Anda di halaman 1dari 10

Judul : Orang Indonesia dan Tanahnya

Penulis : Cornelis Van Vollenhoven


Penerbit : Sajogyo Institute, Perkumpulan
HuMa, STPN Press, Tanah Air Beta
Penerjemah : Soewargono
Tebal : 218 halaman
Tahun Terbit : 2013
ISBN : 602-7894-07-5

ORANG INDONESIA DAN TANAHNYA


BAB IX - RENCANA UNDANG-UNDANG YANG BELUM DIPUTUSKAN
Nanda Putri Agustina, Vedya Marchindy Andea, Devindya Citra Prameisti Putri, Keisya
Yvoni Riesvandha, Rusyiana, Alya Lutfianti
nandaputri@students.unnes.ac.id , vedyamarchindyandea@students.unnes.ac.id ,
devindyacitra20@students.unnes.ac.id , yvonikeisya@students.unnes.ac.id ,
rusyianarusyi@students.unnes.ac.id , lutfiantialya@students.unnes.ac.id
Departemen Hukum, Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Negeri Semarang

Dalam buku ini, pada bab 9 dibahas mengenai Rencana Undang - Undang yang belum
diputuskan. Dalam buku ini dijelaskan bahwa Rencana Undang - Undang yang diusulkan
pada tanggal 29 Mei 1918 untuk mengubah pasal 62 Regeeringsreglement ( peraturan
pemerintah ) telah mengabaikan pernyataan dan nasihat yang telah diberikan sebelumnya
mengenai hak - hak penduduk atas tanah pertaniannya. Anjuran yang diberikan sebelumnya
adalah bahwa hak - hak penduduk harus dihormati dan tidak boleh diambil kecuali dengan
suatu pencabutan hak milik dalam bentuk Undang - Undang. Namun, dalam rencana Undang -
Undang tersebut, hak - hak penduduk hanya dihormati sejauh itu dapat sesuai dengan
kepentingan umum dan diatur dengan peraturan umum. Hal ini berarti bahwa hak - hak
tersebut diserahkan ke tangan para birokrat untuk diatur dan diawasi. Meskipun pendapat para
birokrat dianggap adil, pendapat ini menimbulkan dua keberatan, yaitu pengambilan paksa
tanah milik yang masih lekat dan melepaskan tanah dari hubungan hukum adat dan ikatan
desa Indonesia. Rencana Undang- Undang tersebut juga mengubah hak milik pribumi menjadi
hak eigendom Barat secara berangsur - angsur, dimulai di Jawa dan Madura saja, yang akan
membuat hak milik pribumi atau inlandsch bezitrecht lenyap dalam jangka waktu yang
panjang di seluruh daerah di luar Jawa dan Madura. Ini akan menghilangkan kepastian hukum
bagi penduduk asli.

Rencana Undang - Undang yang hendak diterapkan di Hindia Belanda terkait dengan
masalah tanah pertanian. Rencana Undang - Undang tersebut mencakup beberapa hal, antara
lain pembuktian tertulis untuk surat asli dari Agrarisch Besluit tahun 1870, larangan
pengasingan serta penggadaian tanah kepada orang-orang Eropa, Tionghoa, dan Arab,
penyewaan tanah ( grondverhuur ), pengakuan hak atas tanah pertanian oleh orang - orang
luaran, dan milik komunal. Namun, rencana Undang - Undang ini dinilai tidak tepat karena
mengandung beberapa kekeliruan dan ketidakadilan, seperti memperhubungkan pembuktian
tertulis dengan perubahan menjadi eigendom Barat, tidak memberikan kepastian hukum bagi
masalah tanah pertanian, dan menjadikan milik komunal sebagai milik desa yang akan
menghancurkan inlandsch bezitrecht yang telah berakar kuat dalam perasaan hukum orang
Indonesia.

