Anda di halaman 1dari 23

AJARAN SOSIAL GEREJA

(TUGASAN)

MINGGU XI, BAB X


DOSEN: HERWINDO CHANDRA, M. HUM.

OLEH:
TINGKAT III/2021
Fr. Paulus

Fr.Guido

Fr. Faustinus

Sr. Giselle

Sr. Diana

Sr. Lucyanne

Sr. Nathalina

SEKOLAH TINGGI KATOLIK SEMINARI


SANTO YOHANES SALIB
LANDAK, 2021
RINGKASAN DOKUMEN FAMILIARIS CONSORTIO
TINGKAT III

Pendahuluan
1. Gereja melayani keluarga
Gereja melihat bahwa keluarga pada zaman modern ini banyak mengalami kebimbangan dan
keraguan mengenai peranan mereka, akibat perubahan yang terjadi dalam kebudayaan masa kini.
Menanggapi situasi ini, Gereja bermaksud untuk menyajikan bantuan kepada semua golongan
keluarga, khususnya terhadap kaum muda yang sedang merintis menuju pernikahan dan hidup
berkeluarga, supaya mereka dapat mengetahui tujuan akan panggilannya.
2. Sinode tahun 1980 dalam kontinuitas dengan sinode-sinode sebelumnya
Sinode ini memiliki arah yang sama dengan sinode sebelumnya, berkaitan dengan panggilan
hidup berkeluarga bagi orang Kristen. Yang menjadi inti dari semua sinode ini ialah bahwa
keluarga Kristen terpanggil untuk membantu manusia menjalankan penegasan mengenai
panggilannya, menerima tanggung jawab dalam mengusahakan pengembangan keadilan, serta
mendidik keluarga sejak awal, berlandaskan keadilan dan cinta kasih.
3. Tingginya nilai pernikahan dan keluarga
Pernikahan dan keluarga memiliki nilai yang tinggi karena kalau sesuai dengan kehendak
Allah yang menciptakan dunia, panggilan tersebut secara intrinsik menuju pemenuhannya dalam
Kristus. Melihat panggilannya yang amat luhur ini, maka Gereja terdorong untuk mewartakan
kepada sekalian orang mengenai rencana Allah dalam hidup panggilan mereka.
Bagian I: Titik-titik Terang dan Segi-segi yang Suram bagi Keluarga Zaman Sekarang
4. Perlunya memahami situasi
Masyarakat pada hakikatnya memiliki sosio-budaya yang khas. Oleh karena itu, Gereja perlu
memahami berbagai situasi pernikahan dan hidup berkeluarga di zaman sekarang, agar mereka
dapat menunaikan tugas pengabdian mereka.
5. Penegasan dalam terang Injil
Penegasan yang dilaksanakan oleh Gereja berupa sumbangan orientasi supaya kebenaran dan
martabatnya seutuhnya pada pernikahan dan keluarga tetap ditegakkan dan diwujudkan. Penegasan
itu tentunya harus berlangsung dalam cita-rasa iman, yaitu kurnia Roh Kudus kepada seluruh umat
beriman. Karena seluruh umat beriman, maka penegasan ini tidak hanya terjadi melalui para
gembala, tetapi juga kaum awam. Mereka dapat menunaikan tugas itu berlandaskan karisma yang
ada dalam panggilan dari masing-masing anggota.
6. Situasi keluarga dalam masyarakat masa kini
Situasi keluarga masa kini ditandai oleh aspek positif dan negatif. Aspek pertama
menandakan karya penyelamatan Kristus di dunia dan yang kedua mencerminkan penolakan
manusia terhadap cinta kasih Allah. Aspek negatif itu meliputi banyaknya perceraian, malapetaka
keguguran, sterilisasi, serta tumbuhnya mentalitas yang kontraseptif. Di lain pihak, pada Negara-
negara “Dunia Ketiga”, keluarga sering kali tidak mempunyai upaya untuk mempertahankan hidup.
Misalnya, mencari nafkah, pekerjaan, memiliki tempat tinggal, obat-obatan, dll. Akan tetapi,
sebaliknya, di Negara-negara kaya, adanya kemewahan yang berlebihan serta mentalitas
konsumerisme, yang secara paradoksal terliputi sebuah kegelisahan dan ketidakpastian tentang
masa depan. Dengan kata lain, situasi historis keluarga pada masa kini tampak sebagai pencaturan
antara terang dan kegelapan. St. Agustinus melihat hal ini sebagai konflik antara dua cinta, yakni
cinta kasih akan Allah yang melupakan diri sendiri dan cinta diri yang mengabaikan Allah.
7. Pengaruh situasi terhadap suara hati umat beriman
Umat beriman yang hidup dalam masyarakat seperti itu tidak selalu hadir sebagai pribadi
yang memiliki hati nurani kritis terhadap kebudayaan keluarga, serta pelaksana-pelaksana aktif
dalam pembangunan humanisme yang otentik. Bapa Sinode secara khusus melihat gejala-gejala
seperti; meluaskan penceraian, penerimaan pernikahan sipil, perayaan Sakramen Pernikahan tanpa
iman yang hidup, serta penolakan norma-norma moral, yang bertentangan dengan nilai kristiani.
8. Zaman kita membutuhkan kebijaksanaan
Berhadapan dengan situasi demikian, maka seluruh Gereja wajib mengadakan refleksi
mendalam, serta menyatakan kesanggupannya yang tulus supaya kebudayaan baru yang muncul
pada masa kini, mengalami evangelisasi secara mendalam. Evangelisasi itu berupa membangkitkan
kesadaran akan prioritas mutlak nilai-nilai moral, supaya manusia tidak hanya maju dalam ilmu
pengetahuan, tetapi juga keseluruhan martabat manusiawinya. Dalam hal ini, kebijaksanaan harus
mengambil peranan penting dalam kebudayaan modern, agar kebudayaan tersebut tetap berada
dalam koridor kebijaksanaan ilahi.
9. Proses langkah demi langkah dan pertobatan
Ketidakadilan sesungguhnya telah merasuki struktur dalam kehidupan masyarakat masa kini.
Maka, pertobatan tiada hentinya itu amat dibutuhkan pada zaman ini, supaya masyarakat memiliki
sikap batin yang lepas bebas dari setiap kejahatan dan dapat sepenuhnya mengikat diri pada
kebaikan. Untuk mewujudkan pertobatan itu, Gereja menghendaki supaya adanya proses
perkembangan yang bersifat edukatif, supaya umat beriman dapat dituntun maju dan mencapai
pengertian yang lebih kaya tentang misteri Allah dan mengintegrasikan dalam kehidupan mereka.
10. Inkulturasi
Gereja memandang bahwa berkat bantuan kebudayaan, Gereja akan maju dalam kesadaran
akan kebenaran. Oleh karena itu, Gereja perlu memiliki dua prinsip, yaitu menyelaraskan
kebudayaan dengan Injil dan mempertahankan persekutuan dengan Gereja. Dengan menerapkan
prinsip tersebut, maka iman Kristen dapat terwujud secara merata dalam masyarakat yang
berbudaya.

