Anda di halaman 1dari 13

Pernikahan dan Perceraian

Daniel Permana
Daniel1999@gmail.com

I. Pendahuluan
Perkawinan merupakan salah satu bagian kehidupan yang penting. Ucapan selamat
yang lazim disampaikan kepada pasangan yang baru menikah adalah selamat menempuh
hidup baru. Hal ini berarti perkawinan menandai datangnya kehidupan yang baru. Menurut
Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, definisi perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa (pasal 1). Pada azasnya, dalam undang-undang ini, seorang suami hanya
boleh memiliki seorang istri dan seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami (pasal 3
ayat 1). Namun pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (pasal 3 ayat 2). Hal ini
berarti bahwa bagi seorang suami dibuka kesempatan untuk memiliki lebih dari satu orang
istri namun bagi seorang istri tidak dibuka kesempatan seperti itu. Dengan kata lain, seorang
suami secara legal dapat berpoligami sedangkan bagi seorang istri hal tersebut tidak berlaku.
Hal yang begitu dekat namun bertolak belakang dengan perkawinan adalah
perceraian. Fenomena kawin-cerai marak di kalangan sosialita negeri ini. Ini dapat dibuktikan
dengan semakin tingginya frekuensi berita atau informasi perceraian melalui suguhan
infotaimen di berbagai media. Menilik kondisi masyarakat Indonesia dalam beberapa dekade
terakhir maka terlihat adanya peningkatan angka perceraian. Berikut ini adalah data tahun
2010 dari Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI; yaitu dari 2 juta orang nikah setiap
tahun di Indonesia, ada 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian per tahun (Kompas
online, 2012). Adapun faktor perceraian disebabkan banyak hal, mulai dari selingkuh,
ketidakharmonisan, sampai kepada persoalan ekonomi. Faktor ekonomi merupakan
penyebab terbanyak dan yang unik bahwa 70 % yang mengajukan cerai adalah istri, dengan
alasan suami tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga (Kompas online, 2012).
Tingginya angka perceraian yang rata-rata mencapai 10 % dari jumlah perkawinan
setiap tahun tidak hanya ada di kalangan masyarakat non-Kristen. Tidak sedikit warga gereja
yang mengakhiri ikatan perkawinan sakral dengan perceraian. Meskipun data yang pasti sulit
ditemukan, namun secara umum jumlah kasus perceraian di pengadilan negeri pun
meningkat. Oleh karena itu, dalam makalah ini kelompok akan menelusuri kajian atau
pandangan Alkitab tentang perkawinan dan perceraian. Kajian ini akan mencakup
pemahaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, kemudian melihat konteks Indonesia,
khususnya masyarakat dan gereja (Toraja, HKBP dan Gereja Toraja Mamasa), sehingga akan
ditariklah kesimpulan apa yang harus dilakukan untuk menolong warga gereja memahami
perkawinan dan perceraian berdasar kajian teologis-biblis.

II. Pernikahan dan Perceraian dalam Perjanjian Lama


Dalam Perjanjian Lama, perkawinan dimengerti sebagai suatu hubungan normal yang
ditetapkan oleh Allah. Menurut sumber Priester, salah satu tujuan penciptaan manusia dalam
narasi Kej 1: 26-28 sepenuhnya direalisasikan dalam persatuan suami dan istri di dalam
pernikahan. Pernikahan selalu dianggap sebagai keadaan normal 1 bagi setiap insan manusia,
sekalipun ada pilihan menjadi selibat (tidak menikah) hal itu dipandang hanya sebagai
panggilan yang luar biasa untuk memenuhi misi pelayanannya, misalnya seperti nabi
Yeremia yang tidak menikah. Pemutusan kesatuan dari pasangan akibat kematian dari salah
satu pasangan dipandang sebagai sebuah kemalangan sebab salah satu dari keduanya
berkurang menjadi sendiri, dan ia menjadi janda atau duda karena ditinggal akibat kematian.
(Edmond 1958, 172)
Refleksi yang paling berkembang tentang kesatuan dari suami dan istri adalah dalam
narasi penciptaan oleh sumber Jahwist, di mana kita dapat melihat sendiri pokok mengenai
pernikahan dalam keseluruhan Perjanjian Lama adalah sesuatu hal yang suci yang
dikehendaki Allah. Perempuan itu diambil dari tulang rusuk manusia (Adam/laki-laki) dan
terbentuk bersama dengan suaminya menjadi satu daging; itulah mengapa seorang laki-laki
dan istrinya tanpa henti meminta dan saling mengajak dalam hubungan suami-istri.
Kebahagiaan pada pertemuan pertama tetapi berakhir kesedihan karena perpisahan di antara
suami dan istri akibat kematian, digambarkan sebagai suatu kemalangan. Di samping
kesatuan tersebut, seluruh pemberitaan Perjanjian Lama2 tentang pernikahan menegaskan
bahwa perempuan tunduk kepada pria. Pria oleh dirinya sendiri adalah seorang makhluk yang
belum lengkap, maka Allah menciptakan perempuan menjadi teman dan penolong baginya,
dan laki-laki itu mengucapkan seruan kekaguman: "Inilah daging dari dagingku" (Kej 2:23).
Ikatan pria kepada perempuan itu bukanlah petunjuk untuk mendukung suatu tatanan
matriarkat. Perjanjian Lama selalu memberikan perempuan itu peran lebih rendah, di ranah
keagamaan serta dalam kehidupan sosial, meskipun ini tidak menghalanginya untuk
1
Yohanes Krismantyo Susanta, “‘Barrenness’: Jalan Penggenapan Janji Allah Bagi Keluarga Allah,” Jurnal Jaffray
15, no. 2 (September 23, 2017): 249, https://doi.org/10.25278/jj71.v15i2.253.

