Anda di halaman 1dari 4

CIRI-CIRI UMUM JEMAAT KRISTEN PURBA - Bagian 1

Dari tahun 30 hingga 313 Gereja menempuh tiga tahap perkembangan yang sangat determinan.

Satu, pelebaran sayap dan wilayah Gereja terjadi dalam tapal batas kekaisaran Roma. Langkah
ekspansif Gereja tidak dilakukan secara massal dan tidak terorganisasi, melainkan bersifat
personal, spontan dan atas prakarsa sendiri. Ekspansi itu diyakini sebagai konsekuensi logis
pertobatan seseorang ke dalam kekristenan. Pada dekade-dekade pertama sejarahnya, Gereja
tampak berhasil beradaptasi dengan lembaga, tradisi dan budaya pelbagai bangsa. Secara lahiriah
para anggota Gereja tidak terbedakan dari orang yang bukan anggota Gereja. Mereka itu tidak
menyendiri, tidak menggunakan bahasa khusus, tidak ada keistimewaan dalam hal pakaian,
makanan dan semua yang lain. Dengan kata lain, status, pangkat dan keadaan sosial orang
Kristen sangat majemuk.

Dua, Gereja mendapat pengakuan dari pihak otoritas sipil. Pengakuan terhadap Gereja berwajah
ganda. Pertama, sifatnya negatif. Hal ini terjadi terutama dalam kurun waktu penganiayaan
terhadap jemaat Kristen. Penganiayaan itu pertama-tama sebagai pelaksanaan kebijakan
pemerintah sipil, yang mengembangkan pandangan dan praduga mereka sendiri. Melalui dan
dalam penganiyaan menjadi jelas bahwa eksistensi Gereja diakui; kendati pengakuan itu de facto
hendak menegasi, menihilkan iman Kristen yang sudah hidup dan berkembang. Kedua, sifatnya
positif. Secara terang-terangan penguasa atau pemerintah sipil mengakui eksistensi, menyambut,
memberi peran pada lembaga dan anggota jemaat pada urusan-urusan kenegaraan.

Tiga, Gereja merumuskan ajaran, tata laksana peribadatan, dan mengalami ketegangan ke dalam.
Semua ini mengalami proses yang lama dan tidak serta-merta selesai. Rangkaian demi rangkaian
konflik opini, perkembangan tradisi dan maraknya ajaran-ajaran serta praktik hidup yang
dikhawatirkan berlawanan dengan ajaran dan tradisi suci rasuli, sejumlah konsili atau sinode
berikut keputusan-keputusan yang otoritatif, tetapi tidak kurang mendorong bagi munculnya
konsili-konsili tandingan, perebutan kekuasaan gerejawi dan konflik kepentingan, dan lain
sebagainya, telah mematangkan serta mendewasakan Gereja dalam merumuskan kembali dan
mempraktekkan ajaran Sang Guru Sejati, Yesus Kristus.

Gereja yang menempuh tahap-tahap determinan tersebut mempunyai beberapa ciri yang
mencolok mata sebagai berikut.

1. Katolik
Yesus dari Nazaret pernah menegaskan, bahwa diri-Nya tidak bermaksud menghapuskan hukum
Taurat atau kitab para nabi, melainkan untuk menunjukkan arti yang sesungguhnya (bdk. Mat
5:17-18). Pada perjamuan terakhir Yesus menetapkan Perjanjian Baru. Penetapan Perjanjian
Baru berimplikasi pada berakhirnya Perjanjian Lama dan pembangunan komunitas baru. Setelah
peristiwa kebangkitan yang menggegerkan dan sebelum naik ke surga Dia mengutus para murid
untuk pergi dan menjadikan semua bangsa murid-Nya (bdk. Mat 28:19-20). Di dalam komunitas
murid-murid Yesus semua anggotanya dinyatakan setara satu sama lain. Yang satu menjadi
saudara bagi yang lain (bdk. Mat 23:8). Tidak semua orang Kristen yang berasal dari bangsa
Yahudi mengerti makna sabda Yesus berikut implikasinya tersebut.
Setelah Yesus tidak lagi hidup di dunia ini, orang Kristen pada mulanya masih tetap hidup dalam
budaya dan adat kebiasaan Yahudi. Dalam budaya dan adat kebiasaan ini agama dan
penghayatannya merupakan preferensi utama. Di sana pula interpretasi harfiah atas kitab nabi-
nabi mesianis Perjanjian Lama menjadi jaminan kehidupan dan keabadian takhta Daud. Konteks
situasi yang demikian ini telah mendorong orang-orang Kristen semakin yakin bahwa komunitas
mereka dilabuhkan secara paksa dalam bait Allah dan sinagoga; kendati akan segera jelas bahwa
pewartaan Kabar Gembira tidak terikat pada tempat seperti Yerusalem, bait Allah atau sinagoga.
Kedekatan religiositas komunitas Kristen dengan Yudaisme seakan-akan tidak terelakkan.
Tegasnya, komunitas Kristen mengambil alih sebagian dari tradisi Yudaisme. Misalnya, sebelum
dibaptis orang perlu disunat; orang Kristen pun lalu mengikuti tata tertib ritual seturut kaidah
hukum Taurat.

