Anda di halaman 1dari 6

Nama: Alexander Ivan Perdana

NIM: 206114038

Tugas Moral Keluarga B – 28 April 2023

Perkawinan Kristiani jadi “Bahtera” dalam berkeluarga

Identitas Buku:

Judul: Menyingkap “Tirai” Perkawinan Kristiani.

Pengarang: RD. Agustinus Supriyadi, Pr.

Penerbit: Solo Offset.

Distribusi dari: Paroki “Santa Maria” – Ponorogo, Jawa Timur.

Tebal buku: 111 Halaman.

Cetakan: ke-1, 2002

Sinopsis Buku:

“Perjanjian Perkawinan, dengan mana pria dan wanita membentuk antar mereka
kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri serta
pada kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan, perkawinan antara orang-orang
yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen” (KHK 1983 Kan. 1055 $ 1) (hlm. 23).

Isi Resensi:

Buku ini merupakan tuntunan dasar dari makna Perkawinan, baik dalam hal sipil atau
kenegaraan dan lebih lagi di dalam ranah Gereja Katolik. Di dalamnya juga diterangkan
berbagai macam sudut pandang dan juga keharusan yang mesti dimiliki oleh seorang Katolik
dalam memutuskan hidup berkeluarga. Pada bagian Pertama, diberikan gambaran secara
umum mengenai hakikat dan tujuan perkawinan itu dalam hal Sipil atau kenegaraaan di
Indonesia. Tersebutkan dalam UU RI No. 1 thn 1974: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (hlm. 1)

Dari yang hal sipil pula ditegaskan sifatnya yang menikah sepasang atau Monogam
dalam pasal 3: “Undang-undang ini menganut asas Monogami” (Penjelasan Umum, No. 4c)
dan “… mempersukar terjadinya perceraian” (Penjelasan umum, No. 4e). Hak dan kedudukan
istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami …” (Penjelasan umum, No. 4f).
Selain itu disebut pula sifatnya yang kekal atau abadi dalam Bab VIII pasal 38: “perkawinan
dapat putus karena a) kematian, b) perceraian, c) atas keputusan pengadilan.” Meski
perkawinan -secara yuridis – dapat “putus” karena cerai dan atas putusan pengadilan, namun
berdasarkan banyak pengalaman orang secara batiniah – hal tersebut tidak dapat diputuskan;
bahkan oleh kematian. Mereka melihat bahwa suami atau istri merasa tak terputuskan
perkawinannya oleh kematian, sebab melihat pasangan tersebut tetap hidup, walau raganya
sudah tiada lagi (hlm 3-4).

Bagian berikutnya mengenai pandangan Gereja, yang menyebut bahwa perkawinan


jadi “persekutuan hidup dan kasih suami-istri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta
dan dikukuhkan dengan hukum-hukumNya, dibangun oleh perjanjian Perkawinan atau
persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. … Ikatan suci terbentuk demi
kesejahteraan suami istri dan anak maupun masyarakat itu tidak tergantung dari kemauan
manusiawi semata-mata. Allah sendiri Pencipta Perkawinan itu, yang mencakup pelbagai
nilai dan tujuan” (GS, art. 48).

Perlu disampaikan dari buku ini bahwa hakikat sejatinya perkawinan Katolik itu
kebersamaan seluruh hidup (Consortium) – mau berbagi nasib, yang dari itu hendak
ditunjukkan aspeknya secara personal dan unitif atau persatuan. Tujuan yang jelas terciptanya
perkawinan ialah kesejahteraan suami istri, kesejahteraan anak dengan melahirkannya, dan
memberikannya pendidikan yang layak. Mengenai moral dan spiritualitas perkawinan,
disebut dalamnya atas tanggung jawab suami istri, membangun hidup bersama, saling setia,
komitmen seumur hidup, memberi peringatan bila terjadi “kawin campur” entah beda Gereja
dan beda Agama, termasuk menghindarkan dari sesuatu yang membahayakan iman pihak
Katolik, bisa menghargai keyakinan masing-masing, dan tumbuh dalam mitra suami istri.

