2, April 2021
Abstract
This study describes the marriage legality between Christian and non-Christian in Corinth. The
text that is used as a focus for interpretation is 1 Corinthians 7:12-16, by using the socio-
historical criticism. The text was chosen because it talked about the marriage of different beliefs
that took place in the City of Corinth. To interpret text by the socio-historical criticism, things
to consider are: First, the background of the social and historical context and mixed marriage
in Corinth. Second, the problem of holiness and divorce in marriage in Corinth. Based the
study, it can be explained that Paul's understanding of the sanctity of Christian marriage is a
way to make a border between holiness and unholiness in pluralistic Corinthian society.
Abstrak
Tulisan ini menguraikan persoalan keabsahan pernikahan antara orang Kristen dan bukan
Kristen di Kota Korintus. Fokus teks yang menjadi acuan penafsiran adalah 1 Korintus 7:12-
16, dengan menggunakan pendekatan tafsir sosio-historis. Teks tersebut dipilih karena
berbicara menyangkut pernikahan berbeda keyakinan yang terjadi di Kota Korintus. Untuk
menafsirkan teks dengan sosio-historis, maka hal yang diperhatikan adalah latar belakang
konteks sosial-historis dan pernikahan campuran di Korintus, serta masalah kekudusan dan
perceraian dalam pernikahan di Korintus. Berdasarkan hasil studi, maka dapat dijelaskan bahwa
pemahaman Paulus tentang kudusnya pernikahan Kristen adalah cara menarik batas antara
kudus dan cemar dalam masyarakat Korintus yang majemuk.
1
Tyas Amalia, “Model Manajemen Konflik ac.id/index.php/jhi/article/view/561/748;
Pernikahan Beda Agama dalam Pemikiran Ahmad “Kontroversi Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Nurcholish,” Jurnal Sosiologi Agama 12, no. 1 Sri Wahyuni, M.Ag., M.Hum. 1,” no. 1 (n.d.).
3
(2018): 1–30. Achmad Nurcholish, Memoar Cintaku:
2
Sri Wahyuni, “Kontroversi Perkawinan Beda Pengalaman Empiris Pernikahan Beda Agama,
Agama Di Indonesia,” Jurnal Hukum Islam 8, no. Pertama (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004).
2010 (2010): 64–78, http://e-journal.iainpekalongan.
Berdasarkan konteks yang terjadi di konteks sosial yang terjadi dalam kota
atas, maka studi ini berusaha untuk meng- Korintus. Dalam konteks itulah, penafsiran
gali pemahaman tentang pengkudusan per- dengan menggunakan tafsir sosial perlu
nikahan beda agama yang diperdebatkan untuk menggali tanggapan jemaat di
dalam 1 Korintus 7:12-16. Perdebatan ter- Korintus dan Paulus sebagai subjek yang
jadi pada masalah perbedaan keyakinan membentuk surat I Korintus dan ideologi-
dalam keluarga jemaat Kristen. Dirasakan nya. Jadi, diharapkan dengan metode ini
adanya ketakutan atau kekuatiran bahwa dapat mendeskripsikan dan memasuki kem-
pasangan yang berbeda keyakinan tersebut bali dunia sosial Alkitab untuk memahami
akan membuat status pernikahan menjadi berita yang hendak disampaikan. Untuk
tidak kudus. Hal tersebut mengakibatkan memahami teks menggunakan model ini,
adanya ancaman perceraian dalam keluarga maka perlu memperhatikan analisa karakter
Kristen akibat ketakutan akan tercemarnya sosial seperti latar belakang sosial historis,
keluarga oleh karena pasangan yang belum struktur kelompok dan stratifikasi sosial
terhadap teks I Korintus 7:12-16 dengan Paulus dalam surat I Korintus me-
menggunakan metode penafsiran sosio- ngomentari banyak hal terkait persoalan
historis. Alasan dipilihnya metode penafsir- moral-etis yang terjadi di Korintus.5 Hal
an sosio-historis karena perkawinan dan tersebut terjadi karena orang-orang di
berbagai hal yang terjadi di Korintus me- Korintus mengalami begitu banyak perso-
rupakan persoalan-persoalan sosial yang alan sebagai kota modern. Salah satunya
tidak hanya bisa dilihat secara diakronik. adalah persoalan pernikahan campuran.