Mengenai hak - hak atas tanah liar, maka anjuran kita ialah agar supaya hak - hak
tersebut ditetapkan ( geconstateerd ) secara luas dan kenyal, pula hendaknya diingat akan
perhubungannya dengan lembaga - lembaga rakyat yang lain, dan bahwa pemeliharaan akan
hak - hak tersebut tidak boleh di abaikan (terutama mengenai onteigening atau pencabutan
hak milik ). Hanya saja Perundang - Undangan agraria kita memang diperbolehkan untuk
membuat peraturan - peraturan yang bersifat mendidik dan menuntun orang - orang Indonesia
itu. Adapun larangan untuk menyerahkan tanah - tanah negeri ( landgrond ) atau
memberikannya sebagai eigendom tetap dipertahankan di dalam rencana Undang - Undang
ini, dengan sedikit tambahan - tambahan yang merupakan suatu perbaikan. Akhirnya di dalam
penjelasan atas rencana Undang - Undang itu, dapat di lihat dengan jelas adanya sifat hendak
menjauhkan diri dari hukum yang hidup dikalangan rakyat Indonesia.

Salah satu isu yang penting yang terkait dengan tanah adalah masalah pertanahan.
Masalah ini terkait dengan kepemilikan dan penguasaan atas tanah yang sering kali
menimbulkan konflik antara masyarakat dan perusahaan atau pemerintahan. Undang -
Undang yang belum diputuskan harus mampu untuk mengatasi sebuah permasalahan ini
dengan memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dalam hal kepemilikan dan
penguasaan atas tanah.
Selain masalah yang berkaitan dengan pertanahan, pengelolaan tanah juga menjadi
salah satu isu penting yang harus di atur dalam Undang - Undang yang belum diputuskan.
Pengelolaan tanah yang buruk dan tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan
sangat merugikan masyarakat sekitar. Dalam menetapkan sebuah peraturan Perundang -
Undangan harus mampu mengatur serta mengelola tanah secara berkelanjutan dengan
memperhatikan aspek lingkungan dan kesejahteraan masyarakat yang ada.

Pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan peruntukannya dapat menyebabkan


kerugian yang besar bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, Undang - Undang yang
belum di putuskan harus mampu mengatur pemanfaatan tanah dengan cara bijaksana. Selain
itu, Undang - Undang juga mempunyai tanggung jawab terhadap pengaturan yang
bersangkutan dengan tata ruang yang baik agar pemanfaatannya dapat dilakukan secara
efektif dan efisien.

Perlindungan hukum terhadap masyarakat yang memiliki hak atas tanah juga menjadi
sebuah permasahan penting yang harus diatur dalam Undang - Undang yang belum
diputuskan. Hal yang bisa di cantumkan dalam Undang - Undang tersebut bisa berupa hak
atas tanah, kompensasi atas kerugian, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran terkait
tanah. Selain bersangkutan dengan hak atas tanah peraturan yang dibentuk juga harus meliputi
tentang perlindungan hukum yang kuat bagi masyarakat agar mereka tidak merasa dirugikan
oleh praktik - praktik yang merugikan dalam hal kepemilikan dan penguasaan atas tanah
tersebut.

Hak milik atas tanah juga memiliki karakteristik – karakteristik tertentu yang
membedakannya dengan hak – hak atas tanah lainnya. Pertama, hak milik atas tanah bersifat
mutlak, artinya pemilik hak milik tanah tersebut dapat melakukan apaun terhadap tanah
tersebut selama tidak melanggar hukum dan tidak seorang pun mempunyai hak untuk
mengusik hak nya terhadap tanah tersebut. Kedua, hak milik atas tanah bersifat eksklusif,
artinya pemilik hak milik memiliki hak untuk mengecualikan orang lain dari penggunaan
tanah tersebut. Ketiga, hak milik atas tanah bersifat abadi, artinya hak ini tidak terbatas waktu
maupun tempat, dan dapat diwariskan ke generasi berikutnya

Meskipun hak milik atas tanah bersifat mutlak, namun ada beberapa pembatasan –
pembatasan yang di berlakukan oleh hukum. Salah satu pembatasan tersebut adalah adanya
hak - hak publik seperti hak untuk jalan umum, jalur pipa, dan sebagainya. Selain itu,
pemerintah juga dapat melakukan pembatasan terhadap penggunaan tanah untuk kepentingan
umum seperti pembangunan jalan tol, bandara, dan sebagainya. Pembatasan - pembatasan ini
harus di lakukan dengan cara yang adil dan sesuai dengan peraturan Perundang - Undangan
yang berlaku.

