Anda di halaman 1dari 7

Jawaban Administrasi Pertanahan

ADPU4335

1. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN) mencatat


hingga Oktober 2020, sengketa konflik dan perkara pengadilan mengenai pertanahan
berjumlah 9.000 kasus. Jumlah kasus konflik pertanahan ini tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik tanah, Kementerian ATR/BPN
tengah melakukan pendaftaran seluruh bidang tanah. Analis Hukum Pertahanan dan
Properti Eddy Leks mengatakan pendaftaran tanah saja tidak cukup untuk menyelesaikan
konflik dan sengketa pertanahan. Menurutnya, Kementrian ATR/BPN mesti melakukan
pengawasan secara ketat terutama terhadap tanah-tanah yang ditelantarkan.Mengeklaim
bangunan sebuah sekolah berdiri di atas tanah milik mereka, satu keluarga di Pekanbaru,
Riau melakukan tindakan nekat. Mereka merobohkan tembok Sekolah Dasar (SD) hingga
menganiaya penjaga sekolah. Polisi kini menangkap dan menetapkan empat orang sebagai
tersangka. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Diklaim Berdiri di Atas
Tanah Mereka, Keluarga Ini Robohkan Tembok Sekolah dan Aniaya Penjaganya",
Sumber. Kompas.com
Soal
9000 kasus tentang pertanahan bukan masalah yang kecil usaha – usaha penyelesaian
masalah harus segera teratasi untuk mencegah terjadinya konflik sosial yang semakin luas
diperlukan asas – asas dalam pembentukan organisasi yang ideal, silahkan saudara analisis
asas apa saja yang dibutuhkan dalam pembentukan birokrasi yang ideal bagi organisasi
yang mengurusi pertanahan. Berikan alasannya
Jawab :
Upaya untuk mewujudkan system pemerintah yang demokratis dan tidak sentralistik serta
otoritarian telah diterapkan dengan konsep otonomi daerah yang diterapkan sejak tahun
1999. Dari sisi manajemen pemerintahan, penerapan desentralisasi dan otonomi daerah
merupakan instrument utama untuk mencapai suatu Negara yang demokratis dan
pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Tetapi dalam pelaksanaanya
selama ini, kebijakan otonomi daerah masih menghadapi beberapa kelemahan, seperti
otonomi daerah hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institutional belaka,
perhatian dalam otonomi daerah hanya pada masalah pengalihan kewenangan dari pusat ke
daerah, tetapi mengabaikan esensi dan tujuan kebijakan terserbut, otonomi daerah tidak
dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan prakarsa manyarakat di daerah sesuai
tuntutan alam demokrasi.

Desentralisasi merupakan isu strategis lainnya yang menjadikan perhatian dalam reformasi
birokrasi. Desentralisasi adalah sebuah bentuk pemindahan tanggung jawab, wewenang,
dan sumber-sumber daya (dana, personel,dan lain-lain) dari pemerintah pusat ketingkat
pemerintahan dibawahnya.Dasar dari inisiatif ini adalah bahwa proses desentralisasi dapat
memindahkan proses pengambilan keputusan ke tingkat pemerintah yang lebih dekat
dengan masyarakat. Karena merekalah yang akan merasakan langsung pengaruh program
pelayanan yang dirancang dan klemudian dilaksanakan oleh pemerintah.
1. Lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang
mengfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada
masyarakat.
2. Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat
mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah
dibangun bersama.
3. Menerapkan system kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan public tertentu
sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas.
4. Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil
(outcome) sesuai dengan masukan yang digunakan.
5. Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
6. Pada hal tertuntu pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapat dari
masyarakat dari pelayanan yang dilaksanakan.
7. Lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan
8. Lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan.
9. Menerapkan system pasar dalam memberikan pelayanan.

Selain itu, pelayana public juga harus (1) memiliki dasar hokum yang jelas dalam
penyelenggaraannya, (2) memiliki stakeholder yang luas, (3) memiliki tujuan social, (4)
dituntut untuk akuntabel kepada public, dan (5) memiliki indicator performance
(Mohamad, 2003 dalam Bapenas, 2004).

