Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

     Ketentuan yang menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1 Undang-
Undang Dasar 1945.Eksistensi Mahkamah Agung ditetapkan setelah diundangkannya Undang-Undang
No. 7 tahun 1947 tentang susunan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai
berlaku pada tanggal 3 Maret 1947.Undang-Undang No. 7 tahun 1947 kemudian diganti dengan
Undang-Undang No. 19 tahun 1948 yang dalam pasal 50 ayat 1 menyebutkan Mahkamah Agung
Indonesia ialah pengadilan tertinggi. Undang-Undng No. 14 tahun 1970 tentang "Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman" tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2)
disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung
sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan-
pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang masing-masing terdiri dari:

1. Peradilan Umum;
2. Pemdilan Agama;
3. Peradilan Militer;
4. Peadilan Tata Usaha Negara.

     Pembentukan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya memang diperlukan karena bangsa kita telah
melakukan perubahan-perubahan yang mendasar atas dasar undang-undang dasar 1945. Dalam rangka
perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat UUD 1945. Bangsa itu telah mengadopsi
prinsip-prinsip baru dalam system ketenegaraan, yaitu antara lain dengan adanya system prinsip
“Pemisahan kekuasaan dan cheeks and balance” sebagai pengganti system supremasi parlemen yang
berlaku sebelumnya.

     Sebagai akibat perubahan tersebut, maka perlu diadakan mekanisme untuk memutuskan sengketa
kewenangan yang mungkin terjadi antara lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu
sama lain bersifat sederajat, yang kewenanganya ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Maka dari
itu MA di bentuk agar (the supreme law of the land ) benar-benar dijalankan atau ditegakan dalam
penyelenggaran kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsip-prinsip negara Hukum modern, dimana
Hukumlah yang menjadi factor bagi penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi,
dan politik suatu bangsa.

1.2  Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Mahkamah Agung?


2. Bagaimana Kedudukan Mahkamah Agung?
3. Jelaskan Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung?
4. Jelaskan Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung?

1.3  Tujuan

1. Mengetahui Pengertian Mahkamah Agung.


2. Mengetahui Kedudukan Mahkamah Agung.
3. Mengetahui Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung.
4. Mengetahui Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Mahkamah Agung

     Mahkamah agung adalah lembaga tertinggi dalam system ketatanegaraan Indonesia yang
merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara.

     Saat ini lembaga Mahkamah Agung berdasarkan pada UU. No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman UU ini juga telah mencabut dan membatalkan berlakunya UU No. 4 tahun 2004. Undang-
undang ini di susun karena UU No.4 Tahun 2004 secara substansi dinilai kurang mengakomodir
masalah kekuasaan kehakiman yang cakupannya cukup luas, selain itu juga karena adanya judicial
review ke Mahkamah Konstitusi atas pasal 34 UU No.4 Tahun 2004, karena setelah pasal dalam
undang-undang yang di-review tersebut diputus bertentangan dengan UUD, maka saat itu juga pasal
dalam undang-undang tersebut tidak berlaku, sehingga untuk mengisi kekosongan aturan/hukum,
maka perlu segera melakukan perubahan pada undang-undang dimaksud.

2.2  Kedudukan Mahkamah Agung (MA)

     Mahkamah Agung merupakan pengadilan tinggi negara sebagaimana yang tercantum dalam
Ketetapam Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978 dan merupakan
Lembaga Peradilan tertinggi dari semua lembaga peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya
terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. Mahkamah Agung membawai 4
badan peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha
Negara. Sejak Amandemen Ke-3 UUD 1945 kedudukan Mahkamah Agung tidak lagi menjadi satu-
satunya puncak kekuasaan kehakiman, dengan berdirinya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003
puncak kekuasaan kehakiman menjadi 2, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun tidak
seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi tidak membawahi suatu badan peradilan. MA adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagai Lembaga Tinggi Negara yang merupakan Pengadilan
Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, dimana dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari
pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara
Republik Indonesia. (UU. No.14 Tahun 1985 pasal 1,2,3).

2.3 Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung

Menurut Undang-undang Dasar 1945, wewenang Mahkamah Agung adalah:

a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali
undang-undang menentukan lain;
b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.

