan anak, bahwa perkawinan
ditujukan kepada kelahiran dan pendidikan anak, (b) bonum fidei: kebaikan
kesetiaan, menunjuk kepada sifat kesetiaan dalam perkawinan, dan (c) bonum
sacramenti: kebaikan sakramen, menunjuk pada sifat permanensi perkawinan;
Gaudium et Spes no. 48 menambah lagi satu “bonum” yang lain, yakni bonum
coniugum (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).
e. Sifat Kodrati Keterarahan pada Anak
Perkawinan terbuka terhadap kelahiran anak dan pendidikannya. KHK 1983
tidak lagi mengedepankan prokreasi sebagai tujuan pertama perkawinan yang
mencerminkan tradisi berabad-abad sejak Agustinus, melainkan tanpa hirarki
tujuan-tujuan menghargai aspek personal perkawinan dan menyebut lebih
dahulu kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum)
f. Perkawinan sebagai Sakramen.
Perkawinan Kristiani bersifat sacramental.

Sifat-sifat Hakiki perkawinan (Kan. 1056)

Kanon 1056 mengatakan: “Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan


tak terputuskan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus
karena sakramen.” Sifat-sifat hakiki perkawinan, yaitu monogami dan sifat tak
terputuskannya ikatan perkawinan, termasuk paham Perkawinan Katolik. Patut
diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak jarang
berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali,
sehingga perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah
diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak
mengakui validitas atau efektivitas perceraian itu. Dengan demikian suami istri yang
telah cerai itu di mata Gereja masih terikat perkawinan dan tak dapat menikah lagi
dengan sah. Andaikata itu terjadi, maka di mata Gereja terjadi poligami suksesif.

Konsensus Perkawinan atau kesepakatan perkawinan adalah perbuatan


kemauan dengan mana suami istri saling menyerahkan diri dan saling menerima
untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali. Itu
berarti hanya konsensus yang “menciptakan” atau membuat suatu perkawinan
menjadi ada (matrimonium in fieri, terjadinya perkawinan pada saat mempelai
menyatakan konsensus).

Pada saat mempelai saling memberikan konsensus dalam perjanjian


perkawinan, saat itu dimulai hidup perkawinan atau hidup berkeluarga yang akan
berlaku dan berlangsung sepanjang hidup (matrimonium in facto esse, hidup
berkeluarga). Para pihak harus cakap hukum atau mempu menurut hukum untuk
membuat konsensus perkawinan (Kan 1057 $ 1), artinya mereka tidak terkena suatu
cacat psikologis apapun yang dapat meniadakan konsensus perkawinan (Kan 1095).

Konsensus harus dinyatakan secara legitim, artinya harus dinyatakan oleh


kedua pihak satu terhadap yang lain, menurut norma hukum yang berlaku, misalnya
dengan keharusan mentaati forma canonica atau suatu bentuk tata peneguhan publik
lainnya yang diakui. Konsensus tak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun;
artinya tak ada kuasa apapun atau siapapun yang dapat dengan sewenang-wenang dan
melawan hukum membuat konsensus bagi orang lain.

Wewenang Gereja atas perkawinan orang-orang katolik

Kanon 11 menyatakan bahwa orang yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau
diterima di dalammya terikat oleh undang-undang yang bersifat semata-mata
gerejawi. Itu berarti mereka yang bukan Katolik, entah dibaptis atau tidak, tidak
terikat oleh undang-undang tersebut.

Namun, dalam hal perkawinan, ada semacam perkecualian. Kanon 1059


mengatakan: “Perkawinan orang-orang Katolik, meskipun hanya satu pihak yang
Katolik, diatur tidak hanya hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum kanonik, dengan
tetap berlaku kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari
perkawinan itu.”

Dengan demikian jelas bahwa dalam hal perkawinan campur, pihak non-
Katolik secara tak langsung terikat oleh undang undang gerejawi (karena harus
mengikuti pasangannya yang Katolik dan yang secara langsung terikat oleh undang-
undang gerejawi).
Akibat-akibat perkawinan yang semata-mata sifatnya sipil berada di luar
kewenangan Gereja. Misalnya, Gereja tidak bisa mengatur bagaimana harus
mengurus harta warisan, harta bawaan, harta bersama, kewarganegaraan, perubahan
nama istri dengan mengikuti nama suami, dsb.