Undang – Undang yang belum diputuskan dapat berdampak pada kehidupan


masyarakat. Misalnya, jika Undang - Undang tentang ketenagakerjaan belum diputuskan,
maka hak - hak pekerja mungkin tidak terlindungi dengan baik. Selain itu, Undang - Undang
yang belum di putuskan juga dapat mempengaruhi invertasi dan pertumbuhan ekonomi suatu
negara karena investor mungkin memiliki sebuah keraguan dalam melakukan invertasi jika
Undang- Undang yang berkaitan dengan hal tersebut belum jelas.

Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan Undang - Undang yang belum di
putuskan, di perlukan upaya dari semua pihak terkait. Pemerintahan harus berkomitmen untuk
mempercepat proses pembahasan Undang - Undang tanpa mengorbankan kualitas dan
keadilan. Selain peran dari pemerintah, masyarakat juga mempunyai peran yang cukup
penting dalam menerapkan sebuah peraturan Perundang - Undangan, yaitu dapat turut serta
dalam proses pembahasan Undang - Undang dengan memberikan masukan dan pendapat
mereka kepada anggota parlemen atau pemerintahan, karena dalam pembuatan Undang -
Undang juga banyak mecakup tentang hak dan kewajiban masyarakat.

Undang - Undang yang belum diputuskan adalah masalah yang sering terjadi dalam
sistem hukum yang belaku di Indonesia. Proses pembahasan Undang - Undang memang
memakan waktu yang cukup lama, namun hal itu perlu di lakukan untuk memastikan bahwa
Undang - Undang yang disahkan benar - benar dapat melindungi kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu, di perlukan upaya dari semua pihak terkait untuk mempercepat proses
pembahasan Undang - Undang tanpa mengorbankan kualitas dan keadilan agar Undang -
Undang yang di sahkan dapat bermanfaat untuk semua pihak.

Vondel Rencana Undang - Undang untuk mengubah pasal 62 Regeeringsreglement


yang dimajukan pada tanggal 29 mei 1918, ternyata telah mengabaikan pernyataan -
pernyataan atau nasihat - nasihat yang telah kita paparkan di dalam bab - bab yang lalu. Jadi
tanah - tanah yang di usahakan oleh orang - orang Indonesia tidaklah boleh di ambil, kecuali
dengan suatu pencabutan hak milik dalam bentuk Undang - Undang. Dua dari memori
penjelasan itu sendiri, maka perubahan menjadi eigendom Barat tersebut akan "dijalankan
secara berangsur - angsur sekali dan " mula - mulanya di Jawa dan Madura saja ", sehingga di
dalam jangka waktu yang panjang, untuk seluruh daerah - daerah luar Jawa dan untuk
sebagian besar pulau Jawa dan Madura hak milik pribumi atau inlandsch bezitrecht akan
lenyap. Dan meskipun hal ini hanya di batasi untuk tanah - tanah yang sekarang sungguh -
sungguh dimiliki dengan hak eigendom Timur, maka akan timbullah kekacauan dalam
ketertiban hukum dan kesadaran hukum bagi penduduk.

Selanjutnya telah berulang – ulang di sebutkan di dalam uraian - uraian yang lalu,
bahwa tidak ada tuntutan praktek yang lebih di butuhkan daripada memberikan surat - surat
bukti tertulis kepada orang - orang yang mempunyai surat asli dari 138 Orang Indonesia dan
Tanahnya Agrarisch Besluit tahun 1870. Tetapi cara pembuktian tertulis yang penting itu
ternyata sangat diperlambat, oleh karena rencana Undang - Undang tersebut meneruskan
kesalahan dari tahun 1872, yaitu memperhubungkan pembuktian tersebut dengan perubahan
menjadi eigendom Barat. Hal mengenai dipertahankannya peraturan mengenai menyewakan
tanah didalam ayat 9 dari rencana Undang - Undang itu juga baik, meskipun untuk
menghilangkan keragu - raguan tentang izin mempersewakan tanah di daerah luar Jawa yang
belum mengenal suatu peraturan mengenai hal ini, oleh redaksi istilah geschiedt hendaknya
diubah menjadi geschiedt niet onders dan . Mengenai kepastian hukum bagi masalah tanah
pertanian agar menuntut supaya pengambilan manfaat oleh orang - orang luaran atas sawah -
sawah yang tetap dan juga hak mengambil manfaat atas ladang yang berpindah - pindah
diakui.