BAGIAN DUA
RENCANA ALLAH MENGENAI PERNIKAHAN
DAN KELUARGA
11. Manusia, gambar Allah yang adalah cinta kasih
Allah menciptakan manusia menurut citra-keserupaan-Nya sendiri. Allah itu cinta kasih,
dalam diri-Nya la menghayati misteri persekutuan cinta kasih antar Pribadi. Perwahyuan Kristen
mengakui adanya dua cara yang khas dalam mewujudkan panggilan manusia secara keseluruhan
untuk mencintai, yakni: pernikahan dan keperawanan atau selibat.
Seksualitas hanya diwujudkan secara sungguh manusiawi, bila merupakan suatu unsur
integral dalam cinta kasih, yakni bila pria dan wanita saling menyerahkan diri sepenuhnya seumur
hidup. Sifat menyeluruh, yang termasuk syarat cinta kasih suami-istri, selaras juga dengan tuntutan
kesuburan yang bertanggung jawab. Kesuburan itu tertujukan kepada lahirnya manusia
12. Pernikahan dan persekutuan antara Allah dan umat-Nya
Persekutuan cinta kasih antara Allah dan umat-Nya, suatu unsur fundamental dalam
Perwahyuan dan pengalaman iman bangsa Israel, mendapat ungkapannya yang penuh makna dalam
perjanjian pernikahan yang diadakan antara pria dan wanita.
13. Yesus Kristus mempelai Gereja dan Sakramen Pernikahan
Yesus mewahyukan kebenaran asli tentang pernikahan, kebenar-an “pada awal mula. Maka
suami-istri terus menerus mengingatkan Gereja akan kejadian di kayu Salib. Antara mereka sendiri
dan bagi anak-anak suami-istri bersaksi tentang keselamatan, yang mereka ikut menerima berkat
Sakramen. Sebagai kenangan Sakramen memberi mereka rahmat dan kewajiban mengenangkan
karya-karya agung Allah, dan memberi kesaksian tentangnya di hadapan anak-anak mereka.
Sebagai perwujudan konkret Sakramen memberi mereka rahmat dan kewajiban melaksanakan
sekarang ini, satu terhadap yang lain dan di muka anak-anak mereka, tuntutan cinta kasih yang
memberi pengampunan dan penebusan. Seperti masing-masing di antara tujuh Sakramen, begitu
pula pernikahan merupakan lambang yang nyata bagi peristiwa penyelamatan, tetapi dengan
caranya sendiri.
14. Anak-anak, kurnia amat berharga bagi pernikahan
Begitulah pasangan, sementara saling menyerahkan diri, bukan hanya memberikan diri
sendiri, melainkan juga kenyataan anak-anak, yang merupakan cerminan hidup cinta kasih mereka,
suatu tanda tetap persatuan suami-istri, dan suatu sintese hidup dan tak ter-ceraikan kenyataan
mereka sebagai ayah dan ibu. Cinta kasih mereka sebagai orangtua dipanggil untuk menjadi bagi
anak-anak tanda yang memperlihatkan cinta kasih Allah sendiri, “asal mula setiap keluar-ga di
surga dan di dunia
15. Keluarga: persekutuan pribadi-pribadi
Pernikahan dan keluarga Kristen membangun Gereja: sebab dalam keluarga manusia tidak
hanya menerima kehidupan dan secara berangsur-angsur melalui pendidikan diantar memasuki
persekutuan manusiawi; melainkan melalui kelahiran baptis dan pembinaan iman anak juga diajak
memasuki keluarga Allah, yakni Gereja.
16. Pernikahan dan keperawanan atau selibat
Pernikahan dan keperawan-an atau selibat merupakan dua jalan untuk mengungkapkan dan
menghayati hanya satu misteri, yakni perjanjian Allah dengan umat-Nya. Bila pernikahan tidak
dihargai, juga tidak akan ada keperawanan yang ditakdiskan kepada Allah atau selibat.
Dalam keperawanan atau selibat manusia mendambakan, juga dalam tubuhnya, pernikahan
Kristus dengan Gereja pada akhir zaman, dengan membaktikan diri seutuhnya kepada Gereja,
seraya mengharapkan, agar Kristus menyerahkan Diri kepada Gereja dalam kepenuhan kebenaran
hidup kekal.

