PENDAHULUAN
1
Indonesia Nomor 49 Tahun 2009. Dalam undang-undang ini yang dimaksud
dengan pengadilan adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan
peradilan umum.4 Kemudian di dalam Pasal 8 menyebutkan bahwa di lingkungan
peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-
undang.5
4
Pasal 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan
Umum.
5
Pasal 8 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan
Umum.
6
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama
7
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama
8
Pasal 3A Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama
9
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer.
2
Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Negara Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 51
Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam undang-undang ini
yang dimaksud dengan pengadilan adalah pengadilan tata usaha negara dan
pengadilan tinggi tata usaha negara di lingkungan peradilan tata usaha negara. 10
Kemudian di dalam Pasal 9A menyebutkan bahwa di lingkungan peradilan tata
usaha negara dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-
undang.11
10
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara
11
Pasal 9A Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara
12
Pasal 1 Undang-Undang Negara Rebulik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung
13
Pasal 1 Undang-Undang Negara Rebulik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi.
3
Pasal 24 ayat 2, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah Agung
dan badan-badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan militer dan lingkungan peradilan
tata usaha Negara dan sebuah mahkamah konstitusi. Pengadilan umum terdiri dari
Pengadilan negeri dan Pengadilan tinggi diatur dalam UU Darurat No. 1 Tahun
1951 dan UU No. 13 Tahun 1965 tentang peradilan umum dan mahkamah agung.
Sedangkan Mahkamah Agung diatur pula dalam UU No.14 Tahun 1970 tentang
ketentuan ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
4
BAB II
LANDASAN TEORI
14
UUD 1945 Pasal 24 Ayat (1) dan (2).
15
Baca Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
5
Mahkamah Agung UU No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
16
Buku Profil Mahkamah Agung Republik Indoneisa
6
Baru dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1947 ditetapkan tentang susunan
kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada
tanggal 3 Maret 1947. Pada, tahun 1948, Undang-Undang No. 7 tahun 1947
digandengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948 yang dalam pasal 50 ayat 1
menyatakan Mahkamah Agung Indonesia ialah pengadilan federal tertinggi.
Oleh karena kita telah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak
sesuai dengan keadaan, maka pada tahun 1965 dibuat Undang-Undang yang
mencabuUndang-Undang No. 19 tahun 1948 dan No. 1 tahun 1950 dengan
Undang-UndaNomor 13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum danMahkamah Agung.
7
Mahkamah Agung pernah berkedudukan di luar Jakarta yaitu pada bulan Juli
1946 di Jogyakarta dan kembali ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah
selesainya Konferensi Meja Bundar dan pemulihan Kedaulatan. Dengan demikian
Mahkamah Agung berada dalam pengungsian selama tiga setengah tahun.
Mulai pertama kali berdirinya Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung itu berada di
bawah satu atap dengan Mahkamah Agung, bahkan bersama di bawah satu
departemen, yaitu Departemen Kehakiman.
Dulu namanya Kehakiman Agung pada Mahkamah Agung, seperti Kejaksaan
Negeri dulu namanya Kejaksaan Pengadilan Negeri.
Kejaksaan Agung mulai memisahkan diri dari Mahkamah Agung yaitu sejak
lahirnya Undang- Undang Pokok Kejaksaan (Undang-Undang No. 15 tahun 1961)
di bawah Jaksa Agung Gunawan, SH yang telah menjadi Menteri Jaksa Agung.
Para pejabat Mahkamah Agung (Ketua, Wakil Ketua, Hakim Anggota dan
Panitera) mulai diberikan pangkat militer tutiler adalah dengan Peraturan
Pemerintah 1946 No. 7 tanggal 1 Agustus 1946, sebagai pelaksanaan pasal 21
Undang-Undang No. 7 tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara.
8
Gambar 1. Departemen Van Justitie (Mahkamah Agung
Sumber : Buku Profil Mahkamah Agung Republik Indonesia
Pada tahun 1809 Pemerintah Belanda membangunsebuah Istana yang menghadap
lapangan parade Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng).
Selesai pada masa Gubernur Jenderal Du Bus pada tahun 1825. Pelaksananya
adalah Ir. Tramp.
