Anda di halaman 1dari 105

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bentuk pemerintahan di Indonesia adalah Republik yang terdiri dari

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Untuk menjalankan Pemerintahan

di Daerah dibentuklah daerah otonom yang bertugas sebagai penyelenggara

Pemerintah di Daerah. Diharapkan dengan dukungan Pemerintah tingkat

Daerah, tujuan Negara yaitu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat

Indonesia dapat terwujud.1

Salah satu aspek konstitusional penyelenggaraan Negara dan

pemerintahan sejak Indonesia merdeka adalah persoalan yang berkaitan

dengan penelenggaraan otonomi sebagai subsistem Negara Kesatuan.

Pemikiran mengenai otonomi sebagai alternative dari piihan bentuk Negara

federal telah diletakkan sejak masa pergerakan kemerdekaan pada saat

menyusun UUD 1945, otonomi termasuk salah satu pokok yang dibicarakan

dan kemudian dimuat dalam Undang-undang Dasar seperti dalam UUDS

1950, otonomi tetap tercantum bahkan lebih dijelaskan.2

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) menyatakan

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang diatur dengan

1
Jum Anggriani, Pelaksanaan Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap Peraturan
Daerah, Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta, 2011. hlm 1
2
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas
Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm 21

1
2

Undang-Undang. Ungkapan dibagi atas (bukan terdiri atas) dalam ketentuan

pasal 18 ayat (1) bukanlah istilah yang digunakan secara kebetulan.

Ungkapan itu digunakan untuk menjelaskan bahwa Negara kita adalah

Negara kesatuan yang kedaulatan Negara berada ditangan pusat. Hal ini

konsisten dengan kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk Negara

kesatuan. berbeda dari terdiri atas yang lebih menunjukkan substansi

federalism karena istilah itu menunjukkan letak kedaulatan berada di tangan

Negara-negara bagian.3

Kemudian Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan :

“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Pembentukan peraturan daerah merupakan manifestasi kewenangan yang

diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah untuk

menjalankan kewajibannya4. Meskipun daerah diberi hak membentuk

peraturan daerah dan peraturan lain dalam rangka melaksanakan otonomi

daerah (ayat (6) di atas), itu bukan berarti bahwa daerah boleh membuat

peraturan yang bertentangan dengan prinsip Negara kesatuan.5

Daerah diberi kewenangan untuk mengurus rumah tangganya secara

luas, tetapi tetap dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

sehingga dalam menjalankan tugasnya untuk menyelenggarakan

3
Majlis Permusyawaratan Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat MPR RI, Jakarta, 2007, hlm 89
4
Eka N.A.M Sihombing, “Menggagas Peraturan Daerah Yang Aspiratif” Dalam Sopia
Hadyanto, (Editor) Paradigma Krbijakan Hukum Pasca Reformasi, PT. Softmedia, Jakarta, 2010,
hlm 189
5
Sirajuddin Dkk, Hukum Administrasi Pemerintah Daerah, Setara Press, Malang, 2016,
hlm 185
3

Pemerintahan Daerah tetap mengingat dan menghormati Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Untuk itu fungsi pengawasan Pemerintah Pusat

diperlukan, agar kesatuan Indonesia tetap utuh.6

Hubungan antara otonomi daerah dengan kewenangan pembentukan

peraturan di tingkat daerah diungkapkan oleh Bagir Manan sebagaimana

dikutip oleh Umbu Rauta sebagai berikut:

“Peraturan daerah adalah nama peraturan perundang-undangan


tingkat daerah yang ditetapkan Kepala Daerah dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kewenangan
Pemerintah Daerah membentuk Peraturan Daerah merupakan
salah satu ciri yang menunjukan bahwa pemerintah tingkat
daerah tersebut adalah satuan pemerintah otonom berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya daerahnya sendiri”.7

Peraturan Daerah (selanjutnya disebut Perda) dan peraturan-peraturan

lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan yang ditetapkan

oleh pemerintahan daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan lebih tinggi kepentingan umum, dan/ atau

kesusilaan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 250 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah

beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang

perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut Undang-Undang Pemda) berbuyi:

(1) Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249


ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.

6
Jum Anggriani, Pelaksanaan Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap Peraturan
Daerah,… hlm 1
7
Umbu Rauta, Kontitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2016, hlm 3
4

(2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat; dan/atau
e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras,
antar- golongan, dan gender
.
Perda yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan,

dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Pembatalan Perda Provinsi dilakukan oleh

Menteri Dalam Negeri, sementara pembatalan Perda Kabupaten/ Kota

dilakukan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Jika Gubernur

tidak membatalkan Perda yang bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau

kesusilaan maka Perda dan Perkada dimaksud akan dibatalkan oleh Menteri

Dalam Negeri.

Ketentuan pembatalan Perda dan Perkada diatur dalam Pasal 251

Undang- Undang Pemda yang berbunyi:

1. Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.
2. Perda Kabupaten/Kota dan Perkada Kabupaten/Kota yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan
dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
3. Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak
membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau Perkada
Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum,
dan/atau kesusilaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2),
5

Menteri membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan


Bupati/Walikota.
4. Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan gubernur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri dan
pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan Perkada Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapakn dengan
keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
5. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Daerah harus
menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD
bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud.
6. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Daerah harus
menghentikan pelaksanaan Perkada dan selanjutnya Kepala
Daerah mencabut Perkada dimaksud.
7. Dalam hal penyelenggara Pemerintah Daerah provinsi tidak
dapat menerima keputusan pembatalan Perda provinsi dan
gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan
gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan
yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan, gubernur dapat mengajukan keberatan kepada
Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak keputusan
pembatalan Perda atau peraturan gubernur diterima.
8. Dalam hal penyelenggara Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota tidak dapat menerima
keputusan pembatalan Perkada Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, Bupati/Walikota
dapat mengajukan keberatan kepada Menteri paling lambat 14
(empat belas) hari sejak keputusan pembatalan Perda
Kabupaten/Kota atau Perkada Kabupaten/Kota diterima.

Lebih lanjut ikhwal kewenangan pembatalan perda yang dimiliki

Menteri Dalam Negeri dan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dapat

kita lihat dalam penjelasan umum Undang-Undang Pemda yang

menyatakan;
6

Daerah melaksanakan otonomi daerah yang berasal dari kewenangan


Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan. Mengingat
tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan
Presiden, maka konsekuensi logisnya kewenangan untuk membatalkan
Perda ada di tangan Presiden. Adalah tidak efisien apabila Presiden
yang langsung membatalkan Perda. Presiden melimpahkan
kewenangan pembatalan Perda Provinsi kepada Menteri sebagai
pembantu Presiden yang bertanggung jawab atas Otonomi Daerah.
Sedangkan untuk pembatalan Perda Kabupaten/Kota, Presiden
melimpahkan kewenangannya kepada gubernur selaku wakil
pemerintah pusat di Daerah.

Kewenangan pembatalan Perda adalah sebagai bentuk pengawasan

pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan daerah, Jimly Asshiddiqie sebagaimana dikutip

Ni’matul Huda mengatakan mekanisme control yang dilakukan oleh

lembaga eksekutif semacam inilah yang dapat disebut sebagai

“administrative control atau executive review.8 Executive review merupakan

kewenangan dari lembaga eksekutif untuk menguji suatu peraturan

perundang-undangan dan dapat membatalkannya apabila dipandang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

maupun kepentingan umum.9

Kewenangan pembatalan Perda yang dimiliki oleh pemerintah pusat,

ternyata dirasa merugikan hak konstitusional warga Negara Indonesia, ini

sejalan dengan adanya permohonan pengujian pasal 251 ayat (1), ayat (2),

ayat (7) dan ayat (8) Undang-undang Pemda yang diajukan oleh pemohon

perorangan yakni Abda Khairi Mufti, Muhammad Hafidz, Amal Subkhan,

Solihin dan Totok Ristiyono bertanggal 30 Juni 2016 yang diterima di

8
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media; Bandung, 2009, hlm 129
9
Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm 54
7

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30 Juni 2016. Pemohon

dalam petitumnya mengatakan :

1. Pasal 251 ayat (1) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai, Perda Provinsi yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan
umum, dan/atau kesusilaan dapat diajukan keberatan oleh Menteri ke
Mahkamah Agung.
2. Pasal 251 ayat (2) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai, Perda Kabupaten/Kota yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dapat diajukan keberatan oleh
Gubernur ke Mahkamah Agung.
3. Pasal 251 ayat (7) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat jika dimaknai meniadakan hak setiap orang atau badan hukum
Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata
usaha Negara untuk mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang agar keputusan tata usaha Negara yang disengketakan
dinyatakan batal atau tidak sah.
4. Pasal 251 ayat (8) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat jika dimaknai meniadakan hak setiap orang atau bdan hukum
Perdata merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata
usaha Negara untuk mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang agar keputusan tata usaha Negara.10

Permohonan uji materiil di atas telah diputus oleh Mahkamah

10
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016, hlm 14-17
8

Konstitusi melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016. yang diucapkan

dalam siding pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari

Rabu, tanggal empat belas, bulan Juni tahun dua ribu tujuh belas dengan

amar:

1. …;

2. …;

3. …;

4. Menyatakan frasa “Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251 ayat

(1) dan ayat (4), dan frasa “Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251

ayat (7). serta Pasal 251 ayat (5) Undang-undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)

berttentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat;

5. …;

6. …;

Pertimbangan Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 dapat dilihat sebagai

berikut:

1. Terkait dengan pembatalan Perkada Mahkamah mengatakan :

“Sehingga menurut Mahkamah Perkada bupati/walikota telah

diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 137/PUU-


9

XII/2015, tanggal 5 April 2017 tersebut, oleh karena itu dalil

para Pemohon sepanjang pembatalan Perkada bupati/walikota

adalah nebis in idem. Sementara untuk Perkada Gubernur, oleh

karena substansi muatan normanya sama dengan norma yang

mengatur Perkada bupati/walikota, maka pertimbangan

Mahkamah dalam Putusan Nomor 137/PUU-XII/2015,

beertanggal 5 April 2017 berlaku pula untuk permohonan para

Pemohon a quo, sehingga dalil para Pemohon mengenai

pembatalan Perkada Gubernur sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 251 ayat (1) dan ayat (7) tidak beralasan menurut hukum.11

2. Terkait dengan nnorma pembatalan Perda Mahkamah

mengatakan : …maka pembatalan Perda Kabupaten/Kota melalui

mekanisme executive review adalah bertentangan dengan UUD

1945. Oleh karena dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (4) UU 23

Tahun 2014 mengatur mengenai pembatalan Perda Provinsi

melalui mekanisme executive review maka pertimbangan hukum

dalam Putusa Nomor 137/PUU-XII/2015, bertanggal 5 April

2017 berlaku pula untuk permohonan para Pemohon a quo,

sehingga Mahkamah berpendapat, Pasal 251 ayat (1) dan ayat (4)

UU 23 Tahun 2014 sepanjang mengenai ftasa “Perda Provinsi

dan” bertentangan dengan UUD 1945.12

Dalam Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 ini terdapat dissenting

11
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016, hlm 97
12
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016, hlm 99
10

opinions, ini bisa dilihat dari pertimbangan putusan yang menyatakan :

“Menimbang bahwa oleh karena sepanjang berkenaan dengan


pembatalan Perda baik Perda Provinsi maupun Perda
Kabupaten/Kota, 4 (empat) orang Hakim Konstitusi mempunyai
pendapat berbeda, sebagaimana termuat dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015, tanggal 5
April 2017, maka perbedaan pendapat (dissenting opinions) 4
(empat) orang Hakim Konstitusi tersebut, Arief Hidayat, I Dewa
Gede Palguna, Maria Farida Indarti dan Manahan MP Sitompul
juga berlaku terhadap permohonan a quo.13

Dengan adanya Putusan tersebut di atas, maka saat ini Pemerintah

Pusat baik yang dilaksanakan Oleh Menteri Dalam Negeri maupun oleh

Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak lagi dapat membatalkan

Perda Provinsi/Kabupaten/Kota yang dianggap bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum

dan/atau kesusilaan.

Kewenangan menguji (review) merupakan salah satu bentuk

pengawasan. Berbicara pembatalan Perda bukanlah hal baru di Indonesia,

dan menimbulkan berbagai perdebatan, dan dimasukkan dalam berbagai

peraturan perundang-undangan, yang dianggap sebagai suatu konsekuensi

dari suatu pengawasan, yang bertujuan untuk keserasian antara

penyelenggaraan tugas Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah.14

Realita Perda bermasalah, menjadikan mekanisme pengawasan Perda

yang konstitusional mutlak diperlakukan. Harus ada upaya untuk mencegah

13
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016, hlm 100
14
Muklis Talib, Dinamika Perundang-Undangan di Indonesia, PT Refika Aditama,
Bandung, 2017, hlm 291
11

munculnya Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan dikemudian hari.

Di samping itu, terhadap Perda bermasalah tersebut di atas, harus ada upaya

yang mesti dicarikan sebagai jalan keluar, sehingga tidak ada lagi Perda

yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

kepentingan umum dan/atau kesusilaan.

Tidak ditemukan mekanisme pengawasan Perda dalam Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Peundang-

undangan oleh Pemerintah Pusat. Pengawasan Perda dalam Undang-Undang

P3 hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial

review.

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut diatas, penulis tertarik untuk

membahas 2 (dua) permasalahan yang akan menjadi fokus pengkajian dalam

penelitian ini adalah :

1. Bagaimana bentuk dan ruang lingkup pengawasan menurut Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016.?

2. Apakah bentuk pengawasan Pemerintah terhadap Peraturan Daerah

Provinsi sesuai dengan asas Otonomi dan Undang-Undang Dasar 1945?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :


12

1. Untuk mengetahui Bagaimana bentuk dan ruang lingkup pengawasan

menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016.

2. Untuk mengetahui bentuk pengawasan Pemerintah terhadap Peraturan

Daerah Provinsi apakah sesuai dengan asas Otonomi dan Undang-

Undang Dasar 1945.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat yang ingin penulis capai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan di

bidang ilmu hukum pada umumnya, dan khususnya pengetahuan

tentang Fungsi Pengawasan Pemerintah terhadap Peraturan Daerah

Provinsi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-

XIV/2016.

b. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi suatu pedoman atau

rujukan dan membawa dampak positif bagi kemajuan hukum

dimasa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan bacaan bagi

masyarakat, sekaligus sebagai pedoman bagi masyarakat. Dan dapat

bermanfaat bagi Mahkamah Agung, Menteri Dalam Negeri,

Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan


13

Rakyat Daerah Kabupaten/Kota untuk mengetahui bagaimana Fungsi

Pengawasan Pemerintah terhadap Peraturan Daerah Provinsi pasca

Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016.

E. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan,

terdapat penelitian yang berkaitan dengan Pengawasan Peraturan Daerah,

yakni:

A. Tesis Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas

atas nama Wengki dengan Nomor BP. 1021211017 dengan judul

Pengawasan Peraturan Daerah oleh Gubernur terhadap Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota di Sumatra Barat dengan rumusan masalah

a. Bagaimana pengawasan Gubernur terhadap Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota di Sumatera Barat?

b. Apa akibat hukum dari pengawasan Gubernur terhadap

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Barat?

Hasil Penelitian inii menunjukkan bahwa pengawasan terhadap Perda

Kabupaten/Kota di Sumatera Barat melalui tiga tahap. Ketiga Tahap

tersebut adalah tahap untuk memperoleh persetujuan atas pembentukan

sebuah Perda (khusus untuk Perda Pajak/Retribusi dan rencana umum

tata ruang. Tahap kedua adalah evaluasi dan yang ketiga adalah

klarifikasi. Sumatera Barat juga mengharuskan bahwa semua Perda

yang telah disetujui bersama antara Pemerintah Daerah dan DPRD

langsung ditetapkan.
14

B. Buku berjudul “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai

Negara” yang ditulis oleh Prof. Jimly Asshiddiqie. Buku ini

membahas tentang perkembangan teori dan praktik gagasan pengujian

konstitusionalitas (constitutional review) di berbagai negara di dunia.

Pembahasannya meliputi berbagai catatan sejarah perkembangan,

pemikiran, dan penerapan mekanisme pengujian konstitusional, pola-

pola atau model-model pelembagaan atau pengorganisasian fungsi

pengujian di dalam sistem kelembagaan negara di dunia seperti

Australia, Jerman, Italia, Prancis, Rusia, Hungaria, Afrika, dan Taiwan

dalam buku tersebut

C. Jurnal Ilmu Pemerintahan berjudul “Pembatalan 3.143 Peraturan

Daerah: Satu Analisis Singkat” ditulis oleh Leo Agustino, jurnal ini

membahas mengenai otonomi daerah dan peraturan daerah

bermasalah. Sejak otonomi dilaksanakan, peraturan daerah yang

bermasalah tumbuh lebih buruk daripada masa sebelumnya.

Akibatnya, pelayanan menjadi tidak prima, pungutan liar (pungli)

terjadi, dan korupsi menjadi hal yang biasa. Oleh karena itu,

pemerintah pusat mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalah ini

dengan membatalkan peraturan-peraturan daerah bermasalah di

seluruh Indonesia yang berjumlah 3.143.

Penelitian ysng dilakukan penulis jka dihubungankan dengan

penelitain-penelitian terdahulu tidak berkaitan secara langsung karena objek


15

penelitian penulis adalah Ruang Lingkup Fungsi Pengawasan Pemerintah

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016.

F. Kerangka Teoritis

Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan

mengenai suatu factor dari sebuah disiplin ilmiah. Dalam dunia ilmu, teori

menempati kedudukan penting, karena teori memberikan sarana untuk dapat

merangkum serta memahami masalah yang dibicarakan secara lebih baik.

Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan

ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara lebih bermakna.15

1. Teori Negara Hukum

Istilah negara hukum sering kali juga disebut dengan istilah rule of

law ataupun rechtsstaat. Kedua istilah tersebut seolah-olah sama,

padahal sebenarnya kedua istilah tersebut memiliki latar belakang yang

berbeda. Rule of law berangkat dari tradisi common law atau Anglo

Saxon sedangkan rechtsstaat merupakan konsep dari tradisi civil law

atau Eropa Kontinental. Dalam perkembangannya perbedaan tersebut

tidak dipermasalahakan lagi karena keduannya mengarah pada konsep

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia16.

Negara Indonesia merupakan negara yang pernah dijajah Belanda,

sehingga ajaran rechtsstaat sangat berkembang di Indonesia. Belanda

menganut ide rechtsstaat yang lahir di jerman pada akhir abad XVII

15
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama,
hlm. 21
16
Philipus M.Hadjon dalam buku Victor Imanuel W.Nalle, Konsep Uji Materil: Kajian
Pembentukan dan Uji Materil Peraturan Kebijakan di Indonesia, Setara Press, Malang, 2013,
Hlm. 11
16

meletakan dasar perlindungan hukum bagi rakyat pada asas legalitas

yaitu semua hukum harus positif, karena hukum positif diharapkan

memberikan jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi

rakyat, karena kedudukan semua masyarakat adalah sama di muka

hukum, antara lain melalui pembagian kekuasaan.17

Gagasan, cita atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep

‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’ juga berkaitan dengan konsep

‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’.

Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan “demos’ dan

‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma,

sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor

penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum.

Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan

hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah

Inggris yang dikembangkan oleh A.V Dicey, hal itu dapat dikaitkan

dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat

menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya

dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang.

Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke

dalam bahasa Inggris dengan judul “The Laws”18

17
Pembentukan dan Uji Materil Peraturan Kebijakan di Indonesia, Setara Press, Malang,
2013, Hlm. 7
18
Lihat Plato:The Laws, Penguin Classics, edisi tahun 1986. Diterjemahkan dan diberi
kata pengantar oleh Trevor j. Saunders.
17

Syarat-syarat dasar rechtsstaat menurut Philipus M.Hadjon dalam

tulisannya tentang ide negara hukum dalam sistem ketatanegaraan

Republik Indonesia mengatakan syarat-syarat dasar rechtsstaat adalah

sebagai berikut:19

a. Asas legalitas: setiap tindakan Pemerintah harus didasarkan atas

dasar peraturan perundang-undangan. Dengan landasan ini undang-

undang dalam arti formal dan undang-undang dasar sendiri

merupakan tumpuan dasar tindak Pemerintah. Dalam hubungan ini

pembentuk undang-undang merupakan bagian penting Negara

hukum;

b. Pembagian kekuasaan: syarat ini mengandung makna bahwa

kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpuh pada satu tangan;

c. Hak-hak dasar (grondrechten): hak-hak dasar merupakan sasaran

perlindungan bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan

pembentuk undang-undang.

Menurut A.V Dicey ada tiga ciri penting dalam setiap Negara

Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule Of Law”, yaitu;

a. Supremasi aturan – aturan hukum (Supremacy of Law)

b. Kedudukan yang sama di depan hukum (Equality before the law)

c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (Due Process

of Law)

19
Ibid, Hlm. 8.
18

Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara

hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi

hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality

before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan

dengan hukum (due process of law).

Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang

sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality before

the law).Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang

khusus.

Menurut Dicey, Bahwa berlakunya Konsep kesetaraan dihadapan

hukum (equality before the law), di mana semua orang harus tunduk

kepada hukum, dan tidak seorang pun berada di atas hukum (above the

law).

Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala

sesuatu harus dilakukan secara adil. Konsep due process of law

sebenarnya terdapat dalam konsep hak-hak fundamental (fundamental

rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasan yang tertib (ordered

liberty).

2. Teori Pengawasan

Neweman sebagaimana dikutip Sirajuddin berpendapat bahwa

control is assurance that the performance conform to plan. Ini berarti

bahwa titik berat suatu pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin
19

agar pelaksanaan suatu tugas sesuai dengan rencana. dengan demikian

menurut Newman, pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan

selama proses suatu kegiatan sedang berjalan, bahkan setelah akhir

proses tersebut.20

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “awas” diartikan

melihat baik-baik, tajam penglihatan, tajam tiliknya, tidak meleng

(memperhatikan baik-baik) dan hati-hati.21 Agar penyelenggaraan suatu

tugas dapat berjalan sesuai dengan rencana, maka diperlukan suatu

pengawasan. Pada umumnya pemakaian pengertian pengawasan lebih

sering dipergunakan dalam hubungannya dengan manajemen, oleh

karena itu secara terminologis, istilah pengawasan disebut juga dengan

istilah controlling, evaluating, appraising, correcting, maupun control.22

Pengawasan (toezicht, supervision) merupakan unsur yang tidak

dapat dipisahkan dari kebebasan berotonomi. Antara kebebasan dan

kemandirian berotonomi di satu pihak dan pengawasan di pihak lain,

merupakan dua sisi dari satu lembar mata uang dalam Negara Kesatuan

dengan system otonomi (desentralisasi). Kebebasan dan kemandirian

berotonomi dapat dipandang sebagai pengawasan atau kendali terhadap

kecenderungan sentralisasi yang berlebihan. Sebaliknya pengawasan

20
Sirajuddin, Dkk… hlm 283
21
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indoneisa, Depdikbud, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hlm. 68
22
Ni’matul Huda, Pengawasan Pusat…..hlm 33
20

(toezicht) merupakan kendali terhadap desentralisasi yang berlebihan.

Tidak ada otonomi tanpa system pengawasan.23

Terdapat Beberapa divergensi makna dari dimensi epistimologis

menyangkut pengertian pengawasan dalam konteks hubungan Pusat dan

Daerah. Muchsan berpendapat bahwa pada hakikatnya yang dimaksud

dengan pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan

tugas secara de facto, sedangkan tujuan pengawasan hanya terbatas pada

pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan

tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya (dalam hal ini berwujud

suatu rencana atau plan).24

Dalam potret pengawasan, ada begitu banyak lembaga yang

melakukan pengawasan dan memfungsikan diri sebagai lemaga

pengawasan. Paulus Effendi Lotulung sebagaimana dikutip Sirajuddin

memetakan macam-macam lembaga pengawasan, yaitu

a. Ditinjau dari segi kedudukan dari badan/organ yang


melaksanakan control, dapat dibedakan atas, (1) Kontrol
Intern. Kontrol intern berarti pengawasan yang dilakukan
oleh organisasi/structural masih termasuk dalam lingkungan
pemerintah sendiri. Kontrol ini juga disebut built in control.
Misalnya pengawasan pejabat atasan terhadap bawahannya
atau pengawasan yang dilakukan oleh suatu tim verivikasi
yang biasanya dibentuk secara incidental. (2) Kontrol
Ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh organ atau
lembaga-lembaga yang secara organisasi/structural berada di
luar pemerintah dalam arti eksekutif.
b. Ditinjau dari segi waktu pelaksanaan suatu control dapat
dibedakan atas (1) Kontrol a priori, yaitu pengawasan yang

23
Bagir Manan, Menyongsong Fajar….hlm 153
24
King Faisal Sulaiman, Dialektika Pengujian Peraturan Daerah pasca Otonomi
Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, hlm 45
21

dilakukan sebelum dikeluarkan keputusan/ketetapan


pemerintah atau peraturan lainnya, yang pembentukannya
merupakan kewenangan pemerintah. (2) Kontrol a posterior,
yakni pengawasan yang baru terjadi sesudah dikeluarkan
keputusan/ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya
tindakan/perbuatan pemerintah.
c. Ditinjau dari segi objek yang diawasi suatu control dapat
dibedakan atas (1) control segi hukum, adalah kontrol untuk
menilai segi pertimbangan secara hukum dari perbuatan
pemerintah. (2) control segi kemanfaatan adalah untuk
menilai benar tidaknya perbuatan pemerintah ditinjau dari
segi pertimbangan kemanfaatannya.25

Jika dilihat kaitannya dengan pengawasan terhadap pemerintah,

terlihat bahwa pengertian umum pengawasan masih tetap relevan,

alasannya :

Pertama, pada umumnya, sasaran pengawasan terhadap


pemerintah adalah pemeliharaan atau penjagaan agar Negara
hokum kesejahteraan dapat berjalan dengan baik dan dapat pula
membawa kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara
kesejahteraan masyarakat kepada pelaksanaan yang baik dan tetap
dalam batas kekuasaannya. Kedua, tolak ukurnya adalah hokum
yang mengatur dan membatasi kekuasaan dan tindakan pemerintah
dalam bentuk hokum material maupun hokum formal
(rechmatigheid), serta manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat
(doelmatigheid). Ketiga, ada pencocokan antara perbuatan dan
tolak ukut yang telah ditetapkan. Keempat, jika terdapat tanda-
tanda akan terjaadi penyimpangan terhadap tolak ukur tersebut
dapat dilakukan pencegahan. Kelima, apabila dalam pencocokan
menunjukkan telah terjadi penyimpangan dari tolak ukur, maka
diadakan koreksi melalui tindakan pembatalan, pemulihan terhadap
akibat yang ditimbulkan dan mendisiplinkan kekeliruan itu.26

25
Sirajuddin, Dkk…284-285
26
Sirajuddin, Dkk…56
22

G. Metode Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu

bentuk kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan

pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau beberapa

gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Disamping itu, juga

diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap suatu factor hukum

tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang

bersangkutan.27

1. Metode Pendekatan

Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka metode

penelitian yang dipakai adalah penelitian hukum normatif. Metode

penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan

adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, pertama penelitian

hukum normative adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan

hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian

terhadap masalah hukum.

Dalam penelitian hukum normatif digunakan bahan-bahan hukum

berupa Peraturan Perundang-undangan, seperti Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah, hingga Peraturan Daerah. Dalam penelitian ini

27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1981, hlm. 43
23

seorang peneliti selalu mendasarkan pemikirannya pada aturan

perundangan sebagai bahan hukum utama penelitian.

2. Sumber Data

Di dalam metode penelitian hukum normatif ini, terdapat 3 macam

bahan pustaka yang dipergunakan oleh penulis yakni :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau

yang membuat orang taat pada hukum seperti Peraturan

Perundang-undangan, dan putusan hakim. Bahan hukum primer

yang penulis gunakan di dalam penulisan ini yakni:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung.

3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

5) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR,

DPD, dan DPRD.

6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah.
24

7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan

8) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015

tentang Kementerian Dalam Negeri.

9) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak

Uji Materiil.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum yang

tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer

yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau

ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang

akan memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. Yang

dimaksud dengan bahan sekunder disini oleh penulis adalah

doktrin-doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan

hokum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan

pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan

hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar

Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

3. Metode Pengumpulan Data

Data yang bermanfaat bagi penulisan penelitian ini diperoleh

dengan cara studi dokumen atau studi kepustakaan (documentary study),


25

yakni teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dengan cara

mempelajari bahan-bahan kepustakaan atau data tertulis, terutama yang

berkaitan dengan pembatalan Peraturan Daerah oleh Menteri Dalam

Negeri, kemudian menganalisis isi bahan hukum tersebut.

Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adalah

menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. Apabila penulis

telah mengetahui apa yang telah dilakukan oleh peneliti lain, maka

peneliti akan lebih siap dengan pengetahuan yang lebih dalam dan

lengkap

4. Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh, diolah dengan cara editing. Editing

adalah data yang telah diperoleh penulis akan diedit terlebih dahulu guna

mengetahui apakah data-data yang diperoleh tersebut sudah cukup baik

dan lengkap untuk mendukung pemecahan masalah yang sudah

dirumuskan.

5. Analisis Data

Terhadap semua bahan hukum yang diperoleh, kemudian diolah

dan dianalisis secara:

a. Normatif Kualitatif, yaitu dengan cara mengumpulkan semua bahan

hukum yang diperlukan, kemudian dianalisis dengan uraian kualitatif

atau bukan dengan uji statistik untuk mengetahui bagaimana fungsi

pengawasan pemerintah ditinjau dari Peraturan Perundang-undangan

beserta akibat hukumnya.


26

b. Deskriptif Analisis, yaitu dari penelitian yang dilakukan dapat

memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistematis tentang

bagaimana fungsi pengawasan pemerintah terhadap peraturan daerah

provinsi pasca putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 56/PUU-

XIV/2016.
BAB II

PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF NEGARA HUKUM

A. Teori Negara Hukum

Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan

mengenai suatu faktor dari sebuah disiplin ilmiah. Dalam dunia ilmu, teori

menempati kedudukan penting, karena teori memberikan sarana untuk dapat

merangkum serta memahami masalah yang dibicarakan secara lebih baik.

Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan

ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara lebih bermakna.1 W. Friedman

mengungkapkan dasar-dasar esensial dari teori hukum menurut Hans

Kelsen, yaitu:

1) Tujuan teori hukum, seperti setiap ilmu pengetahuan adalah untuk


mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
2) Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku,
bukan mengenai hukum yang sebenarnya.
3) Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
4) Teori hukum sebagai teori norma-norma tidak ada hubungannya
dengan daya kerja norma-norma hukum.
5) Teori hukum adalah formal, suatu teori cara menata, mengubah isi
dengan cara khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang
khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan
hukum yang nyata.

Istilah negara hukum sering kali juga disebut dengan istilah rule of law

ataupun rechtsstaat. Kedua istilah tersebut seolah-olah sama, padahal

sebenarnya kedua istilah tersebut memiliki latar belakang yang berbeda.

1
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1991), hlm. 21.
27
28

Rule of law berangkat dari tradisi common law atau Anglo Saxon sedangkan

rechtsstaat merupakan konsep dari tradisi civil law atau Eropa Kontinental.

Dalam perkembangannya perbedaan tersebut tidak dipermasalahakan

lagi karena keduannya mengarah pada konsep pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia2.

Pemikiran tentang Negara hukum sudah cukup tua. Latar belakang

kemunculannya pun merupakan reaksi rakyat terhadap kesewenang-

wenangan penguasa pada masa lampau. Secara historis konsep Negara

hukum menurut konsep Eropa continental yang dinamakan Rechsstaat,

Negara hukum menurut konsep Anglo saxon (Rule of Law), konsep social

legality dan konsep Negara hukum Pancasila.3

Cita Negara hukum untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Plato

dan di pertegas oleh Aristoteles, menurut Plato penyelenggaraan pemerintah

yang baik ialah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan

hukum. Menurut Aristoteles yang memerintahkan dalam Negara bukanlah

manusia melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaan yang menentukan baik

buruknya suatu hukum.4

2
Philipus M.Hadjon dalam buku Victor Imanuel W.Nalle, Konsep Uji Materil: Kajian
Pembentukan dan Uji Materil Peraturan Kebijakan di Indonesia, (Malang: Setara Press, 2013),
hlm. 11
3
Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), hlm.63
4
Nukthoh,Arfawie kurde,Telaah kritis Teori negara hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005). hlm.14
29

Ide Negara hukum rechtsstaat sesungguhnya sejak lama telah

dikembangkan oleh para filsuf Yunani kuno yang pada dasarnya betumpu

pada sistem hukum Eropa Kontinental yang mulai populer pada abad ke-17

karena pada saat itu situasi dan kondisi sosial politik di Eropa didominasi

oleh absolutisme. Ide negara hukum rechtsstaat ini sesungguhnya dipelopori

oleh Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl. Kant memahami negara

hukum itu sebagai penjaga malam (nachtwakersstaat). Artinya, negara itu

bertugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Pada awalnya

Plato berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara ideal untuk

mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan. Karena itu, kekuasaan harus

dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan, yaitu seorang filosof (the

philosopher king). Pada kesempatan lain Plato juga mengatakan bahwa yang

dapat diwujudkan adalah bentuk paling baik kedua (the second best) yang

menempatkan supremasi hukum. Pemerintahan yang mampu mencegah

kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh hukum. Tujuan

negara menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan paling baik

(the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum.5

Sedangkan hukum menurut Hans Kelsen adalah suatu tata aturan (order)

sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang prilaku manusia. Hukum

tidak menunjuk pada suatu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan

(rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu

5
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran
Hukum, Media dan HAM, (Jakarta: Konstitusi Perss, 2005), hlm. 129
30

sistem. Tidak mungkin memahami hukum jika hanya memahami satu aturan

saja.6

Padmo Wahyono menegaskan bahwa istilah negara hukum merupakan

terjemahan langsung dari rechtsstaat, sedangkan Attamimi mengatakan ada

dua hal penting terkait dengan rechtsstaat yaitu pertama adanya perbedaan

persepsi mengenai istilah rechtsstaat dengan negara hukum dan kedua,

bahwa pemahaman tentang rechtsstaat tidak sama diberbagai bangsa

mengingat sistem kenegaraan yang dianut berbeda-beda.7

Albert Van Dicey mengatakan bahwa dilihat dari latar belakang dan

sistem hukum yang menopangnya terdapat perbedaan konsep rechtsstaat dan

konsep the rule of law, meskipun di dalam perkembangannya dewasa ini

tidak dipermasalahkan lagi perbedaan antara keduanya karena pada dasarnya

kedua konsep tersebut mengarahkan pada satu sasaran utama, yaitu

pengakuan dan perlindungan terhadap HAM.8

Menurut Carl J.Friedrich berpendapat bahwa “Negara hukum atau

Rechtsstaat adalah gagasan pemerintahan dalam Negara merupakan suatu

kumpulan aktifitas yang diselenggarakan atas nama rakyat tetapi yang

tunduk pada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan

bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak

6
Jimli Asshiddiqie, Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakata:Konstitusi
Perss, 2012), hlm. 13
7
Padmo Wahyono, Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan 14 Teori Ilmu Hukum
dari Jellinek, (Jakarta: Melati Study Group, 1977), hlm. 30
8
A.V. Dicey, Introduction to Study of Law the Constitution, (London: Mac Migan LTD,
1957), hlm. 190
31

disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah dalam

suatu Negara tertentu”.9

Dari gagasan ini lahir sekurang-kurangnya 3 (tiga) karakter konsep

rechtsstaat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu:

a. Apa yang disebut hukum itu harus dibentuk dalam wujudnya yang

positif, mengandung makna bahwa ia tertulis guna merumuskan

adanya hubungan sebab akibat antara suatu perbuatan hukum atau

peristiwa hukum tertentu dengan akibat hukumnya.

b. Apa yang disebut hukum (yang telah selesai dalam bentuknya yang

positif itu, disebut ius constitutum) harus merupakan proses

kesepakatan golongan-golongan dalam suatu negeri, langsung atau

melalui wakil-wakilnya, melalui suatu proses legislasi.

c. Hukum yang telah diwujudkan dalam bentuk Undang-undang

Suatu Negara dapat dikatakan sebagai Negara hukum apabila

memenuhi unsur-unsur Negara hukum. Friedrich Julius Stahl

mengemukakan ciri-ciri suatu Negara hukum sebagai berikut:

1. Adanya pengakuan atas hak-hak dasar manusia

2. Adanya pembagian kekuasaan

3. Pemerintahan berdasarkan peraturan

4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.10

Selain Julius Stahl, konsep Negara hukum di Eropa Kontinental juga

dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Fichte dan lain

9
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2008), hlm. 113
10
Oemar Seno Adji, Prasarana Dalam Indonesia Negara Hukum, (Jakarta: Simposium
UI, 1966), hlm. 24.
32

sebagainya dengan menggunakan istilah Jerman “rechtsstaat”. Dalam tradisi

Anglo-Saxon pengembangan konsep Negara hukum dipelopori oleh A. V.

