Disusun Oleh :
Yohana Sibarani
Dini Perangin-angin
Nadia Sembiring
Florencia Surabina
Elbina Sipangkar
Lestania Saragih
Esra Pelita Sigalingging
Dogma Maria, Bunda Allah, ditetapkan dalam Konsili Efesus (431) dan
Kalsedon (451). Instruksi ini disarankan oleh dewan kedua. Ini tidak berarti
bahwa Maria tidak diakui sebagai Bunda Allah sebelum tahun 431. Fakta
bahwa Gereja baru meninggikan Maria sebagai Bunda Allah dan Hawa yang
baru memiliki sejarah yang panjang.
Tujuan Konsili Efesus, yang melarang Theotokos, adalah untuk
melawan pandangan sesat Nastorius, seorang pengkhotbah terkenal dan Uskup
Konstantinopel (428). Nastorius menerima Maria sebagai ibu Yesus sebagai
manusia tetapi bukan sebagai ibu Yesus sebagai Tuhan. Sebab, menurutnya,
yang dilahirkan Maria adalah manusia di dalam.
Pandangan Nastorius ditolak dalam Konsili Efesus, meskipun
kepercayaan Cyril dari Yerusalem disetujui. Ia menambahkan bahwa Gereja
menjadikan perikop Lukas 1:43 sebagai dasar, yang berisi ucapan Elisabet saat
menyambut Maria: 'Siapakah engkau sehingga ibu Allahku datang menemuiku' .
Ucapan Elisabet membenarkan kata-kata malaikat Gabriel kepada
Maria: 'Karena itu anak yang akan kau kandung itu akan disebut kudus, Anak
Allah' (Lukas 1:35). Maria melahirkan seorang manusia yang dikenal sebagai
Yesus. Namun, manusia Yesus ini juga memiliki karakter ilahi yang berasal
dari Allah Bapa. Putra Allah adalah Yesus.
Oleh sebab itu, Maria bukan hanya ibu Yesus, tetapi juga ibu Allah.
Status Maria sebagai Bunda Allah menunjukkan hakikat Yesus Kristus
sebagaimana dinyatakan oleh teologi Kristologis, yaitu bahwa Yesus bersifat
pribadi namun memiliki dua kodrat, manusiawi dan ilahi. Maria memang
Bunda Allah.
Setiap tanggal 1 Januari, Hari Raya Maria Bunda Allah (Theotokos,
Mater Dei) diperingati. Gereja memperingatinya dengan perayaan liturgi,
bukan untuk memperingati Tahun Baru Masehi, melainkan untuk memperingati
Maria, Bunda Allah.
C. Konsili Efesus 432 M
Latar belakang politik:
Sampai abad ketiga Masehi, kota Aleksandria memiliki pengaruh besarnomor
dua di wilayah Romawi setelah kota Roma, dan khususnya diRomawi bagian
Timur, kota Aleksandria adalah yang terbesar.
Setelah tanggal 11 Mei 330 Masehi, Romawi memiliki dua ibukota,
kotaRoma di Romawi bagian Barat, sedangkan Romawi di bagian
Timuribukota yang baru ini diberi nama “Kota Konstantin” atau Konstantinopolis
(Konstantinopel) karena didirikan oleh Kaisar Konstantin Agung, yangpada
awalnya adalah sebuah kampung nelayan bernama Byzantium.
Hasil konsili Konstantinopel tahun 381 M menyebutkan bahwa
kedudukanuskup Konstantinopel sama dengan kedudukan uskup Roma,
karena Konstantinopel adalah “Nova Roma” (Roma Baru).
Diangkatnya posisi Konstantinopel ini menimbulkan kecemburuan daridua
uskup: uskup Roma dan uskup Aleksandria, yang mana kedua keuskupan ini
memiliki “massa” yang banyak dan kedua uskup adalah politikus besar yang
dihormati oleh Kaisar Roma, sedangkan uskup Antiokhia “kalah pamor,”
tetapi unggul secara teologi dibandingkan kedua wilayah keuskupan yang
lain. Naiknya status Konstantinopel ini sempatmendapat penolakan dari uskup
Roma, walaupun pada akhirnya padatahun 451 M, kedudukan uskup
Konstantinopel akhirnya diterima.
