Anda di halaman 1dari 10

In Theos:

Jurnal Pendidikan Agama dan Teologi


Vol. 1 No. 1 Januari Tahun 2021 | Hal. 101 – 102

PERNIKAHAN KASTA DALAM BUDAYA BALI BERDASARKAN


PERSPEKTIF GEREJA KATOLIK
Fransiskus Rino Suryanto a, 1*, Yohanes Endi b,2, Alvoncus Yudi Suryanto c, 3*, Mario
More Senda d, 4* *
abc
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, Indonesia
1
rinoyomavi@gmail.com *
*korespondensi penulis

Informasi artikel : ABSTRAK


Received: ………; Pernikahan Katolik adalah sebuah pernikahan yang kudus dan sakramental.
Revised: ………; Oleh karenanya kedua belah pihak saling menyatakan kasihnya dan
Accepted: ……… . menerimanya sebagai pasangan yang sepadan dan mau untuk hidup
Kata-kata kunci: bersama hingga maut memisahkan. Disamping itu pernikahan juga
Kata kunci 1; Pernikahan bergesekan dengan faktor selain faktor agama, salah satunya adalah
Kata kunci 2; Gereja kebudayaan. Salah satunya ialah kebudayaan pernikahan kasta yang ada
Katolik dalam tradisi budaya Hindu Bali. Gereja tidak dapat memungkiri bahwa
Kata kunci 3; Budaya Bali diriNya bergesekan dengan hal ini. Oleh karenanya Gereja mengambil sikap
Kata kunci 4; Kasta dan argument yang matang agar kesakralan, kesucian, kesamaan martabat
Kata kunci 5; Hukum sebagai pasangan yang sepadan dipertahankan. Penelitian secara kualitatif
Kanonik dengan meninjau sumber-sumber yang berkaitan terhadap fenomena
perkawinan beda kasta, ditambah dengan perspektif Gereja menyikapi
fenomena ini, menjadikan penelitian ini berusaha untuk memberi
pemahaman teologis berdasarkan Dokumen Gereja. Gereja pada dasarnya
tidak menghalangi sebuah perkawinan terlebih atas dasar cinta dengan
pasangan. Melainkan, Gereja justru membantu pasangan dalam
menghadirkan kasih Allah di tengah-tengah mereka sebagai sebuah
keluarga Kristiani.

ABSTRACT
Keywords: Catholis marriage is a holy and sacramental marriage. Therefore, both
Keyword 1; Marriage parties expressed their love for each other and accepted them as equal
Keyword 2; Catholic partners and willing to live together until death to them part. Besides that,
Church marriage also rubs against factors other than religion, one of which is
Keyword 3; Balinese culture. One of them us the culture of caste marriage that exists in the
Culture Balinese Hindu cultural tradition. The Church can’t deny that it rubs itself
Keyword 4; Caste against this. Therefore the Church takes mature attitudes and arguments so
Keyword 5; Canon Law that sanctity, chastity, equality dignity like partners are maintained.
Qualitative research by reviewing sources relating to the phenomenon of
different caste marriages, coupled with the church’s perspective on
addressing this phenomenon, make this research attempt to provide a
theological understanding based on Church Documents. The Church
basically does not hinder a marriage especially on the basis of love with a
partner. Instead, the Church actually helps couples in presenting God’s love
in their midst as a Christian family

Copyright © 2021 (Nama Penulis). All Right Reserved

How to Cite : Nama belakang , nama depan dan tengah disingkat. (tahun). Judul. In Theos : Jurnal Pendidikan
Dan Theologi,  Vol (No), halaman xx-xx.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
Allows readers to read, download, copy, distribute, print, search, or link to the full texts of its articles
and allow readers to use them for any other lawful purpose. The journal hold the copyright.
In Theos: Jurnal Pendidikan Agama dan Teologi, 1 (1) 2021 Hal xx-xx
Judul Artikel
Nama Penulis 1 , Nama Penulis 2 , Nama Penulis 3

Pendahuluan
Pendahuluan
Gereja Katolik menghendaki perkawinan keluarga kristiani sebagai yang kudus dan
sacramental karena Allah hadir di dalam perkawinan. Gereja ingin agar pasangan yang
hendak menikah memperoleh kebahagiaan dan mengalami sukacita dan rahmat Ilahi di dalam
perkawinan mereka yang tertantang oleh arus jaman. Manusia pada dasarnya memiliki
kecenderungan untuk mencintai dan dicintai. Kecenderungan yang semacam ini membuat
pernikahan menjadi hal yang wajar dan normal dilakukan setiap insan di dalam dunia. Namun
demikian, setiap komunitas hidup memiliki keunikan yang khas dalam memandang sebuah
pernikahan. Hal ini juga berkaitan dengan tradisi, suku, bangsa, adat istiadat, agama, dan ras.
Tidak luput juga berkaitan dengan konteks sosial dimana insan itu berada, historisitas, dan
hukum yang berlaku,
Dalam Gereja Katolik, hal semacam ini bisa dianggap sebagai suatu yang berharga
karena akan menambah khazanah nilai yang ada. Namun di pihak yang lain, hal semacam ini
akan memicu kebingungan dan anomali, serta kerancuan yang ada, bahkan dalam tahap yang
paling ekstrim dapat menimbulkan masalah-masalah yang baru. Keberagaman atau
multikulturalisme yang ada memang bisa menjadi insipirai bagi Gereja Katolik dalam
memperkut dan memperkaya nilai-nilai yang ada dalam dirinya. Namun jika lengah dan tidak
berhati-hati, keberadaan semacam ini akan menggerus dan merusak nilai kesucian pernikahan
yang ada dalam diri Gereja katolik. Agaknya hal semacam ini menuntut dua hal sekaliogus
yakni berkat dan kutuk,
Gereja bukan hanya sekedar sebagai penjaga tradisi dan norma lampau yang terus
diwariskan hingga hari ini. Tetapi Gereja yakin bahwa apa yang dipertahankan oleh Gereja
ini adalah norma yang sudah terumuskan dengan baik, yang menggambarkan relasi Bapa
dengan anaknya yang begitu lekat, atau pemggambaran suami dan isteri yang begitu lekat.
Gereja sampai hari ini meyakini dan akan terus demikian, menganggap bahwa tradisi dan
hukum yang ada adalah sebuah kebenaran yang sejati dan abadi. Namun demikian, bukan
berarti bahwa hukum atau tradisi kuno itu tidak dapat menyesuaikan dengan keadaan jaman.
Justru yang ada adalah bahwa hukum dan tradisi khususnya perkawinan selalu melihat
konteks sesuai dengan perkembangan jaman. Hanya saja prinsip utama yang dimiliki oleh
Gereja tidak akan pernah berubah dan akan tetap abadi.
Dalam tulisan ini, penulis hendak memaparkan dan menggambarkan bagaimana
pandangan Gereja Katolik terhadap fenomena pernikahan beda kasta yang ada dalam tradisi
Hindu. Lantas apa saja argumen-argumen yang dimiliki oleh Gereja dalam memandang
fenomena semacam ini. serta jalan keluar terbaik dalam menyikapi fenomena yang ada.

Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melihat secara lebih
mendalam penelitian terdahulu mengenai budaya Hindu Bali mengenai kasta dan pernikahan
berbeda kasta. Pada tahap pertama ialah perencanaan, kegiatan ini dilakukan dengan
mengumpulkan berbagai sampel baik mengenai pemahaman kasta dalam Budaya Bali dan
juga tentang pernikahan Gereja Katolik yang sah dan pantas secara moral Gereja. Tahap
kedua, dalam tahap ini kedua pemahaman pada tahap sebelumnya mulai dibandingkan,
diteliti secara mendalam untuk melihat perkawinan beda kasta dengan perspektif perkawinan
Gereja Katolik sebagai salah satu sakramen Gereja yang menjadi tanda keselamatan. Tahap
ketiga, ialah tahapan dimana kesimpulan dari perspektif Gereja Katolik mengenai perkawinan
beda kasta sekaligus memberikan katekese mengenai Perkawinan Katolik sesuai dengan
Kitab Hukum Kanonik. Dengan penelitian tersebut Gereja dapat membantu pasangan yang
dalam kasus tertentu terhalang oleh perbedaan kasta yang bisa saja mengagalkan perkawinan.

Hasil dan pembahasan

2 https://journal.actual-insight.com/index.php/intheos
In Theos: Jurnal Pendidikan Agama dan Teologi, 1 (1) 2021 Hal xx-xx
Judul Artikel
Nama Penulis 1 , Nama Penulis 2 , Nama Penulis 3

Perkawinan Katolik menjadi sebuah peristiwa bersatunya sebuah pasangan pria dan
wanita dalam sebuah hubungan cinta yang erat baik kedua mempelai maupun Tuhan sebagai
yang memberi rahmat kekudusan dalam peristiwa perkawinan tersebut. Perkawinan menjadi
salah satu sakramen dari ketujuh sakramen yang merupakan sarana dan tanda kehadiran
Tuhan yang adalah sumber segala berkat dan keselamatan bagi umat-Nya. Ketujuh sakramen
ini ditetapkan oleh Kristus sebagai perwujudan kasih dan kehadiran-Nya di tengah umat
karena Dia senantiasa selalu hadir dalam setiap aspek kehidupan manusia salah satunya ialah
perkawinan (Lon,M.A., 2019).
Gereja Katolik melalui Kitab Hukum Kanonik menegaskan bahwa perkawinan
merupakan sebuah sakramen. Sebab, melalui perkawinan yang suci lahirlah sebuah keluarga
yang mengarah pada Kristus dimana terang iman terus dijalankan sebagai sebuah tugas
perutusan. Perjanjian perkawinan merupakan komitmen kedua mempelai dalam
menghadirkan Kristus di tengah-tengah mereka dan juga mewartakan iman akan Kristus pada
keturunannya. Mereka berasal dari kristus, dipersatukan di dalam Kristus, dan pada akhirnya
hidup untuk Kristus.

Perjanjian (feodus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang


perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup,
yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum
coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibabtis,
oleh Kristus Tuhan di angkat ke martabat sakramen (Konferensi Waligereja
Indonesia, 2016).

