0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
53 tayangan20 halaman
Dokumen tersebut membahas sistem pengaturan penguasaan lahan di Indonesia secara historis, mulai dari masa kolonial hingga pasca kemerdekaan. Sistem ini dipengaruhi oleh hukum adat maupun hukum formal. Dokumen juga membahas proses pembagian lahan untuk kepemilikan perorangan dan pengembangan perumahan.
Deskripsi Asli:
Judul Asli
5. Permasalahan pada sistem pertanahan di Indonesia.ppt
Dokumen tersebut membahas sistem pengaturan penguasaan lahan di Indonesia secara historis, mulai dari masa kolonial hingga pasca kemerdekaan. Sistem ini dipengaruhi oleh hukum adat maupun hukum formal. Dokumen juga membahas proses pembagian lahan untuk kepemilikan perorangan dan pengembangan perumahan.
Dokumen tersebut membahas sistem pengaturan penguasaan lahan di Indonesia secara historis, mulai dari masa kolonial hingga pasca kemerdekaan. Sistem ini dipengaruhi oleh hukum adat maupun hukum formal. Dokumen juga membahas proses pembagian lahan untuk kepemilikan perorangan dan pengembangan perumahan.
Indonesia dapat dibagi ke dalam 2 kategori berdasarkan waktu, yaitu sistem dimana kolonial dan sistem setelah kemerdekaan.
Sistem pengaturan penguasaan lahan di masa
kolonial dapat dipilah lagi menjadi 2 kategori berdasarkan hukum yang diberlakukan, yaitu : sistem hukum tanah administrasi pemerintah Belanda dan perdata Hindia Belanda; yang didalamnya terdapat ketentuan penerapan hukum adat sehingga sering dikatakan sebagai hukum tanah yang dualistik. Hukum tanah administrasi pemerintah Belanda dituangkan dalam Agrarische Wet 1870 (Undang- undang Agraria). Hukum perdata Hindia Belanda tertuang dalam KUUHPdt 1848.
Sistem pengaturan penguasaan lahan di masa
pasca kolonial mengikuti hukum tanah nasional, yang dituangkan dalam UUPA 5/60 – 24 September 1960, yang salah satu tujuannya menghapus dualisme hukum tersebut.
Pada beberapa pasal dalam UUPA, hukum adat
mendapat tempat yang sangat berarti, dinyatakan bahwa hukum adat merupakan ‘dasar’ hukum tanah nasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa baik sebelum, maupun sesudah kemerdekaan, keberadaan hukum adat diakui dalam pengaturan penguasaan lahan Sistem Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional Dalam membangun hukum Tanah nasional (UUPA), hukum adat merupakan sumber utama untuk memperoleh bahan- bahannya, berupa konsepsi, asas-asas, dan lembaga- lembaganya, untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum yang tertulis, yang disusun menurut sistem Hukum Adat.
Sistem hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum
tanah nasional, dimulai dengan:
Hak Bangsa Indonesia, sebagai hak penguasaan atas tanah
yang tertinggi, beraspek hukum keperdataan dan publik. Hak menguasai dari Negara, yang bersumber pada Hak Bangsa dan beraspek hukum publik semata. Pelaksanaan sebagai kewenangannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain dalam bentuk Hak Pengelolaan
Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum Adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada Hak-hak Penguasaan Individual, terdiri atas: Hak-hak atas tanah Primer: Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang diberikan oleh Negara, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara Sekunder: Hak Guna Bangunan dan Hak pakai yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha bagi hasil, Hak Menumpang, hak Sewa, Hak Membuka Hutan, Hak memungut hasil- hutan. Wakaf, hak individual berasal dari Hak Milik yang sudah diwakafkan dan mempunyai sifat serta kedudukan khusus dalam Hukum Tanah Nasional Hak Jaminan atas Tanah : Hak Tanggungan Manajemen lahan
Dikutip dari Improving Urban Land Management
in Indonesia : sistem manajemen lahan meliputi seluruh tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam membantu operasionalisasi pasar lahan untuk menghasilkan jumlah lahan sebenarnya pada harga yang tepat dan lokasi yang benar.
