Anda di halaman 1dari 9

tanpa pelacakan historisitas yang benar-benar dipertang gungjawabkan secara ilmiah

- dikonfrontasikan dengan Alkitab kanonik. Seolah-olah asal beda dengan ajaran


resmi gereja, mereka membuat berbagai macam sensasi, mulai dari The Da Vinci Code,
The Gospel of Thomas yang dianggap "injil kelima" oleh kelompok "Jesus Seminar",
hingga penonjolan sensasional penemuan The Gospel of Judas oleh the Nasional
Geographic akhir-akhir ini. Dalam rangka itu, dibangun asumsi seolah-olah Yesus
baru jadi "Tuhan" (God) pada waktu konsili Nikea pada tahun 325 M. Itupun
putusannya harus dipaksakan dengan "tangan besi" Konstantin, yang disebutnya
sebagai "kaisar yang ridak dibabtis", untuk mengesankan bahwa Kekristenan masih
berhubungan dengan agama pagan Roma, seperti yang semula dianut oleh sang kaisar.

Kesan yang hendak dibangun kepada para pembacanya, antara lain:


1. Dogma Kristen tentang "keilahian Yesus Kristus" baru pada tahun 325, sebelum itu
Yesus adalah Nabi, seorang manusia biasa.
2. Jalannya konsili sangat ditentukan oleh Kaisar Konstantin, karena Kaisar
Konstantin mengingin-kan Yesus harus diangkat menjadi Tuhan, karena alasan politis
demi stabilitas kekaisaran, dan alasan teologis karena klop dengan ajaran pagan
(kafir) yang mempercayai dewa-dewa. Hal itu dibuktikan dari fakta bahwa Kaisar
sendiri tidak dibaptis, karena ia sendiri masih menganut paganisme.
3. Mereka menganggap kemenangan kaum Nikean terjadi karena "penganiayaan demi
penganiayaan", dan Arius yang pandangannya ditolak konsili diangkat jadi pahlawan,
dikesankan seolah-olah Arius digambarkan sangat teraniaya demi imannya yang
mempertahankan keesaan Allah

Kaisar Konstantin dibaptiskan pada akhir hidupnya, karena keyakinannya bahwa


baptisan dapat meng-hapuskan dosa. Itulah keyakinan zaman itu, seolah-olah ritual
baptisan adalah segala-galanya. Kaisar menunda pembabtisannya, karena Kaisar merasa
masih mempunyai banyak dosa, lebih-lebih dalam posisinya seba gai penguasa politik
yang melancarkan peperangan, khususnya melawan Persia.

Bagaimanakah reaksi Gereja-gereja Tuhan di Indonesia selama ini?

Pertama, karena semangat "Sola Scriptura" (Hanya oleh Alkitab) yang kebablasan dan
"out of context", malahan banyak penulis gereja-gereja Protestan terkesan sangat
mengentengkan data sejarah, dan seolah-olah jawabannya: "Hanya Buka Alkitab,
Beres!". Contohnya, ada seorang pendeta yang menanggapi Dan Brown, The Da Vinci
Code, yang menyoal "Ketuhanan Yesus", menjawab sekenanya dengan mengutip Alkitab.
"Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, benar katamu memang Akulah Guru dan Tuhan" (Yoh.
13:13). Padahal yang dimaksud Brown bukan "The Lordship of Jesus" - yang tentunya,
No Problem baginya, sebab bukankah Charles juga disebut Lord Charles? Padahal yang
dipersoalkan Dan Brown "the divinity of Jesus Christ" (keilahian Yesus Kristus).
Mau tidak mau, dengan itu Brown menantang gereja menguji kembali penetapan konsili
Nikea (325), seolah-olah berlagak menjadi seorang teolog mengajak membuka lembar
lembar dokumen kuno apakah putusan gereja waktu sudah tepat. Sebab dengan
jawabannya hanya "buka Alkitab, Beres!", Arius dan keturunan spiritualnya,
Jehovah's Witnesses dan Unitarianisme, juga membuka Alkitab. Tetapi karena mereka
tidak menempatkannya dalam konteks akar sejarah rasuli, maka kesimpulannya mereka
melenceng dari kebenaran.

Kedua, beberapa penulis-penulis Kristen dalam mengutip bukti dari bapa-bapa gereja,
mereka hanya menyebut "bapa gereja ini", atau "bapa gereja itu", misalnya Irenaeus
menyebut "The Gospel of Judas" sesat, Yustin Martyr mengakui keilahian Yesus, dan
sebagainya, tanpa dibarengi penjelasan yang akurat, siapakah Irenaeus, bagaimana
hubungan bapa-bapa gereja purba itu dengan "komunitas rasuli", yang membedakannya
dengan Cerinthus, Marcion, dan pengikut sekte Kain, penulis Injil Yudas itu.
Padahal dengan melacaknya dari akar rasuli, para bidat akan langsung bungkam,
seperti bungkamnya Markion ketika bertemu dengan Polycarpus, murid Rasul Yohanes.
Singkat kata, Irenaeus adalah murid Polycarpus, dan Polycarpus murid Yohanes. Jadi,
tidak bisa disamakan begitu saja dengan Marcion, Cerinthus, sekalipun hidup
sezaman, tetapi mereka jelas-jelas tidak berasal dari komunitas rasuli.

