Anda di halaman 1dari 6

Nama : SAP

NIM : 042792123
Mata Kuliah : Hubungan Pusat dan Daerah

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sebagai implikasi logis dari berlakunya kerangka kebijakan desentralisasi


yangbaru,kewenangan dan urusan pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota)
semakinluas sedangkan kewenangan dan urusan unsur pemerintah pusat semakin
mengecil.Meskipun demikian, demi mempertahankan eksistensi, integritas dan
”hakkedaulatan” suatu negara bangsa (nation-state), maka pemerintah pusat
masihmemiliki hak-hak tertentu di daerah, atau dapat melakukan intervensi dalam
bentuksupervisi, pembinaan, pengawasan, dan penilaian kinerja otonomi di daerah.
Hak”intervensi” Pusat atas Daerah ini dapat dijalankan secara langsung oleh
instansitingkat Pusat (Kementerian/LPND), maupun secara tidak langsung melalui
aparatnyadi daerah yakni Gubernur.

Pemerintahan daerah di Kota batam, sejatinya adalah bentuk implementasi


daripembagian kekuasaan dewasa ini. Kota batam sendiri adalah kota yang masuk dalam
wilayahProvinsi Kepulaun Riau/ KEPRI setelah mengalami pemekaran dari Provinsi
Riauberdasarkan Undang Undang Nomor 25 tahun 2002. Kepri merupakan Provinsi ke-
32 diIndonesia yang mencakup dari pada Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten
Bintan,Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan Anambas dan
KabupatenLingga. Kota Batam menjadi “seksi” ketika diketahui bahwa batam adalah
sebuah daerahyang berbatas langusng dengan negara luar seperti Malaysia dan singapura,
selain itu perairanBatam adalah perairan hilir-mudik perdagangan internasional, sehingga
batam seringkalimenjadi tempat persinggahan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini, yaitu: Sejauh manakah pendelegasian kewenangan dari Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah di bidang pertanahan?
B. PEMBAHASAN

Pelimpahan wewenang oleh pemerintah kepada pejabatnya di daerah untuk menjalankan


roda pemerintahan disebut dengan dekonsentrasi. Hal ini berarti dekonsentrasi tersebut
wewenang untuk mengurus persoalan yang terjadi di Daerah dilimpahkan oleh
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.

Perubahan konsep administrasi pemerintahan yang lebih memberdayakan partisipasi


lokal menyebabkan terjadinya pola pergeseran kekuasaan pemerintahan. Istilah tersebut
juga telah memperoleh materi muatannya dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya
pasal yang mengatur tentang pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Dalam UUD 1945 tersebut disebutkan bahwa pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-
undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

Dalam rangka otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,


pelimpahan kewenangan dalam otonomi adalah mengenai bidang pemerintahan.
Walaupun ketentuan Pasal 11 ayat (2) undang-undang tersebut mencakup kewenangan
dibidang pertanahan, tidak berarti mencakup kewenangan di bidang hukum tanah
nasional. Oleh karena itu, pertanahan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan oleh kabupaten/kota dalam Pasal 11, tidak harus dicerna bahwa wewenang
bidang tersebut secara utuh berada di kabupaten/kota. Wewenang yang berada di
kabupaten/kota mengenai pertanahan sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat
nasional.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kewenangan pemerintah di bidang pertanahan,


baik pemerintah pusat maupun daerah. Sebagaimana terdapat dalam Keputusan Presiden
(Kepres) No. 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dalam
Pasal 1 dan 2, berikut ini akan dipaparkan perinciannya:

A. Kewenangan Pemerintah Pusat di Bidang Pertanahan

Adapun yang menjadi kewenangan dari Pemerintah Pusat dalam bidang pertanahan,
sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 Kepres No. 34 tahun 2003 meliputi:
1. Penyusunan basis data tanah-tanah asset Negara/Pemerintah/ Pemerintah Daerah di
seluruh Indonesia;
2. Penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan dan pendaftaran tanah
dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan, yang dihubungkan dalam e-
government, e-commerce, dan e-paymen;
3. Pemetaan kadasteral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan teknologi
citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan
landreform dan pemberian hak atas tanah
4. Pembangunan dan pengembangan, pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan
melalui tanah melalui system informasi geografis, dengan mengutamakan
penetapan sawah beririgasi, dalam rangkan memelihara ketahanan pangan nasional.

B. Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan

Adapun kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimanan termuat dalam Pasal 2 Keputusan


Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan
menyebutkan tentang bagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang
dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan tersebut antara lain:

1. Pemberian izin lokasi.yang meliputi: (a). izin yang diberikan kepada perusahaan
untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang
berlaku sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna
keperluan usaha penanaman modal; (b). perusahaan adalah perseorangan atau badan
hokum yang telah memperoleh izin untuk melakukan penanaman modal di
Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku; dan (c). penanaman modal adalah yang
menggunakan maupun tidak menggunakan fasilitas penanaman asing maupun
penanaman modal dalam negeri.
2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk pembangunan.Pengadaan tanah adalah
kegiatan untuk memperoleh tanah baik dengan cara memberikan ganti kerugian
maupun tanpa memberikan ganti kerugian (secara sukarela).
3. Penyelesain sengketa tanah garapan. Sengketa tanah garapan adalah pertikaian
ataupun perbedaan kepentingan dari dua pihak atau lebih atas tanah garapan. Tanah
garapan yaitu tanah/sebidang tanah yang sudah atau yang belum dilekati dengan
sesuatu hak yang dikerjakan atau dimanfaatkan oleh pihak lain, baik dengan
persetujuan atau tanpa persetujuan dengan atau tanpa jangka waktu tertentu.
4. Penyelesaian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. Ganti
kerugian disini yang dimaksud adalah penggantian atas nilai tanah berikut
bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah akibat
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dalam bentuk uang, tanah pengganti,
pemukiman kembali, gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian tersebut
atau bentuk lain.
5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan
maksimum dan tanah absentee yang menjadi tanah obyek lendreform.
6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. Tanah ulayat adalah bidang tanah
yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hokum adat tertentu.
7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. Tanah kosong adalah tanah
yang di kuasai hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai tanah,
hak pengelolaan, atau tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum
diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau sebagainya, yang belum dipergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan
pemberian haknya atau Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku.
8. Pemberian izin membuka tanah.Diartikan sebagai izin yang diberikan kepada
seseorang untuk mengambil manfaat dan mempergunakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara.
9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota. Hal ini diartikan
merupakan pelaksanaan dan penetapan letak tepat rencana kegiatan yang telah jelas
anggarannya baik dari pemerintah, swasta maupun perorangan yang akan
membutuhkan tanah di wilayah Kabupaten/Kota tersebut berdasarkan data
informasi pola penatagunaan tanah yang sesuai dengan kawasan rencana tata ruang
wilayah. Adapun pola penatagunaan tanah adalah informasi mengenai keadaan
penguasaan, pemilikan, pengguanaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan
kawasan yang disiapkan oleh kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk
kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi, dilaksanakan
oleh pemerintah provinsi yang bersangkutan.

Dengan adanya dua kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan akibat dikeluarkannya


Kepres No. 34 Tahun 2003, berarti terdapat dualisme hokum di bidang pertanahan yakni
kewenangan Pemerintah Pusat dan kewenangan Pemerintah Daerah. Pada satu sisi
Pemerintah Pusat berwenang pada inventarisasi dan pengelolaan tanah di seluruh
Indonesia, termasuk system kepemilikan dan penguasaan tanah bagi para individu
melalui pemetaan kadasteral dan pendaftaran tanah juga pelaksanaan lendreform yang
diatur langsung oleh pemerintah pusat serta dipertahankannya Negara Indonesia sebagai
Negara agraris dengan pengembangan pengelolaan pertanian melalui sawah irigasi.
Adapun kewenangan pemerintah daerah menyangkut semua bidang pertanahan di daerah
yang terkait dengan pengembangan, pengelolaan tanah dan penyelesaian permasalahan
di bidang pertanahan di daerah.