2. Budi mendapatkan tanah hak pakai dari salah satu Lembaga kementerian Negara. Di atas
nya budi telah mendirikan rumah tinggal yang telah mendapatkan izin bangun sejak tahun
1970 dengan biaya pribadi, Budi melakukan banyak upaya untuk mengurusi persoalan tanah
ini, beberapa kali Budi mendatangi pihak biro umum Lembaga terkait untuk pengurusan
tanah tersebut menjadi hak milik tapi tidak berjalan dengan baik dengan alasan peraturan
yang selalu berubah - ubah dan bahkan harus sampai tingkatan Menteri atau Presiden yang
mana menurut budi akan sulit dicapai oleh rakyat biasa sepertinya
Soal
Dari uraian diatas silahkan saudara analisis berdasarkan peraturan perundang – undangan,
yang mendasari Budi mendapatkan Hak pakai tanah tersebut, proses pengalihan hak guna
pakai dan solusi terbaik bagi budi untuk menjadikan tanah tersebut Hak Milik. Pastikan
setiap jawaban berbasiskan ketentuan hukum yang berlaku
Jawab :
Pastikan terlebih dahulu apakah tanah tersebut adalah Tanah Negara atau bukan. Jika bukan
Tanah Negara dimungkinkan tanah tersebut adalah tanah Hak Pakai atau tanah Hak
Pengelolaan atas nama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
 
Tanah Negara didefinisikan oleh banyak peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

1. Tanah Negara, ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara;


2. Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara adalah tanah yang tidak
dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah;
3. Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara yang selanjutnya disebut
Tanah Negara adalah tanah yang tidak dilekati suatu hak atas tanah dan bukan
merupakan Barang Milik Negara/Daerah dan atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah.

Kemudian, di bawah ini akan kami singgung mengenai sejarah singkat peraturan
perundang–undangan di bidang pertanahan yang berkaitan dengan permasalah Anda.
 
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 tentang Penguasaan
Tanah-Tanah Negara (“PP 8/1953”), diatur kewenangan penguasaan Tanah Negara pada
Menteri Dalam Negeri, maka Menteri Dalam Negeri berhak:

1. Menyerahkan penguasaan itu kepada sesuatu Kementerian, Jawatan atau Daerah


Swatantra untuk keperluan-keperluan mereka dengan mengindahkan ketentuan-
ketentuan yang diadakan oleh Menteri Dalam Negeri.
2. Mengawasi agar supaya Tanah Negara tersebut dipergunakan sesuai dengan
peruntukannya dan berhak mencabut penguasaan atas Tanah Negara dengan alasan:
a. penyerahan penguasaan itu ternyata keliru atau tidak tepat lagi;
b. luas tanah yang diserahkan penguasaannya itu ternyata sangat
melebihi keperluannya;
c. tanah itu tidak dipelihara atau tidak dipergunakan sebagai mana mestinya.

 
Selain itu, di dalam hal penguasaan atas tanah Negara sebelum tanggal 27 Januari 1953 telah
diserahkan kepada sesuatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra, maka Menteri
Dalam Negeri pun berhak mengadakan pengawasan terhadap penggunaan tanah itu dan
bertindak sesuai kewenangannya.
 
Mulai dari terbitnya peraturan ini, Tanah Negara dapat diserahkan penguasannya pada
Departeman (Kementerian). Seiring perkembangan hukum tanah nasional dan
lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (“UUPA”), PP 8/1953 diberikan penegasan terkait status Tanah Negara dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan
Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang
Kebijaksanaan Selanjutnya (“Permen Agraria 9/1965”). Dalam peraturan ini memberikan
suatu penegasan yang mana Tanah Negara yang digunakan oleh pihak–pihak yang diatur
dalam  PP 8/1953, diklasifikasikan dalam suatu hak atas tanah yaitu Hak Pakai atau Hak
Pengelolaan sebagai berikut:[7]
 
Pasal 4 Permen Agraria 9/1965
Dengan menyimpang seperlunya dari ketentuan-ketentuan tersebut dalam Peraturan
Pemerintah No. 8 Tahun 1953, maka tanah-tanah Negara yang oleh sesuatu Departemen,
Direktorat atau daerah Swatantra dimaksudkan untuk dipergunakan sendiri, oleh Menteri
Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya akan diberikan kepada instansi tersebut
dengan “hak pakai” yang dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria.
 