Sakramen berfungsi untuk membantu umat dalam meningkatkan dan menguatkan iman
dan kepatuhannya kepada Tuhan, dalam usaha pengudusan dirinya dan penguatan
persekutuan kasih di antara mereka (Lon,M.A., 2019). Tujuan utama perkawinan dalam
Gereja Katolik secara jelas menjadi sebuah upaya manusia (kedua pasangan yang menjadi
suami-istri dalam perkawinan Katolik yang sah) dalam menjalin relasi yang lebih intim
dengan Tuhan. Kelahiran sebuah keluarga dalam kasih Tuhan menjadikan pasangan suami-
istri turut dalam karya keselamatan Allah melalui kehidupan berkeluarganya. Rahmat
perkawinan tidak boleh dibayangkan sebagai sesuatu yang melengkapkan dan
menyempurnakan perkawinan itu dari luar, melainkan suatu dinamisme di dalam perkawinan
sehingga menjadi hubungan yang bukan hanya ditebus tetapi juga menebus (Lon,M.A.,
2019).
Paus Fransiskus dalam Dokumen Amoris Laetitia art.63 menegaskan bahwa Yesus
yang mendamaikan segala sesuatu dalam diri-Nya, memulihkan perkawinan dan keluarga
kepada hakikat awalnya (Mat. 10:1-12). Pernyataan tersebut memberi sebuah gambaran
bahwa Yesus Kristus melalui Gereja-Nya, telah menganugerahkan suatu berkat khusus bagi
setiap pasangan yang mengikrarkan janji setianya dan berjanji untuk dapat membangun
sebuah keluarga Kristiani yang hidup dalam terang kasih Kristus. Pasangan suami-istri
tersebut telah menjadi satu sebagai sebuah persekutuan yang tidak dapat dipisahkan oleh
manusia karena melalui perkawinannya mereka telah menjadi saksi Kristus di dunia dalam
melaksanakan tugas perutusan untuk mewartakan kasih Allah di tengah-tengah dunia. Konsili
Vatikan II dalam Gaudium et Spes menegaskan bahwa perkawinan dan hidup berkeluarga
merupakan bentukan Gereja domestik atau Gereja rumah tangga yang menjadi model Gereja
sejagat atau universal dengan sifat dan ciri yang khas yakni satu, kudus, katolik, dan
apostolik (Uheng Koban Uer, 2019).
Gereja menegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik tentang perkawinan Gereja yang
bersifat monogami dan tak terceraikan. Gereja tidak pernah memberikan sebuah persetujuan
bagi umatnya untuk menikah secara poligami. Sebab, menjadi sebuah pertanyaan mendasar
ketika perkawinan poligami kurang memiliki alasan mendasar selain dalam rangka prokreasi

3 https://journal.actual-insight.com/index.php/intheos
In Theos: Jurnal Pendidikan Agama dan Teologi, 1 (1) 2021 Hal xx-xx
Judul Artikel
Nama Penulis 1 , Nama Penulis 2 , Nama Penulis 3

dan memenuhi hasrat seksual (hal ini kecuali pasangan yang berpisah karena kematian). Hal
ini juga secara langsung hendak memberitahu bahwa untuk dapat menerima perkawinan yang
sah dan pantas secara moral oleh Gereja, pasangan terlebih dahulu harus menjalani kursus
persiapan perkawinan (KPP) di paroki atau Ordinaris Wilayah tempat pasangan tersebut
berasal atau juga tempat mereka akan melaksanakan perkawinan. Dalam Kitab Hukum
Kanonik No.1983 dan 1053 dikatakan bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian pria
dan wanita membentuk diantara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya
perjanjian itu terarah kepada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak;
oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibabtis diangkat ke
martabat sakramen.(Lanang & dkk, 2021)
Penyelidikan kanonik menjadi tahapan yang harus dijalani oleh pasangan sebelum
mereka dianggap layak dan pantas untuk menerima sakramen perkawinan. Pastor paroki
selaku Ordinaris Wilayah memiliki kewajiban untuk secara mendalam menyelidiki serta
mempersiapkan pasangan untuk dapat menjadi keluarga Kristiani yang baik di kemudian hari
tentu setelah segala penyelidikan tersebut terlaksana dengan baik tanpa ada halangan. Bila
orang lain, dan bukan pastor paroki yang bertugas melayani perkawinan, hendaknya ia
selekas mungkin memberitahukan hasil pemeriksaan itu dengan dokumen otentik kepada
pastor paroki (Konferensi Waligereja Indonesia, 2016). Namun, dalam beberapa kasus
tertentu penyelidikan kanonik tidak boleh diwakilkan dan pastor paroki wajib melaksanakan
tugasnya tersebut
Menghadapi halangan-halangan dalam mempersiapkan perkawinan merupakan tahapan
yang tidak bisa terpisahkan sebagai langkah awal dalam proses penyelidikan kanonik.
Berbagai halangan perkawinan telah terjadi cukup sering mulai dari kasus yang berisikan
halangan yang dapat mengagalkan secara umum sampai kasus khusus yang juga kerapkali
menjadi perdebatan. Halangan yang mengagalkan (impedimentum dirimens) membuat
seseorang tidak mampu untuk melangsungkan perkawinan secara sah (Konferensi Waligereja
Indonesia, 2016). Dalam menyelesaikan atau melihat secara tepat tentang halangan
perkawinan, hanya otoritas tertinggi Gereja yang memiliki wewenang secara penuh dalam
menyatakan apakah perkawinan dapat dilaksana, dibatalkan, atau diperbolehkan dengan izin
khusus setelah melewati penyelidikan yang intens oleh Dewan Tribunal Gereja Keuskupan.
Dispensasi menjadi sebuah bentuk pemberian izin kepada pasangan yang dalam
penyelidikan kanoniknya memiliki halangan-halangan perkawinan. Izin ini tentunya diterima
setelah pasangan tersebut. Halangan-halangan dalam persiapan perkawinan harus sungguh-
sungguh diteliti dengan baik dengan mengacu pada Kitab Hukum Kanonik yang di dalamnya
telah tercantum berbagai permasalahan yang dianggap sebagai sebuah halangan perkawinan.
Terbentuknya sebuah keluarga yang bahagia tidak hanya menjadi harapan kedua pasangan
saja, melainkan Gereja juga berusaha untuk mendampingi agar kebahagiaan tersebut
sungguh-sungguh berlandaskan dengan kasih Allah yang hadir di tengah-tengah mereka.
Maka, dalam peranan ini lah Gereja hadir bukan sebagai penghambat terjadinya sebuah
perkawinan yang sah tetapi justru membantu agar permasalahan yang dialami oleh kedua
pasangan pada masa penyelidikan kanonik tidak menjadi masalah bagi rumah tangga mereka
di kemudian hari.
Perceraian perkawinan menjadi sebuah isu yang semakin sering terjadi pada situasi saat
ini. Permasalahan ini juga terjadi dalam keluarga Katolik baik dalam usia muda atau sudah
tua sekalipun. Dorongan untuk bercerai sebagai solusi dalam konflik yang terjadi antara
pasangan suami-istri semakin menjadikan kasus perceraian terutama di kalangan keluarga
Katolik semakin besar. Banyak pertanyaan terutama dalam konteks Gereja Katolik dalam
melihat fenomena perceraian ini. Gereja Katolik secara tegas menjelaskan bahwa apa yang
dipersatukan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh manusia (Mat.40:6). Gereja tidak pernah
mengizinkan adanya perceraian dalam perkawinan Katolik mengingat bahwa perkawinan

