Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

desentralisasi dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan memberikan

kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi

daerah.1 Karena itu, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut

UUD 1945) antara lain menyatakan bahwa pembagian Daerah Indonesia atas

daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan

dengan undang-undang. Dalam penjelasan tersebut, antara lain dikemukakan

bahwa oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia

tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat Staat juga.

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan

daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing

mempunyai pemerintahan daerah dengan segala perangkatnya yang tersendiri

berdasarkan undang-undang.2 Daerah provinsi disamping memiliki status sebagai

daerah otonom, juga berkedudukan sebagai wilayah administrasi. Daerah

kabupaten dan daerah kota sepenuhnya berkedudukan sebagai daerah otonom,

1
HAW. Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 2.
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah,
Pasal 2 ayat (1).

1
yang menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 23 Tahun 2014) diartikan

sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Daerah Kabupaten/Kota dibagi atas Kecamatan dan Kecamatan dibagi

atas Kelurahan dan/atau Desa (Pasal 2 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014). Desa

ialah suatu kesatuan hukum, di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang

berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Desa terjadi dari hanya satu tempat

kediaman masyarakat saja, ataupun terjadi dari satu induk-desa dan beberapa

tempat kediaman sebagian dari masyarakat-hukum yang terpisah yang

merupakan kesatuan-kesatuan tempat tinggal sendiri.3

Desa telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk.

Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan

bahwa Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250

Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di

Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan

Negeri di Maluku. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh

3
Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm.16.

2
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara

Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut

dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati

hak-hak asal usul daerah tersebut. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap

diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya disebut

UU No. 6 Tahun 2014) dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43

Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 (selanjutnya disebut PP No. 43 Tahun 2014) memberikan beberapa

kewenangan kepada desa. Kewenangan-kewenangan tersebut antara lain

meliputi:

a. kewenangan berdasarkan hak asal usul;

b. kewenangan lokal berskala Desa;

c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,

atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan

d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Desa merupakan instansi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat serta

hukumnya sendiri yang menjadikannya mandiri. Secara historis desa merupakan

cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh

3
sebelum negara ini terbentuk dan dalam perkembangannya hingga saat ini menjadi

sasaran dalam pembangunan nasional.4 Pengaturan mengenai desa atau yang

disebut dengan nama lain setelah perubahan UUD 1945) dari segi

pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang menegaskan

bahwa susunan dan tata cara penyelenggaran Pemerintahan Daerah diatur dalam

undang-undang. Hal ini berarti pasal tersebut membuka kemungkinan adanya

susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Sesuai ketentuan Pasal 24 UU No. 6 Tahun 2014, Penyelenggaraan

Pemerintahan Desa berdasarkan pada asas :

a. kepastian hukum;

b. tertib penyelenggaraan pemerintahan;

c. tertib kepentingan umum;

d. keterbukaan;

e. proporsionalitas;

f. profesionalitas;

g. akuntabilitas;

h. efektivitas dan efisiensi;

i. kearifan lokal;

j. keberagaman; dan

k. partisipatif.

4
Prof. Drs. HAW. Widjaja, Op. Cit., hlm. 4.

4
Penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan oleh Pemerintah Desa (Kepala

Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa

atau yang disebut dengan nama lain).

UUD 1945 mengakui keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat

dipertegas melalui ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2)yang berbunyi Negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta

hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

undang-undang. Desa/Desa Adat bagi daerah Maluku khususnya di pulau

Ambon, lazimnya disebut Negeri. Negeri di Kota Ambon adalah sebuah

realitas sosial yang hidup, dihormati dan tetap dipatuhi oleh masyarakat karena

memiliki simbol-simbol, kharisma dan aturan-aturan yang bijak dari unsur asli

masyarakat. Setelah melalui beberapa perubahan maka lahirlah Peraturan Daerah

Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Negeri di Kota Ambon (selanjutnya

disebut Perda No. 3 Tahun 2008) yang diharapkan dapat menyelesaikan berbagai

permasalahan terkait Negeri dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat

Negeri.

Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Perda No. 3 Tahun 2008, Pemerintahan

Negeri terdiri atas Saniri Rajapatti dan Saniri Negeri Lengkap. Saniri Rajapatti

adalah badan yang secara kolektif melaksanakan pemerintahan Negeri (badan

Eksekutif). Saniri Negeri Lengkap adalah badan legislatif Negeri yang bertugas

membantu pemerintah Negeri membentuk peraturan Negeri serta melakukan

5
fungsi pengawasan. Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan

eksekutif. Tugas badan eksekutif, menurut tafsiran tradisional asas trias politica,

hanya melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh

badan legislatif serta menyelenggarakan Undang-undang yang dibuat oleh badan

legislatif. Dalam perkembangan negara modern bahwa wewenang badan

eksekutif dewasa ini jauh lebih luas daripada hanya melaksanakan Undang-

undang saja.5

Dalam kedudukanya sebagai kepala pemerintahan Negeri, Raja (Kepala

Desa) memiliki banyak kewenangan yang berkaitan erat dengan Saniri Negeri

Lengkap (Badan Permusyawaratan Desa) diantaranya yaitu :

1. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Negeri berdasarkan keputusan

yang ditetapkan bersama Saniri Negeri Lengkap.

2. mengajukan Rancangan Peraturan Negeri.

3. merencanakan, menyusun dan mengajukan Rancangan APBNegeri untuk

dibahas bersama Saniri Lengkap dan ditetapkan menjadi Peraturan Negeri.

4. menetapkan Peraturan Negeri yang telah mendapat persetujuan bersama

Saniri Negeri Lengkap.

Selain itu, UU No. 6 Tahun 2014 dan peraturan pelaksananya telah

dengan jelas melarang Raja (Kepala Desa) merangkap jabatan. Hal ini dapat

dilihat dalam Pasal 29 huruf (i) UU No. 6 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa :

5
Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2001), hlm. 208.

6
Kepala Desa dilarang : Merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau

anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik

Indonesia, DewanPerwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang

ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan.

Perda Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 dengan sangat jelas

menempatkan Raja sebagai Kepala Pemerintahan dan juga Raja sebagai ketua

dari Saniri Negeri Lengkap. Diperjelas dalam Pasal 11 Perda Kota Ambon

Nomor 3 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa :

(1) Pemerintah Negeri terdiri atas :

a. Saniri Rajapatti;

b. Saniri Negeri Lengkap;

(2) Saniri Rajapatti terdiri atas :

a. Raja;

b. Para Kepala Soa;

c. Perangkat Negeri;

(3) Saniri Negeri Lengkap terdiri atas :

a. Raja sebagai Ketua;

b. Wakil dari Soa sebagai anggota;

c. Kepala adat sebagai anggota;

d. Tua-tua Negeri sebagai anggota;

7
e. Kepala Tukang sebagai anggota;

f. Kewang sebagai anggota;

Dua jabatan yang dimilki oleh seorang Raja ini dapat menimbulkan

adanya kesewenang-wenangan yang mengakibatkan buruknya kualitas hidup

masyarakat Negeri dan ketertinggalan pembangunan Negeri.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang

akan diteliti adalah :

Bagaimana Kedudukan Raja Dalam Sistem Pemerintahan Negeri Di

Kota Ambon

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari Penelitian ini yaitu untuk mengetahui, mengkaji dan

menganalisa mengenai Kedudukan Raja dalam Sistem Pemerintahan Negeri di

Kota Ambon.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari Penelitian ini yaitu :

1) Sebagai bahan acuan dan sumbangan pemikiran kepada masyarakat dalam

mengkaji sistem pemerintahan Desa/Negeri.

8
2) Sebagai bahan informasi yang diharapkan dapat digunakan dalam almamater

sebagai pemikiran dalam mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan

khususnya dalam Hukum Tata Negara.

E. Kerangka Teoritis

Adapun kerangka pemikiran teoritis yang digunakan dalam penulisan ini

adalah sebagai berikut :

1) Teori Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan

Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua

cara,yaitu :6

a. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya

pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara

pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau

antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu negara

federal;

b. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam

pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi

pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi

dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak

6
Zul Afdi Ardian, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), hlm. 62.

9
dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu

dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama.7

Kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan

kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and balances dalam

kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu

sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya

koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti

pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai

tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi

pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya

kesewenang-wenangan.8

Kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang

mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Agar pemerintah tidak sewenang-wenang,

maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga

macam kekuasaan, yaitu Kekuasaan Legislatif yang membuat undang-undang,

Kekuasaan Eksekutif yang melaksanakan undang-undang, dan Kekuasaan

Federatif yang melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.9

7
Kusnardi dan Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara, 1988), hlm. 53.
8
Jimly Asshiddiqie S.H., Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
reformasi, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal. 12.
9
John Locke, Two Treaties of Government, http:
//wikipediaindonesia.co.id//teori/pemisahan/kekuasaan//,, Minggu 07 Februari 2016, (21:30)

10
Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis

mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang

berjudul Lesprit des Lois menawarkan alternatif yang agak berbeda dari

pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi

perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu :10

a. Kekuasaan legislatif (membuat undang-undang);

b. Kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang);

c. Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-

undang).

Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah pemisahan kekuasaan

(separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat

Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan

dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan

sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan

ala trias politica Monstesquieu.