Syarat Perkawinan Katolik

1. Bebas dari Halangan-halangan Katolik


- Belum Mencapai Umur Kanonik
- Impotensi
- Ikatan perkawinan terdahulu
- Perkawinan beda agama
- Tahbisan Suci
- Kaul kemurnian public dan kekal
- Penculiukan
- Pembunuhan teman perkawinan
- Hubungan darah
- Hubungan semenda
- Kelayakan public
- Hubungan adopsi
2. Adanya Konsensus atau kesepakatan nikah
3. Dirayakan dalam “forma canonika”
4. Fds

(Sumber: http://yesaya.indocell.net/id814.htm)

4. Amoral didefinisikan dalam kamus Oxford sebagai “Kurangnya rasa moral; tidak
peduli dengan kebenaran atau kesalahan sesuatu ”. Seperti yang ditunjukkan oleh
definisi ini, amoral menunjukkan tidak adanya sensibilitas moral atau ketidakpedulian
terhadap moralitas. Amoral juga dapat didefinisikan sebagai tidak bermoral atau
immoral; istilah ini menunjukkan posisi netral terhadap moralitas. Ketika seseorang
melakukan sesuatu tanpa memikirkan kebenaran atau kesalahannya, kita dapat
mengatakan bahwa itu adalah tindakan amoral. Anak-anak kecil juga tidak memiliki
rasa moralitas karena mereka tidak dapat membedakan perbedaan antara benar dan
salah.
Immoral adalah kebalikan dari moral dan berarti tidak sesuai dengan standar
moralitas yang diterima. Immoral mengacu pada sengaja melanggar aturan antara
benar dan salah. Immoral menyampaikan perasaan negatif dan ketika digunakan
untuk menggambarkan seseorang, immoral berarti jahat, kejam, tidak etis, atau jahat.
Orang yang immoral tahu perbedaan antara benar dan salah tetapi memilih untuk
tidak mematuhi prinsip – prinsip moral. Dengan demikian, penjahat dalam film, novel
dan bahkan kartun dapat digambarkan sebagai immoral
(Sumber https://perbedaan.budisma.net/perbedaan-amoral-dan-immoral.html)

5. Moral berasal dari kata latin mores yang berarti adat kebiasaan. Dalam kamus besar
bahasa Indonesia kata moral berarti “akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna
tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku
batin dalam hidup”. Moral adalah suatu ajaran wejangan-wejangan, patokan-patokan,
kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus
hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.

Dari ketiga pendapat tersebut dapat disimpulkan moral adalah ajaran atau pedoman
yang dijadikan landasan untuk bertingkah laku dalam kehidupan agar menjadi
manusia yang baik atau beraklak. Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia
yang menunjukan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. moralitas
mencakup pengertian tentang baik, buruknya perbuatan manusia.

Moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal yang menjadi ciri
yang membedakan manusia dengan binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran
tentang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh, harus dan yang tidak pantas
dilakukan baik keharusan alami. maupun keharusan moral. Keharusan alamiah terjadi
dengan sendirinya sesuai hukum alam, sedangkan keharusan moral adalah hukum
yang mewajibkan manusia melakukan atau tidak melakukan.

Menurut Kant moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma
hukum batiniah kita , yakni apa yang kta pandang sebagai kewajiban itu. Moralitas
akan tercapai apabila kita menaati hukum lahiriah bukan lantaran hal itu membawa
akibat yang menguntungkan kita atau takut pada kuasa sang pemberi hukum,
melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban kita.
(Sumber: https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB358511441.pdf)

6. Moral, dari kata Latin, moralis, artinya: cara bertindak. Bagi manusia, moral
berhubungan dengan penggunaan kehendak bebas untuk melakukan suatu
tindakannya.[1] Gereja Katolik mengajarkan bahwa iman tidak terpisah dari tindakan
atau perbuatan agar dapat menyelamatkan (lih. Yak 2:14-26). Karena itu moralitas
tidak terpisahkan dalam kehidupan kita sebagai umat beriman. Moralitas ada salah
satu pilar dalam pengajaran iman: 1) Pengetahuan akan apa yang kita imani (Credo/
Syahadat); 2) Bagaimana kita merayakan iman kita (Liturgi dan Sakramen); 3)
Bagaimana melaksanakan iman kita (Moralitas); 4) Bagaimana menghidupi iman kita
(Doa).