4 https://journal.actual-insight.com/index.php/intheos
In Theos: Jurnal Pendidikan Agama dan Teologi, 1 (1) 2021 Hal xx-xx
Judul Artikel
Nama Penulis 1 , Nama Penulis 2 , Nama Penulis 3

ialah sakramen yang menjadi tanda kasih Tuhan atas pasangan yang sudah mengikrarkan
janji sehidup semati di hadapan-Nya.
Gereja memang tidak menerima adanya perceraian. Namun, Gereja menyadari bahwa
dalam penyelidikan kanonik terkadang masih harus terus dilakukan kendati permasalahan
yang terjadi pada pasangan suami-istri juga kerapkali di dasari oleh tidak terungkapnya
halangan-halangan yang baik dengan sengaja atau tidak sengaja menjadi sebuah sumber
permasalahan di dalam hidup pasangan tersebut. Oleh sebab itu, Gereja Katolik menghidupi
proses anulasi. Anulasi adalah pembatalan pernikahan yang berarti bahwa tidak pernah terjadi
perkawinan sejak semula dengan pengandaian adanya penyelidikan pada titik awal mulainya
perkawinan.(Darmanto & Dewa, 2021) Kitab Hukum kanonik pasal 1476 menjelaskan bahwa
setiap umat beriman sejatinya memiliki hak yang sama untuk dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan Gereja atau Tribunal dalam menyelesaikan perkara umat yang sedang dihadapi
oleh mereka salah satu contohnya ialah anulasi perkawinan. Gugatan yang diajukan oleh
umat beriman tentunya harus sudah terlebih dahulu melewati berbagai tahapan seperti
penyelidikan dan pemeriksaan perkara perkawinan yang sedang di hadapi.

Secara umum, ada dua metode dalam memproses perkara anulasi perkawinan;
pertama, melibatkan saksi-saksi dalam pengumpulan data dan informasi seputar
perkawinan tersebut sebagai metode yang cukup panjang. Kedua, proses
documenter yakni proses pembuktian ketidakabsahan perkawinan hanya dengan
menunjukkan dokumen-dokumen penting berkaitan dengan perkawinan tersebut.
(Lon,M.A., 2019)

Perkawinan beda kasta di Bali merupakan suatu fenomena kebudayaan yang sangat
menarik. Sebab, kebudayaan Bali yang berkaitan erat dengan tradisi dalam Agama Hindu
telah menjadi salah satu bentuk eksistensi masyarakat Bali sebagai ada yang mengada. Secara
mendasar, perkawinan beda kasta memang tidak menjadi halangan bagi perkawinan Gereja
Katolik. Namun, bukan berarti hal itu kemudian dapat diabaikan begitu saja mengingat
permasalahan kedua pasangan bukan hanya berasal dari persiapan awal saja, tetapi juga
dalam proses membangun sebuah keluarga. Oleh sebab itu, terlebih dahulu perlu mengkaji
secara lebih mendalam tentang bagaimana sistem kasta di Bali diterapkan.
Orang Bali dikenal sebagai orang yang selalu menghormati leluhurnya. Berdasarkan
tradisi yang dihidupi oleh para leluhurnya masyarakat Bali menggolongkan masyarakat
berdasarkan profesi. Penggolongan ini biasanya dikenal dengan istilah Varna, Wangsa, atau
Kasta. Pembagian masyarakat menurut swadharma (profesi) masing-masing orang, profesi itu
adalah Brahmana (sebagai pemikir), Ksatrya (pelaksana pemerintahan), Waisya (pengusaha),
dan Sudra (pekerja) (Maulana & Dharma Putra, 2021a: 7). Dalam Agama Hindu Bali tidak
mengenal istilah kasta, melainkan warna. Akan tetapi, banyak yang mengira bahwa kasta
berasal dari istilah Sansekerta dari Agama Hindu itu sendiri. Istilah kasta sebagai
“pemberian” oleh Bangsa Portugis. Istilah kasta pernah digunakan oleh Bangsa Spanyol
dalam menjajah dunia baru, mereka mengartikan kasta sebagai “silsilah” (Maulana &
Dharma Putra, 2021b: 93). Meskipun istilah kasta diragukan berasal dari Tradisi Bali, namun
struktur masyarakat dibagi dalam berdasarkan garis keturunan. Masyarakat Bali melihat
kesederajatan berdasarkan garis keturunan. Penggolongan masyarakat sangat nampak dalam
cara orang Bali berbahasa. Ada bahasa khusus bagi rakyat jelata (Jaba) ketika berbicara
dengan kasta di atasnya (Triwangsa). Dalam banyak hal terdapat pandangan terutama dari
kalangan Brahman untuk selalu menjaga tradisi kasta, terutama dalam hal perkawinan.
Perkawinan menyatukan laki-laki dan perempuan. Manusia menempatkan perkawinan
sebagai momen yang sangat penting. Sebagaimana perkawinan merupakan penyatuan laki
laki dan perempuan maka ada usaha mengenal, menghargai, dan pemenuhan kebutuhan
secara fisik dan mental. kawinan itu sendiri akan timbul hak dan kewajiban masing-masing

