4/Mei/2014
98
Lex et Societatis, Vol. II/No. 4/Mei/2014
di situ aku ada di tengah-tengah mereka” malang, dan dalam suka dan duka sampai
(Matius.18:20). Teks ini oleh Bapa Gereja maut memisahkan. Disini, pemisahan hanya
dihubungkan dengan perkawinan. bisa terjadi jika maut (kematian) yang
Persekutuan orang beriman dari dua orang memisahkan bukan dalam hidup.
yang saling mengikat perjanjian untuk Berdasarkan pemahaman di atas, maka
hidup bersama dalam nama Tuhan tentulah penulis merasa tertarik untuk membahas
suatu persekutuan yang didalamnya Tuhan bagaimanakah Pelaksanaan Perkawinan
sendiri hadir. Sebab, dua orang kristiani Menurut Hukum Kanonik Di Kevikepan
yang mengikat diri dalam tali perkawinan Tonsea, Keuskupan Manado Sebagai Syarat
tentulah menyerahkan persekutuan mereka Sahnya Perkawinan Dalam Perspektif UU
kepada Tuhan, sehingga kehidupan No. 1 Tahun 1974 di Indonesia.
bersama mereka sendiri menjadi sakramen
sendiri. 6 Dalam pandangan Gereja Katolik B. Rumusan Masalah
Roma, perkawinan adalah sebuah 1. Bagaimanakah Prinsip-Prinsip
7
sakramen. Perkawinan diakui sebagai Perkawinan menurut Hukum Kanonik
suatu persekutuan seorang pria dan dalam Gereja secara Universal?
seorang wanita yang dengan kesadaran 2. Bagaimanakah Pelaksanaan Perkawinan
penuh dan bebas menyerahkan seluruh diri Menurut Hukum Kanonik di Kevikepan
serta segala kemampuannya satu sama lain Tonsea?
untuk selama-lamanya. Umat Katolik yakin
bahwa manusia diciptakan sebagai pria- C. Metode Penulisan
wanita karena cinta dan diutus agar dicintai Pendekatan yang digunakan dalam
(Kejadian 2:18-25).8 Konsep ini melahirkan penelitian ini adalah Pendekatan
suatu kenyataan bahwa perkawinan Katolik deskriptif-yuridis, dengan metode
tidak menghalalkan terjadinya suatu penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono,
perpisahan dalam hidup perkawinan. Metode penelitian kualitatif adalah metode
Kenyataan ini dengan jelas ditegaskan penelitian yang berlandaskan pada filsafat
dalam Kanon 1151: “Suami-isteri postpositivisme,10 digunakan untuk
mempunyai kewajiban dan hak untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah,
memelihara hidup bersama perkawinan, (sebagai lawannya adalah eksperimen)
kecuali jika ada alasan legitim yang dimana peneliti adalah sebagai instrument
membebaskan mereka.”9 Dasar kunci, pengambilan sampel sumber data
pertimbangannya adalah janji perkawinan dilakukan secara purposive dan snowball,
yang dibuat dihadapan Tuhan dengan teknik pengumpulan dengan trianggulasi
menghadirkan saksi manusia. Dalam janji (gabungan), analisis data bersifat
dikatakan bahwa seorang mempelai induktif/kualitatif, dan hasil penelitian
berjanji untuk mencintai, menghormati dan
melayani suami/isteri dalam untung dan
10
Filsafat positivisme memandang
6
E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja realitas/gejala/fenomena itu dapat diklasifikasikan,
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 366-367. relatif tetap, konkret, teramati, terukur, dan
7
Bdk. Anonim, Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris hubungan gejala bersifat sebab akibat. Filsafat
Canonici), Diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II, positivisme sering juga disebut sebagai paradigma
KWI, (Jakarta: Obor, 1991), Kanon 1055 § (ayat) 2. interpretatif dan konstruktif, yang memandang
8
Anonim, Pedoman Gereja Katolik Indonesia, realitas sosial sebagai suatu yang holistik/utuh,
(Jakarta: Konferensi Wali Gereja Indonesia, 1996), kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan
hlm. 21-22. gejala bersifat interaktif. Sugiyono, Metode
9
Anonim, Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung:
Canonici), Op. Cit., hlm. 325. Alfabeta, 2009), hlm. 8.