Setelah adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi

Montesquieu, Lesprit des Lois, 1748, http : //


10

www.wikipediaindonesia.co.id//teori/pemisahan/kekuasaan// Minggu 7 Februari 2016, (21:40)

11
Republik Indonesia telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata. Beberapa

yang mendukung hal itu antara lain adalah :11

a. Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR;

b. Diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai

produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-

undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-

undang dan tidak boleh menilai undang-undang;

c. Diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR,

melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung

merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat;

d. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun

sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya;

e. Hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan

satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.

Jadi berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut

prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran

trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan

legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh

hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain,

11
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, (Jakarta: Sekretariat Jendral
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 151.

12
sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem

pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih

ada koordinasi antar lembaga negara.

2. Teori Organ

Setiap negara dijalankan oleh organ negara yang diatur dalam konstitusi.

Pengaturan kewenangan organ negara dalam konstitusi dimaksudkan agar

tercipta keseimbangan antara organ negara yang satu dengan lainnya (checkand

balances). A. Hamid Attamimi menyebutkan bahwa konstitusi adalah pemberi

pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara

harus dijalankan. Beliau juga berpendapat cara umum, konstitusi dapat dikatakan

demokratis mengandung prinsip dalam kehidupan bernegara yaitu salah satunya

adanya pembagian kekuasaan berdasarkan trias politica dan adanya kontrol serta

keseimbangan lembaga lembaga pemerintahan.

Pemahaman mengenai organ negara dikenal dengan trias politica yang

berarti bahwa kekuasaan negara dilaksanakan oleh tiga cabang kekuasaan yaitu

kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Ketiga

cabang kekuasaan tersebut diatur dan ditentukan kewenangannya oleh konstitusi.

Secara definitif alat-alat kelengkapan negara atau lazim disebut lembaga

negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi

Negara. Sebagaimana pengertian diatas maka dalam penerapan sistem

ketatanegaraan Indonesia menganut separation of power (pemisahan kekuasaan).

13
Pada sistem ini terdapat 3 (tiga) macam cabang kekuasaan yang terpisah,

yaitu eksektif dijalankan oleh Presiden, legislatif dijalankan oleh DPR, dan

yudikatif dijalankan oleh MA. Pada masa sekarang prinsip ini tidak lagi dianut,

karena pada kenyataannya tugas dari lembaga legislatif membuat undang-

undang, telah mengikutsertakan eksekutif dalam pembuatanya. Sebaliknya pada

bidang yudikatif, prinsip tersebut masih dianut, untuk menjamin kebebasan dan

memberikan keputusan sesuai dengan prinsip negara hukum.12

3. Teori Fungsional

Teori fungsional mengutarakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem

sosial yang terdiri dari bagian dan struktur-struktur yang saling berkaitan dan

saling membutuhkan keseimbangan, fungsionalisme struktural lebih mengacu

pada keseimbangan. Teori ini menilai bahwa semua sistem yang ada di dalam

masyarakat pada hakikatnya mempunyai fungsi tersendiri. Suatu struktur akan

berfungsi dan berpengaruh terhadap struktur yang lain. Maka dalam hal ini,

semua peristiwa pada tingkat tertentu seperti peperangan, bentrok, bahkan

sampai kemiskinan pun mempunyai fungsi tersendiri, dan pada dasarnya

dibutuhkan dalam masyarakat . Pelopor teori ini adalah Robert K. Merton, beliau

berpendapat bahwa obyek analisa sosiologi adalah fakta sosial, seperti proses

sosial, organisasi kelompok, pengendali sosial, dan sebagainya. Suatu pranata

12
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), hlm. 131.

14
atau sistem tertentu bisa dikatakan fungsional bagi suatu unit sosial tertentu, dan

sebaliknya, suatu institusi juga bisa bersifat disfungsional bagi unit sosial yang

lain.13

Penganut teori fungsional ini memandang bahwa segala pranata sosial

yang ada dalam masyarakat itu bersifat fungsional dalam artian positifdan

negatif. Sebagai contoh lembaga pendidikan, ini berfungsi dan sangat penting

dalam masyarakat, terutama untuk memajukan kualitas pendidikan di negeri ini.

Lembaga pendidikan memberikan pengajaran dan ilmu-lmu pengetahuan untuk

para generasi muda penerus bangsa. Dalam hal ini, lembaga pendidikan bersifat

fungsional, dan manjurus pada artian yang positif.

F. Metode Penelitian

1) Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode

yuridis normatif. Bambang Waluyo dalam bukunya yang berjudul penelitian

hukum dalam praktek memberikan pengertian metode penelitian hukum

normatif adalah suatu metode yang lebih banyak dilakukan terhadap data yang

beersifat sekunder yang diperoleh dari kepustakaan.14 Data sekunder sebagai

13
Robert K. Merton dalam buku Bachtiar Wardi, Sosiologi Klasik, (Bandung: Remaja Rosda,
2006), hlm. 20.
14
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 1992),
hlm. 3.

15
bahan atau sumber informasi yang dapat berupa bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

2) Bahan Hukum

Bahan hukum terdiri bahan hukum yang diperoleh secara langsung dari

masyarakat (data primer atau data dasar) dan dari bahan-bahan pustaka (data
15
sekunder), akan tetapi dalam penelitian ini hanya menggunakan data sekunder

yang terdiri dari :

a) Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan yang bersumber dari peraturan

perundang-undangan16, yang ada kaitannya dengan pemerintahan desa

yaitu:

i. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

ii. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah

iii. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

iv. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014

v. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan

15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamidji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 12.
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 141.

16
vi. Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 Tentang

Negeri di Kota Ambon

a. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang diperoleh dari kepustaaan yang

meliputi berbagaia literature maupun sumber-sumber lain berupa makalah,

skripsi, tesis, desertasi, serta artikel-artikel lain yang publikasikan melalui

media cetak dan media elektronik yang berhubungan dengan penelitian ini.17

b) Bahan Hukum Tersier yaitu berupa kamus-kamus yang ada kaitannya

dengan pemerintahan desa yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus

Hukum.

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer diperoleh dengan cara mengumpulkan

menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan disesuaikan

dengan pokok permasalahan yang dikaji.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi

terhadap buku literatur, dokumen, artikel, dan berbagai bahan yang telah

diperoleh, dicatat kemudian dipelajari berdasarkan relevansi-relevansinya dengan

17
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2003),
hlm. 27.

17
pokok permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan pengkajian sebagai

satu kesatuan yang utuh.

5. Metode Penyajian Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini akan dipaparkan dalam

bentuk uraian yang disusun secara sistematis mengikuti alur sistematika

pembahasan. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh kemudian dihubungkan

satu dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan, sehingga menjadi satu

kesatuan yang utuh.

6. Metode Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu

analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah

diperoleh dan disusun sistematis, kemudian ditarik kesimpulan. Dan kesimpulan

yang diambil dengan menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu dengan cara

berpikir yang mendasar pada hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik

kesimpulan secara khusus.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini secara garis besar disusun secara sistematis yang terbagi

dalam 4 (empat) BAB.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

18
B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Kegunaan Penelitian

E. Kerangka Teoritis

F. Metode Penelitian

G. Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Desa

1. Pengertian Desa

2. Otonomi Desa

3. Pemerintahan Desa

B. Negeri di Kota Ambon

1. Umum

2. Raja

3. Saniri Negeri Lengkap

C. Sistem Pemerintahan

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sistem Pemerintahan Negeri Menurut Hukum Adat

B. Kedudukan Raja Dalam Sistem Pemerintahan Negeri di Kota Ambon

1. Perkembangan Pengaturan Sistem Pemerintahan Negeri

2. Kedudukan Raja Sebagai Ketua Saniri Negeri Lengkap

19
C. Beberapa Isu Hukum Terkait Kedudukan Raja Dalam Sistem

Pemerintahan Negeri

1. Produk Hukum dan Kebijakan Pemerintah Negeri

2. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Negeri

3. Pengelolaan Keuangan Negeri

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

20
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Desa

1. Pengertian Desa

Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, deca yang

berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis, desa

atau village diartikan sebagai a groups of hauses or shops in a country area,

smaller than a town. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hak asal-usul

dan adat istiadat yang diakui dalam Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah

Kabupaten.

Pengertian Desa dikemukakan oleh HAW. Widjaja,18 yang menyatakan

bahwa :

Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai


susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan
pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman,
partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.

Desa menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

mengartikan Desa sebagai berikut :

18
HAW. Widjaja, Op. Cit., hlm. 3.

21
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. (Pasal 1 angka 43).

Dalam pengertian Desa menurut HAW. Widjaja dan UU Nomor 23

Tahun 2014 di atas sangat jelas sekali bahwa Desa merupakan Self Community

yaitu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Pemahaman bahwa Desa

memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya

sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat, menjadikan Desa memiliki

otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang seimbang

terhadap penyelenggaraan Otonomi Daerah. Otonomi Desa yang kuat akan

mempengaruhi secara signifikan perwujudan kesejahteraan masyarakat.

Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kemampuan

penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna dan

peningkatan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan tingkat perkembangan

dan kemajuan pembangunan. Dalam menciptakan pembangunan hingga di

tingkat akar rumput, maka terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk

pembentukan desa yakni: Pertama, faktor penduduk, minimal 2500 jiwa atau 500

kepala keluarga. Kedua, faktor luas yang terjangkau dalam pelayanan dan

pembinaan masyarakat. Ketiga, faktor letak yang memiliki jaringan perhubungan

atau komunikasi antar dusun. Keempat, faktor sarana prasarana, tersedianya

sarana perhubungan, pemasaran, sosial, produksi, dan sarana pemerintahan desa,

22
Kelima, faktor sosial budaya, adanya kerukunan hidup beragama dan kehidupan

bermasyarakat dalam hubungan adat istiadat, Keenam, faktor kehidupan

masyarakat, yaitu tempat untuk keperluan mata pencaharian masyarakat.

2. Otonomi Desa

HAW. Widjaja19 menyatakan bahwa otonomi desa merupakan otonomi

asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah.

Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki

oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum

baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta

dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.

Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang

Pemerintahan Daerah yang kemudian mengalami beberapa perubahan hingga

dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah memberikan landasan kuat bagi desa dalam mewujudkan Development

Community dimana desa tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan

daerah tetapi sebaliknya sebagai Independent Community yaitu desa dan

masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri. Desa

diberi kewenangan untuk mengatur desanya secara mandiri termasuk bidang

sosial, politik dan ekonomi. Dengan adanya kemandirian ini diharapkan akan

19
Ibid., hlm. 165.

23
dapat meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan sosial dan

politik.

Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki

oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang

dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan

berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Desa atau nama lainnya,

yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem

Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Landasan pemikiran

yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi

asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat.

Mengenai pengakuan terhadap otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha20

menjelaskan sebagai berikut :

a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan dilindungi

oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa kepada

kemurahan hati pemerintah dapat semakin berkurang.

b. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti

sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masa depan.

20
Taliziduhu Ndraha, Kybernology (ilmu Pemerintahan Baru), Jilid 1 dan 2, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1997), hlm. 12.

24
Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat

untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan

pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang

pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan pengaturannya kepada desa.

Perlu ditegaskan bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan

tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam

pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi

desa harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap Negara

Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa desa adalah bagian

yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak,

wewenang dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk

memelihara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia dan tanggungjawab untuk mewujudkan

kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-

undangan yang berlaku.21

3. Pemerintahan Desa

Pemerintahan Desa merupakan bagian dari Pemerintahan Nasional yang

penyelenggaraannya ditujukan pada pedesaan. Pemerintahan Desa adalah suatu

21
Ibid., hlm. 166.

25
proses dimana usaha-usaha masyarakat desa yang bersangkutan dipadukan

dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.22

Awalnya sebelum lahirnya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintah Daerah berlaku kebijakan Pemerintah Desa dengan Undang-Undang

Pemerintah Desa No. 5 tahun 1979 yang menyatakan bahwa desa adalah suatu

wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat

termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi

pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan

rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Rumusan tersebut memuat konsep hak untuk menyelenggarakan rumah

tangganya sendiri, namun juga disebutkan bahwa desa merupakan organisasi

pemerintahan terendah di bawah camat.

Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

menempatkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan

berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

sesuai dengan hak asal-usul desanya. UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah

Daerah dipandang terlalu liberal dan federalistik, sehingga dikhawatirkan dapat

mengancam keutuhan NKRI. Pembagian kewenangan terlalu mutlak pada daerah

membuat perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah tidak proporsional,

sehingga kontrol pusat dan provinsi terhadap daerah hilang. Dihawatirkan UU ini

22
Maria Eni Surasih, Pemerintahan Desa dan Implementasinya, (Jakarta: Erlangga, 2006),
hlm. 23.

26
rentan melahirkan konflik dan masalah di tengah masyarakat. Karena berbagi

kelemahan tersebut, maka UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan selanjutnya disempurnakan dengan

berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah hingga saat ini.

Pemerintah desa terdiri dari pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan

Desa (BPD). Pemerintah Desa yang dimaksud terdiri dari Kepala Desa dan

Perangkat Desa. Sesuai dengan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa Pasal 1 angka

4 dijelaskan bahwa Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan

nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang

anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan

wilayah dan ditetapkan secara demokratis.. Anggota Badan Permusyawaratan

Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan

wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat.

Pemerintahan Desa menurut HAW. Widjaja23 diartikan sebagai:

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem dari sistem


penyelenggaraan Pemerintah, sehingga Desa memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa
bertanggung jawab kepada Badan Permusyawaratan Desa dan
menyampaikan laporan pelaksanaan tersebut kepada Bupati.

Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 Pasal 55 dijelaskan bahwa anggota

Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi membahas dan menyepakati

Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa dan menampung dan

23
Ibid., hlm. 3.

27
menyalurkan aspirasi masyarakat Desa. Sedangkan Masa keanggotaan Badan

Permusyawaratan Desa selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal

pengucapan sumpah/janji. Anggota Badan Permusyawaratan Desa dapat dipilih

untuk masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau

tidak secara berturut-turut.

B. Negeri Di Kota Ambon

1. Umum

Dalam penjelasan umum Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun

2008 tentang Negeri di Kota Ambon menerangkan bahwa Negeri di Maluku,

Kota Ambon khususnya adalah sebuah realitas sosial yang hidup, dihormati, dan

tetap dipatuhi oleh masyarakat karena memiliki simbol-simbol, kharisma dan

aturan-aturan yang bijak dari unsur asli masyarakatnya yang mampu

mengendalikaninteraksi sosial dan menciptakan ketertiban dan kestabilan politik

pemerintahan Negeri.

Sekalipun mengalami pasang surut akibat kebijakan pemerintah di masa

lampau namun aktivitas masyarakat Ambon tetap mencerminkan nilai-nilai dan

norma sebagai suatu masyarakat adat dengan ciri-ciri :

1. Memiliki kelembagaan adat (Saniri, Soa, dan sebagainya)

2. Mempunyai wilayah petuanan Negeri

3. Mempunyai simbol-simbol adat (Baileo dan sebagainya)

28
4. Mempunyai hubungan magis religius dengan lingkungan dan dalam interaksi

antar individu dan kelompok

5. Memiliki upacara atau ritus-ritus adat tertentu

6. Memiliki bahasa asli yang dapat dipakai, minimal dalam upacara-upacara adat

atau pertemuan-pertemuan tertentu

7. Mempunyai keturunan asli yang sudah secara turun temurun menguasai

wilayah petuanan

8. Mempunyai aturan-aturan yang dapat mengatur hubungan antar individu dan

kelompok maupun dengan lingkungan sekitarnya.

Negeri yang berada dalam wilayah Kota Ambon merupakan kesatuan

masyarakat hukum adat yang terbentuk berdasarkan sejarah dan asal usul, hukum

adat setempat serta diakui oleh Pemerintah. Selain Negeri-Negeri yang telah ada

tidak dapat dibentuk Negeri baru.

Adapun Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Negeri

mencakup:

a. kewenangan atas petuanan Negeri

b. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul dan hukum

adat Negeri

c. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang diserahkan

pengaturannya kepada Negeri

d. tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah

Kota

29
e. urusan pemerintahan lainnya yang oleh Peraturan Perundang-Undangan

diserahkan pengaturannya kepada Negeri.

Urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan Negeri

pelaksanaannya diusulkan oleh Pemerintah Negeri kepada Pemerintah Daerah

untuk ditetapkan oleh Walikota sebagai urusan otonomi asli Negeri. Pemerintah

Negeri berhak menolak pelaksanaan tugas Pembantuan yang tidak disertai

dengan pembiayaan, sarana, dan prasarana serta sumber daya manusia. Peraturan

Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 tentang Negeri di Kota Ambon pada

Bab V mengatur tentang Pemerintahan Negeri, bagian pertama, pasal 12 dan 13

ayat (1) menentukan Saniri Rajapatti adalah badan yang secara kolektif

melaksanakan pemerintahan Negeri dan Saniri Negeri Lengkap berkedudukan

juga sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Negeri.

2. Raja

Raja diutamakan berasal dari anak Negeri atau anak adat dari Matarumah

dalam Soa Parenta. Apabila ketentuan ini tidak dapat dipenuhi maka dapat

diusulkan anak Negeri dari Soa lain. Pengusulannya dilakukan dalam

musyawarah Soa Parenta. Persetujuan Soa Parenta diwujudkan dalam bentuk

mandat tertulis yang ditandatangani oleh Kepala Soa Parenta. Mandat dimaksud

hanya berlaku dalam 1 (satu) masa jabatan. Setiap Raja diberi gelar sesuai asal-

usul dan adat istiadat Negeri setempat. Masa jabatan Raja adalah 6 (enam) tahun

30
dan dapat dipilih kembali. Pengisian jabatan Raja dapat dilakukan melalui

pemilihan dan/atau pengangkatan.

3. Saniri Negeri Lengkap

Pasal 13 ayat (2) Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008

tentang Negeri di Kota Ambon menyatakan bahwa unsur-unsur Saniri Negeri

Lengkap dapat ditentukan oleh masing-masing negeri yang diatur dengan

peraturan negeri, namun tidak mengubah kedudukan Raja sebagai ketua Saniri

Negeri Lengkap. Dalam menjalankan kegiatannya, Saniri Negeri Lengkap

disediakan biaya operasional sesuai dengan kemampuan keuangan Negeri.

Pembentukan Saniri Negeri Lengkap diatur dengan Peraturan Negeri, dan

berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta melindungi

hak asal-usul, adat istiadat dan sosial budaya masyarakat Negeri setempat. Saniri

Negeri Lengkap mempunyai banyak Tugas, wewenang, kewajiban, dan hak yang

sebagian besar berkaitan dengan Raja namun tidak di jabarkan secara tersendiri

dalam peraturan daerah tentang Negeri ini.

C. Sistem Pemerintahan

Siapa pelaksana kekuasaan negara dapat dikaitkan dengan negara

Monarki dan Negara Republik. Secara konseptual, jabatan Presiden dipertalikan

31
dengan negara republik24 sedangkan raja dipertalikan dengan negara kerajaan.25

Duguit membedakan antara republik dan monarchie berdasarkan bagaimana

kepala negara diangkat. Jika seorang kepala negara diangkat berdasarkan hak

waris atau keturunan maka bentuk pemerintahan disebut monarchie pelaksana

kekuasaan negara disebut raja sedangkan jika kepala negara dipilih melalui suatu

pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu maka negaranya disebut republik

pelaksana kekuasaan negara disebut Presiden.26

Jika keberadaan Presiden berkaitan dengan bentuk Pemerintahan maka

kekuasaan Presiden dipengaruhi dengan sistim pemerintahan. Pada sistem

pemerintahan biasanya dibahas pula dalam hal hubungannya dengan bentuk dan

struktur organisasi negara dengan penekanan pembahasan mengenai fungsi-

fungsi badan eksekutif dalam hubungannya dengan badan legislatif. Secara

umum sistim pemerintahan terbagi atas tiga bentuk yakni sistim pemerintahan

24
Perkataan republik (republica, republic) telah dikenal sejak masa Yunani kalsik dan
rumawi. Buku yang ditulis Plato (Yunani), Cicero (Rumawi), keduanya berjudul Republik
(republica). Walaupun demikian, uraian Plato dan Cicero yang terangkum dalam Republic, tidak
dkaitkandengan jabatan Presiden. Tulisan Plato dan Cocero justru mengenai kerajaan. Perkataan
republik pada waktu itu belum berkaitan dengan bentuk negara, melainkan dengan fungsi negara
dalam cara menjalankan pemerintahan. Republik yang berasal dari res dan publica, menunjuk
kepada suatu pemerintahan yang dijankan oleh dan untuk kepentingan umum. Bagir Manan, Jabatan
KePresidenan Republik Indonesia dalam 70 Tahun Prof. Dr. Harun Alrasid (intergritas, konsistensi
seorang sarjana hukum) , editor. A. Muhammad Asrun dan Hendra Nurtjahjo, (Jakarta: Pusata Studi
HTN UI, 2000), hlm. 163.
25
Menurut Hans Kelsen pembedaan antara monarki dengan republik terletak pelaksana
kedaulatan Whenthe sovereign power of community belong to one individual, the government of the
constitutions is said to be monarchic. When the powers belongs to several individual, the constitution
is called republican. A republikan is an aristroceacy ar a democracy, depending upon whether the
sovereign powers belongs to mayority of the people Hans Kelsen, General Theory of Law and State,
(New York: Russell & Russell, 1961), hlm. 283.
26
Moh Kusnadi dan Harmelly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 5,
(Jakarta: Pusat Studi HTN dan CV Sinar Bakti, 1983), hlm. 167

32
Presidensil, parlementer dan campuran yang kadang-kadang disebut kuasi

Presidensil atau kuasi parlementer.27

Sistem pemerintahan parlementer terbentuk karena pergeseran sejarah

hegemonia kerajaan. Pergeseran tersebut seringkali dijelaskan kedalam tiga fase

peralihan, meskipun perubahan dari fase ke fase yang lain tidak selalu tampak

jelas. Pertama, pada mulanya pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang

bertanggung jawab atas seluruh sistem politik atau sistem ketatanegaraan. Kedua,

Kemudian muncul sebuah majelis dengan anggota yang menentang hegemoni

raja. Ketiga, mejalis mengambil ahli tanggung jawab atas pemerintahan dengan

bertindak sebagai parlemen maka raja kehilangan sebagian besar kekuasaan

tradisionalnya.28 Oleh sebab itu keberadaan sistem parlementer tidaklah lepas

dari perkembangan sejarah negara kerajaan seperti Inggris, Belgia dan sewedia.

Ciri umum pemerintahan parlementer sebagaimana dijelaskan S.L

Witman dan J.J Wuest, yakni:29

1. It is based upon the diffusions of powers principle.

2. There is mutual responsibility between the the executive and the legislature;

hance the executive may dissolve the ligislature or he must resign together

27
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah (telaah
perbandingan konstitusi berbagai negara), Cet.1, (Jakarta: UI-PRESS, 1996), hlm. 59.
28
Dauglas V. Verney, Pemerintahan Parlementer dan Presidensil dalam Sistem Sistem
Pemerintah Parlementer dan Presidensial, Arend Lijphard saduran Ibrahim R, (Jakarta: Pt Garfindo
Perkasa, 1995), hlm. 36.
29
Shepherd L. Witman dan John J. Wuest, Comperative Government, (Newyersy: Littleffield,
Adams & Co, 1963), hlm. 8-9; sebagaimana pula dikutip suwoto Mulyosudarmo dalam Suwoto
Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan (Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nakwasara),
(Jakarta: Pt. Garamedia, 1997), hlm. 21.

33
with the rest of the cabinet whent his policies or no longer accepted by the

majority of the membership in the legislature.

3. There is also mutual responsibility between the executive and the cabinet.

4. The executive (Prime Minister, Premier, or Chancellor) is chosen by yhe

titular head of the State (Monarch or Presiden), accorfing to the support of

majority in the legislature.

Selain itu Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa dalam sistem

parlementer dapat dikemukakan enam ciri, yaitu: (i) Kabinet dibentuk dan

bertanggung jawab kepada parlement. (ii) Kabinet dibentuk sebagai satu

kesatuan dengan tanggung jawab kolektif dibawah Perdana Menteri. (iii) Kabinet

mempunyai hak konstitusional untuk membubarkan parlemen sebelum periode

bekerjanya berakhir. (iv) Setiap anggota kabinet adalah anggota parlement yang

terpilih. (v) Kepala pemerintahan (Perdana Menteri) tidak dipilih langsung oleh

rakyat, melainkan hanya dipilih menjadi salah seorang anggota parlement. (vi)

Adanya pemisahan yang tegas antara kepala negara dengan kepala

pemerintahan.30

Berdasarkan ciri-ciri sistem pemerintahan tersebut. Pada hakekatnya

kedua pendapat tersebut tidaklah berbeda, keduanya memiliki persamaan. Dalam

kaitannya dengan kedudukan Presiden berdasarkan apa yang dijabarkan dalam

ciri tersebut, kedudukan Presiden hanya ditemukan pada sistem parlementer yang

30
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan, Op. Cit., hlm. 67.

34
berbentuk negara republik. Menurut S.L Witman dan J.J Wuest pada ciri yang

keempat dan Jimly Asshiddiqie Pada ciri yang keenam, kedudukan Presiden

hanyalah sebagai kepala negara sedangkan kepala pemerintahan diemban oleh

Perdana Menteri. Pada sistem parlementer kedudukan Presiden hanya sebagai

kepala negara dimaksud bahwa Presiden hanya memiliki kedudukan simbolik

sebagai pemimpin yang mewakili segenap bangsa dan negara. Di beberapa

negara, kepala negara juga memiliki kedudukan seremonial tertentu seperti

pengukuhan, melantik dan mengambil sumpah Perdana Menteri beserta para

anggota kabinet, dan para pejabat tinggi lainnya, mengesahkan undang-undang,

mengangkat duta dan konsul, menerima duta besar dan perwakilan negara-negara

asing, memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehalibitasi. Selain itu pada negara-

negara yang menganut sistem multipartai kepala negara dapat mempengaruhi

pemilihan calon Perdana Menteri.31

31
Ibid., hlm. 76-81; Wewenang dan kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara pada sistem
parlementer diatur secara konstitusional Sebagai contoh: Algeria (Article 77) In addition to the powers
bestowed, explicitly upon him by other provisions of the Constitution the Presiden of the Republic has
the following powers and prerogatives: he is the Supreme Chief of all the Armed Forces of the
Republic; he decides and conducts the foreign policy of the Nation; he presides the Cabinet; he
appoints the Head of Government and puts an end to his functions; he signs the Presidenial decrees;
he has the right of pardon, remission or commutation of punishment; he can refer to the People
through a referendum on any issue of national importance; he concludes and ratifies international
treaties; he awards State medals, decorations and honorific titles. Italia (Article 87) The Presiden of
the Republic is the head of the State and represents the unity of the Nation; The Presiden may send
messages to Parliament; He shall call the elections of the two Chambers and fix the date of their first
meeting; He shall authorize the submission to Parliament of bills proposed by the Government; He
shall promulgate laws and issue decrees having the value of law, and government regulations; He
shall call a referendum in such cases as are laid down by the Constitution; He shall appoint State
officials in such cases as are laid down by the law; He shall accredit and receive diplomatic
representatives; ratify international treaties, provided they are authorized by Parliament whenever
such authorization is needed; The Presiden shall be the commander of the Armed forces.

35
Sebagai mana dijelaskan di atas pada sistem pemerintahan parlementer

terdapat pemisahan antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Hampir

seluruh negara yang menganut sistem ini dapat dipastikan seorang kepala

pemerintahan dipilih dari keanggotaan parlemen. Bagaimanakah cara pengisian

jabatan kepala negara pada sistem ini? Pada negara monarchi dapat dipastikan

kepala negaranya seorang raja menurut Duguit berdasarkan keturunan.

Sedangkan pada negara yang bebebentuk republik dimana kepala negaranya

diemban oleh Presiden pada setiap negara memiliki mekanisme yang berbeda-

beda dan Presiden memiliki masa jabata yang telah ditentukan. Pengisian jabatan

Presiden pada negara republik pada sistem parlementer di sebagian negara diatur

di dalam konstitusi mereka. Beberapa negara memilih secara langsung Presiden

mereka, dipilih oleh parlement atau oleh suatu badan pemilihan.32 Sedangkan

untuk masa jabatan Presiden sekitar 5 (lima) sampai 7 (tujuh) tahun.