Istana Weltvreden ini digunakan untuk tugas sehari-hari para Gubernur Jendral.
Pada tanggal I Mei 1848 sebagian bangunan digunakan untuk Departemen Van
Justitie (Mahkamah Agung).
10
Sebagaimana lazimnya dalam suatu negara yang berbentuk Federasi atau Serikat,
maka di Republik Indonesia Serikat diadakan 2 macam Pengadilan; yaitu
Pengadilan dari masing-masing negara Bagian di satu pihak, Pengadilan Federasi
yang berkuasa di semua negara Bagian di lain pihak. Untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia Serikat (RIS) ada satu Mahkamah Agung Republik Indonesia
Serikat sebagai Pengadilan Tertinggi, sedang lain Badan-Badan pengadilan
menjadi urusan masing-masing negara bagian. Undang- Undang yang mengatur
Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat adalah Undang- Undang No. 1
tahun 1950 tanggal 6 Mei 1950 (l-N. tahun 1950 No. 30) yaitu tentang Susunan
dan Kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat yang mulai berlaku
tanggal 9 Mei 1950.
Undang-Undang tersebut adalah hasil pemikiran Mr. Supomo yang waktu itu
menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat, yang pertama
(Menteri Kehakiman dari negara Bagian Republik Indonesia di Yogya adalah Mr.
Abdul Gafar Pringgodigdo mengganti kan Mr. SusantoTirtoprodjo.
Menurut Undang-Undang Dasar RIS pasal 148 ayat 1 Mahkamah Agung
merupakan forum privilegiatum bagi pejabat-pejabat tertinggi negara. Fungsi ini
telah dihapuskan sewaktu kita Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Beruntunglah dengan keluarnya Undang-Undang No. 1 tahun 1950 (I.N. tahun
1950 No. 30) lembaga kasasi diatur lebih lanjut yang terbatas pada lingkungan
peradilan umum saja. Pada tahun 1965 diundangkan sebuah Undang-Undang No.
13 tahun 1965 yang mengatur tentang: Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum dan Mahkamah Agung. Sayang sekali bahwa Undang-Undang tersebut
tidak memikirkan lebih jauh mengenai akibat hukumyang timbul setelah
diundangkannya tanggal 6 Juni 1965, terbukti pasal 70 Undang-Undangtersebut
menyatakan Undang-Undang Mahkamah Agung No. 1 tahun 1950 tidak berlaku
lagi. Sedangkan acara berkasasi di Mahkamah Agung diatur secara lengkap dalam
Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tersebut.Timbullah suatu problema hukum
yaitu adanya kekosongan hukum acara kasasi. Jalan keluar yang diambil oleh
Mahkamah Agung untuk mengatasi kekosongan tersebut adalah menafsirkan
pasal 70 tersebut sebagai berikut:
11
Oleh karena Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tersebut disamping mengatur
tentang susunan, kekuasaan Mahkamah Agung, mengatur pula tentang jalannya
pengadilan di Mahkamah Agung, sedangkan Undang-Undang No. 13 tahun 1965
tersebut hanya mengatur tentang susunan, kedudukan Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, dan, tidak mengatur tentang
bagaimana beracara di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menganggap
pasal 70 Undang-Undang No. 13 tahun 1965 hanya menghapus Undang-Undang
No. 1 tahun 1950 sepanjang mengenai dan kedudukan Mahkamah Agung saja,
sedangkan bagaimana jalan peradilan di Mahkamah Agung masih tetap
memberlakukan Undang-Undang No. 1 tahun 1950.
Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua,
dan beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil
ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang non-yudisial. Wakil ketua bidang
yudisial membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama,
ketua muda militer, dan ketua muda tata usaha negara. Pada setiap pembidangan
Mahkamah Agung dapat melakukan pengkhususan bidang hukum tertentu yang
12
diketuai oleh ketua muda.sedangkan wakil ketua bidang non-yudisial membawahi
ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan.
13
14
15
16
2.1.3 Fungsi dan Peran Mahkamah Agung
1. Fungsi Peradilan
2. Fungsi Pengawasan
3. Fungsi Pengaturan
4. Fungsi Memberi Nasehat
Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain
(Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).
Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala
Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-
undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).
5. Fungsi Administrasi
Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10
Ayat (1) Undang-undang No.HTahun 1970 secara organisatoris,
administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah
17
Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11(1) Undang-
undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan
Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab,
susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-
undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang
No.HTahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman).
Putusan praperadilan
perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1
(Satu) tahun dan/ atau diancam pidana denda.
Perkara tata usaha Negara yang objek gugatannya berupa keputusan
pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah
daerah yang bersangkutan.
18
Mahkamah Agung berwenang juga :
19
Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung merupaka
npengadilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan. Segala urusan organisasi,
administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
20
2.2 Peradilan Umum
Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, dan kedudukan hakim serta
tata kerja administrasi pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Peradilan
umum adalah peradilan untuk memutuskan segala perkara sipil .
21
Negeri dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai
sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
b) Umum masalah atau kasusnya, dalam arti bukanlah perkara yang menurut
bidangnya memerlukan penanganan yang khusus oleh suatu badan peradilan
tersendiri di luar badan peradilan umum.10 Pada lingkungan Peradilan Umum
dapat dibentuk pengkhususan pengadilan yang diatur dalam undang-undang
sebagaimana tercantum dalam pasal 8 UU No.49 Tahun 2006 tentang
perubahan atas UU No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Pengadilan
khusus pada lingkungan Peradilan Umum antara lain Pengadilan Anak,
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan
dan Pengadilan Hak Asasi Manusia.
22
pengecualian, Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh
seseorang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah Kabupaten atau daerah kota
yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang
bersangkutan. Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan
HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Pada saat Undang-Undang tentang Peradilan HAM
mulai berlaku, Pengadilan HAM dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya,
Makassar dan Medan
b. Pengadilan Anak
Sidang dalam pengadilan anak disebut dengan Sidang Anak, bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak
sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Pengadilan Anak.
Adapun batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak
sekurang-kurangnya 8 tahun dan maksimal 18 tahun dan belum pernah
kawin.
Yang dimaksud dengan anak nakal adalah anak yang melakukan tindak
pidana atau melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut perundang-undangan yang berlaku maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Anak yang melakukan pidana bersama-sama dengan
orang dewasa diajukan ke sidang anak, sedangkan orang dewasa
diajukan ke sidang bagi orang dewasa.
c. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan peradilan
umum Sesuai dengan Undang-Undang No. 30Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana
korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
23
d. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus:
o di tingkat pertama mengenai perselisihan;
o di tingkat pertama dan terakhir mengenai kepentingan;
o di tingkat pertama mengenai pemutusan hubungan kerja;
o di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Hubungan Industrial maka Pengadilan Hubungan
Industrial dibentuk pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota
yang berada di ibukota provinsi.
Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
terdiri dari; Hakim, Hakim ad-hoc, Panitera Muda dan Panitera
Pengganti. Sedangkan susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Mahkamah Agung terdiri dari Hakim Agung, Hakim Agung Ad-Hoc
pada Mahkamah Agung dan Panitera.
e. Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga memiliki tugas serta kewenangan memeriksa dan
memutuskan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban
pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutuskan
perkara lain di bidang perniagaaan yang penetapannya dilakukan
dengan peraturan pemerintah.
Pengadilan Niaga memeriksa dan memutus perkara pada tingkat
pertama dengan Hakim Majelis. Dalam hal menyangkut perkara lain di
bidang perniagaan, Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis
dan nilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh
Hakim Tunggal. Dalam menjalankan tugasnya, Hakim Pengadilan
Niaga dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti.
Terhadap putusan Pengadilan Niaga di tingkat pertama yang
menyangkut permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban
24
pembayaran utang hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah
Agung. Pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan oleh sebuah
Majelis Hakim yang khusus dibentuk untuk memeriksa dan
memutuskan perkara yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan
Niaga
Peradilan agama diatur dalam UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dirubah menjadi UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama dan UU No.50 Tahun 2009 tentang perubahan
kedua atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.Peradilan Agama
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud undang-
undang.
25
Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud “antara orang yang
beragama Islam” adalah orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
menundukkan diri dengan suka rela kepada Hukum Islam mengenai hal-hal yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama.
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infak
h. Shodaqah
i. Ekonomi syariah
27
hukum lain. Jauh sebebelum Indonesia merdeka, Peradilan Agama sebenarnya
telah banyak berperan dalam penyelesaian sengketa pada masyarakat Muslim.
Peradilan Agama banyak digunakan masyarakat Muslim Indonesia karena
mereka menginginkan penyelesaian keperdataan menurut Hukum Islam.
Menurut Sardjono, hukum berdasarkan agama Islam pada hakikatnya
bukanlah merupakan hukum dari negara Islam tetentu, melainkan lebih
banyak merupakan hukum yang diperlukan dalam masyarakat para penganut
agama tersebut dalam hubungannya satu sama lain seperti halnya hukum
agama lain.17
Namun hingga tahun 1989, keberadaan Peradilan Agama ini hanya sebagai
pelengkap saja. Pada waktu itu Peradilan Agama tidak diberi wewenang untuk
menjalankan keputusan yang dibuatnya sendiri, melainkan Peradilan Agama
hanya dapat mengimplementasikan keputusannya apabila sudah mendapat
restu atau izin dari Peradilan Negeri dalam bentuk executoir verklaring.18
Fenomena ini amat unik sekali gus diskriminatif, sebab suatu lembaga
peradilan tidak dapat menjalankan keputusannya sebelum diizinkan oleh
lembaga peradilan lain yang levelnya setingkat. Dikatakan diskriminatif
karena lembaga peradilan selain Peradilan Agama yang diakui oleh UU No.
14/1970 diberi wewenang untuk menjalankan keputusannya sendiri.
Barulah kemudian pada tahun 1989 melalui UU No. 7/1989 tentang Peradilan
Agama yang disahkan pada tanggal 27 Desember, Peradilan Agama tidak lagi
menjadi Peradilan Pupuk Bawang melainkan ia sudah dapat berperan
sebagaimana lembaga peradilan yang sesungguhnya (Court of Law). Hal ini
merupakan kulminasi perjuangan politik Islam dalam bidang peradilan dan
hukum. Dengan lahirnya undang-undang tersebut maka kemudian lahir
peraturan-peraturan lainnya seperti Instruksi Presiden No. 1/1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU No. 7/1992 jo. UU No. 10/1998 dan UU
No. 23/1999 tentang Perbankan Syariah, UU No. 35/1999 tentang
“penyatuan” semua lingkungan peradilan menjadi satu atap di bawah
Mahkamah Agung, UU No. 17/1999 tentang Haji; UU No. 38/2001 tentang
Zakat dan UU No. 18/2001 tentang otonomi khusus di Nanggroe Aceh
Darussalam.20 UU No. 18/2003 tentang Advokat yang menyetarakan Sarjana
Syariah dengan Sarjana Hukum dalam peluangnya untuk menjadi advokat;
hingga melahirkan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dengan
UU No. 3 Tahun 2006 ini terjadi penambahan kompetensi absolut Peradilan
Agama, yaitu dalam sengketa Ekonomi Syariah.
20
Diubah dengan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh
29
dan keterikatan dengan lembaga lain, sehingga menjadi sebuah lembaga yang
dapat menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Peradilan Militer diatur dalam UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Dalam undang-undang ini diatur tentang ketentuan-ketentuan umum, susunan
pengadilan, kekuasaan oditurat, hukum acara Pidana Militer, hukum acara Tata
Usaha Militer, dan ketentuan-ketentuan lain.
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu
melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit.
b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit.
30
c. Anggota suatu golongan atau jabatan atau badan atau yang dipersamakan
atau dianggap sebgai prajurit berdasarkan undang-undang.
d. Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c
tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri kehakiman
harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang
bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebgaai akibat yang
ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus
memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari :
a. Pengadilan Militer
b. Pengadilan Militer Tinggi
c. Pengadilan Militer Utama
d. Pengadilan Militer Pertempuran
Tempat kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara Republik
Indonesia yang daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia.
Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang diluar daerah
hukumnya atas izin Kepala Pengadilan Militer Utama. Pengadilan Militer
memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya
adalah:
Memeriksa dan memutus perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan
Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.
Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua
sengketa tentang wewenang mengadili:
32
a. Antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan
Militer Tinggi yang berlainan.
b. Antar Pegadilan Militer Tinggi.
c. Antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.
Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terkahir perbedaan
pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dengan Oditur tentang diselesaikannya
suatu perkara di luar pengadilan atau diselesaikan di Pengadilan di lingkungan
Peradilan Umum atau Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer.
Pengadilan Militer Utama berwenang untuk meminta keterangan tentang hal hal
yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan
Militer Tinggi, dan Pegadilan Militer Pertempuran. Pengadlan Militer Utamaa
memberi petunjuk, teguran atau peringatan yang dipandang perlu kepada
Pengadila Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer
Pertempuran.
33
2.4.1 Separasi TNI-POLRI Meninjau Eksistensi Peradilan Militer
Di bidang politik terjadi pengurangan peran militer. Jumlah anggota TNI dan Polri
dilembakan dalam sistem perwakilan di daerah dan di pusat mengalami
penyusutan secara dratis. Departemen Pertahanan dan Keamanan diganti menjadi
Departemen Pertahanan. Kepolisian kemudian berstatus nonmiliter dan
21
Pada masa awal reformasi, reposisi TNI (ABRI pada waktu) itu digelorakan oleh publik,
termasuk mahasiswa, dengan jargon tuntutan penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Pernyataan
Abdurrahman Wahid, Megawati, Amien Rais, dan Sri Sultan Hamengkubuwono, yang dikenal
sebagai “Deklarasi Ciganjur” menjelang Sidang Istimewa MPR, menegaskan hal yang sama.
22
Di awal tahun 1960-an, menyusul pembubaran Partai Masyumi dan Partai PSI, kekuatan politik
nasional didominasi oleh tiga unsur, yaitu Presiden Soekarno, PKI, dan militer, dalam hal ini
Angkatan Darat, yang ketiga-tiganya saling bersaing dan melakukan manuver. Sejak 1963,
manuver tersebut telah menghasilkan hubungan pasang surut di antara ketiganya. Lihat: Kusnanto
Anggoro, “Gagasan Militer Mengenai Demokrasi, Masyarakat Madani, dan Transisi Demokratik”,
dalam Rizal Sukma dan J. Kristiadi (Penyunting), 1999, Hubungan Sipil Militer dan Transisi
Demokrasi di Indonesia: Persepsi Sipil dan Militer, Jakarta, Penerbit CSIS, hlm. 10-13.
23
Pertama kali ditetapkan dalam Instruksi Presiden No. 1/1998 untuk meninjau kembali Dwi
Fungsi ABRI. Kemudian, dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok
Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dn Normalisasi Kehidupan Nasional
sebagai Haluan Negara, antara lain memprioritas “penyesuain implementasi Dwi Fungsi ABRI.”
Pada 5 Oktober 1998, bertepatan dengan hari ABRI ke-53, reposisi itu dipublikasikan dengan
judul “ABRI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan
Bangsa (Tahap I)”. Istilah TNI secara resmi digunakan kembali pada 1 April 1999, bersamaan
dengan Instruksi Presiden B.J. Habibie untuk memisahkan kepolisian dari militer. Pada hari TNI
ke-56 tanggal 5 Oktober 2001, reposisi TNI dipublikasikan dengan judul “TNI Abad XXI:
Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI dalam Kehidupan Bangsa (Tahap II).”
34
dipisahkan dari militer.24 untuk kesekian kalinya, Polri mengalami reposisi.
Pemerintahan Presiden Wahid menempatkan personel sipil di Departemen
Pertahanan. Jabatan Kepala Sosial Politik TNI dihapuskan. Kantor Direktorat
Sosial Politik di bawah Departemen Dalam Negeri dihilangkan, mekanisme
penelitian khusus (litsus) dihapus.25
Keputusan MPR memperkukuh separasi TNI dan Polri. Sidang Tahunan MPR
pada 2000 menghasilkan Perubahan Kedua UUD 1945, Ketetapan MPR No.
VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, Ketetapan MPR No.