Ketiga, kalaupun ada buku yang membahas sejarah konsili agak lengkap, bahasanya
terlalu netral dan bersifat ambigu, akibatnya kaum sectarian yang rata-rata kurang
cerdas itu masih bisa memutar-mutarnya. Buku Richard E. Rubenslein, When Jesus
become God: The Struggle to define Christianity During the Last Days of Rome, dapat
dikemukakan sebagai contoh karya sejarah yang sangat bagus.³ Sayangnya, justru
latar belakang pemikiran filsafat Yunani yang melatarbelakangi keterkungkungan
Origenes, dan kemudian Arius, tidaklah cukup dideskripsikan dengan baik. "Arius
sebenarnya mempergumulkan monoteismenya dengan

(Sebab hanya dengan mengatakan "menurut bapa gereja ini", "menurut bapa gereja
itu", tanpa menonjolkan keunggulan mereka sebagai penerus komunitas rasul, apa
bedanya dengan sekte Mormon dan Saksi-saksi Yehuwa, yang hanya pintar "memainkan
ayat-ayat alkitab". Saksi-saksi Yehuwa dengan mudah akan Yoh. 1:1 sesuai selera
mereka, tetapi dengan menga jukan bukti bahwa murid rasul-rasul sendiri tidak
mengartikan ayat: "kai theos en ho Logos" (dan Firman itu suatu allah). St.
Athanasius menghadapi Arius, kaum Arian Sejak ayat yang sudah jelas dengan tafsiran
alegoris (Yoh. 1:1, Firman dianggapnya sebagai gelar saja, sedangkan ayat-ayat yang
bersifat kiasan dijadikan landasan doktrin (Ams. 8:22))

serius", atau "kaum Arian sangat terkungkung dengan filsafat Neo-Platonisme",


misalnya. Tidak dijelaskan, apa hubungannya filsafat Hellenisme itu dengan
kesimpulan Origenes bahwa Yesus adalah "Allah kedua" (Deutero Theos), pandangan
yang jelas-jelas bertentangan dengan Monoteisme Yahudi. Begitu juga, bagaimana
hubungan filsafat Hellenisme yang bercorak panteistis dengan kesimpulan Arius,
bahwa pada suatu pihak ia ingin mempertahankan keesaan Allah dengan menurunkan
derajat Yesus sebagai Firman-Nya sebagai "ciptaan belaka", tetapi pada pihak lain
bagaimana seorang ciptaan yang diawali oleh waktu dan pernah tidak ada, dapat
berperan dalam penciptaan "dari tidak ada menjadi ada" (creatio ex nihilo).

Saya pernah mendengar Prof. Dr. Haskin yang terkenal sangat liberal itu, dalam
sebuah cermah di Paramadina, Jakarta, mengekspos "Injil Thomas", ia pernah
mengatakan bahwa baru pada zaman Irenaeus yang menyatakan: "Di bawah kolong langit
hanya ada 4 Injil," seolah-olah memang ada injil-injil lain sebelum nya yang sama
tuanya dengan injil-injil kanonik. Padahal dengan merujuk Irenaeus dan melacak
hubungannya dengan komunitas rasuli, bahwa Ireneus adalah murid Polycarpus, dan
Polycarpus adalah murid Rasul Yohanes. Mau memakai metode sejarah sekuler manapun,
nilai kesejarahan literatur Gnostik "Injil Tomas" dengan Irenaeus, penerusnya
rasul-rasul langsung, sudah tentu akan berbeda. Kalaun kita mau meneliti
historisitas Pangeran Diponegoro, secerdas apapun seorang profesor pada zaman kita,
akan dikesampingkan apabila dibandingkan dengan Ali Sentot Prawirodirdo atau Kyai
Modjo, yang "nota bene" adalah guru, murid dan teman-teman seperjuangan yang hidup
sezaman dengannya.

Rubenstein hanya mengekspos dan sekedar menjelaskan bagaimana pemikiran teologis


Arius, Atanasius, sekedar sebagai deskripsi "historis", dan menderetkan angka-angka
tahun, tetapi tidak sampai melacak akar pemikiran dan latarbelakang pemikiran Arius
dan Athanasius dari sudut pandang filsafat Yunani dan Yudaisme sebagai induk Iman
Kristen. Misalnya, bagaimana perbedaan "logos" dalam pemikiran Yunani yang berakar
pada Neo-Platonisme dengan dalam Septuaginta yang lebih paralel dengan "Memra"
dalam Targum. Logos Neo-Platonisme adalah "demiurgos" atau entitas perantara
(intermediary being) yang bukan Allah dan bukan manusia. Sebaliknya, targum-targum
Aramaik justru mengidentifikasikan "memra" dengan Allah sendiri sejauh Sang
Pencipta itu menyatakan Diri-Nya.

