Anda di halaman 1dari 11

TAS KRISTOLOGI A

“Ajaran Yesus tentang Mengasihi Sesama dalam Pernikahan Adat


Masyarakat Batak Toba”

Disusun oleh:

Asido Doardo Simanjuntak

(712018271)

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

FAKULTAS TEOLOGI

2020

1
Abstrak

Pernikahan bagi masyarakat Batak Toba bukan hanya berpusat pada pengikatan antara
laki-laki dan perempuan serta mengikat hubungan kekerabatan dari kedua mempelai. Acara adat
mangadati haruslah dijalankan dalam pernikahan orang Batak untuk menunjukkan bahwa
pernikahan yang terikat telah sah secara adat. Pernikahan dalam adat Batak haruslah berpegang
teguh berdasarkan Dalihan Natolu (Hula-hula, Dongan sabutuha dan Boru). Kebersamaan,
kerukunan dan keadilan adalah nilai yang terkandung dalam Dalihan Natolu. Nilai-nilai
tersebutlah yang akan dikembangkan dalam pembahasan paper dengan kaitannya terhadap ajaran
Yesus untuk mengasihi Allah dan juga sesama dan pekerjaan pokok Yesus yang melakukan
tindakan pembebasan dari keberagaman yang menindas. Hukum yang utama bagi Yesus adalah
kasih. Begitu juga dengan yang utama dalam pernikahan yang melalui acara mangadati ialah
kasih yang setara terjalin bagi mereka yang menjalin pernikahan, bagi orang tua, sesama
masyarakat batak dan terhadap Tuhan. Kasih sangat ditekankan dalam acara adat mangadati dan
juga dalam ajaran Yesus dimana dalam keduanya laki-laki dan perempuan harus saling
mengasihi sebagaimana Allah juga telah mengasihi kita.

Kata Kunci: Mangadati, Dalihan Na Tolu, Yesus

I. Pendahuluan

Salah satu perintah yang diberikan Allah kepada manusia adalah beranak cucu dan
bertambah banyak untuk memenuhi bumi. Melalui pernyataan ini telah membuka ruang bagi
manusia melakukan pernikahan. Pernikahan yang akan dilakukan dengan melihat kesepadanan
antara pria dan wanita agar dalam kebersamaan itu terbentuk rumah tangga yang berlandaskan
ketaatan dan kasih. Pernikahan merupakan sesuatu proses yang terencanakan dengan adanya
proses waktu yang tidak terbatas. Pertemuan dan perkenalan yang dilakukan oleh kedua pihak
merupakan awal mula membentuk hubungan yang dekat. Hubungan tersebut dilanjutkan sampai
pada pernikahan. Pada saat menikah kedua belah pihak akan mengikrakan suatu janji dihadapan
Tuhan dan di hadapan jemaat yang dilakukan di gereja. Akan hal ini terlihat jelas ketika sebelum
pada pelaksanaan pernikahan, pria dan wanita itu melakukan proses pemilihan yang sesuai
dengan hati dan perasaan mereka. Kesesuaian hati dan perasaan tersebut di satukan di hadapan

2
Tuhan yang telah merancang persatuan itu dengan cinta kasih sehingga pernikahan itu akan
menjadi ikatan sangat erat yang tidak dapat pisahkan oleh pihak lain.

Dalam pernikahan tidak akan memberi jaminan pada kedua pasangan bahwa semuanya
akan berjalan dengan indah. Tentunya kedua pasangan akan banyak diperhadapkan dengan
masalah-masalah kehidupan. Seperti masalah keluarga, perekonomian, adat dan budaya. Dalam
pembahasan kali ini yaitu mengenai pernikahan dalam adat batak Toba. Pernikahan dalam
masyarakat batak Toba seringkali harus memperhatikan siapa yang akan dinikahkan, dari
keturunan apa saja dan harus diperlengkapi dengan hubungan persaudaraan yang jelas. Dengan
kata lain pernikahan bukan hanya memperhatikam hati dan perasaan yang sama melainkan juga
memperhatikan identitas kedua mempelai. Maka dari itu saya akan menguraikan bagaimana
pernikahan adat batak yang memiliki keteraturan untuk membangun hubungan kasih dan
mempersatukan dengan kasih yang dari pada Yesus Kristus.