BAGIAN TIGA
PERANAN KELUARGA KRISTEN
17. Keluarga, jadilah sebagaimana harusnya
Maka dari itu, keluarga harus kembali kepada “awal mula” karya penciptaan Allah, kalau
memang hendak mencapai pengenalan diri dan perwujudan diri sesuai dengan kenyataan, bukan
hanya tentang jatidirinya, melainkan juga tentang peranannya dalam sejarah.
Sinode terakhir menekankan empat tugas umum bagi keluarga:
1) Membentuk persekutuan pribadi-pribadi;
2) mengabdi kepada kehidupan;
3) ikut serta dalam pengembangan masyarakat;
4) berperanserta dalam kehidupan dan misi Gereja
18. Cinta kasih sebagai prinsip dan kekuatan persekutuan
Asas terdalam tugas itu, kekuatannya yang tetap, serta tujuan akhirnya ialah cinta kasih.
Tanpa cinta kasih itu keluarga bukanlah rukun hidup antar pribadi, dan begitu pula, tanpa cinta
kasih keluarga tidak dapat hidup, berkembang atau menyempurnakan diri sebagai persekutuan
pribadi-pribadi.
Yang kami tulis dalam ensiklik “Redemptor Hominis” pertama-tama dan secara khusus
berlaku dalam keluarga: “Manusia tidak dapat hidup tanpa cinta kasih. Ia tetap makhluk yang tak
dapat dimengerti oleh dirinya, hidupnya tiada artinya, bila cinta kasih tidak diungkapkan
terhadapnya, bila ia tidak menjumpai cinta kasih, bila ia tidak mengalaminya, dan mengenakannya
pada dirinya, bila ia tidak secara mesra mendalam berpartisipasi di dalamnya”
19. Kesatuan persekutuan suami-istri yang tak terceraikan
Mereka dipanggil untuk tetap bertumbuh dalam persekutuan mereka melalui ke-setiaan dari
hari ke hari terhadap janji pernikahan mereka untuk saling menyerahkan diri seutuhnya.
Persekutuan suami-istri itu berakar dalam sitat saling melengkapi secara alamiah, yang terdapat
antara pria dan wanita, dan makin dikukuhkan oleh kerelaan pribadi suami-istri untuk bersama-
sama melaksanakan seluruh rencana hidup mereka, saling berbagi apa yang mereka miliki dan
seluruh kenyataan mereka.
Persekutuan itu secara radikal ditentang oleh poligami. Memang poligami secara langsung
mengingkari Rencana Allah, yang diwahyukan sejak awal mula; sebab berlawanan dengan
kesamaan martabat pribadi pria maupun wanita; karena dalam pernikahan mereka menyerahkan diri
dalam cinta kasih yang menyeluruh, maka dari itu juga unik dan eksklusif.
20. Persekutuan yang tidak dapat dibatalkan
Sifat tak terbatalkan pernikahan berakar dalam penyerahan pribadi yang menyeluruh antara
suami-istri, dan dituntut demi kesejahteraan anak-anak. Sifat itu beroleh dasar kebenarannya yang
mutakhir dalam Rencana, yang diwahyukan oleh Allah. Memberi kesaksian tentang nilai tak
terhingga, yang ada pada sifat tak terbatalkan dan kesetiaan dalam pernikahan, itulah salah satu
tugas yang paling bernilai dan mendesak bagi suami-istri Kristen zaman sekarang.
21. Persekutuan keluarga yang lebih luas
Persekutuan suami-istri merupakan landasan yang men-dasari persekutuan keluarga yang
lebih luas, yakni orangtua dan anak-anak, kakak-beradik, kaum kerabat dan para anggota lain dalam
rumah tangga. Persekutuan itu berakar dalam ikatan alamiah darah dan daging, dan bertumbuh
menuju kesempurnaannya yang khas manusiawi berkat terjalinnya dan makin matangnya ikatan-
ikatan rohani yang masih lebih mendalam dan lebih kaya.
22. Hak-hak serta peranan wanita
Terutama perlulah digarisbawahi bahwa martabat serta tanggung jawab wanita dan pria itu
sama saja. Kesamaan itu secara istimewa diwujudkan dalam penyerahan diri timbal-balik antara
mereka sendiri, dan dalam penyerahan diri mereka berdua kepada anak-anak, yang khas terjadi
dalam pernikahan dan keluarga. Ketika menciptakan umat manusia “pria dan wanita” Allah
mengurniakan kepada pria dan wanita martabat pribadi yang sama, dan memberi mereka hak-hak
serta tanggung jawab yang khas bagi pribadi manusia, dan tak dapat dialihkan dari mereka. Allah
mewahyukan martabat wanita dengan cara yang seluhur mungkin, dengan mengenakan tubuh
manusiawi dari Perawan Maria, yang oleh Gereja dihormati sebagai Bunda Allah.
23. Kaum wanita dan masyarakat
Pantang diragukan, bahwa kesamaan martabat serta tanggung jawab antara pria dan wanita
sepenuhnya membenarkan ke-mungkinan bagi wanita untuk menjabat fungsi-fungsi yang resmi.
Harus diakui, bahwa kaum wanita mempunyai hak yang sama seperti pria untuk menjalankan
pelbagai fungsi publik.
Kecuali itu, mentalitas yang menghormati kaum wanita lebih karena kerja mereka di luar
rumah tangga dari pada karena kerja mereka di dalam keluarga, harus diatasi. Untuk itu kaum pria
harus sungguh menghargai dan mengasihi kaum wanita, dengan se-penuhnya menghormati
martabat pribadi mereka; dan masyarakat hendaklah menciptakan dan mengembangkan kondisi-
kondisi, yang mendukung kerja dalam rumah tangga.
24. Perlanggaran-perlanggaran terhadap martabat wanita
Mentalitas menganggap manusia sebagai benda, objek perniagaan, melayani kepentingan
egois dan kenikmatan semata-mata. Mentalitas menghasilkan buah-buah yang amat pahit, misalnya
penghinaan terhadap pria maupun wanita, perbudakan, penindasan kaum lemah, pronografi,
pelacuran, serta sekian banyak bentuk dikiskriminasi di bidang pendidikan, pekerjaan, penggajian,
dan lain-lain. Selain itu, masih banyak bentuk diskriminasi lain yang menimpah dan secara serius
merugikan golongan-golongan khas wanita, misalnya para istri yang tanpa anak, para janda, wanita
yang diceraikan, dan ibu-ibu yang tidak menikah. Para Bapa Sinode dengan tegas mengecam
bentuk-bentuk diskriminasi itu, dan bentuk-bentuk lainnnya.
25. Pria sebagai suami dan ayah
Pria dipanggil untuk menghayati karisma dan peranannya sebagai suami dan ayah dalam
persekutuan pernikahan dan keluarga. Istrinya pula dipandang sebagai pemenuhan maksud Allah.
Cinta kasih yang sejati antara suami dan istri mengandaikan serta meminta adanya sikap hormat
yang mendalam dari pihak suami terhadap kesamaan martabat istrinya. Suami Kristen diharapkan
mengembangkan sikap baru cinta kasih, seraya menampakkan kepada istrinya cinta kasih yang
sekaligus lembut hati dan kuat, seperti nampak pada Kristus terhadap Gereja. Cinta kasih terhadap
istrinya sebagai ibu anak-anak mereka, dan cinta kasih terhadap anak-anak itu sendiri, bai suami
merupakan jalan yang biasa untuk memahami dan mengamalkan kebapaannya sendiri. Dengan
menampakkan dan menghayati di dunia kebapaan Allah sendiri, suami diharapkan menjamin
pengembangan semua anggota keluarga secara harmonis dan terpadu.
26. Hak-hak anak-anak
Dalam keluarga, perhatian khusus perlu diberikan kepada anak-anak dengan mengembangkan
penghargaan yang mendalam terhadap martabat pribadi mereka, serta menghormati dan
memperhatikan sepenuhnya hak-hak mereka, terutama anak yang masih kecil, anak yang sakit,
menderita atau cacat. Sikap menerima, cinta kasih, penghargaan, kepedulian terhadap setiap anak
yang lahir di dunia ini dengan pelbagai segi bidang harus menjadi ciri khas yang pokok bagi semua
orang Kristen.
27. Para anggota keluarga yang lanjut usia
Ada kebudayaan-kebudayaan yang menampilkan sikap hormat yang istimewa dan cinta kasih
yang besar terhadap mereka yang lanjut usia. Akan tetapi, ada kebudayaan-kebudayaan lain, yang
menyingkirkan mereka yang lanjut usia dengan cara-cara yang tidak dapat diterima. Perlakuan ini
menimbulkan penderitaan yang mengerikan bagi mereka dan di bidang rohani memiskinkan banyak
keluarga. Kegiatan pastoral Gereja harus membantu setiap orang menemukan serta memanfaatkan
peranan kaum lanjut usia dalam masyarakat sipil dan persekutuan gerejawi, khususnya dalam
keluarga.
28. Bekerja sama dengan cinta kasih Allah Sang Pencipta
Allah menciptakan pria maupun wanita menurut citra-keserupaan-Nya dan memanggil
mereka untuk berperan serta dalam cinta kasih dan kekuasaan-Nya melalui kerja sama mereka
secara bebas dan bertanggung jawab dalam menyalurkan kurnia kehidupan manusiawi. Dengan kata
lain, tugas asasi keluarga ialah mengabdi kepada kehidupan yaitu melalui prokreasi menyalurkan
gambar ilahi dari pribadi ke pribadi. Kesuburan merupakan buah dan tanda cinta kasih suami-istri.
Akan tetapi, kesuburan cinta kasih suami istri tidak terbatas melulu pada prokreasi anak-anak.
Kesuburan diperluas dan diperkaya dengan semua buah hasil kehidupan moril, rohani dan
adikodrati, yang oleh ayah-ibu disalurkan kepada anak-anak mereka, dan melalui anak-anak itu
kepada Gereja dan dunia.
29. Ajaran dan norma-norma Gereja, sudah tua namun selalu baru
Gereja menyadari bahwa suami istri menerima misi khusus untuk menjaga dan melindungi
mertabat luhur pernikahan serta tanggung jawab atas penyaluran hidup manusiawi. Oleh karena itu,