2
Yohanes Krismantyo Susanta, Mengenal Dunia Perjanjian Lama: Suatu Pengantar (Surakarta: Kekata
Publisher, 2018).

2
memenuhi sesekali fungsi dari seorang pemimpin militer ataupun seorang nabiah, tetapi pada
umumnya tempat dari perempuan itu adalah di rumah, di mana dia dipanggil untuk
mengabdikan dirinya untuk tugas-tugas yang martabatnya. Dalam suasana rumah tangga,
perempuan itu dapat melaksanakan panggilan gandanya sebagai istri dan sekaligus penolong
bagi suaminya, dan bersama dengan suaminya seorang istri melahirkan seorang anak ke
dunia ini untuk menjamin kelangsungan generasi. Inilah idealnya kesatuan dari pasangan
yang menikah yang hanya dimengerti dalam masyarakat di mana monogami adalah kondisi
normal, sekalipun dalam kenyataannya ada saja yang berpoligami. (Edmond 1958, 173)
Dalam kitab Kejadian 2: 18, Allah berfirman: “Tidak baik kalau manusia itu seorang
diri, Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.“ Penolong yang
sebenarnya barulah diterima Adam ketika Tuhan Allah memberikan kepadanya seorang
perempuan. Allah membuat Adam tidur nyenyak, lalu mengambil salah satu rusuknya dan
dari rusuk itulah Allah menciptakan seorang perempuan. Dengan riwayat yang sederhana ini
si pengarang menunjukkan suatu kebenaran, yaitu laki-laki dan perempuan merupakan suatu
kesatuan yang erat. Perempuan adalah “tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya.”
Itupun diakui oleh Adam, ketika ia bangun dari tidurnya dan menyambut perempuan itu dari
tangan Allah. Suami dan istri merupakan satu daging, suatu kesatuan yang mutlak. Di sinilah
ternyata anggapan yang tinggi sekali mengenai pernikahan. Bagi bangsa-bangsa Asia Barat
Daya kuno, tujuan pernikahan ialah untuk membangun keturunan. Sebab itu poligami pada
umumnya diterima baik di masyarakat Asia Barat Daya Kuno. Tetapi penulis Kejadian 2,
yaitu sumber Jahwist, berpendapat bahwa tujuan utama dari pernikahan adalah tolong
menolong dan penggabungan suami dan istri di dalam satu kehidupan rumah tangga. Dengan
sendirinya maka pernikahan itu berarti monogami (Kej 2: 24), dan pada mulanya, hubungan
laki-laki dengan istrinya itu masih murni (ay.25), seperti hubungan antara manusia dan Allah.
(Baker 1972, 22-23)
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah Israel berada di tanah perjanjian
itu yakni tanah Kanaan (Palestina), Israel berhadapan dengan tradisi keagamaan orang
Kanaan. Sebelum memasuki tanah perjanjian itu, di dalam Kitab Imamat diatur hukum-
hukum upacara keagamaan Israel, terutama tentang kekudusan. Di dalam konsep kekudusan
itu, kudusnya pernikahan itu juga ikut diatur. Tujuannya adalah untuk menjaga pengaruh dari
tradisi agama Baal (agama orang Kanaan) yang menganut paham poligami. Para kaum imam
begitu ketat untuk memelihara kehidupan umat Allah yang harus hidup sesuai dengan
panggilan Allah untuk hidup kudus. Oleh karena itu, dalam Imamat 18: 20 diaturkan konsep
kekudusan pernikahan itu. Hukum-hukum seksual yang sangat ketat itu dimaksudkan untuk
menjaga kehidupan umat Israel, dan bahwa wanita dilarang memainkan peranan dalam