II. Dasar-Dasar Kristologi

Sebelum masuk pada pembahasan terlebih dahulu saya akan menjelaskan mengenai
dasar-dasar Kristologi. Secara garis besar Kristologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Khristos
sebagai Kristus dan Logos yang berartu Ilmu, Dengan kata lain sebagai ilmu yang memahami
tentang Kristus1. Beberapa teolog juga mengutarakan berbagai definisi tentang Kristologi.
Pertama, Guthrie berpendapat bahwa Kristologi adalah penelitian tentang jati diri Yesus melalui
ajaran-ajaran Yesus yang tercatat dalam perjanjian baru secara sistematis. Pengusahaan akan
Kristologi tersebut, Guthrie menyelidiki Yesus yang sebagai manusia dan di pertegas dengan
sebutan dan gelar-gelarnya. Penelitian ini juga dilanjutkan dengan seksama melalui pokok
Kristologis, yaitu kelahiran, kebangkitan, dan kenaikan Yesus Kristus 2. Kedua, bagi Hunter
Kristologi adalah penelitian tentang Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru, dengan memberi
penekanan pada tema utama dalam Perjanjian Baru yaitu mengenai Kerajaan Allah. Pandang-
pandagan Kristologis Hunter dipaparkan dengan menguraikan rangakaian peristiwa pembaptisan,
pencobaan, pelayanan di Galilea, tindakan perjamuan Kudus di akhir masa pelayananNya,
peristiwa masuknya ke Yerusalem, pengakuan kemesiasan Yesus, penderitaan, kematian dan
1
Nico Syukur Dister, Kristologi: Sebuah Sketsa. Yogyakarta: Kanisius,1993, 21.
2
Yusak B. Setyawan ,Kristologi: Perkenalan, Pendalaman dan Pergumulan. (Salatiga: UKSW 2015), hal 2.

3
kebangkitanNya3. Penjelasan dari dua tokoh tersebut ingin menegasakan bahwa Kristologi
berbicara tentang dua sisi kehidupan Yesus Kristus. Sisi yang pertama memahami bahwa Yesus
memiliki keterhubungan dengan Allah. Dengan kata lain dalam diri Yesus berdiam seluruh
kepenuhan Allah. Sisi kedua, Yesus Kristus memiliki hubungan dengan ciptaan dan seluruh
realitas di dalamNya4. Penjelasan ini menjadi titi pijak kasih Kritus yang akan tampak pada
manusia.

Yesus Kristus sebagai teladan, dipahami sebagai yang dapat mengarahkan manusia pada
kebaikan. Terlihat dari pengajaran-pengajaran Yesus yang dapat ditemukan dalam Kitab
Perjanjian Baru. Dalam 1 Korintus 7:10-11 menjelaskan bahwa hubungan suami dan istri
haruslah selalu berdamai, dan didukung oleh Markus 10:9 yang menegaskan bahwa keduaya
telah dipersatukan Allah dan tidak boleh dipisahkan. Yesus mengajarkan bahwa dalam
pernikahan suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang sama, dengan kata lain suami dan
istri tidak berkuasa atas diri masing-masing melainkan secara bersama-sama. Roma 13:8-10 juga
memberi pengajaran tentang kasih. Yaitu haruslah mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri
serta tidak boleh berbuat jahat terhadap sasama.