Dicey dengan istilah “the rule of law”. A. V. Dicey mengemukakan unsur-

unsur the rule of law sebagai berikut:

1. Supremacy of Law

2. Equality Before the Law

3. Constitution Based on Human Rights.11

Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl

tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga konsep

rule of law yang dikembangkan A.V Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara

hukum modern di zaman sekarang.

Salah satu prinsip yang menyangga tegaknya Negara modern adalah

supremasi hukum (Supremacy of Law). Letak supremasi hukum Negara

adalah konstitusi, dimana konstitusi materi muatannya mengandung jaminan

terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya serta ditetapkannya

susunan ketatanegaraan dan pembagian kekuasaan secara fundamental.12

Konsekuensi dari Negara hukum adalah bahwa seluruh sikap, kebijakan,

perilaku alat Negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan

hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam

11
Diaba Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004),
hlm. 34
12
Nafiati M. dan Maryam NH, Integrasi Pengujian Peraturan Peundang-undangan di
Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Pembangunan Hukum Indonesia, Jurnal Hukum, IUS
QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 22 (April, 2015), hal 261
33

penyelenggaraan Negara.13 Seperti salah satu ciri Negara hukum yang

dikemukakan oleh Frederich Julius Stahl bahwa pemerintah dalam

menyelenggarakan pemerintahan harus berdasarkan peraturan perundang-

undangan (asas legalitas).14

Asas legalitas menghendaki bahwa materi muatan dalam undang-

undang secara umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara)

dari tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai

jenis tindakan yang tidak benar. Sehingga pelaksanaan wewenang oleh

organ pemerintahan harus ditemukan dasarnya pada undang-undang tertulis.

Mengingat pentingnya kedudukan peraturan perundang-undangan tersebut

dalam system ketatanegaraan kita baik karena meteri muatan maupun

kedudukannya maka tertib peraturan perundang-undangan wajib untuk

diwujudkan, salah satunya melalui pengujian peraturan perundang-

undangan.15

Kekuasaan cenderung untuk disalah gunakan, artinya kekuasaan

memberikan peluang untuk melakukan kesewenang-wenangan, sehingga

setiap kekuasaan pertu dibatasi dan yang mampu membatasi kekuasaan itu

adalah hukum itu sendiri.

13
Salman Maggalatung & Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara
(Aktualitas Dalam Teori Negara Indonesia) (Bandung: Fajar Media, 2013), hlm. 137
14
H. Iryanto A.Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Kosntitusionalitas Mahkamah
Konstitusi (telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi), Bandung, PT Alumni, hal 47
15
Nafiati M. dan Maryam NH, Integrasi Pengujian Peraturan Peundang-undangan di
Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Pembangunan Hukum Indonesia, Jurnal Hukum, IUS
QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 22 (April, 2015), hal 259
34

Syarat-syarat dasar rechtsstaat menurut Philipus M.Hadjon adalah

sebagai berikut:16

a. Asas legalitas: setiap tindakan Pemerintah harus didasarkan atas

dasar peraturan perundang-undangan. Dengan landasan ini undang-

undang dalam arti formal dan undang-undang dasar sendiri

merupakan tumpuan dasar tindak Pemerintah. Dalam hubungan ini

pembentuk undang-undang merupakan bagian penting Negara

hukum;

b. Pembagian kekuasaan: syarat ini mengandung makna bahwa

kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpuh pada satu tangan;

c. Hak-hak dasar (grondrechten): hak-hak dasar merupakan sasaran

perlindungan bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan

pembentuk undang-undang.

Menurut A.V Dicey ada tiga ciri penting dalam setiap Negara

Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule Of Law”, yaitu;

a. Supremasi aturan – aturan hukum (Supremacy of Law)

b. Kedudukan yang sama di depan hukum (Equality before the law)

c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (Due Process

of Law)

Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara

hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi

hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality

16
Ibid, Hlm. 8.
35

before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan

dengan hukum (due process of law).

Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang

sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality before

the law).Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang

khusus.

Menurut Dicey, Bahwa berlakunya Konsep kesetaraan dihadapan

hukum (equality before the law), di mana semua orang harus tunduk

kepada hukum, dan tidak seorang pun berada di atas hukum (above the

law).

Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala

sesuatu harus dilakukan secara adil. Konsep due process of law

sebenarnya terdapat dalam konsep hak-hak fundamental (fundamental

rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasan yang tertib (ordered

liberty).

Indonesia menganut Sistem Pemerintahan Presidensial.17 Dengan

ciri-ciri system Pemerintahan sebagai berikut:

a. Presiden pemegang kekuasaan Pemerintahan eksekutif tunggal.


b. Dalam kedudukan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan
Negara itu terkandung pula status kepala Negara (head of state)
sehingga keudukan kepala Negara dan kepala pemerintahan
eksekutif (head of government) menyatu secara tidak terpisah
dalam jabatan Presiden.

17
Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada, (Jakarta: Kompas Media Nusantara,
2008). hlm 192
36

c. Presiden tidak diangkat dan dipilih oleh lembaga Perwakilan


Rakyat.
d. Presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga Perwakilan
Rakyat, sehingga tidak dapat dijatuhkan oleh Parlemen karena
alas an politik.
e. Presiden ganya dapat diberhentikan dari jabatan melalui
Prosedur yang dikenal dengan “Impeachment” karena alasan
pelanggaran hukum sebagaimana katentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945.18

Namun dalam Sistem Presidensial dapat pula muncul kegagalan

yang disebabkan oleh munculnya demokrasi caesarisme (eksekutif

berkuasa dan legislatif lemah), militer memperoleh kekuasaan politik,

dan eksekutif mampu mengatur suara Parlemen.

Sistem Parlementer jabatan kepala Negara (head of state) dan

kepala Pemerintahan (head of government) itu dibedakan dan dipisah

satu sama lain. Pada hakikatnya kepala Negara dan kepala pemerintahan

itu dalam system Parlementer merupakan cabang kekuasaan eksekutif.

Dalam hubungan kelembagaan system Parlementer terdapat

pemisahan antara kepala Negara dan kepala Pemerintahan namun tidak

ada pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, baik eksekutif

maupun legislative berada di Parlemen, jajaran eksekutif adalah anggota

Parlemen sehingga disebut system Parlemen. Kepala Pemerintahan

adalah Pimpinan kekuatan mayoritas di Parlemen, sedangkan kepala

Negara hanya memiliki kekuasaan seimbolik di luar eksekutif dan

legislative. Sebutan kepala Pemerintahan yakni Perdana Menteri atau


18
Jimmly Assidiqie Pokok-Pokok Hukum Tata Negara…311-314
37

Primer Minister, sebutan kepala Negara yakni Presiden, Raja, Ratu,

Gubernur. Dalam system Parlementer terdapat mekanisme pemerintahan

oposisi dalam legislatif partai kekuatan kedua di parlemen membentuk

oposisi, pimpinan partai menjadi ketua oposisi sehingga kebijakan

pemerintah di perbedatkan di Parlemen dengan pihak oposisi sesuai

dengan lingkup masing-masing (misalnya Perdana Menteri dengan

pimpinan oposisi). Legislatif dapat membubarkan Pemerintah dengan

mosi tidak percara dan mendesak untuk memilih anggota Parlemen

baru.19

Sistem campuran (mixed system atau hybrid system) adalah

campuran dari kedua unsur system pemerintahan, yaitu system

Presidensial dan system Parlementer.

B. Teori Pengawasan
Pengawasan dapat di definisikan sebagai proses untuk menjamin

bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen dapat tercapai. Ini

berkenaan dengan cara-cara membuat kegiatan-kegiatan sesuai yang

direncanakan. Pengertian ini menunjukkan adanya hubungan yang

sangan erat antara perencanaan dan pengawasan.20

Kontrol atau pengawasan adalah fungsi di dalam manajemen

fungsional yang harus dilaksanakan oleh setiap pimpinan semua

unit/satuan kerja terhadap pelaksanaan pekerjaan atau pegawai yang

19
Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, (Malang: Setara Press,
2012), hlm. 53
20
Yohannes Yahya, Pengantar Manajemen (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), hlm. 133
38

melaksanakan sesuai dengan tugas pokoknya masing-masing. Dengan

demikian, pengawasan oleh Pimpinan Khususnya yang berupa

pengawasan melekat (built in control), merupakan kegiatan manajerial

yang dilakukan dengan maksud agar tidak terjadi penyimpangan dalam

melaksanakan pekerjaan. Suatu penyimpangan atau kesalahan terjadi

atau tidak selama dalam pelaksanaan pekerjaan tergantung pada tingkat

kemampuan dan keterampilan pegawai.

Para pegawai yang selalu mendapatkan pengarahan atau bimbingan

dari atasan, cenderung melakukan kesalahan atau penyimpangan yang

lebih sedikit dibandingkan dengan pegawai yang tidak memperoleh

bimbingan.21 Pengertian pengawasan cukup beragam, di bawah ini

adalah contoh keberagaman pengertian tersebut:

1. Menurut Sondang P. Siagian pengawasan adalah proses pengamatan

dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar

semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan

rencana yang telah ditentukan.

2. Robert J. Mockler berpendapat bahwa pengawasan manajemen

adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standart

pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem

informasi, umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan

standard yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan

mengukur oenyimpangan-penyimpangan serta mengambil tindakan

21
M. Kadarsiman, Manajemen Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta:
Rajawali, 2013), hlm. 172
39

koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya

perusahaan dipergunakan dengan cara efektif dan efisien dalam

pencapaian tujuan-tujuan perusahaan.22

3. Neweman sebagaimana dikutip Sirajuddin berpendapat bahwa

control is assurance that the performance conform to plan. Ini

berarti bahwa titik berat suatu pengawasan adalah suatu usaha untuk

menjamin agar pelaksanaan suatu tugas sesuai dengan rencana.

dengan demikian menurut Newman, pengawasan adalah suatu

tindakan yang dilakukan selama proses suatu kegiatan sedang

berjalan, bahkan setelah akhir proses tersebut.23

4. Pengawasan menurut Fahmi yang dikutip oleh Erlis Milta Rin

Sondole dkk, bahawa Pengawasan secara umum didefinisikan

sebagai cara suatu organisasi mewujudkan kinerja yang efektif dan

efisien, serta jauh mendukung terwujudnya visi dan misi

organisasi.24

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “awas” diartikan

melihat baik-baik, tajam penglihatan, tajam tiliknya, tidak meleng

(memperhatikan baik-baik) dan hati-hati.25 Agar penyelenggaraan suatu

tugas dapat berjalan sesuai dengan rencana, maka diperlukan suatu

pengawasan. Pada umumnya pemakaian pengertian pengawasan lebih


22
Zamani, Manajemen, (Jakarta: Badan Penerbit IPWI, 1998), hlm. 132-133
23
Sirajuddin, Dkk… hlm 283
24
Erlis Milta Rin Sondole dkk, Pengaruh Disiplin Kerja, Motivasi dan Pengawasan
terhadap Karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran VII Pertamina BBM Bitung,
Jurnal EMBA, 2015, Vol. 3, hlm. 652
25
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indoneisa, (Jakarta: Depdikbud, Balai Pustaka, 1991), hlm. 68
40

sering dipergunakan dalam hubungannya dengan manajemen, oleh

karena itu secara terminologis, istilah pengawasan disebut juga dengan

istilah controlling, evaluating, appraising, correcting, maupun control.26

Pengawasan dari dalam, berarti pengawasan yang dilakukan oleh

aparat/unit pengawasan yang dibentuk dalam organisasi itu sendiri.

Aparat/unit pengawasan ini bertindak atas nama pimpinan organisasi.

Aparat/unit pengawasan ini bertugas mengumoulkan segala data dan

informasi yang diperlukan oleh organisasi. Data kemajuam dan

kemunduran dalam pelaksanaan pekerjaan. Hasi pengawasan ini dapat

pula digunakan dalam nilai kebijaksanaan pimpinan. Untuk itu kadang-

kadang pimpinan perlu meninjau kembali kebijaksanaan/keputusan-

keputusan yang telah dikeluarkan. Sebaliknya pimpinan dapat pula

melakukan tindakan-tindakan perbaikan terhadap pelaksanaan pekerjaan

yang dilakukan oleh bawahannya, internal control.27

Pengawasan eksternal (eksternal control) berarti pengawasan yang

dilakukan oleh aparat/unit pengawasan dari luar organisasi itu.

Aparat/unit pengawasan dari luar organisasi itu adalah yang bertindak

atas nama atasan pimpinan organisasi itu, atau bertindak atas nama

pimpinan organisasi itu karena permintaannya, misalya pengawasan

yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pengawasan Keuangan Negara

terhadap suatu Departemen, aparati pengawasan bertindak atas nama

26
Ni’matul Huda, Pengawasan Pusat…..hlm 33
27
Maringan Masry Simbolon, Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 62.
41

Pemerintah/Presiden melalui Menteri Keuangan, ialah

pemeriksaan/pengawasan yang bertindak atas nama Negara Republik

Indonesia. Di samping aparat pengawasan yang dilakukan atas nama

atasan dari pimpinan organisasi tersebut, dapat pula pimpinan organisasi

meminta bantuan pihak luar organisasinya.

1. Pengawasan Preventif

Arti dari pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan

sebelum rencana itu dilaksanakan. Maksud dari pengawasan

preventif ini adalah untuk mencegah terjadinya kekeliruan/kesalahan

dalam pelaksanaan.

2. Pengawasan Represif28

Arti dari pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan

setelah adanya pelaksanaan pekerjaan. Maksud diadakannya

pengawasan represif ialah untuk menjamin keberlangsungan

pelaksanaan pekerjaan agar hasilnya sesuai dengan rencana yang

telah ditetapkan.

Terdapat Beberapa divergensi makna dari dimensi epistimologis

menyangkut pengertian pengawasan dalam konteks hubungan Pusat dan

Daerah. Muchsan berpendapat bahwa pada hakikatnya yang dimaksud

dengan pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan

tugas secara de facto, sedangkan tujuan pengawasan hanya terbatas pada

pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan

28
Maringan Masry Simbolon,,,,,hlm.64
42

tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya (dalam hal ini berwujud

suatu rencana atau plan).29

Pengawasan (toezicht, supervision) merupakan unsur yang tidak

dapat dipisahkan dari kebebasan berotonomi. Antara kebebasan dan

kemandirian berotonomi di satu pihak dan pengawasan di pihak lain,

merupakan dua sisi dari satu lembar mata uang dalam Negara Kesatuan

dengan system otonomi (desentralisasi). Kebebasan dan kemandirian

berotonomi dapat dipandang sebagai pengawasan atau kendali terhadap

kecenderungan sentralisasi yang berlebihan. Sebaliknya pengawasan

(toezicht) merupakan kendali terhadap desentralisasi yang berlebihan.

Tidak ada otonomi tanpa system pengawasan.30

Dalam potret pengawasan, ada begitu banyak lembaga yang

melakukan pengawasan dan memfungsikan diri sebagai lemaga

pengawasan. Paulus Effendi Lotulung sebagaimana dikutip Sirajuddin

memetakan macam-macam lembaga pengawasan, yaitu

a. Ditinjau dari segi kedudukan dari badan/organ yang


melaksanakan control, dapat dibedakan atas, (1) Kontrol Intern.
Kontrol intern berarti pengawasan yang dilakukan oleh
organisasi/structural masih termasuk dalam lingkungan
pemerintah sendiri. Kontrol ini juga disebut built in control.
Misalnya pengawasan pejabat atasan terhadap bawahannya atau
pengawasan yang dilakukan oleh suatu tim verivikasi yang
biasanya dibentuk secara incidental. (2) Kontrol Ekstern adalah
pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga
yang secara organisasi/structural berada di luar pemerintah
dalam arti eksekutif.

