Anda di halaman 1dari 15

SASI

Volume 25 Nomor 1, Januari - Juni 2019: hal. 92 - 106


Fakultas Hukum Universitas Pattimura
p-ISSN: 1693-0061 | e-ISSN: 2614-2961

Pelaksanaan Eksekusi Putusan


Pengadilan Tata Usaha Negara Di Era Otonomi

Dezonda Rosiana Pattipawae


Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Borobudur, Jakarta, Indonesia
E-mail: pattipawaeonda@gmail.com

Abstract: The execution of the State Administrative Court Decision which has permanent
legal force (inkracht van Gewijsde) in the era of autonomy is as wide as possible, and
begins with the breakdown of the paradigm of regional autonomy in the 1945 Constitution
of the Republic of Indonesia. Article 18, Article 18A and Article 18B, the implementation
of regional government is based on the principles that become the normative basis. State
Administrative Court decisions that cannot be executed have caused pessimism and
apathy in society. The problem is that there is no executive power in the Law Number 5
of 1986 concerning the Regulation of State Administration. This condition is an alarming
fact that the existence of a State Administrative Court Decision has not been able to bring
justice to the public in the administrative sphere of government. The principle of the
existence of a State Administrative Court Decision, to place judicial control in the
implementation of good governance becomes biased in the Indonesian constitutional
system.

Keywords: Execution, State Administrative Court, Autonomy

A. PENDAHULUAN “rechtsmatigheid van bestuur”, sehingga


merugikan kepentingan rakyat, yang pada
Eksistensi Peradilan Tata Usaha
akhirnya akan menciptakan norma
Negara merupakan prasyarat mutlak bagi
pemerintahan dan instrumen
upaya untuk mewujudkan pemerintahan
pemerintahan yang digunakan harus
yang baik (good governance) serta taat
menjamin perlindungan hukum bagi
pada hukum. Hal ini sekaligus
rakyat.1
membuktikan adanya perlindungan
Peradilan Tata Usaha Negara
hukum terhadap tindakan pemerintahan
berfungsi untuk memberikan
yang tidak sesuai dengan asas-asas
perlindungan hukum bagi rakyat pencari

1
Hajhon, Philipus M. (1990). Fungsi Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum UNAIR,
Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Surabaya, h. 6.
Pemerintah Yang Bersih, Pidato Penerimaan

92 | S A S I V o l . 2 5 N o . 1 , J a n u a r i - J u n i 2 0 1 9
keadilan melalui pengujian keabsahan mengatur dan mengurus Urusan
tindakan Pejabat Tata Usaha Negara di Pemerintahan dan kepentingan
daerah dalam bentuk pengujian keabsahan masyarakat setempat menurut prakarsa
suatu Keputusan Tata usaha Negara yang sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dikeluarkan atau yang tidak dikeluarkan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
oleh Pejabat atau Badan Tata Usaha Indonesia.4
Negara di daerah terhadap peraturan Pasal 59 ayat (1) dan (2) Undang-
perundang-undangan yang berlaku Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
dan/atau asas-asas umum pemerintahan Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa :5
umum yang baik yang diatur dalam Pasal Ayat (1) : Setiap Daerah dipimpin oleh
53 ayat (1) Undang Undang Nomor 5 kepala Pemerintahan Daerah
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha yang disebut kepala daerah.
Negara, sebagaimana telah dirubah Ayat (2) : Kepala daerah sebagaimana
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun dimaksud pada ayat (1)
2004 tentang Perubahan atas Undang- untuk Daerah provinsi
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang disebut gubernur, untuk
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana Daerah kabupaten disebut
telah dirubah terakhir dengan Undang- bupati, dan untuk Daerah
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang kota disebut wali kota.
perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
Tata Usaha Negara2. Pengujian keabsahan 1999 sejak diberlakukan dan kemudian
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut direfisi dengan Undang-Undang Nomor
sebagai bentuk implementasi Negara 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Indonesia sebagai negara hukum yang Daerah, dan sekarang Undang-Undang
ditetapkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Nomor 23 Tahun 2014 serta Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Kedua Undang-Undang Nomor 9 Tahun
Indonesia Tahun 1945. 2015 tentang Perubahan Kedua atas
H. W. R. Wade menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
dalam negara hukum segala sesuatu harus tentang Pemerintahan Daerah, baik daerah
dapat dilakukan menurut hukum provinsi maupun kabupaten atau kota,
(everything nust be done according to law), masing-masing berdiri sendiri dan tidak
hukum yang menentukan bahwa mempunyai hubungan hirarki satu sama
Pemerintah harus tunduk pada hukum lain (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
bukannya hukum harus tunduk pada Nomor 22 Tahun 1999 Jo. Pasal 2 dan
Pemerintah.3 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang 2004 tentang Pemerintahan Daerah Jo
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, menyatakan Nomor 23 Tahun 2014 tentang
bahwa Daerah Otonom yang selanjutnya Pemerintahan Daerah). Daerah Provinsi
disebut Daerah adalah kesatuan bukan merupakan pemerintah atasan dari
masyarakat hukum yang mempunyai Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
batas-batas wilayah yang berwenang Kewenangan daerah mencakup
2
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ayat (1)
tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jo Undang- 3
Wade, H. W. R. (2006). Hukum
Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Perubahan Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Persada, h. 20.
tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jo Undang- 4
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 angka 12
Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 5
Ibid, Pasal 59 ayat (1) dan (2)
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 53