Sedangkan Fungsi Mahkamah Agung menurut UUD 1945 ada 5, yaitu:

a. Fungsi Peradilan
 Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang
bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan
kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan
secara adil, tepat dan benar.
 Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan
memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir.
1. semua sengketa tentang kewenangan mengadili. permohonan peninjauan kembali putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-
undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).
2. semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang.
3. Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang
Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985).
 Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara
materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan
ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

b. Fungsi Pengawasan

 Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan
peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan
dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal
4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
 Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan :
1. Terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat
Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok
Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan.
2. setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang
bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk
yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah
Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3. Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

c. Fungsi Mengatur

 Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang
tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum
yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun
1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
 Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk
mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.

d. Fungsi Nasehat

 Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang


hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun
1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka
pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).
Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1),
Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku
Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan
hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur pelaksanaannya.
 Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan
disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang
No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

e. Fungsi Administratif

 Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara
organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah Departemen yang
bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan
dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
 Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata
kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-
undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
2.4  Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung

1.  Pengangkatan Hakim Agung

Terdapat beberapa perbedaan antara pengangkatan Hakim Agung sebelum reformasi, dan setelah
reformas, dengan amandemen UUD 1945.Pada masa Orde Lama proses pengangkatan (rekrutmen)
Hakim Agung melibatkan ketiga lembaga tinggi negara yaitu eksekutif (Presiden) dan Menteri
Kehakiman, yudikatif (MA) dan legislatif (DPR). Aturan ini khusus ditetapkan bagi pemilihan Hakim
Agung, sedangkan dalam pemilihan hakim biasa hanya melibatkan pihak yudikatif dan eksekutif. Dalam
Pasal 4-11 Ayat (2) KRIS ditetapkan bahwa Ketua, Wakil Ketua dan hakim Mahkamah Agung diangkat
oleh Presiden atas anjuran DPR dari sekurang-kurangnya 2 (dua) calon bagi tiap-tiap pengangkatan.
Pengangkatan (pemilihan) Hakim Agung pada masa Orde Lama meski melibatkan lembaga negara
lainnya yakni DPR, namun keputusan akhir tetaplah berada di tangan eksekutif (Presiden).

Salah satu penyimpangan dan politisasi dalam pemilihan Hakim Agung yang sekaligus
memperlihatkan begitu berkuasanya eksekutif (Kepala Negara) saat itu adalah dengan diangkat dan
ditetapkannya Ketua MA sebagai penasehat hukum Presiden dengan pangkat Menteri berdasarkan Per.
Pres. 4/1962, LN 38). Meskipun Ketua MA pada saat itu berkilah bahwa ia tidak akan menjadi pejabat
eksekutif dan menjadi alat dari pemerintah, Namun secara birokrasi MA telah kehilangan kebebasannya
dan kemandiriannya dan sangat dimungkinkan pengaruh dari eksekutif.

Pada masa Orde baru, proses rekrutmen hakim agung diawali dengan diadakanya forum yang
melibatkan Mahkamah Agung dan pemerintah yang biasanya dikenal dengan sebutan Forum Mahkamah
Angung dan Departemen (MahDep). MahDep merupakan forum yang digunakan sebagai ajang konsultasi
antara Mahkamah Agung dab Depatrtemen dalam membicarakan daftar kandidat hakim agung yang
akan diajukan ke Mahkamah Agung da Pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat. Biasanya Mahkamah
Angung berinisiatif memberikan nama-nama calon hakim agung ke Departemen terlebih dahulu.

            Ketua Mahkamah Agung biasanya melakukan konsultasi dengan pimpinan Mahkamah Agung
sebelum mengajukan proposal nama ke Departemen. Namun dalam praktiknya Ketua Mahkamah Agung
seringkali memegang kontrol yang dominan dalam menentukan nama-nama calon yang dimasukkan
dalam proposal.

