Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna sebagai makhluk multi
dimensional yang berimplikasi akan kebutuhan kehidupan, baik bio-psiko-sosio-
religius. Kebutuhan tersebut pada dasarnya imun bagi salah satu aktivitas hidup
yang penting bagi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu Perkawinan. Perkawinan
adalah sebuah kesepakatan yang disepakati oleh kedua belah pihak yaitu antara
seorang pria dan wanita untuk sama – sama mengikat diri hingga bersama
memenuhi kebutuhan – kebutuhan tertentu, baik lahir maupun batin. Perkawinan
tidak hanya menjadi ikatan antara seorang pria dan wanita, namun keluarga kedua
belah pihak pun turut andil. Perkawinan merupakan suatu anjuran dalam setiap
agama.
Ketika dikatakan “memenuhi kebutuhan batin”, terdapat peranan yang penting
antara hubungan perkawinan dengan agama (kerohanian). Dalam pasal 2 ayat (1)
Undang – Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 ditetapkan bahwa “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Sangatlah jelas bahwa urgenitas agama berada pada tingkatan
tertinggi, hingga kecil kemungkinan untuk kawin dengan melanggar “hukum
agamanya sendiri”. Pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara Kristen (Protestan)
dan Katolik terutama mengenai masalah ketuhanan dan kitab suci. Sama – sama
berpedoman pada Al-Kitab (Perjanjian baru), yang terdiri dari empat bagian, yaitu
Gospels (himpunan Injil), Acts of Apostles (kisah para Rasul), Epistles (himpunan
surat) dan Apocalypse (wahyu). Sebuah perkawinan kristen adalah perkawinan
antara seorang suami dengan seorang istri, yang untuk seumur hidup mereka, saling
mengikatkan diri dalam ikatan kasih-setia. Perkawinan kristen punya tiga (trilogi)

1
asas pokok. Tiga asas tersebut adalah: (a) asas monogami; (b) asas kesetiaan
(fidelitas); dan (c) asas seumur hidup (indisolubilitas).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pernikahan dalam agama Kristen ?
2. Apa saja hukum yang terkait dengan pernikahan agama Kristen ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan konsep yang terbentuk tentang pernikahan menurut
perspektif agama Kristen (Protestan).
2. Untuk melihat perbandingan konsep pernikahan antara agama Kristen dengan
hukum yang terkait.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Pernikahan


Nama lain dari agama Kristen ialah Protestan. Di dalam agama Kristen, terdapat
banyak aliran teologi. Dari aliran tersebut menimbulkan suatu otoritas tersendiri
bagi setiap gereja, sehingga berdampak pada sulitnya mencari dan menemukan
hukum perkawinan (khususnya) yang dapat diberlakukan bagi setiap gereja Kristen
(Protestan). Dalam agama Kristen, istilah perkawinan disebut juga pernikahan atau
nikah. Mereka memandang bahwa nikah itu suatu ketetapan Allah. Hal ini
berdasarkan pada kesaksian Alkitab pada Kejadian 2 ayat 24 dan Matius 19 ayat
3.Menurut Dr. J.L.Ch.Abineno (1989:1), nikah mempunyai aspek kembar. Pada
satu pihak ia adalah suatu hubungan (antara suami dan istri yang diatur dan
disahkan oleh hukum). Pada pihak lain ia adalah suatu hubungan yang didasarkan
atas penetapan atau peraturan Allah. Hal ini sesuai dengan firman Tuhan dalam
Kejadian 2 ayat 18, yaitu “Tidak baik, kalau manusia itu sendiri saja. Aku akan
menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”. Ayat tersebut
memberikan jawaban berupa alasan Tuhan dalam menetapkan pernikahan, yaitu;
1. Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja
2. Manusia memerlukan seorang penolong yang sepadan dengan dia Menurut
agama ini, Tuhan menghendaki pernikahan sebagai suatu persekutuan hidup.
Persekutuan dalam kasih Tuhan, dalam menghayati berkat pernikahan dan
dalam menunjukan perhatian pada pekerjaan masing-masing.