Hal-hal seperti ini yang perlu diteladani dalam proses kehidupan. Dalam proses
peneladan itu bukan berarti sama seperti Yesus sepenuhnya, karena hal ini tidak mungkin bagi
kita. Menurut Fletcher pada penuturannya, ada tiga gambaran Yesus sebagai teladan, yakni
sebagai manusia bebas, sebagai manusia yang rendah hati dan sebagai manusia manusia yang
adil. Manusia yang bebas yaitu manusia yang bebas dari harta milik, bebas dari ketergantungan
pada status dan gengsi. Manusia juga bebas dari kepatuhan pada moralitas tertutup yang
memisahkan satu kelompok, aliran atau bangsa dari luar, bebas demi sesama untuk melayani
orang lain. Yesus yang rendah hati bukan berarti dia rendah derajat melainkan seseorang
penguasa yang bijak dan adil, kerendahan hati itu juga dilihat pada saat Yesus sangat akrab
dengan kaum rendahan. Yesus sebagai manusia adil juga terlihat ketika dia bertidak secara adil
dalam keterlibatan politik guna mengusahakan kesejahteraan dan membela hak dan martabat
manusia5.

3
Yusak B. Setyawan ,Kristologi: Perkenalan, Pendalaman dan Pergumulan, (Salatiga: UKSW, 2015), Hal. 4.
4
Ebenhaizer I. Nuban Timo, Meng-hari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila Bergereja dalam Cita Rasa Indonesia,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), Hal. 37.
5
Yusak B. Setyawan ,Kristologi: Perkenalan, Pendalaman dan Pergumulan, (Salatiga: UKSW, 2015), Hal. 120-122.

4
Ucapan yesus dalam Matius 16-24 berbunyi , “Jika seseorang mau mengikuti Aku, ia
harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku”. Pada pernyataan ini terdapat
dua unsur yang dibutuhkan untuk mengikut Yesus. Yang pertama ialah dengan menyangkal diri
yang berarti harus meninggalkan sikap egoisme atau melepaskan keakuan. Yang kedua ialah
memikul salib, yaitu rela menderita atau berkorban dengan mengalahkan kehendak kita dan
mengedepankan kehendak Krtistus. Dengan demikian ketika kita ingin sehati dalam hubungan
suami istri, kedua pihak harus mau menyangkal diri dalam arti mampu mengalahkan kepentingan
diri sendiri dan lebih mengutamakan kepentingan bersama. Harga yang harus dibayar juga
adalah mengorbankam perasaan6.

Dalam surat efesus 5:21-6:9, menjelaskan bahwa kasih Kristus adalah dasar hidup suami
istri. Suami mendapat posisi sebagai kepala keluarga yang harus dihormati oleh sang istri,
sebaliknya suami harus mengasihi istrinya dengan mengasuh dan merawat bagaikan tubuhnya
sendiri. Posisi suami sebagai kepala keluarga memiliki kesamaan tanggung jawab dengan Kristus
sebagai kepala gereja. Kristus dan Suami sama-sama mengasihi, Tetapi Kristus menyerahkan
nyawaNya, sedangkan suami merawat istri dalam hidup sehari-hari dan menerima keselamatan
bersamanya melaui Kristus7. Maka dari itu penulis menyadari bahwa dasar-dasar Kristologi atau
ajaran-ajaranNya sangat berguna dalam suatu hubungan yaitu pra-nikah, pernikahan, serta pasca-
nikah. Begitu juga dalam pernikahan adat masyarakat batak Toba sangat perlu diterapkan ajaran-
ajaran yang dari Yesus tersebut.

III. Konstruksi Kristologi


1. Mangadati dalam pernikahan adat Batak Toba

Pernikahan dalam masyarakat Batak Toba harus dilakukan melalui proses adat. Sebab
dalam pernikahan adat merupakan sesuatu yang sakral pada suku Batak Toba dan salah satu
acara yang mengikat janji untuk setia sehidup semati dengan pasangannya. Dalam proses
pernikahan diperlukan suatu komunikasi yang baik antara kedua belah pihak. Karena asal usul
adat itu telah ditentukan dari garis keturunan hubungan sedarah sehingga dalam mengawinkan

6
Andar Ismail, Selamat Sehati: 33 Renungan tentang Sehati Sepikir, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), Hal. 27.
7
Marie Claire Bart Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), Hal. 125-
126.