Manajemen lahan di setiap negara berbeda-beda,
tergantung kepada aturan dalam sistem kepemerintahan negara tersebut. Di negara kapitalis pemerintah membiarkan lahan di miliki oleh rakyatnya sebebas-bebasnya, dan bebas pula memperjual belikan nya kepada siapapun, status lahan adalah milik perorangan, sehingga pemerintah sulit untuk mengambil alih lahan- lahan tersebut apabila memerlukannya untuk kepentingan publik. Sedangkan di negara berfaham sosialis, lahan tidak dimiliki oleh perorangan, tetapi dimiliki oleh pemerintah, rakyat hanya diijinkan untuk memakainya pada fungsi tertentu sesuai dengan fungsi yang sudah ditentukan. Apabila pemerintah memerlukan lahan tersebut untuk kepentingan umum, maka pengambil alihan akan lebih mudah dilaksanakan. Di negara Indonesia yang tidak menganut faham keduanya, lahan merupakan komoditi yang dapat diperjual belikan, dan mekanisme nya, pada praktek nya dikendalikan oleh pasar. Lahan diperbolehkan untuk dimiliki secara individual, sehingga apabila pemerintah memerlukan lahan untuk kepentingan umum, maka pengambil alihan harus dilakukan oleh panitia pembebasan lahan, dengan memberi ganti rugi. Pembebasan lahan dengan status lahan hak milik, amat sulit dilakukan, dan memakan waktu yang sangat lama. Sistem pembagian data yang terintegrasi yang mencakup semua instansi terkait dalam manajemen lahan sangat diperlukan untuk kota-kota Indonesia.
Sistem pembagian data yang terintegrasi akan
menghindarkan duplikasi yang tidak perlu. Ini dapat membantu dalam membangun efisiensi dan effektivitas sistem data yang lebih dan sebagai software base dalam meningkatkan manajemen lahan (terutama melalui kegunaan yang lebih baik untuk rencana tata ruang, hukum tanah, dan peraturan-peraturan, dan prosedur-prosedur yang menangani ijin-ijin yang diperlukan).
Ini juga akan membantu dalam menyediakan
kebutuhan-kebutuhan akan lahan tumbuh dan menghindarkan dari spekulasi lahan. Pembagian tanah (land subdivision) Proses sebuah bidang tanah dimiliki oleh seseorang secara individual, adalah dengan mendaftarkannya kepada BPN. Sebelumnya lahan di survey ke lokasi, kemudian dilakukan pengukuran tanah pada batas kepemilikan tanah. Karena sifatnya yang negatif, kepemilikan tanah tersebut tidak ditinjau dahulu kepemilikannya, karena sistem kepemilikan yang berlaku di Indonesia, yaitu tanah pada umumnya merupakan tanah adat yang tidak memiliki sertifikat.
Dengan sistem kepemilikan yang tidak jelas, seringkali
sebidang tanah memiliki lebih dari satu sertifikat, tanah di klaim oleh beberapa pihak yang merasa berhak atas sebidang tanah tersebut.
Dalam hal ini pihak BPN atau Pemerintah tidak bertanggung
jawab atas terbitnya lebih dari satu sertifikat pada sebidang tanah yang sama. Sengketa yang terjadi antara pihak-pihak yang meng-klaim tanah tersebut, diselesaikan sendiri di pengadilan, tanpa intervensi BPN sebagai pihak yang menerbitkan sertifikat tanah. Pihak yang memiliki bukti- bukti yang paling kuat, tentunya akan memenangkan sengketa tersebut di pengadilan. Standar kepemilikan lahan yang boleh dimiliki rakyat Indonesia, tidak diatur besarannya, dan tidak ada standard luas minimal dan maksimal lahan yang berkaitan dengan dimana lokasi lahan itu berada. Sehingga luas kapling di dalam kota sangat beragam luasnya, seseorang boleh memiliki kapling yang besar/luas sekali di pusat kota.