Pasal 5 Permen Agraria 9/1965
Apabila tanah-tanah Negara sebagai dimaksud dalam pasal 4 di atas, selain dipergunakan
oleh instansi-instansi itu sendiri, juga dimaksudkan untuk diberikan dengan sesuatu hak
kepada pihak ketiga, maka oleh Menteri Agraria tanah-tanah tersebut akan diberikan
kepada instansi tersebut dengan “hak pengelolaan”.
  
Dasar penggunaan Hak Pakai dapat diketahui pula pada Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (“PP
40/1996”). Yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah:

1. Warga Negara Indonesia;


2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia;
3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
4. Badan-badan keagamaan dan sosial;
5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
6. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.

 
Jika tanah yang Anda maksud adalah Hak Pakai atau tanah Hak Pengelolaan atas nama
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka ketentuan terkait Barang Milik
Negara[9] harus dipatuhi pada objek tanah ini.
 
Pelepasan, penghibahan, penjualan dan perbuatan lain yang pada intinya pemindahtanganan
tanah yang merupakan Barang Milik Negara yang dikuasai oleh Kementerian, maka Menteri
atas kewenangannya harus mengetahui dan mengizinkan perbuatan tersebut sebagai
pengguna Barang Milik Negara. Tidak hanya Menteri sebagai pengguna Barang Milik
Negara ini saja yang melaksanakan hal tersebut, tetapi peraturan perundang–undangan juga
mengatur bahwa Menteri tersebut harus mengajukan permohonan usulan pemindahtanganan
Barang Milik Negara melalui Menteri Keuangan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal
4 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah (“PP 27/2014”) sebagai berikut:

1. Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara adalah Pengelola Barang Milik
Negara.
2. Pengelola Barang Milik Negara berwenang dan bertanggung jawab:
a. merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan Barang
Milik Negara;
b. meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan Barang Milik Negara;
c. menetapkan status penguasaan dan Penggunaan Barang Milik Negara;
d. mengajukan usul Pemindahtanganan Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau
bangunan yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”);
e. …

 
Perlu diketahui bahwa tanah/bangunan termasuk pemindahtanganan Barang Milik
Negara yang dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR.
 
Maka pemindahtangan ini memang rumit karena tanah tersebut merupakan aset Kementerian
yang merupakan Barang Milik Negara. Dapat memiliki tanah ini salah satunya dengan cara
pemindahtanganan atau tanah tersebut telah dicabut hak atas tanahnya karena hal–hal
tertentu yang diatur oleh peraturan perundang–undangan yang salah satu alasanya adalah
penelantaran.[11] Jika Hak Pakai atas nama Kementerian tersebut tidak memiliki jangka
waktu berdasar Pasal 45 ayat (1) PP 40/1996, maka hak ini tidak dapat dialihkan kecuali
dicabut haknya karena tidak lagi memenuhi syarat atau Kementerian melepaskan hak atas
tanah tersebut. Apabila kedua hal ini terjadi maka konsekuensinya tanah tersebut kembali
menjadi Tanah Negara.
 
Sebelum tahun 1975 terdapat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang
Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah (“Permendagri 6/1972”) di mana
dalam Pasal 2 huruf C dijelaskan sebagai berikut:
 
Gubernur Kepala Daerah memberi keputusan mengenai permohonan pemberian hak milik
atas tanah Negara:  

1. Kepada para transmigran;


2. Dalam rangka pelaksanaan Landreform;
3. Kepada para bekas gogol tidak tetap, sepanjang tanah itu merupakan bekas gogolan
tidak tetap.

Dari peraturan tersebut dapat dipahami alasan pemberian Hak Milik atas Tanah Negara
kepada seorang warga negaranya dan tidak lain dari 3 (tiga) sebab ini. Maka dapat
dipastikan surat izin bangun yang diberikan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
merupakan izin untuk menggunakan tanah tersebut dan bukan untuk memilikinya dengan
hak atas tanah, kecuali instansi ini telah mengatur cara peralihannya tersendiri yang telah
dipahami berdasarkan peraturan perundang–undangan.
 
Sehingga dapat disimpulkan, mencari status hukum hak atas tanah merupakan hal terpenting
dalam permasalahan ini, agar Anda dapat menindaklanjuti dengan peralihan hak atas tanah
untuk dirinya atau menguasai tanah tersebut dengan hak milik, dengan catatan tanah tersebut
adalah tanah negara yang bebas dan telah dihuni dengan jangka waktu yang lama
berdasarkan peraturan perundang–undangan.

