Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Mekanisme Pengawasan Pembatalan Peraturan Daerah sebelum dan sesudah adanya

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

Disusun oleh :

NAMA : YULIA SETYA NINGRUM


NIM : 11000118120085
KELAS : PERANCANGAN HUKUM (E)
PENGAMPU : Novira Maharani Sukma, S.H., M.H

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang terbagi atas

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Yang mana Pemerintah daerah disini tebagi

menjadi daerah Provinsi dan Kabupaten dan/atau Kota yang ada dalam Pasal 18 ayat (1).

Dimana Pemerintah Daerah diberikan Hak Otonomi Daerah sebagai pelimpahan

wewenag dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan daerahnya sendiri sehingga dapat dengan mudah memajukan

daerahnya sendiri dan mengoptimalkan Perekonomian di daerah. Namun dalam hal

mengatur ini, Pemerintahan Daerah dalam menetapkan Peraturan Daerah tetap diawasi

oleh Pemerintah Pusat sebagai bentuk kewenangan Pemerintah Pusat dalam

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Dalam UUD NRI 1945 Pasal 18 ayat (6)

menyatakan bahwa “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Pembentukan peraturan daerah merupakan perwujudan secara nyata dari kewenangan

yang diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah untuk

menjalankan kewajibannya.”1

Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPR) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah merupakan pengertian

Peraturan Daerah (Perda) menurut Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

1
Eka N.A.M Sihombing, “Menggagas Peraturan Daerah Yang Aspiratif” Dalam Sophia Hadyanto, (Editor)
Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi, PT. Softmedia, Jakarta, 2010, Hlm 189
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.2 Peraturan Daerah (Perda) juga terbagi

atas Peraturan Daerah (Perda) Provinsi dan juga Peraturan Daerah (Perda)

Kabupaten/Kota. Namun dalam membuat Peraturan Daerah (Perda) tidak semata – mata

dapat ditentukan sendiri dan langsung dijalankan. Melainkan ada ketentuan lain dalam

Pasal 251 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

secara gamblang menyatakan bahwa Peraturan Daerah (Perda) diuji melalui Kementrian

Dalam Negeri yang ditujuk oleh Pemerintah Pusat yang pada intinya Peraturan Daerah

dapat dibatalkan jika isinya bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan bertentangan

dengan kepentingan umum. Jika suatu Perda bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan

dirasa merugikan negara khususnya Perekonomian dan Konstitusi negara maka Peraturan

Daerah (Perda) tersebut dapat dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri dan juga oleh

Gubernur.3 Pembatalan tersebut merupakan bentuk pengawasan Pemerintah Pusat

terhadap terlaksananya atau berjalanya urusan Pemerintahan di Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Mengenai hal kewenangan pembatalan Peraturan Daerah (Perda) yang dimiliki

Menteri Dalam Negeri sebagai wakil Pemerintah Pusat dapat di temukan di dalam

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

yang menyatakan bahwa Daerah melaksanakan Otonomi Daerah dimana daerah memiliki

kewenangan atas daerahnya sendiri yang berasal dari kewenangan Presiden yang

memegang kekuasaan pemerintahan di Indonesia. Sebagai bentuk tanggung jawab akhir

penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan Presiden, maka konsekuensi nyata

kewenangan untuk membatalkan Perda ada dibawah Presiden.


2
Lihat Undang – Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan
3
Bonadi, Ahmad ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR:137/PUU-XIII/2015 TENTANG
PEMBATALAN KEWENANGAN GUBERNUR DALAM MEMBATALKAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA Volume 4, Nomor 1, Halaman 4
Namun jika dilihat tidak efisien apabila Presiden yang langsung membatalkan

Peraturan Daerah (Perda). Presiden melimpahkan kewenangan dalam pembatalan Perda

Provinsi kepada Menteri Dalam Negeri sebagai orang yang ditunjuk Presiden untuk

bertanggungjawab atas Otonomi Daerah. Sedangkan untuk pembatalan Perda

Kabupaten/Kota, Presiden melimpahkan kewenangannya kepada gubernur sebagai Wakil

dari Pemerintah Pusat di Daerah.4

Disisi lain ada ketidaksetujuan dalam beberapa Pasal dalam Undang – Undang

Nomor 23 tahun 2014 yang dirasa sangat merugikan Hak Pemerintahan Daerah. Pada

akhirnya hal tersebut yang menjadi pokok permasalahan yang diajukan ke Mahkamah

Konstitusi oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia bersama dengan 45

pemerintah daerah Kabupaten/ Kota. Sidang pleno dilakukan pada tanggal 5 April 2017

oleh Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 Majelis

Mahkamah Konstitusi menyatakan yang mana Menteri Dalam Negeri dan Gubernur tidak

lagi mempunyai kewenangan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota yang

sebelumnya ada dalam Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah. Namun Karena terjadi kesimpangsiuran mengenai mekanisme

Pembatalan Peraturan Daerah (Perda) maka untuk dapat mempertegas hal tersebut

Mahkamah Konstitusi Melengkapi hal tersebut melalui Putusan Nomor

56/PUUXIV/2016 yang menyatakan pemerintah pusat tidak lagi memiliki kewenangan

untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi.

B. Rumusan Masalah
4
Bonadi, Ahmad ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR:137/PUU-XIII/2015 TENTANG
PEMBATALAN KEWENANGAN GUBERNUR DALAM MEMBATALKAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA Volume 4, Nomor 1, Halaman 8
Berdasarkan Latar Belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah Mekanisme Pengawasan Pembatalan Peraturan Daerah (Perda) dalam

Undang – Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah?

2. Bagaimana Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Perda) Pasca Putusan

Mahkamah Konsitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 56/PUU-XIV/2016?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Mekanisme Pengawasan Pembatalan Peraturan Daerah (Perda) dalam Undang –

Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Dalam UUD NRI 1945 Pasal 18 ayat (6) terdapat ketentuan bahwa Pemerintahan

Daerah berhak menetapkan kebijakan peraturan daerah dan juga peraturan-peraturan lain

untuk melaksanakan hak otonomi dan juga tugas pembantuan.5 Penetapan peraturan

daerah merupakan perwujudan secara nyata dari kewenangan yang diserahkan kepada

daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah untuk menjalankan kewajibannya.

Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. 6

Dalam hal ini Hak untuk membentuk Peraturan Daerah jelas diberikan kepada

Pemerintahan Daerah.

Pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara nyata,

tujuan pengawasan ini terbatas pada apakah kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan

pedoman atau dasar yang telah ditetapkan sebelumnya missal sesuai atau tidak dengan

yang direncanakan. Pendapat ini dikemukakan oleh Muchsan (Ibid, hlm.33).7 Oleh karena

itu, istilah pengawasan biasanya disebut juga dengan controlling, evaluating, correcting

maupun kontrol.8

Dapat diketahui bahwa Pengawasan Pembatalan Peraturan Daerah (Perda)

merupakan sebuah kontrol dari Pemerintah Pusat sebagai bentuk penyelenggaraan sistem

5
Lihat Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 18 ayat 6
6
Undang – Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan
7
Ibid hlm.33
8
Devi, Herinawati “MEKANISME PENGAWASAN PRODUK HUKUM DAERAH PASCA PUTUSAN MK NO.
137/PUU-XIII/2015 MENGENAI PENGUJIAN PASAL 251 AYAT (2), (3), (4), (8) UU NO. 23 TAHUN 2014
TENTANG PEMERINTAH DAERAH” hlm 33 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 2018
Pemerintahan di Indonesia yang dilimpahkan ke daerah agar Peraturan Daerah (Perda)

yang dibuat oleh Pemerintahan Daerah dapat terkontrol dan tidak bertentangan dengan

UUD NRI tahun 1945 dan juga kepentingan umum serta kesusilaan. Adapun Pengawasan

Pembatalan Peraturan Daerah menurut Undang – Undang Nomor 23 tahun 2014

dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur diatur dalam Pasal 249 sampai

dengan Pasal 251. Pasal 251 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah secara gamblang menyatakan bahwa Peraturan Daerah (Perda)

diuji melalui Kementrian Dalam Negeri yang ditujuk oleh Pemerintah Pusat sebagai

wakilnya yang pada intinya Peraturan Daerah dapat dibatalkan jika isinya bertentangan

dengan UUD NRI 1945 dan bertentangan dengan kepentingan umum apalagi

bertentangan dengan konstitusi serta kesusilaan. Jika suatu Perda bertentangan dengan

UUD NRI 1945 dan dirasa merugikan negara khususnya Perekonomian dan Konstitusi

negara maka Peraturan Daerah (Perda) tersebut dapat dibatalkan oleh Menteri Dalam

Negeri dan juga oleh Gubernur.9

Adapun Mekanisme Pembatalan Perda dan Perkada yang terdapat dalam Undang

– Undang Nomor 23 tahun 2014 adalah sebagai berikut:

Pasal 249

(1) Gubernur wajib menyampaikan Perda Provinsi dan peraturan gubernur kepada Menteri

paling lama 7 (tujuh) Hari setelah ditetapkan.