Selanjutnya, nama-nama calon dipresentasikan dalam MahDep. Pada saat presentasi,  biasanya
Departemen mengusulkan beberapa perubahan, misalya dengan memasukkan nama-nama dari militer
maupun kejaksaan. Setelah usulan nama-nama kandidat hakim agung dibahas, kemudian nama-nama
tersebut diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat yang kemudian diangkat sebagai hakim agung oleh
presiden.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran MahDep dalam rekruitmen hakim agung jauh
lebih signifikan apabila dibandingkan dengan peran Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini terkait denga
lemahnya posisi Dewan Perwakilan Rakyat. Dibandingkan dengan kekuasaan pemerintah (eksekutif).

Setelah tahun 1998, terjadi reformasi, kata “reformasi” tiba-tiba menjadi hangat dibicarakan.
“Reformasi ekonomi”, “reformasi struktural”, dan “reformasi politik” menjadi bahan diskursus berbagai
kalangan, baik kalangan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), kampus,  hingga rakyat jelata.
Pada intinya, semua pihak mendambakan reformasi yang segera agar dapat keluar dari himpitan krisis
ekonomi pada saat itu dan diantaranya reformasi dalam bidang hukum. Menurut Komisi Hukum Nasional
Republik Indonesia, bentuk-bentuk reformasi hukum dikelompokkan  menjadi 7 (tujuh),yaitu:

1. kajian dan forum ilmiah;


2. perancangan peraturan;
3. implementasi peraturan;
4. pelatihan hukum
5. advokasi dan kesadaran masyarakat;
6. lembaga hukum; dan
7. penyusunan rencana.

Reformasi hukum tersebut salah satunya dituangkan dalam bentuk amandemen UUD Republik
Indonesia 1945. Setelah Amandemen, mekanisme rekruitmen Hakim Agung berbeda dari hakim biasa.
Calon hakim agung diseleksi oleh Komisi Yudisial dan diajukan untuk mendapatkan persetujuan DPR
sebagaimana mestinya. Menurut ketentuan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945,yang berbunyi :
 “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden”

Keberadaan Komisi Yudisial menjadi penting dalam upaya pembaruan penradilan, termasuk di dalamnya
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keberadaan Komisi
Yudisial ini di masa yang akan datang diharapkan dapat menjadi salah satu mitra kerja Mahkamah Agung
untuk terus melakukan upaya-upaya dalam rangka pembaruan badan peradilan.

            Komisi Yudisial bertindak sebagai pengusul, sedangkan DPR sebagai pemberi persetujuan atau
penolakan, dan selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa
Dewan Perwakilan Rakyat tidak ditentukan harus mengadakan ‘fit and proper test’ dan pemilihan hakim
agung sebanyak sepertiga dari jumlah yang dicalonkan oleh Komisi Yudusial. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945
hanya menyatakan bahwa calon Hakim Agung diajukan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Rakyat dan selanjutnya ditetapkan menjadi Hakim Agung dengan Keputusan Presiden. Hak untuk
menyetujui atau menolak inilah yang disebut sebagai hak konfirmasi (the right to confirm) yang dimiliki
Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap pengangkatan dan
pemberhentian pejabat publik yang dipandang tidak boleh dibiarkan ditentukan sendiri secara sepihak
oleh Presiden. Karena itu, fungsi pengawasan oleh DPR itu dilakukan tidak saja menyangkut pelaksanaan
kebijakan klegislatif berupa  tindakan implementasi UU, penjabaran pengaturan UU dalam peraturan
pelaksanaan yang lebih operasional, dan dalam bentuk pengawasan terhadap pengangkatan dan
pemberhentian pejabat publik tertentu yang tidak boleh dibiarkan ditentukan sendiri secara sewenang-
wenang oleh Presiden.

            Dengan demikian, calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial cukup sebanyak yang diperlukan, yang
apabila tidak mendapat persetujuan, barulah diajukan lagi alternatif calon penggantinya. Artinya,
mekanisme yang ditempuh untuk pengusulan ini sama dengan yang berlaku terhadap calon Kepala POLRI
dan calon Panglima TNI yang diajukan oleh Presiden untuk mendapatkan persetujuan atau penolakan
dari DPR. Setelah DPR menyatakan persetujuannya, barulah calon Hakim Agung itu diajukan oleh Komisi
Yudisial untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden dan dilantik di Istana dengan disaksikan oleh
Presiden. Dengan demikian, pengangkatan Hakim Agung melibatkan semua fungsi kekuasaan yang
terpisah, yaitu Komisi Yudisial sebagai lembaga administratif, DPR sebagai cabang kekuasaan legislative,
dan Presiden sebagai cabang kekuasaan eksekutif.