3. Uraian
Niat pemerintah kabupaten Gunungkidul untuk melakukan revitalisasi pantai selatan
mengalami sedikit kendala lantaran ada penolakan dari warga Desa Kemadang,
Tanjungsari. Padahal apabila tidak cepat dilakukan revitalisasi akan berdampak buruk bagi
daerah sekitar, akibat sudah semakin rusaknya lingkungan didaerah tersebut. Terdapat
setidaknya ada 3 warga yang menolak ganti rugi bahkan setelah melewati beberapa kali
musyawarah. Kepala Bidang Pertanahan, Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Gunungkidul,
Agus N Wihariyadi menjelaskan bahwa pembebasan lahan untuk penataan pantai selatan
akan dimulai pada 2019, namun meleset karena adanya penolakan dari warga.
Soal :

Dari uraian diatas diketahui bahwa pemerintah sedang melakukan kegiatan revitalisasi,
dengan tujuan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih parah dan
menyebabkan bencana alam, tapi setelah beberapa kali musyawarah masih ada beberapa
warga yang menolaknya, untuk itu coba saudara analisis usaha seperti apa yang dapat
dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan tanah tersebut dengan berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku ? berikan alasannya.
Jawab :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1960
TENTANG
PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:a.bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan


rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang
angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting
untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur;
b.bahwa hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan
tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga
bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara di dalam menyelesaikan revolusi
nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
c.bahwa hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat
di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
d.bahwa bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum;

Berpendapat: a. bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-


pertimbangan di atas perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasar atas hukum adat
tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama;
b.bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya, fungsi
bumi, air dan ruang angkasa, sebagai yang dimaksud di atas dan harus sesuai dengan
kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman
dalam segala soal agraria;
c.bahwa hukum agraria nasional itu harus mewujudkan penjelmaan dari pada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Perikemanusiaan. Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sebagai
azas kerokhanian Negara dan cita-cita bangsa, seperti yang tercantum di dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar.
d.bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan
Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden
tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan
memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun
secara gotong-royong;
e.bahwa berhubung dengan segala sesuatu itu perlu diletakkan sendi-sendi dan disusun
ketentuan-ketentuan pokok baru dalam bentuk Undang-undang yang akan merupakan dasar
bagi penyusunan hukum agraria nasional tersebut di atas;

Memperhatikan:Usul Dewan Pertimbangan Agung Sementara Republik Indonesia No.


I/Kpts/Sd/II/60 tentang Perombakan Hak Tanah dan Penggunaan Tanah;

Mengingat:a.Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959;


b.Pasal 33 Undang-undang Dasar;
c.Penetapan Presiden No. 1 tahun 1960 (Lembaran Negara 1960 No. 10) tentang Penetapan
Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 sebagai Garis-garis besar
dari pada haluan Negara dan Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960;
d.Pasal 5 jo. 20 Undang-undang Dasar;

4.Uraian
Pak Andi sedang mencari tanah dan bangunan daerah Depok, setelah mencari beberapa lama
pak Andi menemukan dua tanah dan bangunan yang cocok. Harga tanah pertama
Rp.500.000.000, dengan NJOP dalam SPPT Bernilai Rp.480.000.000. dan Harga tanah
kedua Rp.300.000.000 dengan NJOP dalam SPPT Bernilai Rp.280.000.000

Soal.
Berdasarkan data di atas silahkan saudara hitung, Berapa besar biaya BPHTB terhutang yang
harus dibayar pak Andi untuk membeli kedua tanah, jika di wilayah Kota tersebut NPOPTKP
diluar waris/hibah wasiat Rp.200.000.000.

Jawab :

BPHTB adalah Tarif Pajak 5% x Dasar Pengenaan Pajak (NPOP – NPOPTKP)

Tanah 1
5% X (480.000.000-200.000.000)
5% X (280.000.000)
= Rp 14.000.000

Tanah 2
5% X (280.000.000-200.000.000)
5% X (80.000.000)
= Rp 4.000.000

Jadi total besar biaya BPHTB terhutang yang harus dibayar Pak Andi untuk kedua tanah
tersebut adalah Rp 14.000.000,- + Rp 4.000.000,- = Rp 18.000.000,-

Anda mungkin juga menyukai