5
anak laki-laki dan perempuan menjadi titik puncak yang sesungguhnya. Pernikahan dalam
masyarakat Batak tidak hanya untuk mengikat hubungan seorang laki-laki dengan seorang
perempuan, melainkan juga untuk mengikat suatu hubungan tertentu, hubungan Kaum kerabat
dari laki-laki (paranak) dan Perempuan (parboru)8. Melakukan adat merupakan warisan dari
nenek moyang yang berguna sebagai pedoman atau petunjuk dalam melakukan kehidupan
sehari-hari, untuk mengatur hubungan dan perilaku antar manusia agar kehidupannya berjalan
dengan baik dan menyenangkan serta menuju kehidupan yang kekal.

Mangadati dalam pernikahan Batak Toba adalah awal untuk melakukan atau
melaksanakan adat lainnya dalam kehidupan sosial budaya batak. Salah satu tujuan mangadati
adalah upaya melestarikan adat yang diturunkan oleh keturunan satu kepada keturunan
selanjutnya. Unsur-unsur tradisional yang diwarisi merupakan harta yang sangat mahal dan
perlu. Ada sebuah alasan mengapa masyarakat Batak harus melakukan adat, salah satunya ialah
karena adanya kasih (holong). Proses mengadati juga merupakan suatu sikap yang menghormati
orang tua. Dengan kata lain, anak yang melakukan adat mangadati merupakan anak yang
menjunjung harkat dan martabat keluarga. Jelas memperlihatkan adanya sikap taat dan hormat
yang tidak dapat dipisahkan karena perintah orang tua dilaksanakan dalam waktu yang sama dan
memiliki nilai yang sama9. Melakukan adat merupakan hal sangat sulit terspisahkan oleh
masyarakat Batak dimana pun mereka berada. Dilihat dari meluasnya perjalanan masyarakat
Batak ke berbagai wilayah yang berbeda-berbeda tidak menjadi penghalang untuk mereka dalam
melakukan adat. Sebab perjumpaan mereka dalam perantauan memiliki ikatan kasih yang kuat,
dikarenakan terjalin dari keluarga yang semarga, yang mebuat orang batak selalu merasakan
kehangatan, walau bukan keluarga langsung satu darah. Adat mangadati pernikahan suku Batak
Toba terdapat hubungan antara sesama yang menunjukkan adanya kekuatan kasih. Dalam
pelaksanaan adat tersebut menimbulkan perasaan nyaman dan senang apabila kehadirannya di
terima oleh orang lain di sekitarnya10.

2. Makna pemberian Ulos dalam pernikahan adat Batak Toba

8
Vera Herawati dan Harlin Yasin,” Tinjauan Prespektif Iman Kristen tentang Mangadati dalam Pernikahan
Masyarakat Batak Toba”. Jurnal Teruna Bhakti. Vol. 2 No. 2, Februari 2020, Hal. 68-69.
9
Vera Herawati dan Harlin Yasin, Hal. 76-77.
10
Vera Herawati dan Harlin Yasin, Hal. 78-79.

6
Dalam acara mangadati pada pernikahan adat Batak Toba terdapat prosesi pemeberian
Ulos kepada kedua belah pihak. Pemberian ulos ini tidak dilakukan secara sembarangan karena
memiliki nilai-nilai budaya masyarakat yang tidak bisa dilanggar atau digantikan dengan apa
pun. Orang yang dapat memberikan ulos tersebut ialah orang-orang yang memiliki tingkat yang
lebih tinggi menurut adat Batak Toba. Bagi masyarakat Batak Toba, ulos dapat dianggap sebagai
media solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat yang tergabung dan terhimpun dalam
kesatuan sosial dalihan na tolu. Tujuan dari mangulosi adalah sebagai simbol rasa kasih sayang
yang di tunjukkan oleh si pemberi ulos kepada si penerima agar mendapat berkat dan selalu
dalam perlindungan Tuhan. Ulos memgang peranan penting, baik sebagai alat dan obejek
upacara maupun sebagai perlengkapan busana untuk menghadiri upacara adat. Ulos adalah salah
satu sarana yang dipakai oleh hula-hula (pihak pemberi isteri) untuk mengalihkan sahala
(kekuatan diri)-nya kepada boru (pihak penerima isteri)11.