5 https://journal.actual-insight.com/index.php/intheos
In Theos: Jurnal Pendidikan Agama dan Teologi, 1 (1) 2021 Hal xx-xx
Judul Artikel
Nama Penulis 1 , Nama Penulis 2 , Nama Penulis 3

pihak, menyangkut masalah kehidupan kekeluargaan yang harus dipenuhi, baik hak dan
kewajiban suami istri maupun keberadaan status perkawinan, anak-anak, kekayaan, waris dan
faktor kependudukan di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Pasangan seorang pria dan
seorang wanita yang membentuk rumah tangga atau keluarga dalam suatu ikatan perkawinan
pada dasarnya merupakan naluri manusia sebagai makhluk sosial guna melangsungkan
kehidupannya (Widetya & Sulistyarini, 2015).
Masyarakat Bali menempatkan perkawinan sebagai bagian yang sangat khusus.
Hubungan suami Istri dalam Tradisi Bali terutama dalam agama Hindu Bali merupakan
hubungan yang kekal. Perkawinan dalam tradisi Hindu identik dengan makna keilahian.
Perkawinan Adat Bali sangat diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan sebagai Sang
Pencipta (Widetya & Sulistyarini, 2015). Ketetapan Tuhan merupakan unsur yang utama
dalam sebuah perkawinan dalam Tradisi Bali. Tradisi di Bali berciri patrilineal, dimana laki-
laki menjadi pribadi yang melanjutkan garis keturunan. Patrilineal di bali dikenal dengan
sistem purusa di mana garis keturunan dilacak dari garis laki-laki (ayah), anak-anak
mengikuti garis ayah. Sistem kekerabatan patrilineal tersebut menentukan macam dan bentuk
perkawinan yang dilakukan oleh anggota masyarakatnya. Sistem seperti ini dipelihara dalam
hukum adat hingga saat ini untuk menjaga ketetapan dari Tuhan. Pada dasarnya hukum adat
dalam perkawinan di Bali mengutamakan keberlangsungan keturunan. Perkawinan yang baik
adalah perkawinan yang mampu melanjutkan kedudukan keluarga dalam Varna, Kasta, dan
Wangsa. Hukum adat Bali membagi perkawinan menjadi dua bentuk:
a. Perkawinan wajar atau biasa yaitu bilamana pihak laki-laki memiliki status
Purusa, dan pihak perempuan mempunyai status pradana. Dalam arti ini laki-laki
yang berstatus Purusa berkedudukan untuk melanjutkan keturunan keluarga.
Misalnya laki-laki berkasta Brahmana menikah dengan perempuan berkasta di
bawahnya contohnya Sudra. Tidak ada persoalan di dalam perkawinan ini karena
pihak perempuan dapat mengikuti garis keturunan laki-laki.
b. Dalam kasus khusus ketika perempuan dalam garis keturunannya mempunyai
kedudukan lebih tinggi maka dilakukan Perkawinan Nyeburin atau Nyentana,
perkawinan ini ditujukan untuk mempertahankan garis keturunan dari pihak
perempuan. Hal ini ditujukan untuk mencegah putusnya atau jatuhnya garis
keturunan dari pihak perempuan (Nyerod).
Perkawinan menjadi sangat rumit bahkan sangat sulit untuk diteruskan apabila pihak
perempuan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pihak laki-laki. Perkawinan beda
kasta antara pihak perempuan yang berkedudukan lebih tinggi daripada pihak laki disebut
perkawinan Nyerod. Biasanya perkawinan ini seringkali dihindari oleh masyarakat Bali.
Larangan perkawinan terhadap perempuan Tri Wangsa (Brahmana, Ksatria, dan Waisya)
dengan laki-laki Jaba Wangsa adalah mencerminkan pandangan bahwa Jaba Wangsa
(golongan orang biasa yang bukan Brahmana dan Ksatria) derajatnya lebih rendah(Sukerti &
Ariani, 2018). Perkawinan beda wangsa juga masih dipertahankan oleh beberapa orang Bali
yang sudah lama tidak menetap di Bali, seperti diuraikan oleh Leni Yanti, contoh orang Bali
di Lampung (Leni & Arif, dkk, 2014).
Perkawinan beda kasta pada zaman lampau merupakan persoalan yang amat serius
dalam masyarakat Bali. Perkawinan Beda Kasta dipandang sebagai itu yang mencederai dan
melanggar hukum alam. Hal tersebut dikarenakan air mani laki-laki berkasta rendah
mengotori ketika mengalir melalui ovum wanita yang berkasta lebih tinggi. Hukum yang
diberikan akibat dari pelanggaran ini dapat berupa penurunan kasta (Nyerod), diasingkan
bahkan diusir dari Bali, dan paling serius adalah hukum mati bagi laki-laki yang berusaha
menikahi perempuan di atas kastanya. Di masa lampau terhadap laki-laki Jaba Wangsa
(Sudra) tersebut dapat dijatuhi sanksi yang sangat berat dan mengerikan dan bahkan di luar
prinsip kemanusiaan yakni berupa hukuman labuh geni atau labuh watu (hukuman mati)
yang dilakukan dengan cara mengikat pemberat pada pengantin dan ditenggelamkan di laut,