3 Apakah Konstantin "Aktor Penentu" Konsili Nikea?


Kaisar Konstantin bukanlah aktor penentu putusan teologis yang dihasilkan Konsili
Nikea. Meskipun Konstantin mempunyai kepentingan politik, ia tidak mau terlalu jauh
masuk ke dalam perdebatan-perdebatan teologis. Siapakah orang penting di balik
Konsili Nikea? Dibalik Konstantin ada Uskup Hosius, ia sering bertindak sebagai
wakil Konstantin, khususnya dalam soal-soal teologi. la adalah orang lemah lembut
dan berpikiran mendalam, otoritasnya sangat besar sebagai penasehat dan guru
spiritual Konstantin. la sudah menemani seorang Kaisar sejak perjalanan nya dari
Galia ke Italia, dan uskup yang berasal dari Spanyol ini dianggap mampu menenangkan
hati Kaisar, dan menenangkan tabiat sang Kaisar yang suka marah. Tidak dibaptisnya
Kaisar bukan karena ia "pagan" dan tidak percaya, tetapi justru karena
kejujurannya, karena masih merasa banyak dosa karena keterlibatannya dalam perang.

Perlu ditanggapi seperlunya, anggapan bahwa seolah-olah Konstantin sangat


memaksakan pendapat soal hasil Konsili Nikea adalah tidak benar sama sekali. Hal
itu dibuktikan, ketika Sang Kaisar mengetahui adanya perbedaan pandangan antara
Patriarkh Alexander dengan Arius, Sang Kaisar justru menghindar dan tidak jadi
mengunjungi kota Alexandria. Hal itu terbukti dari surat yang dibawa oleh Hosius,
yang ditujukan kepada Alexander maupun kepada Arius. Tampak sekali bahwa Kaisar
menganggap enteng konflik dogmatis antara Arius dengan patriarkhnya, Alexander.
Konstantin menganggap hal itu hanya mengganggu keamanan wilayah kekaisaran, karena
kaisar menginginkan keseragaman dogma yang dianggap mengokohkan kekaisarannya
secara politik. Yang penting dogmanya seragam, agar secara politik pemerintahannya
aman, tidak soal yang menang pendukung Nikea atau pengikut Arius. Hal ini tampak
dari sikapnya yang selalu berubah-ubah.

Sejarah mencatat, bahwa Alexander sangat tersinggung dengan surat Kaisar yang
memandang remeh persoalan-persoalan teologis. Konstantinus memang benar-benar
menjadi Kristen, tetapi ia tidak tertarik dengan teologi yang pelik. Kristus yang
dilihatnya dalam mimpinya yang telah memberinya kemenangan adalah cukup baginya.
"Dengan tanda ini kamu akan menang!"," begitu sabda Yesus dalam mimpinya. Kaisar
pun patuh kepada perintahNya. Beres! Dan Konstantin memang menang. Tetapi demi
pengajaran yang sehat, pengalaman personal saja tidaklah cukup.

Inilah surat Kaisar Konstantin yang membuat Patriakrh Alexander tersinggung:


Ketika belum lama ini aku singgah di Nikomedia, aku merencanakan untuk singgah
sekaligus melanjutkan perjalanan ke Timur. Tetapi sementara aku bergegas menuju ke
arahmu dan melampaui sebagian perjalanan yang mestinya kutempuh berita tentang
masalah ini (konflik teologis antara Alexander dan Arius) mengubah rencanaku
sehingga aku tidak merasa perlu untuk melihat dengan mataku apa yang kupikir tidak
mungkin harus sampai di telingaku.

Karena Kaisar ingin "cuci tangan" terhadap masalah pelik ini, ia cukup mengutus
Hosius, Uskup Roma, untuk melakukan investigasi tentang masalah ini ke Alexandria.
Hosius paham sikap Alexander, karena ia juga seorang Uskup. Tapi siapakah Arius,
imam yang berani menentang patriarkhnya? Siapakah pula Athanasius, diakon muda yang
menjadi "orang kepercayaan" Pa triarkh Alexander? Investigasi ini tentu saja tidak
bisa dilakukan secepat yang diharapkan Kaisar. Dikesankan bahwa kemenangan gereja
atas Arius itu karena "penganiayaan" padahal Patriakrh Athanasius sendiri,
pengganti Patriarkh Alexander pendahulunya, juga beberapa kali mengalami
penganiayaan oleh Kaisar karena hasutan kaum Arian.

4 Apakah yang terjadi sebelum dan sesudah Nikea?

4.1. "Safari Tebar Pesona": Arius Menggalang Dukungan

Mulanya, perselisihan teologis Arius dengan patriarkh Alexander tidak banyak


diperhatikan orang. Apalagi gereja Katolik di Barat yang waktu memang kurang
tertarik dengan tema-tema metafisik, yang dianggapnya "sekedar pemikiran Yunani".
Ketika Patriarkh Alexander mendapat laporan mengenai ajaran Arius, lalu memanggil
Arius untuk mempertanggungjawabkan imannya. Tidak ada laporan sejarah mengenai
hasil pertemuan itu. Tetapi yang jelas pertemuan itu tidak membuahkan hasil,
sehingga pada tahun 318 M digelar sinode Alexandria. Sebelum pertemuan Alexandria
tahun 318 M berlangsung para uskup telah menyusun semacam draf "Pengakuan Iman"
(Regula Fidei), yang diharapkan nantinya bisa dibahas dan ditanda tangani kelompok
Arius. Tetapi Arius dan kelompoknya menolak, dan bersikukuh dengan pendapatnya
bahwa Sang Anak (Firman) hanya seorang ciptaan. Sidang sinode Alexandria terpaksa
mengeluarkan sanksi eks-komunikasi terhadap Arius dan para pengikutnya, dan mereka
diperintahkan untuk keluar dari wilayah Mesir.

Tetapi Arius tidak mau mematuhi hasil persidangan sinode, dan bertahan di Mesir.
Para pengikutnya bahkan membuat keonaran di kota-kota. Bentrokan fisik sering
terjadi antara pendukung Arius dengan pendukung Gereja resmi (Koptik) di bawah
Alexander. Arius dalam keadaan terjepit, lalu mengirimkan surat kepada Eusebius
dari Nikomadia, dan Eusebius dari Kaisaria. Isinya memohon dukungan agar posisinya
dapat dikembalikan sebagai imam oleh Patriarkh Alexander. Surat pribadi itu ditulis
Arius dengan memposisikan diri seolah-olah sebagai "pihak yang teraniaya". Arius
memang terbukti ahli dalam hal taktik "menebar pesona". "Arius, yang secara semena-
mena telah dianiaya oleh Patriarkh Alexander", tulisnya,
"karena kebenaran tertinggi yang juga anda yakin, menyampaikan salam dari Tuhan
kepada tuanku yang terkasih, yang saleh, Eusebius yang beriman kepada ajaran yang
murni".? Kami dianiaya karena kami berkata bahwa Sang Putra memiliki awal,
sementara Allah tidak berawal. Firman itu bukan bagian dari zat Allah, dan bukan
yang setara dengan-Nya. Karena keyakinan ini aku dianiaya. Selebihnya Anda akan
tahu sendiri. Sampai jumpa! Sebagai sesama murid Lucianus, dan sebagai orang yang
benar-benar saleh, sesuai dengan arti namamu, ingatlah akan penderitaan kami."

Selanjutnya, pada tahun 318 Arius meninggalkan Alexandria menuju Nikomadia.


Eusebius Nikomadia mendukungnya, lalu ia meng-galang dukungan para uskup di
wilayahnya agar menekan Alexander untuk mengembalikan posisi keimamatan Arius yang
dicopot pada sidang sinode Alexandria. Posisi Eusebius Nikomadia sangat disegani
diantara-gereja gereja berbahasa Yunani. Eusebius dari Kaesaria juga menyambut
hangat Arius, bahkan ia juga menggalang dukungan uskup-uskup untuk mengembalikan
kedudukan Arius sebagai imam. Eusebius dari Kaesaria dikenal karena reputasinya
sebagai seorang sejarawan, meskipun bukan sebagai teolog yang konsisten. Alexander
yang sedang murka disuratinya. Tidak hanya itu. Pada tahun 320 M Eusebius
menggalang dukungan para uskup di propinsi Bythinia untuk meyakinkan mereka bahwa
pandangan Arius masih dalam batas-batas ortodoksi. Arius pun diberi kesempatan
untuk berbicara menyampaikan pembelaannya. Anehnya, di sinode para uskup yang di
selenggarakan di Bythinia itu Arius mulai melunak. Arius menekankan bahwa pandangan
teologisnya sangat dekat dengan Alexander, padahal sebelumnya ia mengejek Alexander
secara kasar, dan berani menyerangnya di depan umum. Para ahli menduga bahwa
Eusebius dari Keisarea berhasil melunakkan pandangan-pandangannya. Arius tidak lagi
mengatakan bahwa Sang Putra "diciptakan dari tidak ada", melainkan hanya menekankan
"superioritas Sang Bapa dari Putra Nya". Secara umum ungkapan ini diterima juga
oleh kelompok Alexander, sebab Sang Putra memang lebih rendah dari Sang Bapa, dalam
posisinya ketika turun ke dunia (Ibr. 2:9), dan bukan dalam kodrat ilahi-Nya
sebagai Firman Allah, dan "Firman itu adalah Allah (Yoh. 1:1). Para uskup Bythnia
terpengaruh, dan mereka juga memohon kepada Patriarkh Alexander agar membatalkan
ekskomunikasi Arius. Setelah berhasil di Bythnia, Arius melanjutkan safari "tebar
pesona"-nya ke wilayah Lebanon selatan. Hasilnya bagus, uskup Paulinus dari Tyrus
mendukungnya, kemudian Arius melanjutkan perjalanannya ke Palestina, kota tempat
Eusebius Kaisarea tinggal. Eusebius dari Kaisarea memang sejarawan yang handal,
tetapi bukan seorang teolog yang mumpuni. Dalam konflik teologis ini, posisinya
sering terombang-ambing. Pada tahun 322 M Eusebius dari Kaisarea telah berhasil
mengumpulkan uskup-uskup di kotanya, dan hasilnya mereka mengakui ortodoksi dari
ajaran Arius.
4.2. Hasil Investigasi Hosius