Makna Simbolik ulos secara umum terdiri atas tiga bagian, yaitu hapal (tebal)
memberikan kehangatan tubuh dan roh yang menerimanya, Sitorop rambu (banyak rambu di
ujung ulos) mempunyai arti agar mendapatkan banyak keturunan putra dan putri bagi yang
menerimanya , serta ganjang (panjang) yang memiliki arti agar orang yang menrimanya Panjang
umur12. Penggunaan ulos dalam upacara perkawinan bagi masyarakat Batak Toba merupakan
suatu cara untuk mempertahankan identitas budaya yang dimiliki. Dengan melakukan hal
tersebut masyarakat Toba meyakini bahwa para generasi muda juga akan turut berperan dalam
menjaga identitas tersebut. Pengunaaa ulos salah satu warisan yang diturunkan dari generasi ke
generasi berikutnya. Akan hal ini, ulos juga sebagai yang dapat mempererat tali persaudaraan.

3. Dalihan Na Tolu

Dalam mangadati pada pernikahan Batak Toba, sangat memerhatikan hubungan


kekerabatan. Oleh karena itu aturan dalam pernikahan adat Batak perlu di dasarkan pada falsafah
Dalihan Na Tolu. Dalihan adalah tiga batu yang tersusun tempat tungku untuk memasak, yang
sama tingginya, agar tungku yang diletakkan di atasnya tidak oleng atau miring dan tidak
berpotensi untuk jatuh. Ketiga batu tungu tadi merupakan gambaran dari unsur-unsur

11
Lopiana Margaretha Panjaitan dan Dadang Sundawa, “Pelestarian Nilai-Nilai Civic Culture dalam Memperkuat
Identitas Budaya Masyarakat: Makna Simbolik Ulos dalam Pelaksanaan Perkawinan Masyarakat Batak Toba Di
Sitorang”. Journal of Urban Society’s Arts. Vol. 3 No. 2, Oktober 2016, Hal. 68.
12
Lopiana Margaretha Panjaitan dan Dadang Sundawa, Hal. 68-69.

7
kekerabatan masyarakat adat batak, Yaitu dongan tubu, hula-hula, dan boru. Ketiga unsur
dalihan na tolu itu mempunyai peran penting dalam semua aspek pelaksanaan adat sesuai dengan
budaya batak13.

Hulahula, secara sederhana dapat dikatakan sebagai keluarga atau pihak dari keluarga
istri. Sikap perlakuan atau tata kelakuan yang ditentukan dalam Dalihan Na Tolu kepada hula-
hula haruslah bersikap "somba marhulahula" patuh , tunduk, dan hormat kepada hulahula. Sikap
sembah dan hormat di latarbelakangi oleh pemahaman bahwa keluarga istri sebagai pemberi
berkat, sehingga untuk memperoleh berkat tersebut maka harus menghormati hulahula.
Dongantubu merupakan sebutan budaya bagi mereka yang semarga, saudara seasal perut ibu
(marga ibu yang sama) sehingga dianggap sebagai sedarah. Sikap dan pola kelakuan yang diatur
dalam Dalihan Na Tolu adalah "manat mardongan " berhati-hati dan bijaksana menandakan
adanya suatu peringatan sebab hubungan semarga yang buruk dapat menjadi buruk dan
berbahaya menimbulkan kecenderungan konflik yang mengarah pada perpepecahan sosial. Boru
secara harafiah berarti "anak perempuan" atau "pihak putri" atau saudara perempuan dari garis
keturunan orang tua istri. Sikap dan tata kelakuan yang di atur oleh Dalihan Na Tolu adalah "elek
marboru" menjaga perasaan dan tidak menyakiti. Sikap sosial ini disebabkan pemahaman orang
batak bahwa boru adalah penyangga hubungan sosial hula-hula14.