Secara mencolok mata komunitas Qumran, yang dihuni oleh kaum Eseni, mengungkapkan
religiositas Yudaisme. Cara hidup kaum Eseni mirip dengan jemaat Kristen purba di Yerusalem.
Kaum Eseni muncul pada abad II pra-Masehi dan punah pada abad II Masehi dan tak pernah
berkembang melewati tapal batas Palestina. Pada awal era agama Kristen mereka berjumlah
tidak kurang dari 4.000 orang. Cara hidup mereka terorganisasi secara rapih dan diatur secara
komunis. Orang yang mau bergabung secara definitif dalam komunitas ini perlu menempuh
masa percobaan selama tiga tahun. Di dalam komunitas ini Taurat Musa dijunjung tinggi. Para
anggota komunitas percaya pada Penyelenggaraan Ilahi dan keabadian jiwa serta menjalankan
askese secara ketat.

Pola hidup kaum Eseni berseberangan dengan pola hidup kaum aristokrat zamannya: Farisi dan
Saduki. Sementara itu, di kalangan kaum Eseni dikenal tokoh Guru Keadilan, yang dianiaya
imam agung. Di samping mereka bersandar pada pemenuhan harapan eskatologis, juga
nasionalisme mereka tidak kunjung surut. Mereka teguh bersatu dalam karya amal kasih bagi
yang membutuhkan. Singkatnya, kaum Eseni memperlihatkan secara gamblang partikularisme
Yudaisme. Kaum Farisi dan Saduki pun menunjukkan hal yang sama. Semua golongan dalam
Yudaisme ini seakan terkungkung pada alam budaya Yahudi dan tidak berciri misioner.

Dalam Kisah Para Rasul diceritakan pandangan dan tindakan yang melampaui partikularisme
Yudaisme. Fakta yang determinan adalah visiun Petrus yang membongkar secara radikal
larangan makan daging binatang yang dianggap haram dalam Yudaisme. Visiun itu hampir
langsung diikuti katekese pada Kornelius (bdk. Kis 10-11). Tradisi lama dicabut dan dengan
demikian dinyatakan tidak mengikat.

Pencabutan itu menyebabkan konflik intern Gereja, yang kemudian diredam dalam musyawarah
di Yerusalem tahun 50. Dalam musyawarah ini pandangan Paulus dan Barnabas, yang
menegaskan bahwa orang Kristen tiada berkewajiban melaksanakan Taurat Musa, dibela.
Tegasnya, untuk menjadi murid Yesus tidak perlu orang "di-Yahudi-kan". Musyawarah ini de
facto mencegah perpecahan di dalam Gereja. Kemudian Paulus mengingatkan Petrus untuk
mewaspadai tendensi-tendensi orang Yahudi Kristen yang fanatik. Mereka ini seakan menjadi
pembela tradisi lama. Paulus mengajak agar mereka melaksanakan secara konsekuen hasil
musyarawah (bdk. Gal 2:11-21). Di sini Paulus mengacu pada ajaran tentang keselamatan yang
berasal dari iman akan Kristus, bukan dari praktik hidup seturut ketentuan hukum Musa. Sebab
yang perlu dilaksanakan pertama-tama adalah cinta kasih.
Dalam komunitas Kristen proses pembebasan dari Yudaisme berjalan sangat lamban.
Penghancuran Yerusalem bagi agama Kristen merupakan faktor krusial. Peristiwa yang terjadi
tahun 70 itu berakibat ganda. Pertama, penghancuran Yerusalem memperlemah kekuatan
spiritual, sosial dan politik aliran-aliran keagamaan dalam Yudaisme. Kedua, penghancuran
tersebut membuat orang Kristen kian termotivasi untuk meninggalkan Yerusalem. Tendensi
pembebasan itu tampak jelas dalam Pseudo Barnabas yang menafsirkan Taurat Musa seturut
matra spiritual dan simbolis belaka. Pseudo Barnabas, kitab apokrif, membicarakan antara lain
penghancuran kota Yerusalem. Karya ini menyajikan khazanah Helenis seraya memojokkan
Yudaisme.