Pada bagian Kedua buku ini disampaikan Perkawinan sebagai Sakramen. Tuhan
sendiri yang menciptakan manusia karena cinta, juga memanggil ciptaanNya untuk mencinta,
satu panggilan kodrati dan mendasar dari hidup manusia. Manusia yang diciptakan serupa
dengan citra Allah yang adalah cinta, maka cinta di antara mereka jadi citra yang tak
tergoyahkan dan absolut, dengannya Allah mencintai manusia. Sebagaimana disebutkan lagi
dalam Kitab Kejadian: “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas
segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:28), dengan terciptanya manusia, Allah
memberi perintah itu: “Sebab seorang lelaki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan
bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24), perkawinan itu
dikehendaki oleh TUHAN.

Namun, ingat saja bahwa ada bayang-bayang dosa dalam perkawinan itu.
Persatuan sebagai suami istri senantiasa silih berganti diancam oleh perselisihan, nafsu
berkuasa, ketidaksetiaan, cemburu dan konflik yang mengakhiri hubungan bersama itu atas
kebencian dan perceraian. Perlu diingat kembali bahwa iman Kristiani dapat mengatasi hal
yang tak teratur ini, bukan karena kodrati lelaki dan perempuan yang merusakkan hubungan
Allah, melainkan dari tipu daya dosa. Maka dari itu, pertolongan dari rahmat Allah diberikan
dalam “ambang kerahimanNya” yang tiada terbatas. Tanpa adanya ini, lelaki dan perempuan
tidak pernah berhasil menciptakan kesatuan hidup yang Allah sudah maksudkan sejak
semula.

Legalitas Hukum perkawinan itu diujudkan dalam kepengurusan sipil. Kesadaran


susila yang memahami ketunggalan dan tak terceraikan perkawinan itu sudah berkembang
sejak Perjanjian Lama. Para nabi memberi pewartaan atas hubungan Israel dengan Allah
YHWH sebagai gambaran cinta yang eksklusif dan setia, demi membawa suatu bangsa pada
pengertian yang lebih akan kekudusan perkawinan itu. Melihat lagi dalam Tulisan Kidung
Agung sebagai tanda cinta Allah, satu cinta yang “kuat seperti maut” dan “juga air yang
banyak … tidak dapat memadamkannya” (Kid 8:6-7).

Dalam Perkawinan itu juga, diberi tuntutan untuk menguatkan satu sama lain, dan
juga menjaga martabatnya demi kerajaan surga. Rasul Paulus kembali menulis demikian:
“Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah
menyerahkan diriNya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan
memandikannya dengan air dan firman. Sebab itu lelaki akan meninggalkan ayahnya dan
ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini
besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat” (Ef 5:25-26, 31-32).
Adanya unsur keperawanan dalam Sakramen Perkawinan itu, sejatinya berasal dari Tuhan
sendiri. Ia memberi kepada manusia suatu arti dan menganugerahkan rahmat yang mutlak
perlu, supaya menghidupkannya sesuai dengan kehendakNya, dimana semua saling
mendukung satu sama lain.

“Barangsiapa meremehkan Perkawinan, sekaligus juga merongrong keluhuran keperawanan. Barangsiapa


memuji Perkawinan, juga meningkatkan penghormatan terhadap keperawanan. … Apa yang kelihatannya baik
hanya karena dibanding-bandingkan dengan sesuatu yang buruk, sebenarnya tidak baik, tetapi apa yang lebih
baik daripada kebaikan yang tidak diragukan, adalah hal yang luar biasa” (St. Yohanes Krisostomus, virg. 10,1).

Adapun dalam buku ini menyebut buah-buah perkawinan, yaitu: Ikatan yang
diresmikan oleh Allah oleh perantaraan pejabat Gereja yang mengukuhkannya (Yuridis),
Rahmat yang diterimakan adalah suci adanya (bdk. LG, art. 11) dan bersumber dari Allah
dari kasih dan perjanjian setia (bdk. GS, art. 48, 2), Keluarga sebagai Gereja-rumah tangga
yang diteladankan dari Keluarga Kudus Nazaret (bdk. LG, art. 11), dimana Allah hadir di
dalamnya dan menyimpulkan setiap hidup sebagai teladan satu sama lain. Kehadiran Allah
menjadi sarana kekudusan dan diharapkan setiap anggotanya dapat bahu-membahu di
dalamnya.