93 | S A S I V o l . 2 5 N o . 1 , J a n u a r i - J u n i 2 0 1 9
kewenangan dalam seluruh bidang Oleh karena itu dikaitkan dengan
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha
bidang politik luar negeri, pertahanan, Negara, dimana tahap akhir dalam proses
keamanan, yustisi, moniter dan fiskal penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara
nasional, agama (Pasal 10 ayat (1). Pengadilan Tata Usaha Negara adalah
Melihat kenyataan bahwa begitu besarnya eksekusi atau pelaksanaan Putusan
kewenangan kepala daerah yang diberikan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah
oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun berkekuatan Hukum tetap. Eksekusi
2014 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun mengandung makna pelaksanaan putusan
2015 tentang Perubahan Kedua atas oleh atau dengan bantuan pihak lain diluar
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 para pihak yang bersengketa. Hakekat dari
tentang Pemerintahan Daerah, maka akan eksekusi tidak lain ialah realisasi dari pada
memindahkan birokrasi pusat ke daerah kewajiban pihak yang bersangkutan untuk
dengan segala eksesnya tanpa kendali memenuhi prestasi yang tercantum
yang cukup dari pemerintah pusat didalam Putusan tersebut. Dalam Undang-
termasuk dalam penerbitan keputusan- undang Nomor 9 Tahun 2004 dan
keputusan kepala daerah khususnya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
keputusan tata usaha negara atas dasar tentang perubahan atas Undang-undang
kewenangan otonomi daerah, sehingga Nomor 5 Tahun 1986, ketentuan
kemungkinan besar akan menimbulkan eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha
konflik atau sengketa tata usaha negara Negara diatur dalam Pasal 116.
antara warga masyarakat dengan badan Ketentuan Pasal 116 Undang-
atau pejabat tata usaha negara daerah. Undang Nomor 9 Tahun 2004, maka
Apabila sengketa Tata Usaha Negara dapatlah diuraikan bahwa dalam eksekusi
tersebut di atas timbul, maka penyelesaian Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di
sengketanya dapat ditempuh melalui kenal adanya dua jenis eksekusi Putusan,
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai salah yaitu : eksekusi Putusan yang berisi
satu sarana Hukum bagi rakyat kewajiban sebagaimana yang di maksud
(masyarakat) di Indonesia. Namun dalam ketentuan Pasal 97 ayat (9) sub a
persoalannya adalah bagaimanakah fungsi dan eksekusi putusan yang berisi
pengawasan yustisial oleh Peradilan Tata kewajiban sebagaimana yang dimaksud
Usaha Negara mampu secara efektif dapat dalam Pasal 97 syat (9) sub b dan c
dilaksanakan dalam hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
pelaksanaan otonomi daerah. Putusan yang berisi kewajiban
Amarullah Sali6 menyatakan bahwa: sebagaimana yang dimaksud dalam
“ Berhasil tidaknya suatu penegakan ketentuan Pasal 97 ayat (9) sub a, maka
hukum secara praktis tergantung diterapkanlah eksekusi Putusan menurut
kepada dapat dilaksanakan atau ketentuan Pasal 116 ayat (2) Undang-
tidaknya setiap putusannya yang telah undang Nomor 51 Tahun 2009 yaitu
berkekuatan hukum tetap (pasti). Oleh enam puluh hari setelah Putusan
karena itu pula yang menjadi ukuran Pengadilan yang telah memperoleh
hukum itu benar-benar ada dan dapat kekuatan Hukum tetap sebagimana
dinilai dari dapat dilaksanakannya dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dikirim,
(eksekusi) setiap putusan pengadilan Tergugat tidak melaksanakannya,
yang telah berkekuatan hukum tetap maka Keputusan Tata Usaha Negara yang
itu”. disengketakan itu tidak mempunyai

6
Salim, Amarullah. (2000). Peranan Yang Baik Dari Suatu Negara Hukum, Jakarta:
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai Lembaga Administrasi Negara, Departemen
Pengawasan Yusticial Terhadap Pemerintah Kehakiman, h. 26.
Berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan

94 | S A S I V o l . 2 5 N o . 1 , J a n u a r i - J u n i 2 0 1 9
kekuatan Hukum lagi. Putusan yang berisi administratif diatur dengan Peraturan
kewajiban sebagaimana yang dtentukan Perundang-Undangan.
dalam Pasal 97 ayat (9) sub b dan c, maka Pasal 116 ayat (3) sampai ayat (5), (6)
diterapkan ketentuan Pasal 116 ayat (3) dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 51
sampai ayat (6) Undang-undang Nomor Tahun 2009 dikaitkan dengan kedudukan
9 Tahun 2004, yaitu dalam hal Badan atau Kepala Daerah menurut Undang-Undang
Pejabat Tata Usaha Negara ditetapkan Nomor 23 Tahun 2014, dimana baik
harus melaksanakan kewajiban Daerah Provinsi maupun Kabupaten atau
sebagaimana tersebut dalam amar Putusan Kota masing-masing berdiri sendiri dan
untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha tidak mempunyai hubungan hirarki yang
Negara, tetapi ternyata setelah tiga bulan tegas satu sama lain, maka timbul
lewat, dan kewajiban itu tidak dipenuhi. permasalahan yaitu diantaranya
Maka Penggugat mengajukan bagaimanakah Eksekusi Putusan
Permohonan kepada Ketua Pengadilan Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat
memerintahkan kepada Terggugat untuk hambatan serta dapat menjamin adanya
melaksanakan Putusan Pengadilan kepastian hukum bagi masyarakat pencari
tersebut, dalam hal Tergugat masih tetap keadilan di daerah, mengingat Undang-
tidak bersedia melaksanakan Putusan, Undang Nomor 51 Tahun 2009 tidak
maka terhadap Pejabat yang mengisyaratkan pelaksanaan putusan
bersangkutuan dikenakan upaya paksa diatur lebih lanjut dalam peraturan
berupa pembayaran sejumlah uang paksa pemerintah misalnya, siapa yang
dan/sanksi Administratif (Pasal 116 ayat menetapkan uang paksa, berapa besarnya,
4). Selanjutnya Pasal 116 ayat (5) Undang- apa ukurannya, siapa yang dibebankan
undang tersebut menentukan apabila uang paksa, person atau jabatannya,
Pejabat yang tidak melasanakan Putusan bagaimana teknisnya, terhadap sanksi
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada administratifnya juga demikian, seperti
Pasal 116 ayat (4) Undang-undang Nomor siapa yang berwenang menjatuhkan sanksi
9 Tahun 2004, dan Undang-Undang administrasi, apa bentuknya, mengingat
Nomor 51 Tahun 2009 maka akan Kepala Pemerintah Daerah merupakan
diumumkan pada media masa cetak Pejabat Negara dan Jabatan Politis,
setempat oleh Panitera. Disamping itu dimana Kepala Pemerintah Daerah
pada Pasal 116 ayat (6) Undang-Undang bertanggung jawab kepada rakyat dalam
Nomor 51 Tahun 2009 menentukan pula hal ini melalui dewan perwakilan rakyat
bahwa disamping diumumkan pada media daerahnya, dan juga Kepala Pemerintah
massa, cetak, setempat sebagaimana Daerah dipilih berdasarkan sistim
dimaksud pada ayat (5), Ketua Pengadilan pemilihan langsung oleh rakyat, sehingga
harus mengajukan hal itu kepada Presiden memiliki legalitas dan otoritas yang tinggi
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan kuat dalam menduduki jabatannya.
pemerintahan untuk memerintahkan Philipus7 mengemukakan bahwa “Kepala
pejabat tersebut melaksanakan Putusan Daerah Bukanlah Jabatan karier. Oleh
Pengadilan dan kepada Lembaga karena itu terhadap Kepala Daerah tidak
Perewakilan Rakyat untuk menjalankan berlaku ketentuan hukuman disiplin yang
fungsi pengawasan. Begitu pula ayat (7) berlaku Pegawai Negeri”
yang mengatakan bahwa ketentuan Dari uraian Pada latar belakang
besarnya uang paksa, jenis sanksi tersebut, maka yang menjadi
administratif, dan tata cara pelaksanaan permasalahan dalam tulisan ini adalah :
pembayaran uang paksa dan atau sanksi “Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha

7
Hadjon, Philipus M. (2004). Penerapan Penerapan Eksekusi Putusan TUN dalam kaitannya
Eksekusi Putusan PTUN Terhadap Pejabat TUN di dengan pelaksanaan otonomi daerah, Jakarta, 28
Daerah, Disampaikan pada Workshop tentang Agustus 2004, h. 3.