6 https://journal.actual-insight.com/index.php/intheos
In Theos: Jurnal Pendidikan Agama dan Teologi, 1 (1) 2021 Hal xx-xx
Judul Artikel
Nama Penulis 1 , Nama Penulis 2 , Nama Penulis 3

ada juga di selong (dibuang sampai ke luar Bali). Demikian beratnya hukuman bagi laki-laki
Jaba Wangsayang berani kawin dengan perempuan Triwangsa (dari golongan Brahmana dan
Ksatria) (Widetya & Sulistyarini, 2015). Walaupun demikian dalam perjalanan waktu
hukuman akibat dari pernikahan beda kasta perlahan lebih ringan.
Pada tahun 1951 dengan dimunculkan Paswara No 11/DPRD Bali yang menghapus
hukum pidana karena pernikahan beda kasta. Masyarakat Bali kemudian lebih mudah
melakukan perkawinan beda kasta. Kendatipun lebih mudah, Masyarakat Bali tetap
mempertahan struktur masyarakat berdasarkan Kasta. Penolakan tentang perkawinan beda
Kasta sering kali berasal dari Brahmana. Kaum Brahmana hingga saat ini, masih sulit
menerima pernikahan beda kasta dan menganggapnya sebagai perkawinan yang tabu. Wirtha
Griadhi dalam Budawati mengatakan, bahwa perkawinan nyentana beda wangsa mendapat
penolakan dari masyarakat (kelompok warga Brahmana).
Nyerod sebagai perkawinan beda kasta tidak lebih merupakan perkawinan yang amat
tidak terpuji.Perkawinan Nyerod ini juga disebut sebagai Asupundung dan Alangkahi Karang
Hulu. Secara harfiah asu pundung dapat diartikan “menggendong anjing (asu)”, sedangkan
ungkapan yang kedua berarti “melompati kepala” (Widetya & Sulistyarini, 2015). Paswara
DPRD Bali No. 11 Tahun 1951 menyebutkan bahwa asu pundung ialah perkawinan antara
gadis (wanita) dari kasta Brahmana wangsa dengan laki-laki dari kasta Ksatria, Waisya dan
Sudra Wangsa, sedangkan alangkahi karang hulu adalah perkawinan antara gadis (wanita)
Kesatria Wangsa dengan laki-laki dari kasta Waisya Sudra Wangsa, dan perkawinan seorang
gadis (wanita) dari kasta Waisya Wangsa dengan laki-laki dari kasta Sudra Wangsa (Atmaja,
2008). Perkawinan nyerod dilakukan dengan membawa lari perempuan ke rumah laki-laki
secara diam-diam. Pilihan ini dilakukan sebagai jalan terakhir. Perempuan yang dibawa lari
oleh seoran pria memerlukan waktu lama untuk kembali kepada orang tua. Bahkan ada orang
tua yang tidak ingin menerima anaknya lagi. Nyerod dapat terjadi tanpa persetujuan orang tua
karena sudah pasti tidak ada kesepakatan yang dapat terjalin antara kasta di atas dan yang
dibawah. Pada dasarnya orang tua melarang pernikahan beda kasta agar sang anak dapat
melanjutkan kastanya mengingat setelah melakukan nyerod ada indikasi turun kasta.
Kaum Brahmana menganggap perkawinan nyerod sebagai dilema sosial karena
dengan adanya perkawinan semacam ini ada indikasi merusak garis keturunan yang
mengakibatkan kacaunya struktur masyarakat di Bali. Kerusakan akibat jatuhnya garis
keturunan membuat masyarakat Bali tidak dapat melakukan fungsi dan peran dengan baik
dalam adat, Agama Hindu, bahkan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan karma yang
berlaku. Tradisi Bali menggolongkan masyarakat berdasarkan kasta, varna, dan wangsa yang
tentunya menimbulkan persoalan sosial di Bali. Eriksen menyatakan bahwa sistem kasta
sebagai sebuah tatanan yang mengelompokkan semua masyarakat Hindu-Bali ke dalam
kelompok-kelompok endogami dengan keanggotaan herediter, yang serentak memisahkan
dan menghubungkan seseorang dengan yang lainnya melalui tiga karakteristik, yakni:
pemisahan menyangkut perkawinan dan kontak, pembagian kerja dalam setiap kelompok
yang mewakili satu profesi tertentu, dan akhirnya hirarki, sehingga masyarakat akan
diurutkan pada sebuah skala yang memilih mereka ke dalam kasta tinggi dan rendah (Eriksen
& Thomas Holland, 2009)
Pada perkembangan zaman, perlahan perkawinan beda kasta mengalami banyak
perubahan. Awal dari perubahan perawinan beda kasta diakibatkan oleh mulai melonggarnya
sanksi hukum yang diberikan. Masyarakat Bali mulai menganggap lazim pernikahan beda
wangsa. Jika dulu pernikahan beda wangsa sangat jarang terjadi, maka sekarang pernikahan
beda wangsa marak terjadi. Perubahan ini terjadi karena Pulau Bali saat ini menjadi
pertemuan aneka budaya, pemikiran, dan berkembangnya pendidikan. Banyak pemuda Bali
menikah dengan orang luar Bali ataupun sesama orang bali yang berbeda kasta. Namun,
sanksi akibat dari pernikahan ini adalah hilangnya status dalam keluarga, karena derajatnya
sudah berbeda.

7 https://journal.actual-insight.com/index.php/intheos
In Theos: Jurnal Pendidikan Agama dan Teologi, 1 (1) 2021 Hal xx-xx
Judul Artikel
Nama Penulis 1 , Nama Penulis 2 , Nama Penulis 3