Konsili Vatikan II menyalurkan kepada zaman kita suatu pewartaan yang sungguh-sungguh bersifat
kenabian, dan dengan jelas mengukuhkan serta menyajikan ulang ajaran dan norma-norma Gereja
yang sudah kuno namun senantiasa baru, tentang pernikahan dan penyaluran hidup manusiawi.
30. Gereja membela kehidupan
Kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi tidak hanya memberi harapan untuk menciptakan
kemanusiaan yang baru dan lebih baik, tetapi juga menimbulkan keresahan yang makin mencekam
mengenai masa depan. Di sini, lahirnya mentalitas melawan kehidupan, misalnya: ada semacam
panik yang timbul dari penyelidikan para pakar lingkungan hidup dan para futurolog tentang
pertambahan penduduk, yang ada kalanya membesar-besarkan bahaya pertambahan penduduk yang
mengancam mutu kehidupan. Akan tetapi, Gereja mempunyai kepercayaan yang kuat bahwa hidup
manusiawi, juga kalau lemah dan menderita, senantiasa merupakan kurnia luhur, dianugerahkan
oleh kebaikan Allah. Melawan pesimisme dan egoisme yang menyuramkan dunia, Gereja membela
kehidupan. Gereja dipanggil untuk sekali lagi memperlihatkan kepada setiap orang, dengan jelas
dan lebih meyakinkan, kehendaknya untuk dengan upaya mana pun juga mengembangkan
kehidupan manusiawi serta membelanya melawan segala serangan, bagaimana pun situasi atau tarat
perkembangannya.
31. Semoga rencana Allah makin terpenuhi
Gereja menyadari adanya sekian banyak masalah kompleks, yang dihadapi oleh pasangan-
pasangan suami-istri dalam tugas mereka menyalurkan kehidupan secara bertanggung jawab.
Gereja mengakui juga betapa sungguh serius soal pertambahan penduduk dalam bentuknya
sekarang di banyak wilayah serta implikasi-implikasinya di bidang moral. Akan tetapi Gereja
berpandangan, bahwa pengkajian mendalam semua aspek permasalahan itu justru memberi
peneguhan baru dan lebih kuat kepada relevansi ajaran autentik tentang pengaturan kelahiran, yang
dikemukakan dalam Konsili Vatikan II dan dalam Ensiklik “Humanae Vitae”.
32. Dalam rangka visi yang menyeluruh tentang pribadi manusia serta panggilannya
Kebudayaan masa kini menyajikan tafsiran yang salah sama sekali terhadap makna
sesungguhnya seksualitas manusiawi, karena memisahkan seksualitas itu dari keterarahannya yang
hakiki kepada pribadi. Dalam konteks itu Gereja makin jelas merasa, betapa mutlak perlu misinya
menyajikan seksualitas sebagai nilai dan tugas seluruh pribadi, yang diciptakan pria maupun wanita
menurut gambar Allah. Bertolak dari visi menyeluruh tentang manusia serta panggilannya, Paus
Paulus VI menyatakan, bahwa ajaran Gereja “berdasarkan kaitan tak terceraikan – yang
dikehendaki oleh Allah dan karena itu tidak dapat dibatalkan oleh manusia atas prakarsanya sendiri
– antara kedua makna tindakan perkawinan, yakni arti ‘pemersatu’ dan arti ‘prokreasi’”.
Apabila suami-istri menggunakan upaya-upaya kontrasepsi, mereka menceraikan kedua
makna itu. Mereka “memanipulasi” dan memerosotkan seksualitas manusiawi. Dengan demikian
diri sendiri maupun mitra pernikahan mereka juga, mengubah nilainya sebagai penyerahan diri
“seutuhnya”. Akan tetapi, bila suami-istri memanfaatkan masa-masa ketidaksuburan, mereka
menghormati hubungan yang tak terceraikan antara makna ‘pemersatu’ dan makna ‘prokreasi’ pada
seksualitas manusiawi. Mereka bertindak sebagai “pelayan” Rencana Allah, dan mereka
“memanfaatkan” seksualitas mereka seturut dinamisme asli penyerahan diri “seutuhnya”, tanpa
manipulasi atau pengubahan makna.
33. Gereja sebagai guru dan Bunda suami-istri yang sedang mengalami kesukaran
Di bidang moralitas pernikahan Gereja ialah Guru dan Ibu, dan melaksanakan peranan itu.
Sebagai Guru tiada jemunya Gereja memaklumkan norma moral, yang menjadi pedoman bagi
penyaluran kehidupan secara bertanggung jawab. Selaku Guru Gereja dekat dengan banyak suami-
istri yang sedang mengalami kesulitan mengenai pokok penting kehidupan moril. Oleh karena itu,
tiada hentinya Gereja menganjurkan dan mendorong semua anggota untuk memecahkan kesukaran-
kesukaran mana pun juga dalam pernikahan, tanpa memalsukan atau mencemarkan kebenaran.
Kurnia Roh Kudus yang diterima dan ditanggapi oleh suami-istri, membantu mereka menghayati
seksualitas manusiawi mereka seturut rencana Allah, dan sebagai tanda cinta kasih Kristus yang
mempersatukan dan penuh kesuburan terhadap Gereja-Nya. Selain itu, dibutuhkan juga
pengetahuan tentang segi badani serta irama-irama kesuburan badan yang seharusnya menghantar
seseorang kepada pembinaan untuk mengendalikan diri.
34. Perkembangan moril suami-istri
Penting sekali mempunyai pengetahuan yang cermat tentang tata-moril, nilai-nilai serta
norma-normanya. Tata-moril menampakkan serta menjabarkan rencana Allah Sang Pencipta. Oleh
karena itu, tidak mungkin merugikan manusia. Suami-istri diharapkan berkembang terus dalam
kehidupan moril mereka. Mereka perlu didukung oleh kesediaan yang tulus dan penuh kerelaan
untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam keputusan-keputusan konkret mereka. Para suami-istri
harus dengan jelas mengakui ajaran ensiklik “Humanae Vitae” sebagai ajaran yang menggariskan
norma untuk mengamalkan seksualitas mereka, dan berusaha menciptakan kondisi-kondisi untuk
mematuhi norma itu. Bagi mereka yang sudah menikah akan lebih mudah berkembang bila dengan
menghormati ajaran Gereja, percaya akan rahmat Allah, dan berkat dukungan para gembala jiwa
dan seluruh jemaat gerejawi, mereka mampu menemukan dan mengalami nilai yang membebaskan
dan merupakan sumber inspirasi yang terdapat paa cinta kasih autentik seperti disajikan oleh Injil
dan dicanagkan oleh perintah Tuhan.
35. Menanam keyakinan serta memberi pertolongan praktis
Berkenaan dengan soal pengaturan kelahiran yang halal, jemaat gerejawi zaman sekarang
hendaklah sanggup menunaikan tugas menanam keyakinan dan memberi bantuan praktis kepada
mereka yang ingin menghayati panggilan mereka sebagai orangtua secara sungguh bertanggung
jawab. Oleh karena itu, Gereja merasa harus menyapa secara mendesak lagi tanggung jawab para
dokter, para pakar, para penyuluh di bidang pernikahan, para guru dan suami istri, dan semua orang
yang memang mampu membantu kaum berkeluarga, supaya menghayati cinta kasih mereka dengan
menghormati struktur serta tujuan-tujuan tindakan perkawinan, yang mengungkapkan cinta kasih
itu. Kesaksian yang berharga sekali dapat dan harus diberikan oleh para suami-istri, yang melalui
pelaksanaan bersama pantang berkala telah mencapai kesadaran bertanggung jawab secara pribadi
yang lebih masak atas cinta kasih dan kehidupan.
36. Hak dan Kewajiban Orangtua mengenai Pendidikan
Tugas pendidikan anak-anak oleh orangtua berakar dari Allah sendiri, orangtua dipanggil
untuk mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah. Hak dan kewajiban mereka untuk mendidik
anak-anaknya bersifat hakiki dan taktergantikan, karena orangtua telah menyalurkan kehidupan
kepada anak-anak dan hubungan cinta secara istimewa dengannya. Keluarga adalah lingkungan
pendidikan pertama keutamaan-keutamaan sosial, yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat.” Maka
kewajiban orangtua adalah menciptakan lingkup keluarga, yang diliputi nilai-nilai moral yang
benar. Misalnya: semangat cinta kepada Tuhan dan sesama, pengorbanan, dll. dari keluarga inilah
manusia dapat berkembang sepenuhnya.
37. Mendidik dalam nilai-nilai hakiki kehidupan manusiawi
Tantang zaman modern yang tampak besar dan tidak sedikit mempersulitkan orangtua dalam
pendidikan anak-anak mereka. Gereja terus mendorong orangtua untuk keberanian membina anak-
anak mereka mengamalkan nilai-nilai hakiki kehidupan manusiawi. Misalnya: hidup dalam
keutamanan-keutamaan (cinta kasih, adil), menghindari sikap individualism, hedonisme, egoisme,
dll. Di samping itu, orangtua harus memperhatikan pendidikan seksualitas dan kemurnian agar
anak-anak mereka mendapat pengertian tepat dan juga bertanggungjawab terhadap soal seksualitas.
Seksualitas memperkaya pribadi seutuhnya: badan, alam perasaan dan jiwa, dan menampakkan
maknanya yang terdalam dengan mengantar manusia kepada penyerahan diri dalam cinta kasih,
maka keperawanan serta selibat sebagai bentuk paling luhur penyerahan diri, yang merupakan arti
terdalam seksualitas manusia. Kemurnian merupakan keutamaan yang mengembangkan
kematangan autentik manusia, dan menjadikannya mampu menghormati serta memupuk “makna
nupsial” badan.
38. Misi pendidikan dan Sakramen Pernikahan
Bagi orangtua Kristen misi pendidikan anak-anak mempunyai sumber dari Allah sendiri dan
juga dari Sakramen Pernikahan. Melalui Zakramen ini orangtua diminta untuk ikut serta