95 | S A S I V o l . 2 5 N o . 1 , J a n u a r i - J u n i 2 0 1 9
Negara Dalam Mewujudkan Tata Kelola 2004. Dari ketentuan tersebut dapat
Pemerintahan Daerah” diuraikan sebagai berikut :
1) Dalam hal pemeriksaan sengketa
sudah diselesaikan, masing-masing
B. PEMBAHASAN pihak diberikan kesempatan untuk
menyampaikan kesimpulan.
1. Pelaksanaan Eksekusi Putusan 2) Setelah kedua pihak mengemukakan
Peradilan Tata Usaha Negara kesimpulan, maka Hakim Ketua
Sidang menyatakan bahwa sidang
Putusan hakim adalah suatu ditunda untuk memberikan
pernyataan yang oleh hakim sebagai kesempatan kepada Majelis Hakim
Pejabat negara yang diberi wewenang bermusyawarah dalam ruangan
untuk itu, diucapkan di persidangan dan tertutup untuk mempertimbangkan
bertujuan untuk mengakhiri atau segala sesuatu guna putusan
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa tersebut.
sengketa antara para pihak8. 3) Putusan dalam musyawarah majelis
Putusan pengadilan menurut Pasal diusahakan untuk memperoleh hasil
185 ayat (1) HIR dibedakan atas dua mufakat, kecuali apabila hal itu
macam, yakni putusan akhir (lind voonis) setelah diupayakan dengan sungguh-
dan bukan putusan akhir (putusan sela sungguh tidak tercapai, maka
(tussen vonnis). Putusan akhir adalah berlaku aturan sebagai berikut:
putusan yang sifatnya mengakhiri suatu a) Putusan diambil dengan suara
sengketa dalam tingkat tertentu, terbanyak.
sedangkan putusan sela adalah putusan b) Apabila ketentuan (a) tersebut
yang dikeluarkan oleh hakim sebelum juga tidak dihasilkan putusan,
mengeluarkan putusan akhir dengan maka musyawarah ditunda
maksud mempermudah pemeriksaan sampai musyawarah berikutnya.
perkara selanjutnya dalam rangka c) Apabila dalam musyawarah
memberikan putusan akhir.9 berikutnya tidak dapat diambil
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha putusan dengan suara terbanyak,
Negara juga dikenal adanya dua macam maka suara terakhir, diletakan
putusan, yakni Putusan Akhir dan Putusan pada hakim Ketua Majelis yang
Sela atau putusan bukan akhir (Pasal 113 menentukan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 d) Putusan Pengadilan dapat
tentang Peradilan Tata Usaha Negara). dijatuhkan pada hari itu juga
Putusan yang diucapkan dipersidangan dalam sidang yang terbuka untuk
(uitspraak) tidak boleh berbeda dengan umum, atau ditunda pada hari
apa yang tertulis, sebab bila terjadi lain yang harus diberitahukan
perbedaan antara putusan yang diucapkan kepada kedua belah pihak.
dan putusan yang tertulis akan berakibat 4) Putusan pengadilan dapat berupa:
batal demi hukum, sehingga putusan a) Menolak gugatan, apabila
tersebut tidak dapat dilaksanakan dan setelah diperiksa gugatan
tidak berkekuatan hukum tetap. Putusan penggugat tidak terbukti.
Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam b) Gugatan dikabulkan, berarti
Pasal 97 Undang-Undang Nomor 5 Tahun dalam pemeriksaan dapat
1986 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun dibuktikan bahwa Keputusan

8
Harahap, Zairin. (2001). Hukum Acara Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia,
Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Raja Yogyakarta: Liberty, h. 45.
Grafindo, h. 71.
9
Marbun, S F. (2003). Peradilan

96 | S A S I V o l . 2 5 N o . 1 , J a n u a r i - J u n i 2 0 1 9
Tata Usaha Negara yang sebagaimana tersebut diatas, dapat
disengketakan melanggar pula disertai pemberian rehabilitasi
Peraturan perundang-undangan (pemulihan Penggugat pada harkat,
dan/atau asas-asas umum martabat dan posisi semula).
pemerintahan yang baik. Dalam
putusan tersebut dapat Dalam Hukum Acara Peradilan Tata
ditetapkan kewajiban yang harus Usaha Negara, putusan pengadilan dibagi
dilakukan oleh badan atau dalam 3 jenis putusan, yaitu:
pejabat Tata Usaha Negara. a) Putusan yang bersifat pembebanan
c) Gugatan tidak dapat diterima, (condemnatoir) Putusan yang
apabila setelah diperiksa gugatan mengandung pembebanan.
penggugat tidak berdasarkan Misalnya Tergugat dibebani untuk
hukum yang berarti gugatan membatalkan surat keputusan yang
tidak memenuhi syarat-syarat digugat; Tergugat dibebani
yang telah ditentukan. Dalam hal membayar ganti kerugian atau
ini penggugat dapat memasukan Tergugat dibebani melakukan
gugatan baru. rehabilitasi. (Pasal 97 ayat 9 butir /
d) Gugatan dinyatakan gugur, huruf a,b,c, Pasal 97 ayat 10 dan 11).
apabila penggugat, para Contoh : surat pemberhentian
penggugat atau kuasanya tidak pegawai dibatalkan dan melakukan
hadir pada waktu sidang yang rehabilitasi.
telah ditentukan meskipun telah b) Putusan yang bersifat pernyataan
di panggil secara patut tanpa (declaratoir) Putusan yang hanya
alasan yang jelas. menegaskan suatu keadaan hukum
5) Dalam hal gugatan dikabulkan, yang sah. Misalnya penetapan
maka dalam putusan Pengadilan dismisal (Pasal 62). Contoh gugatan
tersebut dapat ditetapkan kewajiban tidak diterima atau tidak berdasar.
yang harus dilakukan oleh Badan Penetapan perkara diperiksa dengan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang acara cepat (Pasal 98). Beberapa
mengeluarkan keputusan Tata Usaha perkara perlu digabungkan atau
Negara. dipisah-pisahkan, dan lain-lain.
6) Kewajiban diatas berupa: c) Putusan yang bersifat penciptaan
a) Pencabutan keputusan Tata (konstitutif) Putusan yang
Usaha Negara yang melenyapkan suatu keadaan hukum
bersangkutan; atau atau melahirkan atau menciptakan
b) Pencabutan keputusan Tata suatu keadaan hukum baru. (Pasal 97
Usaha Negara yang ayat 9 huruf b)10.
bersangkutan dan menerbitkan
Keputusan Tata Usaha Negara Tiga macam kekuatan yang terdapat
yang baru; atau pada putusan hakim yaitu kekuatan
c) Penerbitkan KTUN dalam hal mengikat (resjudicata pro vertate habetur),
gugatan didasarkan pada pasal 3 kekuatan eksekutorial (suatu putusan
(KTUN Fiktif neatif). pengadilan yang telah berkekuatan tetap
7) Kewajiban tersebut dapat disertai dapat dijalankan), kekuatan pembuktian
pembebanan ganti rugi. (putusan pengadilan merupakan akta
8) Dalam hal putusan Pengadilan otentik) 11 Putusan Pengadilan harus
menyangkut sengketa kepegawaian, diucapkan dalam sidang terbuka untuk
maka di samping kewajiban umum. Apabila salah satu pihak atau
10
Martiman, Prodjohamidjojo. (2005) Jakarta: Raja Ghalia Indonesia, h. 132.
Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, 11
Ibid. h. 133-134