            Profesi secara umum dapat diartikan sebagai pekerjaan yang berwujud karya pelayanan yang
dijalankan dengan penguasaan dan penerapan pengetahuan di bidangkeilmuan tertentu, yang
pengembangannya dihayati sebagai suatu panggilan hidup, dan pelaksanaannya terikat pada nilai-nilai
etika tertentu yang dilandasi semangat pengabdian terhadap sesama manusia, demi kepentingan umum,
serta berakar pada penghormatan dan upaya untuk menjunjung tinggi martabat manusia.

            Definisi profesi secara singkat adalah sebuah sebutan untuk jabatan pekerjaan, di mana orang
yang menyandangnya dianggap mempunyai keahlian khusus yang  diperoleh melalui training dan
pengalaman kerja. Terminologi profesi paralel dengan profesionalitas yang dicirikan dengan tiga karakter
penting. Pertama, keterkaitan profesi  tersebut dengan disiplin ilmu yang dipelajarinya dan karenanya
bersifat khusus. Kedua, mempunyai kemampuan merealisasikan teori-teori ilmunya dalam ranah praktis
dengan baik. Ketiga, mempunyai banyak pengalaman kerja.

            Adanya keterlibatan DPR dalam proses pengangkatan Hakim Agung tersebut juga berkaitan
dengan kepentingan untuk menjamin adanya akuntabilitas (public accountability) dalam pengangkatan,
dan juga dalam pemberhentian Hakim Agung. Bagaimanapun juga, pengakuan akan penting dan
sentralnya prinsip independensi peradilan (the independence of judiciary) sebagai Negara Hukum
modern harus lah diimbangi dengan penerapan prinsip akuntabilitas publik1. Karena itu, fungsi
partisipasi publik dipandang penting, dan hal itu terkait dengan fungsi di DPR, bukan di KY sebagai
lembaga teknis yang bersifat administratif.

            Cara perekrutan hakim Mahkamah Agung dapat disebut multi-voters model karena melibatkan
banyak pihak. UUD 1945 menegaskan peran Komisi Yudisial sebagai panitia tetap seleksi MA yang hasil
akhirnya ditentukan oleh pilihan Komisi III DPR. Presiden hanya menerbitkan keputusan pengangkatan
hakim agung. KY mengimbangi Presiden dan DPR meski anggota KY diangkat oleh presiden dengan
persetujuan DPR.
            Sebagai lembaga teknis administrasi, KY harus dijamin independen dari campur tangan politik dari
pemerintah ataupun dari lembaga politik kekuasaan legislative. Bahkan sebaiknya, KY juga diamankan
dari keterlibatannya dengan pengaruh-pengaruh politik lembaga swadaya masyarakat. Dengan demikian,
Komisi Yudisial benar-benar dapat bertindak sebagai lembaga antara yang kritis dan objektif, semata-
mata untuk mencapai kehormatan, kepercayaan dan martabat hakim dan lembaga peradilan. Karena
dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.

2.      Pemberhentian Hakim Agung

            Hakim Agung juga dapat diberhentikan di tengah jabatannya. Komisi Yudisial berwenang untuk
mengevaluasi dan menilai setiap hakim agung. Dalam hal terjadi pelanggaran kode etika, maka terhadap
hakim agung yang bersangkutan dikenakan sanksi etika sebagaimana mestinya. Dalam hal hakim agung
melakukan pelanggaran yang berat, baik pelanggaran etika maupun pelanggaran hukum, yang
menyebabkannya terancam sanksi pemberhentian, maka usul pemberhentian itu diajukan oleh Komisi
Yudisial untuk mendapatkann persetujuan atau penolakan dari DPR sebagaimana mestinya. Apabila DPR
menyetujui usul pemberhentian itu barulah usul itu diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan dengan
Keputusan Presiden. Apabila DPR menyatakan menolak usul pemberhentian tersebut, maka sanksi
pemberhentian yang diusulkan oleh Komisi Yudisial tidak dapat dilaksanakan, dan Komisi Yudisial wajib
mengadakan penyesuaian terhadap keputusannya menyangkut Hakim Agung yang bersangkutan dengan
sebaik-baiknya.

            Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah
agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses
pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat dan perilaku hakim.

            Jika usul pemberhentian Hakim Agung itu mendapat persetujuan DPR, maka Komisi Yudisial
segera mengajukan usul itu kepada Presiden untuk ditetapkan secara administratif dengan Keputusan
Presiden. Untuk mengsi kekosongan itu, Komisi Yudisial segera mengajukan usul calon pengganti kepada
DPR untuk mendapatkan persetujuan sebelum diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai
Hakim Agung sebagaimana mestinya. Untuk menghadapi kemungkinan kekosongan jabatan semacam
ini, sebaiknya, Komisi Yudisial telah memiliki daftar bakal calon Hakim Agung yang dicadangkan dari
proses seleksi yang sudah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, kekosongan dalam jabatan Hakim
Agung dapat dicegah dengan sebaik-baiknya di masa mendatang.

Hakim dilarang untuk merangkap jabatan. Yang dimaksud dengan “merangkap jabatan” antara lain:

a. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya;
b. pengusaha; dan
c. advokat.

            Dalam hal Hakim yang merangkap sebagai pengusaha antara lain Hakim yang merangkap sebagai
direktur perusahaan, menjadi pemegang saham perseroan atau mengadakan usaha perdagangan lain.

Di dalam pasal 23 ayat (1) UUKY ditegaskan mengenai usul penjatuhan sanksi yang dapat diberikan
Komisi Yudisial kepada hakim sesuai dengan tingkat

pelanggarannya, yaitu:

a. Teguran tertulis;
b. Pemberhentian sementara; atau
c. Pemberhentian.

Manakala hakim akan diperiksa Komisi Yudisial, maka pasal 22  ayat (4) menegaskan: “Badan peradilan
dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi Yudisial dalam rangka
pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak tanggal
permintaan Komisi Yudisial diterima.

            Yang dimaksud dengan hakim dalam ketentuan ini termasuk hakim pelapor, hakim terlapor, atau
hakim lain yang terkait. Sedangkan yang dimaksud dengan keterangan itu dapat diberikan secara lisan
dan/atau tertulis” (penjelasan pasal 22 ayat 4).
            Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban tersebut, Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan
atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta (Pasal 22 ayat 5).

            Apabila badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau paksaan tetapi tetap tidak
melaksanakan kewajibannya, maka pimpinan badan peradilan atau  hakim yang bersangkutan dikenakan
sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan dibidang kepegawaian (pasal 22 ayat 6). Semua
keterangan dan data ini  bersifat rahasia (pasal 22 ayat 7). Sedangkan mengenai ketentuan tata cara
pelaksanaan tugas sebagai mana dimaksud pada pasal 22 ayat (1) di atur oleh Komisi Yudisial.

            Usul pemberhentian sanksi teguran tertulis ini disertai alasan kesalahannya, bersifat mengikat,
disampaikan Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi (pasal
23 ayat 2). Sedangkan usul penjatuhan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian ini
diserahkan Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi (pasal 23 ayat 3).
Untuk hakim yang dijatuhkan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian diberi  kesempatan
secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim  (pasal 23 ayat 4). Dalam hal
pembelaan ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan  oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah
Konstitusi kepada presiden paling  lambat 14 hari sejak pembelaan ditolak oleh Majelis Kehormatan
(pasal 23 ayat 5).

            Keputusan Presiden mengenai pemberhentian hakim, ditetapkan dalam jangka waktu  paling lama
14 hari sejak presiden menerima usul Mahkamah Agung (pasal 23 ayat ) Secara universal, kewenangan
pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Agung pada Mahkamah Agung, karena Komisi
Yudisial adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para
hakim  pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah  Agung;

Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4)
dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diserahkan kepada Mahkamah Agung dan kepada Hakim yang akan
dijatuhi sanksi pemberhentian diberi  kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan
Hakim. Di samping itu khusus mengenai usul pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukan oleh 
Ketua Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung yang bersangkutan diberi kesempatan untuk
membela diri lebih dahulu dihadapan Majelis Kehormatan  Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

            Secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Agung pada
Mahkamah Agung, karena Komisi Yudisial adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam
melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang
ada dibawah Mahkamah Agung; Pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah
Agung yang berbunyi sebagai berikut :

1. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap  penyelenggaraan peradilan di semua


lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;
2. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada Hakim di semua lingkungan
peradilan dalam menjalankan tugasnya;

            Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4)
dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diserahkan kepada Mahkamah Agung dan kepada Hakim yang akan
dijatuhi sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan
Hakim. Di samping itu khusus mengenai usul pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukan oleh
Ketua Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung yang bersangkutan diberi kesempatan untuk
membela diri lebih dahulu dihadapan Majelis Kehormatan  Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

            Mahkamah Agung juga diharapkan meningkatkan pengawasan  terutama dengan cara lebih
membuka diri dalam merespons kritik, harapan, dan saran dari berbagai pihak. Prinsip kebebasan hakim
oleh hakim sendiri harus dimaknai sebagai adanya kewajiban untuk mewujudkan peradilan yang bebas
(fair trial) yang merupakan prasyarat bagi tegaknya rule of law. Oleh karena itu, dalam prinsip kebebasan
hakim tersebut terkandung kewajiban bagi hakim untuk membebaskan dirinya dari bujuk rayu, tekanan,
paksaan, ancaman, atau rasa takut akan adanya tindakan balasan karena kepentingan politik atau
ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan
tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau 
bentuk lainnya, serta tidak menyalah gunakan prinsip kebebasan hakim sebagai perisai untuk berlindung
dari pengawasan;

BAB III

PENUTUP

3.1    Kesimpulan

     Wewenang Mahkamah Agung sangat banyak,tidak hanya mengadili pada tingkat kasasi terhadap
putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain,menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan kewenangan lainnya yang
diberikan undang-undang.seperti yang tercantum pada pasal 20 UU no 48 tahun 2009 ayat 2 tentang
Kekuasaan Kehakiman, tetapi juga meliputi Mahkamah Agung dapat dapat memberi keterangan,
pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan dan
terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal
atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang, Pimpinan Mahkamah Agung bersama
pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa menjadi saksi pengambilan sumpah Presiden dan Wakil
Presiden apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat terdapat suatu hal
yang bersifat memaksa atau keadaan lain yang membuat Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan
Perwakilan Rakyat tidak bisa menyelenggarakan sidang, Mahkamah Agung bisa memberikan
pertimbangan kepada Presiden dalam hal Pemberian Grasi dan RehabilitasiMahkamah Agung berhak
untuk mengajukan 3 orang Hakim Konstitusi dan Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan
peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.

3.2    Saran

     Mengenai Perekrutan Hakim Agung, perlu diatur bahwa seluruh hakim baik hakim agung maupun
hakim konstitusi, pengusulannya harus diusulkan oleh KY. Dengan demikian seluruh hakim akan diawasi
oleh pengawas eksternal yaitu KY. MA maupun MK tidak perlu membentuk majelis kehormatan yang
bertugas mengawasi perilaku hakim, yang anggotanya diambil dari lingkungan hakim  itu sendiri. Dengan
kata lain, ke depan tugas mengawasi hakim cukup diserahkan ke KY baik hakim , Hakim Agung Maupun
Hakim Kostitusi. Hasil pengawasan KY direkomendasikan kepada ketua MA maupun MK untuk
ditindaklanjuti. Dewan kehormatan di MA maupun MK bersifat ad hoc saja, dan mereka ada dan
bertindak setelah rekomendasi KY.
DAFTAR PUSTAKA

 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,   Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
 E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius,1995, hlm. 32.
 Satya Arinanto, “Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia”, Hukum dan
Pembangunan, Nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998,         hlm. 124-125.
 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Peta Reformasi Hukum di     Indonesia 1999-2001:
Transisi di Bawah Bayang-bayang Negara, Jakarta:  Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia,
2002, hlm. 35.
 UU no 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
 UU no 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
 https://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/09/09/mahkamah-agung
 http://raha-x.blogspot.com/2011/04/tugas-dan-wewenang-mahkamah-agung.html

Anda mungkin juga menyukai