mengamalkan kewibawaan dan cinta kasih Allah Bapa dan Putranya, dan ikut mengamalkan cinta
kasih Bunda Gereja. Sakramen Pernikahan memberi kepada fungsi mendidik martabat sebagai
suatu “pelayanan” Gereja, demi pembangunan para anggotanya. S. Tomas membandingkannya
dengan pelayanan para imam.
39. Pengalaman Pertama tentang Gereja
Perutusan pendidik meminta orang tua Kristen untuk menyampaikan kepada anak-anak apa
yang mereka butuhkan supaya mereka dapat tumbuh menjadi pribadi yang dewasa. Konsili Vatikan
II menegaskan bahwa pendidikan itu juga bertujuan supaya mereka yang dibaptis semakin hari
dapat mendalami misteri keselamatan, agar mereka dapat belajar bersujud kepada Allah dalam Roh
dan Kebenaran (lih. Yoh 4:23). Karena pelayanan mereka sebagai pendidik, maka orang tua
memiliki peran sebaga duta Injil pertama bagi anak-anak mereka. Untuk menjalankan pelayanan ini,
Bapa Sinode mengharapkan agar ada katekismus yang cocok bagi keluarga yang jelas, singkat, dan
mudah diolah oleh siapa saja.
40. Hubungan dengan para pelaksana pendidikan lainnya
Walaupun keluarga merupakan persekutuan pendidik pertama, tetapi ia membutuhkan kerja
sama dengan para pelaksana pendidikan lainnya, seperti kelompok bina dan para gembala. Oleh
karena itu, orangtua mempunyai kewajiban untuk memelihara hubungan yang akrab dan aktif
dengan para guru dan pemimpin sekolah. Apabila ada ideologi-ideologi yang bertentangan dengan
iman Kristen, keluarga harus bergabung dengan keluarga lain, atau kalau mungkin melalui serikat
keluarga, agar dapat dengan bijaksana mendampingi kaum muda, supaya mereka tidak
meninggalkan iman.
41. Bermacam-ragam pengabdian kepada kehidupan
Pengabdian kepada kehidupan itu dapat berupa memberi ilham, khususnya kepada pasangan-
pasangan yang mengalami kemandulan fisik, memberi dukungan serta cinta kasih kepada anak-anak
dari keluarga-keluarga lain yang sama sekali tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok,
memelihara anak-anak yang kehilangan orangtua mereka, menemukan kebutuhan baru dalam
penderitaan baru masyarakat kita, dan menganugerahkan keberanian untuk menerima dan
menanggapi itu semua
42. Keluarga Sebagai Sel Pertama dan Vital bagi Masyarakat
Keluarga merupakan sel pertama dan vital bagi masyarakat karena Sang Pencipta telah
menetapkan persekutuan suami-istri menjadi asal mula dan dasar masyarakat manusia. Melalui
keluarga, masyarakat dilahirkan dan ditemukan pula gelanggang latihan pertama bagi keutamaan-
keutamaan sosial, yang merupakan prinsip kejiwaan untuk perkembangan masyarakat itu sendiri.
Selain itu, keluarga juga mempunyai daya kekuatan yang mampu mengangkat manusia dari
keadaannya yang tak bernama, memelihara kesadaran akan martabat pribadinya, memperkayanya
dengan perikemanusiaan yang mendalam, serta menempatkannya dalam tata susunan masyarakat
dengan segala keunikannya.
43. Kehidupan keluarga sebagai pengalaman persekutuan dan saling berbagi
Pengalaman persekutuan dan saling berbagi sendiri sehari-hari dalam keluarga, merupakan
sumbangannya yang pertama dan mendasar bagi masyarakat. Dalam keluarga setiapa pribadi
belajar untuk memberi secara sukarela, menghormati martabat pribadi manusia, terjadi dialog, juga
kebajikan-kebajikan, teladan dari orangtua, dll. hal-hal ini membantu untuk mengembangkan
persekutuan yang autentik dan matang antara para anggota dalam keluarga. Maka, keluarga menjadi
tempat asal dan upaya paling efektif untuk “memanusiakan” dan “mempribadikan” masyarakat dan
dunia.
44. Peranan sosial dan politik
Peranan sosial keluarga merupakan peranan yang tak tergantikan. Maka dari itu keluarga-
keluarga dapat dan harus membaktikan diri melalui kegiatan-kegiatan pengabdian sosial yang
bermacam-macam, khususnya bagi kaum miskin, atau setidak-tidaknya demi kepentingan semua
orang dalam aneka situasi, dll. Bantuan keluarga bagi masyarakat dalam bentuk material atau
rohani, hal-hal ini sesuai dengan pengajaran Injil. Selain itu, keluarga-keluarga diharapkan untuk
ikut bertanggung jawab atas perubahan masyarakat, keterlibatan politik, mentaatinya dan
mendukung dan membela secara positif.
45. Masyarakat melayani keluarga
Keluarga dan masyarakat memiliki hubungan erat, berperanan saling melengkapi maka
masyarakat perlu menghormati hak-haknya (taat pada prinsip mene subsidiaritas)dan mendukung
keluarga, serta mengembangkan kesejahteraannya.
46. Piagam Hak-hak Keluarga
Cita-cita keluarga maupun masyarakat untuk saling mendukung dan mengembangkan kerap
kali sungguh tajam berlawanan dengan kenyataan, bahwa keduanya terpisahkan atau bahkan
bertentangan. Misalnya: negara tidak mau tahu-menahu tentang hak-hak keluarga maupun manusia
yang tidak boleh diganggu gugat, masyarakat tidak mau melayani keluarga, dll. Gereja membela
hak-hak keluarga terhadap penyalah-gunaan oleh masyarakat dan negara. Misalnya: setiap orang
berhak untuk hidup dan berkembang sebagai keluarga; hak untuk melaksanakan tanggung jawabnya
berkenaan dengan penyaluran kehidupan dan pendidikan anak-anak; hak atas sifat intim hidup
pernikahan dan keluarga, dll.
47. Rahmat serta tanggung jawab keluarga Kristen
Peranan sosial dan politik tercakup dalam perutusan rajawi pengabdian, yang dijalankan oleh
para suami-istri Kristen berdasarkan Sakramen Pernikahan. Mereka sekaligus menerima perintah
dan rahmat yang menopang dan mendorong mereka. mereka diharapkan memberi kepada siapa pun
juga kesaksian berupa dedikasi sepenuh hati dan tanpa pamrih terhadap perkara-perkara sosial,
melalui sikap “mengutamakan cinta kasih” terhadap mereka yang miskin dan serba kekurangan.
48. Menuju tata internasional yang baru
Peranan mencakup juga kerja sama demi tata internasional yang baru. Persekutuan rohani
antara keluarga-keluarga Kristen, yang berakar dalam iman serta harapan bersama dan dijiwai oleh
cinta kasih, merupakan daya kekuatan batin yang menumbuhkan, menyebarkan dan
mengembangkan keadilan, rekonsiliasi, persaudaraan serta damai antar manusia. Melalui
pendidikan benar kaluarga dapat menyajikan bagi masyarakat insan Allah yang hidup berdasarkan
nilai-nilai kebenaran, kebebasan, keadilan dan cinta kasih dan orantua sendiri dapat ikutserta
membangun sosial dengan usahanya sendiri.
49. Keluarga dalam Misi Gereja
Keluarga Kristen dipanggil untuk pengabdian demi pembangunan Kerajaan Allah dalam
sejarah, dengan ikut menghayati kehidupan dan misi Gereja. Dasar dari panggilan ini adalah ikatan-
ikatan yang menghubungkan Gereja dengan keluarga Kristen (Ecclesia domestica) sedemikian rupa
sehingga dengan caranya sendiri keluarga menjadi lambang yang hidup dan menampilkan misteri
Gereja melalui kehidupan mereka sehari-hari.1 Selain itu, keluarga Kristen juga dicangkokkan
sedemikian rupa ke dalam misteri Gereja, sehingga dengan caranya sendiri ikut berperan dalam misi
penyelamatan Gereja. Mereka tidak hanya menerima cinta Kristus dan diselamatkan, mereka juga
harus menyalurkan cinta Kristus tersebut dan menjadi persekutuan yang menyelamatkan.2
Untuk mewujudkan peranannya dalam kehidupan dan misi Gereja, keluarga Kristen mengacu
kepada peranan Yesus Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja.
50-54. Keluarga Kristen sebagai Persekutuan yang Beriman dan Mewartakan Injil
(Nabi)
Keluarga Kristen menjalankan peranan kenabiannya dengan menyambut Sabda Allah setulus
hati serta menyiarkannya, secara khusus dalam masa persiapan pernikahan, perayaan Sakramen
Pernikahan, dan terus berlangsung dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. 3 Tugas ini sangat
penting karena masa depan pewartaan Injil sebagian besar tergantung dari keluarga.4 Selain itu,
pewartaan Injil dalam keluarga merupakah bentuk pengabdian kepada Gereja yang tak tergantikan,
bersifat universal, namun harus tetap berada dalam persekutuan dengan jemaat Gerejawi di
keuskupan maupun paroki.5 Beberapa keluarga bahkan dipanggil untuk terlibat aktif dalam karya
misioner.6
55-62. Keluarga Kristen sebagai Persekutuan dalam Dialog dengan Allah (Imam)
Sebagai imam, keluarga Kristen terus menerus dihidupkan oleh Tuhan Yesus, serta dipanggil
dalam dialog dengan Allah melalui Sakramen (terutama Pernikahan, Ekaristi dan Tobat),
pengorbanan hidup, dan doa.7 Sakramen memberi mereka rahmat serta kewajiban moril untuk
mengubah seluruh hidup mereka menjadi “korban rohani” untuk memuliakan Allah dan
menguduskan dunia.8 Korban ini diungkapkan secara nyata dalam hidup doa keluarga yang
dipanjatkan bersama9, baik dalam bentuk doa pribadi maupun liturgis, terutama doa rosario.10