Perubahan sikap anak kepada orang tua nampak ketika seorang anak yang melakukan
Nyerod tidak dapat berbicara kepada orang tuanya dengan bahasa yang sama seperti sebelum
menikah. Hal ini, terjadi karena dalam Tradisi Bali membedakan cara berbahasa antara kasta.
Yang dibawah harus menunjukkan sikap hormat kepada kasta di atasnya dengan bahasa yang
lebih halus. Namun hal ini tidak nampak setelah masyarakat Bali menggunakan Bahasa
Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Orang Bali yang mengalami perbedaan kasta
seringkali ketika ingin menikah terpaksa menikah diluar Bali. Pilihan ini diambil untuk
menghindari hukum kasta di Pulau Bali. Bahkan dengan perkembangan zaman yang semakin
maju tidak menutup kemungkinan akan ada pergeseran sosial antara mereka yang menolak
berlakunya kasta karena dipandang tidak relevan lagi dengan mereka yang sangat menjaga
adat istiadat Bali terutama yang berasal dari Kasta Brahmana.
Kultur masyarakat yang terus berkembang di Pulau Bali telah menunjukan adanya
kesadaran meninggalkan pandangan kasta. Hanya saja, untuk meninggalkan pandangan itu
perlu waktu yang lama, karena hukum kasta telah menyatu dalam sosiologis masyarakat Bali.
Pada dasarnya ada suatu kesadaran bahwa hukum kasta tidak relevan lagi dengan zaman
sekaran yang mengedepankan hak asasi manusia. DPRD Bali telah mengeluarkan peraturan
yang menunjukan hukum kasta dapat berpotensi memecah belah bangsa dengan
mengeluarkan Perda No.11 tahun 1954. Disisi lain Negara Indonesia mengeluarkan UU No.
39 Tahun 1999 tentang HAM yang mengharuskan kesetaraan gender dalam segala hal
termasuk perkawinan. Pergesekan antara pandangan HAM dan kasta telah membuat
masyarakat mengalami dilema dalam kehidupannya. Putu Sudarma berpendapat bahwa
perkawinan antar kasta sejatinya menimbulkan kebiasaan pemahaman gender, dimana tradisi
lama dari kalangan Tri Wangsamenempatkan status dalam masyarakat berdasarkan
genealogis bukan pada fungsinya masing-masing (Sudarma, 2015)
Selanjutnya dalam pernikahan adat bali terjadi persoalan serius ketika terjadi
perceraian. Perkawinan beda kasta mempunyai akibat hilang status dalam masyarakat. Pihak
laki-laki tentunya tidak memiliki persoalan karena kedudukannya sebagai penerus keturunan,
tetapi dari pihak perempuan akan menimbulkan ketidak jelasan mengenai kedudukannya
dalam masyarakat. Bila perempuan yang melakukan perkawinan beda kasta ini bercerai maka
kedudukan perempuan ini akan terombang-ambing tidak jelas baik di keluarga maupun di
masyarakat. Dalam hal perkawinan beda kasta, perceraian yang terjadi akan menimbulkan
dampak yang sangat besar bagi kedudukan perempuannya (Widetya & Sulistyarini, 2015).
Jika dalam perkawinan biasa, seseorang bercerai maka kedua belah pihak akan kembali ke
rumahnya masing-masing namun dalam perkawinan nyerod jika terjadi perceraian pihak
perempuan tidak dapat kembali ke griya/rumahnya lagi tapi sebaliknya pihak laki-laki dapat
kembali ke rumahnya lagi (Sukerti & Ariani, 2018). Dengan demikian kejelasan untuk
melangsungkan kehidupan yang bagi pihak perempuan akan sangat sukar ditempuh. (Dewi,
L. (2013). Dinamika Perkawinan Nyerod di Bali, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan
Undksha, 1(6). Sudantra, I. K. (2007). Asupundung dan Alangkahi Karang Hulu:
Ketidakadilan Gender dalam Sistem Wangsa. Srikandi, Jurnal Studi Gender. VII (2).)
Perkawinan Katolik menjadi sebuah peristiwa bersatunya sebuah pasangan pria dan
wanita dalam sebuah hubungan cinta yang erat baik bagi kedua mempelai dan juga Tuhan
sebagai yang memberi rahmat kekudusan dalam peristiwa perkawinan tersebut. Perkawinan
menjadi salah satu sakramen dari ketujuh sakramen yang merupakan sarana dan tanda
kehadiran Tuhan yang adalah sumber segala berkat dan keselamatan bagi umat-Nya.
Pernikahan dalam Gereja Katolik adalah suatu yang sangat sakral dan sangat bermakna
dalam. Hal ini dikarenakan, ada dua insan yang disucikan dan disatukan. Keluhuran martabat
ini yang amat dijunjung tinggi oleh Gereja. Oleh karenanya suatu pernikahan adalah sesuatu
yang sangat berharga, bahkan dalam tingkat yang lebih dalam, pernikahan dalam Gereja
Katolik adalah sesuatu yang tidak dapat terpisahkan, monogami, dan sekali dalam seumur

8 https://journal.actual-insight.com/index.php/intheos
In Theos: Jurnal Pendidikan Agama dan Teologi, 1 (1) 2021 Hal xx-xx
Judul Artikel
Nama Penulis 1 , Nama Penulis 2 , Nama Penulis 3