Kemungkinan sangat besar Pseudo Barnabas ditulis di Aleksandria (Mesir), tidak lama sebelum
pemberontakan Barkokeba (130-131). Isinya terbagai dalam dua bagian. Masing-masing
berbicara tentang aspek teologis dan (moral) praktis. Bagian pertama meliputi bab I-XVII, yang
sangat panjang dan juga orisinil, serta memuat kontroversi melawan Yudaisme. Sejumlah
pandangan dan ajaran Yudaisme digugat. Contohnya: Perjanjian Lama tidak pernah dipandang
sebagai hukum positif yang dikehendaki Allah, melainkan suatu himpunan yang bermakna
simbolik; Allah tidak pernah menghendaki sunat, "supit" kulit, melainkan sunat hati, pertobatan
(IX, 4); hari Sabat yang sesungguhnya adalah istirahat dalam Tuhan setelah 6000 tahun.
Digemakan di sini makna eskatologi millenaris (XV:1-9)6; bait Allah yang sejati tidak dibangun
dengan bebatuan (seperti bait Allah Yerusalem), melainkan bait Allah spiritual dalam jiwa
(XVI). Bagian kedua yang meliputi bab XVIII-XXI berisi petunjuk-petunjuk moral. Inilah teks
Kristen kuno yang jelas-jelas melawan praktik aborsi (XIX:5). Seperti halnya Didache, Pseudo
Barnabas juga membicarakan dua jalan, yang baik dan yang jahat.

Contoh lain adalah Marcion (+160), salah seorang pengajar sesat yang paling hebat yang pernah
dihadapi Gereja, dan yang ditentang oleh semua Bapa Gereja. Dia bermaksud membebaskan
kristianisme dari setiap penafsiran yang tidak otentik dan tidak sah. Marcion beranggapan,
bahwa seluruh Injil adalah Injil Cinta Kasih tanpa mengikutsertakan Taurat. Makanya, ia
menolak Perjanjian Lama (dan sebagian terbesar Perjanjian Baru). Allah Pencipta yang
mewahyukan diri dalam Perjanjian-Lama mulai dari Kej 1 adalah Allah dari hukum. Hal ini tak
sepadan dengan Allah Yesus Kristus. Baginya, Yesus bukanlah Mesias yang diramalkan
Perjanjian Lama. Keselamatan dari Yesus hanya menyangkut jiwa dan diperuntukkan bagi
pemeluk ajaran Marcion saja. Dengan rumusan lain, Allah Kasih yang disingkapkan oleh Yesus
Kristus sama sekali berbeda dengan Allah dari hukum yang diwahyukan dalam Perjanjian Lama.
Oleh karena itu, kekristenan bukanlah pemenuhan Yudaisme, melainkan menggantikannya.
Kitab "hukum Musa dan nabi-nabi" diusulkannya untuk diganti dengan Injil dan Rasul-Rasul,
sebuah versi yang diedit dari Injil Lukas dan 10 surat Paulus. Marcion juga menolak paham
penciptaan (Kej 1-2) seraya menganggap, materi dan tubuh itu jahat.

Lama-kelamaan praksis peribadatan dalam komunitas Kristen beralih dari hari Sabat ke hari
Minggu, yang mengingatkan orang pada Paska, hari kebangkitan Tuhan. Tetapi ada sesuatu yang
baru yang terjadi di Aleksandria [akhir abad II] berkat Klemens (+215), pemimpin sekolah
katekese Aleksandria. Dia mempresentasikan kristianisme dengan ungkapan-ungkapan dan
konsep-konsep yang khas helenis. Dia sebenarnya mau merekonsiliasikan antara filsafat Yunani
dan (iman) Kristen. Menurut pandangannya, filsafat merupakan persiapan bagi pewahyuan
Kristen. Lebih lanjut, dia tidak ingin menerapkan semua unsur Yahudi dalam kristianisme.
Baginya, otoritas, struktur dan tertib lahiriah Yudaisme tak banyak maknanya. Ciri lahiriah orang
Kristen tidak berbeda dengan ciri lahiriah orang Aleksandria lainnya. Hal yang membedakan
adalah roh (semangat)-nya. Kristianisme tidak lagi merupakan perwujudan sederhana kenabian
Yudaisme, melainkan perwujudan dari kebijaksanaan, yang membuat sia-sia saja pemakluman
para cerdik pandai Yunani.

Secara singkat dapat dirumuskan perihal beberapa unsur yang mencolok mata berkenaan dengan
pemisahan Gereja dari Yudaisme. Satu, bersifat dogmatis. Gereja menggarisbawahi
ketidakcocokkan antara tata keselamatan lama (Yudaisme) dengan perlunya iman akan Kristus
sebagai satu-satunya jalan kepada keselamatan. Dua, bersifat praktis. Pemisahan Gereja dari
sinagoga (Yudaisme) juga menyelamatkan kekatolikan (atau universalitas) Gereja. Sebab
kristianitas tidak identik dengan peradaban kelompok ras atau etnis tertentu. Kristianitas tidak
terkurung dalam budaya, alam pikiran serta mentalitas tertentu. Kristianitas menembus tapal
batas bangsa, bahasa, budaya, negara. Hal ini terlihat nyata ketika Gereja berinkarnasi dalam
sejarah dan situasi baru yang kompleks. Hal ini berakibat positif, meski harus dibayar dengan
permusuhan. Maksudnya, di satu pihak orang Yahudi mendakwa Gereja sebagai pencuri harta
karun religius mereka. Di lain pihak, orang Kristen menuduh orang Yahudi bertanggung jawab
atas kematian Yesus dan menganggapnya sebagai bangsa terkutuk.(PS)

Anda mungkin juga menyukai