97 | S A S I V o l . 2 5 N o . 1 , J a n u a r i - J u n i 2 0 1 9
kedua belah pihak tidak hadir pada waktu 3) putusan itu;harus ditandatangani
putusan Pengadilan diucapkan, maka atas oleh Hakim yang memutus dan
perintah Hakim Ketua Sidang salinan Panitera yang turut bersidang.
putusan itu disampaikan kepada yang 4) Apabila Hakim Ketua Majelis atau
bersangkutan. Tidak dipenuhinya dalam hal pemeriksaan dengan acara
ketentuan diatas berakibat putusan cepat Hakim Ketua Sidang
Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai berhalangan menandatangani, maka
kekuatan hukum. putusan Pengadilan ditandatangani
Mengenai bentuk Putusan oleh Ketua Pengadilan dengan
Pengadilan, diatur dalam Pasal 109 UU menyatakan berhalangannya Hakim
PTUN, sebagai berikut: PASAL 109 (1) Ketua Majelis atau Hakim Ketua
Putusan Pengadilan harus memuat: Sidang tersebut. Apabila Hakim
a) Kepala putusan yang berbunyi : Anggota Majelis berhalangan
"DEMI KEADILAN menandatangani, maka putusan
BERDASARKAN KETUHANAN Pangadilan ditandatangani oleh
YANG MAHA ESA"; Hakim Ketua Majelis dengan
b) Nama, jabatan, kewarganegaraan, menyatakan berhalangannya Hakim
tempat kediaman, atau tempat Anggota Majelis tersebut.
kedudukan para pihak yang Pelaksanaan putusan merupakan
bersengketa; bentuk sebagai eksekusi. Eksekusi dapat
c) Ringkasan g ugatan dan jawaban dilaksanakan jika sudah ada suatu putusan
tergugat yang jelas; yang memperoleh kekuatan hukum tetap
d) Pertimbangan dan penilaian setiap atau pasti. Menurut Indroharto, yang
bukti yang diajukan dan hal yang menyatakan bahwa pelaksanaan putusan
terjadi dalam persidangan selama pengadilan dilaksanakan oleh atau dengan
sengketa itu diperiksa; bantuan pihak luar dari para pihak. 12
e) Alasan hukum yang menjadi dasar Lebih jauh dikatakan, pada asasnya
putusan; putusan yang dapat dijalankan ialah
f) Amar putusan tentang sengketa dan putusan yang telah memperoleh Kekuatan
biaya perkara; hukum tetap. Karena dalam putusan yang
g) Hari, tanggal putusan, nama Hakim telah berkekuatan hukum tetap terkandung
yang memutus, nama Panitera, serta wujud hubungan hukum yang tetap dan
keterangan tentang hadir atau tidak pasti. 13 Oleh karena itu, hubungan
hadirnya para pihak. hukum tersebut harus ditaati dengan cara
dilakukan putusan secara sukarela, bahkan
Terkait dengan bentuk Putusan dalam Hukum Acara Perdata tersedia
sebagaimana disebutkan di atas, maka hal- sarana-sarana penyanderaan dan
hal ini pun harus menjadi perhatian baik penghukuman dengan denda paksa, begitu
hakim maupun para pihak, yaitu: juga dengan adanya Undang-Undang
1) Tidak dipenuhinya salah satu Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang
ketentuan sebagaimana dimaksud Nomor 9 Tahun 2004 disebutkan adanya
dalam ayat (1) dapat menyebabkan upaya paksa. Pelaksanaan putusan
batalnya putusan Pengadilan. Pengadilan Tata Usaha Negara diatur
2) Selambat-lambatnya tiga puluh hari dalam pasal 115 Undang- Undang Nomor
sesudah putusan Pengadilan 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang
diucapkan, Nomor 9 Tahun 2004 yang menyebutkan
bahwa “Hanya putusan Pengadilan yang

12
Indroharto. (1999). Usaha Memahami Tata Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, h.
Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha 360.
Negara buku I beberapa Pengertian Dasar Hukum 13
Ibid

98 | S A S I V o l . 2 5 N o . 1 , J a n u a r i - J u n i 2 0 1 9
telah memperoleh kekuatan hukum tetap
yang dapat dilaksanakan”, serta diatur Pejabat yang tidak melaksanakan
dalam pasal 116 Undang-Undang Nomor putusan pengadilan sebagaimana
5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada
9 Tahun 2004 yang berbunyi: media massa cetak setempat oleh Panitera
1) Salinan putusan Pengadilan yang sejak tidak terpenuhinya ketentuan
telah memperoleh kekuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
tetap, dikirimkan kepada para pihak
dengan surat tercatat oleh Panitera
Pengadilan setempat atas perintah 2. Pelaksanaan Eksekusi Putusan
Ketua Pengadilan yang Pengadilan Tata Usaha Negara Di
mengadilinya dalam tingkat pertama Era Otonomi
selambat-lambatnya dalam waktu 14
(empat belas) hari. Pelaksanaan eksekusi terhadap
2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah Putusan Peradilan Tata Usaha Negara
putusan Pengadilan yang telah yang telah mempunyai kekuatan hukum
memperoleh kekuatan hukum tetap tetap (inkracht van Gewijsde) di era
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) otonomi seluas-seluasnya, dan diawali
dikirimkan, Tergugat tidak dengan penguraian terkait paradigma
melaksanakan kewajibannya otonomi daerah dalam Undang-Undang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata 1945 (UUD NRI 1945). Kepustakaan
Usaha Negara yang disengketakan Hukum Tata Negara banyak di jumpai
itu tidak mempunyai kekuatan rumusan yang diberikan tentang otonomi.
hukum lagi. Van der Pot merumuskan
3) Dalam hal Tergugat ditetapkan harus bahwa: ”Autonomie betekent anders van
melaksanakan kewajibannya het woord zou doen vermoeden regeling en
sebagaimana dimaksud dalam Pasal bestuur van eigen zaken, van wat de
97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan Grondwet noemt eigen huishouding”
kemudian setelah 3 (tiga)bulan (pada dasarnya otonomi itu berarti
ternyata kewajiban tersebut tidak pengaturan, pengurusan dan
dilaksanakannya, Penggugat penyelenggaraan pemerintahan sendiri).14
mengajukan permohonan kepada Undang-Undang Dasar negara
Ketua Pengadilan sebagaimana Belanda menamakannya “rumah tangga
dimaksud pada ayat (1) agar sendiri”, kemudian oleh C.J. Franseen
Pengadilan memerintahkan Tergugat konsep otonomi dirumuskan sebagai hak
melaksanakan putusan Pengadilan untuk mengatur urusan-urusan daerah atau
tersebut. setempat dan juga menyesuaikan
4) Dalam hal Tergugat tidak bersedia peraturan-peraturan yang sudah dibuat
melaksanakan putusan Pengadilan dengannya. 15
Logemann
yang telah memperoleh kekuatan menyatakannya: 16
“sebagai kebebasan
hukum tetap, terhadap Pejabat yang bergerak yang diberikan kepada daerah
bersangkutan dikenakan upaya otonom dengan tujuan memberikan
paksa berupa pembayaran sejumlah kesempatan kepada Daerah untuk
uang paksa dan/atau sanksi mempergunakan prakarsanya sendiri dari
administratif. segala macam kekuasaannya, untuk

14
Pot, Van der, (1990). Handboek van het Daerah Otonom, Jakarta: Endang, h. 3.
Nederlands Staatsrecht, WEJ Tjeenk Willink 16
Syafrudin, Ateng (2000). Pengaturan
Zwolle, p. 517. Koordinasi Pemerintahan di Daerah, Bandung:
15
Saleh, Syarif. (2003). Otonomi dan Tarsito, h. 23.