29
King Faisal Sulaiman, Dialektika Pengujian Peraturan Daerah pasca Otonomi Daerah,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm 45
30
Bagir Manan, Menyongsong Fajar….hlm 153
43

b. Ditinjau dari segi waktu pelaksanaan suatu control dapat


dibedakan atas (1) Kontrol a priori, yaitu pengawasan yang
dilakukan sebelum dikeluarkan keputusan/ketetapan pemerintah
atau peraturan lainnya, yang pembentukannya merupakan
kewenangan pemerintah. (2) Kontrol a posterior, yakni
pengawasan yang baru terjadi sesudah dikeluarkan
keputusan/ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya
tindakan/perbuatan pemerintah.
c. Ditinjau dari segi objek yang diawasi suatu control dapat
dibedakan atas (1) control segi hukum, adalah kontrol untuk
menilai segi pertimbangan secara hukum dari perbuatan
pemerintah. (2) control segi kemanfaatan adalah untuk menilai
benar tidaknya perbuatan pemerintah ditinjau dari segi
pertimbangan kemanfaatannya.31

Jika dilihat kaitannya dengan pengawasan terhadap pemerintah,

terlihat bahwa pengertian umum pengawasan masih tetap relevan,

alasannya :

Pertama, pada umumnya, sasaran pengawasan terhadap


pemerintah adalah pemeliharaan atau penjagaan agar Negara
hukum kesejahteraan dapat berjalan dengan baik dan dapat pula
membawa kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara
kesejahteraan masyarakat kepada pelaksanaan yang baik dan tetap
dalam batas kekuasaannya. Kedua, tolak ukurnya adalah hukum
yang mengatur dan membatasi kekuasaan dan tindakan pemerintah
dalam bentuk hukum material maupun hukum formal
(rechmatigheid), serta manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat
(doelmatigheid). Ketiga, ada pencocokan antara perbuatan dan
tolak ukut yang telah ditetapkan. Keempat, jika terdapat tanda-
tanda akan terjaadi penyimpangan terhadap tolak ukur tersebut
dapat dilakukan pencegahan. Kelima, apabila dalam pencocokan
menunjukkan telah terjadi penyimpangan dari tolak ukur, maka
diadakan koreksi melalui tindakan pembatalan, pemulihan terhadap
akibat yang ditimbulkan dan mendisiplinkan kekeliruan itu.32

31
Sirajuddin, Dkk…284-285
32
Sirajuddin, Dkk…56
44

Makna Pengawasan memiliki peran penting dan strategis dalam

menjaga tata pemerintahan dalam suatu negara kesatuan, terlebih pada

hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pengawasan dalam

konteks tersebut bermakna sebagai pengikat antara Pemerintahan Pusat

dan Daerah. Pengawasan menjadi penting untuk menjaga kebebasan

yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah agar bandul otonomi tidak

bergerak terlalu jauh melebihi garis edar sehingga dapat mengancam

tatanan kesatuan (unitary) dalam pengelolaan negara.

Sistem pengawasan dalam konteks otonomi daerah, dalam

pandangan Sir William O. Hart dan J.F. Garner, merupakan “pengikat”

kesatuan agar bandul kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu jauh

sehingga mengancam kesatuan (unitary),”… if local autonomy is not to

produce a state affairs bordering on anarchy, it must subordinated to

national interest by means devised to keep its action within bounds”33.

Argumentasi Sir William O. Hart dan J.F Garner diatas mendapat

apresiasi dari Ni’matul Huda yang berpendapat bahwa apabila

“pengikat” tersebut ditarik begitu kencang, napas kebebasan

desentralisasi akan terkurangi bahkan mungkin terputus. Apabila hal itu

terjadi, pengawasan bukanlah satu sisi dari desentralisasi tetapi menjadi

“pembelenggu” desentralisasi. Untuk itu, pengawasan harus disertai

pembatasan-pembatasan.34

33
Sir William O. Hart dan J.F. Garner dalam Bagir Manan, Hubungan Antar Pemerintah
Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), hlm. 181
34
King Faisal Sulaiman, Dialektika Pengujian,,, hlm 45
45

Namun demikian, perlu diketahui pengertian pengawasan (toezicht,

supervision) adalah suatu bentuk hubungan dengan legal entity yang

mandiri, bukan hubungan internal dari entitas yang sama. Bentuk dan isi

pengawasan dilakukan semata-mata menurut atau berdasarkan ketentuan

undang-undang. Hubungan pengawasan hanya dilakukan terhadap hal

yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang. Pengawasan tidak

berlaku atau tidak diterapkan terhadap hal yang tidak ditentukan atau

berdasarkan undang-undang.35

Tema mengenai pengawasan atau review Perda semakin relevan di

antara isu desentralisasi dan penguatan kewenangan legislasi daerah.

Perda menjadi salah satu instrumen yang strategis untuk mewujudkan

tujuan desentralisasi. Di sisi lain, keberadaan Perda juga merupakan

implementasi sistem representasi dalam perumusan kebijakan di tingkat

Pemerintah Daerah.

Pada kontaks hubungan Pemerintahan Pusat dan Daerah di Negara

Kesatuan, peran lembaga legislatif tidak begitu penting, yang lebih

penting adalah otoritas administrasi. Lembaga legislatif hanya

membentuk peraturan yang lebih detail dilakukan oleh lembaga

eksekutif yang juga memegang otoritas administrasi untuk kemudian

dilaksanakan oleh masyarakat di tingkat daerah,36 Oleh karena itu, fungsi

35
Bagir Manan, Menyongsong Fajar,,,,hlm. 153
36
Frank J. Goodnow, Politics and Administration, (America; Transaction Publisher,
2003), hlm. 66
46

pengawasan oleh Pemerintah Pusat hadir agar tidak terjadi konflik antar

kewenangan.

Pengawasan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah

yang umum dilakukan adalah dalam bentuk pengawasan preventif dan

pengawasan represif, I Gde Pantja Astawa menyatakan bahwa secara

garis besar perbedaan antara keduanya adalah pengawasan preventif

yang dilakukan sebelum Perda disahkan, sedangkan pengawasan represif

dilakukan setelah Perda disahkan. Berdasarkan akibat hukumnya,

pengawasan preventif belum menyentuh akibat hukum yang timbul

karena status Perda belum disahkan, sedangkan dalam pengawasan

represif sudah memperhitungkan akibat hukum yang timbul pada saat

keberlakuannya.37 Bagir Manan menyatakan bahwa pengawasan

preventif memiliki aspek positif, yaitu dapat mengendalikan inisiatif

yang dilakukan oleh daerah, sehingga daerah dipaksa untuk mengikuti

kebijakan dari Pemerintah Pusat.38

37
I Gde Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, (Bandung:
Alumni, 2009), hlm. 322-323
38
Bagir Manan, Menyongsong Fajar ,,,,hlm.154
BAB III

PENGATURAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH DI INDONESIA

A. Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Peraturan Daerah

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (1) bahwa “Negara Indonesia adalah

Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.” artinya menurut Soehino:

dalam negara yang berbentuk kesatuan (unitary state, eenheidsstaat) segala

kewenangan pemerintah diletakkan pada satu pemerintahan dan dipusatkan

pada organ-organ Pemerintah.1

Dalam sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia negara kesatuan

dibagi menjadi daerah-daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, sebagaimana

ditentukan dalam Manan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, dan

menurut Bagir Manan Pasal 18 UUD 1945 yang menjadi dasar pembentukan

dan susunan pemerintahan daerah mengindikasikan pula bahwa

penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan pada sistem desentralisasi,

sehingga daerah otonom memperoleh kewenangan menjalankan urusan

pemerintahan berdasarkan pemencaran kekuasaan dari Pemerintah.2 Dengan

adanya Penyerahan kewenangan yang diberikan kepada daerah, dan

berdasarkan urusan-urusan yang menjadi dasar otonomi daerah, juga

menyangkut kewenangan dalam mengatur urusan rumah tangga daerah,

termasuk pengaturan peraturan tingkat daerah.

1
Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, Cet. Ketiga, 1993), hlm. 224
2
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan,
Jakarta, 1994, hlm. 156.
47
48

Menurut Kranenburg, kewenangan membentuk peraturan perundang-

undangan dari satuan-satuan pemerintahan tersebut, memperoleh

kewenangan berdasarkan penentuan dari Pemerintah melalui badan legislatif

nasional yang mempunyai kewenangan membentuk undang-undang.3

Sebagai bentuk pengaturan lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU 32 Tahun 2004 Pemerintahan

Daerah dibentuk dan disusun Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan

Daerah Kota. Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 di atas semakin jelas makna

sistem otonomi daerahnya semenjak dilakukan perubahan terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehubungan dengan

itu sejalan dengan sistem desentralisasi menurut Dasril Rajab; dengan sistem

desentralisasi (otonomi), maka wilayah Republik Indonesia dibagi atas

daerah-daerah otonom. Daerah otonom masing-masing memiliki otonomi

daerah, yakni hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu,

daerah-daerah otonom mengatur dan mengurus kehidupan sendiri sebagai

bagian yang organis dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah-

daerah otonom itu bersifat zelfstansing (mandiri), tetapi tidak anfhankelik.4

3
Kranenbrug, Ilmu Negara Umum, Diterjemahkan oleh Tk. B. Sabaroedin, (Jakarta:
Pradnya Aramita, Cet. Kesebelas, 1980), hlm. 81
4
Dasril Rajab, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet. II, 2005),
hlm.121
49

Walaupun demikian daerah-daerah memiliki otonomi luas tidaklah

berarti daerah tersebut bebas melaksanakan kewenangannya, dan tetap

dilakukan pengawasan dari pemerintah, sebagaimana pendapat Bagir

Manan: Pengawasan (toezicht, supervision) merupakan unsur yang tidak

dapat dipisahkan dari kebebasan berotonomi. Antara kebebasan dan

kemandirian berotonomi di suatu pihak dan pengawasan di pihak lain,

merupakan dua sisi dari satu lembar mata uang dalam negara kesatuan

dengan sistem otonomi (desentralisasi). Kebebasan dan kemandirian

berotonomi dapat dipandang sebagai pengawasan atau kendali terhadap

kecenderungan sentralisasi yang berlebihan. Sebaliknya pengawasan

merupakan kendali terhadap desentralisasi berlebihan. Tidak ada otonomi

tanpa sistem pengawasan.5 Pengawasan dimaskud termasuk pengawasan

oleh pemerintah terhadap Peraturan Daerah.

Melalui penyerahan dan/atau pelimpahan dan penambahan urusan

pemerintahan oleh Pemerintah atau Pemerintahan Daerah tingkat atasnya

menjadi urusan daerah otonom, dan urusan pemerintahan yang telah

diserahkan/dilimpahkan dan berada oada daerah tersebut mengakibatkan

daerah mempunyai kebebasan untuk membentuk peraturan perundang-

undangan ditingkat daerah, Menurut Bagir Manan termasuk menyangkut

5
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Penerbit PSH
Fakultas Hukum UII, 2001), hlm.153
50

cara membatasi wewenang, tugas dan tanggung jawab pada daerah-daerah

untuk mengatur urusan pemerintahan tertentu.6

Dari sudut Hukum Tata Negara Indonesia, otonomi merupakan sub

sistem dari konsep Negara Kesatuan Repubik Indonesia selanjutnya

disingkat menjadi NKRI. Segala pengertian dan isi otonomi adalah

pengertian dan isi dari NKRI berdasarkan landas batas tersebut

dikembangkanlah berbagai aturan yang mengatur mekanisme yang akan

menjelmakan keseimbangan antara tuntutan kesatuan dan tuntutan otonomi,

dan di sinilah letak kemungkinan permasalahan yang timbul dari kondisi

tarik menarik antara kedua kecenderungan tersebut hingga kemudian

berkembanglah gagasan mengenai pengawasan Pemerintah Pusat terhadap

Pemerintah Daerah yang mana diantaranya diaktualisasikan dalam bentuk

pembatalan-pembatalan produk hukum daerah (Perda), kendatipun isi

pengawasan tersebut disadari atau tidak secara gamblang telah masuk ke

dalam ranah yudisial yang mana rana itu merupakan kompetensi dari

lembaga yudikatif.7

Pengawasan Pemerintah terhadap Pemerintah Daerah dengan

mekanisme pembatalan Perda yang oleh Pemerintah dinilai bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan

dengan kepentingan umum, kemudian dianggap menjadi metode kontrol

6
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1994), hlm.15-16
7
Ni’matul Huda, Hubungan Pengawasan Produk Hukum Daerah Antara Pemerintah
Dengan Pemerintah Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Hukum No.
Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009, hlm. 5
51

Pemerintah Pusat yang efektif untuk mengawasi dan mengendalikan setiap

kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah tidak cukup

hanya Presiden yang membatalkan, tetapi Menteri Dalam Negeri pun

memiliki kewenangan untuk membatalkan produk hukum daerah tersebut.

Sejak otonomi daerah, telah ribuan Perda dibuat oleh Pemerintah Daerah

baik dari tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Diantara Perda tersebut

banyak yang dianggap bermasalah baik karena menimbulkan ekonomi biaya

tinggi, memberatkan masalah di daerah dan berdampak kepada kerusakan

lingkungan akibat izin yang ditimbulkannya.8

Pengawasan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang

umum dilakukan adalah dalam bentuk pengawasan preventif dan

pengawasan represif, I Gde Pantja Astawa menyatakan bahwa secara garis

besar perbedaan antara keduanya adalah pengawasan preventif yang

dilakukan sebelum Perda disahkan, sedangkan pengawasan represif

dilakukan setelah Perda disahkan. Berdasarkan akibat hukumnya,

pengawasan preventif belum menyentuh akibat hukum yang timbul karena

status Perda belum disahkan, sedangkan dalam pengawasan represif sudah

memperhitungkan akibat hukum yang timbul pada saat keberlakuannya.9

Bagir Manan menyatakan bahwa pengawasan preventif memiliki aspek

8
https://kemendagri.go.id., Mendagri batalkan 1.999 Perda
9
I Gde Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, (Bandung:
Alumni, 2009), hlm. 322-323
52

positif, yaitu dapat mengendalikan inisiatif yang dilakukan oleh daerah,

sehingga daerah dipaksa untuk mengikuti kebijakan dari Pemerintah Pusat. 10

B. Perkembangan Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Peraturan

Daerah dalam Tinjauan Normatif

Indonesia adalah Negara Kesatuan yang menerapkan prinsip otonomi

dan asas desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Pada

praktiknya, konsep hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah berjalan di

bawah komando politik hukum rezim yang berkuasa. Kondisi itu membuat

pelaksanaan otonomi daerah dan asas desentralisasi tidak sama dari waktu

ke waktu. Perubahan yang terjadi termasuk ketika Indonesia menjalankan

bentuk Negara Federal, walaupun hanya dalam jangka waktu yang singkat.

Pasca Kemerdekaan pada 1945, Indonesia sudah memberlakukan

empat konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 pra amandemen (UUD

1945) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949 (UUD RIS

1949) dan UUD 1945 amandemen. Masing-masing konstitusi, walaupun

dalam bentuk negara yang berbeda, mengatur hubungan Pemerintah Pusat

dan Pemerintah Daerah. Selain itu, masing-masing konstitusi memiliki UU

organik tersendiri yang mengatur sistem Pemerintah Indonesia di Daerah.

Keseluruhan ketentuan mengakui bahwa ada hubungan hirarki antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jimly Asshiddiqie

mengemukakan bahwa makna dari frasa “dibagi atas” dalam ketentuan pasal

10
Bagir Manan, Menyongsong Fajar,,,hlm.154
53

18 ayat (1) UUD NRI 1945 merujuk kepada hubungan Pemerintah Pusat dan

Daerah yang bersifat hirarkis dan vertikal.11

1. Pengawasan Pada Awal Masa Kemerdekaan Berdasarkan UU

Nomor 1 Tahun 1945

Praktik pembagian kekuasaan secara vertikal di Indoneia sudah

dilakukan sejak sebelum masa kemerdekaan. Pada awalnya pembagian ini

bersifat sentralistis,12 selayaknya pemerintahan di negara-negara otoritarian

pada umumnya. Sistem pemerintahan jajahan di Indonesia kemudian beralih

menjadi sistem desentralisasi pada Tahun 1893. Pada tahun 1903, untuk

pertama kalinya dibentuk Undang-Undang Desentralisasi 1903.13

Pasca disahkannya UUD 1945, UU pertama yang dibentuk terkait

dengan pemerintahan Indonesia di daerah adalah Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1945 tentang Pengaturan mengenai kedudukan Komite Nasional

Daerah (Undang-Undang ini sering juga disebut sebagai Undang-Undang

Desentralisasi karena UU ini merupakan UU pertama yang mengatur tentang

desentralisasi, selanjutnya disebut UU No.1 Tahun 1945). UU itu hanya

mengatur enam pasal, dan substansinya pun tidak terlalu detail jika

dibandingkan dengan UU yang dibentuk dengan tema yang sama setelahnya.

Pada Pasal 2 UU ini diatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah yang

merupakan amanat dari Pasal 18 dan 20 UUD 1945. Dalam menjalankannya,

11
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002), hlm.21
12
Fitriani Ahlan Sjarif, Pengawasan Peraturan Daerah dalam Kerangka Negara
Kesatuan (Tinjauan Historis dan Perandingan Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22
Tahun 1999 dan UU nomor 32 Tahun 2004), Tesis Pascasarjana FHUI, Jakarta, 2005, hlm. 93
13
Fitriani Ahlan Sjarif,,,,hlm.94
54

dibentuklah Komite Nasional Daerah yang bertindak sebagai Badan

Perwakilan yang dipimpin oleh Kepala Daerah. Pada Pasal 3 dan 4 diatur

mengenai anggota Komite Nasional Daerah.

