Anda di halaman 1dari 4

Nama

: Lulu Azmi Sharfina

NIM

: 14410102

Mata Kuliah : Hukum Acara PTUN


Kelas

:F

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9


TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5
TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan
mengenai peradilan umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun non
yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan tersebut bersumber dari kebijakan
yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara antara lain sebagai berikut :
1. syarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan di lingkungan peradilan
Tata Usaha Negara;
2. batas umur pengangkatan hakim dan pemberhentian hakim;
3. pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;
4. pengaturan pengawasan terhadap hakim;
5. penghapusan ketentuan hukum acara yang mengatur masuknya pihak
ketiga dalam suatu sengketa;
6. adanya sanksi terhadap pejabat karena tidak dilaksanakannya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51
TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR
5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Perubahan kedua yag dilakukan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara meletakkan dasar kebijakan bahwa
segala urusan mengenai Peradilan Tata Usaha Negara, baik menyangkut

teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi,


dan finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara antara
lain sebagai berikut:
1. penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh
Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim
yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim;
2. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada
Pengadilan Tata Usaha Negara maupun hakim pada Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara antara lain melalui proses seleksi hakim yang
dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus
melalui proses atau lulus pendidikan hakim;
3. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc.
4. pengaturan
mekanisme
dan
tata
cara
pengangkatan
dan
pemberhentian hakim;
5. kesejahteraan hakim;
6. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan;
7. transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan
pertanggungjawaban biaya perkara;
8. bantuan hukum; dan
9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya
untuk mewujudkan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka
dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui
penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih
pengadilan tata usaha negara secara konstitusional merupakan salah satu
badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan
dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tata usaha negara.

ANALISIS UU PTUN

Bahwa pada Pasal 2 huruf (f) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 segala
Keputusan Tata Usaha Negara, terdapat klausa untuk segala tata usaha
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak dapat menjadi kompetensi
Peradilan TUN berubah menjadi segala Keputusan Tata Usaha Negara
mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia tidak dapat menjadi
kompetensi Peradilan TUN pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Hal ini
disebabkan adanya perkembangan Nama dari Setelah bergulirnya reformasi
1998, maka sesuai keputusan pimpinan ABRI yang memutuskan mulai 1 April
1999 adanya pemisahan POLRI dari ABRI dan ABRI menjadi TNI.
Sedangkan pada Pasal 2 huruf (g) bahwa PTUN tidak memiliki kompetensi
terhadap segala keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di
daerah, mengenai hasil pemilihan umum. Panitia Pemilihan Umum ini
berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1969 TENTANG
PEMILIHAN
UMUM
ANGGOTA-ANGGOTA
BADAN
PERMUSYAWAARATAN/PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1975 DAN UNDANGUNDANGNOMOR 2 TAHUN 1980 menyebutkan bahwa, Panitia Pengawas
Pelaksanaan Pemilihan Umum Pusat, Panitia Pengawas Pelaksanaan
Pemilihan Umum Daerah Tingkat I, Panitia Peng-awas Pelaksanaan Pemilihan
Umum Daerah Tingkat II, dan Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan
Umum Kecamatan masing-masing berturut-turut sesuai dengan tingkatannya
terdiri dari seorang Ketua merangkap Anggota yang dijabat oleh pejabat
Pemerintah dan 5 (lima) orang Wakil Ketua merangkap anggota serta
beberapa orang Anggota yang diambilkan dari unsur Pemerintah, Golongan
Karya, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, dan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Maka dapat disimpulkan
berdasarkan undang-undang diatas pada tahun 1995, yakni setahun setelah
UUPTUN dicatat dalam lembaran Negara yang dikenal adalah panitia-panitia
pemilihan umum.
Panitia Pemilu yang sekarang dikenal sebagai Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yang ada sekarang merupakan KPU ketiga yang dibentuk setelah
Pemilu demokratis sejak reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001) dibentuk
dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang
berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ
Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001
yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM
dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11
April 2001.

Dalam praktek dan dalam pandangan beberapa pakar ahli bahwa


Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah
mengenai hasil pemilihan umum memang tidak menjadi wewenang dari
PTUN karena untuk segala perselisihan hasil pemilu menjadi wewenang dari
Mahkamah Konstitusi berdasarkan pada Perubahan UUD 1945 yang juga
melahirkan sebuah lembaga negara baru di bidang kekuasaan kehakiman,
yaitu Mahkamah Konstitusi dengan wewenang sebagai berikut: menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.
Bahwa pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak ada
perbedaan mencolok dan hanya menganti kotamadya yang sekarang
berubah namanya menjadi kota yang mulai diperkenalkan pada Undangundang Otonomi Daerah. Namun secara konsep bahwa PTUN berada pada
setiap kotamadya dan kabupaten maka diperlukan biaya yang sangat besar
atas pengadaan fasilitas PTUN pada setiap kabupaten dan kotamadya.
Sedangkan pada prakteknya perkara PTUN yang masuk setiap tahunnya
hanya berkisar antara 3 hingga 10 kasus per tahun, da sangat berbeada
dengan PN yang bisa menyelesaikan sekitar 30 hingga 200 perkara per
tahun. Dalam hal ini terlihat sangat tidak efisien untuk membentuk PTUN
pada setiap kabupaten atau kota.
Bahwa pada ayat (2) pasal yang sama menyebutkan kata propinsi
menjadi provinsi. Analisis terhadap pasal ini bukanlah analsis yang
menekankan hukum, karena pada ayat (2) ini hanyalah bertujuan untuk
memperbaiki undang-undag secara gramatikal mengikuti suatu panduan
gramatikal mengnai kebakuan suatu kata sebagaimana diatur dalam
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (selanjutnya
disingkat PUEBI), yakni dengan menggunakan provinsi dan bukanlah
propinsi. Hal ini juga sesuai dengan propinsi dan provinsi dalam KBBI, tetapi
yang baku adalah provinsi. Alasannya, kata tersebut berasal dari province
(Inggris). Selain itu dalam KBBI kata provinsi-lah yang mendapat penjelasan
tentang makna kata.

Anda mungkin juga menyukai