Dalam Perjanjian Baru (Matius 19: 5 dan 6) terdapat ajaran Tuhan Yesus
tentang perkawinan, yaitu : ayat 5: Sebab itu laki – laki akan meninggalkan ayah
dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
ayat 6: Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang
telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Dari sini dapat dilihat

3
bahwa dalam ajaran agama ini sangat menekankan akan kekekalan perkawinan,
dan hanya mautlah yang memisahkan mereka. Namun, tidak dapat dipungkiri
adanya kuasa dosa yang menyebabkan terjadinya perceraian di hadapan hukum.
Menurut Dr. Fridolin Ukur (1987: 1), bahwa walaupun Gereja Protestan
menganggap perceraian itu sebagai kesalahan, namun mengakui kenyataan tersebut
dan tidak menutup kemungkinan bagi awal perkawinan baru. Menurut buku Decree
for the Armenians, tujuan pernikahan ada 3 rangkap, yaitu :

1. Melahirkan anak – anak dan mendidik mereka dalam penyembahan kepada


Tuhan.
2. Kesetian suami dan istri, satu sama lain.
3. Karakter pernikahan tidak dapat dibatalkan, yaitu karena ini mencirikan
persatuan yang tidak dapat diceraikan antara Kristus dan gereja Secara umum,
suatu kehidupan dengan tujuan kebahagiaan merupakan tujuan dari pernikahan
Kristiani yang Allah ciptakan dengan maksud manusia dipersiapkan untuk
benar – benar menjadi manusia yang seutuhnya.

2.2 Tata Cara Pernikahan


Dalam UU Perkawinan pasal 10 dan 11 tentang Peraturan Pelaksanaan No. 9
tahun 1975 ayat(2), yang pokoknya bahwa Tata Cara Perkawinan dilakukan
menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu. Begitu
banyak pasangan Kristen membuka diri terhadap saran-saran tentang prosedur
pernikahan mereka, sehingga menjadikan suatu angan akan pernikahan adalah
tindakan ibadah Kristen yang paling indah. Pernikahan merupakan bentuk cinta
kasih yang sedang matang. Pernikahan pada dasarnya terdiri dari kontrak (contract)
umum yang disepakati secara bebas dan bersama-sama di hadapan para saksi.
1. Pra Pernikahan
Pada sesi awal ini, konseling merupakan proses awal yang harus dilewati oleh
setiap calon pasangan. Jadwal mereka akan diatur untuk dapat face to face

4
dengan pendeta yang sifatnya pribadi. Hal ini dilakukan agar calon pasangan
telah mantap untuk mengikat janji suci di hadapan Tuhan. Dalam sesi ini,
pendeta harus melakukan 3 hal, yaitu :
 Berbicara tentang Tuhan
 Memberitahukan tentang cara membangun sebuah keluarga Kristen yang akan
Allah berkati selamanya.
 Memberitahukan untuk menemui seorang dokter sebelum menikah. Hal ini
berbicara tentang keintiman mereka sebagai sepasang suami – istri yang
bertanggung jawab.
 Memberitahukan untuk tidak seharusnya seorang pasangan memiliki anak
dengan segera setelah menikah.
 Tentang persiapan, menjadi perhatian khusus bahwa semua yang berhubungan
dengan pernikahan harus ditekankan dan mengekspresikan nuansa Kristen.
2. Format dari Ibadah Pernikahan
Setelah lilin menyala dan orang tua wanita duduk, pendeta yang diikuti
pengantin pria dan orang yang terbaik memasuki ruangan menuju tengah kapel
dengan iringan mars pernikahan. Selanjutnya, pengiring pengantin, pembawa
cincin dan mereka yang terlibat mengambil tempatnya masing – masing.
Pengantin wanita masuk didampingi seseorang (khususnya ayah) yang akan
menyerahankan dirinya kepada pengantin pria.
 Pendeta menyampaikan kotbah sebagai pembukaan.
 Sang ayah menyerahkan putrinya kepada pengantin pria setelah menjawab atas
pertanyaan dari pendeta. Lalu ayah duduk di samping istrinya.
 Pendeta dan pasangan pengantin melakukan pertanyaan dan pernyataan atas
kesediaan dan janji yang kudus dalam ikatan pernikahan. Hingga acara tukar
cincin diikuti pernyataan setiap calon pengantin untuk menerima pasangannya.
 Pendeta berdoa, sebuah doa yang telah ditempatkan Allah di dalam hatinya.
Ketika upacara pernikahan berlangsung, hasil dari persiapan pernikahan harus

5
terasa. Jemaat harus merasakan bahwa mereka telah menjadi bagian Gereja,
khususnya pasangan pengantin dan keluarga.