99 | S A S I V o l . 2 5 N o . 1 , J a n u a r i - J u n i 2 0 1 9
mengurus kepentingan umum (penduduk). bahwa besar dan luasnya daerah otonom
Pemerintahan yang demikian itu serta hubungan wewenang antara
dinamakan otonom”. pemerintah pusat dan daerah dibatasi
Menurut Laica Marzuki, tidak cukup dengan menghindari daerah otonom
dalam wujud otonomi daerah yang luas menjadi negara dalam negara. 21 Lebih
dan bertanggungjawab, tetapi harus lanjut dikatakan bahwa pembentukan
diwujudkan dalam format otonomi daerah daerah otonom dalam rangka
yang seluas-luasnya. 17 Otonomi daerah desentralisasi di Indonesia mensyaratkan
yang seluas-luasnya menurut pandangan ciri-ciri sebagai berikut:
Soehino, 18 bahwa cakupan otonomi 1) Daerah otonom tidak memiliki
seluas-luasnya bermakna penyerahan kedaulatan atau semi kedaulatan
urusan sebanyak mungkin kepada daerah layaknya negara federasi;
untuk menjadi urusan rumah tangga 2) Desentralisasi dimanifestasikan
sendiri, pada sisi lain, Nasroen, 19 dalam pembentukan daerah otonom
berpendapat bahwa otonomi daerah yang dan bentuk penyerahan atau
seluas-luasnya bukan tanpa batas sehingga pengakuan atas urusan pemerintahan
meretakkan negara kesatuan. Otonomi yang diberikan kepada daerah;
daerah berarti berotonomi dalam negara 3) Penyerahan atau pengakuan urusan
kesatuan. Tuntutan berotonomi, pemerintahan terkait pengaturan dan
sesungguhnya lahir dari hubungan yang pengurusan kepentingan masyarakat
tegang antara lembaga bawahan dengan setempat (lokalitas) sesuai dengan
lembaga lain yang lebih prakarsa dan aspirasi masyarakat.22
dominan, terutama antara kelompok
religis, etnis, budaya, dan ekonomi dengan Pengaturan pemerintahan daerah
kekuasaan dan kedaulatan negara yang berdasarkan Pasal 18, Pasal 18A, dan
bersangkutan. Ini terjadi terutama di Pasal 18B merupakan pengaturan baru
negara-negara Eropa Kontinental dan dalam sistem pemerintahan daerah di
Anglo Saxon termasuk di dalamnya Indonesia. Dengan adanya Pasal 18, Pasal
negara-negara persemakmuran. Otonomi 18A, dan Pasal 18B, penyelenggaraan
yang dilahirkan karena perjuangan pemerintahan daerah didasarkan pada
kelompok-kelompok masyarakat menurut prinsip-prinsip yang menjadi landasan
ikatan keagamaan, etnis, budaya dan normatif. Lebih lanjut Philipus M.
ekonomi, pada umumnya dilandasi oleh Hadjon 23 , mengemukakan pendapat,
prinsip demokrasi dan filsafah liberal bahwa prinsip-prinsip penyelenggaraan
(hak-hak asasi). Otonomi seperti ini, Pemerintahan Daerah pasca Amandemen,
disebut juga genuine autonomy.20 khususnya prinsip yang terkandung dalam
Oentarto S. Mawardi menyatakan Pasal 18 (Baru) adalah:
bahwa dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum (a) Prinsip pembagian Daerah yang
perubahan dan penjelasannya, serta bersifat hirarkis (Ayat : 1);
perubahan UUD 1945 memberi gambaran

17
Marzuki, M. Laica. (2006). Berjalan- Implementasi Kebijaksanaan Otonomi Daerah di
jalan di Ranah Hukum, Pikiran-pikiran Lepas, Indonesia, Makalah Seminar Nasional Setahun
Jakarta: Konpress, h. 9. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah,
18
Soehino. (2000). Perkembangan Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, h. 9.
Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: Liberty, h. 50. 22
Ibid.
19
Nazroen, M. (1999). Masalah-Masalah 23
Hadjon, Philipus M. dalam Muljadi,
Sekitar Otonomi Daerah, Jakarta: Wolters, h. 28 Arief, (2005). Landasan dan Prinsip Hukum
20
Ndraha, Taliziduhu. (2000). Otonomi Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan
Daerah, Desentralisasi dan Pembangunan, Republik Indonesia, Cet. I, Jakarta: Prestasi
Makalah, h. 31. Pustaka Publisher, h. 65.
21
Mawardi, Oentarto S. (2002). Setahun