hidup. Inipun bukan karena tanpa dasar. Tindakan ini, dilakukans sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Yesus dalam sabdaNya.
Gereja Katolik memiliki syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan khusus dalam
meneguhkan dan mensyahkan sebuah perkawinan Katolik. Hal ini haruslah dipenuhi agar
pernikahan itu menjadi legal dan licit. Namun demikian, Gereja Katolik bukanlah Lembaga
yang begitu kaku dengan hal yang semacam ini, di lain pihak juga banyak dispensasi yang
diberikan kepada kedua mempelai agar dapat tetap melakukan pernikahannya secara Katolik.
Pernikahan kasta dalam tradisi Hindu Bali, memang memperlihatkan secara langsung
maupun secara tidak langsung bagaimana kedua mempelai memiliki perbedaan yang
mencolok. Kasta yang lebih tinggi dan yang lain memiliki kasta yang lebih rendah. Tentu hal
yang semacam ini memiliki makna yang bertolak belakang dalam Gereja Katolik. Gereja
Katolik memandang bahwa laki-laki dan perempuan merupakan dua insan yang sepadan dan
saling melengkapi, menghargai, serta saling menghormati satu sama lain. Keduanya adalah
yang sepadan dan setara sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh keduanya. Kesetaraan ini
sangat dijunjung tinggi oleh Gereja. Gereja tidak menghendaki adanya kesaling ketersiksaan
antara kedua pihak. Dalam hal ini kasta agaknya menjadi halangan untuk sahnya sebuah
pernikahan dalam Gereja Katolik.
Penulis dalam kontek ini memang tidak menemukan secara fisik dan langsung
bagimana efek pernikahan kasta ini. Namun, paling tidak penulis berusaha untuk memberikan
pandangan dan solusi bagaimana menyikapi pernikahan dalam tradisi ini. hal ini dikarenakan,
adanya kecenderungan bahwa pihak yang memiliki kasta yang lebih tinggi, mempunyai kuasa
yang lebih terhadap kasta yang lebih rendah. Hal ini bisa saja terjadi dan ini merupakan
Tindakan yang menyimpang dan bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Gereja. Gereja
selalu menekankan hukum cinta kasih yang harus ada dalam dua insan yang hendak
mesyahkan sebuah pernikahan. Ini menandakan bahwa memang pernikahan kasta agaknya
tidak mempunyai tempat dalam Gereja Katolik. Oleh karenanya jika hal ini diketahui oleh
otoritas dalam sebauh penyelidikan kanonik, maka pernikahan yang hendak dilakukan bisa
dibatalkan. Lebih lanjut kedua belah pihak hendaknya menyadari hal ini dan berusaha
semaksimal mungkin mencegah terjadi hal semacam ini, maka jalan satu-satunya adalah
melepaskan gelar kasta yang ada dalam diri kedua belah pihak apapun itu, dan mau menerima
kedua belah pihak sebagai pasangan yang sepadan dan saling menghargai satu sama lain.

Simpulan
Sikap Gereja Katolik dalam menyikapi pernikahan kasta dalam budaya Hindu
khususnya dalam budaya Hindu Bali adalah menolak dan menentang tindakan demikian. Hal
ini dikarenakan pernikahan semacam ini belum tentu membawa kebahagiaan bagi kedua
belah pihak. Pihak yang merasa memiliki kasta yang lebih tinggi bisa saja menindas bahkan
dalam taraf yang lebih ekstrim dapat menganggap pasangannya sebagai hal yang tidak
berarti. Hal ini tentu bertentangan dengan apa yang dituliskan dalam Kitab Suci, bahwa
seorang laki-laki memperoleh pasangan yang sepadan baginya untuk menolong dan mereka
berdua dianggap sebagai satu daging. Laki-laki dan perempuan dalam pernikahan adalah
pasangan yang sepadan sesuai dengan kodratnya masing-masing. Keduanya adalah sama dan
saling mernghargai. Keteguhan inilah yang agaknya membuat pernikahan kasta tidak
memiliki tempat yang dalam Gereja Katolik. Perbedaan yang timbul dalam pernikahan kasta
akan sangat menyulitkan kedua belah pihak.
Meski belum ditemukan bukti fisik yang muncul ke permukaan mengenai hal ini,
namun penulis dalam pemikirannya mencoba untuk mengantisipasi dan mencoba untuk
memberikan solusi manakala ada hal yang semacam ini muncul dan dpaat diantisipasi
sebelum membuat masalah baru dalam hidup pernikahan. Solusi yang paling jelas adalah
menghilangkan gelar-gelar yang ada dan mau memberikan diri sebagai pasangan yang

9 https://journal.actual-insight.com/index.php/intheos
In Theos: Jurnal Pendidikan Agama dan Teologi, 1 (1) 2021 Hal xx-xx
Judul Artikel
Nama Penulis 1 , Nama Penulis 2 , Nama Penulis 3

sepadan. Mau menerima pasangan apa adanya dan mau berkehendak bebas melangsungkan
hidup pernikahan yang sehat tanpa memandang satu rendah dan satu lebih tinggi derajatnya.

Referensi
Konferensi Waligereja Indonesia. (2016). Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici).
Mardi Yuana.
Lon,M.A., Dr. Y. S. (2019). Hukum Perkawinan Sakramental dalam Gereja Katolik. Kanisius.
Atmaja, J. (2008). Bias gender: Perkawinan terlarang pada masyarakat Bali. Kerjasama CV. Bali
Media Adhikarsa [dan] Udayana University Press.
Eriksen, & Thomas Holland. (2009). Antropologi Sosial dan Budaya Sebuah Pengantar. CV. Titian
Galang Printika.
Darmanto, S.Fil., I. A. S., & Dewa, S.Fil., F. P. (2021). ANULASI PERKAWINAN DALAM MOTU
PROPRIO MITIS IUDEX DOMINUS IESUS DARI PAUS FRANSISKUS DAN
RELEVANSINYA BAGI PERKAWINAN KATOLIK. Pastoralia: Jurnal Penelitian
Sekolah Tinggi Pastoral KAK, 2(2).
Konferensi Waligereja Indonesia. (2016). KITAB HUKUM KANONIK (CODEX IURIS CANONICI).
Mardi Yuana.
Lanang, W. R., & dkk, K. (2021). Pendekatan Relasional Agama dan Spiritualitas Dalam
Meningkatkan Keutuhan Perkawinan Umat Katolik. In Theos: Jurnal Pendidikan Agama
Dan Teologi, 1(4).
Lon,M.A., Dr. Y. S. (2019). Hukum Perkawinan Sakramental dalam Gereja Katolik. Kanisius.
Uheng Koban Uer, T. (2019). PERKAWINAN KATOLIK SEBAGAI JALAN MENUJU
KESUCIAN. Atma Reksa : Jurnal Pastoral Dan Kateketik, 4(1).
Widetya, A. B. C., & Sulistyarini, R. (2015). Akibat Hukum Perceraian Terhadap Kedudukan
Perempuan Dari Perkawinan Nyerod Beda Kasta Menurut Hukum Kekerabatan Adat Bali.

10 https://journal.actual-insight.com/index.php/intheos

Anda mungkin juga menyukai