Persoalan-persoalan sosial yang muncul Pernikahan itu terjadi antara orang Korintus
pada awal pemberitaan Injil perlu dilihat yang telah mengaku untuk mengikut
sebagai interaksi dan hubungan sosial Kristus dan pasangannya yang belum me-
(sinkronik) antara penyebaran Injil dan ngaku untuk mengikut Kristus. 6
4
Yusak Tridarmanto, Hermeneutika Perjanjian Baru Growth in Ancient Athens (Princeton University
1 (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 37. Press, 2019), 162.
5 6
Ian W Scott, Implicit Epistemology in the Letters of Richard A Horsley, Abingdon New Testament
Paul: Story, Experience and the Spirit, vol. 205 Commentaries: 1 Corinthians (Abingdon Press,
(Mohr Siebeck, 2006), 54; Federica Carugati, 2011), 27.
Creating a Constitution: Law, Democracy, and
Ada beberapa hal yang mendukung Kedua, dalam literatur kuno, kata
terjadinya pernikahan campuran di kota latin Korintus “Korintiazein” mempunyai
Korintus. Pertama, letak Kota Korintus di arti yang mirip dengan “prostitusi” atau
antara dua teluk, yaitu Teluk Korintus dan “pelacuran.”11 Kondisi ekonomi pada kota
Teluk Saronik. Kedua teluk itu yang Korintus sangat mempengaruhi berkem-
menghubungkan Peloponnesus ke daratan bangnya fenomena sosial tersebut. Peda-
7
Yunani. Teluk-teluk tersebut memungkin- gang yang melewati Kota Korintus ber-
kan Korintus menjadikan tempat di sekitar bondong-bondong mencari teman wanita.
lokasi tersebut sebagai pelabuhan, antara
Tujuannya untuk menghabiskan banyak
lain Pelabuhan Kengkrea yang berada pada
uang setelah melakukan perjalanan panjang
sebelah timur, dan Pelabuhan Lekeion yang
di laut. Beberapa dari mereka kemudian
berada pada sebelah barat. Konsekuensi
jatuh cinta dengan wanita tersebut.12 Situasi
dari Kota yang dikelilingi oleh pelabuhan
yang demikian membuka potensi terjadinya
adalah mobilitas masyarakat Korintus
perkawinan campuran di Kota Korintus.
dalam bidang perekonomian yang tinggi.8
Kedua hal di atas menjadikan
Dengan kata lain, Kota Korintus berada
Korintus sebagai kota yang tidak bisa
pada rute yang strategis untuk melakukan
menggaris batasan antara apa yang berada
perjalanan sepanjang Imperium Romawi.9
di dalamnya (kudus) dan apa yang berada di
Di kota tersebut terjadi pertukaran barang
luarnya (tidak kudus). Garis tersebut agak
dalam sistem kota antara masyarakat
Korintus dengan orang di luarnya. Orang kacau karena percampuran sampai pada
Korintus pun dikenal sebagai masyarakat tingkat substansial kota Korintus, seperti
yang terbuka menerima setiap orang, bukan persoalan makan, hiburan dan identitas. Hal
hanya demi kepentingan ekonomi, tetapi ini semakin diperkuat dengan ikatan-ikatan
orang-orang yang mengungsi, berasal dari yang dulunya bersifat homogen, beralih
kota, dan yang berada di sekitar Kota menjadi ikatan yang bersifat heterogen.