Sementara itu di Mesir, Alexander mengirim surat kepada para uskup agar supaya
berhati-hati dengan Arius dan para pengikutnya. Arius, bagi Alexander adalah
"penghujat Kristus", seperti orang Yahudi dan Yunani yang menganggap Yesus hanya
makhluk biasa. Surat lain, yang mungkin dirancang Athanasius, menyebut Esebius dari
Nikomadia sebagai "mengoyakkan jubah Yesus", karena penyangkalan mereka kepada
keilahian-Nya. Alexander dan Athanasius berhasil menggalang dukungan 200 uskup
melalui perdebatan-perdebatan teologis, jauh lebih banyak dari pada dukungan
terhadap Arius. Karena itu, ketika Hosius atas nama Kaisar tiba di Alexandria tahun
325 M dan ketika dilakukan "voting" (pungutan suara) di konsili ekumenis di Nikea
tahun 325 M Arius kalah telak. Bagaimana konsili ekumenis pertama itu bisa berjalan
mulus? Dalam investigasi Hosius, Athanasius benar-benar bisa meyakinkannya, bahwa
Putra benar-benar Allah, sehingga Hosius tiba pada kesimpulan: "kompromi kepada
Arius dan sekutunya, benar-benar tindakan yang tidak diselaraskan dengan ajaran
rasuli”, karena perbedaan dengan kaum Arian bukan sekedar perbedaan pendapat
sepele, tapi benar-benar telah menusuk ke jantung Iman Kristiani yang paling
hakiki, yaitu keilahian Firman Allah. Seandainya Firman Allah itu hanya ciptaan,
orang tidak akan beribadah kepada-Nya dan tidak perlu dinubuatkan dalam Alkitab.
Tetapi kenyataannya adalah turunan sejati dari Dzat Allah yang disembah. Ia adalah
Putra Allah menurut kodrat Nya dan bukan makhluk ciptaan. Oleh sebab itu, la
disembah dan diyakini sebagai Allah. Sinar matahari adalah benar-benar bagian dari
matahari, tetapi hakikat matahari tidak terbagi atau dikurangi karena sinarnya.
Hakikat matahari lengkap, dan sinarnya sempurna dan lengkap. Sinar-sinar itu tidak
mengurangi hakikat terang, namun adalah turunannya yang sejati. Demikian pula kita
ketahui bahwa Sang Putra diperanakkan bukan diluar Sang Bapa, tetapi dari Bapa
sendiri. Allah Sang Bapa tetap lengkap, sedangkan "Gambar wujud-Nya" (Ibr 1:3) juga
abadi, dan menjaga kesetaraan-Nya dengan Allah Sang Bapa dan Citra Diri-Nya yang
tidak berubah-ubah.
Athanasius dari Alexandria, juga mengaitkan kekekalan Firman Allah dengan
keselamatan manusia, seperti disebut dalam bukunya "Inkarnasi Firman Allah", antara
lain menekankan: Hanya Sang Juru Selamat sendiri yang pada mulanya menciptakan dari
tidak ada menjadi ada, dapat mengembalikan manusia yang bejat menjadi kekal dan
tidak bisa binasa, tidak ada yang dapat menciptakan kembali manusia dalam rupa
Allah, kecuali Rupa Allah itu sendiri. Dialah Tuhan kita Yesus, Sang Firman Allah,
yang adalah hidup itu sendiri, yang dapat mengembalikan yang fana menjadi kekal."
Hosius kembali ke Kaisar, dan melaporkan hasil investigasinya: "Arius yang salah".
Sang Kaisar, seperti tabiatnya, tidak sampai masuk dalam soal-soal teologis yang
detail, akhirnya memahami putusan Hosius. Rencana konsili ekumenis digelar. Mula-
mula digagas untuk diadakan di Ankara, karena Uskup Ankara, Marcellus, adalah sosok
yang dikenal "anti-Arian". Sebelum konsili ekumenis digelar, pra-konsili digelar di
kota Antiokia-Syria, awal tahun 325 M. Eusebius dari Kaisaria, yang posisinya saat
itu masih mendukung Arius datang, dengan para pendukungnya. la begitu yakin akan
bisa mengguncang konsili dan mempengaruhi peserta, karena reputasi
internasionalnya. Konsep Pengakuan Iman disusun antara lain sebagai berikut: "dan
percaya kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, satu-satunya Putra yang dilahirkan,
diturunkan bukan dari ketiadaan, tetapi dari Sang Bapa". Firman itu kekal dan
selalu ada "bukan citra dari kehendak atau apa pun selain dari eksistensi
(hypostasis) Sang Bapa sendiri".
Semua Uskup yang hadir setuju kecuali 3 orang: (1) Theodorus dari Laodikia; (2)
Narcissus dari Neronias, dan (3) Eusebius dari Kaesarea. Disaksikan oleh semua
peserta konsili, 3 pendekar itu dikemukakan pertanyaan satu-satu oleh Hosius dan
mereka menjawab semua pertanyaan Hosius. Hasilnya pendapat ketiganya dinyatakan
"heterodoks" (sesat). Heboh! Seorang sejarawan besar "terpesosok dalam ajaran
Arian". Tetapi sidang pra-Konsili di kota Antiokhia masih memberi kesempatan kepada
mereka menyatakan penyesalannya dan akan diterima kembali ke pangkuan gereja "di
konsili besar dan kudus yang akan diadakan di Ankara".
4.3. Konsili Nikea Tahun 325 M