9
Devi, Herinawati “MEKANISME PENGAWASAN PRODUK HUKUM DAERAH PASCA PUTUSAN MK NO.
137/PUU-XIII/2015 MENGENAI PENGUJIAN PASAL 251 AYAT (2), (3), (4), (8) UU NO. 23 TAHUN 2014
TENTANG PEMERINTAH DAERAH” hlm 34 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 2018
(2) Gubernur yang tidak menyampaikan Perda Provinsi dan peraturan gubernur kepada

Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran

tertulis dari Menteri.

(3) Bupati/walikota wajib menyampaikan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan

bupati/walikota kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat paling lama 7 (tujuh)

Hari setelah ditetapkan.

(4) Bupati/wali kota yang tidak menyampaikan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan

bupati/wali kota kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dari gubernur sebagai

wakil Pemerintah Pusat.

Pasal 250

(1) Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3)

dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.

(2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat; b. terganggunya akses terhadap

pelayanan publik; c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum; d. terganggunya

kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau e.

diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.

Pasal 251
(1) Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan

dibatalkan oleh Menteri.

(2) Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan

ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau

kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

(3) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan Perda

Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum,

dan/atau kesusilaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membatalkan Perda

Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota.

(4) Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan dengan keputusan Menteri dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan

peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan

keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

(5) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada

ayat (4), kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD

bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.

(6) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada

ayat (4), kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Perkada dan selanjutnya kepala

daerah mencabut Perkada dimaksud.

(7) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi tidak dapat menerima

keputusan pembatalan Perda Provinsi dan gubernur tidak dapat menerima keputusan
pembatalan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan

yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, gubernur dapat

mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak

keputusan pembatalan Perda atau peraturan gubernur diterima.

(8) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima

keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan bupati/wali kota tidak dapat

menerima keputusan pembatalan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-

undangan, bupati/wali kota dapat mengajukan keberatan kepada Menteri paling lambat

14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau peraturan

bupati/wali kota diterima.10

Dari isi Pasal - Pasal diatas dapat terlihat bahwa Pembatalan Peraturan Daerah

dapat dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri padahal Pemerintah Daerah memiliki Hak

Otonomi Daerah yang mana hak tersebut memberikan kewenangan Pemerintah Daerah

dalam menetapkan kebijakan serta Peraturan Daerah (Perda). Diperkuat dengan ketentuan

dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945 yang isinya menyatakan Pemerintahan daerah

berhak menetapkan sebuah kebijakan mengenai peraturan daerah dan peraturan-peraturan

lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pembentukan peraturan daerah

merupakan perwujudan secara nyata dari kewenangan yang diserahkan kepada daerah

dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah untuk menjalankan kewajibannya. Hal ini

jelas menyalahi UUD NRI 1945. Karena hal tersebut melalui Asosiasi Pemerintah

Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), bersama dengan 45 pemerintah daerah

Kabupaten/ Kota mengajukan uji materi Undang – Undang Nomor 23 tahun 2014 kepada
10
Lihat Undang – Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 249 – Pasal 251
Mahkamah Konstitusi. Yang akhirnya mendapatkan hasil dan menyatakan bahwa

Menteri Dalam Negeri tidak bisa lagi membatalkan Peraturan Daerah (Perda) melalui

Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015

B. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konsitusi

Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-

XIV/2016

Setelah diajukannya Permohonan Uji Materi terhadap Undang – Undang Nomor

23 tahun 2014 kepada Mahkamah Konstitusi dapat diketahui bahwa Pengawasan dalam

pembuatan atau penetapan kebijakan itu penting. Kontrol Pengawasan atas

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat adalah

bentuk terselenggaranya pemerintahan di Indonesia yang meliputi Pengawasan atas

pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dan Pengawasan terhadap Peraturan Daerah

dan Peraturan Kepala Daerah. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di

daerah dilakukan oleh aparatur pengawas intern Pemeritah yang sesuai dengan peraturan

perundang – undangan. UU No.23 Tahun 2014 secara umum mengindikasikan adanya 2

model pengawasan dalam pemerintahan yaitu peventif dan juga represif. 11 Tata Cara

pengujian atas peraturan daerah dikonsepkan sebagai sebuah rangkaian untuk proses

klarifikasi dan evaluasi oleh pemerintah Pusat atas rancangan peraturan daerah maupun

peraturan daerah itu sendiri. Dalam hal ini, proses evaluasi atas sejumlah Rancangan

Peraturan Daerah baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota disamakan dengan

model executive preview yaitu sebagai sebuah tindakan evaluasi apakah rancangan

11
Yuri Sulistyo, “Jurnal Pengawasan Pemerintah terhadap Produk Hukum Daerah(Peraturan Daerah) melalui
Mekanisme Pembatalan Peraturan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004”, Jurnal Lentera
Hukum, Vol.1 Nomor 1, hlm 5
peraturan daerah itu bertentangan atau tidak dengan kepentingan umum dan atau

peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh pemerintah atas

Rancangan Peraturan Darah yang dimaksud.12

Pembatalan Peraturan Daerah (Perda) oleh pemerintah Pusat dirasa sebagai

sebuah bentuk perampasan aspirasi atau pendapat masyarakat daerah. Oleh karena itu,

terhadap peraturan daerah (Perda) sebagai produk legislatif (DPRD) di tingkat daerah,

akan lebih baik jika hanya dilakukan “preview” saja oleh pemerintah Pusat baik itu

Presiden atau melalui Menteri yang terkait dan/atau Gubernur sebagai wakil pemerintah

pusat, ketika masih berbentuk rancangan peraturan daerah yang belum disahkan atau

belum diundangkan. Pada dasarnya, suatu Raperda sudah mendapat persetujuan Bersama

dan sudah diundangkan menjadi sebuah Perda, maka pembatalan Perda akan lebih ideal

jika dilakukan oleh Lembaga peradilan atau yudikatif atau judicial power melalui

mekanisme judicial review sesuai dengan tugas lembaga peradilan yaitu sebagai pihak

ketiga yang tidak terlibat dalam proses pembentukan peraturan yang bersangkutan.13

Dalam Pengajuan yang kedua Mahkamah Konstitusi kembali mengabulkan

sebagian uji materi Pasal 251 ayat (1), ayat (2), ayat (7), dan ayat (8) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang dimohonkan oleh Abda Khair

Mufti, dkk dalam Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 56/PUUXIV/2016. Yang pada

Intinya, meminta Majelis MK juga menghapus wewenang Menteri Dalam Negeri

membatalkan Peraturan Daerah (Perda) provinsi yang dalam putusan sebelumnya Nomor

137/PUU-XIII/2015 hanya berlaku Perda Kabupaten/Kota, sehingga pembatalan Perda

sepenuhnya menjadi wewenang Mahkamah Agung (MA).

12
Eka NAM Sihombing, “PERKEMBANGAN KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN
PERATURAN KEPALA DAERAH” jurnal Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 hlm 222
13
King Faisal Sulaiman, Teori Peraturan…op.cit…, hlm.265
Ketua Majelis MK Arief Hidayat Menyatakan frasa ‘Perda Provinsi dan’ dalam

Pasal 251 ayat (1) dan ayat (4), dan frasa ‘Perda Provinsi dan’ dalam Pasal 251 ayat (7),

serta Pasal 251 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah bertentangan dengan UUD 1945 dan konstitusi serta tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat.14

Sebelum itu, Abda Khair Mufti dkk juga mempermasalahkan Pasal 251 ayat (1),

ayat (2), ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 terkait wewenang

Gubernur dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan Perda sepanjang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi dan juga kesusilaan.