Pada bagian ketiga dalam buku ini, diterangkan pedoman-pedoman dasar bagi
segenap keluarga muda yang memutuskan hidup dalam Perkawinan secara katolik. Adanya
surat Apostolik Familiaris Consortio oleh St. Yohanes Paulus II, bag. II art 11-16, disebutkan
hal demikian: Pribadi manusia sebagai citra Allah diciptakan untuk mencintai. Cinta ini
terungkapkan antara lain dalam dan melalui tubuh manusia yang harus mengungkapkan
pemberian diri Allah secara total dalam penciptaan dan penebusan. Pemberian diri ini
mencakup kemungkinan akan hadirnya anak-anak. Seksualitas dan prokreasi bukanlah
semata-mata biologis. Oleh karena itu, jika seorang lelaki dan perempuan saling mencintai
dan ingin mengekspresikan cinta mereka melalui daya seksual mereka, maka ini harus
terjadi dalam perkawinan. Perkawinan merupakan suatu tanda (sakramen) dari cinta Allah
pada umatNya.

Selain itu, Piagam Takhta Suci tahun 1983 berbicara mengenai hak-hak keluarga:
“Segenap hak dan kewajiban, kebutuhan yang mendasar, kebaikan dan nilai-nilai keluarga
seringkali diingkari dan tak jarang digerogoti oleh undang-undang, lembaga dan program
sosio-ekonomis, maka Gereja Katolik mulai menyadari bahwa kesejahteraan pribadi,
masyarakat dan Gereja sendiri itu juga melalui jalan keluarga. Rencana Allah tentang
perkawinan dan keluarga merupakan bagian perutusannya, dan berjuang untuk
mengembangkannya dan membelanya melawan semua yang menyerangnya”.
Disebut juga di dalam bagian ini mengenai Perkembangan keluarga, yang dimulai
ketika kelahiran anak hingga pada masa dewasanya, Pendidikan Seks dalam keluarga, serta
faktor-faktor Seksualitas yang benar dan yang bisa dikendalikan oleh keluarga. Semua peran
ini saling mendukung dan nyata dalam kehidupan berkeluarga. Jadi, buku ini juga
menyampaikan tahap dan langkah yang kiranya dapat diambil sebagai pegangan dalam
membuat keputusan yang sungguh-sungguh diujudnyatakan atas keluarga.

Pada bagian kelima hingga ketujuh merupakan poin-poin penting dalam konteks
berkeluarga di Indonesia. Adanya peran ERT (Ekonomi Rumah Tangga), Pembinaan Iman
dari Gereja secara dasar dengan terlibat aksi-aksi dalam menggereja, dan pendapat kritis
mengenai Keluarga Berencana. Semuanya disajikan untuk memutuskan hal baik untuk
kedepan keluarga.

Pendapat dan Kekhasan dari Buku:

Bagi saya, banyak hal yang sudah tersebutkan dalam buku ini, dan semuanya cukup
untuk merangkum secara fundamental isi-isi dalamnya. Jelas sekali bahwa Perkawinan dalam
Gereja Katolik bukanlah urusan yang mudah. Banyak tahap dan langkah yang mesti
dipersiapkan dengan matang di dalamnya. Dengan itu, unsur Sakramental dari Perkawinan
dapat terbuahkan secara baik dan keturunan yang dihasilkan atasnya menerima anugerah
yang sama pula.

Mengenai buku ini, saya memberikan beberapa ulasan yang menggambarkan ciri dari
buku ini. Ulasan yang saya beri ialah:

1. Buku ini sudah cukup lama usianya dan ada kiranya diperbarui, baik dari kondisi
buku maupun hal-hal materiil yang dapat “naik tingkat” ke hal yang praktis dalam
pastoral.
2. Buku ini berada dalam penerbitan Paroki. Tentu sudah di-Imprimatur dan Nihil
Obstat oleh Keuskupan Surabaya. Status Imprimatur diberikan oleh (+) Mgr. J.
Hadiwikarta pada 15 Mei 2022, dan status Nihil Obstat diberikan oleh RP. Benediktus
Basuki Adi Riyanto, CM – penjabat Vikep Regio III Keuskupan Surabaya.
3. Buku ini juga melampirkan syarat-syarat Administratif dalam menerima dokumen
Perkawinan Gereja Katolik dan untuk Sipil.
4. Buku ini hanya mereferensikan secara ringkas dari berbagai dokumen-dokumen
Gereja Katolik, karena sesuai dengan pemahaman umat yang amat mendasar, yang
memaknai isinya secara “gamblang” dan “lurus”.
5. Terakhir, Buku ini juga memberi Daftar Kepustakaan yang amat cukup memenuhi
pencatatan pustakan dari sumber-sumber yang diambilnya.

Anda mungkin juga menyukai