Dalam pemerintahan Presidensial tidak ada pemisahan antara fungsi

kepala negara dan fungsi kepala pemerintahan, kedua fungsi tersebut dijalankan

oleh Presiden.33 Presiden pada sistem Presidensil dipilih secara langsung oleh

32
Autria dan Irlandia pemilihan secara langsung (direct popular elections), Israel oleh
parlemnet dan Germany, India dan Italia dipilih oleh suatu badan pemilihan. Rod hague dan Martin
Harrop, Op. Cit., hlm. 242.
33
Menurut pendapat Alan R. Ball salah satu ciri pemerintahan Presidensil adalah The
Presiden is both nominal and political head of State Alan R. Ball, Modern Politic and Governmet,
(New York: Macmillan Student Editiond, 1971), hlm. 24.

36
rakyat atau melalui badan pemilihan dan memiliki masa jabatan yang ditentukan

oleh konstitusi.34

Menurut von Mettenheim dan Rockman sebagaimana dikutip Rod hague

dan Martin Harrop sistem Presidensil memiliki beberapa ciri yakni :35

1. popular elections of the Presiden who directs the goverenment and makes

appointments to it.

2. fixed terms of offices for the Presiden and the assembly, neither or which

can be brought down by the other (to forestall arbitrary use of powers).

3. no overlaping in membership between the executive and the legislature.

Dalam keadaan normal, kepala pemerintahan dalam sistem Presidensial

tidak dapat dipaksa untuk mengundurkan diri oleh badan legislatif (meskipun

terdapat kemungkinan untuk memecat seorang Presiden dengan proses

pendakwaan luar biasa). Jika pada sistem parlementer memiliki

pemerintah/eksekutif kolektif atau kolegial maka pada sistem Presidensial

memiliki eksekutif nonkolegial (satu orang), para anggota kabinet Presidensial

hanya merupakan penasehat dan bawahan Presiden.

Menurut Duchacck perbedaan utama antara sistem Presidensil dan

parlementer pada pokoknya menyangkut empat hal, yaitu: terpisah tidaknya

kekuasaan seremonial dan politik (fusion of ceremonial and political powers),

34
Negara Amerika merupakan acuan bagi sistem Presidensil. Sistem pemisahan kekuasaan
dan sistem check and balance menjadi konsekwesi terbentuknya sistem pemerintahan Presidensil.
Moh. Kusnardi dan Harmally Ibrahim, Op. Cit., hlm. 177.
35
Rod hague dan Martin Harrop, Op., Cit. hlm. 237.

37
terpisah tidaknya personalia legislatif dan eksekutif (separation of legislatif and

eksekutif personels), tinggi redahnya corak kolektif dalam sistem

pertanggungjawbannya (lack of collective responsibility), dan pasti tidaknya

jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan (fixed term of office).36

Sedangakan untuk sistem pemerintahan campuran memiliki corak

tersendiri yang juga dapat disebut sistem semi-presidensial. Sistem pemerintahan

campuran dapat diartikan:

Semi-Presidenial government combines an elected Presiden performing


political tasks with a prime minister who heads a cabinet accountable to
parliament. The prime minister, usually appointed by the Presiden, is
responsible for day-to-day domestic government (including relations with
the assembly) but the Presiden retains an oversight role, responsibility
for foreign affairs, and can usually take emergency powers.37

Didalamnya ditentukan bahwa Presiden mengangkat para menteri termasuk

Perdana Menteri seperti sistem Presidensil, tetapi pada saat yang sama Perdana

Menteri juga diharuskan mendapat kepercayaan dari parlemen seperti dalam

sistem parlementer.38 Perdana Menteri pada umumnya ditugaskan oleh Presiden,

adalah bertanggung jawab untuk pemerintah domestik sehari-hari tetapi memiliki

tanggung jawab untuk urusan luar negeri, dan dapat pada umumnya mengambil

kuasa-kuasa keadaan darurat.

36
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan, hlm. 82.
37
Rod hague dan Martin Harrop, Op. Cit., hlm. 245.
38
Sistem campuran ini dapat pula disebut hybrid system. Jika dipandang dari segi Presidensil
maka dikenal dengan kuasi Presidensil sedangkan jika dipandang dari sistem parlementer maka
dikenal dengan kuasi parlementer. Jimly Asshiddiqie, Pergumulan, Op. Cit., hlm. 89.

38
Menurut Duverger sistem ini memiliki ciri, yakni :39

1. The Presiden of the republic is elected by universal suffrage.

2. He possesses quite considerable powers.

3. He has opposite him, however, a prime minister and minister who possess

executive and governmental powers and can stay in office only if the

parliament does not showits oppositions to them.

Jadi pada sistem campuran ini kedudukan Presiden tidak hanya sebagai

serimonial saja, tetapi turut serta didalam pengurusan pemerintahan, adanya

pembagian otoritas didalam eksekutif.

Sejarah ketatanegaraan Indoenesia sejak berlakunya UUD 1945

kemerdekaan, Konstitusi RIS, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 sampai

dengan perubahan UUD 1945, Indonesia mengalami beberapa perubahan sistem

pemerintahan. Indonesia terus mencari suatu bentuk yang ideal. Kusnardi dan

Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa Indonesia di bawah UUD 1945 menganut

sistim pemerintahan quasi Presidensial. Alasannya karena dilihat dari sudut

pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, sebagiman dikatakan lebih lanjut:40

Jadi berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal (17) UUD 1945, sistem
pemerintahannya adalah Presidensil, karena Presiden adalah eksekutif,
sedangkan menteri-menteri adalah pembantu Presiden. Dilihat dari sudut

39
Rod hague dan Martin Harrop, Op., Cit. hlm. 245.
40
Moh. Kusnardi dan Harmally Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 5,
(Jakarta: Pusat Studi HTN U, 1983), hlm. 180; sebagaimana dikutip pula dalam A. Hamid S Attamimi,
Op. Cit., hlm. 125-126; dapat dilihat pula menurut Muchyar Yara bahwa karena ciri-ciri sistem
pemerintahan preidensil di dalam UUD 1945 terlihat lebih dominan dibandingkan ciri-ciri sistem
pemerintahan parlementer, maka tepatnya sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 disebut
sebagai, Sistem pemerintahan Quasi Presidensil. Muchyar Yara, Op. Cit., hlm. 79.

39
pertanggungan jawab Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat,
maka berarti bahwa eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga negara lain
kepada siapa Presiden bertanggung jawab maka sistem pemerintahan di
bawah UUD 1945 dapat disebut quasi Presidensil.

Kekuasaan Presiden di dalam UUD 1945 sebelum perubahan yang dikatakan

menganut sistim pemerintahan quasi Presidensial memiliki tiga kekuasaan

sebagai yakni, sebagai kepala negara, sebagai kepala pemerintahan dan sebagai

mendataris MPR.

Perubahan UUD 1945 merubah sistem pemerintahan Indonesia. Dengan

perubahan ini Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensil. Jika pada

UUD 1945 sebelum perubahan memiliki kelemahan yakni cenderung sangat

executive hevy maka setelah perubahan hal ini tidak terwujud lagi, perubahan

UUD 1945 telah menganut sistem pemeritahan Presidensil yang dapat menjamin

stabilitas pemerintah.41

Dalam sistem pemerintahan Presidensil yang diadopsi oleh Undang-

Undang Dasar 1945 menurut Jimly Asshiddiqie memiliki lima perinsip penting,

yaitu:42

(1) Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara


kekuasaan esekutif negara yang tertinggi dibawah Undang-Undang Dasar.
(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan
karena itu secara politik tidak bertanggungjawab kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau lembaga parlemen, melainkan
bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilih. (3) Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawaban secara
hukum apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran

41
Jimly Asshiddiqie., Op. Cit., hlm. 5
42
Ibid., hlm. 5-6.

40
hukum dan konstitusi. (4) Para menteri adalah pembantu Presiden. (5)
Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem
Presidensil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin
stabilitas pemerintah, ditentukan pula masa jabatan Presiden lima tahunan
tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan.

Kelima ciri tersebut merupakan ciri sistem pemerintahan Presidensil yang dianut

oleh Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan.

41
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sistem Pemerintahan Negeri Menurut Hukum Adat

Istilah Hukum Adat merupakan terjemahan dari Adatrecht yang pertama

kali dikemukakan oleh Christian Snouk Hugronje dalam bukunya The Atjehers

(tahun 1893) dan Het Gayo Land, untuk menunjukkan hukum yang ada di

Indonesia dengan memberi definisi adats die rechts gevolgen hebbe. Menurut

Cornelis, Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-

peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat

kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan

Belanda dulu. Menurut Soepomo Hukum Adat adalah sebagai hukum yang tidak

tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi

peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib

tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya

peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

Kesimpulan seminar di Yogyakarta tanggal 17 Januari 1975 menyatakan

bahwa Hukum Adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam

bentuk peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini

mengandung unsur agama. Hukum Adat timbul dan berlaku apabila diputuskan

42
dan ditetapkan oleh petugas hukum seperti : kepala adat, hakim, rapat adat, dan

perangkat desa lainnya (menurut Terhaar). Hal ini didukung oleh Soepomo yang

mengatakan bahwa tingkah laku manusia pada suatu waktu mendapat sifat

hukum pada saat petugas hukum yang bersangkutan mempertahankannya

terhadap orang yang melanggar peraturan itu.