Korintus disambut dengan baik.10 Misalnya ikatan pernikahan mulai meluas
7 10
Michael D Dixon, Late Classical and Early Concannon, Assembling Early Christianity: Trade,
Hellenistic Corinth: 338-196 BC (Routledge, 2014), Networks, and the Letters of Dionysios of Corinth.
9. 11
Norman Perrin and Dennis C Duling, “The New
8
Cavan W Concannon, Assembling Early Testament: An Introduction (2d Ed.; New
Christianity: Trade, Networks, and the Letters of York/Chicago/San Francisco” (Harcourt, Brace,
Dionysios of Corinth (Cambridge University Press, Jovanovich, 1982).
12
2017), 67; Roy E Ciampa and Brian S Rosner, The Konstantinos Kapparis, Prostitution in the Ancient
First Letter to the Corinthians (Wm. B. Eerdmans Greek World (Walter de Gruyter GmbH & Co KG,
Publishing, 2010), 322. 2017), 322.
9
Wayne A Meeks, The First Urban Christians,
1983, 17–18.
batasnya dari sesama orang Korintus sam- pasangan yang mengikuti ajaran Kristus
pai ke luar orang Korintus. Dan setelah Injil dan yang lainnya tidak. Hal ini menjadi
diberitakan ke Korintus, ada nuansa untuk polemik karena sebagian dari keluarga yang
melakukan pemurnian terhadap hal ter- telah menjadi pengikut Kristus, pasangan-
sebut. Upaya untuk menarik garis batas da- nya belum mengakui Kristus.
lam rumah tangga Korintus, antara apa yang Paulus sebagai orang yang andil
tercemar dan suci, apa yang dapat men- dalam penyebaran Injil, dalam narasinya
datangkan kemurnian dan apa yang dapat bermaksud membangun kesadaran sebuah
memberikan kemurnian itu. identitas kelompok etnis sebagai anak-anak
Berdasarkan latar belakang Kota Abraham. Pernikahan bagi Paulus merupa-
Koritus dan keberagaman budaya dalam kan praktik sosial untuk mempertahankan
pernikahan di kota tersebut, maka pernika- identitas tersebut.14 Instruksi semacam itu
han campuran sebelum dan sesudah Injil diberikan Paulus setelah Yesus terangkat ke
diterima cukuplah berbeda. Yang dimak- Sorga dan Ia tidak memberikan petunjuk
sudkan dengan pernikahan campuran dalam apa pun terkait masalah itu. Oleh karena itu,
Kota Korintus, terutama dalam 1 Korintus Paulus sendiri yang harus memberikan
7:12-16, adalah percampuran keyakinan nasihat etisnya terhadap persoalan yang
dalam keluarga ketika Injil telah masuk. Hal terjadi di Korintus.15 Bentuk dasar dari
tersebut dapat dilacak pada teks 1 Kor. instruksi yang Paulus berikan mengenai
7:12-16. Paulus tampaknya tidak mengatur pernikahan campuran ini mengikuti apa
hal menyangkut persiapan sebelum perni- yang dia berikan kepada anggota-anggota
kahan, melainkan tentang hal-hal perni- komunitas Kristen yang menikah, dan yang
kahan yang sudah terjadi. Di dalam perni- secara langsung dia kaitkan dengan Tuhan
kahan itu, terdapat satu pasangan yang telah (1 Korintus 7:10-11): jangan bercerai atau
menerima Injil meng”ubah” pasangan yang berpisah. Apa yang menyebabkan lebih
lain.13 Setelah Injil masuk ke Korintus dan banyak diskusi adalah alasan yang dia
orang-orang Korintus mulai tertarik meng- berikan untuk mendukung pengajaran ini
ikuti ajaran itu, terdapat kemungkinan- dalam kasus pernikahan campuran: bahwa
kemungkinan di mana hanya satu orang dari pasangan yang tidak percaya dikuduskan
13
Horrell, “Ethnicisation, Marriage, and Early GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual
Christian Identity: Critical Reflections on 1 Dan Filsafat Keilahian 2, no. 1 (2017): 104–5.
