Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ghinaa

NIM : 2110211220202

Kelas :B

Mata Kuliah : Hukum Acara Administrasi

UTS

Analisis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986

Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam peraturan perundang-undangan yakni, UU. No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). UU tersebut mengalami perubahan
pertama yang termuat dalam UU. No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU. No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan umum, baik menyangkut
teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan tersebut bersumber dari kebijakan yang ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dikehendaki oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara pada dasarnya untuk menyesuaikan terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Penyempurnaan atas perubahan pengaturan dalam UU. No 9 Tahun 2004 dilakukan agar
pelaksanaan putusan dapat efektif dilaksanakan oleh pemerintah (sebagai tergugat dalam Sengketa
Tata Usaha Negara). Mengingat kendala yang dialami di Indonesia bahwa putusan pengadilan
seringkali tidak dipatuhi oleh pemerintah. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa di Indonesia,
jaminan terhadap akses keadilan warga negara sebagai penggugat untuk memperoleh keadilan
terhambat (Justice Delay) karena putusan hakim yang telah (inkracht van gewijde) tidak dilaksanakan.
Disamping itu, pengaturan pelaksanaan upaya paksa tidak efektif untuk memaksa pemerintah
(tergugat dalam Kasus TUN) untuk melaksanakan putusan pengadilan. Untuk menjawab
permasalahan tersebut digunakanlah mekanisme upaya paksa yang relatif baru dalam pelaksanaan
putusan pengadilan tata usaha negara yang terus disempurnakan teknis pelaksanaannya.
Eksekusi putusan Peradilan TUN yang dilaksanakan sebelum adanya revisi UU Nomor 5
Tahun 1986 lebih dipengaruhi oleh asas self respect/self obicence dan sistem floating execution, yaitu
kewenangan melaksanakan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, sepenuhnya
diserahkan kepada badan atau pejabat yang berwenang tanpa adanya kewenangan bagi Peradilan TUN
untuk menjatuhkan sanksi. Proses pelaksanaan putusan Peradilan TUN, setelah UU No. 5 Tahun 1986
direvisi melalui UU No. 9 Tahun 2004, memperlihatkan dipergunakannya system fixed execution,
yaitu eksekusi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh pengadilan melalui sarana-sarana pemaksa
yang diatur didalam peraturan perundang-undangan.

Perubahan UU No. 5 tahun 1986 yang terdapat pada UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN), yaitu terdapat pada pasal 2 huruf f, terdapat klausa untuk segala tata
usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak dapat menjadi kompetensi Peradilan TUN
berubah menjadi segala Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional
Indonesia tidak dapat menjadi kompetensi Peradilan TUN pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004. Hal ini disebabkan adanya perkembangan Nama dari Setelah bergulirnya reformasi 1998, maka
sesuai keputusan pimpinan ABRI yang memutuskan mulai 1 April 1999 adanya pemisahan POLRI
dari ABRI dan ABRI menjadi TNI.

Sedangkan pada Pasal 2 huruf (g) bahwa PTUN tidak memiliki kompetensi terhadap segala
keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Panitia Pemilihan Umum ini berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1985
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-
Anggota Badan Permusyawaaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1975 Dan Undang-Undangnomor 2 Tahun 1980. Dalam praktek dan dalam
pandangan beberapa pakar ahli bahwa Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di
daerah mengenai hasil pemilihan umum memang tidak menjadi wewenang dari PTUN karena untuk
segala perselisihan hasil pemilu menjadi wewenang dari Mahkamah Konstitusi

Penambahan Pasal 39 A, pada setiap PTUN ditetapkan adanya Juru Sita.Untuk penjelasan apa
tugas, serta mekanisme kerja Juru Sita tidak ada penjelasan lebih lanjut.

Perubahan isi Pasal 53 ayat 2 huruf b mengenai alasan-alasan yang dapat diajukan dalam
gugatan merupakan perubahan yang penting dalam bidang hukurn administrasi,karena menyebutkan
secara tegas bahwa keputusan yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik
dapat diajukan ke PTUN. Merupakan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana
tercantum dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yaitu : kepastian hukum, tertib penyelenggaraan
Negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas. Diharapkan dalam
perkembangan , asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat digunakan sebagai asas bagi pejabat
TUN untuk membuat Keputusan TUN yang baik dan benar menurut kaidah administrasi negara.

Mengenai pelaksanaan putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap, mengalami perubahan
substansi pasal, yaitu Pasal 116 ayat (4) dan (5). Apabila pejabat yang bersangkutan tidak bersedia
melaksanakan putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap, dapat dikenakan upaya paksa berupa
pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi adminsitratif, diumumkan di media massa cetak
setempat aleh Panitera Pengadilan sejak tiga bulan tidak dipenuhinya kewajiban melaksanakan
putusan PTUN tersebut.

Ketentuan isi Pasal 116 ayat (4) dan (5) tidak ada peraturan perundangan yang mengatur
pelaksanaannya, antara lain diperlukan pengaturan yang tegas dan jelas dalam hal: mekanisme
pelaksanaan pembayaran uang paksa, siapa yang harus membayar (pejabat bersangkutan atau
dibebankan kepada negara), kapan dikenakan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administrasi,
mana yang dikenakan lebih dahulu pembayaran uang paksa atau sanksi administrasi, siapa yang
berwenang memberikan sanksi administrasi? Ketidakjelasan peraturan perundangan, menimbulkan
kesulitan untuk menerapkan isi Pasal 116 ayat (4) dan (5).

Anda mungkin juga menyukai