Anda di halaman 1dari 8

TUGAS MATA KULIAH

PERBANDINGAN AGAMA
Dosen: Dr. Agustinus Wisnu Dewantara, S.S., M.Hum

SIFAT-SIFAT PERKAWINAN
MENURUT SUDUT PANDANG AGAMA ISLAM DAN AGAMA KATOLIK
(Dalam Perspektif Ilmu Perbandingan Agama)

Disusun Oleh:
Intan Martina (162885)

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


WIDYA YUWANA MADIUN
2019
SIFAT-SIFAT PERKAWINAN
MENURUT SUDUT PANDANG AGAMA ISLAM DAN AGAMA KATOLIK
(Dalam Perspektif Ilmu Perbandingan Agama)

ABSTRAK
Hubungan antara orang-orang Islam dan Katolik tidaklah selalu mulus,
walaupun cukup jarang terjadi konfrontasi langsung antara para pemeluk
kedua agama besar tersebut. Masing-masing agama memiliki dasar hukum
yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Hal-hal yang
menyangkut mengenai perkawinan, sampai sekarang pun juga masih
menimbulkan pro dan kontra dari kedua agama tersebut. Hal yang ingin
disoroti ialah sifat-sifat perkawinan dari kedua agama tersebut. Perkawinan
pada dasarnya adalah suci atau sakral. Tidak ada perkawinan dari masing-
masing agama dengan tujuan yang tidak baik. Ilmu perbandingan agama
berusaha untuk mencari titik tengah agar masyarakat dapat lebih saling
memahami, dan dapat mengetahui sifat-sifat perkawinan dari kedua agama
besar tersebut secara lebih objektif, dan mampu menciptakan landasan
cukup kuat untuk berdialog dan bekerja sama.

Kata Kunci: Ilmu Perbandingan Agama, Perkawinan, Sifat-sifat Perkawinan

1. PENDAHULUAN
Berangkat dari Pluralisme agama. Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang
mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang
berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula. Pluralisme agama adalah
sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-
satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun
dapat ditemukan, setidak-tidaknya suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar. Pluralisme
agam juga diartikan sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-
sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini
seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.
Manusia atau masyarakat seharusnya dapat mengartikan pluralisme agama ini dalam
ranah yang lebih bermakna positif. Kadang-kadang pluralisme ini digunakan sebagai sinonim
untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama,
dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam suatu
agama. Selain itu, pluralisme agama juga harus digunakan sebagai sinonim untuk toleransi
agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk
agama ataupun denominasi yang berbeda-beda.
Begitu halnya dengan hakekat dan juga sifat-sifat perkawinan dari masing-masing
agama, dimana dalam hal ini adalah termasuk dalam situasi pluralisme agama itu sendiri.
Agama Islam maupun agama Katolik memiliki pandangan dan norma-norma tersendiri dalam
kaitannya dengan perkawinan seseorang. Tidak ada yang salah, keliru, atau pun tidak baik.
Semua agama pasti mengajarkan hal-hal yang baik, secara istimewa dalam hal ini ialah
berkaitan dengan hakekat perkawinan dari masing-masing agama (Islam dan Katolik).
Perlu adanya suatu pemahaman yang baik mengenai perbedaan-perbedaan yang
mucul dari keduanya. Agama Islam maupun agama Katolik sama-sama memiliki dasar
hukumnya masing-masing, dan manusia tidak berhak untuk menghakimi begitu saja.
Masyarakat harus berpikir secara cermat dan bijak. Karena pada dasarnya semua agama itu
baik, dan norma-norma yang diberlakukan itu bukan hanya sekedar norma yang hanya
menguntungkan dari satu pihak saja, namun hal ini telah menjadi dasar yang bukan tanpa
alasan dan tentunya seturut dengan ajaran yang diimaninya.
Pemahaman akan pandangan kedua agama (Islam dan Katolik) tentang perkawinan
terutama semakin mendesak, bila dilihat semakin banyaknya perkawinan beda agama antara
seorang muslim dengan seorang katolik. Gejala perkawinan campur ini selayaknya
ditanggapi secara arif dan bijaksana, tidak hanya dengan perasaan prihatin, was-was belaka,
bahkan prasangka negatif untuk menjatuhkan agama lain. Disatu pihak, perkawinan berbeda
agama memang memuat risiko dan bahaya yang pantas dijadikan dasar keprihatinan. Tetapi
di lain pihak, perkawinan semacam itu bila dihayati secara bertanggung jawab dan penuh
kedewasaan, juga dapat menjadi berkat bagi kedua agama.

2. ILMU PERBANDINGAN AGAMA


Perlu ditekankan secara jelas bahwa ilmu perbandingan agama adalah sebagai satu
ilmu empiri-positif yang tidak memiliki tugas untuk menelaah soal-soal iman dan kebenaran
iman yang diwahyukan. Posisinya bersifat netral tanpa terikat pada satu latar belakang
penilaian apakah kebenaran iman satu agama itu baik atau tidak. Batas horizon ilmu
perbandingan agama hanyalah untuk menggambarkan dan melukiskan kenyataan religius
secara deskriptif sebagaimana adanya, baik kenyataan religius dari satu agama maupun
kenyataan religius dari beberapa agama. Seperti yang dilukiskan oleh Fritz Stoz dalam
bukunya “Grundzuge der Religionswissenchaft”, gerak pikir pada ilmu perbandingan agama
bertolak dari luar (von auben). Gerak pikir yang bertolak dari luar pada ilmu perbandingan
agama dimaksudkan bahwa titik tolak pendekatannya terletak pada objektivitas dari
penampilan lahiriah agama-agama tertentu diluar si peneliti; objektivitas penampilan lahiriah
itu sedapat mungkin diteliti dan dirumuskan secara ilmiah tanpa pengaruh subyektif yang
mungkin diwarnai oleh sikap iman si peneliti. Ilmu perbandingan agama mengikuti kaidah-
kaidah ilmiah yang harus dipenuhi, yaitu adanya fakta religius, refleksi budi, ketepatan dan
ketelitian hasil penelitian dan perumusannya, serta hasil refleksi yang dapat diuji kembali
secara kritis. Dengan demikian hasil kajian ilmu perbandinganagama adalah hasil kajian satu
ilmu pengetahuan sesuai dengan disiplin ilmu yang bersangkutan. Apa yang dirumuskan
dalam ilmu perbandingan agama, sesudah dibuat penelitian ilmiah tentang kenyataan religius,
sama sekali tidak berbicara tentang “hakekat agama”.

3. HAKEKAT PERKAWINAN
Pandangan Islam
Untuk menunjukkan makna perkawinan, Al Qur’an antara lain memakai istilah
“mitsaqon gholidon”, artinya “perjanjian yangteguh”. Istilah tersebut pertama-tama menunjuk
pada perjanjian antara Allah dan para nabi atau para rasul-Nya. Dengan menggunakan istilah
“mitsaqon gholidon” untuk perkawinan, Al Qur’an secara tidak langsung menunjukkan
kesucian hubungan antara suami dan istri, mirip dengan kesucian hubungan antara Allah dan
manusia yang dipilih-Nya. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa perkawinan dilihat
sebagai tugas dari Allah dan anak-anak pun dilihat sebagai salah satu wujud dari berkat Allah
bagi suami-istri.
Nabi Muhammad menggarisbawahi pandangan Al Qur’an tentang perkawinan seperti
disebut diatas. Ath Thabarani mencatat bahwa nabi Muhammad menyebut perkawinan
sebagai “setengah ibadat”. Perkawinan bukanlah suatu perkara duniawi semata, melainkan
suatu kenyataan yang menyangkut Tuhan. Karena itu, seperti dicatat oleh Ahmad, beliau juga
berdoa pada perayaan nikah seorang muslim, memohon agar Allah berkenan memberkati dan
menyatukan kedua mempelai. Nabi Muhammad juga menganjurkan kepada umat untuk
berkeluarga. Menurut catatan muslim, beliau tidak setuju bila umat Islam hidup membujang.
Mereka yang mencoba hidup membujang beliau sebut sebagai “bukan umat kita”. Untuk
memperkuat anjuran menikah itu, beliau menunjukkan bagaimana nabi-nabi besar juga
menikah dan mempunyai anak-anak.
Pandangan Gereja Katolik
Dalam Kitab Hukum Gereja Katolik yang dipromulgasikan pada tahun 1983, kanon
1055, perkawinan dirumuskan sebagai “perjanjian, dengan pria dan wanita membentuk antar
mereka kebersamaan seluruh hidup … Oleh Kristus Tuhan perkawinan antara orang-orang
yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen”. Dalam Kitab Perjanjian Lama maupun Kitab
Perjanjian Baru, kata “perjanjian” menunjuk pada hubungan yang erat mesra antara Allah dan
Israel, antara Kristus dan Gereja-Nya. Maka, bila hukum gereja katolik menyebut perkawinan
sebgai sebuah “perjanjian”, hal itu dimaksudkan untuk menegaskan pandangan gereja bahwa
perkawinan merupakan hubungan yang erat mesra antara suami dan istri. Karena itu,
perjanjian tersebut juga dikatakan “membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup”.
Hukum Gereja katolik mengakui adanya tujuh sakramen, dan mengakui bahwa
perkawinan antara dua orang yang telah dibaptis merupakan salah satu dari tujuh sakramen
tersebut. Seperti sakramen-sakramen lain, perkawinan dipandang sebagai perayaan iman
gereja yang membuahkan rahmat. Yang khas pada sakramen perkawinan adalah bahwa
sakramen tersebut melambangkan dan membuahkan cinta kasih yang erat mesra antara
Kristus dan Gereja-Nya

