Penyusun :
Detya Anggraeni (2010631010067)
Indah Shalsabilla (2010631010089)
Khansa Safa Aulia (2010631010198)
Naeksha Christine Glory (2010631010208)
Yahya Nazzala Romadhon (2010631010159)
FAKULTAS HUKUM
2021/2022
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian di muka dapat disimpulkan bahwa walaupun di dalam
UUD 1945 ditegaskan bahwa "Indonesia ialah negara berdasarkan atas hukum
(rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat)" dan dalam
penjelasan pasal 24 dan 25 diinginkan bahwa kekuasaan kehakiman menjadi
"kekuasaan negara yang merdeka, dalam arti terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah", namun dalam praktiknya kita bisa melihat bahwa kekuasaan
hakim kita sebenarnya belum sesuai dengan kehendak UUD 1945 itu. Hal
itu antara lain tercermin dalam permasalahan "dualisme" pertanggung jawaban
hakim. Dalam kaitannya dengan "peranan alair parll hakim dalam proses perkara
di Peradilan Tata Usaha Negara" sebagaimana yang diminta penyelenggara
pendidikan, maka permasalahan yang mengganjal ialah mengenai belum jelasnya
batasan antara "kepentingan individu" dan "kepentingan umum."
Untuk meningkatkan peranan alair para hakim, maka perlu adanya
"political will" yang jelas dari pemerintah· untuk benar-benar tidak mencampuri
kekuasaan kehakiman, dan menjadikannya sebagai "kekuasaan negara yang
merdeka" sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945. Idealnya, UUD 1945 kita
bisa berlaku secara "normatif" berdasarkan nilai konstitusi yang dikemukakan
oleh Prof. Karl Loewenstein, dan bukan bernilai "nominal" atau "semantik",
artinya terdapat kesenjangan antara hal-hal yang tertulis dalam konstitusi dengan
realita atau penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
B. Saran
Meskipun secara konseptual telah ada jaminan independensi bagi Hakim
dalam pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman melalui peradilan-peradilan
negara, namun perlu didukung dengan semangat bernegara hukum yang
demokratis, terutama dari lingkungan badan atau organ kekuasaan negara yang
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA