FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
OKTOBER 2021
ABSTRAK
Lahirnya UU Administrasi Pemerintahan pada 2014 telah mengubah pengaturan objek
gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) berupa Keputusan Tata Usaha Negara
(“KTUN”) yang semula diatur dalam UU PTUN tahun 1986 serta perubahan-perubahannya.
Dalam tulisan ini, diuraikan mengenai implikasi hukum dari berlakunya UU Administrasi
Pemerintahan secara khusus perihal objek gugatan di PTUN berupa KTUN. Tulisan ini
menggunakan metode penulisan yuridis normatif yang berdasarkan pada sumber-sumber
hukum hukum primer, sekunder, dan tersier baik dari peraturan perundang-undangan, buku,
jurnal ilmiah, kamus, atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek gugatan di PTUN
untuk mengetahui apakah implementasi UU Administrasi Pemerintahan tentang objek
gugatan di PTUN telah sesuai dengan norma atau prinsip hukum yang berlaku. Pasal 87 UU
Administrasi Pemerintahan telah memperluas makna objek gugatan berupa KTUN dengan
mengurangi serta menghilangkan beberapa unsur yang terdapat pada UU PTUN sehingga
dapat disimpulkan lahirnya UU Administrasi Pemerintahan telah menimbulkan implikasi
yang drastis pada KTUN. Maka, materi UU Administrasi Pemerintahan khususnya dalam hal
objek gugatan berupa KTUN harus dikaji dengan disandingkan dengan pengaturan
sebelumnya dalam UU PTUN.
Kata Kunci : Objek gugatan, KTUN, Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN
ABSTRACT
The issuance of the Government Administration Law in 2014 has changed the arrangement of
the object of the lawsuit in the State Administrative Court ("PTUN") in the form of a State
Administrative Decree ("KTUN") which was originally regulated in the 1986 Administrative
Court Law and its amendments. In this paper, we describe the legal implications of the
enactment of the Government Administration Law particularly regarding the object of the
lawsuit in PTUN in the form of KTUN. This paper uses a normative juridical writing method
based on primary, secondary, and tertiary legal sources, from laws and regulations, books,
scientific journals, dictionaries, or other documents related to the object of the lawsuit in
PTUN to determine whether the implementation of the Government Administration Law
regarding the object of the lawsuit in PTUN has been in accordance with applicable legal
norms or principles. Article 87 of the Government Administration Law has expanded the
meaning of KTUN as the object of lawsuit by reducing and eliminating several elements
contained in the Administrative Court Law so that it can be concluded that the issuance of
the Government Administration Law has had drastic implications for KTUN. Therefore, the
matter of the Government Administration Law, especially in the case of the object of the
lawsuit in the form of a KTUN, must be studied in comparison with the previous
arrangements in the Administrative Court Law.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
sedikit banyak telah mengubah beberapa ketentuan mengenai hukum materiil dari Peradilan
Tata Usaha Negara di Indonesia yang sebelumnya diatur melalui Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang juga sudah mengalami perubahan
sebanyak dua kali melalui Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 51
Tahun 2009. Perubahan-perubahan yang ada secara garis besar berimplikasi terhadap
perluasan ruang lingkup dari objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara, dan perubahan
ruang lingkup ini memiliki implikasi hukum lebih jauh lagi terhadap penyelenggaraan
pemerintahan. Perubahan ini serta implikasi hukumnya layak untuk dikaji lebih jauh karena
hal-hal yang diubah adalah hal penting seputar hukum materiil Peradilan Tata Usaha Negara
yang mana Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu perwujudan dari prinsip
Indonesia sebagai negara hukum, utamanya dalam konteks melindungi kepentingan dari
Cita-cita negara hukum itu sendiri sejatinya lahir dari perspektif sejarah lahir sebagai
reaksi atas kekuasaan tidak terbatas yang telah mengakar pada raja-raja sejak zaman
absolutisme.1 Dalam mengartikan apa itu hukum, telah disepakati oleh para sarjana bahwa
hukum tidak dapat didefinisikan secara lengkap dalam semua hal, tetapi suatu negara hukum
dapat dilihat dari elemen-elemennya.2 Prof. Paul Scholten berpendapat bahwa elemen
pertama dari negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan negara terhadap warganya,
1
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, cet. 3 (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 2.