1
FC 49.
2
FC 50.
3
FC 51.
4
FC 52.
5
FC 53.
6
FC 54.
7
FC 55.
8
FC 56.
9
FC 60.
10
FC 61.
63-64. Keluarga Kristen sebagai Jemaat dalam Pengabdian Kepada Sesama (Raja)
Keluarga Kristen diilhami dan dibimbing oleh hukum baru Roh Kudus dipanggil untuk
mengamalkan pengabdiannya dalam cinta kasih terhadap Allah dan sesamanya manusia, seperti
Kristus sendiri yang menjalankan kekuasaan rajawi-Nya dengan melayani dan mengusahakan
“pengembangan manusiawi”11 Pelayanan ini menjangkau setiap orang sebagai pribadi dan anak
Allah.12
Bagian Empat: Pastoral Keluarga, Tahap-tahapnya, Strukturnya, Para Pelaksananya
dan Situasi-situasinya
65. Gereja Mendampingi Keluarga Kristen Dalam Perjalanannya Mengarungi Hidup
 Sesuai dengan tugas Gereja ia tidak membiarkan keluarga dalam melaksanakan kewajiban
hidup pernikahan sendiri secara
 Peran Pastoral Gereja dalam hal ini (mendampingi keluarga) sangat mendesak
 Kepedulian pastoral juga tidak boleh membatasi pelayanannya pada hanya pada keluarga
Kristen yang paling dekat tapi harus selaras dengan Hati Kristus – khususnya terhadap keluarga
yang sedang menghadap kesulitan dan yang berada dalam situasi yang tidak lazim. Gereja harus
menunjukkan
oSabda Allah yang hidup– kebenaran, kebaikan, pengertian, harapan dan simpati
oBantuan tanpa pamrih
oHarus bersifat progresif – dengan menyimak perkembangan keluarga, mendampingi langkah
demi langkah dalam setiap tahap pembinaan dan perkembangan keluarga
66. Persiapan Untuk Pernikahan
 Persiapan pernikahan sangat penting untuk dilakukan secara bertahap (khususnya kaum
muda) yang dilakukan lewat pendidikan. Masyarakat dan keluarga turut berperan dalam persiapan
pernikahan tersebut
 Pentingnya persiapan
oKhususnya kepada kaum muda yang mengalami kendala – kehilangan kesadaran akan tata-
nilai yang seharusnya mereka hidupi, tidak lagi mengenal norma tertentu bagi perilaku mereka,
tidak tahu bagaimana untuk menghadapi kesulitan-kesulitan yang baru
 Persiapan sebagai proses yang bertahap dan berlanjut
oPersiapan jauh – mulai dari masa kanak-kanak: disiapkan untuk mengenali jati diri:
kelemahan & kelebihan, penghargaan terhadap nilai manusiawi, penguasaan diri, dan cara
memandang antar sesama jenis