Ajaran-ajaran Gereja Katolik tentang moralitas bertumpu pada prinsip-prinsip ini:


Pertama, adalah bahwa manusia diciptakan oleh Allah menurut citra Allah dan
dipanggil untuk melakukan perbuatan baik (Ef 2:10) dan kelak hidup berbahagia
selamanya di dalam Kerajaan Surga.[2] Kedua, namun karena berdosa, manusia
sering gagal dalam perjuangan menuju kepada tujuan akhir ini. Ketiga, karena itu,
dalam kasih-Nya, Allah mengutus Kristus untuk menebus dosa kita. Dan bersama
Allah Bapa, Kristus mengutus Roh Kudus untuk memampukan kita sampai kepada
tujuan akhir itu. Keempat, namun diperlukan kehendak bebas manusia untuk dapat
bekerjasama dengan rahmat Allah ini, sehingga manusia dapat sampai pada tujuan
akhir yang membahagiakan ini.

Katekismus merangkum prinsip-prinsip dasar ini di paragraf pertamanya:


“Allah dalam Dirinya sendiri sempurna dan bahagia tanpa batas. Berdasarkan
keputusan-Nya yang dibuat karena kebaikan semata-mata, Ia telah menciptakan
manusia dengan kehendak bebas, supaya manusia itu dapat mengambil bagian dalam
kehidupan-Nya yang bahagia. Karena itu, pada setiap saat dan di mana-mana Ia dekat
dengan manusia. Ia memanggil manusia dan menolongnya untuk mencari-Nya, untuk
mengenal-Nya, dan untuk mencintai-Nya dengan segala kekuatannya. Ia memanggil
semua manusia yang sudah tercerai-berai satu dari yang lain oleh dosa ke dalam
kesatuan keluarga-Nya, Gereja. Ia melakukan seluruh usaha itu dengan perantaraan
Putera-Nya, yang telah Ia utus sebagai Penebus dan Juru Selamat, ketika genap
waktunya. Dalam Dia dan oleh Dia Allah memanggil manusia supaya menjadi anak-
anak-Nya dalam Roh Kudus, dan dengan demikian mewarisi kehidupan-Nya yang
bahagia.”[3]

Kelima, agar panggilan Tuhan dapat didengar oleh seluruh dunia, Kristus mengutus
para rasul untuk mewartakan Injil dan mengajarkan segala perintah-Nya (lih. Mrk
16:15; Mat 28:19-20). Karena panggilan ini berlangsung sepanjang abad, maka kita
perlu mendengarkan para penerus Rasul, yaitu para Paus dan Uskup yang sebagai
pemimpin Gereja diberi tugas untuk mengajarkan Injil dan perintah-perintah Tuhan
itu dalam kepenuhannya. Perintah-perintah Tuhan dinyatakan untuk mengatur moral
manusia, agar manusia dapat sampai kepada tujuan akhir, yaitu Surga.

Keenam, perintah-perintah Tuhan diketahui oleh manusia melalui akal budinya, oleh
suara hati/ hati nuraninya.
Maka, untuk bahagia, jalannya adalah melakukan perbuatan baik, yang dimulai dari
meninggalkan dosa untuk selanjutnya mengikuti teladan Kristus. Katekismus
mengajarkan:

“Warga Kristen ‘telah mati bagi dosa, tetapi hidup bagi Allah dalam Yesus Kristus’
(Rm 6:11) karena mereka telah digabungkan di dalam Kristus melalui
Pembaptisan…., mengambil bagian dalam kehidupan dari Dia yang telah bangkit.
Dalam mengikuti Kristus dan bersatu dengan Dia, warga Kristen mampu meneladani
Allah ‘sebagai anak-anak-Nya yang kekasih’ (Ef 5:1) dan mengikutiNya pada jalan
cinta kasih. Mereka berusaha supaya dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan,
‘menaruh pikiran dan perasaan’ yang ‘terdapat juga dalam Yesus Kristus’ (Flp 2:5)
dan berpedoman pada teladanNya.”
(Sumber: https://www.katolisitas.org/unit/apakah-prinsip-prinsip-moralitas-dalam-
gereja-katolik/)

Anda mungkin juga menyukai