3
kultus resmi. Adanya qedosyoth yaitu pelacur-pelacur sakral (pelacur-pelacur bakti) dalam
agama Baal, mengakibatkan wanita dalam tradisi keagamaan Israel dilarang memasuki bait
Allah. (Vriezen 1982, 170)
Dalam Taman Firdaus, Allah telah menetapkan bentuk perkawinan monogami atau
perkawinan dengan satu perempuan (tetapi di antara orang Israel terdapat juga perkawinan
poligami yang diizinkan dan diatur oleh hukum dalam beberapa hal untuk menjaga supaya
jangan terjadi ketidakadilan – Ulangan 21: 15-17). Dalam praktiknya tentu kebanyakan laki-
laki mempunyai hanya satu istri dan perkawinan poligami itu kebanyakan terdapat pada
kalangan orang kaya dan raja-raja. Perzinahan dihukum dengan membunuh orang-orang yang
melakukannya (Im 20:10). Perceraian diperbolehkan oleh sebab “kekerasan hati orang-
orang”, (band: Mat 19:18), tetapi setelah bercerai, perempuan yang diceraikan tadi tidak
boleh kawin lagi dengan lakinya yang telah menceraikannya itu (Ul 24:1-4). Pada umumnya
laki-laki lebih bebas dalam berhubungan daripada seorang perempuan. Anak perempuan,
yang menjadi ahli waris, hanya diperbolehkan kawin dengan orang dari suku bangsa
bapaknya saja (Bil 36). Namun, ada juga suatu arus penolakan kuat terhadap gagasan
menceraikan istri itu (Mal 2:14 dst) berdasarkan analogi perjanjian Allah dengan Israel.
Hubungan perkawinan adalah bayangan dari perjanjian Allah dengan Israel itu. Oleh karena
itu, perkawinan dengan perempuan-perempuan Kanaan pun dilarang (Ul. 7:3). Dalam
Kejadian 38 ada dibicarakan tentang perkawinan dengan janda yang ditinggalkan oleh
seseorang (perkawinan dengan ipar). Jika ada seseorang meninggal dengan tidak
meninggalkan anak laki-laki, maka saudaranya – jika ini tidak ada, salah seorang anak
saudaranya yang lebih dekat – wajib kawin dengan janda itu. Anak pertama yang lahir dari
perkawinan itu dianggap anak orang yang meninggal tadi dan anak itu mendapat warisan
orang yang meninggal itu (Ul 25: 5-10). (Baker 1972, 273)
Ada banyak petunjuk dalam Perjanjian Lama untuk kebahagiaan dalam perkawinan
(misalnya: Ams 5:7-8 dst; Kidung Tobit 7: 8 – 10:13) dan jalan untuk menjamin keturunan
malah masih ada juga sesekali disebutkan suatu perkawinan di lingkungan kerabat dekat yang
kemudian hari dilarang (Kej 24; band Im 18: 6-18). Perkawinan dengan orang asing dilarang
pada waktu orang Israel kembali dari pembuangan (Ezr 9-10). Pada zaman Ezra – Nehemia,
kultus dibersihkan dan diperbaharui, dan serentak dengan itu Yahudi dipisahkan secara ketat
dari penduduk wilayah sekitar. Dalam rangka pemisahan itu, Ezra menuntut, supaya tiap
orang Yahudi yang sudah menikah dengan wanita asing menceraikan istrinya atau
meninggalkan masyarakat Yahudi. Rupanya masyarakat Yahudi pada waktu itu sembrono
dalam soal pernikahan; bahkan orang yang sudah mengalami pembuangan pun tidak segan-
segan menceraikan istrinya yang pertama dan menikah dengan istri asing (Maleakhi 2:10 ff).

4
Kawin campur makin lazim (Ezra 9:1 ff; Neh 13:23). Bahkan yang demikian itu terjadi bukan
hanya di antara kaum awam, tetapi juga di antara para imam dan Lewi. Pada zaman kerajaan,
ada banyak istri dan gundik tersedia bagi raja-raja di zaman kerajaan (1 Raja 11:3).
(Browning 2007, 268)

III. Pernikahan dan Perceraian dalam Perjanjian Baru


Dalam PB, pada umumnya kita dapat melihat bahwa pernikahan merupakan suatu
ikatan atau hubungan yang hanya dapat dipisahkan oleh kematian/maut. Ada gambaran yang
menarik dalam konteks pernikahan, yang dikisahkan dengan Gereja yang bukan hanya Tubuh
Kristus, tetapi juga pengantin (istri)-Nya (Wahyu 19:7-9). Kedua hubungan itu
diperlambangkan lebih dahulu di Taman Eden, ketika Hawa yang diambil dari dalam tubuh
Adam dijadikan istrinya. Pernikahan pun kemudian dilambangkan sebagai hubungan antara
Kristus dengan pengantin-Nya, yang danggap sebagai sesuatu yang suci, sebagaimana
hubungan gereja terhadap Kristus suci adanya (Band. Efesus 5:25-27). (Lindsay 1993, 13)
Salah satu tujuan pernikahan ialah “menghindari percabulan” (1 Kor 7:2) dan Allah tidak
merestui “pernikahan” dengan banyak istri (poligami). (Wiersbe 1983, 91)
Matius 19:1-12 memperlihatkan apa yang menjadi sikap dasar Yesus terhadap hukum
Taurat, meskipun teks ini berbicara tentang perceraian, namun di dalamnya dapat juga digali
visi Yesus tentang pernikahan yang ideal. Perikop ini setidaknya menegaskan bahwa
perkawinan adalah sesuatu yang sudah ditentukan Allah ‘sejak semula’ : Allah sendiri yang
mempersatukan seorang pria dan wanita. Maka, sejak semula ditegaskan ketidakterceraian
perkawinan orang beriman. Kejadian 1:27 dan 2:24 digunakan oleh Yesus untuk turut
mendukung pernyataan yang disampaikan-Nya tentang perkawinan yang sesuai dengan
kehendak Allah ‘sejak semula’. (Florimond 2009, hal 18-19)
Definisi perkawinan secara Alkitabiah adalah suatu ikatan janji yang eksklusif dan
heteroseksual antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan, ditahbiskan dan
dikukuhkan oleh Allah, mandiri dengan terlepas dari ikatan sebelumnya dalam keluarga dan
orang tua, mencapai kegenapannya yang sepenuhnya dalam persetubuhan, menjadi suatu
pasangan yang permanen saling menopang dan biasanya dianugerahkan anak-anak.
Perkawinan secara harafiah memang tak tertiadakan, namun perceraian adalah pelanggaran
perjanjian, suatu tindakan penyimpangan dari maksud dan ideal Ilahi, ada suatu
‘pengkhianatan’, dan Allah membenci-Nya (Mal 2:13). (Stott, 374-375)
Penginjil Matius dalam Matius 19:9 memberi kelonggaran dalam hal
perceraian,”kecuali karena zinah (yunani : porneia)”. Banyak perbedaan pendapat tentang hal
ini, apa artinya porneia? Ada beberapa ahli tafsir yang mengatakan bahwa porneia menunjuk