11
FC 63.
12
FC 64.
oPenekanan terhadap pentingnya pembinaan rohani dan katekis yang andal (menunjukkan
bahwa pernikahan adalah panggilan)
oPersiapan dekat – yakni persiapan khusus untuk menerima sakramen. Sangat penting
supaya sakramen dapat dihayati dengan tepat
oPendidikan yang diberikan saat ini haruslah sesuai dengan segala persyaratan yang
diperlukan dalam kenyataan kehidupan sebagai suami istri
 Pendidikan seksualitas
 Bagaimana seorang ibu dan bapa yang bertanggung jawab
 Pengetahuan medis dan biologis memadai
 Bagaimana cara yang tepat untuk mendidik anak
 Apa yang diperlukan untuk memperoleh kehidupan berkeluarga yang teratur (pekerjaan
tetap, sumber keuangan yang memadai, administrasi yang efisien dan pengetahuan tentang rumah
tangga yang memadai)
 Perlunya pemberian persiapan untuk kerasulan keluarga: yakni menjadi keluarga yang
solider dengan keluarga lain, aktif dalam gerakan-gerakan demi kepentingan manusiawi
oPersiapan langsung – dilakukan beberapa bulan sebelum melangsungkan pernikahan yakni
yang disebut sebagai pra-pernikahan (disyaratkan oleh Hukum Kanonik)
 Pengertian yang lebih mendalam tentang misteri Kristus dan Gereja
 Arti rahmat dan tanggung jawab pernikahan Kristen
 Pengertian akan liturgi pernikahan sehingga dapat secara aktif dan sadar mengikuti liturgi
upacara pernikahan
 Konferensi-konferensi Uskup diseru agar memberi perhatian terhadap sarana dan prakarsa
yang cocok bagi pasangan yang mau menikah – mengusahakan agar terbit suatu Pedoman Untuk
Reksa Pastoral Keluarga yang mengandung metode kursus-kursus persiapan, dan menjaga
keseimbangan dalam pelbagai aspek (antara pedagogi, hukum dan medis)
 Tidak boleh dengan terlalu mudah memberikan dispensasi atas persiapan pernikahan untuk
menegaskan betapa wajib dan pentingnya persiapan pernikahan
 Pentingnya penjelasan terhadap mengapa perlunya persiapan pernikahan supaya hal ini tidak
disalah mengerti sebagai sebuah halangan dalam merayakan pernikahan
67. Perayaan Pernikahan
 Dilihat dalam tiga aspek: Tindakan Sakramental Pengudusan, Lambang, Tindakan
Sakramental Gereja
 Tindakan Sakramental Pengudusan –
oHarus sah, layak dan subur
oPenekanan terhadap kepedulian pastoral sehingga, sakramen dapat ditanggapi sepenuhnya,
tata-tertib Gereja dapat dipatuhi dengan setia
 Mengenai persetujuan bebas mempelai
 Mengenai halangan, bentuk kanonik dan upacara aktual (liturgi)
oPerayaan hendaklah berlangsung dengan sederhana dan anggun
oSegala situasi konkret yang terjadi harus selaras dengan norma yang sudah ditetapkan oleh
Takhta Suci (termasuk perayaan liturgi yang memasukkan unsur kebudayaan masing-masing:
selaras dengan iman dan moralitas Kristen)
 Lambang – harus sedemikian rupa sehingga menampakkan pewartaan sabda Allah maka
butuh:
oPersiapan yang seksama dan sungguh-sungguh dalam mewartakan Liturgi sabda (terutama
pasangan yang menikah)
 Tindakan Sakramental Gereja – harus melibatkan jemaat kristen dengan
oPartisipasi penuh, aktif bertanggung jawab oleh semua pihak sesuai dengan tempat dan
tugas masing-masing (imam, pria dan wanita, para saksi, kaum kerabat, anggota umat beriman)
68. Perayaan Pernikahan Dan Pewartaan Injil Kepada Orang-orang Yang Dibaptis
Tetapi Tidak Percaya
 Disposisi rohani dan moral selalu menjadi yang utama yang harus diperhatikan dalam
mereka yang hendak menikah. Maka disini dibahas mengenai kesulitan yang timbul (terutamanya
jiwa gembala berada di lingkungan masyarakat yang serba sekular)
 Alasan yang memadai untuk bisa menikah di Gereja
oOrang harus mengenal dan mematuhi unsur khas dalam sakramen pernikahan: Bahwa
pernikahan ini diadakan oleh Tuhan sendiri (maka sebuah pernikahan tidak dapat dibatalkan)
oMotivasi yang bersifat lebih sosial daripada religius tidak dapat membatalkan ijin untuk
pernikahan Gereja karena
 Kodrat dari pernikahan yang tidak hanya melibatkan yang menikah tapi juga kepada semua
orang yang dikenalnya: keluarga sahabat dan lain-lain sehingga pernikahan adalah perkara sosial.
Namun di lain pihak, mereka secara implisit menyetujui syarat Gereja dalam pernikahan karena
pembaptisan yang mereka terima membuat mereka sudah ikut serta dalam Perjanjian pernikahan
Kristus dengan Gereja
 Konsili Vatikan II juga meneguhkan bahwa melalui sakramen-sakramen, kata-kata dan
unsur-unsur upacara bisa memantapkan dan meneguhkan iman
 Risiko yang bisa timbul
oTimbul penilaian yang tanpa alasan dan diskriminatif
oMenimbulkan keragu-raguan tentang sahnya pernikahan-pernikahan yang sudah dirayakan
oMenimbulkan perasaan cemas baru yang tidak beralasan dalam suara hati pasangan
oDipersoalkan sifat sakramental terhadap pernikahan saudara-saudari yang tidak berada
dalam persekutuan penuh dengan Gereja katolik
 Gembala bisa menolak merayakan pernikahan jika:
oPasangan secara eksplisit dan formal menolak maksud pernikahan dalam Gereja (namun
Gembala wajib menjelaskan situasi tersebut kepada orang yang bersangkutan agar mereka mengerti
bahwa bukan Gereja yang menghalang penikahan tersebut melainkan mereka sendiri)
 Penting untuk mengadakan katekese yang berlanjutan mengenai sebelum dan sesudah
pernikahan (yang melibatkan semua jemaat kristen sehingga pernikahan bukan hanya sah tapi juga
subur)
69. Reksa pastoral seusai pernikahan
 Semua anggota jemaat gerejawi harus memiliki kesanggupan menolong pasangan yang baru
menikah
 Keluarga yang baru menikah hendaknya mau belajar dengan sukarela
oDalam hal menyesuaikan diri pada cara hidup yang baru tersebut: kelahiran anak
oMemanfaatkan dengan baik pertolongan yang bersifat pribadi (seperti saling berbagi
pengalaman yang bermanfaat)
 Keluarga muda yang sudah mendapat pertolongan harus turut menjadi sumber (dengan tidak
membatasi diri)
oSehingga menjadi saksi bagi keluarga tua
 Gereja berperan mendampingi suami istri dalam menjalankan tanggung jawab mereka
sebagai suami istri dengan baik disamping tetap melaksanakan tanggung jawab mereka sebagai
anggota Gereja
70. Jemaat Gerejawi Dan Khususnya Paroki
 Paroki butuh reksa pastoral yang teratur dalam reksa pastoral keluarga
oPersiapan yang baik kepada mereka yang akan berpastoral dalam bidang ini (imam, para
religius, laki-laki dan wanita)
oMengikuti kursus khusus di Lembaga tingkat Tinggi yang mengkaji masalah-masalah
keluarga
oDi tempat-tempat lain secara berkala diselenggarakan kursus-kursus pembinaan pada
Lembaga-Lembaga Tinggi untuk studi teologi dan pastoral
oPrakarsa seperti ini hendaklah didukung dan dipertambah jumlahnya dan terbuka bagi kaum
awam (yang bermaksud memanfaatkan keahlian-keahlian mereka (di bidang kedokteran, hukum,
psikologi, sosial atau pendidikan), untuk mendampingi keluarga.
71. Keluarga
 Keluarga telah menerima rahmat dari sakramen pernikahan (mereka sendiri diangkat
menjadi sakramen) maka mereka harus patuh dan terbuka kepada Kristus dalam hal membangun
Gereja
 Kerasulan tersebut harus dijalankan dalam lingkungan keluarga yang bersangkutan
 Pelayanan dilakukan melalui
oMenyumbangkan karunia mereka
oKesaksian hidup seturut nilai injil
oPendidikan Kristen anak
oPendidikan perihal kemurnian
oPersiapan untuk hidup
oPersiapan untuk melindungi dari ideologis dan moril
oMemberi bantuan kepada yang sangat membutuhkan: miskin, sakit, lansia, yatim piatu,
kepada calon ibu yang berada dalam kesulitan dan tergoda untuk melakukan aborsi