Karena pertimbangan tertentu, konsili ekumenis kemudian tidak jadi diselenggarakan


di Ankara, melainkan di kota Nikea. Salah satu pertimbangan politis Kaisar, mungkin
kalau diadakan di Ankara, dianggap kurang netral, karena uskup Ankara, Marcellus,
dianggap sangat ekstrim anti-Arian. Padahal Kaisar masih menginginkan agar kelompok
arian moderat masih bisa diakomodasi di konsili, hal tersebut terbukti dengan
diberikannya kesempatan pertama kepada Eusebius dari Kaesarea untuk menyampaikan
pendapatnya. Dan dalam konsili ini Eusebius dari Kaesarea akhirnya sepakat
menandatangani hasil konsili Nikea, yang diakhiri dengan anathema (kutukan) kepada
ajaran-ajaran bidat Arius. Dalam pembelaannya di konsili itu Eusebius mengatakan
bahwa ia hanya mengacu kepada rumusan pengakuan iman tradisional yang biasa
dibacakan di kotanya. Rumusan itu berbunyi sebagai berikut:

Aku percaya kepada satu Allah, Bapa Yang Maha Kuasa. pencipta segala sesuatu yang
tampak dan yang tidak terlihat. Dan kepada satu Tuhan Yesus Kristus, Firman Allah,
Allah dari Allah, terang dari Terang, hidup dari hidup, satu-satunya Putra yang
diperanakkan, yang sulung dari segala ciptaan, dilahirkan sebelum segala abad dari
Sang Bapa, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan. Dia demi keselamatan kita,
menjelma menjadi manusia, di antara kita dan menderita, bangkit kembali pada hari
ketiga, dan naik ke surga, serta akan datang lagi dalam kemuliaan, untuk menghakimi
orang yang hidup dan mati.

Sedangkan Pengakuan Iman yang berhasil disepakati dalam Konsili Nikea tahun 325
berbunyi sebagai berikut:

Aku percaya kepada satu Allah, Bapa Yang Maha Kuasa. pencipta segala sesuatu yang
tampak dan yang tidak terlihat. Dan kepada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah,
yang dilahirkan dari Sang Bapa, dari Dzat Sang Bapa, Allah dari Allah, Terang dari
Terang, Allah sejati dari allah sejati, dilahirkan tidak diciptakan, satu dzat
(homoouius) dengan Sang Bapa, yang oleh -Nya segala sesuatu telah dijadikan, yaitu
segala yang ada di surga dan yang ada di bumi. Yang demi kita manusia, dan demi
keselamatan kita telah turun dan menjadi manusia, yang menderita sengara, dan
bangkit kembali pada hari ketiga, lalu naik ke surga, serta akan datang lagi dalam
kemuliaan, untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati."

Jadi, dengan menegaskan bahwa Firman Allah tidak tercipta, sebenarnya konsili
ekumenis hanyalah menegaskan kekekalan hipostasis-hipostasis ilahi dalam Allah Yang
Maha Esa, dan bukan mempertuhan sesuatu di luar Wujud-Nya. Dalam konteks inilah
penegasan keilahian Yesus Kristus harus kita pahami, bahwa "frase-frase kontra-
Arian" dalam konsili Nikea yang berbunyi:

Sesungguhnya Putra Allah yang tunggal yang lahir dari Sang Bapa yang sehakekat
dengan Dzat Sang Bapa" "dilahir kan, tidak diciptakan, satu dengan Sang Bapa dalam
Wujud Nya, yang oleh-Nya segala sesuatu yang baik di langit dan di bumi telah
diciptakan". Harus ditekankan pula bahwa semua rumusan di atas menunjuk kepada
Firman Allah yang satu dengan Allah, dan bukan kepada kemanusiaan Yesus Kristus,
seperti yang sering disalahpahami. Untuk lebih jelasnya, setelah menegaskan
keilahian Firman Allah, konsili Nikea juga mengeluarkan anathema terhadap ajaran
Arius sebagai berikut:

Sedangkan tentang mereka yang berkata: "Pernah ada waktu dimana la (Firman) belum
ada", atau "Sebelum Dia dilahirkan, la tidak ada", atau "Putra Allah itu berasal
dari tidak ada kemudiaan menjadi ada" (creatio ex nihilo), dan juga mereka yang
menyangkal bahwa Putra Allah mempunyai wujud lain, atau wujud lain selain dari
Allah", atau "diciptakan", atau "dapat berubah", maka gereja yang kudus, katolik
(universal) dan rasuli, dengan ini mengharamkan (tahrim) ajaran mereka.