Membahas mengenai Sistem Pemerintahan Desa menurut hukum adat,

telah dikenal istilah Hukum Adat Ketatanegaraan yang didefenisikan oleh H.

Hilman Hadikusuma sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang

tata susunan masyarakat adat, bentuk-bentuk masyarakat (perekutuan) hukum

adat desa, alat-alat perlengkapan desa, susunan jabatan dan tugas masing-masing

anggota perlengkapan desa, majelis kerapatan adat desa, dan harta kekayaan

desa. Sejalan dengan pendapat H. Hilman Hadikusuma, Bus.Har Muhammad,

secara sederhana mengartikan Hukum Adat Ketatanegaraan sebagai bagian dari

Hukum Adat mengenai susunan pemerintahan.43

Desa adat di Kota Ambon lazimnya disebut Negeri. Negeri berasal dari

bahasa Sansekerta yang berarti daerah, kota, kerajaan (suatu wilayah

pemerintahan). Negeri terbentuk mula-mula oleh kelompok masyarakat sosial

yang semakin hari semakin bertambah banyak sehingga terjadilah atau

terbentuklah suatu perkampungan yang terdiri dari beberapa Mata rumah yang

43
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), (Bandung:
Alfa Beta, 2008), hlm. 377.

43
disebut Rumah tau atau Luma tau beberapa mata rumah yang mempunyai

hubungan genealogis territorial kemudian menggabungkan diri menjadi sebuah

soa yang dipimpin oleh seorang kepala soa.

Beberapa Soa yang berdekatan berbentuk sebuah Hena atau Amman

yang dipimpin oleh sebuah Ama (Bapak atau Tuan), yang kemudian dibentuk

lagi sebuah perserikatan yang lebih besar yang dikenal dengan nama Uli, ada

dua jenis Uli yaitu : Uli siwa artinya persekutuan sembilan negeri dan Uli

Lima artinya persekutuan lima negeri.

Susunan pemerintahan negeri adalah warisan dari pemerintahan Belanda

dimana sistem hukum adat ini ditetapkan dalam keputusan landraad Amboina

No.14 Tahun 1919; disebutkan bahwa Pemerintah Negeri adalah regent en de

kepala soass. selanjutnya di dalam keputusan landaard Amboina No. 30 Tahun

1919 disebutkan bahwa negorijbestuur adalah regent en de Kepala-Kepala Soa,

yang berarti bahwa pelaksanaan pemerintahan negeri dilaksanakan oleh Raja dan

Kepala-Kepala Soa.44 Tiap Negeri memiliki sejarah, struktur pemerintahan dan

hukum adatnya masing-masing meskipun tidak jauh berbeda.

Adapun salah satu struktur pemerintahan Negeri berdasarkan hukum adat

dari negeri di Kota Ambon (Negeri Latuhalat) yang dapat dilihat pada gambar

dibawah ini.

44
Ziwar Effendi, Hukum Adat Ambon-Lease, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), hlm. 40.

44
RAJA SANIRI NEGERI

KEPALA SOA :

1. ANTOULATU 4. PAPALA
2. TEHUWANIHUAT 5.TUTUARONG
3. TOMUHUAT 6. PARI

KEWANG DARAT,
KEWANG LAUT,
MARINYO

Gambar Struktur Pemerintahan Negeri Latuhalat

Pada gambar tersebut terlihat bahwa Raja dan Kepala Soa merupakan

pelaksana pemerintahan negeri atau yang lebih dikenal dengan sebutan Badan

Saniri Rajapatti. Badan ini merupakan badan eksekutif dibawah pimpinan Raja.

Raja adalah pemegang pemerintah negeri yang bertindak juga sebagai kepala

adat dalam meimpin acara-acara adat. Raja berkewajiban untuk memelihara

hukum dan adat, kesatuan dan ketentraman negeri, melaksanakan administrasi

negeri seperti perkawinan, pembagian warisan, dan lain-lain. Dalam

melaksanakan tugasnya ini maka Raja dibantu oleh juru tulis yang bertugas

sebagai pembantu Raja dalam melaksanakan administrasi negeri dan

45
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Juru Tulis berfungsi dalam

melaksanakan surat-menyurat, kearsipan dan laporan.

Kepala Soa adalah Kepala Persekutuan Territorial Genealogis yang

bertugas membantu Raja dalam pelaksanaan Pemerintahan Negeri, mewakili

Soa. Kepala Soa diberi kewenangan untuk menggantikan Raja dalam

melaksanakan tugas pemerintahan negeri di dalam melayani kebutuhan-

kebutuhan masyarakat. Sebagai pemimpin dari suatu bagian di dalam negeri yang

terdiri dari beberapa marga maka Kepala Soa juga berfungsi untuk menampung

dan menyalurkan aspirasi serta pendapat masyarakat yang ada dalam wilayah

kekuasaan Soanya. Kepala soa juga berperan sebagai kepala adat yang

melaksanakan tugas dari Raja untuk melangsungkan acara kawin adat khususnya

dalam menerima harta kawin yang diberikan dari mempelai pria kepada

pemerintah negeri.45 Pengangkatan Kepala Soa ditetapkan dengan Keputusan

Raja.

Dalam struktur pemerintahan negeri di Kota Ambon pada umumnya,

disamping Saniri Rajapati ada Saniri Negeri yang merupakan kumpulan wakil-

wakil Soa dari beberapa matarumah yang memilih dan mengangkat salah satu

anggotanya sebagai wakil pada Saniri Negeri. Di dalam pelaksanaan

pemerintahan negeri, maka dikenal ada badan legislatif yang dikenal dengan

sebutan Saniri Negeri Lengkap. Saniri Negeri Lengkap terdiri dari: anggota

45
Eric Stenly Holle, dalam Kompilasi Pemikiran Tentang Dinamika Hukum Dalam
Masyarakat (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013

46
Saniri, para tua-tua adat dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh seperti

guru, pegawai, tokoh agama (pendeta/imam), Kewang (polisi hutan dan laut

sebagai perangkat Saniri Rajapatti yang melaksanakan tugas pengawasan

kekayaan sumber daya alam negeri dalam petuanan negeri), Marinyo (perangkat

Saniri Rajapatti yang diserahi tugas menyampaikan berita yang berkaitan dengan

tugas-tugas pemerintahan maupun adat istiadat negeri), Tuan Negeri sebagai

pemimpin pelaksana adat dalam negeri, dan Tuan Tanah. Tugas Saniri Negeri

Lengkap adalah menentukan kebijaksanaan dan mengeluarkan peraturan-

peraturan bersama dengan Saniri Rajapatti. Saniri Rajapatti dalam melaksanakan

sesuatu hal yang penting di negeri akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan

Saniri Negeri Lengkap untuk meminta persetujuannya. Pimpinan Saniri Negeri

Lengkap ini adalah Raja, namun selain bertugas sebagai badan legislatif maka

Saniri Negeri Lengkap juga bertugas untuk memilih Raja menurut tatacara yang

berlaku.

Dikenal pula musyawarah negeri dengan sebutan Saniri Besar yang

berperan sebagai badan yudikatif. Saniri Besar merupakan rapat lengkap yang

bersifat terbuka antara Saniri Rajapatti dan Saniri Negeri Lengkap dan semua

warga masyarakat pria dewasa yang berumur 18 tahun ke atas. Rapat ini

dilaksanakan 1 tahun sekali biasanya di awal tahun atau pada akhir tahun dan

berlangsung di rumah adat yang di sebut Baeleo dan dipimpin oleh Raja untuk

menyampaikan laporan keterangan mengenai penyelenggaraan pemerintahan,

pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan langsung kepada anak Negeri dan

47
penyampaian rencana pembangunan Negeri oleh Rajapatti. Saniri Besar dapat

dilakukan sewaktu-waktu untuk meminta persetujuan anak Negeri mengenai

keadaan mendesak.

Bila melihat kedudukan struktur organisasi pemerintahan negeri pada

Gambar diatas, maka Raja adalah merupakan orang yang pertama dan sangat

memegang penting di dalam sistem pemeritahan negeri. Raja memiliki kapasitas

dan fungsi sebagai pimpinan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Akan

tetapi dengan kapasitas dan fungsi tersebut Raja tidak memiliki kekuasaan

mutlak dalam menjalankan tugasnya dan dalam pengambilan keputusan, Raja

harus mempertimbangkan pendapat dari badan Saniri Negeri. Lembaga-lembaga

adat yang terdapat dalam struktur Pemerintahan Negeri adat ini memiliki fungsi

dan peranan yang sangat besar terhadap kelangsungan pembangunan masyarakat.

Lembaga-lembaga adat ini sangat dihormati, dipatuhi dan dihargai oleh

masyarakat terhadap berbagai hal seperti dalam pengambilan keputusan,

penyelesaian sengketa batas tanah dan petuanan, pelantikan Raja, serta

pelaksanaan upacara-upacara adat.

B. Kedudukan Raja Dalam Sistem Pemerintahan Negeri di Kota Ambon

1. Perkembangan Pengaturan Sistem Pemerintahan Negeri

Negeri dan pemerintahannya telah ada sejak lama, jauh sebelum lahirnya

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Negeri adalah merupakan

basis masyarakat adat dan memiliki batas-batas wilayah darat dan laut yang jelas

48
yang disebut petuanan negeri, dan sistem pemerintahan yang bersifat geneologis

atau berdasarkan garis keturunan. Pemahaman pada masa itu bahwa negeri

merupakan suatu komunitas sosial yang bebas dan tidak memiliki keterikatan

secara struktural maka setiap negeri memiliki struktur organisasi pemerintahan

negeri dengan hukum tidak terulisnya sendiri. Pada masa ini Raja berfungsi

sebagai kepala pemerintahan, sebagai hakim dan juga sebagai ketua pembuatan

peraturan negeri.