Secara umum, pada UU Nomor 1 Tahun 1945 tidak diatur secara

eksplisit mengenai pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah

Daerah. Namun begitu, dalam Pasal 2 diatur bahwa, “… asal tidak

bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

yang lebih luas dari padanya”. Kalimat itu dengan tegas menyatakan bahwa

prinsip otonomi daerah dilaksanakan secara terbatas. Pada Pelaksanaannya

pun fungsi pengawasan tetap dijalankan demi mendapatkan keharmonisan

kebijakan secara nasional.

2. Pengawasan Pemerintah Pusat Selama Orde Lama

UU Nomor 1 Tahun 1945 kemudian diubah menjadi Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok mengenai

Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus

rumah tangganya sendiri (selanjutnya disebut UU Pemda 1948). UU yang

baru tersebut sudah mulai mengatur perihal Pemerintahan di daerah secara

detail, sehingga tidak hanya mengatur mengenai prinsip-prinsip umum yang

sebenarnya sudah digariskan dalam UUD 1945. Di dalam UU Pemda 1948

tersebut diatur bahwa setiap daerah memiliki kekuasaan untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri, serta menlaksanakan medebewind atau

hak untuk menjalankan peraturan dari Pemerintah Pusat atau Daerah tingkat
55

atasannya berdasarkan perintah daerah atasan tersebut.14 Kekuasaan

Pemerintah dibuat berjenjang dengan mengatur bahwa daerah berada di

bawah instansi atasannya, yaitu Provinsi di bawah Presiden, sedangkan

Provinsi sendiri mengawasi Kabupaten/Kota, begitupun Kabupaten/Kota

mengawasi Desa/Kota kecil di bawahnya. UU Pemda 1948 tidak sempat

berlaku lama, karena status Negara Indonesia sudah berubah menjadi

Federal berdasarkan Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949.

UU Pemda 1948 terus berlaku sampai digantikan oleh Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan (UU Pokok-

Pokok Pemerintahan 1957). UU tersebut dibentuk dengan mendasarkan

kepada UUDS 1950.15 Politik hukum dalam membentuk UU Pokok-Pokok

Pemerintahan 1957 berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1948. Perubahan

yang paling mendasar dalam konteks hubungan Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah adalah adanya upaya untuk meminimalkan penggunaan

asas sentralisasi dengan menyebutkan bahwa Kepala Daerah bukan alat

Pemerintah Pusat, sehingga tidak bergantung kepada Pemerintah Pusat.

Keberlakuan dari UU Pokok-Pokok Pemerintahan 1957 tidak berlaku

sepenuhnya karena dua tahun setelah pengesahannya Presiden Soekarno

mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang mengembalikan keberlakuan UUD

1945. Dalam nuansa Dekrit 5 Juli 1959, Pemerintah mengeluarkan

penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 dan selanjutnya

dibentuk pula Penpres Nomor 5 Tahun 1960. Kedua Penpres itu secara tegas

14
Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
15
Penjelasan Umum UUDS Bab IV. Pada Pasal 131 ayat 2 UUDS 1950
56

mengembalikan pengelolaan Pemerintahan di daerah dari desentralisasi

berdasarkan UU Pokok-Pokok Pemerintahan 1957, kembali menjadi

sentralisasi.

Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap Perda

yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah adalah dengan pengawasan preventif

dan represif, sedangkan pengawasan umum dilakukan terhadap pelaksanaan

kewenangan Pemerintahan Daerah lain. Pengawasan preventif berarti bahwa

suatu Perda mengenai pokok-pokok tertentu tidak berlaku sebelum disahkan

oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri. Pengawasan

represif dilakukan dalam bentuk menangguhkan atau membatalkan suatu

Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi.16

3. Pengawasan Peraturan Daerah Pada Masa Orde Baru

Memasuki rezim orde baru, pengaturan mengenai Pemerintahan di

Daerah mengalami perubahan kembali, yaitu menjadi Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (UU

Nomor 5 UU Pokok-Pokok Pemda 1974). Walaupun berubah, tetapi asas

sentralisasi masih kental diberlakukan, tetapi dalam UU ini kekuasaan dari

Pemerintahan daerah diperkecil.17 Mahfud MD menyebutkan bahwa periode

waktu 1969-1998 menunjukkan konfigurasi politik yang otoriter, yang

16
Penjelasan Umum UU Pemda 1985
17
Fitriani Ahlan Sjarif, Pengawasan Peraturan Daerah dalam Kerangka Negara
Kesatuan (Tinjauan Historis dan Perandingan Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22
Tahun 1999 dan UU nomor 32 Tahun 2004), Tesis Pascasarjana FHUI, Jakarta, 2005, hlm.107
57

dicirikan dengan pola hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

yang sentralistik dan mengedepankan asas dekonsentrasi.18

Sama halnya dengan UU Pokok-Pokok Pemerintahan 1965,

pengawasan yang dilakukan terhadap Perda pada UU Pokok-Pokok Pemda

1974 juga melingkupi pengawasan preventif dan represif. Pengawasan

preventif diatur dalam Pasal 68 dan 69, sedangkan pengawasan represif

diatur dalam Pasal 70. Konsep pengawasan pada kedua ketentuan tersebut

tidak berbeda jauh, hanya ada penjelasan yang lebih komprehensif terhadap

ketentuan dalam UU Pokok-Pokok Pemda 1974.

4. Pengawasan Peraturan Daerah Pada Masa Reformasi

Pasca tahun 1999, ketika rezim sudah masuk dalam masa reformasi,

dibentuk UU baru menggantikan UU Pokok-Pokok Pemda 1974, yaitu

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (UU

Pemda 1999). Dorongan untuk memberikan kebebasan yang luas kepada

daerah sangat terlihat dalam substansi UU ini. Desakan itu muncul

berdasarkan pengalaman buruk yang terjadi selama dikuasai oleh rezim

otoriter sehingga seolah-olah pada awal Orde Reformasi Pemerintah Daerah

mendapatkan kekuasaan berlebih, bahkan cenderung menggerogoti

kekuasaan yang sesungguhnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat.

Seolah ingin memperbaiki apa yang diatur dalam UU Pemda 1999,

selanjutnya dibentuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2004) yang kembali menggerakkan

18
Mahfud M.D, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Gama Medika,
1999), hlm. 197
58

pendulum ke arah sentralisasi. Namun begitu, UU ini tidak melakukannya

secara penuh karena masih kuatnya pengaruh euforia demokrasi pasca

reformasi dan lepasnya rezim kekuasaan Orde Baru yang otoritarian. Hal

itulah yang menjadikan pengaturan mengenai konsep sentralisasi dalam UU

Pemda 2004 tidak mencolok.19

Pada UU Pemda 1999, pengawasan terhadap Perda hanya dilakukan

dengan cara represif, atau dengan tidak mengenal pengawasan preventif. Hal

ini selaras dengan semangat mengurangi kekuasaan dari Pemerintah Pusat,

tetapi juga tidak menghilangkan esensi dari konsep negara kesatuan.

Hasilnya, sejak UU Pemda 1999 disahkan jumlah Perda yang dihasilkan 368

Kabupaten/Kota di Indonesia telah mencapai sekitar 6.000 Perda. Sejumlah

645 Perda diantaranya dibatalkan oleh Pemerintah dalam kurun waktu 3

tahun, yaitu tahun 1999 hingga 2002. Hal tersebut menjadi salah satu

evaluasi dalam mengubah mekanisme pengawasan UU Pemda 1999. Pada

UU penggantinya, yaitu UU Pemda 2004, pengawasan preventif kembali

diatur khusus untuk beberapa jenis Perda saja, yaitu Pajak Daerah, Retribusi

Daerah, Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dan Rencana

Umum Tata Ruang (RUTR). Sedangkan pengawasan preventif dilakukan

terhadap seluruh Perda yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah.

19
Fitriani Ahlan Sjarif, Pengawasan Peraturan Daerah dalam Kerangka Negara
Kesatuan (Tinjauan Historis dan Perandingan Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22
Tahun 1999 dan UU nomor 32 Tahun 2004), Tesis Pascasarjana FHUI, Jakarta, 2005, hlm.110-
111
59

C. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/ 2016

Pemohon adalah 5 (lima) orang karyawan yang hak-hak

konstitusionalnya berpotensi dirugikan oleh ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan

ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pemohon mengajukan

Perda yang berpotensi dibatalkan oleh Menteri dan Gubernur, yang apabila

Perda tersebut dibatalkan maka pembatalan tersebut akan berdampak pada

diri pada Pemohon, Perda yang berpotensi dibatalkan yaitu;

1) Peraturan Daerah Kabupaten Karawang Nomor 1 Tahun 2011 tentang

Penyelenggaraan Ketenagakerjaan (Lembaran Daerah Kabupaten

Karawang Tahun 2011 Nomor 1 Seri E)

2) Peraturan Daerah Kabupaten Siak Nomor 11 Tahun 2001 tentang

Penempatan Tenaga Kerja Lokal (Lembaran Daerah Kabupaten Siak

Tahun 2001 Nomor 11 Seri C)

3) Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 4 Tahun 2002 tentang

Penempatan Tenaga Kerja Lokal (Lembaran Daerah Kota Pekanbaru

Tahun 2002, Seri D, Nomor 4)

Kemudian ketentuan Pasal 251 ayat (7) dan ayat (8) Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang hanya mengakui Bupati dan Gubernur

sebagai satu-satunya subjek hukum yang dapat mengajukan keberatan atas

keputusan pembatalan Perda dan Perkada, hal ini dirasa oleh para Pemohon

telah menghilangkan hak para Pemohon untuk turut serta mempertahankan

keberadaan Perda dimaksud. Sebab, sangat mungkin bagi Penyelenggara

Pemerintahan pada tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi, tidak


60

mempergunakan haknya untuk mengajukan keberatan atas keputusan

Gubernur atau Menteri terhadap pembatalan Perda Provinsi atau

Kabupaten/Kota, dan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota.

Hal ini jelas merugikan hak konstitiusional para Pemohon.

Pasal 251 ayat (1), (2), (7), (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1)

dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dengan alasan bahwa kewenangan menguji materil peraturan

Perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang

merupakan kewenangan Mahkamah Agung, selain dari pada itu pemohon

mendalilkan Pasal 251 ayat (7) dan (8) Undang-undang Nomor 23 Tahun

2014 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar NRI

1945.20 Berikut norma yang dimohonkan pengujian dalam menguji materil

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014:

Pasal 251 ayat (1)


Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.
Pasal 251 ayat (2)
Perda Kabupaten/Kota dan peraturan Bupati/Walikota yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan
dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Pasal 251 ayat (7)

20
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016, h.4
61

Dalam hal penyelenggara Pemerintah Daerah Provinsi tidak dapat


menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan Gubernur tidak
dapat menerima keputusan pembatalan peraturan gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat
dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan,
gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling
lambat 14 (empat belas) hari sejak keputusan pembatalan Perda
atau peraturan gubernur diterima.
Pasal 251 ayat (8)
Dalam hal penyelenggara Pemeerintahan Daerah Kabupaten/Kota
tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota
dan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan
alasan yang dapat dibenarlan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan, Bupati/Walikota dapat mengajukan keberatan kepada
Menteri paling lambat 14 (empat belas) hari sejak keputusan
pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau peraturan Bupati/Walikota
diterima.
Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 251 ayat (1), ayat (2), ayat (7) dan

ayat (8) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal

24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi :

“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,


menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lain yang
diberikan oleh undang-undang”
Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi:

“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum


dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya”
62

Pemohon beralasan bahwa executive review secara represif yang

diatur dalam ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2014, merupakan kompetensi Mahkamah Agung (MA)

sebagai pengadilan Negara tertinggi dari badan peradilan umum, agama,

militer dan tata usaha Negara, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan

Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, dengan demikian Pasal 251 ayat (1) dan (2)

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 24A ayat

(1) UUD 1945. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 ayat (7) dan (8),

secara tegas hanya diakui penyelenggara pemerintahan daerah pada tingkat

provinsi atau kabupaten/kota, sebagai satu-satunya subyek hukum yang

dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan pembatalan Perda

Kabupaten/Kota oleh Gubernur atau Menteri, atau Perda Provinsi oleh

Menteri. Hal ini bertentangan karena sebagai Negara hukum, konstitusi

Indonesia mengakui hak asasi manusia yang harus didasarkan pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku serta persamaan kedudukan

dihadapan hukum harus dijunjung tinggi oleh setiap warganegara, tanpa

terkecuali juga dengan penyelenggara Negara atau pemerintahan

sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Peraturan Gubernur maupun Bupati/Walikota yang tertuang dalam

Pasal 251 ayat (1) dan (2) merupakan salah satu bentuk peraturan

perundang-undangan yang memuat norma hukum mengikat secara umum

dan ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui

prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, selain itu


63

secara hierarki kedudukan peraturan Bupati/Walikota berada di bawah

undang-undang sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1)

dan Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Dengan

demikian, keputusan Gubernur dan Menteri yang membatalkan Perda yang

erat kaitannya dengan hajat hidup masyarakat, dan menurut penilaian

masyarakat bahwa Perda tersebut harus dipertahankan, maka keputusan

Gubernur dan Menteri yang membatalkan Perda dapat dimintakan keberatan

ke Mahkamah Agung melalui mekanisme pengujian peraturan (judicial

review). Dari uraian tersebut para pemohon intinya mempersoalkan Pasal

251 ayat (1), (2), (7) dan (8) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Pasal 24A dan Pasal 27 ayat (1)

UUD NRI 1945.

D. Pertimbangan Hakim Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-

XIV/2016

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 ini

melengkapi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015

sehingga pertimbangan hakim pada kedua putusan ini tidak jauh berbeda.

Pada Putusan sebelumnya yakni Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan

bahwa frase “peraturan daerah kabupaten/kota dan” dalam ketentuan Pasal

251 ayat (2) dan (4), frase “peraturan daereah kabupaten/kota dan/atau”

dalam Pasal 251 ayat (3), dan frase ‘penyelenggara pemerintahan daereah

kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan

daerah kabupaten/kota dan” Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


64

Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Menteri Dalam Negeri

maupun Gubernur tidak dapat lagi membatalkan peraturan daerah

kabupaten/kota.

Berdasarkan kedua Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, kini

baik Gubernur maupun Menteri Dalam Negeri tidak lagi berwenang

membatalkan Peraturan Daerah tingkat Kabupaten/Kota dan Peraaturan

Daerah tingkat Provinsi. Sehingga untuk Pembatalan Peraturan Daerah harus

melalui proses Judicial Review di Mahkamah Agung, hal ini sesuai dengan

amanat UUD NRI 1945 Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-

undang dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.

Berikut penjelasan terkait pertimbangan hakim mengenai Peraturan Daerah

dan Peraturan Kepala Daerah.

1. Peraturan Daerah (Perda)

Mahkamah Konsttusi mempertimbangkan terkait dengan

pembatalan Peraturan Daerah. Pertama, Mahkamah mempertimbangkan

bahwa kewenangan yang diberikan kepada Gubernur sebagai wakil

Pemerintah Pusat di daerah dan Menteri sebagai pembantu Presiden melalui

Pasal 251 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah dalam hal membatalkan Peraturan Daerah baik

ditingkat Kabupaten/Kota maupun ditingkat Provinsi telah melabrak logika


65

konsep Negara hukum seperti yang diamanatkan pada Pasal 1 ayat (3) UUD

NRI 1945. Kedua, Pembatalan Peraturan Daerah yang dilakukan oleh

Gubernur dan Menteri telah menegasikan peran dan fungsi Mahkamah

Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang baik itu Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota maupun Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana telah

tertuang dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Ketiga, selain itu Mahkamah

juga berpendapat bahwa Menteri Dalam Negeri dan Gubernur telah

melampaui batas kewenangan Mahkamah Agung karena parameter atau

tolak ukur yang dilakukan untuk membatalkan Peraturan Daerah oleh pihak

pemerintah terkait frase peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

kepentingan umum dan kesusilaan merupakan ranah dari Mahkamah Agung.

Keempat, pembatalan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota melalui keputusan Gubernur sebagai wakil Pemerintah

Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (4) Undang-undang

Pemda, menurut Mahkamah tidak sesuai dengan rezim peraturan perundang-

undangan yang diantut Indonesia. Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 Undang-

undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan tidak mengenal Keputusan Gubernur sebagai salah satu jenis dan

hierarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian kedudukan

keputusan Gubernur bukanlah bagian dari rezim peraturan perundang-

undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hokum untuk

membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kelima, Mahkamah


66

menganggap bahwa telah terjadi kekeliruan bahwa produk hokum

(beschikking) dapat membatalkan produk hokum yang berbentuk peraturan

(regeling) Peraturan Daerah yang berkedudukan sebagai produk hokum

(regeling) dapat dibatalkan oleh keputusan Gubernur atau keputusan Menteri

yang bersifat (beschikking). Keenam, karena berbentuk keputusan Gubernur

atau keputusan Menteri akan dikhawatirkan menimbulkan dualism Putusan

Pengadilan, Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota dibatalkan

melalui Keputusan Gubernur atau Keputusan Menteri maka upaya hukum

yang dapat dilakukan adalah melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

dan seandainya upaya hokum tersebut dikabulkan maka Peraturan Daerah

Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dibatalkan oleh keputusan Gubernur

atau Keputusan Menteri menjadi berlaku kembali. Di sisi lain, terdapat

upaya hokum pengujian Peraturan Daerah melalui Mahkamah Agung yang

dilakukan oleh Pemerintah, Masyarakat di daerah tersebut atau pihak yang

merasa dirugikan dengan berlakunya Peraturan Daerah tersebut. Misalnya

upaya hukum melalui Mahkamah Agung tersebut dikabulkan maka

Peraturan Daerah menjadi dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian telah

terjadi dualism dalam persoalan yang sama. Potensi dualism Putusan

Pengadilan antara Putusan PTUN dan Putusan Pengujian Peraturan Daerah

oleh Mahkamah Agung terhadap substansi perkara yang sama, hanya

berbeda produk hukum akan menimbulkan ketidakpastian hukum, padahal

kepastian hokum merupakan hak setiap orang yang dijamin dan dilindungi

oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Oleh karena itu, menurut
67

Mahkamah Pengujian atau pembatalan Peraturan Daerah menjadi ranah

kewenangan Konstitusional Mahkamah Agung.