Rencana Undang - Undang tersebut memasukkan hal ini didalam timbunan besar dari
apa yang disebut " hak - hak lain daripada penduduk bumiputera" , dimana para - para
birokrat boleh berbuat apa saja yang di kehendaki. Tetapi, rencana Undang - Undang tersebut
hendak menjadikan milik komunal itu suatu milik desa , karena menurut memori penjelasan
tersebut diatas, desa lah yang dianggap mempunyai hak untuk " mengambil manfaat dengan
bebas dan penguasaan secara bebas " atas tanah - tanah sawah itu. Anggapan sebagai
dorpseigendom ini tentu saja ibarat suatu hukuman mati bagi pemilik sawah yang akan
membebaskan diri, dan pula pemberian sawah - sawah yang balik dikuasai desa kepada
orangorang baru akan menjadi beku karenanya. Demikian pula inlandsch bezitrecht yang
telah berakar dengan kuat didalam perasaan hukum orang Indonesia, dengan sekali pukul
akan dihancurkan, jika rencana Undang - Undang itu tetap dikehendaki perubahan menjadi
hak eigenom barat.
140 orang Indonesia dan tanahnya paling sedikit dapat di tafsirkan menurut empat
macam cara yang berbeda - beda. Mengenai hak - hak atas tanah liar, maka anjuran kita ialah
agar supaya hak - hak tersebut di tetapkan secara luas dan kenyal, pula hendaknya di ingat
akan perhubungannya dengan lembaga - lembaga rakyat yang lain, dan bahwa pemeliharaan
akan hak - hak tersebut tidak boleh di abaikan . Hanya saja Perundang - Undangan agraria kita
memang di perbolehkan untuk membuat peraturan - peraturan yang bersifat mendidik dan
menuntun orang - orang Indonesia itu. Tetapi patut di sayangkan, karena peraturan - peraturan
yang bersifat jujur yang tercantum dalam pasal 62 ayat 5 dari Regeeringsreglement, akan di
ganti dengan ayat 6 dari rencana Undang - Undang tersebut, yang berarti bahwa hak - hak itu
akan di serahkan ke dalam tindakan yang sewenang - wenang dari para para birokrat.

Adapun untuk memenuhi tuntutan - tuntutan dari praktek, maka di perlukan sekali
peninjauan kembali perumusan yang sangat sempit tentang kesempatan untuk memperoleh
tanah - tanah yang tidak di budidayakan secara " sewa " , yaitu dengan jalan melunaskan
perumusan itu, ataupun dengan jalan menghapuskannya . Rencana Undang - Undang telah
menempuh jalan yang terakhir ini. Selanjutnya, pasal 62 ayat 4, ayat 5 dan ayat 6 akan
menjadi cukup baik, asal saja istilah erfpacht di ganti dengan suatu kalimat yang bersifat
hukum tata usaha seperti landbouweconcessie atau uitgifte. Sebaliknya rencana Undang -
Undang tersebut tetap mempergunakan bangunan hukum privat yang salah itu, dan
menghapuskan semua cadangan untuk beschikkingsgrond.

Disesuaikan dengan hukum yang berlaku dikalangan penduduk sendiri. Maka jika di
dalam kejadian yang konkret, pemerintah hendak menyingkirkan hak - hak penduduk yang di
anggap merintangi kemauannya, satu - satunya jalan hanyalah dengan suatu pencabutan hak
milik . Sebaliknya di dalam ontwerp itu hak - hak dari penduduk tersebut secara mentah -
mentah di serahkan kepada para birokrat yang hanya mau menghormati hak - hak ini selama
tidak di anggap bertentangan dengan kepentingan dari sistem mereka. Juga pernyataan
domein atas tanah - tanah yang tidak di budidayakan merupakan suatu kerugian dan tampak
mengandung bahaya.