VII/MPR/2000 tentang Peran TNI-Polri. Ketiga produk MPR ini merumuskan
ulang eksistensi kelembagaan TNI-Polri, fungsi, yurisdiksi, peran, maupun
hubungan di antara dengan masyarakat sipil yang lebih luas.
24
Hal ini pertama kali diresmikan dengan Instruksi Presiden No. 2/1999 yang dikeluarkan oleh
Presiden Habibie. Pada tahun 2000, Presiden Wahid menetapkan Keputusan Presiden No. 89/2000
yang menempatkan Polri di bawah Presiden
25
Litsus adalah upaya untuk memeriksa rekam jejak seorang calon anggota DPR/pejabat negara
yang dilaksanakan oleh Presiden Soeharto dengan topangan utama kepada loyalitas dan kesetiaan
kepada rezim menurut pendekatan intelijen
26
Telah diatur lebih lanjut dalam UU No. 2 Tahun 2002. Pada bulan September 2000, Presiden
Wahid menunjuk secara sepihak S. Bimantoro menjadi Kepala Polri, menggantikan Rusdihardjo.
Kalangan DPR memprotes pergantian itu karena menurut Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000
mensyaratkan bahwa penggantian semacam itu harus dengan persetujuan DPR. Namun akhirnya
kasus itu dianggap selesai. Pada bulan Juni 2001, seiring keinginan kuat dari MPR untuk
memakzulkan Presiden Wahid, S. Bimantoro diberhentikan sebagai Kepala Polri dan kemudian
Chaeruddin Ismail ditunjuk menjadi Kapolri. Kasus itu kemudian terpolitisasi sedemikian rupa
hingga terjadi pemberhentian Presiden Wahid dan Wakil Presiden Megawati menjadi Presiden.
Posisi S. Bimantoro dipulihkan kembali. Pada Oktober 2002, Presiden Megawati mengajukan Dai
Bactiar sebagai satu-satunya calon Kepala Polri kepad DPR. Sejak itu tampaknya, Presiden
berikutnya selalu mengajukan calon tunggal Kepala Polri.
35
meninggalkan gelanggang politik atau keseriusan dan keberanian politisi sipil
untuk mengakhiri peran politik militer.27
Separasi Polri dari militer mengembalikan polisi sebagai civilians yang tunduk
pada yurisdiksi peradilan umum/sipil.28 Polisi juga dapat menyidik militer yang
terlibat tindak pidana yang diatur KUHP, sebab tindak pidana ini menjadi
yurisdiksi peradilan sipil. Perluasan kewenangan ini merupakan agenda yang tidak
sederhana, setelah selama 40 tahun kepolisian tidak memiliki kewenangan dan
pengalaman dalam bidang ini.
Hal itu dikonfirmasi dari kenyataan tidak pernah adanya sentuhan pembaruan
terhadap eksisten peradilan militer. Ketentuan UU No. 19/1997 tentang Peradilan
Militer tidak pernah bisa diubah hingga dewasa ini. Tindak pidana yang
dikualifikasi sebagai tindak pidana umum dan dilakukan oleh personel militer,
menimbulkan kompleksitas tersendiri. Menurut KUHAP, polisi berwenang untuk
melakukan penyidikan atas perkara pidana umum. Kejaksaan juga berwenang
menyidik dalam perkara-perkara tertentu, seperti tindak pidana korupsi dan tindak
pidana ekonomi. Dengan demikian, aktor tindak pidana umum dapat berhadapan
dengan 3 instansi yang sama-sama memiliki kompetensi dalam penyidikan, yaitu
polisi, PPNS, atau jaksa, sesuai kategori perkara pidana. Kemungkinan ini dapat
dihadapi oleh militer yang melakukan tindak pidana umum.