Dan sebaliknya juga dengan besaran kapling di pinggiran
kota, seseorang boleh memiliki lahan dengan luas kecil ditepi jalan arteri primer. Pola pembagian tanah di perkotaan terjadi secara organik atau terencana, secara organik yaitu mengikuti pola alam kontur pada bukit, atau bentuk pantai, atau bentuk sungai, atau mengikuti pola kebun, atau pola sawah. Pola pembagian tanah secara terencana yaitu lahan dibebaskan oleh pengembang, dan ditata kembali sesuai dengan kaidah pola arsitektur, yaitu pola grid, atau lainnya yang dituangkan kedalam master plan. Pembagian tanah yang dilakukan oleh pengembang, adalah dengan membebaskan lahan yang luas untuk kemudian dibagi-bagi menjadi kapling-kapling kecil, dengan metoda site planning sesuai dengan standard dan kaidah arsitektur tata letak, menghasilkan perencanaan yang jelas dan dengan pola yang teratur dan terarah. Pembagian tanah yang dilakukan oleh swasta sudah sejak tahun 1898 dilakukan di negara Inggris, dengan konsep garden city, dimana permukiman didisain dengan mengatur zona terbangun dan zona terbuka penghijauan yang seimbang, dengan jalan sebagai pembentuknya.
Munculnya Konsep Kota Taman (Garden City) dikemukakan
oleh Ebenezer Howard (1898/99), tulisan Howard yang terkenal to Morrow : a peaceful path to social reform. Di Indonesia pembagian tanah yang direncanakan oleh pengembang bangsa sendiri dimulai pada tahun 65 an, dikenal dengan perumahan BTN, dibangun perumahan dengan harga relatif murah untuk golongan menengah kebawah, berlokasi dibelakang jalan-jalan utama di pinggiran kota.
Kerjasama pemerintah dengan
lembaga keuangan pemerintah tersebut merupakan perwujudan pemerintah dalam penyediaan rumah untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sampai awal tahun 80 an kemudian para pengembang swasta mulai berpartisipasi menyediakan rumah , kota dipenuhi oleh pembangunan sporadis perumahan-perumahan di pinggir kota, koridor kota menjadi kolektor dari perumahan-perumahan tersebut yang mengakses pada jalan-jalan utama. Kapling/persil/petak tanah
Kaveling diartikan sebagai bagian tanah yang
sudah dipetak-petak dengan ukuran tertentu untuk bangunan atau tempat tinggal. (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2001). Batas kapling dapat berupa batas fisik alam, atau batas fisik buatan manusia.
Dalam tingkatan kota, kapling merupakan hirarki
terendah, dari tingkatan diatasnya yaitu kawasan, blok, dan subblok. Susunan tingkatan ini diatur pada kawasan kota didalam master plan, dan tindakan pengaturan ini dikenal dengan istilah land subdivision. Bentuk kapling bangunan pada umumnya adalah empat persegi panjang, karena bentuk ini paling mudah dipergunakan, dan dapat mencapai efisiensi ruang yang optimal.
Pola pengaturan tapak/lahan
mempengaruhi bentuk- bentuk kapling, pola linier dan grid adalah pola-pola yang paling menghasilkan kuantitas ruang dalam land subdivision.
Besaran kapling mempengaruhi bentuk
bangunan (Suriansyah, 2004), kapling yang seragam ukuran dan bentuknya, menghasilkan bentuk bangunan yang teratur dan harmonis. Di negara-negara agraris, yang lahannya didominasi oleh sawah-sawah padi, kapling terbentuk mengikuti bentuk sawah. Satu petak sawah yang telah dialihkan kepemilikannya, dibagi menjadi kapling-kapling kecil, dijual satu persatu, berubah fungsi dari pertanian menjadi perumahan. Di Indonesia pola sawah yang terbentuk pada setiap daerah berbeda-beda, tidak ada pola yang pasti, dan bentuk yang diambil pada umumnya persegi empat panjang. Apabila diamati secara alami, pola dan orientasi sawah biasanya terbentuk oleh sistem irigasi yang ada pada daerah tersebut, sungai atau irigasi buatan. Lain halnya dengan di Jepang, bentuk dan ukuran sawah diatur oleh pemerintah, sehingga pola yang terbentuk sangat teratur dan seragam, sistem irigasi unruk pengairan sawah juga dibantu oleh pemerintah, dengan teknologi yang baik. Kampung terbentuk di Jepang Kampung terbentuk pada simpul- simpul jalan