5
pada perkawinan yang belum sah atau tidak sah seperti : kumpul kebo, incest, dan lain
sebagainya. Akan tetapi, ahli lain berpendapat bahwa porneia di sini berarti benar-benar
perzinahan atau pun percabulan. Maka, Yesus seakan-akan memperbolehkan perceraian jika
salah satu pihak atau kedua-duanya telah berbuat zinah. Ada pula yang beranggapan bahwa
”kecuali karena zinah” ini merupakan tambahan dari penulis Matius karena alasan praktis
dari pengalaman konkret jemaat tersebut dan karena itu dapat dijadikan ‘dasar’ untuk
kebijakan dalam jemaat dewasa ini untuk kasus-kasus tertentu. Namun, di atas itu semua,
yang tetap menjadi ideal ajaran Yesus adalah : perkawinan bersifat kekal dan tak terceraikan,
dan itu sesuai dengan kehendak Allah “sejak awal penciptaan”, ap’ arkhes ktiseos.
(Florimond 2009, 19)
Surat Paulus yang pertama kepada jemaat di Korintus (7:15) juga menggambarkan suatu
pernikahan yang salah satu dari kedua belah pihak telah bertobat dan menjadi orang Kristen.
Jika pihak yang lain tidak (belum) memeluk agama Kristen dan tidak merintangi pihak ke
satu yang telah menjadi Kristen itu maka haruslah kedua pihak tetap bersatu di dalam
pernikahan mereka. Tetapi jika pihak yang bukan Kristen itu tidak mau lagi hidup bersama
dengan suami atau istrinya karena suami atau istri itu telah menjadi Kristen, maka tidak ada
larangan lagi untuk bercerai. Tertapi inisiatif untuk bercerai itu janganlah sekali-kali datang
dari pihak yang sudah menjadi Kristen. (Verkuyl 1993, 114)

IV. Reinterpretasi kembali teks Alkitab tentang pernikahan dan perceraian


Dalam Alkitab tidak ada disebutkan perkawinan sebagai upacara keagamaan.
Perkawinan itu peristiwa legal (hukum) dan sosial yang ditandai adat yang dikembangkan
sejak berabad-abad. Ada iring-iringan dari rumah mempelai perempuan yang memakai
telekung (Kid 6:7), menuju tempat mempelai laki-laki. (Browning 2007, 352) Tetapi
sekalipun demikian, Perjanjian Lama menegaskan bahwa pernikahan itu adalah kudus dan
monogami. Apabila hubungan yang kudus itu rusak akibat adanya poligami atau
perselingkuhan, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan, maka rusaklah juga
hubungan antara manusia dan manusia dan juga dengan Allah.
Dari awal penciptaan manusia (Kej 1: 26-28), Allah telah menetapkan bahwa
hubungan laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan keadaannya semula adalah murni
dan menyukakan hati. Tetapi dalam perjalanan umat Israel selanjutnya, kemurniaan dalam
hubungan suami dan istri itu telah rusak oleh ketegaran hati umat Israel sendiri yang tidak
mematuhi hukum kekudusan mengenai pernikahan. Maka diperlukan aturan-aturan untuk
menjaga supaya kehidupan pernikahan itu tetap murni dan kudus, yaitu monogami. Karena
pernikahan itu adalah merupakan ketentuan Allah, dan Allah menghendaki supaya dalam