Corinthians 7, 1 Peter 3, and Modern New Testament 15
Horrell, “Ethnicisation, Marriage, and Early
Scholarship,” 11. Christian Identity: Critical Reflections on 1
14
Johanna Silvana Talupun, “Resensi: Families in Corinthians 7, 1 Peter 3, and Modern New Testament
Ancient Israel—The Family, Religion, and Culture,” Scholarship,” 12–13.
(egiastai) oleh mitra mereka yang beriman, makanan, tapi pengaruhnya kepada manu-
dan bahwa anak-anak dari serikat semacam sia, dan persoalan kemanusiaan itu sen-
itu adalah suci (hagia). diri.17
seluruh anggota keluarga menjadikan ru- 17:19), atau menguduskan Gereja (Efs.
mah tangganya patuh dan mengabdi kepada 5:26) juga Roh Kudus (Rm. 15:16). Dengan
dewa-dewa yang menjaga rumah tangga demikian, bisa dikatakan bahwa “pengudu-
mereka. Ritual di lakukan dalam rumah san” merupakan fungsi yang dilakukan
tangga seperti itu. Hal yang sama terjadi hanya oleh Tuhan.19 Bagi Kittel, konsep
ketika Injil disebarkan. Sebagian catatan mengenai pengudusan bukanlah aksi moral
atau laporan-laporan dalam Perjanjian Baru dari manusia, melainkan merupakan kebe-
tentang penyebaran misi Kristus awal naran, bahwa ada karakter “kudus” pa-
Kekristenan, menggunakan rumah tangga sangan beriman yang kemudian menjadi
(oikos) sebagai alat penyebarannya. Kekris- karakter dari pasangan yang tidak beriman.
tenan itu sendiri di mulai dari pertemuan- Jadi, baginya bukan manusia itu dikudus-
pertemuan yang terjadi di rumah-rumah kan oleh manusia lain, melainkan kebe-
majikan yang telah mengikuti Kristus, naran dari kudus satu pihak, menjadikan
kemudian menyebarkannya kepada budak, karakter dalam kehidupannya yang bisa
anak-anaknya. Sehingga bagi Paulus, sikap memengaruhi pihak/pasangan lain yang be-
dan kepercayaan orang tua dalam rumah lum percaya.20 Memang tidak mudah untuk
tangga, entah bagaimana caranya, dapat menjelaskan konsep kekudusan yang dibi-
membuat anak menjadi kudus. Jadi, mas- carakan oleh Paulus di sini. Bagi banyak
alah kekudusan yang menular dalam rumah komentator, ia menggunakan hagiazo dan
tangga, menurut Paulus adalah keterlibatan adj. hagios dengan cara unik yang berbeda
setiap anggota keluarga atau praktik-praktik dari status kekudusan yang berasal dari
ritus yang terjadi dalam rumah tangga itu. iman orang Kristen. Hal ini akan dianggap
Pengudusan yang dijelaskan dalam menunjukkan kekudusan ekstrinsik melalui
poin pertama ini bukanlah berasal dari kontak dengan tingkah laku dan kasih dari
manusia. Penggunaan kata hagiazo (kudus) orang yang kudus, yang dianggap Kristen
dalam Perjanjian Baru, berhubungan de- sebagai orang suci, sebagai orang Israel
ngan tindakan aktif “pengudusan,” yang pada zaman dahulu (Ul. 33: 3; 4 Mak.
merupakan subjek dari Tuhan sendiri bukan 17:19).
manusia. Misalnya dalam Doa Bapa Kami, Kedua, Paulus tidak peduli terhadap
Yesus menguduskan diri-Nya sendiri (Yoh. ancaman-ancaman pencemaran orang per-
19 20
Gerhard Kittel, Theological Dictionary of the New Kittel, Theological Dictionary of the New
Testament (Volume I) (Grand Rapids, Michigan: Testament (Volume I).