Bahwa di dalam semua urusan yang berhubungan dengan tanah, konstruksi privat
tersebut ternyata telah dengan sedemikian meracuni perancang Undang - Undang itu.
Sehingga ia berpendapat, seperti yang dapat kita baca didalam S 4 memori penjelasan, bahwa
guna kepentingan pemberian eigendom, pemerintah pada setiap tahunnya dapat menyuruh
bayar sejumlah delapan ton, tetapi jika pemerintah hanya mendasarkan pemberian tersebut di
atas tindakan administratif, maka jumlah sebanyak itu tidak dapat tercapai. Tetapi bukankah
dalam pemberian izin untuk penyelidikan tanah dan pertambangan, untuk konsesi
pertambangan dan lain - lain pemberian yang bersifat administratif tidak ada beban pajak
semacam itu? 142 orang Indonesia dan tanahnya dengan sungguh pun jumlah yang harus
dibayar itu secara tidak tahu malu adalah sangat tinggi, maka perbuatan yang tidak dianjurkan
itu akan tetap bersifat tidak jujur juga, meskipun pemerintah menamakan dirinya sebagai
pemilik. Adapun larangan untuk menyerahkan tanah - tanah negeri atau memberikannya
sebagai eigendom tetap dipertahankan didalam rencana undang-undang ini, dengan sedikit
tambahan-tambahan yang merupakan suatu perbaikan. Menurut hemat kami, suatu penjelasan
yang tidak dapat memberi keterangan yang sewajarnya atas suatu materi yang sedemikian
nyata dan telah banyak dihapus secara mendalam, hanyalah merupakan suatu gambaran dari
jiwa yang merana.

Nafsu yang berkobar - kobar yang berkehendak agar supaya setiap pembaharuan
dimulai dari pulau Jawa, meskipun daerah - daerah luar Jawa lebih banyak meminta perhatian,
telah menjadi pokok kepercayaan didalam penjelasan itu. Maka, barang siapa yang sekali lagi
suka menjelajah seluruh persoalan ini, akan tampak dengan jelas betapa hebatnya perbedaan
antara anggota - anggota parlemen dari tahun 1866 dan 1867 disatu pihak dan tuan - tuan para
birokrat dari tahun 1918 dan 1919 dilain pihak, baik dalam pandangan - pandangannya
maupun didalam kepentingan - kepentingannya C. Van Vollenhoven 143 yang sesungguhnya.
Keadaan yang buruk dewasa ini lebih hebat lagi kita rasakan, jika diingat, bahwa usulan -
usulan tersebut diatas diajukan pada waktu kebimbangan, rasa tidak percaya serta perasaan
harga diri sedang tumbuh dikalangan penduduk.

Selain itu, pada buku ini juga membahas mengenai Hak Ulayat. Hak ulayat dalam
kemasyarakatan ( hukum ) adat dalam pengertian Vollenhoven di atas yang juga kemudian di
idealkan oleh politik hukum agraria Indonesia, bukanlah ( kemasyarakatan ) adat dalam
pengertian kerajaan beserta segenap hak - hak feodalnya. Konsep terakhir ini pada era
kemerdekaan disebut sebagai unit swapraja. Disebut swa - praja dalam konteks hubungan
kerajaan dengan VOC atau selanjutnya pemerintah Kolonial: kerajaan diberi kewenangan
mengelola pemerintahannya sendiri. Hubungan ini ditandai dengan kontrak politik ( lange
contract dan korte verklaring ). Tujuannya bukan untuk memerdekaan kerajaan, namun justru
dengan terikat secara politik itu kerajaan berada di bawah kendali kekuasaan kolonial, serta
tersembunyi tujuan agar rakyat mudah dikendalikan oleh raja - rajanya sendiri sehingga tidak
melakukan perlawanan.
Van Vollenhoven juga menyampaikan tuntutannya kembali kepada pemerintah untuk
menghentikan sesegera mungkin maksud penghapusan Pasal 62 Regeringsreglement 1854.
Lalu menganjurkan penggantian beberapa redaksi kalimat yang lebih baik untuk kepentingan
rakyat pribumi. Hal ini dikarenakan peraturan - peraturan yang bersifat jujur yang tercantum
dalam pasal 62 ayat 5 dari Regeeringsreglement akan diganti dengan ayat 6 dari rencana
Undang - Undang tersebut, yang berarti bahwa hak - hak itu akan diserahkan kedalam
tindakan yang sewenang - wenang dari para para birokrat. Adapun untuk memenuhi tuntutan -
tuntutan dari praktek tersebut, maka diperlukan sekali peninjauan kembali perumusan yang
sangat sempit tentang kesempatan untuk memperoleh tanah - tanah yang tidak di budidayakan
secara “ sewa ” ( huur ), yaitu dengan jalan melunaskan perumusan itu, ataupun dengan jalan
menghapuskannya ( karena telah menjadi kolot, verouderd ). Rencana Undang - Undang telah
menempuh jalan yang terakhir ini.