Jika prajurit TNI tunduk pada yurisdiksi peradilan umum dalam hal pelanggaran
hukum pidana umum, maka dalam proses penyidikan Jika prajurit TNI tunduk
27
Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000, peran politik militer (dan Polri) dipertahankan di DPR
hingga Pemilu 2009. Padahal Fraksi TNI-Polri sendiri berketetapan mengakhir peran politik pada
tahun 2004. Namun sesudah Perubahan IV UUD 1945 diputuskan dan terjadi restrukturisasi MPR,
maka semua wakil rakyat harus dipilih dalam pemilu, sehingga pengangkatan militer di lembaga
perwakilan tidak ada lagi
28
Pasca pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada tanggal 5 Oktober 1945, kedudukan
kepolisian adalah di bawah Kementerian Dalam Negeri. Secara administratif, kepolisian belum
berhasil menata organisasinya dengan baik. Polisi juga turut bertempur di seluruh wilayah
Indonesia dan menyatakan diri sebagai combatant. Polisi istimewa diganti dengan Mobile Brigade,
sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan seperti dalam peristiwa 10 November 1945 di
Surabaya.Lihat Awaloeddin Djamin, 2000, Menuju Polri Mandiri yang Profesional, Pengayom,
Pelindung, Pelayana Masyarakat, Jakarta, YTKI, hlm. 35.
36
pada yurisdiksi peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum,
maka dalam proses penyidikan dilakukan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa,
pemeriksaan oleh hakim pengadilan umum, dan eksekusi di lembaga
pemasyarakatan umum. Hal ini akan mengubah peran polisi militer dalam
penyelidikan dan penyidikan perkara, penuntutan oleh Oditor Militer, dan
pemeriksaan oleh hakim pengadilan militer.
Kemunculan Peradilan Tata Usaha Negara atau PTUN merupakan salah satu
perubahan yang cukup penting dalam sistem hukum Indonesia pada pertengahan
tahun 1980-an, kala kekuasaan Orde Baru masih menancapkan kuku kekuasaan
secara dalam. Perlindungan hukum dan supremasi hukum, suatu tujuan yang
hendak dicapai oleh badan peradilan tersebut, merupakan konsep-konsep yang
asing bagi system otokrasi tersebut. Dengan badan peradilan ini, maka
memungkinkan untuk mengontrol keputusan pemerintah.
Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dirubah menjadi UU No.9 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
dirubah menjadi UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah suatu sengketa yang timbul dalam bidang
Tata Usaha Negara antara orang-orang atau badan hukum perdata dengan badan
atau pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Kpeutusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Yang termasuk Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisis
tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata.
38
Tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini
adalah, sebagai berikut:
39
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan
luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mengeluarkan suatu keputusan
administratif negara atau keputusan tata usaha negara ada kemungkinan terdapat
pihak-pihak yang dirugikan, sehingga terjadilah persengketaan, maka untuk
menyelesaikan persengketaan itu dapat ditempuh dengan 3 (tiga) alternatif, yaitu:
a. Upaya administratif.
b. Gugatan.
c. Perdamaian.
40
dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1991.Perdamaian ini hanya
dapat dilakukan di luar persidangan.
41
Pasal 24C dan Pasal III Aturan Peralihan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan :24 Pasal 24 ayat (2)
d. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi.
Dalam UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. UU No.8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
43
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal itu karena Pemerintah dan DPR belum melakukan upaya yang optimal
untuk meningkatkan anggaran pendidikan agar amanat konstitusi dapat terpenuhi.
Oleh karena itu, mengingat sifat imperatif Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, MK
sebagai pengawal konstitusi mengingatkan agar anggaran pendidikan minimal
46
20% dalam APBN harus diprioritaskan dan diwujudkan dengan sungguh-
sungguh. Pada tahun 2006 juga memutus perkara sejenis. Putusan No. 026/PUU-
III/2005 tentang pengujian UU APBN 2006 yang mencantumkan anggaran
Pendidikan 9,1% juga dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan
dengan UUD 1945.
Pada tahun 2009, Mahkamah Konstitusi juga memutus perkara penting yang
membolehkan penggunaan Kartu Tanda Penduduk sebagai syarat untuk seseorang
dapat mengikuti pemilihan umum. Pengujian atas Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-
Undang Nomor 4/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
dengan Nomor Perkara 102/PUU-VII/2009, maka hak asasi yang dijamin dalam
konstitusi semakin dikuatkan sehingga warga negara yang tidak terdaftar dalam
Daftar Pemilh Tetap (DPT) bisa tetap menggunakan haknya dengan kartu Tanda
Penduduk (KTP) disertai Kartu Keluarga (KK) atau Paspor bagi warga negara
indonesia yang berada di luar Indonesia dengan syarat-syarat tertentu.
47
tahun sebelumnya dari partai politik. UU No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu telah membangun sistem rekrutmen agar KPU dapat
mandiri dan steril kepentingan parpol peserta Pemilu. Namun pengunduran diri
dari parpol yang tidak ditentukan jangka waktunya dapat digunakan sebagai celah
masuknya kader-kader Parpol ke dalam KPU yang berpengaruh atas kemandirian
dan netralitasnya. Akhirnya, MK menentukan dalam Putusan No.
81/PUU-IX/2011, persyaratan bagi calon anggota KPU dan Bawaslu sekurang-
kurangnya dalam jangka waktu 5 tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan
parpol pada saat mendaftar.
Pada Agustus 2012, MK memutuskan permohonan uji materi Pasal 8 ayat (1)
dan (2) dan Pasal 208 UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu
Legislatif) yang diajukan oleh Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dkk.
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU tersebut menentukan parpol Peserta Pemilu pada
Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara
sah secara nasional ditetapkan sebagai parpol Peserta Pemilu pada Pemilu
berikutnya. Menurut Mahkamah, dipenuhinya ambang batas perolehan suara pada
Pemilu 2009 ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) tidak dapat
dijadikan sebagai satu-satunya ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam
keikutsertaan parpol lama sebagai peserta Pemilu 2014. Karena ketentuan
mengenai syarat atau kriteria dalam UU 10/2008 berbeda UU 8/2012 yang
menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu 2014. Dengan demikian, meskipun para
Pemohon hanya meminta dihapuskannya frasa “yang memenuhi ambang batas
perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” yang terdapat dalam Pasal
8 ayat (1) UU Pemilu Legislatif, namun menurut Mahkamah ketidakadilan
tersebut justru terdapat dalam keseluruhan Pasal 8 ayat (1), juga terdapat pada
Penjelasannya.
49
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
2. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana
dimaksud undang-undang.
50
Negara adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan.
3.2 Saran
Dalam makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari kapasitas materinya
yang kurang.Maka dari itu mohon kritik dan saran yang membangun sebagai
bahan intropeksi kami dalam penyusunan sebuah makalah
51
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A. Ahsin Tohari. 2004. Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan.
Jakarta:ELSAM.
A. Muhammad Asrun. 2004. Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah
Soeharto. Jakarta: ELSAM
Adriaan W. Bedner. 2010. Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Jakarta:
Huma.
Abdul Haris Nasution. 2001. Konsistensi TNI dalam Pasang Surut Re publik:
Catatan dan Pemikiran Jenderal Besar A.H. Nasution. Jakarta: Komite
Penegak Keadilan dan Kebenaran.
Arto A Mukti, 2012, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sulistiyono Adi. 2018. Sistem Peradilan di Indonesia dalam Teori dan Praktik.
Depok: Prenadamedia Group
Bank Dunia. 1999. Reformasi Hukum di Indonesia: A Diagnostik Assesment of
Legal Development in Indonesia. Jakarta: Cyberconsult
Indroharto. 1993. Usaha Memahamai Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara Buku II. Jakarta: Sinar Harapan
Jimly Asshiddiqie. 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional. Jakarta:
Konstitusi Press
________. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi.
Jakarta: BIP Gramedia
Moh. Mahfud M.D. 2010. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Sianturi. 1985. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Jakarta: Alumni AHM-PTHM
Sidiq Tono. 1997. “Perkembangan Peradilan di Indonesia: Studi Politik Hukum”.
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Agama Islam
Tom Ginsburg dan Tamir Moustafa. 2008. Rule by Law: The Politics of Courts in
Authoritarian Regimes. Cambridge: Cambridge University Press
52
Tri Wahyudi, Abdullah, 2004, Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tri Wahyudi, Abdullah, 2018, Hukum Acara Peradilan Agama, Bandung : CV
Mandar Maju.
W. Riawan Tjandra. 2009. Peradilan Tata Usaha Negara Mendorong
Terwujudnya Pemerintah yang Bersih dan Berwibawa. Jogjakarta:
Universitas Atmajaya
53
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi
54