Pada masa yang sama, juga terjadi persaingan teologi antara teologi Antiokhia
di Siria dan Aleksandria Teologi Antiokhia bercorak literal-historis, sebagai
contoh: Yesus Kristusbenar-benar manusia, walaupun kepenuhan ke-Allah-an
bersemayam didalam Dia. Sekalipun demikian, keberadaan-Nya sebagai Yang
Ilahi tidak hilang karena kemanusiaan- Nya. Yesus dikatakan “Allah” tetapi
dalam pengertian kodrat, seperti yang dikatakan Alkitab dalam injil Yohanes
1:1, bahwa “Allahlah Firman itu” (kai THEOS en o logos), tetapi perlu
dipahami bahwa “Firman itu bersama-sama dengan Allah” (kai o logos en
pros TONTHEON), dengan demikian Firman itu adalah “THEOS” tetapi
bukan “O THEOS,” sebab bagi corak teologi Antiokhia, yang disebut “o
theos” adalah
Allah Sang Bapa atau dalam Perjanjian Lama disebut sebagai YHWH.Teologi
Aleksandria bercorak alegoris-simbolis, sebagai contoh: Yesus Kristus benar-
benar Allah sejati, walaupun Ia telah menjadi manusia, dan yang ilahi lebih
mulia atau terutama daripada yang manusiawi, sesuai apa yang dikatakan
Alkitab dalam injil Yohanes 1:14, bahwa “Dan Firman itu telah menjadi
daging.” Memang Firman telah menjadi manusia, teta piharus dipahami
bahwa kodrat asal dari Firman ini adalah Allah, sesuai dengan injil Yohanes
1:1, bahwa “Allahlah Firman itu.” Dalam pandanganGereja Antiokhia, Gereja
Aleksandria terlalu menekankan keilahian Kristus dan sedikit merendahkan
sisi kemanusiaan-Nya, sebaliknya dalampandangan Gereja Aleksandria,
Gereja Antiokhia dianggap menekankankemanusiaan Kristus dan
merendahkan sisi keilahian-Nya THEOS,” sebab bagi corak teologi
Antiokhia, yang disebut
“otheos”adalahAllah Sang Bapa atau dalam Perjanjian Lama disebut sebagai
YHWH.
Teologi Aleksandria bercorak alegorissimbolis, sebagai contoh: Yesus Kristus
benar-benar Allah sejati, walaupun Ia telah menjadi manusia,dan yang ilahi
lebih mulia atau terutama daripada yang manusiawi, sesuai apa yang
dikatakan Alkitab dalam injil Yohanes 1:14, bahwa “Dan Firmanitu telah
menjadi daging.” Memang Firman telah menjadi manusia, teta piharus
dipahami bahwa kodrat asal dari Firman ini adalah Allah, sesuai dengan injil
Yohanes 1:1, bahwa “Allahlah Firman itu.” Dalam pandanganGereja
Antiokhia, Gereja Aleksandria terlalu menekankan keilahianKristus dan
sedikit merendahkan sisi kemanusiaan-Nya, sebaliknya dalampandangan
Gereja Aleksandria, Gereja Antiokhia dianggap menekankankemanusiaan
Kristus dan merendahkan sisi keilahian-Nya.