4. SIFAT-SIFAT PERKAWINAN
Hukum Islam
Para ahli hukum berusaha meyakinkan umat Islam bahwa monogami lebih
membahagiakan daripada poligami. Alasan yang diberikan tidak hanyadari sudut pandang
doktriner, melainkan juga dari sudut pandang finansial, psikologis dan sosiologis. Walaupun
demikian, sesuai dengan petunjuk Al Qur’an dan hadits nabi Muhammad, hukum islam tetap
membuka kemungkinan bagi pria Islam untuk mempunyai beberapa istri, asal ada alasan
yang sungguh-sungguh memadai. Kemungkinan itu diberikan bila hal tersebut merupakan
jalan keluar terbaik atas masalah-masalah berat yang muncul, misalnya: istri mandul, istri
tidak mampu melayani kebutuhan seksual suami, istri ditahan di penjara selama beberapa
tahun, atau ada kelebihan wanita dalam masyarakat.
Hukum Islam juga menandaskan bahwa perkawinan bersifat tak terceraikan. Hal itu
perlu demi kesejahteraan anak-anak mereka dan demi kesejahteraan seluruh masyarakat.
Maka konflik suami-istri harus diselesaikan dengan cara yang baik, yang mendamaikan
mereka satu sama lain. Perkawinan sementara yang diizinkan oleh sekte Shiit, dilarang
dengan tegas oleh sekte Sunnit, dan dianggap bertentangan dengan makna perkawinan Islam
yang benar, yakni demi pembangunan keluarga yang tahan uji. Walaupun demikian, hukum
islam tetap membuka kemungkinan untuk bercerai, asal ada alasan yang sungguh memadai,
sebagai jalan keluar terbaik dari masalah-masalah berat, seperti: istri mandul, istri tidak
mampu melayani kebutuhan seksual suami, istri menjadi gila, istri terkena penyakit kusta
yang tak tersembuhkan, istri tidak taat, istri berzinah, istri menghilang untuk waktu yang
lama, atau bila hidup bersama sudah tak tertahankan lagi. Perceraian dapat dilaksanakan
dengan berbagai cara: talak, khulu, li’an, fasakh, ila, atau berdasarkan pernikahan talik-talak.
Dalam talak, suami menjatuhkan keputusan menceraikan istri berdasarkan alasan-
alasan yang sah seperti disebutkan dalam paragraf sebelumnya. Dalam khulu, istri harus
mengembalikan mas kawin yang dulu telah ia terima dari suami. Dalam li’an, perceraian
terjadi karena suami menuduh dibawah sumpah, bahwa istrinya telah berzinah. Dalam fasakh,
hukum islam memberi hak kepada istri untuk meminta kepada pengadilan satu alasan,
sebagai berikut: suami impoten, gila, atau terkena penyakit kusta yang tak tersembuhkan;
suami tidak memberi nafkah; suami menghilang dalam waktu lama. Akhirnya, yang disebut
ila adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami dengan cara menolak istri dengan sumpah.

Hukum Gereja Katolik


Kitab-kitab Perjanjian Baru menunjukkan sikap yang tegas dalam membela sifat
monogam dan tak terceraikannya perkawinan. Yesus menunjukkan persetujuannya terhadap
sifat monogam dan tak terceraikannya perkawinan, dengan mengutip kitab Kejadian bab 2
sebagai dasar pertimbangan. Menurut Injil Markus 10:1-12, Yesus menolak perceraian sama
sekali. Ia berkata: “Karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah itu untuk
kamu (yakni untuk menceraikan istri dengan membuat surat cerai). Tetapi pada awal dunia
Allah telah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan… Laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
Demikianlah, mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan
Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Izin nabi Musa untuk menceraikan istri
dipandang oleh Yesus sebagai akibat ketegaran hati orang Israel dann tidak sesuai dengan
rencana Allah. Maka, bila orang hendak memenuhi rencana Allah sebaik mungkin, ia harus
menghindari perceraian.
Penulis Injil Matius 19:1-12 rupanya toh menyisipkan suatu kekecualian dalam ajaran
Yesus tersebut. Sisipan pada ayat 9 memberi kesan seolah-olah Yesus mengizinkan
perceraian bila ada kasus “zinah” yang dapat berarti: hubungan seksual dengan suami atau
istri orang, atau perkawinan tidak sah menurut hukum yang berlaku, atau konkubunat (yakni
perkawinan yang tidak sepenuhnya resmi). Sisipan yang tidak ada pada Injil-Injil yang lain
maupun pada surat-surat Paulus itu barangkali ditambahkan oleh penulis Injil Matius untuk
menghadapi keadaan khusus. Menurut hukum Yahudi, yang begitu dikenal oleh pembaca
Injil Matius, kasus “zinah” memang dapat menjadi alasan untuk bercerai. Maka para ahli
cenderung menilai bahwa Yesus menolak perceraian sama sekali, tanpa kekecualian. Masalah
lain muncul dari surat Paulus. Ia memang menggarisbawahi penolakan Yesus terhadap
perceraian. Walaupun demikian, ia memperbolehkan suami/istri Kristen untuk berpisah, atau
menerima ajakan atau desakan perceraian dari suami atau istrinya yang belum menjadi
Kristen.
Tradisi Gereja Katolik sejak abad 2 sampai 20 semakin menegaskan pandangan
alkitabiah tentang sifat monogam dan tak terceraikannya perkawinan itu. Kedua sifat
perkawinan itu kemudian tidak hanya dipandangsebagai ajaran moral, melainkan juga
ditetapkan menjadi aturan hukum. Monogami perkawinan dianggap sebagai cirri yang
mutlak. Walaupun demikian, hukum gereja katolik juga menentukan bahwa pemimpin gereja
yang sah punya wewenang untuk menceraikan perkawinan, kecuali perkawinan sah antara
dua orang Kristen yang telah dilengkapi dengan hubungan sesksual sesudah perkawinan.