6
kehidupan rumah tangga itu tercipta hubungan yang harmonis dan saling setia, maka suatu
hal yang mutlak kalau proses pernikahan itu diaturkan dalam upacara keagamaan. Hal ini
didasarkan pada firman Allah yang tertulis dalam kitab Kej 2: 24 “Sebab itu seorang laki-laki
akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya
menjadi satu daging”. Dari nats inilah dapat dimengerti bahwa proses pernikahan itu adalah
sesuatu yang kudus dan murni, bukan sesuatu yang sembarangan, melainkan suatu hubungan
yang sudah ditetapkan Allah sebelumnya. Melalui proses pernikahan ini, seorang laki-laki
hidup bersama dengan seorang perempuan yang menjadi istrinya dalam kehidupan rumah
tangga. Dan dalam hubungan ini, Allah memberkatinya dengan keturunan (Kej 1: 28).
Selanjutnya, Kitab Maleakhi (2:1-14) hendak menjelaskan kepada kita bagaimana
pewartaan para nabi tentang adanya penyalahgunaan praktik-praktik ibadat di Kenisah, yang
membawa kehancuran makna ibadat. Para imam dikritik karena para imam yang seharusnya
menjadi pemimpin bangsa menyalahgunakan ibadat, kawin campur dengan bangsa lain, suku
maupun budaya dan bertindak kurang adil. Secara khusus dalam pasal 2, dibahas nubuat
tentang perceraian dan perjanjian. Nabi menyerang kebiasaan cerai yang merajalela (14-16).
Apalagi, menurut hukum Musa, hanya orang laki-laki yang boleh menceraikan (Ul 24:1; Hos
2:4) (istri yang menceraikan suaminya sesuatu yang bukan kebiasaan orang Yahudi, tetapi
kebiasaan Yunani dan Roma). Mereka menceraikan istri mereka orang Yahudi, kemudian
menikahi wanita asing yang menyembah dewa lain (11). Peringatan yang diberikan ini juga
dimaksudkan kepada seluruh umat, tidak hanya para imam (Ezra 9-10). Dari kritik tajam
tentang perceraian itu, muncul arah pemahaman akan hubungan nikah. Dalam sejarah Israel,
istri dilihat sebaga milik suami, seperti barang-barang dan ternak (Kej 20:17). Maka itu
perceraian mudah sekali dilaksanakan. Kini, perkawinan dilihat sebagai ikatan perjanjian
(14), maka mengingkari istri berarti melalaikan janji ini, dan akibatnya ialah tidak
menghargai hubungan perjanjian dengan Yahwe sendiri. Ketidaksetiaan terhadap istri
perjanjian berarti mencemarkan kenisah (11). Perkawinan yang diikat oleh perjanjian
dimengerti nabi memiliki berkat Yahwe sendiri karena Yahwe menjadi saksi dan hadir di
tengah umat-Nya (14). (Darmawijaya 1990, 120-121)
Perceraian kemudian menandakan bahwa kekudusan umat Tuhan telah dinajiskan
dengan pernikahan dengan wanita dari bangsa lain, dan Allah sendiri telah dihina. Perceraian
menunjukkan bahwa mereka tidak menghargai relasi kesatuan dalam konsep Israel yang
memiliki satu Bapa dan pencipta, yaitu Allah, yang memandang rendah setiap pegkhianatan
yang hendak merusak kesatuan itu. Adapun maksud menajiskan tersebut berlatar dari
pemahaman bahwa tempat kudus Tuhan berarti Bait Allah dan bangsa yang kudus (Yer 2:3).
Wanita dari bangsa lain ditujukan kepada anak perempuan allah asing dari agama lain, dan

7
perkawinan dengan mereka menunjukkan kemurtadan. Pernikahan ditekankan pada nilai
perjanjian yang diberikan, bahwa kita diingatkan akan Kej 2:24, Yes 42:5; Mat 19:4-6 yang
secara umum menyatakan bahwa ke-Bapak-an yang satu menuntut kesetiaan dari para
anggota keluarga. Apabila pria Israel mengusir istri-istri mereka, maka mereka bersalah
karena ketidaksetiaan dan akan menonjol apabila kemudian mereka menikah dengan wanita
lain yang non-Israel karena agama yang akan dianut keturunan mereka kemudian
kemungkinan besar adalah agama sang ibu, bukan bapak. (Adamson 1996, 758-759)
Perceraian secara tegas dilarang dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Baru (Matius 19:1-
12), ada pemahaman yang coba dikaitkan dengan kisah dalam Ulangan 24 yang mengandung
perbedaan tafsiran baik yang mengarah pada apa saja yang membuat hati suami tidak senang,
atau pun sikap perzinahan oleh istri. Yesus kemudian menjelaskannya dengan konsep
penciptaan dimana laki-laki dan perempuan diciptakan menurut maksud Allah (Kejadian
1:27). Satu daging (ayat 5) menunjukan persatuan yang sempurna, ada hubungan yang sangat
dalam antara dua orang yang bersetubuh sehingga keduanya menjadi satu pada tingkat
manusiawi yang dapat disamakan dengan kesatuan antara Kristus dengan orang Kristen (1
Kor 6:16-17). Kata-kata Yesus jelas melarang perceraian, dan di sisi lain mengkritik Ulangan
24:1-4 yang mengandung unsur kebebasan kaum suami untuk menceraikan istrinya. Ini pula
yang kemudian menjadi suatu pembatasan terhadap kebebasan suami yang tanpa batas.
(Nixon 1982, 107) Ulangan 24 menunjuk pada alasan atau prosedur (hukum) perceraian,
yang dimaksudkan juga untuk melindungi hak-hak dari orang yang bercerai, khususnya
perempuan. Hukum ini tidak menuntut, tidak melarang, bahkan tidak mengizinkan
perceraian. Tujuannya adalah melarang laki-laki untuk mengawini ulang mantan istrinya
kalau ia sudah pernah menceraikannya, karena ini adalah ‘kekejian di hadapan Allah’.
Hukum ini juga untuk melindungi perempuan terhadap suami yang tidak bisa diandalkan
ucapan maupun perilakunya yang mungkin juga memiliki perangai yang kejam. Hukum ini
tidak dimaksudkan menyetujui adanya perceraian, tetapi semata-mata pada keadaan jika
seseorang menceraikan istrinya. (Stott, 376)
Perceraian menurut ajaran Alkitab secara tidak langsung telah merusak tatanan yang
baik dalam pernikahan yang sudah ditentukan oleh Allah. Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru, tidak menyetujui adanya perceraian. Tetapi demi menjaga kekudusan hidup
individual, perceraian itu akhirnya tidak bisa dielakkan lagi jika salah satu pihak melakukan
tindakan perzinahan dan juga berbagai aspek/masalah lainnya. Perceraian menurut Verkuyl
kemudian dapat disebut sebagai Borderline Cases, yakni soal-soal istimewa yang biasanya
sulit untuk memberi keputusan sehingga terpaksa mengadakan perceraian sekalipun
menyedihkan juga. Jika seorang istri atau suami jatuh ke dalam dosa zinah karena keadaan-