Wm. B. Eerdams, 1967), 111.
caya, ia lebih menekankan pengudusan bagi han ini bertujuan untuk menjadikan “yang
orang yang tidak percaya. Ketakutan orang terpisah” khas, khusus di mata Allah. Tetapi
percaya awal tentang kontaminasi yang dalam ruang-ruang sejarah, percampuran
terjadi di ruang publik akan dipulihkan atas apa yang masyarakat anggap sebagai
dengan pengudusan di ruang privat. Hal suci atau tercemar itu tidak dapat dipisah-
tersebut sesuai dengan pemahaman Paulus kan. Setelah dipisahkan dan menjadi khu-
tentang ekklesia sebagai komunitas yang sus, kehormatan orang tersebut akan me-
kudus dan terikat dan dipisahkan untuk ningkat, dan yang telah dihormati akan
Allah. Dari kedua hal yang telah dijelaskan terus menjaga honor/kehormatannya. Pele-
di atas, purity bagi Paulus adalah peng- buran ini mengakibatkan tanda religius/
halang orang percaya dan tidak percaya. biologis inisiasi ke agama Yahudi tidak lagi
Selain itu, purity juga merupakan gambaran
relevan bagi orang Kristen.22
sikap yang telah ditransformasi dari yang
Nasihat Paulus dalam I Korintus
21
tidak percaya menjadi percaya.
7:12-16 memiliki kemiripan dengan ko-
Batasan yang ditarik oleh Paulus
mentar Paulus tentang perbudakan pada
terhadap situasi percampuran ini sangat
ayat setelahnya. Baginya, para budak yang
sulit dipahami. Ada dua paradoks yang ber- kini telah mengaku harus tetap dalam
tentangan. Paulus yang memberi garis pem- keadaan di mana mereka dipanggil (ay. 21).
beda orang yang percaya dan tidak percaya, Ayat yang “dilematis” ini diartikan
dengan Paulus yang memberikan ruang Fiorenza sebagai kemungkinan-kemung-
bagi percampuran itu terjadi dalam penje- kinan para budak untuk hidup tanpa kha-
lasan atas konteks yang sama. Kekristenan watir akan statusnya meskipun kini mereka
di kemudian hari memahami pemisahan ini telah dipanggil untuk menjadi bebas. Se-
dalam kerangka ruang sakral dan profan. dangkan yang sudah bebas, hidup sesuai
Apa yang telah menjadi sakral tidak akan panggilannya. Jadi, baik budak maupun
bergabung dengan apa yang dianggap se- orang merdeka sama dalam komunitas
bagai profan, yang merupakan sesuatu Kristen, karena mereka memiliki satu
bukan dari dalam dirinya sendiri (di luar Tuhan. Karena itu, seseorang dimung-
dirinya, atau kelompok). Tuntutan pemisa- kinkan menjadi Kristen, baik sebagai budak
21 22
Joseph A. Fitzmyer, First Corinthians: A New Elisabeth Schüssler Fiorenza, In Memory of Her: A
Translation with Introduction and Commentary Feminist Theological Reconstruction of Christian
(New Haven London: Yale University Press, 2008), Origins, vol. 1 (Crossroad Publishing Company,
299. 1984), 222–23.
maupun orang bebas.23 Nasihat teologis boleh menahan pasangannya yang ingin
Paulus tentang keadaan para budak setelah bercerai.
menjadi Kristen sama seperti keadaan kelu- Pada ayat 15, Paulus mengajarkan
arga setelah mereka menerima Kristus. Jadi, jemaat di Korintus untuk menerima kenya-
pengudusan dalam konteks ayat 12-16 bu- taan jika orang yang tidak beriman ingin
kan memisahkan orang Kristen karena takut bercerai. Dalam keadaan tertentu, perni-
pencemaran itu, melainkan karena menjadi kahan tidak perlu dipertahankan jika mene-
orang yang berada dalam posisi apa pun, kan kehendak bebas dari orang lain. Untuk
sekarang telah menjadi sama di mata itu bagi Paulus “keterpisahan” itu membuat
Tuhan. orang tidak berada dalam ikatan tersebut.