Nyatanya kewenangan ini memang dapat disalahgunakan pemerintah pusat yang

mengarah atau mengacu ke resentralisasi meski ada proses keberatan atas pembatalan

Peraturan Daerah (Perda) Provinsi dan Kabupaten/Kota ke Presiden dan Menteri Dalam

Negeri. 15

Menurut pandangan Pemohon, Mahkamah Agung merupakan lembaga yang

berhak atas kewenangam pembatalan Peraturan Daerah (Perda) karena kewenangan

Pembatalan Peraturan Daerah (Perda) masuk kedalam lingkup kewenangan judicial

review oleh Mahkamah Agung karena termasuk hierarki peraturan perundang-undangan

yang bersifat umum dan berada di bawah undang – undang terhadap undang - undang.

Para Pemohon meminta agar Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi dengan bersyarat

sepanjang dimaknai Menteri Dalam Negeri atau Gubernur dapat mengajukan

permohonan pembatalan Perda ke Mahkamah Agung (MA) paling lambat 14 hari setelah

14
Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 4 hlm 712
15
Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 4 hlm 714
ditetapkan atau diputuskan. Sedangkan untuk Pasal 251 ayat (7), ayat (8) Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 diminta untuk dibatalkan.

Dalam pertimbanganya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa sepanjang

frasa “Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (4) bertentangan dengan

UUD 1945. Sehingga melalui mekanisme executive review pertimbangan hukum dalam

Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 berlaku juga untuk permohonan ini.

Dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 ini mengenai Perda Kabupaten/Kota

dalam Pasal 251 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 juga dipertimbangkan

Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Karenanya,

pernyataan para Pemohon mengenai “Perda Kabupaten/Kota” dalam Pasal 251 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menjadi kehilangan objeknya.

Karena pada Pasal 251 ayat (7) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 terkait

Perda Provinsi yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka untuk itu jangka

pengajuan keberatan pembatalan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi yaitu paling lambat

14 hari sejak keputusan pembatalan Perda diterima menjadi kehilangan relevansinya,

sehingga frasa ‘Perda Provinsi dan’ dalam Pasal 251 ayat (7) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.16

Terkait dengan Pasal 251 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

meskipun tidak disampaikankan para Pemohon, namun menjadi kehilangan relevansinya

karena pasal ini mengatur tentang cara penghentian dan pencabutan Perda yang berkaitan

langsung dengan Pasal 251 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 di mana

frasa “Perda Provinsi” yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,

16
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016
sehingga di Pasal 251 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 juga dinyatakan

bertentangan dengan UUD 1945.

Sama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015, putusan

Mahkamah Konstitusi nomor 56/PUU-XIV/2016 ini juga sepanjang mengenai

pembatalan Peraturan Daerah (Perda) baik itu Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Dalam

hal ini Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono menyampaikan bahwa sekarang

Perda Provinsi tidak bisa lagi dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri, tetapi jika ingin

dibatalkan harus menempuh jalur judicial review ke MA. Putusan ini juga memiliki

pertimbangan yang benar – benar sama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

sebelumnya yaitu Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dengan komposisi Majelis MK

yang juga sama. Jadi komposisi 4 majelis hakim kontra judicial review dan 5 majelis

hakim yang pro, karena Mahkamah Konstitusi ingin tertib hukum, maka pembatalan

Peraturan Daerah baik Provinsi atau Kab/Kota dilimpahkan atau diberikan ke MA

sepenuhnya. Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka lembaga eksekutif

sudah tidak dapat lagi membatalkan Peraturan Daerah (Perda).17

Sama dengan pendapat yang disampaikan oleh M. Nur Sholikin bahwa dengan

adanya Putusan MK ini mengakhiri perdebatan dalam menentukan lembaga mana yang

paling berhak membatalkan Perda yang dibawa ke dalam perdebatan antara masuk ke

rezim hukum/perundang-undangan atau pemerintahan daerah. Putusan ini memberikan

pengaruh yang besar bagi kebijakan tatacara pengawasan Perda oleh pemerintah dan

penataan pelaksanaan judicial review ke MA. Putusan ini bersifat final dan mengikat,

sehingga harus dihormati dan dilaksanakan.18


17
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 dan Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
137/PUU-XIII/2015
18
M. Nur Sholikin, Penghapusan Kewenangan Pemerintah Untuk Membatalkan Perda; Momentum Mengefektifkan
Pengawasan Preventif Dan Pelaksanaan Hak Uji Materiil MA, Badan Pembinaan Hukum Nasional Jurnal
Pasca terbitnya putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang memberi

pengertian atau tafsiran serta berspekulasi mengenai Pasal 251 ayat (2), ayat (3), ayat (4)

dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang

menyatakan bahwa Menteri Dalam Negeri masih boleh melakukan executive review

(membatalkan) Peraturan Daerah (Perda) provinsi. Sebab, Mahkamah Konstitusi hanya

menghapus wewenang Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda Kabupaten/Kota.

Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 ini hanya mengabulkan pengujian Pasal 251

ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah yang diajukan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia

(APKASI) bersama 45 Pemerintah Kabupaten. Mahkamah menyatakan aturan

mekanisme pembatalan Perda Kabupaten/Kota oleh gubernur dan menteri Dalam Negeri

tidak berdasarkan konstitusi atau bertentangan dengan UUD NRI 1945. Dengan begitu,

sesuai 2 (dua) putusan Mahkamah Konstitusi ini, pembatalan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota dan Peraturan Daerah Provinsi hanya bisa dibatalkan jika ditempuh

melalui judicial review ke Mahkamah Agung (MA).19

Karena pada tahun 2016 Menteri Dalam Negeri sudah membatalkan sekitar 3.143

Perda, maka dengan itu hal ini yang menjadi dasar agar tidak ada lagi Pembatalan

Peraturan Daerah secara langsung oleh Menteri Dalam Negeri. Karena itu Mahkamah

Konstitusi menilai bahwa Peraturan Daerah merupakan produk hukum yang dibuat oleh

eksekutif dan legislatif di daerah, yakni Pemerintah Daerah (Pemda) dan juga Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kedudukan Peraturan Daerah, baik Provinsi maupun

Rechtsvinding, [ISSN 2089-9009] Jakarta, 2017, Hlm 3


19
Ahmad Bonadi, Rachmad Safa’at, Sudarsono “ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR:137/PUU-XIII/2015 TENTANG PEMBATALAN KEWENANGAN GUBERNUR DALAM
MEMBATALKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA” Volume 4, Nomor 1 hlm 10
Kabupaten/Kota, dalam hirarki perundang-undangan adalah di bawah Undang-Undang.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sebagai produk hukum yang

berada di bawah UU, Peraturan Daerah (Perda) tidak dapat dibatalkan secara langsung

dan sepihak oleh lembaga eksekutif melalui Menteri Dalam Negeri. Melainkan harus

melalui judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Hal ini sesuai

dengan kewenangan MA yang salah satunya yaitu menguji peraturan perundang-

undangan di bawah UndangUndang terhadap Undang-Undang.20

Untuk itu Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini dengan sangat jelas

menyatakan bahwa Menteri Dalam Negeri sudah tidak bisa lagi membatalkan Peraturan

Daerah (Perda) dengan sepihak, kecuali diajukan dahulu melalui judicial review ke MA.

Jadi sudah jelas bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 yang

keluar setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015

merupakan sebuah bentuk Putusan yang mempertegas dan melengkapi putusan

sebelumnya bahwa Menteri Dalam Negeri tidak bisa lagi membatalkan Peraturan Daerah

(Perda) baik itu Peraturan Daerah Provinsi (Perda) maupun Peraturan Daerah (Perda)

Kabupaten/Kota.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

20
Lihat Pasal 24A ayat (1) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan

Undang – Undang N0mor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan

bahwa Peraturan Daerah (Perda) dapat dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri dan juga

oleh Gubernur. Namun dengan adanya Pengajuan uji materi yang diajukam oleh Asosiasi

Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), bersama dengan 45 (empat puluh

lima) pemerintah daerah Kabupaten/ Kota ke Mahkamah Konstitusi maka dalam sidang

pleno Mahkamah Konstitusi pada tanggal 5 April 2017, melalui Putusan Nomor

137/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah

kabupaten/kota tidak lagi bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri atau gubernur. Namun

untuk mempertegas hal tersebut Mahkamah Konstitusi melengkapi hal tersebut melalui

Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 menyatakan pemerintah pusat tidak lagi memiliki

kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi.