8
keadaan tertentu dan sangat menyesali perbuatannya itu maka perbuatan zinah itu tidak boleh
menjadi alasan untuk bercerai, tetapi mereka terpanggil untuk saling mengampuni dan mulai
lagi dengan permulaan yang baru. Dengan kata lain, ada suatu keadaan di mana istri atau
suami jatuh ke dalam dosa tidak secara insidentil (kebetulan) tetapi si istri atau si suami hidup
dan dengan tetap hidup dalam dosa zinah. Di situlah hancurnya dasar-dasar pernikahan.
Pernikahan telah rusak sama sekali sehingga tidak dapat diperbaiki kembali dan jika sudah
demikian keadaanya, perceraian tidak terlarang lagi. Sebab pada hakekatnya pernikahan itu
tidak ada lagi. (Verkuyl 1993, 113)

V. Pernikahan dan Perceraian di Indonesia


Dalam konteks Indonesia, kelompok mencoba memberikan contoh konsep pernikahan
dan perceraian dalam konteks budaya dan gereja yang ada di Indonesia (dalam hal ini gereja
HKBP, Gereja Toraja Mamasa, dan budaya Toraja).
A. Pernikahan dan Perceraian dalam Budaya Toraja
Bagi orang Toraja pernikahan (Rampanan Kapa’) merupakan salah satu nilai yang
sangat penting dalam kehidupan. Nikah itu mulia dan indah sama seperti kapas, putih bersih.
Nikah didasarkan pada kejujuran (Tang dipakundunni bukunna loli, tang dipakalumbambanni
tangke pamuso’3) sehingga keharmonisan dari pernikahan tidak boleh diganggu. Pernikahan
memegang peranan penting dalam kehidupan persekutuan; bukan hanya untuk
mengembangkan dalle’ 4
bukan hanya untuk mendapatkan keturunan dan melanjutkan
kehidupan (lolo tau, lolo patuoan, lolo tananan), melainkan juga untuk memelihara,
mempererat, atau memulihkan hubungan kekeluargaan yang rusak (dalam bahasa Toraja
dikatakan Umpulung rara, umpulung buku5). Sehingga pernikahan bukan soal pribadi antara
kedua calon pengantin, melainkan urusan seluruh keluarga (Kobong 2008, 34).
Dengan memperhatikan hal tersebut maka faktor yang tidak kalah pentingnya bagi
pasangan yang akan menikah adalah hal kematangan usia, finansial, pikiran, mental dan
spiritual karena suami istri yang telah menikah akan membangun rumah sendiri (tongkonan)
sebagai pusat bagi keturunan untuk mengamalkan kedamaian dan harmoni di dalam rangka
persekutuan komunitas. Pernikahan itu sendiri sudah berada di bawah pengawasan aluk6
yang mengatur bahwa terdapat jaminan tambahan untuk mengamankan pernikahan dari
ketidaksetiaan (perceraian). Jaminan tambahan itu ialah kapa. Kapa’ adalah sanksi dalam
3
Tang dipakundunni bukunna loli, tang dipakalumbambanni tangke pamuso’ kurang lebih artinya
kehidupan yang penuh damai sejahtera, dan harmonis.
4
Dalle’ berarti nasib juga takdir.
5
Umpulung rara, umpulung buku artinya mempersatukan darah, daging, mengumpulkan saudara-
saudara sedarah sedaging.
6
Aluk rampanan kapa’ (adat pernikahan) berdasarkan aluk mellao langi’ (peraturan yang turun dari
langit).

9
bentuk hukuman yang harus dibayar oleh pihak yang salah bila terjadi perceraian. Laki-laki
dan perempuan mempunyai hak yang sama. Kapa’ disepakati menurut ketentuan adat dan hal
ini tidak terlepas dari status sosial (tana’) yang bersangkutan. Jumlah kapa’ mulai dari 1 ekor
babi betina sampai 24 ekor kerbau. Dan untuk menangani masalah perceraian tersebut maka
yang terlibat bukan hanya keluarga tetapi juga komunitas suku turut berperan (Kobong 2008,
64). Dengan memperhatikan hakekat dari pernikahan tersebut dan prosedur serta
konsekwensi yang harus dibayar bagi pasangan yang akan menghadapi perceraian maka
dapat disimpulkan bahwa perceraian dalam budaya Toraja sangat sulit untuk dilakukan dan
kalaupun itu terjadi maka pastilah memakan waktu yang cukup lama.