Hukum adat Batak Toba, khususnya dalam pernikahan sangat memperhatikan prinsip-
prinsip dasar menyatakan bahwa kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku batak, serta
pernikahan berpegang teguh pada prinsip itu, Karena Dalihan Na Tolu merupakan sesuatu yang
tidak dapat dipisahkan dari hukum adat batak Toba dan, merupakan bagian dari adat istiadat
masyarakat adat batak Toba15. Ketiga tatanan dari Dalihan Na Tolu tadi merupakan pembagian
sudah adil dan seimbang secara kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sosial
sejak lahir. Setiap masyarakat Batak akan pernah pada posisi ketiga tersebut. Selain dari ketiga
tatanan tadi, ada sesuatu yang tak kala penting, Yaitu Sihal-sihal sebagai batu penyangga
keempat ketika ketiga batu tadi dikhawatirkan tidak kuat dalam menahan tungku tadi. Penyangga
ke-empat ini disebut sebagai dongan sahuta (teman sekampung), yang juga mempunyai peran

13
Darwin Lumbantobing, HKBP DO HKBP HKBP IS HKBP, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), Hal. 262.
14
Antonius Bungaran Simanjuntak. Konflik dan Kekuasaan Orang Batak Toba Bagian dari Sejarah, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2009), Hal. 85.
15
Vera Herawati dan Harlin Yasin,” Tinjauan Prespektif Iman Kristen tentang Mangadati dalam Pernikahan
Masyarakat Batak Toba”. Jurnal Teruna Bhakti. Vol. 2 No. 2, Februari 2020, Hal. 70.

8
dalam pelaksanaan adat sebagai tuan rumah kedua dalam adat tersebut 16. Maka dari dalihan na
tolu ini sangat penting dalam pernikahan adat Batak Toba sebab pernikahan mangadati sangat
tidak mungkin untuk dipisahkan oleh manusia. Falsafah dalihan na tolu juga mengandung aspek
yang kuat mengenai saling mengasihi dalam masyarakat batak toba, hal ini terlihat pada posisi
yang berganti-ganti.

Pemaparan dari ketiga poin tadi, ketika di analisis memberi penjelasan bahwa pernikahan
adat batak Toba sangat menekankan nilai-nilai kebudayaan yang menciptakan keharmonisan
dalam konteks kehidupan bermasyarakat Batak Toba yaitu saling mengasihi, menghormati dan
saling tolong menolong demi kelancaran hubungan yang baik walau berada pada tempat yang
berbeda-beda.

IV. Kajian Kritis Kristologi

Penelaahan terhadap penjelasan di atas, saya melihat bahwa ajaran-ajaran yesus dengan
keteraturan dalam pernikahan adat dalam masyarakat Batak Toba memiliki sesuatu yang serupa.
Dijelaskan bahwa dalam hal mangadati dengan landasan dalihan na tolu dalam pernikahan adat
Batak juga menekankan pada tujuan melakukan hal baik seperti menghormati orang tua. Dalam
surat Paulus pada Efesus 6: 1-7 juga dijelaskan hal untuk menaati orang tua agar memperoleh
kebahagiaan. Kasih merupakan pondasi dari pelaksanaan tradisi mengadati, akan hal ini mau
menjelaskan bahwa ajaran Yesus tentang mengasihi juga terealisasikan dalam pernikahan adat
batak tersebut. Melalui kasih juga semakin mempererat hubungan setiap masyarakat batak
dengan sesama dan menyadarkan masyarakat batak Toba untuk rela mengikut salib serta
menyangkal diri dalam proses mengikuti Yesus. Dengan Kata lain mereka menjadi sehati dan
sepemikiran dalam melakukan tidakan-tindakannya. Sikap Egois yang terlalu memikirkan diri
sendiri harus dihilangkan agar pada kebersamaan nantinya kita hidup dalam damai sejahtera.
Mangadati dalam pernikahan adat batak toba menimbulkan kasih yang sangat universal,
contohnya kedua mempelai harus saling mengasihi, mengasihi Allah, mengasihi kerabat tanpa
memandang bagaimana perekonomian yang ada. Adat juga mempertegas suatu proses
pernikahan tidak dapat diganggu gugat karena telah dipersatukan dalam upacara adat. Hal
semacam ini juga jelas terlihat dalam perkataan Yesus pada kitab injil Markus 10:9 bahwa apa
16
Darwin Lumbantobing, HKBP DO HKBP HKBP IS HKBP, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), Hal. 262-263.