Setelah Bangsa Indonesia merdeka sehubungan dengan perkembangan

ketatanegaraan menurut Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku kembali sejak

Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959, yang mengharuskan

segala peraturan perundangan tata perdesaan umumnya, yang masih mengandung

unsur-unsur dan sifat-sifat kolonialfeodal diganti dengan satu Undang-undang

Nasional kedesaan yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia maka

ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja

Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III

Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU No. 19 Tahun

1965).

UU No. 19 Tahun 1965 menyatakan bahwa Kepala Desapraja karena

jabatannya menjadi Ketua Badan Musyawarah Desapraja (Pasal 22 ayat (2)).

Pada tahap ini, secara tegas menempatkan negeri sebagai bagian dari

pemerintahan Indonesia, sehingga otomatis mengikuti sistem pemerintahan yang

49
dianut oleh Negara Indonesia dan meniadakan sistem pemerintahan yang selama

ini berlaku. Pengakuan terhadap hak asal usul desa di bingkai dalam kalimat

kewenangan mengurus rumah tangga sendiri sesuai karakteristik daerah namun

kewenangan itu dapat dihapus atau diubah oleh pemerintah diatasnya.

Demi mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat

yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan Desa agar makin mampu

menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan

menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif maka

ditetapkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979

Tentang Pemerintahan Desa (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1979)

menggantikan UU No. 19 Tahun 1965. Pengaturan mengenai kewenangan desa

diserahkan pada masing-masing daerah lewat peraturan daerah. Dalam undang-

undang ini tetap menempatkan kepala desa pada kedudukan yang sama yaitu

sebagai Kepala Pemerintahan Desa (Desapraja) dan Ketua Lembaga

Musyawarah Desa (Badan Musyawarah Desapraja) dengan hak, wewenang dan

kewajiban yang lebih terperinci. Pada tahap ini telah terlihat jelas pola hubungan

kerja yang saling timbal balik (dalam konteks pengawasan) antara Kepala Desa

dan Lembaga Musyawarah Desa.

Seiring berjalannya waktu, sistem pemerintahan yang dijalankan menjadi

tidak konsisten seperti apa yang telah diamanatkan oleh UUD 1945. Sampai

akhirnya setelah amandemen UUD 1945, sistem pemerintahan yang dipraktikan

50
di Indonesia sudah lebih mengarah kepada sistem pemerintahan presidensial

walaupun tidak secara murni, karena ada mekanisme checks and balances

diantara masing-masing lembaga negara.

Kemudian pada tahun 2008 Pemerintah Kota Ambon menetapkan Perda

No. 3 Tahun 2008 dengan berdasar pada UU No. 5 Tahun 1979 yang menurut

penulis tidak sejalan dengan UUD 1945 hasil amandemen. Sistem Pemerintahan

Negeri (desa) yang tergambar dalam Pasal 11 Perda tersebut, menempatkan Raja

(Kepala Desa) juga memangku jabatan sebagai Ketua Saniri Negeri Lengkap

(Lembaga Musyawarah Desa).

2. Kedudukan Raja Sebagai Ketua Saniri Negeri Lengkap

Identitas Negeri dilihat dari segi fungsi pemerintahan berdasarkan Pasal

200 UU Nomor 32 Tahun 2004, menempatkan pemerintahan negeri sebagai

bagaian dari pemerintahan daerah kabupaten/kota, sehingga keberadaan

pemerintahan negeri adalah sebagai sub sistem pemerintahan daerah

kabupaten/kota.46 Terkait dengan hal itu memosisikan kedudukan Raja dalam

ketatanegaraan Indonesia perlu dipahami sebagai penyelenggaraan urusan yang

dilaksanakan dalam rangka pemerintahan dalam arti luas, untuk melayani

masyarakat.

46
A.D. Bakarbessy,Artikel, Hukum Tata Negara, Kajian Yuridis Terhadap Kedudukan Desa
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

51
Bab V, bagian kelima, Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun

2008 tentang Negeri di Kota Ambon menentukan tugas, wewenang, kewajiban,

hak dan larangan bagi seorang Raja yaitu sebagai berikut :

a. Tugas Raja :

o menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan

masyarakat Negeri

o membina kehidupan masyarakat Negeri

o membina dan mengembangkan perekonomian Negeri

o memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat Negeri

o mendamaikan perselisihan hukum adat di Negeri

o memutuskan persengketaan hukum adat di Negeri

o memelihara dan melestarikan adat istiadat dan hukum adat yang hidup di

Negeri

o mengamankan kekayaan Negeri

o mengembangkan kemandirian masyarakat

b. Dalam menjalankan tugasnya Raja berwenang :

o memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Negeri berdasarkan keputusan

yang ditetapkan bersama Saniri Negeri Lengkap.

o mengajukan Rancangan Peraturan Negeri.

o merencanakan, menyusun dan mengajukan Rancangan APBNegeri untuk

dibahas bersama Saniri Lengkap dan ditetapkan menjadi Peraturan

Negeri.

52
o menetapkan Peraturan Negeri yang telah mendapat persetujuan bersama

Saniri Negeri Lengkap.

o mewakili Negeri di dalam dan di luar Pengadilan dan dapat menunjuk

kuasa hukum untuk itu.

o merencanakan dan menyusun program pembangunan Negeri.

o menentukan pemanfaatan kekayaan alam yang ada dalam petuanan

Negeri.

c. Kewajiban Raja :

o memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta

mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

o melaksankan prinsip tata pemerintahan Negeri yang bersih dan bebas dari

kolusi, korupsi dan nepotisme.

o menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.

o menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Negeri yang baik.

o melaksanakan kehidupan demokrasi.

o menjalin hubungan kerjasama dengan seluruh mitra kerja Pemerintahan

Negeri.

o memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.

o meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

53
o melaksanakan dan mempertanggung jawabkan pengelolaan keuangan

Negeri.

o melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan Negeri termasuk

didalamnya urusan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah

Propinsi, dan Pemerintah Pusat.

o bersikap dan bertindak adil, tidak memihak serta tidak mempersulit dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat.

o mengembangkan pendapatan masyarakat dan kelembagaan di Negeri.

o berdomisili di Negeri dan berkewajiban memimpin rapat dalam rangka

membahas laporan penyelenggaraan Pemerintahan Negeri per triwulan.

Selain melaksanakan kewajiban-kewajiban diatas, Raja wajib

memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan Negeri melalui Camat

kepada Walikota, per triwulan. Laporan tersebut diinformasikan kepada Saniri

Negeri Lengkap. Laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan,

pembangunan, dan pertanggungjawaban kepada Saniri Besar disampaikan 1

(satu) kali dalam satu tahun dalam Rapat Saniri Besar. Laporan tersebut

digunakan oleh Walikota sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan

Pemerintah Negeri dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut. Laporan akhir

masa jabatan Raja disampaikan kepada Saniri Negeri Lengkap dan kepada

Walikota melalui Camat selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhir

masa jabatan.

d. Raja berhak :

54
o mengatur tugas Kepala Soa guna membantu tugas-tugas Raja

o mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Negeri

o mengangkat dan memberhentikan Perangkat Negeri

o memperoleh penghasilan selama menjabat sebagai Raja

(penghasilan tersebut ditetapkan setiap tahun dalam APBNegeri)

e. Raja dilarang :

o melanggar sumpah/janji jabatan

o menjadi pengurus partai politik;

o merangkap jabatan sebagai anggota DPRD

o terlibat dalam kampanye pemilihan umum

o merugikan kepentingan umum, meresahkan dan memihak warga

masyarakat tertentu

o melakukan perbuatan tercela

o menyalahgunakan berbagai tugas, wewenang, hak dan kewajiban diatas

Saniri Negeri Lengkap adalah Badan legislatif Negeri yang terdiri dari

wakil-wakil Soa, Kepala Adat, Tua-Tua Negeri, Kepala Tukang, Kewang, serta

unsur-unsur lain yang bertugas membantu Kepala Pemerintahan Negeri

membentuk Peraturan Negeri serta melakukan fungsi pengawasan.

Terkait dengan fungsi pengawasan, dalam suatu negara yang sedang

membangun, itu merupakan hal yang sangat penting, baik pengawasan secara

vertikal, horizontal, eksternal, preventif maupun represif agar maksud dan tujuan

55
yang telah ditetapkan dapat tercapai. Lemahnya pengawasan berarti

mendekatkannya kepada pelaksanaan kerja yang tidak sempurna, sehingga

menjauhkannya dari tujuan yang hendak dicapai dan semakin banyak peluang

untuk penyalahgunaann kekuasaan. Tetapi sebaliknya, kuatnya kontrol atau

ketatnya pengawasan semakin sempurna pelaksanaannya kerja sehingga tujuan

dapat diraih dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan, yang pada

akhirnya hak asasi rakyat dapat terwujud. Dalam negara demokrasi, rakyatlah

yang menentukan tujuan dan rakyat pula yang menjadi tujuan, administrasi

Negara hanyalah alat untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat yang menjadi

tujuan.