Putusan tersebut juga mengembalikan kewenangan pengujian kepada Mahkamah

Agung sebagaimana diatur oleh Pasal 24A UUD NRI 1945 yaitu sebagai pemegang

kekuasaan kehakiman dalam hal pengujian peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang terhadap undang-undang yang mana diketahui bahwa Peraturan Daerah

(Perda) menurut hierarki ada di bawah Undang – Undang. Tetapi putusan ini juga tidak

mendudukkan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-

undang hanya kepada Mahkamah Agung. Harusnya Mahkamah Konstitusi, menyatakan

peraturan kepala daerah tidak lagi dapat dibatalkan oleh pemerintah yang tingkatannya

lebih tinggi, hal ini dikarenakan peraturan kepala daerah merupakan jenis peraturan

perundang-undangan yang hierarkinya berada di bawah undang-undang, sehingga untuk


mengajukan pembatalannya harus melalui proses judicial review di Mahkamah Agung.

Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945 yang sama sekali tidak

memberikan delegasi kewenangan pengujian terhadap peraturan daerah maupun

peraturan kepala daerah kepada lembaga eksekutif.

B. Saran

Berdasarkan apa yang telah dibahas mengenai Putusan Mahkamah Konsitusi

Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

56/PUU-XIV/2016 maka saran yang dapat diberikan yaitu sebagai Negara Hukum

alangkah baiknya jika Kebijakan atau Peraturan Perundang – undangan dikaji dahulu

materinya sebelum di publikasikan dan disahkan. Dan juga melakukan Pengawasan

terhadap kebijakan kebijakan Pemerintahan baik Pusat maupun Daerah secara utuh agar

meminalisasi kebijakan atau peraturan yang bertentangan dengan UUD NRI 1945. Dan

menekankan kepada Pemerintah Daerah dalam Pembuatan Peraturan Daerah harus

didasarkan pasa asas pembentukan peraturan perundang – undangan. Dan melakukan

pengujian Peraturan sebelum langsung dibatalkan jika terjadi masalah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmad Bonadi, ”ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR:137/PUU-XIII/2015 TENTANG PEMBATALAN KEWENANGAN
GUBERNUR DALAM MEMBATALKAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA” Volume 4, Nomor 1 http://journal2.um.ac.id/index.php/jppk

2. Eka N.A.M Sihombing, “Menggagas Peraturan Daerah Yang Aspiratif” Dalam Sophia
Hadyanto, (Editor) Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi, PT. Softmedia,
Jakarta, 2010, Hlm 189

3. King Faisal Sulaiman, Dialektika Pengujian Peraturan Daerah Pasca Otonomi Daerah,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014
4. M. Nur Sholikin, Penghapusan Kewenangan Pemerintah Untuk Membatalkan Perda;
Momentum Mengefektifkan Pengawasan Preventif Dan Pelaksanaan Hak Uji Materiil
MA, Badan Pembinaan Hukum Nasional Jurnal Rechtsvinding, [ISSN 2089-9009]
Jakarta, 2017

5. Yuri Sulistyo, “Jurnal Pengawasan Pemerintah terhadap Produk Hukum


Daerah(Peraturan Daerah) melalui Mekanisme Pembatalan Peraturan Daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004”, Jurnal Lentera Hukum, Vol.1 Nomor 1, Maret
2014

6. https://media.neliti.com/media/publications/43257-ID-pengawasan-terhadap-peraturan-
daerah.pdf, Pengawasan terhadap peraturan daerah (diakses pada tanggal 4 April 2019)

7. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58ec93459830f/putusan-mk--momen-
pemerintah-efektifkan-pengawasan-perdabermasalah., Putusan MK, Momen Pemerintah
Efektifkan Pengawasan Perda Bermasala. (diakses pada tanggal 4 April 2019)

8. Jurnal Yudisial ” perkembangan kewenangan pembatalan peraturan daerah”


https://jurnal.komisiyudisial.go.id

9. Jurnal Mahasiswa Unesa ” PROBLEMATIKA HUKUM PEMBATALAN”


https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id

10. Jurnal Mahasiswa Trunojoyo “pengawasan peraturan daerah setelah putusan mahkamah
konstitusi” https://journal.trunojoyo.ac.id

11. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

12. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah

13. Undang – Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Perundang-undangan


14. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.

15. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XII/2015

16. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

1. https://jurnal.unej.ac.id/index.php/eJLH/article/view/559
2. https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/9410/2.%20Dita%20Dwi
%20Arisandi%20dan%20Lilik%20Pudjiastuti.pdf?sequence=1
3. http://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/9460
4. https://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/download/356/315
5. http://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/download/9460/4252
6. https://e-journal.unair.ac.id/YDK/article/download/289/154

Anda mungkin juga menyukai