Berkaitan dengan pembagaian urausan pemerintah, dalam PP Nomor 38 Tahun 2007


Tentang Pembagian urusan Pemerintahan, di sana dicantumkan bahwa pembagian urusan
Pemerintah (baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota), meliputi:
1. Izin Lokasi
2. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
3. Penyelesaian sengketa tanah garapan
4. Penyelesaian Masalah Ganti Rugi dan santunan tanah untuk pembangunan
5. Penetapan tanah ulayat.
6. Penetapan Subyek dan obyek Redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah
kelebihan maksimum dan tanah absentee.
7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong
8. Izin membuka tanah
9. Perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota

Apabila diperhatikan dari 9 (sembilan) jenis tugas antara Pemerintah, Pemerintah


Propinsi dan Pemerintah Kabupaten di atas, maka tergambar bahwa ekspresi sentralisasi
masih terlalu dominan, karena pemerintah pusat masih menjadi pionir, yang kurang
memberi ruang gerak yang dapat menumbuhkan kemandirian dan kreatifitas daerah
sebagai daerah otonom.

Hal ini dapat dilihat dari kenyataan yang dinyatakan dalam PP No. 38 tahun 2007
tersebut, dimana pemerintah pusat masih berkeinginan mengeluarkan izin-lokasi, hak
ulayat dan masih menganut pola ganti rugi belum berorientasi “ganti untung” yang dapat
mengantispasi konflik dan sengketa tanah. Padahal berdasarkan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi. Izin Lokasi
adalah kewenangan Pemerintah daerah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2)
berbunyi:

Surat Keputusan pemberian Izin Lokasi ditandatangani oleh Bupati/Walikota atau, untuk
Daerah khusus ibukota Jakarta, oleh Gubernur Kepala Daerah setelah diadakan rapat
koordinasi antar instansi terkait, yang dipimpin oleh Bupati/Walikota.
Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi tersebut menunjukkan
ekspresi desentralisasi, dimana izin lokasi adalah kewenangan Bupati/Walikota. Namun
ironisnya PP 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah, dimana pemerintah
pusat juga diberikan kewenangan penerbitan izin lokasi.

Dalam Perspektif otonomi dengan ekspresi desentralisasi, pemberian izin lokasi oleh
pemerintah pusat dapat dikategorikan “terlalu berlebihan, mencampuri urusan rumah
tangga daerah, tidak memandirikan daerah”. Yang lebih fatal dari itu semua
menyebabkan konflik dan sengketa lahan semakin berpotensi”. Idealnya tugas
pemerintah pusat khusus untuk hal-hal yang bersifat vital dan strategis saja. seperti:
pembuatan kebijakan, standar, norma, yang memberikan aturan main dalam hubungan
subyek hukum dengan tanah.

Era otonomi daerah adalah peluang bagi pembaharuan agraria, karena melalui otonomi
daerah yang nyata dan bertanggung jawab pemerintah daerah dapat mengatur dan
mengurus rumah tangganya secara lebih leluasa sesuai dengan keinginan daerah masing-
masing. Namun tetap dalam kerangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
C. PENUTUP

Pada dasarnya Kewenangan Pemerintah dalam bidang urusan tanah merupakan urusan
wajib Pemerintah Daerah. Namun pada kenyataannya mencermati realitas yang terjadi
dalam konteks otonomi daerah, Pemerintah Pusat masih terkesan setengah-setengah
dalam mendelegasikan kewenangan yang berkaitan dengan masalah pertanahan tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari adanya kecendrungan atau dominasi kewenangan yang
digariskan peraturan perundang-undangan kepada Pemerintah Pusat dalam masalah
pertananhan. Kenyataan tersebut tentu akan berimplikasi kepada tidak tercapainya cita-
cita reformasi khususnya dalam hal kemandirian daerah dalam mengatur dan mengurus
permasalahan yang terjadi di daerah.

Anda mungkin juga menyukai