Setelah tahun 381 M, banyak orang yang berlomba-lomba mendudukiposisi
uskup Konstantinopel, tetapi karena teologi Antiokhia lebih unggul,maka
posisi uskup Konstantinopel banyak dipegang oleh orang-orang Siriayang
bercorak teologi Antiokhia, hal ini yang menjadikan kecemburuan dan
kedengkian dari Gereja Aleksandria semakin besar, sementara itu
jugakecemburuan datang dari Gereja Roma karena posisi Gereja
Konstantinopel dianggap menyaingi Gereja Roma. Di sinilah titik
awalketegangan politik para uskup di wilayah Romawi. Teofilus dari
Aleksandria, yang menjadi uskup dan patriark di
Gereja Aleksandria, adalah salah satu calon kuat dalam meraih suara uskupKo
nstantinopel, ia adalah seorang politikus dan rohaniwan
dari Aleksandria, sangat pandai berbicara dan meyakinkan orang. Sementara
itu, di Siria, muncullah seorang rahib padang gurun bernama Yohanes
Krisostomos yang sangat saleh dan memperhatikan orang miskin, iabanyak
berderma dan memberikan sedekah dari apa yang dipunyainya,walaupun ia
berasal dari keluarga bangsawan, tetapi ia memilih jalanhidupnya sebagai
rahib. Kebaikan dan kesalehan Yohanes menarik simpatihati banyak orang
dan akhirnya banyak orang memberikan suaranya agaria dicalonkan
menjadi uskup Konstantinopel.
Persaingan antara Yohanes Krisostomos dari Antiokhia dan
Teofilusdari Aleksandria dimenangkan oleh Yohanes Krisostomos, ia dipilih
danditahbiskan menjadi uskup Konstantinopel Yohanes Krisostomos didengki
oleh Teofilus dari Aleksandria, sementaraitu Yohanes Krisostomos memiliki
guru bernama Teodoros dari Moepsoistia dan Diodoros dari Tarsus, yang
mana keduanya adalah “musuh” dari Teofilus dari Aleksandria.
Karena kebaikan hatinya tanpa pandang bulu dan dan tak melihat status siapa
yang ditolongnya, termasuk para rahib Arian, Yohanes Krisostomos dijerat
dengan tuduhan menerima ajaran kelompok Arian, hal ini yang dimanfaatkan
oleh Kirillos dari Aleksandria, yang adalah keponakanTeofilus, dan saat itu
menjadi diaken yang membantu tugas Teofilus dari Aleksandria.
Atas laporan Kirillos, Teofilus mengadakan konsili lokal di Aleksandria dan k
arena kefasihannya berbicara, ia berhasil meyakinkan Kaisar Teodosius II dan
akhirnya Yohanes Krisostomos diturunkan dariposisi uskup Konstantinopel
dan dibuang sampai kematiannya pada tahun 407 M.
Dilengserkannya Yohanes Krisostomos tidak menyurutkan kecemburuanGereja
Aleksandria terhadap Gereja Konstantinopel dan Gereja Antiokhia,karena penerus Yohanes
Krisostomos sebagai uskup Konstantinopel masihdijawat oleh orang-orang yang bercorak
teologi Antiokhia: Arsakios dariTarsus dan Sisinios dari Elea tahun 428 M, Nestorius,
seorang rahib Siria, satu “almamater” dengan Yohanes Krisostomos, yang juga murid dari
Teodoros dari Moepsoistia. Iadikenal sebagai rahib yang saleh, tulus dan cerdas, karena
itulah ia diangkatmenjadi uskup Konstantinopel, pada saat itu, Kirillos dari Aleksandria
telah menggantikan posisi Teofilus, pamannya, menjadi uskup dan patriark Aleksandria
pada tahun 412 M.
Kirillos melihat Nestorius sebagai “ancaman” bagi posisi Gereja Aleksandria.
Di satu sisi, ia sangat berambisi untuk menjadi uskup utama diwilayah
Romawi bagian Timur, menaklukkan Gereja Konstantinopel dan Antiokhia,
dengan demikian posisi Gereja Konstantinopel dan teologi Antiokhia dapat ia
“tundukkan. Ia mengajak Paus Celestine dan membujuk Kaisar Teodosios II
untukmengadakan konsili di Efesus pada tahun 431 M. Tetapi pada tahun 430
M,satu tahun sebelum konsili Efesus, ia sudah mengadakan konsili
lokal,bersamaan dengan Paus Celestine mengadakan konsili lokal,
keduanyasepakat meng-anathema Nestorius.