Yang dimaksudkan Paulus dengan ikatan
Ancaman Perceraian dalam Perni-
adalah hal yang sama dengan perbudakan.
kahan Beda Keyakinan
Artinya, orang beriman tidak terikat untuk
Dalam kerangka kemurnian itu, mempertahankan pernikahan jika pasangan
Paulus tidak menganjurkan orang Kristen tidak percaya ingin meninggalkan hubu-
untuk bercerai, meskipun hukum mem- ngan mereka, dan bahwa pernikahan kem-
perbolehkannya. Menurut Hukum Romawi, bali bukanlah masalah sama sekali.25
perceraian boleh dilakukan oleh kedua Tujuan perkataan Paulus tentang
pihak. Perceraian tidak membutuhkan per- perpisahan dalam ayat 15 adalah untuk
setujuan lembaga negara ataupun agama. mencapai keadaan damai bagi orang beri-
24
Akan tetapi surat resmi seharusnya dibuat. man. Perdamaian harus menjadi karakteris-
Perceraian dimulai ketika suami mengusir tik dari hidup orang kudus. Keadaan hidup
istrinya keluar dari rumahnya, atau istri sebelum pernikahan (membujang) tampak-
sendiri yang memutuskan pergi dan me- nya bagi Paulus adalah kehidupan yang da-
ninggalkan suaminya. Tampaknya ini ada- mai.26 Hal ini selaras dengan Roma 12:18;
lah salah satu cara yang dipersoalkan Paulus 14:19, pasangan beriman yang baru bercerai
dalam I Korintus 7:13 di mana seorang istri dari pasangan yang tidak beriman, mereka
meninggalkan suaminya. Tapi dalam ke- dipanggil oleh Allah untuk hidup “dalam
adaan terpaksa, jika terpaksa maka pasa- damai,” oleh karena Paulus tidak memikir-
ngan yang sudah mengikut Kristus tidak kan pernikahan kembali (setelah rekonsili-
23 25
Fiorenza, In Memory of Her: A Feminist Gordon D Fee, The First Epistle to the Corinthians
Theological Reconstruction of Christian Origins. (Wm. B. Eerdmans Publishing, 1987), 302–3.
24
Ross Shepard Kraemer, Women’s Religions in the 26
Fiorenza, In Memory of Her: A Feminist
Greco-Roman World: A Sourcebook, n.d., 123. Theological Reconstruction of Christian Origins.
asi). Perdamaian dimaksud berlaku secara tera Allah. Dengan kata lain, Paulus melihat
independen dari perilaku pasangan orang suatu persekutuan orang kudus sebagai su-
tidak beriman.27 atu persekutuan yang terbuka.28 Berbeda
Upaya Memahami Pernikahan Beda dengan Paulus, orang kudus yang berada di
27
Hans Conzelmann et al., 1 Corinthians: A Demianus Nataniel, “Paulus Dalam Konflik
29
Commentary on the First Epistle to the Corinthians Antarumat Beragama: Membaca Konflik Di
(Augsburg Fortress Publishers, 1975), 124. Maluku Utara Berdasarkan Sikap Nasionalisme
28
Yosep Harbelubun, “Membangun Persaudaraan Paulus,” GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi
Lintas Iman Dengan Berbasis Pada Kebudayaan Kontekstual Dan Filsafat Keilahian 4, no. 2 (2019):
Masyarakat Adat Kei,” GEMA TEOLOGIKA: Jurnal 195–210.
Teologi Kontekstual Dan Filsafat Keilahian 2, no. 1
(2017): 75–96.