NIM : 042792123
Mata Kuliah : Hubungan Pusat dan Daerah
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini, yaitu: Sejauh manakah pendelegasian kewenangan dari Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah di bidang pertanahan?
B. PEMBAHASAN
Adapun yang menjadi kewenangan dari Pemerintah Pusat dalam bidang pertanahan,
sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 Kepres No. 34 tahun 2003 meliputi:
1. Penyusunan basis data tanah-tanah asset Negara/Pemerintah/ Pemerintah Daerah di
seluruh Indonesia;
2. Penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan dan pendaftaran tanah
dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan, yang dihubungkan dalam e-
government, e-commerce, dan e-paymen;
3. Pemetaan kadasteral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan teknologi
citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan
landreform dan pemberian hak atas tanah
4. Pembangunan dan pengembangan, pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan
melalui tanah melalui system informasi geografis, dengan mengutamakan
penetapan sawah beririgasi, dalam rangkan memelihara ketahanan pangan nasional.
1. Pemberian izin lokasi.yang meliputi: (a). izin yang diberikan kepada perusahaan
untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang
berlaku sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna
keperluan usaha penanaman modal; (b). perusahaan adalah perseorangan atau badan
hokum yang telah memperoleh izin untuk melakukan penanaman modal di
Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku; dan (c). penanaman modal adalah yang
menggunakan maupun tidak menggunakan fasilitas penanaman asing maupun
penanaman modal dalam negeri.
2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk pembangunan.Pengadaan tanah adalah
kegiatan untuk memperoleh tanah baik dengan cara memberikan ganti kerugian
maupun tanpa memberikan ganti kerugian (secara sukarela).
3. Penyelesain sengketa tanah garapan. Sengketa tanah garapan adalah pertikaian
ataupun perbedaan kepentingan dari dua pihak atau lebih atas tanah garapan. Tanah
garapan yaitu tanah/sebidang tanah yang sudah atau yang belum dilekati dengan
sesuatu hak yang dikerjakan atau dimanfaatkan oleh pihak lain, baik dengan
persetujuan atau tanpa persetujuan dengan atau tanpa jangka waktu tertentu.
4. Penyelesaian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. Ganti
kerugian disini yang dimaksud adalah penggantian atas nilai tanah berikut
bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah akibat
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dalam bentuk uang, tanah pengganti,
pemukiman kembali, gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian tersebut
atau bentuk lain.
5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan
maksimum dan tanah absentee yang menjadi tanah obyek lendreform.
6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. Tanah ulayat adalah bidang tanah
yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hokum adat tertentu.
7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. Tanah kosong adalah tanah
yang di kuasai hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai tanah,
hak pengelolaan, atau tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum
diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau sebagainya, yang belum dipergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan
pemberian haknya atau Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku.
8. Pemberian izin membuka tanah.Diartikan sebagai izin yang diberikan kepada
seseorang untuk mengambil manfaat dan mempergunakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara.
9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota. Hal ini diartikan
merupakan pelaksanaan dan penetapan letak tepat rencana kegiatan yang telah jelas
anggarannya baik dari pemerintah, swasta maupun perorangan yang akan
membutuhkan tanah di wilayah Kabupaten/Kota tersebut berdasarkan data
informasi pola penatagunaan tanah yang sesuai dengan kawasan rencana tata ruang
wilayah. Adapun pola penatagunaan tanah adalah informasi mengenai keadaan
penguasaan, pemilikan, pengguanaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan
kawasan yang disiapkan oleh kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk
kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi, dilaksanakan
oleh pemerintah provinsi yang bersangkutan.
Hal ini dapat dilihat dari kenyataan yang dinyatakan dalam PP No. 38 tahun 2007
tersebut, dimana pemerintah pusat masih berkeinginan mengeluarkan izin-lokasi, hak
ulayat dan masih menganut pola ganti rugi belum berorientasi “ganti untung” yang dapat
mengantispasi konflik dan sengketa tanah. Padahal berdasarkan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi. Izin Lokasi
adalah kewenangan Pemerintah daerah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2)
berbunyi:
Surat Keputusan pemberian Izin Lokasi ditandatangani oleh Bupati/Walikota atau, untuk
Daerah khusus ibukota Jakarta, oleh Gubernur Kepala Daerah setelah diadakan rapat
koordinasi antar instansi terkait, yang dipimpin oleh Bupati/Walikota.
Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi tersebut menunjukkan
ekspresi desentralisasi, dimana izin lokasi adalah kewenangan Bupati/Walikota. Namun
ironisnya PP 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah, dimana pemerintah
pusat juga diberikan kewenangan penerbitan izin lokasi.
Dalam Perspektif otonomi dengan ekspresi desentralisasi, pemberian izin lokasi oleh
pemerintah pusat dapat dikategorikan “terlalu berlebihan, mencampuri urusan rumah
tangga daerah, tidak memandirikan daerah”. Yang lebih fatal dari itu semua
menyebabkan konflik dan sengketa lahan semakin berpotensi”. Idealnya tugas
pemerintah pusat khusus untuk hal-hal yang bersifat vital dan strategis saja. seperti:
pembuatan kebijakan, standar, norma, yang memberikan aturan main dalam hubungan
subyek hukum dengan tanah.
Era otonomi daerah adalah peluang bagi pembaharuan agraria, karena melalui otonomi
daerah yang nyata dan bertanggung jawab pemerintah daerah dapat mengatur dan
mengurus rumah tangganya secara lebih leluasa sesuai dengan keinginan daerah masing-
masing. Namun tetap dalam kerangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
C. PENUTUP
Pada dasarnya Kewenangan Pemerintah dalam bidang urusan tanah merupakan urusan
wajib Pemerintah Daerah. Namun pada kenyataannya mencermati realitas yang terjadi
dalam konteks otonomi daerah, Pemerintah Pusat masih terkesan setengah-setengah
dalam mendelegasikan kewenangan yang berkaitan dengan masalah pertanahan tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari adanya kecendrungan atau dominasi kewenangan yang
digariskan peraturan perundang-undangan kepada Pemerintah Pusat dalam masalah
pertananhan. Kenyataan tersebut tentu akan berimplikasi kepada tidak tercapainya cita-
cita reformasi khususnya dalam hal kemandirian daerah dalam mengatur dan mengurus
permasalahan yang terjadi di daerah.