Pada tahun 431 M, diadakan konsili Efesus, saat itu Yohanes, uskup
danpatriark Antiokhia belum datang, Nestorius, uskup dan
patriarkKonstantinopel sendiri tidak pernah diundang dalam konsili, tiba-tiba
secara sepihak Patr. Kirillos membuka konsili dan menyatakan Patr.Nestorius
sebagai bidat.
Pernyataan Patr. Kirillos menimbulkan reaksi keras dari para uskup diSiria,
dan akhirnya Patr. Yohanes, uskup Antiokhia, meng-anathemaKirillos.
Patr Kirillos sebagai seorang politikus, berhasil meyakinkan Paus
Celestinedan Kaisar, mampu memaksa Patr. Yohanes dan para uskup di
wilayah Siriasebelah barat Sungai Efrat menerima konsili itu, tetapi dalam
realitanya,para uskup di wilayah Siria sebelah barat Sungai Efrat tidak pernah
meng-anathema Nestorius
Gereja Siria yang ada di sebelah timur Sungai Efrat, di Mesopotamia
danPersia (Surat 1 Petrus 5:13 menuliskan sebagai Gereja di
Babilon).Dipimpin oleh Metropolitan Dadisho, uskup Seleukia-Ctesifon,
besertapara uskup di Mesopotamia dan Persia menolak hasil konsili yang
merekaanggap tidak adil dan berimbang itu. Metropolitan Dadisho
besertasejumlah imam Gereja Siria yang ada di Mesopotamia dan Persia
jugamerupakan murid dari Teodoros dari Moepsoistia dan Diodoros
dariTarsus dengan corak teologi Antiokhia. Akhirnya Gereja Siria yang ada
diMesopotamia, yang ada di sebelah timur Sungai Efrat, dikutuk dan
dikucilkan karena dianggap menolak konsili “Ekumenis” dan
dianggapmendukung Nestorius, musuh “Gereja.”
Nestorius diturunkan dan diasingkan ke sebuah biara di Libia bersama
parauskup, presbiter dan diaken pendukungnya. Dalam pengasingannya,
terjadiupaya pembunuhan kepada Nestorius oleh pengikut Kirillos, dengan
caramengirim para perampok bayaran untuk membakar biara tempatNestorius
diasingkan. Dalam pembakaran itu, Nestorius berhasilmenyelamatkan diri
hingga ia meninggal pada tahun 451 M dalam keadaansebagai pengemis dan
gelandangan.
Salah satu catatan penting keadaan yang terjadi pada saat konsili Efesus 431M adalah
sebagai berikut:
“Ketika para pengikut kirilles dengan berapi-api melihat kaisar, bangkitlah
mereka dengan membuat keributan dan kekacauan, serta menghasut mereka yang
hadir di situ, seolah-olah kaisar melawan Allah. Mereka meneriaki para uskup dan
para hadirin dengan tuduhan-tuduhan, serta mondar-mandir berkeliaran di situ. Dan
mereka melarikan orang-orang yang telah memisahkan dirinya dari dunia dan
mengusir orang-orang itu; dan mereka penuh dengan kebrutalan dan kebencian
terhadap kami. Dan mereka membuat keputusan tanpa mengadakan pemeriksaan
dengan memberikan kesempatan kepadaku untuk naik banding. Dan mereka
mengadakan pemufakatan di hadapan altar Kudus untuk berbuat sesuatu kepadaku,
bahkan sampai bersumpah di hadapannya.”