2.3 Hukum yang Mengatur


Dalam pasal 2 UU Perkawinan, diatur tentang sahnya suatu perkawinan, yaitu :
Ayat (1) : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum
Agama/Kepercayaannya”
Ayat (2) : “Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan
yang berlaku”
Dari sini timbul pertanyaan, apakah harus terpenuhi kedua ayat tersebut untuk
memenuhi sahnya perkawinan ? Dalam Ordonansi Perkawinan Indonesia – Kristen
tentang Pemberitahuan dan Pengukuhan Perkawinan pasal 19 ayat (1) menyatakan
bahwa “Semua orang yang akan kawin harus memberitahukan niatnya itu kepada
Pegawai Catatan Sipil atau kepada Penuntun Agama dalam wilayah salah satu
pihak yang akan kawin bertempat tinggal”. Dapat ditarik sedikit kesimpulan bahwa
setiap perkawinan harus dicatat terlebih dahulu di Catatn Sipil, kemudian diproses
sesuai agama/kepercayaan masing-masing. Perbuatan pencatatan itu semata – mata
bersifat administratif. Perkawinan Gerejani sangat penting bagi umatnya, tetapi
tidak mempunyai akibat hukum dalam perkawinan, dan dalam Undang - undang
ditentukan bahwa perkawinan Gerejani hanya boleh dilaksanakan sesudah
perkawinan dihadapkan pegawai Catatan Sipil (Pasal 81 KUH Perdata). Menjadi
catatan penting, bahwa yang dilaksanakan gereja bukanlah menyatakan sah atau
tidaknya suatu perkawinan, namun “meneguhkan dan memberkati” suatu
perkawinan yang sudah disahkan oleh negara dihadapan hukum (dilangsungkan di
Kantor Catatan Sipil). Dalam SK Mendagri No. 97 tahun 1978, bahwa pemerintah
mengangkat pemuka agama (pendeta/pastor) untuk bertindak atas nama
pemerintah, dengan sebutan Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan.

6
2.4 Problematika Pernikahan
Tidak ada yang sempurna dalam kehidupan ini, begitupun dalam perkawinan.
Seideal apapun perkawinan tersebut, pasti ada saja lika – likunya. Berikut beberapa
problematika dalam perkawinan dalam pandangan agama Kristen, yaitu :
1. Perceraian
Perceraian merupakan salah satu persoalan utama yang dihadapi rumah tangga
saat ini. Berbagai faktor dapat memicu timbulnya kata perceraian ini, seperti
perselingkuhan, KDRT, desersi, dan sebagainya. Perceraian pasti menimbulkan
dampak yang besar, baik secara fisik maupun batin. Dalam ajaran Kristen,
perceraian / perpisahan tetap atau selamanya tidak diperbolehkan. Gereja setia
pada ajarannya bahwa pernikahan hanya sekali antara seorang lelaki dan
perempuan, dan apa yang telah dijodohkan Allah tidak boleh diceraikan. Hal
ini mengacu pada Alkitab, Markus 10:9, “Karena itu, apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Selanjutnya, jika melihat
Alkitab, Matius 19:9, “Tetapi Aku berkata kepadamu : ‘Barang siapa
menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain,
ia berbuat zinah’”, maka dapat ditarik pemahaman bahwa satu-satunya alasan
perceraian adalah perzinahan.Sekedar informasi bahwa dalam agama Kristen,
pengajuan perceraian sangatlah tidak mudah. Mereka harus mengajukan
permohonan perceraian dengan persyaratan tertentu, bukan hukum agama, tapi
semacam KUHP. Sekali pun tidak mengizinkan perceraian, namun kebanyakan
gereja Kristen (Protestan) mengizinkan perceraian dan perkawinan ulang.
Perceraian dibolehkan hanya dalam kasus khusus, misalnya imoralitas seksual
atau ditinggalkan pasangan yang tak beriman.
2. Poligami Dalam antropologi sosial, poligami merupakanpraktik pernikahan
kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang
bersangkutan). Dalam ajaran Kristen ditegaskan bahwa praktek poligami itu
dilarang. Hal ini mengacu pada Alkitab, Perjanjian Lama yang menyebutkan
bahwa Allah menciptakan satu pria (Adam) dan satu wanita (Hawa) untuk

