Anda di halaman 1dari 2

judul

Dalam kehidupan agama Katolik (Kristiani), kata panggilan dikaitkan dengan Tuhan. Artinya
bahwa Tuhanlah yang memanggil manusia agar manusia hidup sesuai kehendak-Nya. Panggilan
hidup, baik religius maupun awam senantiasa menuntun seseorang untuk hidup secara
bertanggungjawab. Panggilan hidup menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas, dan
dengan bebas menentukan apapun yang baik bagi dirinya secara otonom. Kitab Suci menjelaskan
bahwa manusia dipanggil untuk menjadi murid-murid Yesus Kristus. Sebagai murid-murid Yesus,
kita menjadi garam dan terang bagi sesama.

a. Hidup manusia yang bermakna

Setiap orang, cepat atau lambat pasti akan bertanya seperti ini di dalam hatinya; “Untuk
apa sih, saya hidup di dunia ini?” Pada dasarnya pertanyaan seperti ini merupakan
pertanyaan refleksi pribadi bagi dirinya sendiri untuk menemukan makna dan tujuan
hidupnya di dunia. Dengan bertanya tentang tujuan hidup, kita dapat mencari jawaban
tentang makna sesungguhnya hidup kita di dunia. Sesungguhnya Tuhan sendiri yang
membimbing manusia untuk mencari tujuan akhir hidupnya. Tuhan yang menciptakan kita,
menanamkan di dalam hati kita kerinduan hati untuk kembali kepada-Nya, dari mana kita
berasal, dan tujuan akhir tempat kita berpulang.

b. Panggilan hidup berkeluarga

Gereja Katolik secara tegas mengajarkan bahwa perkawinan Katolik adalah Sakramen,
karena itu setiap pasang suami istri harus menjaga kesucian perkawinan. Karena itu sifat
perkawinan Katolik adalah monogami dan tidak terceraikan, kecuali hanya oleh maut;
“karena apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia” (Mat 19:6).
Sakramen Perkawinan sebagai akar pembentukan keluarga Katolik hendaknya dijaga
kesuciannya, karena keluarga merupakan Gereja kecil/mini atau ecclesia domestica. Artinya
antara lain bahwa keluarga-keluarga Kristiani merupakan pusat iman yang hidup, tempat
pertama iman akan Kristus diwartakan dan sekolah pertama tentang doa, kebajikan-kebajikan
dan cinta kasih Kristen (bdk. KGK 1656 &1666).
c. Perkawinan menurut tradisi katolik
Perkawinan sebagai suatu karier tidak dapat disamakan dengan semua karier lain. Sebab ia
membutuhkan perpaduan aneka ragam kebajikan dan sifat khas dari bermacam-macam karier
khusus. Perkawinan menuntut kesabaran seorang guru, keahlian seorang psikolog, kegesitan
diplomasi seorang negarawan, rasa adil seorang hakim, seni humor seorang pelawak,
semangat berkorban seorang dokter, keramah-tamahan seorang pramugari, belas kasihan
seorang pengampun
 Makna Perkawinan menurut Pandangan Tradisional
Dalam masyarakat tradisional perkawinan pada umumnya masih merupakan suatu
”ikatan”, yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi
juga mengikat kaum kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat si wanita dalam suatu
hubungan tertentu. Perkawinan tradisional ini umumnya merupakan suatu proses, mulai
dari saat lamaran, lalu memberi mas kawin (belis), kemudian peneguhan, dan
seterusnya.
 Makna Perkawinan menurut Pandangan Hukum (yuridis) Dari segi hukum perkawinan
sering dipandang sebagai suatu ”perjanjian”. Dengan perkawinan, seorang pria dan
seorang wanita saling berjanji untuk hidup bersama, di depan masyarakat agama atau
masyarakat negara, yang menerima dan mengakui perkawinan itu sebagai sah
 Makna Perkawinan Pandangan Sosiologi
Secara sosiologi, perkawinan merupakan suatu ”persekutuan hidup” yang mempunyai
bentuk, tujuan, dan hubungan yang khusus antaranggota. Ia merupakan suatu
lingkungan hidup yang khas. Dalam lingkungan hidup ini, suami dan istri dapat
mencapai kesempurnaan atau kepenuhannya sebagai manusia, sebagai bapak dan
sebagai ibu.
 Makna Perkawinan menurut Pandangan Antropologis Perkawinan dapat pula dilihat
sebagai suatu ”persekutuan cinta”. Pada umumnya, hidup perkawinan dimulai dengan
cinta. Ia ada dan akan berkembang atas dasar cinta. Seluruh kehidupan bersama
sebagai suami-istri didasarkan dan diresapi seluruhnya oleh cinta

Anda mungkin juga menyukai