Adalah lebih baik bagi kita untuk “memaafkan” dan berdamai dengan masa
lalu, daripada menyimpan kemarahan dan mencari pembenaran atas apa yangterjadi
di masa lalu. Sekali lagi, kita bukan pelaku sejarah, kita hanyamenerima akibat dari
apa yang terjadi di masa lalu. Lebih bijaksana bagi kitauntuk melihat masa lalu
sebagai pelajaran berharga sehingga kesalahan yangsama tidaklah kita ulangi di
kemudian hari, dan kita belajar untuk dapatmembawa kita ke arah yang lebih baik,
bahwa Gereja Kristus di ataskepentingan pribadi atau suatu kelompok, tugas kita
mengembalikan Gerejakepada kesatuan: Satu Allah, satu iman dan satu baptisan,
bukan mengumbarkebencian dan sikap saling membidatkan dan mengkafirkan orang,
sebab: “Iblis mencerai -beraikan kawanan domba Allah, dan ia adalah pencuri,
pembunuh dan pembinasa,” sedangkan “di dalam Roh ada kesatuan.” Kristus ada di
tengah-tengah kita!
Mariologi adalah studi tentang Maria, ibu Yesus Kristus, dalam teologi Kristen. Ini
mencakup berbagai aspek kehidupan, peran, dan peran Maria dalam tradisi Kristen.
Berikut adalah beberapa tambahan informasi tentang mariologi:
3. Devosi Maria: Mariologi sering kali berhubungan dengan praktik devosi kepada
Maria. Banyak umat Kristen menghormati Maria melalui doa, pemujaan, atau
berbagai praktik keagamaan khusus. Misalnya, dalam tradisi Katolik, Rosario adalah
salah satu praktik devosi yang paling umum, di mana umat berdoa sejumlah Ave
Maria (Salam Maria) dan menganugerahkan misteri-misteri kehidupan Kristus
kepada Maria.
4. Maria dalam Kehidupan Gereja: Maria juga memiliki peran penting dalam
kehidupan Gereja. Dia dianggap sebagai ibu rohani bagi umat Kristen dan pelindung
Gereja. Banyak gereja dan katedral didedikasikan untuk menghormati Maria, dan hari
raya Maria juga merayakan momen-momen penting dalam kehidupan-Nya, seperti
kelahiran-Nya (Natal), penyelamatan-Nya (Paskah), dan asumsi-Nya ke surga.
5. Studi Teologis tentang Maria: Mariologi melibatkan studi teologis yang mendalam
tentang Maria. Ini mencakup eksplorasi tentang perawan Maria, peran-Nya sebagai
ibu Yesus, sikap dan tindakan-Nya dalam Perjanjian Baru, dan dampak-Nya dalam
kehidupan dan keselamatan umat manusia. Banyak teolog Kristen, terutama dalam
tradisi Katolik, telah menghasilkan tulisan-tulisan penting tentang mariologi.
Tentu saja, mariologi adalah topik yang kompleks dan beragam dalam teologi
Kristen. Penekanan dan pendekatan terhadap Maria dapat berbeda dalam berbagai
tradisi gerejawi. Informasi tambahan di atas memberikan gambaran umum tentang
bidang studi ini dan tidak mencakup seluruh kompleksitasnya.
Dogma Theotokos muncul sebagai hasil dari perdebatan dan refleksi teologis yang
berlangsung pada abad ke-4 dan ke-5 dalam konteks gereja Kristen awal. Dogma ini
menegaskan bahwa Maria adalah Theotokos, yang berarti "Pengasuh Allah" atau "Ibu
Allah."
Salah satu perdebatan teologis yang muncul pada waktu itu adalah seputar identitas
Yesus Kristus. Ada beberapa pandangan dan teori yang bermunculan, termasuk
Arianisme, yang menyangkal keilahian Yesus, dan Nestorianisme, yang memisahkan
keilahian dan kemanusiaan-Nya dalam diri-Nya. Perdebatan tersebut melibatkan
berbagai teolog, uskup, dan pemimpin gereja pada waktu itu.