72. Perserikatan-perserikatan keluarga-keluarga untuk keluarga-keluarga


 Perserikatan-perserikatan keluarga-keluarga adalah penting dan diakui oleh Gereja sebagai
bermanfaat (karena dengan cara masing-masing melibatkan diri dalam reksa pastoral Gereja
 Kehadiran mereka bisa memupuk di kalangan umat beriman kesadaran akan hidup
solidaritas, mendukung corak hidup
 yang diilhami oleh Injil dan oleh iman Gereja, membentuk suara hati sesuai dengan nilai-
nilai Kristen
 dianjurkan agar keluarga kristen melibatkan diri secara aktif dalam perserikatan ini
73. Para Uskup dan Para Imam
 Para Uskup dan para Imam memiliki tanggung jawab yang penting dan utama dalam reksa
pastoral
 Terutama, Uskup harus mencurahkan dukungan pribadi kepada semua keluarga lewat
struktur keuskupan yang mendampinginya
 Imam turut mendapat tanggung jawab yang khas dalam hal ini: ia adalah unsur hakiki dalam
pelayanan Gereja terhadap pernikahan dan keluarga. Demikian juga bagi para diakon
 Tanggung jawab mereka termasuk:
oBidang moral dan liturgi
oSoal pribadi dan sosial – mendukung keluarga yang sedang dalam kesulitan dan menderita,
menyoroti hidup para keluarga dalam terang Injil
oPengajaran mereka (para imam) harus selaras dengan nilai Injil (harus setia pada
magisterium) – jangan sampai membingungkan suara hati umat beriman
oDilakukan lewat dialog yang terjadi antara keluarga kaum awam dan gembala (gembala
harus memastikan kesaksian hidup keluarga tersebut tidak bertentangan dengan magisterium)
 Para imam dan diakon menghadapi keluarga sebagai bapa, saudara, gembala dan guru
74. Para religius pria maupun wanita
 Kerasulan terhadap keluarga terletak pada pengabdian para religius kepada Allah – bahwa
Kristus satu-satunya Mempelai Gereja.
 Mereka memberikan kesaksian tentang kasih (lewat kemurnian demi kerajaan Surga) kepada
semua orang
 Beberapa bentuk kerasulan kepada keluarga dilakukan dengan
oMemperhatikan anak-anak yang terlantar, tidak diinginkan, yatim piatu, miskin dan cacat
oMenggunjungi keluarga dan merawat orang yang sakit
oPendampingan kepada keluarga diambang perceraian
oPendidikan – penyuluhan kepada kaum muda dalalm persiapan pernikahan
oMengadakan doa dan rekoleksi
 Tarekat religius diseru untuk menghargai karisma masing-masing disamping mengutamakan
pelayan terhadap keluarga karena semakin mendesak pada situasi dunia masa kini
75. Para ahli awam
 Karya kerasulan keluarga oleh ahli awam (dokter, ahli hukum, psikolog, pekerja-pekerja
sosial, para konsultan) memberikan dampak yang baik kepada masyarakat (yang dilakukan secara
perorangan atau dalam anggota perserikatan) – sebuah perutusan
o Hasil pelayanan mereka memberikan bersifat menentukan sehingga melampaui lingkup
sendiri karena mencapai orang lain juga (masa depan Gereja terwujud lewat keluarga)
76. Para penerima dan pelaksana komunikasi sosial
 Realitas media – bersifat positif sekaligus negatif
oPenyebaran bagi ideologi dan pandangan yang salah mengenai martabat manusia, moralitas
yang baik dan mengenai nilai kekeluargaan
oBerdampak terutamanya pada negara maju – ditandai dengan keluarga yang meninggalkan
tanggung jawab mereka mendidik anak-anak mereka (tindakan didikan digantikan dengan mengisi
waktu dengan televisi)
 Para penerima
oOrang tua – memiliki kewajiban untuk melindungi anak-anak daripada pengaruh negatif
tersebut: bentuk rekreasi dalam keluarga tidak harus menggunakan media tapi rekreasi yang lebih
berguna, bernilai, dan sehat)
oHarus bijaksana mengarahkan waktu terluang kaum muda
osecara aktif menjaga, supaya media digunakan secara terkendali, kritis, waspada dan
bijaksana, dengan menyelidiki akibat-akibatnya pada anak-anak mereka, dan dengan mengawasi
penggunaan media
 Jenis program yang dipilih
oMemastikan bentuk program yang dipilih orang tua berbobot untuk anak – memiliki nilai-
nilai manusiawi yang mendasar, penyajian masalah keluarga dan pada masa yang sama menyajikan
solusi dan pemecahannya
 Para ahli di bidang media
oHarus mengetahui dan menghormati kebutuhan-kebutuhan keluarga
oMenghindari apapun juga yang dapat merugikan hidup keluarga – kekerasan, sensualisme,
pembelaan penceraian, sikap anti-sosial dalam kalangan anak muda
oHarus memiliki kesadaran dan integritas: para penerbit, para pengarang, para produser, para
sutradara, para penyusun skenario, para wartawan, para komentator dan para aktor
 Gereja pada masa yang sama mendukung orang katolik yang terpanggil dan yang memiliki
bakat untuk memilih corak pekerjaan ini
77. Keadaan-keadaan yang istimewa Suatu komitmen yang bahkan lebih penuh lagi, menuntut
kecerdasan dan kebijaksanaan, dan berpola pada Sang Gembala Baik, dibutuhkan untuk melayan
keluarga-keluarga, yang –kerapkali tanpa mereka inginkan sendiri dan akibat aneka macam tekanan
lainnya,menghadapi situasi-situasi, yang ditinjau secara objektif memang sulit.
Dalam hal itu perlulah meminta perhatian istimewa terhadap kelompok-kelompok khusus
tertentu, yang lebih membutuhkan bukan sekadar pendampingan, melainkan juga tindakan yang
lebih kena sasaran terhadap opini umum, dan terutama terhadap struktur-struktur budaya, ekonomis
dan yuridis, supaya sebab-musabab mendalam, yang menimbulkan kebutuhan-kebutuhan mereka,
sedapat mungkin ditiadakan.
Keluarga para perantau, khususnya kaum buruh dan petani, harus dapat merasa “krasan”
dalam Gereja di mana pun juga. Itu merupakan tugas yang bertumpu pada hakikat Gereja sebagai
lambang kesatuan dalam kemacam-ragaman.
Suatu masalah yang sulit ialah soal keluarga yang terpecah karena ideologi. Di situ
dibutuhkan reksa pastoral khusus.
78.Pernikahan campuran
Makin bertambahnya jumlah pernikahan campuran antara pihak Katolik dan orang-orang lain
yang dibaptis juga memerlukan perhatian pastoral yang khusus dalam terang pedoman-pedoman
dan norma-norma yang tercantum dalam dokumen-dokumen paling resen yang diterbitkan oleh
Takhta suci, dan dalam dokumen-dokumen yang disusun oleh Konferensi-konferensi para Uskup,
untuk mengizinkan penerapan praktisnya pada aneka situasi. Suami-istri yang hidup dalam
pernikahan campuran mempunyai kebutuhan-kebutuhan khas, yang dapat dibagi menjadi tiga
golongan utama.
Pertama perlu diperhatikan kewajiban-kewajiban, yang oleh iman dibebankan para pihak
Katolik, mengenai pelaksanaan bebas iman, dan kewajiban berikut: menjamin sejauh mungkin
Baptis serta pembinaan anak-anak dalam iman Katolik. Perlu diperhatikan kesulitan-kesulitan
khusus yang mewarnai hubungan antara suami dan istri berkenaan dengan sikap menghormati
kebebasan beragama.
80.Pernikahan Percobaan
Contoh pertama situasi yang tidak semestinya ialah apa yang disebut “pernikahan percobaan”,
yang sekarang ini mau dibenarkan oleh banyak orang dengan mengakui adanya nilai padanya. Akan
tetapi nalar manusiawi sudah menunjukkan, bahwa pernikahan itu tidak dapat diterima, dengan
memperlihatkan bahwa tidak meyakinkan juga mengadakan “eksperimen” dengan manusia, yang
martabatnya meminta, supaya ia harus senantiasa dan hanya merupakan tujuan cinta kasih
penyerahan diri, tanpa pembatasan waktu atau kondisi-kondisi mana pun lainnya.
Pada pihaknya Gereja tidak dapat mengizinkan persatuan semacam itu, berdasarkan alasan-
alasan lain yang khusus dan yang dijabarkan dari iman. Sebab, pertama, penyerahan tubuh dalam
hubungan seksual merupakan lambang yang nyata bagi penyerahan seluruh pribadi. Lagi pula
penyerahan diri itu dalam kenyataannya sekarang tidak dapat berlangsung dalam arti sesungguhnya
tanpa peranserta cinta kasih yang dikurniakan oleh Kristus.
81.Persatuan atau Hubungan Bebas
Yang dimaksudkan ialah persatuan tanpa ikatan kelembagaan mana pun juga, yang diakui
secara resmi, entah itu ikatan sipil atau keagamaan. Kendala yang semakin sering muncul itu tidak
dapat tidak menimbulkan keprihatinan para gembala jiwa, juga karena dapat tergantung dari faktor
yang sangat berbeda-beda, yang konsekuensi-konsekuensinya barangkali masih dapat di-kendalikan
melalui tindakan yang memadai.
82.Orang-Orang Katolik dalam Pernikahan Sipil
Makin bertambah banyaklah kasus orang-orang Katolik, yang karena alasan-alasan ideologis
atau praktis lebih suka mengadakan pernikahan sipil melulu, dan yang menolak atau sekurang-
kurangnya menunda pernikahan keagamaan.
Sudah barang tentu situasi mereka tidak dapat disamakan dengan keadaan mereka yang
semata-mata hidup bersama tanpa ikatan mana pun juga. Dengan mengusahakan peng-akuan resmi
terhadap ikatan mereka dari pihak negara, pasangan-pasangan itu menunjukkan, bahwa mereka
sanggup menerima bukan hanya keuntungan-keuntungannya, melainkan juga ke-wajiban-
kewajibannya. Meskipun begitu, keadaan itu pun tidak dapat diterima oleh Gereja.
83.Mereka yang Bercerai dan Tidak Menikah Lagi
Layak disayangkan, bahwa pelbagai alasan dapat menimbulkan kehancuran pernikahan yang
sah, yang kerap kali sudah tidak dapat dipulihkan lagi. Termasuk di situ tiadanya saling pengertian
dan ketidakmampuan menjalin hubungan antar pribadi. Sudah jelaslah perceraian harus dipandang
sebagai pelarian yang mutakhir, sesudah semua usaha lainnya untuk menciptakan pendamaian
ternyata gagal.
84.Mereka yang Bercerai dan Menikah Lagi
Patut disayangkan, bahwa menurut pengalaman sehari-hari mereka yang telah bercerai
lazimnya bermaksud memasuki suatu persatuan baru, sudah jelas tanpa upacara keagamaan Katolik.
Karena itu sesuatu yang buruk, yang seperti hal-hal lain yang serupa melibatkan semakin banyak
orang Katolik juga, masalah itu perlu ditanggapi dengan tegas dan tanpa ditunda-tunda. Para Bapa
Sinode secara tangkas mempelajarinya. Gereja, yang didirikan untuk mengantar semua orang
kepada keselamatan, khususnya mereka yang dibaptis, tidak dapat membiarkan saja mereka, yang
sebelumnya sudah terikat oleh pernikahan sakramental, dan yang berani mencoba pernikahan
kedua, untuk mengikuti maksud mereka sendiri. Maka Gereja tiada jemunya akan berusaha
menyediakan bagi mereka upaya-upayanya untuk keselamatan.
85.ulahtapa dan amalkasih.
Mereka yang Tanpa Keluarga. Kami masih ingin membubuhkan sepata kata bagi suatu
kategori umat, yang akibat situasi nyata kehidupan mereka, itu pun kerap kali bukan karena dengan
sengaja mereka inginkan, kami pandang dekat sekali dengan Hati Kristus, dan selayaknya mendapat
tanda cinta kasih serta perhatian aktif Gereja dan para gembala.
86. Pada akhir Anjuran Apostolik ini kami curahkan minat-perhatian kami
sepenuhnya.
Masa depan umat manusia terwujudkan melalui keluarga. Oleh karena itu mutlak perlu dan
mendesaklah bahwa setiap pribadi yang beriktikad baik berusaha menyelamatkan dan memupuk
nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan keluarga. Kami merasa harus meminta supaya di bidan ini
para putera-puteri Gereja menjalankan usaha yang istimewa.

Anda mungkin juga menyukai