B. Pernikahan dan Perceraian dalam Gereja Toraja Mamasa


Untuk memperlancar dan menertibkan pelaksanaan tugas panggilan gereja dalam
lingkup GTM maka disusun dan diputuskanlah dalam Sidang Sinode Am sebuah Tata Dasar,
Tata Rumah Tangga dan Tata Laksana yang berdasarkan Firman Allah. Salah satu yang
diatur dalam TD, TRT dan TL itu adalah menyangkut Pernikahan. Dikatakan dalam Pasal 8
bahwa Pernikahan Kristen adalah perjanjian kudus yang bersifat permanen antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang telah sidi untuk hidup bersama sebagai suami istri.
Gereja dapat melakukan pelayanan peneguhan dan pemberkatan nikah jika calon pasangan
nikah tidak bermasalah atau masalahnya telah diselesaikan dan telah memenuhi semua
persyaratan administratif. Masalah yang dimaksudkan di atas termasuk jika salah satu dari
pasangan nikah itu telah bercerai dengan pasangan nikah sebelumnya maka ia harus
memperlihatkan surat cerai dari pengadilan (jika penah mengikuti pencatatan sipil) atau surat
cerai dari pihak pemerintah seperti kepala desa (jika tidak pernah mengikuti pencatatan sipil).
Bagi warga jemaat yang bermasalah dan mengarah kepada perceraian maka GTM
melaksanakan Tertib Gerejawi berdasarkan Bab VI TRT GTM.

C. Pernikahan dan Perceraian dalam Gereja HKBP


HKBP memahami bahwa pernikahan adalah ketetapan Allah. Hal itu tertuang dalam
doa di Agenda HKBP tentang Tata Kebaktian Pemberkatan Nikah (Perkawinan):
“Ya Tuhan Allah kami yang di surga, engkaulah yang menetapkan perkawinan itu.
Engkau melihat kedua saudara kami ini, yang bermaksud melangsungkan pernikahan
mereka. Mereka datang memohon berkat-Mu. Sertai dan berkatilah mereka dengan
kasih sayang-Mu. Isilah kehidupan mereka dengan Roh Kudus, agar perkawinan
mereka ini senantiasa penuh dengan damai dari permulaan hingga akhirnya.

10
Dengarlah doa dan permohonan kami ini karena kasih sayang-Mu kepada kami.
Amin” (2006, 17)
Doa di atas dilanjutkan dengan pembacaan dasar pernikahan orang Kristen yang dikutip dari
beberapa ayat Alkitab, di antaranya:
TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan
menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." (Kej. 2:18); “Barangsiapa
menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, dia berbuat zinah. Dan barangsiapa
mengambil wanita yang meninggalkan suaminya kecuali karena zinah, dia berbuat
zinah juga. Oleh sebab itu, yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia…” (Matius 19). (2006, 17)
Rangkaian pembacaan tersebut dilanjutkan dengan pertanyaan dan jawaban mempelai,
misalnya:
Bersediakah saudara mengasihi dia dengan segenap hati dan berbuat dengan segala
kekuatanmu, dan bersediakah saudara bersama-sama dengan dia melakukan
kehidupan yang kudus? Bersediakah saudara untuk mengerti dan menanggung
kelemahannya yang ada, dan maukah saudara berjanji bahwa saudara tidak akan
menceraikan dia sampai kematian akan menceraikan kamu kelak? Apabila saudara
menerima semuanya itu dengan hati yang iklas, jawablah dengan Ya. (2006, 18).
Demikian pula penegasan yang disampaikan oleh pendeta pada saat mempelai berjabatan
tangan: “…Yang dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat diceraikan oleh manusia.” (2006, 19).
Rumusan yang sama juga dijumpai dalam Akte Pernikahan yang dicetak oleh HKBP, yang
mengutip Matius 19:6 “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”.
Rangkaian doa, dasar pernikahan hingga pertanyaan tentang kesediaan calon
mempelai, menunjukkan bahwa Tuhanlah yang menetapkan pernikahan itu dan manusia
bertanggung jawab memelihara/mempertahankan pernikahannya. Tentu keutuhan pernikahan
merupakan harapan setiap rumah tangga. Hanya saja harapan bisa berbanding terbalik dengan
kenyataan. Beberapa keluarga memutuskan untuk bercerai oleh karena berbagai persoalan
kehidupan. Akan tetapi, apa pun alasan, HKBP menegur, bahkan sampai mengeluarkan
jemaat yang melanggar (bercerai), sesuai dengan prosedur yang berlaku. Pelanggaran yang
dimaksud antara lain: kumpul kebo, kawin kontrak, menikah tanpa sepengetahuan gereja,
pernikahan ‘pasupasu raja’ (pemimpin adat), homo sex, lesbian (Ruhut Parmahanion dohot
Paminsangion di HKBP/Hukum Penggembalaan dan Siasat Gereja, 22-23). HKBP tidak
mengakui perceraian yang telah diputuskan secara sah oleh pengadilan.7
7
Seorang ibu mengajukan tuntutan perceraian terhadap suaminya di pengadilan. Alasannya
ketidakcocokan yang disebabkan perbedaan penghasilan (gaji istri lebih tinggi dari suami). Sang suami tidak
mau bercerai. Akan tetapi pengadilan mengabulkan perceraian tersebut. Gereja tidak mengakui perceraian yang