Pada saat itu, terjadi perselisihan khusus tentang apakah Maria hanya ibu Kristus
secara manusiawi atau apakah Dia juga merupakan ibu Kristus secara ilahi. Para
teolog yang mempertahankan keilahian Yesus dan keesaan-Nya mulai menekankan
pentingnya mengakui Maria sebagai Theotokos untuk menjaga kebenaran teologis
ini.
Salah satu tokoh utama dalam perdebatan ini adalah Santo Athanasius dari
Alexandria, seorang teolog awal yang membela keilahian Kristus melawan
Arianisme. Dia memperjuangkan penggunaan kata "Theotokos" untuk
menggambarkan Maria, yang menegaskan bahwa dalam dirinya, Yesus Kristus lahir
sebagai Allah yang telah menjadi manusia. Pandangan Athanasius secara bertahap
diterima dan diterima oleh Gereja sebagai ajaran yang benar.
Pada Konsili Efesus pada tahun 431 Masehi, dogma Theotokos secara resmi
dideklarasikan dan diakui oleh Gereja sebagai bagian dari iman yang benar. Konsili
ini menegaskan bahwa Maria adalah ibu Kristus dalam kedua aspek-Nya,
kemanusiaan dan keilahian-Nya. Pemahaman ini penting untuk mempertahankan
kebenaran bahwa Yesus Kristus adalah satu pribadi dengan dua kodrat, penuh ilahi
dan penuh manusia.
Setelah dogma Theotokos dideklarasikan pada Konsili Efesus, pengakuan akan Maria
sebagai Theotokos menjadi bagian integral dari iman Kristen Timur dan Barat.
Dogma ini menegaskan bahwa Maria adalah ibu dari Pribadi Kedua Tritunggal, yaitu
Yesus Kristus, dan bahwa Dia memperoleh kedudukan istimewa sebagai ibu Allah
yang lahir sebagai manusia.
Pentingnya dogma Theotokos meliputi beberapa aspek:
4. Penghormatan dan Devosi: Dogma Theotokos juga menjadi dasar bagi praktik
devosi kepada Maria dalam tradisi Kristen. Devosi kepada Maria, seperti doa rosario,
penghormatan kepada gambar atau patung Maria, dan pemujaan Maria dalam liturgi
gerejawi, merupakan ungkapan dari penghargaan dan penghormatan terhadap Maria
sebagai Theotokos.
7. Perpaduan Tradisi Timur dan Barat: Dogma Theotokos juga memiliki peran dalam
memperkuat perpaduan antara tradisi Kristen Timur dan Barat. Konsili Efesus, di
mana dogma ini dideklarasikan, melibatkan gereja-gereja dari kedua tradisi tersebut.
Pengakuan akan Theotokos menjadi titik kesepakatan yang penting dalam
memperkuat persatuan dalam keyakinan Kristen di tengah perbedaan teologis dan
budaya.
8. Perayaan dan Liturgi: Dogma Theotokos memberikan dasar bagi perayaan dan
liturgi yang khusus untuk memperingati dan menghormati Maria. Dalam tradisi
Kristen, terdapat banyak hari raya dan perayaan yang didedikasikan untuk
menghormati Maria sebagai Theotokos, seperti Keharisan Maria, Kelahiran Maria,
dan Bunda dari Penebus.
10. Pemahaman akan Kasih Karunia: Pengakuan akan Maria sebagai Theotokos juga
menunjukkan kasih karunia Allah yang melimpah. Melalui Maria, Allah memilih
untuk mengambil rupa manusia dan menjadi bagian dari umat manusia untuk
menyelamatkan mereka. Maria sebagai Theotokos mencerminkan kerelaan Allah
untuk terlibat dalam dunia manusia dan memberikan kasih karunia-Nya kepada umat-
Nya.