99
Lex et Societatis, Vol. II/No. 4/Mei/2014
kualitatif lebih menekankan makna dari adalah perkawinan yang monogam dan tak
pada generalisasi.11 terceraikan. Kanon 1056 menyatakan:
“sifat-sifat hakiki perkawinan ialah
PEMBAHASAN monogam dan tak-terputuskan, yang dalam
A. Prinsip-Prinsip Perkawinan menurut perkawinan kristiani memperoleh kekuatan
Hukum Kanonik dalam Gereja Universal khusus atas dasar sakramen.” Sifat
1. Pelaksanaan Perkawinan Menurut monogam ini merupakan milik khas
Hukum Kanonik perkawinan yang secara esensial
a. Fungsi Hukum Perkawinan Katolik membedakannya dengan bentuk-bentuk
Fungsi hukum perkawinan antara lain lain kehidupan bersama antara laki-laki dan
adalah: perempuan (bandingkan Kanon 1096). Sifat
a) Menjadi sarana pelancar hakiki perkawinan yang monogam dan tak-
berdasarkan pengalaman pastoral terceraikan ini merupakan dua data hukum
Gereja. Dengan adanya prosedur ilahi kodrati yang sudah tertanam dalam
yang agak jelas dan aneka urusan kodrat manusia sebagai tatanan
ditepati maka membuat fundamental bagi kebaikan umat
12
perkawinan dapat dilangsungkan manusia.
dengan lancer. 2. Perkawinan Katolik adalah Perkawinan
b) Menjadi sarana penegak keadilan yang Sakramental (1055 dan 1056)
dan kedamaian, sejauh kewajiban Dalam Kanon 1055 ayat 1 ditutup
dan hak suami-isteri dirumuskan, dengan kalimat: “... Oleh Kristus Tuhan
sejauh disediakan pegangan dan perjanjian perkawinan antara orang-orang
prosedur yang agak baku untuk yang dibabtis diangkat ke martabat
pengambilan kebijakan dan sakramen.”
keputusan, tanpa pandang bulu. Sedangkan dalam Kanon 1056
c) Menjadi sarana oprasionalisasi ditegaskan: “Sifat-sifat hakiki perkawinan
nilai-nilai teologis dan insani. ialah monogam dan tak-terputuskan, yang
Banyak nilai insani dan kristiani tak dalam perkawinan kristiani memperoleh
langsung dapat diwujudnyatakan kekuatan khusus atas dasar sakramen.”
dalam praktik. Hukum Gereja 3. Perkawinan Katolik adalah Perkawinan
menjadi satu sarana yang Tidak dapat diputus oleh kuasa
oprasionalisasi: mendekatkan cita- manusiawi mana pun dan dengan
cita, harapan, kenyataan di alasan apa pun (Kanon 1141)
lapangan. Agar apa yang ada diatas Implikasi ketiga dari konsep perkawinan
kertas sungguh menjadi nyata katolik yang tak terceraikan adalah bahwa
dihayati bukan saja dihayati oleh perkawinan Katolik menurut hukum
pasutri, melainkan oleh semua kanonik itu tak dapat diputuskan oleh kuasa
orang. manusiawi mana pun dan dengan alasan
apapun. Hal ini sebagaimana dijelaskan
b. Prinsip Hukum Perkwinan dalam Kanon 1141 berikut: “Perkawinan
1. Perkawinan Katolik adalah Perkawinan ratum dan disempurnakan dengan
yang Monogam dan Tak Terceraikan persetubuhan tidak dapat diputus oleh
(Kanon 1065) kuasa manusiawi mana pun juga dan atas
Implikasi pertama dari perkawinan tak alasan apa pun, selain kematian.”
terceraikan menurut Kitab Hukum Kanonik
12
Alf. Catur Raharso, Paham Perkawinan Dalam
Hukum Gereja Katolik, (malang: Dioma, 2006), hlm.
11
Sugiyono, Ibid., hlm. 9. 84.
100
Lex et Societatis, Vol. II/No. 4/Mei/2014
101
Lex et Societatis, Vol. II/No. 4/Mei/2014
102
Lex et Societatis, Vol. II/No. 4/Mei/2014
103
Lex et Societatis, Vol. II/No. 4/Mei/2014
104
Lex et Societatis, Vol. II/No. 4/Mei/2014
105
Lex et Societatis, Vol. II/No. 4/Mei/2014
106