2. Peraturan Kepala Daerah (Perkada)

Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan terkait dengan

pembatalan Peraturan Kepala Daerah. Mahkamah mempertimbangkan

bahwa Peraturan Kepala Daerah menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang

Pemerintahan Daerah adalah Peraturan Gubernur dan Peraturan

Bupati/Walikota. Selanjutnya Pasal 246 ayat (1) UU Pmeda menyatakan,

Kepala Daerah berwenang menetapkan Perkada dalam rangka melaksanakan

Perda atau atas kuasa peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan

Peraturan Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang dalam

pembuatannya melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

sedangkan Peraturan Bupati/Walikota atau Peraturan Gubernur dibuat

dengan tidak melibatkan DPRD.

Mahkamah berpendapat Peraturan Kepala Daerah merupakan salah

satu jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 8 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, akan tetapi karena dibentuk hanya oleh Kepala

Daerah sebagai satuan bestuur dalam rangka menindaklanjuti Peraturan

Daerah dan urusan pemerintahan wajib sebagaimana ditentukan dalam

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerinitahan Daerah

sehingga dalam kerangka Negara Kesatuan Pemerintah Pusat sebagai satuan

bestuur yang lebih tinggi memiliki kewenangan untuk membatalkan


68

Perkada. Pembatalan dan mekanisme pengajuan keberatan pembatalan

Perkada dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dari

Presiden atau Menteri dan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat kepada

Pemerintah Daerah atau dengan kata lain sebagai suatu bentuk pengawasan,

bukan pengujian peraturan perundang-undangan, dalam lingkungan bestuur

oleh satuan bestuur yang lebih tinggi terhadap satuan bestuur yang lebih

rendah.

E. Keterangan Para Ahli dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

56/PUU-XIV/201621

1. Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum

Tahun 1999 merupakan titik balik penting dalam sejarah

desentralisasi di Indonesia, karena akhirnya Pemerintah Pusat bersedia

mendesentralisasikan kewenangannya yang dibuka pada 7 Mei 1999

dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah dan pada 19 Mei 1999 lahirnya UU Nomor 25 Tahun 1999

tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Kewenangan Pemerintah Pusat dalam bentuk pembatalan Perda dan

Keputusan Kepala Daerah yang lebih dikenal dengan pengawasan

represif. Pengawasan di UU Nomor 22 Tahun 1999 lebih ditekankan

pada pengawasan represif untuk lebih memberikan kebebasan kepada

Daerah Otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran

21
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016
69

kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas

terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu, Perda yang ditetapkan

Daerah Otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh

pejabat yang berwenang.

Kewenangan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap produk hokum

daerah direvisi di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan

memunculkan kembali pengawasan represif, yang memberikan

kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mengevaluasi Raperda

dan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD. Perubahan APBD dan

Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD. Di samping itu, juga ada

kewenangan untuk melakukan klarifikasi terhadap semua peraturan

daerah kecuali tentang APBD. Perda wajib disampaikan kepada Menteri

Dalam Negeri untuk Provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota

untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap Peraturan Daerah yang

bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi

dapat dibatalkna sesuai mekanisme yang berlaku.

Begitu pula yang ditentukan dalam UU Nomor 24 Tahun 2014,

pengawasan preventif dalam bentuk evaluasi rancangan peraturan daerah

diberikan kepada Menteri untuk mengevaluasi Raperda Provinsi yang

mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, Perubahan APBD,

Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD, Pajak Daerah, Retribusi

Daerah dan Tata Ruang Daerah sebelum ditetapkan oleh Gubernur.

Undang-undang ini juga memberikan kewenangan kepada Gubernur


70

sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mengevaluasi rancangan

peraturan daerah Kabupaten/Kota yang mengatur tentang RPJPD,

RPJMD, APBD, Perubahan APBD, Pertanggungjawaban Pelaksanaan

APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang Daerah sebelum

ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

Dalam Pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan “pertingkatan”,

melainkan juga pada “lingkungan wewenangnya”. Suatu Perda yang

bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih

tinggi (kecuali UUD) belum tentu salah, kalau ternyata peraturan

perundang-undangan tingkat tinggi yang melanggar hak dan kewajiban

daerah yang dijamin UUD atau UU Pemerintahan Daerah. Untuk itu,

pembatalan Perda seharusnya tidak dilakukan oleh Pemerintah, tetapi

pembatalan Perda harus dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui

proses pengujian peraturan perundang-undangan.

Pemerintah Pusat (Menteri dan Gubernur) yang melakukan

executive preview dalam bentuk evaluasi terhadap rancangan peraturan

daerah (Raperda) Provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD,

APBD, Perubahan APBD, Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD,

Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang Daerah sebelum

ditetapkan oleh Gubernur. Serta mengevaluasi rancangan peraturan

daerah Kabupaten/Kota yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD,

Perubahan APBD, Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD, Pajak


71

Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang Daerah sebelum ditetapkan

oleh Bupati/Walikota, seperti diatur dalam Pasal 245 UU Nomor 23

Tahun 2014 sudah tepat.

2. Prof. Dr. Ryas Rasyid, MA.

Ahli sependapat dengan yang disampaikan oleh ahli Prof. Dr.

Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., bahwa ada dua kejanggalan yang dapat

dideteksi dari aturan yang terutang dalam Undang-undang Nomor 23

Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Pertama, Pemerintah Provinsi dan Pemerintahan Dalam Negeri

dalam hal ini Pemerintah Pusat itu mempunyai kewenangan memeriksa,

mengkoreksi, menyarankan untuk membatalkan dan seterusnya terhadap

rancangan Peraturan Daerah.

Semua Peraturan Daerah tidak bias langsung disahkan oleh DPRD

bersama pemerintah daerah tanpa diberi persetujuan oleh Kementerian

Dalam Negeri untuk Perda Provinsi dan Gubernur untuk Perda

Kabupaten/Kota kalau ada Perda yang kemudian lolos dan ternyata

isinya atau substansinya bertentangan dengan Undang-undang yang

lebih tinggi atau peraturan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan

kepentingan umum, hal itu menunjukkan ada kelalaian dalam supervise

dan pengawasan oleh pihak yang diberi tanggung jawab untuk

mengoreksi rancangan Perda itu.

Dengan demikian, bukannya Perda itu dibatalkan dengan

menghukum mereka yang sudah membuat keputusan. Yang dihukum itu


72

adalah meraka yang membuat ini terjadi, atau yang harus diberi sanksi

adalah yang tidak melaksanakan fungsinya dan kewenangannya untuk

mencegah terbitnya Perda yang kemudian terbukti bertentangan dengan

kepentingan umum atau Undang-undang yang lebih tinggi. Hal tersebut

menurut ahli sedikit memprihatinkan.

Kewenangan untuk Provinsi atau Menteri Dalam Negeri

membatalkan satu Perda, sama dengan hak veto. Sesuatu yang sudah

diputuskan oleh legislative, di-veto oleh mereka, kita tidak menganut

system hak veto karena baik pemerintah, Kabupaten/Kota maupun

Provinsi, terlibat dalam proses pembuatan, rancangan pembuatan dan

pengesahan peraturan daerah itu, mereka ikut serta. Hak veto itu terjadi

jika seluruh proses penyusunan rancangan Undang-undang atau

peraturan berbeda di tangan legislative, kemudian eksekutif menilai ini

sesuai apa tidak, eksekutif dapat melakukan veto terhadap peraturan

tersebut.

Kedua, Kalau hal ini ditarik ke atas bahwa Gubernur dapat

membatalkan satu Perda yang sudah disetujui oleh DPRD dan tentu saja

dengan lampu hijau dari Kementerian Dalam Negeri atau Peraturan

Kepala Daerah/Peraturan Daerah Provinsi oleh Menteri Dalam Negeri.

Menjadi aneh kalau asumsi ini dipakai karena itu berarti Presiden juga

dapat membatalkan Undang-undang. Undang-undang dengan Perda

sama, dalam arti ptosesnya, yaitu melalui proses politik.


73

Kenapa Presiden tidak mempunyai hak membatalkan Undang-

undang? Karena memang Undang-undang dibuat dalam suatu proses

politik, sehingga tidak masuk logikanya ketika Gubernur dapat

membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten? dan Menteri Dalam Negeri

sebagai bagian dari eksekutif membatalkan Perda Provinsi yang

merupakan dua lembaga. Hal itu yang menurut ahli harus dikoreksi.

Pertanyaan yang timbul kemudian adalah mengapa kewenangan

tersebut ditarik oleh Pemerintah Pusat? Hal tersebut belum dapat

dijawab dan Pemerintah sampai sekarang tidak pernah menjelaskan alas

an-alasan spesifik dari penarikan kewenangan-kewenangan itu. Hal

inilah yang kemudian membingungkan Kepala-Kepala Daerah, terlebih

lagi kewenangan untuk mengelola anggaran serta kegiatan pendidikan,

selama ini pengelolaan bidang pendidikan yang diberikan kepada daerah

sudah terlaksana dengan baik namun secara tiba-tiba kewenangan

tersebut diambil alih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah

Pusat tidak memberikan penjelasan mengenai ha tersebut dan

membiarkan masyarakat dalam hal ini pemerintah daerah menafsirkan

serta mencari solusi sendiri terhadap masalah yang kemudian timbul

akibat diambil alihnya kewenangan tersebut. Dalam hal ini, ada beberapa

kebijakan pemerintah daerah yang kemudian dibatalkan oleh pemerintah

pusat terkait pendidikan.

Terkait dengan pembatalan produk legalisasi dan termasuk di

dalamnya adalah Perda, Mahkamah Agung dalam hal ini memiliki


74

kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah. Sebelum sebuah

Perda tersebut dikonsultasikan secara bertahap mulai dari tingkatan

Kabupaten, Provinsi kemudian tingkatan Menteri melakukan

pemeriksaan tersebut. Mekanisme tersebut menurut ahli lebih baik

dilakukan jika pemerintah ingin bersungguh-sungguh menggunakan

instrument pengawasannya. Yang kemudian banyak terjadi adalah Perda

tersebut sudah diputuskan oleh DPRD kemudian menunggu pengesahan

lalu barulah dikonsultasikan, mekanisme ini menurut ahli tidaklah

efisien. Pembuatan Perda tentulah harus efisien baik dalam segi waktu

maupun dana atau uang.

Bahwa kewenangan dalam pembuatan Perda merupakan

pelimpahan kewenangan pusat kepada daerah, oleh karena itu perlu

persetujuan DPRD lalu kemudian DPR RI, jika hal tersebut hanya

menjadi kewenangan Presiden selaku kepala Pemerintahan maka tidak

perlu menggunakan Undang-undang untuk mengatur mengenai

pemerintahan daerah. Dengan demikian, tidak berarti bahwa setelah

Presiden dipilih, seluruh kewenangan pemerintah sudah ada di tangan

Presiden. Ada bagian-bagian tertentu, khususnya penyerahan atau

pengalihan kewenangan dari pusat ke daerah yang harus dengan

Undang-undang, dan menurut ahli hal tersebut tidak menimbulkan

sentralisasi seperti yang dikhawatirkan selama ini.


75

Bahwa Presiden sebagai penanggung jawab terhadap kebijakan

yang diambil oleh sebuah Negara. Dalam UUD 1945 dikatakan

demikian, namun bukan berarti dalam hal ini Presiden bekerja sendiri

namun perlu kelengkapan Negara lainnya.

Menurut ahli, berdasarkan Undang-undang fungsi legislative berada

pada DPR juga DPRD, dan dalam UU Pemda tertulis hak-hak DPR sama

dengan hak-hak DPRD.

Kesimpulannya adalah, bahwa dalam pembentukan Perda,

diperlukan pengawasan bertingkat hingga tingkat pusat, dengan tujuan

agara tidak terjadi lagi Perda-Perda yang kemudian dibatalkan karena

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

F. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

Mahkamah Konstitusi kemudian mengabulkan permohonan para

pemohon untuk sebagian, namun Mahkamah Konstitusi juga mengabulkan

beberapa ayat dari Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah yang meskipun tidak dicantumkan oleh para pemohon

dalam pokok permohonan tetapi kemudian dikabulkan oleh Mahkamah

Konstitusi. Ayat pada Pasal 251 yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi

adalah Pasal 251 ayat (1), ayat (4), ayat (5) dan ayat (7) yang akan

dijelaskan sebagai berikut, frase-frase mana saja yang dibatalkan oleh

Mahkamah Konstitusi dan dianggap bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945), diantaranta adalah:


76

• Pasal 251 Ayat (1) “Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh
Menteri”
• Pasal 251 Ayat (4) “Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan
gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan Menteri dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan
peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat”
• Pasal 251 Ayat (5) “Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan
pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah
harus menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD
bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud”
• Pasal 251 Ayat (7) “Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah
provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi
dan gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan
gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang
dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan,
gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat
14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau
peraturan gubernur diterima.”

Pasal 251 ayat (5) meskipun tidak dicantumkan oleh Pemohon

dalam Pokok Permohonan tetapi Mahkamah Konstitusi memutus ayat (5)

tersebut dikarenakan ayat ini tidak rasional dan kehilangan relevansinya

karena induk dari ayat ini adalah Pasal 251 ayat (1), (2), (7), (8) telah

dibatalkan sehingga apabila tidak diputus dan dibatalkan maka akan

menimbulkan ketidakpastian hokum. Berdasarkan pemapatan tersebut

Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa “Perda Provinsi dan” dalam Pasal

251 ayat (1) dan ayat (4) dan frasa “Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251 ayat

(7) serta Pasal 251 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)


77

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hokum mengikat.

G. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

pengujian atau pembatalan Peraturan Daerah Provinsi maupun

Kabupaten/Kota harus melalui mekanisme Judicial Review di Mahkamah

Agung, Gubernur dan Menteri tidak lagi berwenang membatalkan Peraturan

Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota, akan tetapi Mahkamah Konstitusi

masih menyisahkan masalah konstitusional dikarenakan Mahkamah Konstitusi

tidak mengabulkan Permohonan para pemohon terkait peraturan Daerah

bahwa Gubernur dan Menteri dalam Negeri masih dapat membatalkan

Peraturan Kepala Daerah, Gubernur masih dapat membatalkan Peraturan

Bupati/Walikota dan Menteri Dalam Negeri masihi dapat membatalkan

Peraturan Gubernur. Mahkamah menganggap bahwa hal tersebut tidak

bertentangan dengan UUD NRI 1945 padahal oleh pemohon ini dianggap

bertentangan dengan UUD NRI Pasal 24A ayat (1).

Peraturan Kepala Daerah baik Gubernur maupun Walikota dan

Bupati dibuat dalam rangka delegasi dari Peraturan Perundang-undangan yang

lebih tinggi yakni melaksanakan Peraturan Daerah, jika melihat teori norma

hukum Hans Nawiasky Peraturan Kepala Daerah termasuk kedalam Hirarki

Peraturan Perundang-undangan begitupun apabila merujuk kepada Undang-

undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan Pasal 8 ayat (1) yang terdiri dari peraturan yang ditetapkan oleh
78

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan

Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan atau

Pemerintah atas perintah Undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,

Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Apabila dikaitkan dengan

4 (empat) kelompok besar norma hukum yang dikemukakan oleh Hans

Nawiasky Peraturan Perundang-undangan yang tercantum pada Pasal 8 ayat

(1) masuk ke dalam kategori Verodnung & Autonome satzung yang

merupakan aturan pelaksana/aturan otonom Peraturan Kepala Daerah

merupakan bagian dari itu dan terletak satu tingkat dibawah Formell gesetz

(undang-undang) hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD

NRI yang berbunyi:

“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji

Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-

undang dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang”.

Negara kita adalah negara hukum, definisi dari negara hukum

adalah bahwa seluruh sikap, kebijakan, prilaku alat negara dan penduduk

harus berdasar dan sesuai dengan hukum, hukumlah yang memegang

komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara22, selain dari pada itu,

sistem Pemerintahan Republik Indonesia menganut konsep “Trias Politica”

yang dimaksudkan untuk memisahkan kekuasaan antar lembaga yakni


22
Salman Maggalatung & Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara
(Aktualisasi Dalam Teori Negara Indonesia),(Bandung: Fajar Media, 2013), hlm. 137
79

eksekutif, legislatif dan yudikatif secara sejajar dengan semangat (check and

balance) agar nantinya antara lembaga kekuasaan dapat saling mengawasi dan

saling mengimbangi satu sama lain, tujuan dari pembatasan kekuasaan untuk

menghindari kekuasaan yang absolut pada satu tangan kekuasaan, bahwa

dapat kita ketahui kekuasaan yang absolut akan melahirkan kesewenang-

wenangan23, dengan masih diperbolehkannya Pemerintah Pusat sebagai pihak

dari lembaga eksekutif yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Dalam Negeri

dan Gubernur yang masih diberi kewenangan untuk membatalkan Peraturan

Kepala Daerah baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota hal ini

dikhawatirkan nantinya akan timbul kesewenang-wenangan dari Menteri

Dalam Negeri dan Gubernur dalam hal Melakukan pembatalan Peraturan

Kepala Daerah.