7
melahirkan keturunan. Namun, Alkitab juga tidak menafikkan bahwa telah
adanya praktek poligami yang dilakukan tokoh Kristiani. Adanya poligami
dicatat dimulai dari anak Kain, Lamech. Kain adalah anak Adam yang berdosa
membunuh Habel saudaranya. Dari sinilah penyimpangan (praktek) poligami
terjadi sejalan dengan penolakan manusia akan titah Tuhan. Dan pada zaman
sekarang, banyak gereja yang memberikan kelonggaran poligami berdasarkan
kitab – kitab kuno agama Yahudi.
3. Perkawinan Beda Agama
Seperti yang diketahui bahwa setiap agama menghendaki adanya pernikahan
seiman (seagama), tidak terkecuali agama Kristen. Untuk agama Kristen tidak
adanya larangan bagi jemaatnya untuk nikah dengan orang yang berbeda
agama. Dalam problem ini kebanyakan berputar pada perkawinan antar agama
Kristen (Protestan) dengan agama Khatolik. Dalam hal terjadi perkawinan antar
agama, maka menurut Pdt. Dr. Fridolin Ukur (1987 : 2) ialah :
 Mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil dimana kedua belah pihak tetap
menganut agama masing – masing.
 Kepada mereka diadakan penggembalaan khusus.
 Pada umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka.
 Ada gereja – gereja tertentu yang memberkati perkawinan campur beda agama
ini, setelah pihak yang bukan Protestan membuat pernyataan bahwa ia bersedia
ikut agama Protestan.
 Ada pula gereja tertentu yang bukan hanya tidak memberkati, malah anggota
gereja yang kawin dengan orang yang tidak seagama itu dikeluarkan dari
gereja.
2.5 Perbandingan
Perbandingan Persoalan pernikahan, tidak ada perbedaan yang jauh antara
Hukum agama Islam dengan Hukum agama Kristen. Mereka sama – sama
meyakini akan ketetapan jodoh / pasangan hidup yang telah disiapkan buat umatnya

8
di dunia. Namun, terhadap hal – hal tertentu, adanya sedikit perbedaan penafsiran
antara ajaran Islam dan ajaran Kristen. Misalnya tujuan pernikahan, Islam
berotoritas pada naluriah hidup guna melangsungkan kehidupan (keturunan),
mewujudkan ketentraman hidup dan menumbuhkan serta memupuk rasa kasih
sayang, sedangkan Kristen berotoritas pada kebahagiaan dan kekekalan akan suatu
pernikahan. Selanjutnya, terhadap problem perceraian, Islam menganggap bahwa
hal tersebut halal untuk dilakukan, meskipun pada dasarnya Allah sangat membeci
perceraian, karena Islam membimbing umatnya untuk tidak saling terpecah-belah,
namun pada ajaran Kristen, bahwa perceraian (dengan tegas) selamanya tidak
diperbolehkan. Pada problem perkawinan beda agama, Islam berprinsip tidak
diperkenankannya adanya perkawinan beda agama, karena hal ini telah dipertegas
di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah : 221, namun adanya pengecualian bagi laki-
laki muslim dengan wanita non muslim. Namun, pada agama Kristen, tidak adanya
larangan untuk penganutnya, namun ada sebagian gereja tertentu di kalangan
Kristen (Protestan) yang menurut tata gereja yang masih berlaku. Dan masih
banyak lagi yang tidak dapat dijangkau dalam makalah ini.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 . Kesimpulan
Dalam agama Kristen, nikah itu suatu ketetapan Allah. Suatu persekutuan hidup
dalam kasih Tuhan, dalam menghayati berkat pernikahan dan dalam menunjukan
perhatian pada pekerjaan masing-masing. Tujuannya ialah kebahagiaan dan
kekekalan akan suatu pernikahan. Dalam UU Perkawinan pasal 10 dan 11 tentang
Peraturan Pelaksanaan No. 9 tahun 1975 ayat(2), yang pokoknya bahwa Tata Cara
Perkawinan dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Yang dilaksanakan gereja bukanlah menyatakan sah atau
tidaknya suatu perkawinan, namun “meneguhkan dan memberkati” suatu
perkawinan yang sudah disahkan oleh negara dihadapan hukum. Alkitab, Markus
10:9, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia”.

3.2 Saran dan Kritik


Dalam penulisan makalah ini tentulah memiliki banyak kekurangan, baik dari
segi penulisan, ilmu yang saya tuangkan, maupun hal lainnya. Saya sangat
menyadari bahwa pengetahuan yang saya peroleh sangat jauh dari kecukupan. Oleh
karena itu, dengan rasa kerendahan hati dan kerdilnya ilmu yang saya miliki, saya
memohon saran dan kritik yang dapat membangun penulisan selanjutnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

file:///C:/Users/Acer/Downloads/326129887-Perkawinan-Agama-Kristen.pdf

11
LAMPIRAN

12

Anda mungkin juga menyukai