Anda di halaman 1dari 11

Perkawinan dalam tradisi

katolik
Theodore Aditya P
XII MIPA 3
30
Makna perkawinan menurut beberapa
pandangan

1) Menurut Peraturan perundang-undangan


 a) Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama
ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur batin/rohani.
 b) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 1 UU berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
 c) Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungan dengan keturunan,
yang merupakan tujuan perkawinan. Pemeliharaan dan pendidikan anak
menjadi hak dan kewajiban orang tua.
2) Menurut pandangan tradisional
 Dalam masyarakat tradisional perkawinan pada
umumnya masih merupakan suatu ”ikatan”, yang tidak
hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita,
tetapi juga mengikat kaum kerabat si laki-laki dengan
kaum kerabat si wanita dalam suatu hubungan tertentu.
Perkawinan tradisional ini umumnya merupakan suatu
proses, mulai dari saat lamaran, lalu memberi mas kawin
(belis), kemudian peneguhan, dan seterusnya.
3) Menurut pandangan hukum
 Dari segi hukum perkawinan sering dipandang
sebagai suatu ”perjanjian”. Dengan perkawinan,
seorang pria dan seorang wanita saling berjanji untuk
hidup bersama, di depan masyarakat agama atau
masyarakat negara, yang menerima dan mengakui
perkawinan itu sebagai sah.
4) Menurut Pandangan sosiologi
 Secara sosiologi, perkawinan merupakan suatu
”persekutuan hidup” yang mempunyai bentuk,
tujuan, dan hubungan yang khusus antaranggota. Ia
merupakan suatu lingkungan hidup yang khas. Dalam
lingkungan hidup ini, suami dan istri dapat mencapai
kesempurnaan atau kepenuhannya sebagai manusia,
sebagai bapak dan sebagai ibu
5) Menurut Pandangan Antropologis
 Perkawinan dapat pula dilihat sebagai suatu
”persekutuan cinta”. Pada umumnya, hidup
perkawinan dimulai dengan cinta. Ia ada dan akan
berkembang atas dasar cinta. Seluruh kehidupan
bersama sebagai suami-istri didasarkan dan diresapi
seluruhnya oleh cinta.
Perkawinan menurut Ajaran Kitab Suci
 Markus 10:2-12
 2 “Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus
mereka bertanya kepada-Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan
menceraikan isterinya?”: 3 Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Apa
perintah Musa kepada kamu?” 4 Jawab mereka: “Musa memberi izin
untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” 5 Lalu kata Yesus
kepada mereka: “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa
menuliskan perintah ini untuk kamu. 6 Sebab pada awal dunia, Allah
menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, 7 sebab itu lakilaki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, 8
sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan
lagi dua, melainkan satu. 9 Karena itu, apa yang telah dipersatukan
Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” 10 Ketika mereka sudah di
rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. 11
Lalu kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu
kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap
isterinya itu. 12 Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin
dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.”
Perkawinan menurut ajaran gereja

Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik


Dalam Kan 1055 diungkapkan paham dasar tentang perkawinan gerejawi. Di
sini dikatakan antara lain tentang:
 Perkawinan sebagai perjanjian; Gagasan perkawinan sebagai perjanjian
ini bersumber pada Konsili Vatikan II (GS 48), yang pada gilirannya
menimba aspirasi dari Kitab Suci.
 Perkawinan sebagai perjanjian menunjuk segi-segi simbolik dari hubungan
antara Tuhan dan umatnya dalam Perjanjian Lama (Yahwe dan Israel) dan
Perjanjian Baru (Kristus dengan GerejaNya). Tetapi dengan perjanjian
ingin diungkapkan pula dimensi personal dari hubungan suami-istri, yang
mulai sangat ditekankan pada abad modern ini.
 Perkawinan sebagai kebersamaan seluruh hidup dari
pria dan wanita; Kebersamaan seluruh hidup tidak hanya
dilihat secara kuantitatif (lamanya waktu) tetapi juga
kualitatif (intensitasnya). Kebersamaan seluruh hidup harus
muncul utuh dalam segala aspeknya, apalagi kalau dikaitkan
dengan cinta kasih.
 Perkawinan sebagai sakramen; Hal ini merupakan unsur
hakiki perkawinan antara dua orang yang dibaptis.
Perkawinan pria dan wanita menjadi tanda cinta Allah kepada
ciptaan-Nya dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya
Tujuan Perkawinan

1) Kesejahteraan lahir-batin suami-istri


 Kitab Suci mengajarkan bahwa tujuan perkawinan ialah saling
menjadikan baik dan sempurna, saling mensejahterakan, yaitu
dengan mengamalkan cinta seluruh jiwa raga. Perkawinan adalah
panggilan hidup bagi sebagian besar umat manusia untuk
mengatasi batas-batas egoisme; untuk mengalihkan perhatian dari
diri sendiri kepada sesama; dan untuk menerima tanggungjawab
sosial; serta menomorduakan kepentingan sendiri demi
kepentingan kekasih dan anak-anak mereka bersama. Seorang yang
sungguh egois sebenarnya tidak sanggup menikah, karena hakikat
perkawinan adalah panggilan untuk hidup bersama.
2) Kesejahteraan lahir batin anak-anak
 Anak-anak, menurut pandangan Gereja, adalah “anugerah perkawinan
yang paling utama dan sangat membantu kebahagiaan orangtua. Dalam
tanggungjawab menyejahterakan anak terkandung pula kewajiban
untuk mendidik anak-anak. “Karena telah memberikan kehidupan
kepada anak-anak mereka, orangtua terikat kewajiban yang sangat
berat untuk mendidik anak-anak mereka dan karena itu mereka harus
diakui sebagai pendidik pertama dan utama anak-anak mereka (GE.3a).

Anda mungkin juga menyukai