5. KESIMPULAN
Pandangan Islam dan pandangan Katolik tentang hakikat perkawinan tidak banyak
berbeda. Keduanya memandang perkawinan sebagai suatu kenyataan manusiawi yang
bernilai tinggi dan sekaligus sebagai suatu kenyataan yang suci, yang dikehendaki, dan
diberkati oleh Allah. Gereja Katolik bahkan memberi nilai yang sedemikian tinggi terhadap
perkawinan antara dua orang Kristen, sehingga mengakuinya sebagai sebuah sakramen, yakni
perayaan iman gereja yang membuahkan rahmat berlimpah. Martabat perkawinan juga
tampak dari pengakuan kedua agama bahwa hukum-hukum yang mengatur lembaga tersebut
tidak hanya berasal dari manusia, melainkan juga berasal dari Allah. Maka, selain merupakan
kaidah-kaidah hukum, peraturan-peraturan sekitar perkawinan sekaligus juga merupakan
kaidah-kaidah moral, sekurang-kurangnya sebagian darinya. Kedua agama mengakui bahwa
perkawinan merupakan satu-satunya lembaga yang memberi hak moral maupun hak kukum
kepada pria dan wanita untuk hidup bersama, berhubungan seksual, dan menurunkan anak.
Campur tangan Allah dalam perkawinan sungguh diakui dengan tegas oleh kedua agama.
Begitu halnya dengan sifat-sifat perkawinan. Pandangan Islam dan pandangan Katolik
tentang sifat-sifat perkawinan cukup berbeda. Seperti pandangan katolik, Islam memang
menganjurkan monogamy dan kelangsungan perkawinan. Akan tetapi, Ai Qur’an dan hadits
Nabi Muhammad jelas mengizinkan poligami dan perceraian , walaupun dengan syarat-syarat
yang cukup berat. Gereja katolik memang masih mengizinkan perceraian. Tetapi syarat
maupun prosedurnya jauh lebih sulit, dan wewenang untuk melaksanakannya hanya
diserahkan pada pemimpin tertinggi dari gereja, yang bertindak amat hati-hati.
Dengan melihat dari perspektif ilmu perbandingan agama, kedua agama (Islam dan
Katolik) pada dasarnya memiliki norma-norma atau tatanan dalam perkawinan yang tidak
jauh berbeda. Hukum atau dasar yang ditetapkan tidak asal-asalan, namun tetap bersumber
pada ajaran Allah sendiri, dan diimbangi dengan aturan-aturan moral pula yang diciptakan
oleh manusia. Maka dengan demikian, setiap orang yang ingin membangun rumah tangga
tetap harus memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku, dan dapat menelaah kaidah-kaidah
tersebut secara lebih objektif, juga berlaku untuk agama lain. Pemahaman akan pandangan
agama lain menciptakan landasan cukup kuat untuk dialog dan bekerja sama. Sehingga,
pluralisme agama sungguh dapat diterima dengan baik oleh banyak orang.

6. DAFTAR PUSTAKA

Purwahardiwardoyo MSF, Al,Dr, 1990, Perkawinan Menurut Islam dan Katolik, Yogyakarta:
Kanisius

Dewantara, A.W, 2019: Diktat Kuliah Ilmu Perbandingan Agama, Madiun.

Dewantara, A. W. MULTIKULTURALISME INDONESIA.

https://id.m.wikipedia.org>wiki>Pluralisme

Anda mungkin juga menyukai