4.4. Arius Nyaris Menang, Mengapa tiba-tiba Kalah?


Setelah Konsili Nikea ternyata pertikaian masalah teologis tidak selesai begitu
saja. Kemenangan kaum Nikean yang dimata kaum Arian terasa sangat tiba-tiba dan
tidak terbayangkan, membuat mereka semakin merapatkan barisan. Target mereka tentu
saja mempengaruhi Kaisar, agar Sang Kaisar dapat campurtangan dalam membela
kepentingan mereka. Kesempatan emas tiba, ketika uskup Hosius kembali ke Spanyol,
Eusebius dari Kaisarea, yang dikenal moderat di kalangan kaum Arian, sebenarnya
tidak sepenuhnya setuju dengan rumusan Nikea. Ia menerima rumusan Nikea, meskipun
ia menafsirkan sendiri menurut pandangannya yang masih condong kepada Arianisme.
Setelah Hosius kembali ke spanyol, Eusebius dari Nikomadea adalah orang yang
menjadi corong untuk memperjuangkan kepentingan kaum Arian, meskipun secara
konseptual Eusebius mempunyai paham sendiri, yang lebih dekat kepada "subordinasi"
ala Origenes, ketimbang mempercayai keterciptaan Yesus Kristus ala kristologi
Arianisme. Selain itu ada tokoh Arian yang sangat gigih memusuhi Konsili Nikea dan
sangat dendam kepada Athanasius, yaitu Eusebius dari Nikomadia. Dengan berbagai
macam cara dan usaha yang sangat gigih kaum Arian tidak menerima begitu saja
kekalahan mereka di Konsili Nikea. Sampai akhirnya tiba suatu kesempatan, ketika
posisi kaum Arian sempat menguat kembali, sehingga Kaisar berhasil berada dalam
pengaruh mereka. Dan atas hasutan Eusebius dari Nicomadea, bahwa Athanasius telah
menghentikan pasokan gandum dari Mesir ke ibukota kekaisaran demi ambisinya untuk
menggagalkan konsili Tirus yang mereka anggap sebagai konsili musuh, karena
didominasi kaum Arian. Karena itu, demikian tuduh Eusebius dari Nikomadea,

"Athanasius telah mencegah kapal-kapal dari Mesir ke Laut Tengah, agar tidak ada
pasokan gandum ke sana"

Kaisar murka besar. Sebab kalau tuduhan itu benar, itu berarti Athanasius berani
memboikot ekonomi kerajaan. Athanasius membela diri, bahwa dirinya tidak mungkin
mempunyai otoritas sebesar itu. Tetapi Konstantin sudah termakan ucapan musuhnya,
karena Eusebius mengajukan beberapa saksi untuk menferifikasi ucapan-ucapannya.
Kaisar percaya, lalu memaki-maki Athanasius dengan kata-kata yang pedas. Athanasius
juga marah besar, dan berteriak lantang:

"Waspadalah, wahai Kaisar!", tegas Athanasius, "Sesungguhnya Allah akan menilai,


siapakah yang benar diantara kita, aku atau Anda".

Kaisar Konstantin lalu membuangnya ke Ghalia, di pinggiran kota Trier, untuk waktu
yang tidak ditentukan lamanya. Sementara itu, Eusebius terus melancarkan perlawanan
yang sangat sistematis untuk mengembalikan Arius ke pangkuan gereja.

Dikisahkan Kaisar Konstantin sangat terkesima dengan kecerdasan Arius, dan akhirnya
kaum Arian berhasil meyakinkan Kaisar untuk menekan takhta suci Alexandria untuk
menerima kembali Arius. Pada tahun 335 M, sepuluh tahun setelah konsili berlangsung
dan menendang mereka keluar dari persekutuan gereja, sekarang Konstantin siap
menerima kembali Arius. Luar Biasa. Penyambutan besar-besaran pun dipersiapkan di
Konstantinopel. Selanjutnya, pada tahun 336 M pertemuan para uskup yang pro-Arius
diselenggarakan di ibukota Konstantinopel, yang dihadiri oleh beberapa perwakilan
dari Barat, menunjukkan bahwa pengaruh ajaran Arianisme memang sudah cukup menyebar
ke wilayah Barat.

(Konsili Nikea yang dihadiri 318 pemimpin gereja sedunia dengan 5 orang saja yang
mewakili gereja wilayah barat.Perhelatan besar gerejawi ini dipimpin oleh Uskup
Hosius dari Cordoba, salah seorang wakil dan tokoh dari gereja Barat)

Selama dalam pembuangan, Athanasius selalu mengontrol gereja Alexandria dari


rongrongan Arianisme, dan wakil-nya yang kini menjalankan gereja atas nama
Athanasius, yaitu Makarius, sangat loyal dan setia kepada ajaran Konsili Nikea.
Karena itu, Konstantin sadar bahwa Gereja Alexandria tidak adan mau menerima
usulannya, sekalipun Kaisar memaksa. Satu-satunya kandidat yang dipikirkan Kasiar,
kini Patriarkh Alexander di Konstantinopel. Secara politis ia sangat dihormati,
jadi pikir Kaisar, kalau ia sudah menerima Arius, maka sia-sialah gereja Alexandria
tetap menentangnya.