Pengawasan bertujuan agar hasil pelaksanaan kegiatan-kegiatan diperoleh

secara berdaya guna dan berhasil guna, sesuai dengan rencana yang telah

ditentukan sebelumnya, hal ini sesuai dengan pendapat Handayaningrat yang

mengatakan bahwa Pengawasan bertujuan agar hasil pelaksanaan pekerjaan

diperoleh secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif), sesuai dengan

rencana yang telah ditentukan sebelumnya.47

Pengawasan bertujuan untuk mengetahui apakah pelaksanaan kerja sesuai

dengan yang direncanakan, apakah segala instruksi telah dilaksanakan dan untuk

47
Soewarno Handayaningrat, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, (Jakarta:
Gunung Agung, 1996), hlm.143.

56
mengetahui kesulitan-kesulitan apa yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan

pendapat Soekarno sebagai berikut :

Tujuan pengawasan adalah :48

a. Untuk mengetahui apakah sesuatu berjalan sesuai dengan rencana yang telah

digariskan.

b. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu dilaksanakan dengan instruksi serta

azas-azas yang telah diinstruksikan.

c. Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan dalam

pekerjaan.

d. Untuk mengetahui segala sesuatu apakah berjalan efisien.

e. Untuk mencari jalan keluar, bila ternyata dijumpai kesulitan-kesulitan,

kelemahan atau kegagalan kearah perbaikan.

Abdurrahman mengemukakan secara terperinci beberapa aspek yang

menjadi tujuan pengawasan yaitu :49

a. Mencegah penyimpangan.

b. Memperbaiki kesalahan-kesalahan dan kelemahan.

c. Mendinamisir organisasi serta segenap kegiatan manajemen yang lain.

d. Mempertebal rasa tanggung jawab.

48
Soekarno, Dasar-Dasar Manajemen, Cetakan XIV, (Jakarta: Miswar, 1986), hlm.105.
49
Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan di Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1979), hlm. 99.

57
Dari ketiga pendapat para ahli diatas mengenai tujuan pengawasan

tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pengawasan adalah untuk

menemukan dan memperbaiki kelemahan, penyimpangan agar pelaksanaan

pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa terlebih

dahulu harus diusahakan terwujudnya aparat yang baik, jujur serta berwibawa.

Hal ini dapat tercipta apabila proses pengawasan serta pengendalian terhadap

aparat tersebut bersifat kontinu dan berbobot. Pengawasan atas penyelenggaraan

negeri adalah proses kegiatan yang ditujuan untuk menjamin agar pemerintahan

Negeri berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana dan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Meskipun dalam Perda Kota Ambon No. 3 Tahun 2008 tidak menjelaskan

secara terperinci mengenai pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan dari Saniri

Negeri Lengkap (Badan Permusyawaratan Desa) seperti pada UU No. 6 Tahun

2014 dan peraturan pelaksananya namun dikaitkan dengan kewenangan Raja

maka kita dapat meyimpulkan bahwa yang dimaksudkan fungsi pengawasan

disini adalah pengawasan terhadap kinerja Raja.

Dalam sistem presidensial, pelaksanaan sistem pengawasan bersifat

checks and balances antar lembaga negara artinya diantara lembaga-lembaga

negara saling mengawasi agar diantara lembaga negara tidak melebihi batas

58
kewenangannya. Maka dengan demikian menurut penulis, penempatan

kedudukan Raja sebagai Kepala Eksekutif dan Ketua Saniri Negeri Lengkap

dalam Pasal 11 Perda Kota Ambon No. 3 Tahun 2008 merupakan pengaturan

yang tidak tepat. Selain itu, telah diundangkan beberapa peraturan baru yang

berkaitan dengan Desa/Negeri sehingga perda tersebut tidak lagi sesuai.

C. Beberapa Isu Hukum Terkait Kedudukan Raja Dalam Sistem

Pemerintahan Negeri

1. Produk Hukum dan Kebijakan Pemerintah Negeri

Pengawasan terhadap produk hukum dan kebijakan dilakukan secara

represif. Pengawasan Represif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap

kebijakan yang telah ditetapkan Negeri baik berupa Peraturan Negeri, Keputusan

Raja dan Peraturan Raja dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Negeri.

Produk hukum dan kebijakan yang menjadi objek pengawasan adalah:

Peraturan Negeri

Peraturan Raja

Keputusan Raja

Peraturan Negeri adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh

Saniri Negeri Lengkap bersama Raja. Peraturan Negeri ditetapkan dalam Rapat

Saniri Lengkap yang dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah

59
anggota. Pengambilan Keputusan untuk menetapkan Peraturan Negeri dilakukan

secara musyawarah mufakat dan apabila tidak tercapai musyawarah mufakat

dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan melalui pemungutan suara.

Pengesahan Peraturan Negeri dilakukan oleh Raja dan untuk melaksanakan

Peraturan Negeri, Raja menetapkan Peraturan Raja dan/atau Keputusan Raja.

Dalam proses penyusunan produk hukum, Raja dapat dengan mudah

memasukan klausa-klausa yang menguntungkan dirinya sendiri secara terang-

terangan karena dia yang memutuskan pendapat dari Badan Saniri Rajapatti dan

Saniri Negeri Lengkap.

2. Laporan Penyelengaraan Pemerintahan Negeri

Sebagai pilar utama demokrasi di Negeri, Saniri Negeri Lengkap

mempunyai kewajiban melaksanakan pengawasan terhadap kinerja Raja agar

dalam kebijakannya tidak mencederai hakekat demokrasi. Kewajibaan Saniri

Negeri Lengkap yaitu meminta Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Raja

dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Hal tersebut diatur pada Pasal 24

ayat (3) Perda Kota Ambon No. 3 Tahun 2008. Hal ini di lakukan agar

masyarakat dapat mengetahui kinerja Raja apakah mengalami keberhasilan atau

kegagalan dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan Negeri. Saniri

Negeri Lengkap merupakan represenatasi dari kedaulatan rakyat, memiliki

kewenangan penuh untuk melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan

penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh raja.

60
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan pada asas kepastian

hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, tertib kepentingan umum,

keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efektivitas dan

efisiensi. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan

Negeri terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Maka dengan demikian

fungsi pengawasan Saniri Negeri Lengkap terhadap Laporan Penyelenggaraan

Pemerintahan Raja menjadi sangat penting untuk dilaksanakan dengan sungguh-

sungguh sebagai representasi masyarakat negeri. Namun bahkan jika dalam

penilaian dan pandangan anggota Saniri Negeri Lengkap bahwa laporan tersebut

tidak mencerminkan good governance pun, tidak ada yang dapat mereka lakukan

karena Raja juga menjadi Ketua Saniri Negeri Lengkap jadi semua keburukannya

Raja akan tertutupi.

3. Pengelolaan Keuangan Negeri

Raja adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan Negeri dan

bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan Negeri sebagai bagian dari

kekuasaan pemerintahan Negeri. Dalam pengelolaan keuangan negeri ini,

sebenarnya tercakup beberapa peran penting dari beberapa organ pemerintah

yaitu :

a. Organ Pemerintah yang memegang pimpinan dibidang keuangan;

61
b. Pejabat yang menjalankan pengurusan umum serta pejabat yang ditunjuk

menjalankan pengurusan.

c. Wilayah berlakunya sistem pengurusan dan pertanggungjawaban keuangan;

Kewenangan pengelolaan keuangan berada pada kekuasaan Raja

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 44 ayat (2) Perda Kota Ambon No. 3 Tahun

2008 menyatakan bahwa Raja adalah pemegang kekuasaan pengelolaan

keuangan Negeri. Raja menetapkan pejabat-pejabat tertentu untuk

melaksanakan pengelolaan keuangan Negeri.

Tujuan dari pengawasan yang dilakukan Saniri Negeri Lengkap

khususnya adalah untuk menjamin keterwakilan masyarakat negeri, dimana

mereka yang diwakili oleh Saniri Negeri Lengkap dapat melakukan pengawasan

sebagai perwujudan dari kehidupan demokrasi. Dengan Pengawasan yang

dilakukan oleh Saniri Negeri Lengkap diharapkan dapat membangun sebuah

early warning system atau sistem penanda bahaya apabila terjadi kejanggalan

atau penyimpangan dalam proses pengelolaan keuangan negeri, sehingga dapat

mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Namun Pengawasan itu tidak

akan mungkin berjalan dengan efektif karena Raja yang juga merupakan Ketua

Saniri Negeri Lengkap.

62
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

penempatan kedudukan Raja sebagai Ketua Saniri Negeri Lengkap dalam Pasal

11 ayat (3) butir a Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 3 Tahun 2008 tentang

Negeri Di Kota Ambon bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan

pemerintahan demokrasi yang dianut oleh Negara Indonesia yaitu prinsip

pemisahan kekuasaan dengan sistem cheks and balances sehingga menimbulkan

beberapa isu hukum yang timbul dalam penyelenggaraan pemerintahan negeri.

Raja boleh berhubungan dengan badan Saniri Negeri Lengkap tetapi tidak boleh

menjadi ketuanya.

B. Saran

Prinsip penyelenggaraan pemerintahan demokrasi adalah mutlak untuk

diterapkan dami kesejahteraan masyarakat, maka terkait dengan itu pemerintah

daerah Kota Ambon perlu mengubah Pasal 11 ayat (3) butir a Perda No. 3 Tahun

2008 yang menempatkan Raja sebagai Ketua Saniri Negeri Lengkap secara

khusus dan secara umum Perda tersebut harus diharmonisasikan dengan

peraturan perundang-undangan baru yang tingkatannya lebih tinggi.

63

Anda mungkin juga menyukai