23
Efi Yulistyowati, Endah Pujiastuti, Tri Mulyani, Penerapan Konsep Trias Politica
Dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia: Studi Komparatif UUD NRI 1945 Sebelum
dan Sesudah Amandemen, Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Volume 18, Nomor 2, (Desember,
2016), h.330
BAB IV
ANALISIS RUANG LINGKUP FUNGSI PENGAWASAN PEMERINTAH
TERHADAP PERATURAN DAERAH PROPINSI PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XIV/2016

A. Ruang Lingkup Pengawasan Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 56/PUU-XIV/2016

Sebagai Konsekuensi dari prinsip separation of power dengan

sistem check and balances sebagaimana dianut oleh Negara Republik

Indonesia serta telah diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

56/PUU-XIV/2016 yang menghapus kewenangan Pemerintah Pusat dalam

melakukan pengawasan Represif terhadap Peraturan Daerah, Maka harus

ditentukan lembaga Negara mana yang memiliki kewenangan untuk

melakukan pengawasan represif terhadap Peraturan Daerah.

Bahwa mengingat Perda dibuat oleh satuan Pemerintahan yang

mandiri (otonom), dengan lingkungan wewenang yang mandiri pula, maka

dalam pengujiannya terhadap Peraturan Perundang-undangan yang lebih

tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan “pertingkatan”, melainkan juga

pada “lingkungan wewenangnya”. Suatu Perda yang bertentangan dengan

suatu Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya

(kecuali UUD) belum tentu salah, jika ternyata Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi tingkatannya yang melanggar hak dan kewajiban

daerah yang dijamin oleh UUD NRI 1945 atau UU Pemda, dan meskipun

daerah-daerah di Negara Republik Indonesia yang menganut prinsip Negara

Kesatuan bukan merupakan unit-unit Negara bagian yang tersendiri, tetapi

80
81

rakyat di daerah memiliki kedaulatannya tersendiri dalam lingkungan

Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota, disamping kedaulatan dalam konteks

bernegara Kesatuan Negara Republik Indonesia beerdasarkan UUD NRI

1945.

Oleh karena produk-produk hukum di daerah Propinsi dan daerah

Kabupaten/Kota yang merupakan hasil kerja Kepala Daerah bersama-sama

dengan DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum

dan Pemilihan Kepala Daerah, maka kewenangan pembatalan terhadap suatu

Perda sesuai dengan prinsip Separation of power dengan sistem check and

balances yang dianut ileh Negara Republik Indonesia sudah sepatutnya

melibatkan lembaga Yudisial dalam pelaksanaannya, sehingga pelaksanaan

pembatalan terhadap suatu Perda terhindar dari pergulatan kepentingan

antara cabang-cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif, baik di tingkat

daerah maupun pusat, serta terwujud suatu mekanisme pengujian Perda yang

bersifat objektif dan imparsial.

Konsepsi Pemerintah Daerah bukanlah dalam artian sebuah

lembaga, melainkan menunjukkan pada tempat proses penyelenggaraan

urusan atau tugas Negara, yakni di daerah sebagai perpanjangan

penyelenggaraan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat.1 Setelah lahirnya

otonomi daerah, dalam rangka menampung aspirasi masuarakat di daerah,

kepentingan umum dalam pentafsirannya harus disesuaikan dengan

masyarakat setempat, sikap pmerintah tidak dibenarkan secara parsial

1
Utama, M. A. Hukum Lingkungan. Pustaka Sutra. Tahun 2007. h. 37
82

memihak bagi golongan tertentu saja, tetapi dilakukan secara menyeluruh

untuk kepentingan masyarakat.2

Adapun pelaksanaan pengawasan oleh Pemerintah Pusat adalah

pengawasan terhadap norma hukum. Mekanisme pengawasan norma hukum

inilah yang biasanya disebut dengan sistem “abstract review” itu dilakukan

oleh lembaga eksekutif, legislatif dan lembaga yudisial. Jika “abstract

review” itu dilakukan oleh lembaga legislatif, maka disebut dengan

“legislative review”, dan apabila “abstract review” itu dilakukan oleh

lembaga yudisial, maka hal tersebut biasa disebut sebagai “judicial review”.

Disamping “abstract review”, mekanisme kontrol norma juga dapat

dilakukan melalui prosedur “executive abstract preview” yaitu kontrol yang

dilakukan sebelum suatu norma hukum yang bersangkutan mengikat untuk

umum, misalnya suatu rancangan Perda disahkan oleh Parlemen tetapi

sebelum diundangkan sebagaimana mestinya, Pemerintah Pusat diberi

kewenangan untuk menguji, menilai, atau bahkan menolak pengesahan

Perda. Mekanisme demikian dapat disebut sebagai “executive abstract

preview”.

Kewenangan “executive abstract preview” inilah yang masih bisa

dilaksanakan oleh Pemerintah pasca diterbitkannya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016, “executive abstract preview” adalah

upaya untuk menghindari terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik sengaja

2
Budiartha. C. Dualisme Pembatalan Peraturan Daerah Propinsi Dengan Peraturan
Presiden Dan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana
Master Law Journal), 4(1)
83

maupun tidak disengaja dalam pembentukan suatu Perda, yang mana

tindakan pengawasan tersebut lazim disebut sebagai usaha preventif, namun

demikian apabila executive review diartikan sebagai penilaian atau

pengujjian Peraturan Perundang-undangan oleh pihak Pemerintah Pusat,

maka segala bentuk produk hukum Pemerintah Pusat maupun Pemerintah

Daerah di uji oleh Pemerintah itu sendiri yang bersifat kelembagaan dan

hirarki. Dalam konteks ini, objek executive review lebih terhadap produk

hukum yang bersifat abstrak dan mengatur, serta mengikat secara umum

(regeling), dan di luar itu yakni yang bersifat beschikking menjadi objek

lembaga yudisial (Pengadilan Tata Usaha Negara).

Kementerian Dalam Negeri dan Gubernur memiliki kewenangan

menguji Perda melalui executive preview dan executive review sedangkan

Mahkamah Agung sendiri sesuai Pasal 24 A ayat (1) memiliki kewenangan

pula yang biasa dinamakan judicial review. Kewenangan tersebut dipertegas

dalam ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 atau Ketetapan MPR No.

III/MPR/1978, Pasal 11 ayat (4) menyatakan: “Mahkamah Agung

mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan

perundang-undangan di bawah Undang-Undang”. Hal ini tentunya telah

memberikan dualisme kewenangan terhadap kedua lembaga/pejabat yang

berwenang tersebut dan dapat menimbulkan suatu polemik. Pengujian

terhadap Peraturan Daerah nyatanya selama ini telah memberikan dualisme

kewenangan.
84

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

Mahkamah memberikan putusan bahwa Pemerintah Pusat tidak lagi

memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan Peraturan Daerah di

tingkat Provinsi. Putusan MK tersebut telah memberikan hal yang baru, kini

Menteri Dalam Negeri dan Gubernur kehilangan wewenangnya dalam

melakukan judicial review terhadap peraturan di tingkat daerah.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 secara

tidak langsung telah mengakhiri perdebatan panjang yang terjadi selama ini

sehingga kita tidak bingung menentukan lembaga mana yang paling berhak

membatalkan Perda karena berdasarkan rezim perundang-undangan lebih

melihat Perda sebagai prodiuk legislatif maka oleh karena itu pengujiannya

harus ditempuh melalui judicial review.3

Implikasinya adalah sekarang telah ada kepastian hukum pihak

mana yang memiliki wewenang untuk melakukan pembatalan produk

hukum daerah yang biasa disebut dengan local wet itu. Mengingat daerah

memiliki hak untuk mengurus dan mengatur urusannya sendiri, termasuk

salah satunya membuat peraturan daerah sesuai dengan kebutuhan yang ada

di daerahnya.4 Maka dualisme kewenangan pengujian tersebut tidak kita

temui kembali. Dalam rangka menjaga sinkronisasi antara pusat dan daerah

3
Muhammad Reza Winata, Mery Christian Putri, and Aditya, “Legal Historis
Kewenangan Pengujian dan Pembatalan Peraturan Daerah serta Implikasinya terhadap
Kemudahan Berusaha”.Rechtsvinding 7. no. 3 (2018); 345
4
Aminuddin Ilmar Khelda Ayunita, Abudl Razak, “Analisis Yuridis Pembatalan
Peraturan Daerah dalam Perspektif Judicial Review dan Excekutif Review,” Pascasarjana Unhas
I, no. 1 (2017); 9.
85

kini kewenangan Mendagri dan Gubernur tersisa executif preview.5 Bahwa

executif preview adalah melakukan evaluasi terhadap rancangan Peraturan

Daerah yang belum di undangkan. Perlu untuk diketahui bahwa Menteri

Dalam Negeri dan Gubernur masih dapat melakukan pembatalan mengenai

rancangan Peraturan Daerah yang belum diundangkan sehingga nantinya di

dalam proses executif preview memperoleh kepastian hukum dan bukan

mekanisme evaluasi saja.6

Mengenai mekanisme executif preview yang akan dijalankan oleh

Menteri Dalam Negeri atau Gubernur dilaksanakan pada saat memberikan

nomor registrasi pada rencangan Peraturan Daerah Propinsi atau

Kabupaten/Kota yang akan dilakukan paling lambat tujuh hari sejak

rancangan Perda tersebut diterima oleh Mendagri atau Gubernur.7

Sedangkan pengujiannya setelah peraturan itu diundangkan kini hanya dapat

dilakukan di Mahkamah Agung yang biasa disebut dengan judicial review.

Maka dengan demikian, segala tindakan/perbuatan administrasi

negara yang dijalankan oleh Pemerintah Daerah khususnya dalam

pembentukan Perda wajid dilakukan pengawasan oleh Pemerintah Pusat

dengan melakukan pendekatan perubahan ataupun dengan mencabut Perda

tersebut kemudian menggantinya dengan Perda yang baru, hal ini dilakukan

5
Effendi, “Hak Uji Materi Pemerintah Terhadap Peraturan Daerah (Kajian Terhadap
Kewenangan Pusat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015),” Jurnal
Ilmu Syari’ah dan Hukum 51, no. 1 (2017); 145.
6
Yuswanto, “Diskursus Pembatalan Peraturan Daerah Pasca Putusan MK No.
137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016, no. 4 (2018); 729.
7
Lusy Liany, “Hapusnya Wewenang Executif Review Pemerintah Terhadap Peraturan
Daerah; Studi Pasca-Adanya Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-
XIV/2016.” ADIL; Jurnal Hukum 10, no. 2 (2019); 31.
86

sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-

XIV/2016, serta untuk menjaga sinkronisasi antara kebijakan yang telah

ditentukan oleh Pemerintah Pusat dengan produk hukum yang dlbentuk oleh

Pemerintah Daerah, serta agar produk hukum daerah tersebut mencerminkan

tertib hukum dan kepastian hukum, agar dapat memenuhi rasa keadilan

masyarakat atas perubahan sosial-ekomomi.

Bahwa selain hal tersebut diatas, apabila dikemudian hari

ditemukan Perda yang sudah berlaku dimasyarakat yang bertentangan

dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi,

kepentingan umum, dan kesusilaan, Pemerintah Pusat dapat menerbitkan

anjuran atau rekomendasi yang didalamnya tercantum pula hasil evaluasi

Pemerintah Pusat terhadap Perda tersebut. kepada Pemerintah Daerah untuk

segera mengadakan perubahan terhadap Perda yang dianggap bertentangan

dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi,

kepentingan umum dan kesusilaan, namun apabila dalam keadaan mendesak

Pemerintah Pusat dapat menjadi Pemohon uji materiil terhadap Perda yang

bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang lebih

tunggi, kepentingan umum dan kesusilaan di Mahkamah Agung.

Dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 ditentukan

bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama

dan terakhir yang putusannya bersifat final. Selanjutnya dalam Pasal 47

ditentukan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuasaan

hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
87

umum. Itu bersifat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung

memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya

hukum yang dapat ditempuh. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi

bersifat final and binding.8

Diterbitkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-

XIV/2016 yang membatalkan wewenang Pemerintah Pusat dalam

melakukan pengawasan represif terhadap Pemerintah Daerah dalam

membentuk Perda sebagaimana diatur dalam Pasal 251 UU Pemda tentunya

tidak lepas dari kritik dan reaksi pro kontra,, hal tersebut ditunjukkan dengan

adanya dissenting opinions oleh 4 (empat) orang Hakim Konstitusi. Putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut menimbulkan berbagai implikasi Yuridis

dalam hal pelaksanaan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah

Daerah dalam hal pengawasan pembentukan Perda agar tidak menyimpang

dari kebijakan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai

pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara kesatuan, kepentingan

umum dan kesusilaan, selain itu putusan tersebut telah meniimbulkan

kekosongan norma dalam hal pengawasan represif Pemerintah Pusat

terhadap pembentukan Perda, yang mana Mahkamah Konstitusi telah

membatalkan kewenangan untuk melakukan pengawasan represif dalam

pembentukan Perda.’

8
Nagasatwa, I. (2015) Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomot 11-017/PUU-
I/2003 Terhadap Perlindungan Hukum Hak Dipilih. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana
Master Law Jurnal), 4 (4)
88

Adanya putusan tersebut secara tidak langsung telah memberikan

tantangan bagi Mahkamah Agung dan Menteri Dalam Negeri mengingat

bahwa penghapusan wewenang ini dapat menghambat program investasi

karena masih terdapat Perda yang bertentangan dengan peraturan yang lebih

tinggi. Tentunya ada kekhawatiran bagi Pemerintah Pusat terhadap produksi

Perda di daerah yang dapat menimbulkan ketidakharmonisan antara Pusat

dan Daerah meski masih ada kewenangan secara represif.

B. Pengawasan Pemerintah terhadap Peraturan daerah Propinsi dalam

Perspektif Otonomi dan Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa

“Pemerintah Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan Peraturan-

Peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas Pembantuan”.9 Dalam

hal membuat Peraturan Daerah (Perda) ada beberapa prinsip dan ketentuan

yang harus diperhatikan oleh Pemerintah Daerah, sebagaimana ditentukan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2008 antara lain bahwa Perda tidak boleh bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi. Dalam praktik Pemerintah Daerah dengan motivasi meningkatkan

pendapatan aslsi daerah kutang memperhatikan apakah Peraturan Daerah

yang dibuatnya itu bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Salah satu penyebabnya

adalah berubahnya cara pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah yang

9
Penjelasan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945
89

lebih tiinggi. Agar Pemerintah Daerah dapat berjalan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku maka harus diadakan

pengawasan oleh Pemerintah (setingkat di atasnya), legislatif dan

pengawasan oleh masyarakat.

Salah satu unsur penting dalam diskursus otonomi daerah adalah

produk hukum daerah berupa Peraturan Daerah sebagai instrumen hukum

untuk mengatur urusan rumah tangga dalam rangka melaksanakan

pembangunan daerah. Sebagai produk hukum daerah, peraturan daerah

sejatinya merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan (statute).

Menurut Mian Khurshid A. Nashim, ‘statute’ dapat diklasifikasikan dalam

lima kelompok, yaitu (i) General, (ii) Local, (iii) Personal, (iv) Public, (v)

Private. “General Statute” berlaku bagi segenap warga (the whole

community) atau dalam bahasa Belanda bisa disebut sebagai “algemene

verbindende voorschifen”; ”local statute” (Local wet) hanya berlaku terbatas

untuk atau di daerah tertentu; “personal statute” berlaku untuk individu

tertentu meskipun di zamana modern sekarang hal ini sudah sangat jarang.

Sementara itu, “a public statute is on of which judicial notice is taken, while

a ‘private statute’ is required to be pleaded and proved by the party seeking

to take the advantage of it.10

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam literatur dikenal pula adanya

istilah “local constitution” atau “local grondwet”. Di Negara federal, kedua

istilah tersebut lebih dikenal dengan federal constitution atau konstitusi

10
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali, 2010), hlm. 17
90

negara-negara bagian. Sedangkan di dalam negara kesatuan, menurut

Wolholf yang berfungsi sebagai konstitusi untuk daerah-daerah bagian

dalam negara kesatuan itu adalah Undang-Undang tentang Pemerintahan

Daerah yang terdapat di negara kesatuan itu masing-masing. Oleh karena

itu, sudah semestinya Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah di

negara-negara yang susunannya berbentuk negara kesatuan disusun

sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai pedoman yang bersifat

konstitutif seperti undang-undang dasar bagi daerah-daerah provinsi atau

prefecture itu masing-masing.11

Pengujian Peraturan Daerah (executive review) sangat jelas

memiliki signifikansi korelasi dengan pola pengawasan Pemerintah Pusat

terhadap produk hukum daerah. Oleh karena itu, idelanya dibijaki terlebih

dahulu dengan pemetaan komprehensif perihal pola pembinaan dan

pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Peraturan Daerah dalam Konteks

Otonomi Daerah. Pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Gubernur selaku

wakil Pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan

penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan oleh

pemerintah, Menteri dan pimpinan lembaga pemeintah (non departemen)

melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-

masing yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri untuk pembinaan

11
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang,,,hlm. 92
91

dan pengawasan pada tingkat Propinsi serta melalui Gubernur untuk

pembinaan dan pengawasan pada level Kabupaten/Kota.12

Jika ditelisik lebih mendalam, tidak ada satupun klausul dalam UU

No. 32 Tahun 2004 yang meneyebutkan secara tegas menganut sebuah

sistem pengawasan tertentu seperti dikenal dalam kajian teoritis hukum yang

berkembang selama ini. Lebih jauh, UU No. 32 Tahun 2004 hanya

menyebutkan bahwa dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan

daerah dan peraturan daerah, pemerintah melakukan model pengawasan

dengan 2 (dua) cara yaitu13

a) Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (Raperda), yaitu

terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah,

retribusi daerah, APBD, perubahan APBD dan RUTR sebelum disahkan

kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri

untuk Raperda Propinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda

Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-

hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.

b) Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang temasuk

dalam poin di atas, yaitu setiap peraturan daerah diwajibkan untuk

disampaikan kepada : (i) Menteri Dalam Negeri untuk Propinsi; dan (ii)

Gubenur untuk Kabupaten/Kota dengan alasan untuk memperoleh

klarifikasi. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan

12
King Faisal Sulaiman, Dialektika Pengujian Peraturan Daerah pasca Otonomi
Daerah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 89
13
Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
92

kepentingan umum dan Peraturan yang lebih tinggi dapat diatalkan pada

masing-masing level pemerintah daerah sesuai mekanisme yang berlaku.