Dogma Theotokos memiliki implikasi teologis, praktis, dan ekumenis yang luas
dalam tradisi Kristen. Pengakuan akan Maria sebagai Theotokos mengangkat
martabat Maria, memperkuat pemahaman akan Tritunggal, dan menegaskan
persatuan dalam gereja Kristen. Selain itu, dogma ini juga memberikan dasar bagi
devosi dan praktik spiritual kepada Maria sebagai pelindung dan perantara dalam
iman Kristen.
Konsili Efesus yang berlangsung pada tahun 431 Masehi adalah sebuah konsili
ekumenis gereja yang diadakan di Efesus, Asia Kecil. Konsili ini berfokus pada
beberapa masalah teologis yang menjadi sumber perdebatan pada saat itu. Berikut
adalah beberapa isi penting dari Konsili Efesus 431:
1. Theotokos: Salah satu fokus utama Konsili Efesus adalah memperkuat pengakuan
akan Maria sebagai Theotokos atau "Pengasuh Allah" yang merupakan ibu Yesus
Kristus. Konsili ini menegaskan bahwa Maria adalah ibu Kristus dalam kedua kodrat-
Nya, yaitu kemanusiaan dan keilahian-Nya. Pengakuan ini bertujuan untuk
melindungi doktrin inkarnasi dan keesaan Kristus serta menentang pandangan
Nestorianisme yang memisahkan kedua kodrat-Nya dalam pribadi-Nya.
2. Pembatasan Kuasa Uskup Roma: Konsili Efesus juga menghadapi perdebatan
mengenai otoritas uskup Roma (Paus). Uskup Roma, Kyrill dari Aleksandria, yang
diwakili oleh para legatus, memainkan peran penting dalam menghadapi ajaran
Nestorius. Namun, konsili tersebut menetapkan batasan otoritas uskup Roma dan
menekankan pentingnya kesetaraan antara uskup-uskup gereja sebagai
penggembalaan umat Allah.
3. Konflik dengan Nestorius: Konsili Efesus dipicu oleh ajaran Nestorius, uskup
Konstantinopel yang menolak penggunaan Theotokos untuk menggambarkan Maria.
Nestorius memisahkan kodrat manusia dan keilahian dalam Yesus Kristus sehingga
menghasilkan pandangan bahwa Maria hanya ibu Yesus secara manusiawi, bukan ibu
Allah. Konsili ini mengecam ajaran Nestorius sebagai bidaah dan menanggapinya
dengan menguatkan pengakuan akan Theotokos.
7. Perpaduan Tradisi Timur dan Barat: Konsili Efesus merupakan salah satu momen
penting dalam sejarah gereja yang menunjukkan perpaduan antara tradisi Kristen
Timur dan Barat. Gereja-gereja dari kedua tradisi ini hadir dalam konsili tersebut dan
mencapai persetujuan tentang pengakuan Maria sebagai Theotokos. Meskipun
terdapat perbedaan teologis dan kelembagaan, keputusan Konsili Efesus mengenai
Theotokos memberikan dasar bagi persatuan dalam pengakuan iman Kristen.
10. Pengaruh Ekumenis: Pengakuan Theotokos oleh Konsili Efesus juga memiliki
pengaruh ekumenis yang signifikan. Pengakuan Maria sebagai Theotokos menjadi
salah satu titik kesepakatan di antara berbagai tradisi Kristen, dan dogma ini menjadi
bagian integral dari iman umat Kristen yang luas. Meskipun terdapat perbedaan
dalam penekanan teologis dan praktik devosi, pengakuan terhadap Maria sebagai
Theotokos memainkan peran penting dalam menjaga persatuan dan dialog antar
tradisi gereja.
Konsili Efesus memiliki dampak yang luas dalam teologi, praktik liturgis, dan
hubungan ekumenis gereja Kristen. Keputusan mengenai Theotokos tidak hanya
memengaruhi penghormatan dan pengakuan terhadap Maria, tetapi juga
memperdalam pemahaman akan inkarnasi Kristus dan pentingnya peran Maria dalam
rencana keselamatan Allah.