100 | S A S I V o l . 2 5 N o . 1 , J a n u a r i - J u n i 2 0 1 9
(b) Prinsip Otonomi dan Tugas dan budaya, demokrasi mengandung hak
Pembantuan (Ayat : 2); bagi rakyat untuk mendapatkan
(c) Prinsip Demokrasi (Ayat : 3 dan 4); kemakmuran dan keadilan sosial yang
dan seluas-luasnya.
(d) Prinsip Otonomi seluas-luasnya Otonomi daerah seluas-luasnya
(Ayat : 5). membawa implikasi terhadap pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan di Daerah
Penegasan Negara Kesatuan termasuk dikeluarkannya berbagai
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Keputusan Kepala Daerah baik Gubernur
sebagai bentuk negara dan Pasal 18 ayat (1) maupun Bupati/Walikita. Di antara
UUD 1945 merupakan dasar pembentukan Keputusan tersebua ada yang merugikan
daerah-daerah yang memiliki hak otonomi. kepentingan individu baik Pegawai Negeri
Sedangkan kaitannya dengan Pasal 4 ayat Sipil sebagai bawahannya maupun
(1) UUD 1945, bahwa penyelenggaraan anggota masyarakat lainnya yang
pemerintahan daerah merupakan dirugikan terkait dengan Keputusan yang
pembagian kekuasaan antara dikeluarkan oleh Kepala Daerah.
penyelenggara pemerintahan di pusat dan Pembagian kekuasaan dalam negara
di daerah. Pemerintahan daerah yang dibahas lebih lanjut oleh Friedrich dalam
otonom bagi negara menurut Mohammad paham konstitusionalisme adalah ”a set of
Hatta,24 yaitu pembentukan pemerintahan activities organized and operated on
daerah (pemerintahan yang berotonomi), behalf of the people but to subject to a
merupakan salah satu aspek pelaksanaan series of restraints which attempt to ensure
paham kedaulatan rakyat (demokrasi) that the power which is needed for such
“Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, governance is not abused by those who are
hak rakyat untuk menentukan nasibnya called upon to do the governing”.26 Oleh
tidak hanya ada pada pucuk pimpinan Arthur Maass, pembagian kekuasaan
negeri, melainkan juga pada setiap tempat dilihat dalam 2 (dua) hal, capital devision
di kota, di desa dan di daerah. of power sebagai pembagian kekuasaan
Kedaulatan rakyat (demokrasi) secara horizontal atau sering
mengandung berbagai dimensi yang dipersamakan dengan pemisahan
tumbuh dan berkembang sesuai dengan kekuasaan (separation of power), dan
pertumbuhan dan lingkungan masyarakat. areal division of power sebagai pembagian
Namun demikian, menurut Bagir Manan kekuasaan secara vertikal. Sementara
25
dimana dan kapanpun, demokrasi akan menurut Smith, yang melihat bahwa
semestinya mengandung atau tujuan dalam areal division of power
menunjukkan beberapa esensi yang tidak dibedakan dalam dua kategori, yaitu sudut
dapat ditawar yaitu kebebasan (liberty) pandang pemerintah pusat (pemerintah)
dan persamaan (equality) baik dalam yang meliputi empat tujuan utama yang
dimensi politik, ekonomi, sosial maupun diharapkan, yaitu (1) pendidikan politik;
budaya. Dimensi politik dari demokrasi (2) pelatihan kepemimpinan; (3)
adalah kebebasan dan persamaan untuk penciptaan stabilitas politik ; serta (4)
berperan serta (partisipasi) baik sebagai mewujudkan demokratisasi sistem
pelaksana maupun sebagai pengawas dan pemerintahan daerah. Konsep kekuasaan
pengendali penyelenggaraan atau kewenangan pemerintah daerah,
pemerintahan. Dari sudut ekonomi, sosial menyangkut tentang struktur hukum yang

24
Hatta, Mohammad, (2000). Kumpulan 26
Friedrich, Carl C. (1999). Constitutional
Karangan (I), Jakarta: Bulan Bintang, h. 103. Government and Democracy: Theory
25
Manan, Bagir. (2005). Otonomi Daerah- and Practice in Europe and America, 5th ed.
Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Weltham Mass, Blaidsdell Publishing Company, p.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 176. 5.

101 | S A S I V o l . 2 5 N o . 1 , J a n u a r i - J u n i 2 0 1 9
bisa berwujud format bentuk dan susunan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada
negara, pemerintahan di daerah, lembaga hukum atau tiada kekuasaan lain apapun,
pemerintahan pusat dan daerah, serta terkecuali kekuasaan hukum semata yang
aparatur pemerintahan pusat dan daerah.27 dalam hal ini bersumber pada Pancasila
selaku sumber dari segala sumber
hukum.28
3. Faktor-Faktor Penghambat Pelaksanaan penerapan uang paksa.
Eksekusi Putusan Peradilan Tata mekanisme pembayaran uang paksa juga
Usaha Negara Di Era Otonomi perlu diperhatikan, karena yang dihukum
untuk melaksanakan putusan PTUN
Putusan PTUN yang tidak dapat adalah pejabat TUN yang masih aktif yang
dieksekusi telah menimbulkan pesimisme masih mendapatkan gaji secara rutin.
dan apatisme dalam masyarakat. Maka akan lebih efektif jika pengenaan
Masalahnya adalah tidak adanya kekuatan dwangsom diambil dari gaji bulanan
eksekutorial dalam UU No. 5 Tahun 1986 pejabat TUN yang bersangkutan. Dan
tentang PTUN. Kondisi ini merupakan perintah pemotongan gaji dalam amar
suatu fakta yang memprihatinkan bahwa putusan hakim diperintahkan kepada
keberadaan PTUN belum dapat membawa Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas
keadilan bagi masyarakat dalam lingkup Negara (KPKN). Namun untuk
administratif pemerintahan. Prinsip melaksanakan pembayaran uang paksa
adanya peradilan TUN, untuk yang dikenakan kepada pejabat TUN yang
menempatkan kontrol yudisial dalam bersangkutan masih menimbulkan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik kendala. Kendala yang pertama adalah
menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan apabila dalam pelaksanaan eksekusi
Indonesia. Bila suatu putusan PTUN tidak ternyata pejabat TUN yang bersangkutan
memiliki kekuatan eksekutorial, dipindah tugaskan ke tempat wilayah kerja
bagaimana mungkin hukum dan KPKN yang berbeda. Upaya yang dapat
masyarakat dapat mengawasi jalannya dilakukan untuk menghadapi kendala
pemerintah yang dilaksanakan oleh pertama adalah dengan adanya koordinasi
pejabat-pejabat Tata Usaha Negara. antara PTUN yang satu dengan PTUN
Permasalahan eksekusi putusan PTUN ini yang lain, dan antara PTUN dengan
juga dapat timbul terkait dengan Pengadilan Negeri jika ternyata pejabat
diberlakukannya otonomi daerah, karena TUN bersangkutan pindah ditempat yang
dengan adanya otonomi daerah seluruh tidak ada PTUN. Kendala selanjutnya
pejabat kepala daerah di tingkat adalah apabila gaji pejabat yang
Kabupaten dan Kota memiliki bersangkutan tidak mencukupi untuk
kewenangan yang luas dalam mengelola membayar uang paksa.
daerahnya dan hal tersebut pasti Upaya yang dapat dilakukan untuk
menggunakan metode keputusan- menghadapi hal ini adalah dengan cara
keputusan administratif. Hukum pejabat bersangkutan dapat mengangsur
merupakan kekuasaan tertinggi atau setiap bulan dengan mempertimbangkan
kedaulatan hukum dalam negara tersebut. sisa gaji yang layak untuk biaya hidup.
Hal ini dikemukakan oleh Sjachran Basah Sanksi lainnya yang dapat dikenakan pada
yang berpendapat bahwa: ”Arti Negara pejabat TUN yang membandel adalah
hukum tidak terpisahkan dari pilarnya itu sanksi administratif. Sanksi administratif
sendiri, yaitu paham kedaulatan hukum. yang dapat diberikan berdasarkan PP No.
Paham itu adalah ajaran yang menyakan 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai

27
Gadjong, Agussalim Andi. (2007). 28
Basah, Sjachran. (2001). Perlindungan
Pemerintahan Daerah, Kajian Politik dan Hukum, Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi
Ciawi-Bogor: Ghalia Indonesia, h. 47- 48. Negara, Bandung: Alumni, h. 2.