9
yang telah dipersatukan tidak dapat dipeisahkan. Yesus yang turun dalam dunia mempunyai
tujuan untuk menjalin keterikatan yang harmonis dengan manusia, memiliki keterkaitan dengan
falsafah Dalihan Na Tolu dalam pernikahan adat Batak Toba yang menegaskan hubungan erat
antara ketiga batu penyangga demi menjaga keseimbangan dalam proses menjalani kehidupan.

V. Kesimpulan

Mangadati dalam pernikahan adat Batak Toba memberikan pengajaran yang baik bagi
keseluruhan masyarakat Batak Toba. Hal ini menimbulkan suatu tindakan-tindakan positif dalam
melakukan proses kehidupan. Seperti halnya mengasihi sesama, menghormati orang yang lebih
tua, peka terhadap permasalahan yang ada dan saling membantu. Kasih adalah sesuatu yang
sangat menonjol dalam pelaksanaan mangadati. Sehingga memberi penerangan secara tidak
langsung bahwa ajaran Yesus memiliki kesinkronan dengan hal itu. Dengan kata lain, ajaran
Yesus mengenai kasih dapat diperlihatkan melalui acara mangadati dalam Batak Toba. Atau
dapat dikatakan bahwa adat dan budaya juga merupakan anugerah dari Allah dalam kehidupan
manusia. Karena dalam pelaksanaan adat mangadati itu tidak terlihat jelas sesuatu yang
bertentangan atau menyimpang dari ajaran Kristus. Pelaksanaan adat dan Budaya dapat menjadi
implementasi dari ajaran Yesus.

10
Daftar Pustaka

Buku:

Setyawan, Yusak B. 2015. Kristologi: Perkenalan, Pendalaman dan Pergumulan, Salatiga:


UKSW.
Nuban Timo, Ebenhaizer I. 2018. Meng-hari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila Bergereja dalam
Cita Rasa Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Dister, Nico Syukur. 1993. Kristologi: Sebuah Sketsa, Yogyakarta: Kanisius.
Ismail, Andar. 2016. Selamat Sehati: 33 Renungan tentang Sehati Sepikir, Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Bart Frommel, Marie Claire. 2006. Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Simanjuntak, Antonius Bungaran. 2009. Konflik dan Kekuasaan Orang Batak Toba Bagian dari
Sejarah, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lumbantobing, Darwin. 2016. HKBP DO HKBP HKBP IS HKBP, Jakarta: BPK Gunung
Mulia.

Jurnal:

Vera Herawati, Harlin Yasin,” Tinjauan Prespektif Iman Kristen tentang Mangadati dalam
Pernikahan Masyarakat Batak Toba”. Jurnal Teruna Bhakti. Vol. 2 No. 2, Februari 2020

Lopiana Margaretha Panjaitan dan Dadang Sundawa, “Pelestarian Nilai-Nilai Civic Culture
dalam Memperkuat Identitas Budaya Masyarakat: Makna Simbolik Ulos dalam Pelaksanaan
Perkawinan Masyarakat Batak Toba Di Sitorang”. Journal of Urban Society’s Arts. Vol. 3 No.
2, Oktober 2016

11

Anda mungkin juga menyukai