Meskipun tidak ada penyebutan nomenklatur perihal model

pengawasan mana yang dianut, namun terdapat sejumlah kalusul peraturan

dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang secara intrisik mengindikasikan terdapat

dua model pengawasan yakni pengawasan preventif dan pengawasan

represif.

Secara prosedural normatif, aktualisasi pengujian atas Perda oleh

Pemerintah (executive review) dapat dijelaskan sebagai berikut14

a) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari

setelah ditetapkan atau diundangkan.

b) Pembatalan Perda (Propinsi/Kabupaten/Kota) ditetapkan dengan

Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak

diterimanya Perda tersebut dan jika Pemerintah tidak

mengeluarkan Perpres untuk membatalkan Perda tersebut, maka

Perda dimaksud dinyatalan berlaku.

c) Pemerintah Daerah (Provisi/Kabupaten/Kota) yang tidak dapat

menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang

dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Kepala Daerah

dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

14
Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
93

d) Apabila keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan

Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal

dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Dalam praktiknya, pengujian Perda oleh Pemerintah (executive

review) tersebut ditetapkan pada level Propinsi dan Kabupaten/Kota dengan

Prosedur yang dapat dieksplansi lebih lanjut sebagai berikut:

1. Pengawasan Represif

Pengawasan represif merupakan pengawasan produk hukum oleh

pemerintah terhadap produk hukum daerah yang berwujud penundaan

(schorsing) ataupun pembatalan (vernietiging) terhadap setiap produk

hukum peraturan daerah yang telah diberlakukan secara resmi

(diiundangkan). Pengawasan represif memiliki cakupan yang lebih luas

karena ditujukan terhadap keseluruhan Perda yang sudah diundangkan oleh

pemerintah daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota), termasuk Perda yang

bersumber dari rancangan Perda yang sebelumnya dianggap bermasalah oleh

Pemerintah pada saat dilakukan pengawasan preventif, akan tetapi pada

kenyataannya tetap diundangkan oleh pemerintah daerah. Pengawasan

represif terhadap keseluruhan Perda membuat pemerintah dimungkinkan

dapat menguji dua kali terhadap peraturan daerah yang bermuatan APBD,

pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang baik ditingkat Propinsi

maupun Kabupaten/Kota.15

15
Ibid, hlm. 110
94

I. Mekanisme Pengawasan Represif

a) Gubernur menyampaikan Perda propinsi kepada Menteri Dalam

Negeri paling lama 7 (tujuh) haro setelah ditetapkan untuk

mendapatkan klarifikasi.

b) Untuk melakukan klarifikasi dimaksud, Menteri Dalam Negeri

membentuk tim klarifilkasi yang kenaggotaannya terdiri atas

komponen lingkup Departemen Dalam Negeri sesuai kebutuhan

dan ditetapkan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.

c) Tim kalrifikasi bekerja dan melaporkan hasil klarifikasi Perda

kepada Menteri Dalam Negeri dalam bentuk berita acara.

d) Hasil klarifikasi Perda yang bertentangan dengan kepentingan

umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi dijadikan bahan

usulan Menteri Dalam Negeri kepada Presiden untuk

pembatalan.

e) Pembatalan yang dimaksud bisa berupa sebagian atau seluruh

materi (pasal dan/atau ayat) peraturan daerah Propinsi dan harus

disertai dengan alasan dengan menunjukkan:

i. Pasal dan/atau ayat yang bertentangan dengan

kepentingan umum.

ii. Pasal dan/ayat yang bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

f) Gubernur mengehentikan pelaksanaan Perda Proponsi paling

lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya peraturan pembatalan dan


95

selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda

dimaksud.16

2. Pengawasan Preventif

Pengawasan Preventif adalah bentuk pengawasan atas produk

hukum oleh pemerintah (termasuk Gubernur selaku wakil pemerintah di

level Daerah) kepada pemerintah daerah berupa pemberian persetujuan

(approval) atau pembatalan (vernietiging) atas beberapa rancangan peraturan

daerah (Raperda) yang telah disetujui bersama antara pihak eksekutif

(Kepala Daerah) dengan DPRD namun belum diundangkan atau

diberlakukan secara resmi sebagai Perda. Pada level Propinsi, pengawasan

preventif berupa evaluasi terhadap rancangan Perda APBD, perubahan

APBD, pajak daerah, dan retribusi daerah serta tata ruang Propinsi yang

dilakukan oleh Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri selaku pejabat

yang berwenang.17

Pengaturan mengenai pengawasan preventif tertuang dalam

ketentuan Pasal 245 UU Nomor 23 Tahun 2014 bahwa evaluasi yang

diberlakukan hanya terhadap rancangan peraturan daerah (Rapaerda) tentang

(i) RPJPD, (ii) RPJMD (iii) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD), (iv) Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),

(v) Pajak daerah, (vi) Retribusi Daerah dan (vii) Tata ruang daerah.

Terhadap beberapa jenis Raperda tersebut, harus mendapat evaluasi terlebih

16
King Faisal Sulaiman, Dialektika Pengujian,,,hlm. 92
17
Ibid,hlm. 106
96

dahulu dari Menteri Dalam Negeri atau Gubernur sesuai dengan

kewenangannya sebelum ditetapkan Kepala Daerah.

II. Mekanisme Pengawasan Preventif

a. Gubernur menyampaikan Raperda Propinsi tentang APBD,

perubahan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang

daerah paling lama 3 (tiga) hari setelah mendapatkan persetujuan

bersama dengan DPRD kepada Menteri Dalam Negeri untuk

mendaptakan evaluasi.

b. Untuk melakukan evaluasi terhadap Raperda Propinsi yang

dimaksud, Menteri Dalam Negeri membentuk tim evaluasi yang

keanggotaannya terdiri atas komponen lingkup Departemen

Dalam Negeri sesuai kebutuhan dan ditetapkan dengan

Keputusan Menteri Dalam Negeri.

c. Tim evaluasi bekerja dan melaporkan hasil evaluasinya kepada

Menteri Dalam Negeri dan dimuat dalam berita acara untuk

dijadikan bahan keputusan Menteri Dalam Negeri.

d. Menteri Dalam Negeri dapat melakukan evaluasi Raperda

tentang pajak daerah dan retribusi daerah berkoordinasi dengan

Menteri Keuangan dan tata ruang daerah berkoordinasi dengan

Menteri yang membidangi urusan tata ruang dimana hasil

koordinasi tersebut dijadikan sebagai bahan keputusan Menteri

Dalam Negeri.
97

e. Menteri Dalam Negeri menyampaikan hasil evaluasinya kepada

Gubernur paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak

diterimanya Raperda Propinsi dimaksud dan Gubernur

diwajibkan menindaklanjuti hasil evaluasi tersebut paling lambat

7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya hasil evaluasi.

f. Apabila Gubernur tidak menindaklanjuti sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) dan tetap menetapkan menjadi Perda, Menteri

membatalkan Perda tersebut dengan Peraturan Menteri.

g. Gubernur menghentikan pelaksanaan Perda Propinsi paling lama

7 (tujuh) hari sejak diterimanya Peraturan Gubernur tentang

pembatalan Perda terseebut.18

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah (UU Pemda 2014) dibentuk pada akhir masa jabatan periode kedua

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. UU tersebut secara umum semakin

memperkuat posisi Pemerintah Pusat, yang sebenarnya sudah mulai

dilakukan secara bertahap dari mulai UU Pemda 2004.

Pelaksanaan pengawasan/kontrol terhadap produk hukum

pemerintah khususnya Pemerintah Daerah baik yang besifat internal maupun

eksternal sangat penting dilakukan, sebab segala tindakan/perbuatan hukum

pemerintah berkaitan dengan tindakan/perbuatan administrasi negara yang

dijalankan oleh organ pemerintahan dan salah satunya oleh Pemerintah.

Sebagaimana diketahui bahwa fungsi Pemerintah dalam arti eksekutif tidak

18
King Faisal Sulaiman, Dialektika Pengujian,,,,,hlm. 97
98

hanya melaksanakan perintah Undang-Undang namun juga menyangkut

pada pelayanan kepada masyarakat dan peningkatan kesejahteraan

masyarakat.

Maka segala tindakan/perbuatan administrasi negara yang

dijalankan oleh Pemerintah Daerah khususnya dalam pembentuka Perda

wajib dilakukan pengawasan oleh Pemerintah Pusat dengan melakukan

pendekatan perubahan ataupun mencabut Perda tersebut kemudian

menggantinya dengan Perda yang baru, hal ini dilakukan sebagai tindak

lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016, serta

untuk menjaga sinkronisasi antara kebijakan yang telah ditentukan oleh

Pemerintah Pusat dengan produk hukum yang dibentuk oleh Pemerintah

Daerah, serta agar produk hukum daerah tersebut mencerminkan tertib

hukum dan kepastian hukum.

Namun setelah mendapatkan kepastian hukum bukan berarti

pengujian tingkat Mahkamah Agung yang tidak memiliki kelemahan. Salah

satu kelemahan tersebut adalah pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah

Agung hanya bersifat materiil. Artinya, Mahkamah Agung hanyalah menilai

Peraturan Daerah yang akan diuji tersebut apakah bertentangan dengan

peraturan yang lebih tinggi atau tidak. Hal ini sesuai dengan asas lex

specialis derogate le infriore, peraturan yang tinggi mengesampingkan

peraturan lebih rendah. Sedang di dalam menilai suatu peraturan perundang-

undangan apakah aturan tersebut dikeluarkan oleh cara yang ditentukan


99

sesuai dengan undang-undang yang berlaku atau tidak belum tersentuh, hal

tersebut biasa disebut dengan aspek formil.


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan Penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri

pembahasan dalam tesis ini, penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 bentuk

dan ruang lingkup pengawasan Pemerintah terhadap Peraturan Daerah

dilakukan dengan (a): Pengawasan Preventif, artinya ketika masih

berstatus rancangan. (b): Pengawasan Represif dengan klarifikasi terhadap

Peraturan Daerah yang tidak sampai pada tahap pembatalan.

2. Pelaksanaan pengawasan oleh Pemerintah terhadap Peraturan Daerah

didasarkan pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemeritahan Daerah,

hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD NRI tahun 1945,

bahwa kewenangan pembentukan Peraturan Daerah tetap harus sesuai

dengan peran Pemerintah Daerah dalam konteks Negara Kesatuan,

Sehingga dalam pelaksanaannya tidak bebas namun terbatas oleh

kekuasaan dari Pemerintah Pusat selaku pemegang kedaulatan tertinggi,

maka dapat dikatakan bahwa ini menjadi titik pijak penataan

penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, karena telah

membawa angin perubahan baik pada ranah paradigma, pola dan fungsi

utama penyelenggaraan pemerintah daerah.

100
101

B. Saran-saran

1. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

sebaiknya melakukan harmonisasi antara Undang-undang yang mengatur

pembentukan pengawasan Perda. Selanjutnya untuk jangka panjang

pengaturan pembentukan dan pengawasan perda dengan terpusat dalam

undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan perlu

dipertimbangkan.

2. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

sebaiknya melakukan rekonstruksi terhadap mekanisme pengawasan perda

pasca putusan mahkamah konstitusi nomor 56/PUU-XIV/2016.

Pengawasan dilakukan Pertama, yakni pada tahap perencanaan dan

penyusunan. Kedua, evaluasi rancangan perda oleh Pemerintah sebaiknya

tidak dilakukan secara limitatif terhadap rancangan Perda yang mengatur

materi tertentu, akan tetapi dilakukan terhadap semua rancangan Perda

Ketiga, adanya kewajiban bagi pemeritah daerah melakukan self

assessment terhadap perda yang dirasa bermasalah melalui ecaluasi

terhadap perda yang telah berlaku sesuai dengan pedoman yang ditetapkan

oleh Pemerintah Pusat.


DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku

Aminuddin Ilmar Khelda Ayunita, Abudl Razak, “Analisis Yuridis


Pembatalan Peraturan Daerah dalam Perspektif Judicial Review dan
Excekutif Review,” Pascasarjana Unhas I, no. 1, 2017

A. V. Dicey, Introduction to Study of Law the Constitution, London: Mac


Migan LTD, 1957

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi


Hukum Fakultas Hukum UII, 2001

Bagir Manan, Hubungan Antar Pemerintah Pusat dan Daerah Menurut UUD
1945, Jakarta: Sinar Harapan, 1994

Budiartha C, Dualisme Pembatalan Peraturan Daerah Propinsi Dengan


Peraturan Presiden Dan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Jurnal
Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal)

Dasril Rajab, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet.
II, 2005

Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada, Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2008.

Diaba Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor: Ghalia


Indonesia, 2004.

Effendi, “Hak Uji Materi Pemerintah Terhadap Peraturan Daerah (Kajian


Terhadap Kewenangan Pusat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 137/PUU-XIII/2015),” Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum 51,
no. 1, 2017

Efi Yulistyowati, dan Endah Pujiastuti, Tri Mulyani, Penerapan Konsep Trias
Politica Dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia: Studi
Komparatif UUD NRI 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen,
Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Volume 18, Nomor 2, 2016

Eka N.A.M Sihombing, “Menggagas Peraturan Daerah Yang Aspiratif”


Dalam Sopia Hadyanto, (Editor) Paradigma Krbijakan Hukum Pasca
Reformasi, Jakarta: PT. Softmedia, 2010

Fitriani Ahlan Sjarif, Pengawasan Peraturan Daerah dalam Kerangka


Negara Kesatuan (Tinjauan Historis dan Perandingan Menurut UU
Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU nomor 32
Tahun 2004), Tesis Pascasarjana FHUI, Jakarta, 2005

102
103

Frank J. Goodnow, Politics and Administration, America; Transaction


Publisher, 2003

I Gde Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia,


Bandung: Alumni, 2009

Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, Jakarta: Sinar Grafika, 2016

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan


Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Konstitusi Perss, Jakarta 2005

Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan


Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002

Jimly Asshiddiqie, dan Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Jakarta: Konstitusi Perss, 2012

Jum Anggriani. Pelaksanaan Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap


Peraturan Daerah, Jakarta: Universitas Tama Jagakarsa, 2011.

King Faisal Sulaiman, Dialektika Pengujian Peraturan Daerah pasca


Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama, 1991

Kranenbrug, Ilmu Negara Umum, Diterjemahkan oleh Tk. B. Sabaroedin,


Jakarta: Pradnya Aramita, Cet. Kesebelas, 1980

Lusy Liany, “Hapusnya Wewenang Executif Review Pemerintah Terhadap


Peraturan Daerah; Studi Pasca-Adanya Putusan MK Nomor
137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016.” ADIL; Jurnal
Hukum 10, no. 2, 2019

Maggalatung, Salman dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu


Negara (Aktualitas Dalam Teori Negara Indonesia), Bandung: Fajar
Media, 2013.

Majlis Permusyawaratan Republik Indonesia, Panduan dalam


Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Jakarta: Sekretariat MPR RI, 2007.

Mariangan Masry Simbolon, Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen,


Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


Utama, 2008
104

Milta Rin Sondole, Erlis dkk, Pengaruh Disiplin Kerja, Motivasi dan
Pengawasan terhadap Karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit
Pemasaran VII Pertamina BBM Bitung, Jurnal EMBA, Vol. 3, 2015

Muhamad Reza Winata, Mery Christian Putri, and Aditya, “Legal Historis
Kewenangan Pengujian dan Pembatalan Peraturan Daerah serta
Implikasinya terhadap Kemudahan Berusaha”.Rechtsvinding 7. no. 3
2018

Muklis Taib. Dinamika Perundang-Undangan di Indonesia, Bandung: PT


Refika Aditama, 2017.

M. Kadarsiman, Manajemen Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta:


Rajawali, 2013.

M. Nafiati dan Maryam NH, Integrasi Pengujian Peraturan Peundang-


undangan di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Pembangunan
Hukum Indonesia, Jurnal Hukum, IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL.
22, 2015.

Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung: Nusa Media, 2009.

Nukthoh dan Arfawie Kurde, Telaah kritis Teori negara hukum, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005

Oemar Seno Adji, Prasarana Dalam Indonesia Negara Hukum, Jakarta:


Simposium UI, 1966

Padmo Wahyono, Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan 14 Teori


Ilmu Hukum dari Jellinek, Jakarta: Melati Study Group, 1977

Sirajuddin Dkk, Hukum Administrasi Pemerintah Daerah, Malang: Setara


Press, 2016.

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, Cet. Ketiga, 1993

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1981.

Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Malang: Setara


Press 2012.

Tahir Azhary,. Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 2010

Umbu Rauta, Kontitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Genta


Yogyakarta: Publishing, 2016.

Yohannes Yahya, Pengantar Manajemen, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.


105

Yuswanto, “Diskursus Pembatalan Peraturan Daerah Pasca Putusan MK No.


137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016, no. 4, 2018

Zamani, Manajemen, Jakarta: Badan Penerbit IPWI, 1998.

B. Hukum/Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Aturan-aturan Pokok
Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

C. Kamus/Ensiklopedia/Internet/Media
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indoneisa, Depdikbud, Balai Pustaka, Jakarta, 1991

Kementerian Dalam Negeri, https://kemendagri.go.id., Mendagri batalkan


1.999 Perda

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka, Semarang, 1977

Anda mungkin juga menyukai