102 | S A S I V o l . 2 5 N o . 1 , J a n u a r i - J u n i 2 0 1 9
Negeri adalah hukuman disiplin berupa dalam sistem peradilan administrasi, dan
penurunan pangkat, pembebasan dari telah menimbulkan permasalahan baru.
Jabatan, pemberhentian dengan hormat, Keberadaan PTUN belum dapat memberi
dan pemberhentian tidak dengan hormat. keadilan sepenuhnya bagi masyarakat
Sanksi administratif berupa pembebasan dalam lingkup administratif pemerintahan.
dari jabatan adalah paling tepat karena Keadaan ini tentu saja merupakan
pada saat ia tidak mematuhi putusan halangan untuk mendorong terwujudnya
PTUN maka pada saat itu ia tidak mau pemerintah yang bersih dan berwibawa,
menggunakan kewenangan jabatannya. dengan banyaknya kasus putusan
Perintah penjatuhan sanksi administratif Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat
ditujukan kepada pejabat yang berwenang dilaksanakan akan membuat masyarakat
untuk menghukum pejabat TUN tersebut. berpandangan bahwa Peradilan Tata
Namun, dalam hal apabila pejabat TUN Usaha Negara merupakan peradilan yang
adalah gubernur dan bupati/walikota useless, dan pemerintah telah salah dalam
karena sesuai dengan Undang-Undang membuat hukum mengenai peratun. Ini
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah tentu akan mengakibatkan pemerintah
Daerah, secara hirarki tidak mempunyai menjadi kehilangan wibawanya di
atasan sebagai pejabat yang berwenang masyarakat.
untuk menghukum, maka dalam hal ini Putusan Peradilan TUN merupakan
tentunya hakim dapat memilih pengenaan penetapan yang berisi pengabulan ataupun
uang paksa (dwangsom). penolakan atas dalil-dalil yang diajukan
Langkah yang telah dilakukan oleh oleh para pihak yang bersengketa yang
pemerintah untuk merevisi Pasal 116 UU dapat bersifat positif dan negatif. Putusan
No. 9 tahun 2004 merupakan salah satu ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah
kemajuan dari perkembangan kepastian Majelis Hakim. 29 Mengenai eksekusi
hukum. Namun ketentuan Pasal 116 UU putusan Peradilan TUN itu diatur dalam
No. 9 tahun 2004 tersebut masih belum pasal 115 dan 116 UU No. 5 Tahun 1986,
efektif dilaksanakan. Untuk melaksanakan yang sudah mengalami perubahan dengan
Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut dikeluarkannya UU No. 9 tahun 2004 dan
diperlukan adanya petunjuk pelaksanaan UU No. 51 Tahun 2009. Pasal 115
dan petujnjuk teknis. Diharapkan dengan menyebutkan bahwa “Hanya putusan
adanya revisi tersebut pelaksanaan pengadilan yang telah memperoleh
otonomi daerah dapat terkontrol dengan kekuatan hukum tetap yang dapat
seimbang dan adil sehingga membawa dieksekusi”. Putusan pengadilan yang
kemakmuran bagi masyarakat. Pada belum memperoleh kekuatan hukum tetap
hakekatnya supremasi hukum hanya dapat tidak memiliki kekuatan eksekusi atau
tercapai kalau putusan pengadilan c.q. dengan kata lain putusan pengadilan yang
putusan PTUN dapat dieksekusi sehingga masih mempunyai upaya hukum tidak
menimbulkan efek jera kepada para dapat dimintakan eksekusinya, dalam
pejabat yang menyalahgunakan kenyataannya, meskipun putusan
wewenang. Meskipun peradilan tata pengadilan TUN telah memiliki kekuatan
usaha negara telah diatur dalam UUD NRI hukum tetap, bukan berarti keputusannya
1945 dan dan UU, bukan berarti masalah akan dapat dilaksanakan semudah itu.
- masalah dalam sengketa administrasi Tidak semua orang yang dikenai putusan
negara dapat terselesaikan dengan akan mau melaksanakan putusan ini
mudah.` Banyaknya kasus putusan sehingga kadang - kadang diperlukan
PTUN yang tidak dapat dieksekusi telah upaya paksa, dalam hal ini aparat
membuktikan adanya suatu kesalahan keamanan. Akan tetapi dalam pelaksanaan
29
Prinst, Darwin. (2005). Strategi Citra Aditya Bakti, , h.127
Menangani Perkara Tata Usaha Negara, Bandung:

103 | S A S I V o l . 2 5 N o . 1 , J a n u a r i - J u n i 2 0 1 9
putusan PTUN, keberadaan aparat seringkali tidak menaati hukum,
keamanan tidak dimungkinkan, yang karena biasanya seseorang
memungkinkah adalah campur tangan mematuhi hukum dikarenakan ia
presiden sebagai kepala pemerintahan takut sanksi yang akan dikenakan
dalam rangka memaksa. apabila ia melanggar hukum atau
Kendala dalam pelaksanaan karena ia merasa kepentingan -
eksekusi putusan PTUN adalah kepentingannya akan terjamin
1) Tidak adanya lembaga eksekutorial apabila ia menaati hukum, atau
khusus atau lembaga sanksi yang karena ia merasa hukum yang
berfungsi untuk melaksanakan berlaku sesuai dengan nilai- nilai
putusan. yang berlaku dalam dirinya. Dalam
Hal ini berbeda dengan lembaga hal ini, pihak yang kalah dalam
peradilan lainnya seperti Peradilan sengketa tentunya akan merasa
Umum memiliki lembaga paksa, bahwa kepentingannya tidak
yakni eksekusi riil oleh terjamin bila ia menaati putusan
Kepaniteraan dibawah pimpinan pengadilan TUN, sehingga ia lebih
Ketua Pengadilan untuk perkara memilih untuk tidak mematuhi
perdata (Pasal 195 s/d Pasal 208 HIR putusan pengadilan tersebut. Tidak
dan Pasal 1033 Rv), dan ada jaksa adanya sanksi juga membuat pejabat
sebagai eksekutor putusan Pidana TUN tidak merasa takut apabila ia
(Pasal 270 KUHAP). Di peradilan tidak menjalankan putusan
Militer adalah Oditur Militer yang pengadilan itu. Adanya
berkewajiban untuk mengeksekusi kepentingan/interest pribadi pejabat
putusan Hakim Militer. Peradilan eksistensi keputusan TUN yang
Agama, menurut ketentuan pasal 95, diterbitkannya dan lemahnya tingkat
98 dan 103 UU No. 7 Tahun 1989 kesadaran hukum Badan atau
juga sudah dapat melaksanakan Pejabat TUN adalah sangat besar
secara paksa (Eksekusi) atas pengaruhnya terhadap dipatuhi atau
penetapan dan putusannya termasuk tidaknya putusan Hakim Peratun,
melaksanakan segala macam bentuk karena secara normatif eksekusi
sita (beslag). 30 Sementara itu putusan Hakim Peratun lebih
dengan Peradilan tata Usaha Negara, menyandarkan pada kerelaan
lembaga paksa apa yang dapat Pejabat yang bersangkutan untuk
diterapkan apabila seluruh tahapan melaksanakannya (floating
eksekusi, yaitu peneguran melalui execution). Dengan hanya
atasan secara hierakhi sampai menyandarkan pada kerelaan, tentu
tingkat presiden, Pejabat TUN tetap banyak pejabat yang tidak rela bila
tidak melaksanakannya? Sampai harus memenuhi putusan, sehingga
saat ini tidak ada. inilah satu-satunya memilih untuk tidak mematuhi
Peradilan dalam sistem peradilan di putusan.
Indonesia (dari ke-empat
lingkungan), yang tidak memiliki Pelaksanaan putusan PTUN yang
lembaga paksa. Untuk itu tidak tidak adanya pengaturan yang lebih tegas.
heran banyak putusan yang tidak Seperti diketahui, ketentuan mengenai
dilaksanakan. eksekusi putusan PTUN telah dimuat
2) Rendahnya tingkat kesadaran dalam pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 jo
Pejabat TUN dalam menaati putusan UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 51 Tahun
pengadilan TUN. Pejabat TUN 2009, yang menyebutkan bahwa
30
Rasyid, Roihan A. (2001). Hukum Acara h. 207.
Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