Dikisahkan ketika Arius, Eusebius dari Mekedonia dan beberepa uskup pro-Arian tiba
di basilica Kosntantinopel, Patriarkh Alexander tidak bersedia menemuinya. Waktu
itu hari Minggu. Sang Patriarkh malah masuk ke sakristinya menangis, berdoa dan
berpuasa, supaya ia bebas dari dosa karena merayakan ekaristi bersama kaum bidat
yang menolak keilahian Yesus Kristus. Pintu Basilica ditutup dan dikunci dari
dalam. Pengikut Arius hendak mendobraknya. Sementara itu Arius, sang jawara itu,
terus berkhotbah di depan pintu basilica berapi-api. Sejarah melaporkan, tiba-tiba
suatu peristiwa yang ajaib dan luar biasa terjadi. Perut Arius sakit luar biasa,
kemudian ia menghentikan khotbahnya dan pergi ke toilet. Lama sekali tidak keluar,
ternyata setelah didobrak pintunya, Arius mati terkapar di kamar mandi itu.
Mengetahui, Patriarkh Alexander segera mengirim berita kepada Athanasius di
pengasingan mengenai kematian Arius. Athanasius percaya, bahwa Tuhanlah yang telah
menjawab doa-doa Patriarkh Alexander. Seandainya Arius tidak mati, posisi kaum
Arian sudah "di atas angin", dan pastilah paham Arianisme yang menyangkal keilahian
Firman Allah itu akan menjadi madzab resmi kekaisaran Roma. Kenyataannya, sejarah
berkata sebaliknya, karena pemeliharaan Tuhan dalam sejarah, yang tidak menghendaki
para penyangkal-Nya itu menang dan mengubah ajaran rasuli yang diwariskan dari
generasi ke generasi secara tanpa putus dari Kristus dan para rasul-Nya.

Catatan Penutup

Dari deskripsi historis di atas, jelaskan bahwa kaum Arian bukanlah satu-satunya
komunitas yang teraniaya, seperti tuduhan picik yang dikembangkan oleh musuh-musuh
gereja rasuli.
Gambaran bahwa seolah-olah Arius sebagai pihak yang teraniaya, bahkan dikesankan
lebih jauh, bahwa Konsili Nikea dimenangkan oleh "para pemuja Yesus" karena
penganiayaan dan tekanan dari pihak Kaisar, juga ditulis oleh kaum polemikus.
"Dalam catatan sejarah", tulis Rofiq Munawi, "konsili Nikea ini adalah perjalanan
sejarah yang pahit, karena penuh kejahatan". Munawi juga mencatat, bahwa banyak
orang yang kehilangan mata, kaki dan anggota tubuh lain, seolah-olah karena
kekejaman pendukung putusan-putusan Konsili Nikea. Padahal banyak orang catat dan
kehilangan anggota tubuhnya, karena orang-orang tersebut adalah umat Kristen "yang
dianiaya pada masa kekaisaran Romawi pagan", dan tidak ada kaitannya sama sekali
dengan mereka yang menolak Konsili Nikea.
Masih banyak "tuduhan fitnah" lain yang ditulis oleh beberapa orang, yang rata rata
memang tidak diperlengkapi dengan rujukan sejarah yang akurat. Rata-rata, tulisan-
tulisan polemik semacam itu memang tidak merujuk langsung kepada sumber-sumber
sejarah primer. Mereka biasanya hanya membaca kutipan dari kutipan, atau sebuah
"encyclopedia umum". Karena itu, jelas bahwa bobot ilmiah tulisan-tulisan seperti
itu tentu tidak bisa dipertanggung jawabkan.

Kami percaya kepada satu-satunya Allah, Sang Bapa, Pencipta segala sesuatu, segala
sesuatu yang tampak dan yang tidak terlihat. Dan kepada satu-satunya Tuhan, Yesus
Kristus, Putra Allah yang Tunggal, yang dilahirkan dari Bapa, yaitu dari Dzat Sang
Bapa, Allah dari Allah Yang benar, dilahirkan dan bukan diciptakan, yang sehakikat
dengan Sang Bapa, yang oleh Nya segala sesuatu yang diciptakan, segala yang ada di
langit dan yang di atas bumi, yang demi kita Manusia, dan demi keselamatan kita,
telah turun dan menjelma, dan menjadi manusia, yang menderita, dan bangkit pada
hari ketiga, dan naik ke surga, dan akan datang kembali untuk menghakimi orang
hidup dan orang mati, dan kami percaya kepada Roh Kudus.

Sedangkan tentang mereka yang berkata: "Pernah ada waktu dimana Dia (Firman, Anak)
belum ada", atau "Sebelum Dia dilahirkan, la tidak ada", atau "Anak (Firman) itu
berasal dari tidak ada kemudiaan menjadi ada", dan juga mereka yang menyangkal
bahwa Putra Allah mempunyai zat lain, atau zat lain selain dari Allah", atau
"diciptakan", atau "dapat berubah", maka gereja yang universal (dan rasuli),
menjatuhkan anathema atas ajaran mereka.

Anda mungkin juga menyukai