Kemudian pada pasal 62 ayat 4,ayat 5 dan ayat 6 di nilaiakanmenjai cukup baik
apabila istilaherfpacht di rubah dengan suatu kalimat yang sifatnya hukum tata usaha seperti
landbouweconcessie atau uitgifte. Rencana Undang - Undang tersebut tetap mempergunakan
bangunan hukum privat yang salah itu, dan menghapuskan semua cadangan untuk
beschikkingsgrond. Seterusnya, agar supaya peraturan - peraturan agraria dapat berguna,
maka haruslah peraturan - peraturan untuk “ buka tanah ” mengumpulkan hasil - hasil dsb.
Disesuaikan dengan hukum yang berlaku di kalangan penduduk sendiri. Maka, jika didalam
kejadian yang konkret, pemerintah hendak menyingkirkan hak - hak penduduk yang dianggap
merintangi kemauannya, satu - satunya jalan hanyalah dengan suatu pencabutan hak milik.
Adapun larangan untuk menyerahkan tanah - tanah negeri atau memberikannya sebagai
eigendom tetap di pertahankan di dalam rencana Undang - Undang ini, dengan sedikit
tambahan - tambahan yang merupakan suatu perbaikan. Akhirnya, di dalam penjelasan atas
rencana Undang - Undang itu, dapat dilihat dengan jelas adanya sifat hendak menjauhkan diri
dari hukum yang hidup di kalangan rakyat Indonesia: ia tidaklah menjelaskan persoalannya
dengan sungguh - sungguh, tetapi dengan sengaja hendak membawa parlemen kearah jalan
yang sesat.
Pernyataan – pernyataan domein atas tanah – tanah yang tidak di budidayakan
merupakan suatu kerugian yang tampak mengandung unsur bahaya. Bahwa di dalam
semuaurusan yang ada hubungannya dengantanah, konstruksi privat tersebut ternyata telah
dengan se demikian rupameracuni parancang undang undang itu. Seperti yang dapat kit abaca
bahwa guna untuk kepentingan pemberian eigendom, pemerintah setiap tahun dapatmenyuruj
bayar sejumlah delapan ( 8 ) ton tetaoi jika pemerintah hanya mendasar pemberian trsebut
diatas tindakan administratif ( administratiefchtelijke daad ) maka jumlah sebanyak itu tidak
dapat tercapai.

Larangan untuk menyerahkan tanah - tanah negeri ( landgrond ) atau memberikannya


sebagai eigendom tetap dipertahankan di dalam rencana Undang - Undang ini dengan sedikit
adanya tambahan - tambahan yang merupakan suatu bentuk perbaikan. Akhirnya di dalam
penjelasan atas rencana Undang - Undang itu, dapat di lihat dengan jelas bahwa adanya sifat
hendak menjauhkan diri dari hukum yang hidum di kalangan masyarakat Indonesia dengan
tidak di jelaskan persoalan persoalannya dengan sungguh - sungguh tetapi dengan sengaja
hendak membawa parlemen menuju ke arah jalan yang tidak benar atau sesat.

Kesimpulan yang dapat diambil dari dalam buku ini dinilai bahwa Undang - Undang
yang dirubah merugikan banyak kalangan, terlebih lagi pada masyarakat bawah. Sedangkan
untuk bahasa, bahasa yang digunakan dalam BAB IX pada buku ini yaitu menggunakan
bahasa yang mudah untuk dipahami bahkan dari khalayak umum. Selain itu, kalimat yang
digunakan pada buku ini, khususnya pada BAB IX bukanlah kalimat yang kaku dan baku.
Adapun secara ilmiah buku ini menjelaskan mengenai perjuangan Tanah Air masyarakat adat.

Anda mungkin juga menyukai