104 | S A S I V o l . 2 5 N o . 1 , J a n u a r i - J u n i 2 0 1 9
pengadilan dapat meminta atasan pejabat Friedrich, Carl C. (1999). Constitutional
TUN yang bersangkutan atau bahkan Government and Democracy:
presiden untuk ‘memaksa’ tergugat Theory
melaksanakan putusan pengadilan and Practice in Europe and America,
5th ed. Weltham Mass, Blaidsdell
Publishing Company.
Gadjong, Agussalim Andi. (2007).
C. P E N U T U P Pemerintahan Daerah, Kajian
Politik dan Hukum, Ciawi-Bogor:
Otonomi daerah seluas-luasnya Ghalia Indonesia.
membawa implikasi terhadap pelaksanaan Hatta, Mohammad, (2000). Kumpulan
penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Karangan (I), Jakarta: Bulan
termasuk dikeluarkannya berbagai Bintang.
Keputusan Kepala Daerah baik Gubernur Harahap, Zairin. (2001). Hukum Acara
maupun Bupati/Walikito. Di antara Peradilan Tata Usaha Negara,
Keputusan tersebut ada yang merugikan Jakarta: Raja Grafindo.
kepentingan individu baik Pegawai Negeri Indroharto. (1999). Usaha Memahami
Sipil sebagai bawahannya maupun Undang-undang Tentang Peradilan
anggota masyarakat lainnya yang Tata Usaha Negara buku I beberapa
dirugikan terkait dengan Keputusan yang Pengertian Dasar Hukum Tata
dikeluarkan oleh Kepala Daerah. Sebagai Negara, Jakarta: Pustaka Sinar
akibat dari Keputusan Kepala Daerah yang Harapan.
merugikan individu (PNS sebagai Marbun, S F. (2003). Peradilan
bawahan maupun anggota masyarakat), Administrasi dan Upaya
maka Keputusan tersebut dijadikan Administratif di Indonesia,
sebagai Pangkal sengketa (Objek Yogyakarta: Liberty.
Sengketa) di Pengadilan Tata Usaha Martiman, Prodjohamidjojo. (2005)
Negara. Setelah Keputusan Pengadilan Hukum Acara Pengadilan Tata
Tata Usaha Negara telah mempunyai Usaha Negara, Jakarta: Raja
kekuatan hukum tetap (inkracht van Ghalia Indonesia.
Geijsde) ternyata tidak dapat dilaksanakan Manan, Bagir. (2005). Otonomi Daerah-
dan/atau tidak dilaksanakan Putusan Filosofi, Sejarah Perkembangan
tersebut. Hal ini sangat terkait dengan dan Problematika, Yogyakarta:
kewenangan yang diberikan kepada Pustaka Pelajar.
Kepala Daerah dalam era otonomi seluas- Muljadi, Arief, (2005). Landasan dan
luasnya dan kurangnya pemahaman Prinsip Hukum Otonomi Daerah
Kepala Daerah terkait dengan Dalam Negara Kesatuan Republik
perlindungan hukum dan kepastian hukum Indonesia, Cet. I, Jakarta: Prestasi
dalam Negara Hukum yang dianut oleh Pustaka Publisher.
Negara Republik Indonesia Marzuki, M. Laica. (2006). Berjalan-jalan
di Ranah Hukum, Pikiran-pikiran
Lepas, Jakarta: Konpress.
Nazroen, M. (1999). Masalah-Masalah
Sekitar Otonomi Daerah, Jakarta:
DAFTAR PUSTAKA Wolters.
Pot, Van der, (1990). Handboek van het
Basah, Sjachran. (2001). Perlindungan Nederlands Staatsrecht, WEJ
Hukum Terhadap Sikap Tindak Tjeenk Willink Zwolle.
Administrasi Negara, Bandung: Prinst, Darwin. (2005). Strategi
Alumni. Menangani Perkara Tata Usaha

105 | S A S I V o l . 2 5 N o . 1 , J a n u a r i - J u n i 2 0 1 9
Negara, Bandung: Citra Aditya TUN dalam kaitannya dengan
Bakti. pelaksanaan otonomi daerah,
Rasyid, Roihan A. (2001). Hukum Acara Jakarta, 28 Agustus 2004.
Peradilan Agama, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Salim, Amarullah. (2000). Peranan
Peradilan Tata Usaha Negara
sebagai Pengawasan Yusticial
Terhadap Pemerintah Berdasarkan
Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik Dari Suatu Negara
Hukum, Jakarta: Lembaga
Administrasi Negara, Departemen
Kehakiman.
Syafrudin, Ateng (2000). Pengaturan
Koordinasi Pemerintahan di
Daerah, Bandung: Tarsito.
Soehino. (2000). Perkembangan
Pemerintahan Daerah, Yogyakarta:
Liberty.
Saleh, Syarif. (2003). Otonomi dan
Daerah Otonom, Jakarta: Endang.
Wade, H. W. R. (2006). Hukum
Administrasi Negara, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Lain-Lain

Mawardi, Oentarto S. (2002). Setahun


Implementasi Kebijaksanaan
Otonomi Daerah di Indonesia,
Makalah Seminar Nasional Setahun
Implementasi Kebijakan Otonomi
Daerah, Program Pascasarjana
UGM, Yogyakarta.
Ndraha, Taliziduhu. (2000). Otonomi
Daerah, Desentralisasi dan
Pembangunan, Makalah.
Hajhon, Philipus M. (1990). Fungsi
Normatif Hukum Administrasi
Dalam Mewujudkan Pemerintah
Yang Bersih, Pidato Penerimaan
Jabatan Guru Besar Pada Fakultas
Hukum UNAIR, Surabaya.
Hadjon, Philipus M. (2004). Penerapan
Eksekusi Putusan PTUN Terhadap
Pejabat TUN di Daerah,
Disampaikan pada Workshop
tentang Penerapan Eksekusi Putusan

106 | S A S I V o l . 2 5 N o . 1 , J a n u a r i - J u n i 2 0 1 9

Anda mungkin juga menyukai