11
VI. Penutup
a. Pernikahan adalah kudus, sedangkan perceraian dapat merusak nilai kekudusan dalam
pernikahan tersebut. Alkitab secara tegas memang melarang adanya perceraian.
Namun, kita juga tidak boleh menutup mata akan realita terjadinya perceraian di
sekitar kita oleh karena berbagai sebab. Hal ini pula yang membawa kita kepada
pemahaman bahwa kesaksian Alkitab pada dasarnya juga mengakui adanya
perceraian dalam kasus-kasus tertentu, tetapi tetap tidak melegitimasi perceraian itu.
b. Kasus perceraian yang terjadi seharusnya menjadi perhatian khusus bagi pihak gereja.
Gereja harus berbenah diri dalam mengejewantahkan makna pernikahan berdasarkan
kesaksian Alkitab melalui pastoral konseling. Gereja bukan hanya sebatas
membicarakan tentang urusan administratif, teknis pernikahan tetapi lebih jauh dari
itu membina pasangan calon nikah beserta keluarga kedua calon nikah untuk
menyadari dan memahami bahwa pernikahan adalah ketetapan Allah yang harus
ditaati sehingga tidak seorang pun yang berhak untuk memutuskan ikatan pernikahan
tersebut dengan alasan apapun.
c. Selanjutnya dalam relasi antara gereja dengan keluarga Kristen peran gereja dalam hal
perkunjungan, penggembalaan, pembinaan dan lain sebagainya perlu ditingkatkan
sehingga terpelihara sikap saling menghargai, saling mengasihi dalam rumah tangga
masing-masing.

Daftar Acuan
Adamson, James. 1996. Maleakhi dalam “Tafsiran Alkitab Masa Kini 2”, Jakarta :
BPK Gunung Mulia.
Bakker, F.L. 1972. Sejarah Kerajaan Allah. (terj: K.Siagian). Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Borrong, Robert P. 2006. Etika Seksual Kontemporer. Bandung : Ink Media.

ditetapkan pengadilan tersebut namun gereja mengeluarkan sang istri dari keanggotaan gereja karena yang
bersangkutan menikah lagi, sementara suaminya yang pertama tidak dikeluarkan dari keanggotaan gereja.
(Salah satu kasus perceraian di HKBP Pondok Gede, 2011).

12
Browning, W.R.F. 2007. A Dictionary of the Bible. Panduan Dasar ke dalam Kitab-
kitab, Tema, Tempat, Tokoh dan Istilah-istilah Alkitabiah, (terj.: Lim Khiem Yang, Bambang
Subandrijo), Jakarta: BKP Gunung Mulia.
Darmawijaya. 1990. Warta Nabi. Yogyakarta : Kanisius.
Edmond. Jacob, C. 1958. Theology of the Old Testament. New York: Harper &
Brothers Publishers.
Florimond, Hortensius. 2009. Inilah Dia :Tulang dari tulangku dan daging dari
dagingku. dalam “Berteologi Memang Asyik”. Jakarta : LAI.
Lindsay, Gordon. 1993. Pernikahan,, Perceraian dan Pernikahan Ulang. Jakarta :
Immanuel.
Nixon, R.E. 1982. Matius dalam “Tafsiran Alkitab Masa Kini 3”, Jakarta : BPK
Gunung Mulia.
Sosipater, Karel. 2011. Etika Taman Eden : Grace in Creation.Jakarta : Suara
Harapan Bangsa.
Stott, John. 2005. Isu-isu Global. Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
Susanta, Yohanes Krismantyo. “‘Barrenness’: Jalan Penggenapan Janji Allah Bagi Keluarga
Allah.” Jurnal Jaffray 15, no. 2 (September 23, 2017): 249.
https://doi.org/10.25278/jj71.v15i2.253.
Susanta, Yohanes Krismantyo. Mengenal Dunia Perjanjian Lama: Suatu Pengantar.
Surakarta: Kekata Publisher, 2018.

Verkuyl, J. 1981. Etika kristen seksuil. Jakarta :BPK Gunung Mulia 1993.
Vriezen, Th. C. 1981. Agama Israel Kuno. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Wiersbe, Warren. 1983. Hikmat di Dalam Kristus : Tafsiran I Korintus. Bandung :
Yayasan Kalam Hidup.

Sumber lain :
Agenda HKBP. 2006. Pematangsiantar.
Gereja Toraja Mamasa, Badan Pekerja Majelis Sinode. 2011. Tata gereja, tata dasar,
tata rumah tangga gereja toraja mamasa.Mamasa: BPMS GTM.
http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/inilah-penyebab-perceraian-tertinggi-di-
indonesia/
Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon di HKBP/Hukum Penggembalaan dan Siasat
Gereja. (tanpa tahun). Pematangsiantar.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PDF
File).

13

Anda mungkin juga menyukai