2
Ibid., hlm. 3.
dan batasan ini lah yang diatur oleh hukum.3 Pemikiran tersebut dapat terlihat diadopsi oleh
Negara Indonesia melalui Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Kehakiman untuk menegakkan hukum dan peradilan, di mana salah satu lingkungan
Dikaitkan dengan elemen penting negara hukum menurut Prof. Paul Scholten
absolutisme dapat dilakukan salah satunya dengan cara mengadakan lembaga peradilan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN
1986”). Seiring berjalannya waktu, UU PTUN 1986 telah mengalami beberapa kali
3
Ibid.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan serta perubahan kedua UU PTUN
Materi dari UU PTUN secara garis besar adalah hal baru dalam tata dan susunan
hukum Indonesia. UU PTUN 1986 menjadi undang-undang pertama yang mengatur secara
khusus dan menyeluruh baik mengenai urusan materiil maupun formil dari hukum dan
peradilan tata usaha negara. Ruang lingkup pengaturan UU PTUN mencakup susunan dan
kekuasaan Pengadilan Tata Usaha Negara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan
1986 adalah pengaturan dalam hal hukum materiil yaitu mengenai hukum tata usaha negara
itu sendiri, sedangkan aturan-aturan setelahnya yakni Pasal 53 sampai Pasal 145 merupakan
kaidah hukum formil tentang hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara.4
dibentuk sebagai usaha pemerintah untuk menata kehidupan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan umum, di mana dalam penataan kehidupan masyarakat dapat timbul sengketa
antara pemerintah atau tata usaha negara dengan anggota masyarakat. 5 Penyelesaian sengketa
tersebut tentunya perlu diselesaikan secara adil dan cepat melalui lembaga peradilan yang
independen mengingat Indonesia adalah negara yang melandasi keberadaannya dengan sendi
hukum. Sengketa yang diajukan ke forum peradilan tata usaha negara bukanlah sengketa
perdata, melainkan sengketa dalam bidang hukum tata usaha negara yang timbul akibat
adanya ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh suatu badan atau pejabat tata usaha negara.6
Maka dari itu, sengketa tata usaha negara termasuk sengketa dalam bidang hukum publik
karena melibatkan badan atau pejabat tata usaha negara yang dianggap memegang
4
Dola Riza, “Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,” Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 (2018), hlm. 86.
5
Ibid., hlm. 12.
6
Ibid.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, lingkup ketentuan yang diatur dalam UU
PTUN 1986 mencakup hukum materiil dan formil dari hukum dan peradilan tata usaha
negara. Pada bagian paling awal, UU PTUN 1986 memberi definisi dan ruang lingkup dari
Tata Usaha Negara (“TUN”) itu sendiri yakni merupakan Administrasi Negara yang
“Sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.8
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi objek gugatan dalam
peradilan tata usaha negara menurut UU PTUN 1986 adalah Keputusan Tata Usaha Negara.
Pada pokoknya, orang atau badan hukum dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (“PTUN”) atas suatu Keputusan Tata Usaha Negara. PTUN memiliki
kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa yang objeknya adalah
Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara sebagai objek sengketa TUN
“Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara oleh pemerintah adalah tindakan
administratif yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka
administrasi pemerintahan.
7
Indonesia, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 5 Tahun 1986, LN No. 77 Tahun 1986,
TLN No. 3344, Ps. 1 angka 1.
8
Ibid., Ps. 1 angka 4.
9
Ibid., Ps. 86.
Dalam menyelenggarakan administrasi pemerintahan, pemerintah sampai pada
pemerintahan menjadi lebih citizen friendly atau sesuai dengan harapan serta kebutuhan dari
masyarakat.10 Hal ini dipandang perlu untuk dijadikan landasan dan pedoman pemerintah
mengupayakan peningkatan tata pemerintahan yang baik atau good governance melalui
diserapnya asas-asas umum pemerintahan yang baik (“AUPB”) sebagai dasar penyelenggara
menjadi sumber hukum materiil PTUN.12 Salah satu poin penting dari pemberlakuan UU
ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara
negara lainnya dimungkinkan untuk diuji melalui PTUN.13 Dari sini, dapat terlihat bahwa ada
telah ada sebelumnya. Terdapat hal-hal dalam UU PTUN yang diatur berbeda dalam UU
Administrasi Pemerintahan, salah satunya mengenai objek sengketa TUN yakni keputusan
Di Indonesia, Hukum Administrasi Negara menjadi salah satu tonggak penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan apa yang diamanatkan di dalam
10
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014, LN No. 292 Tahun 2014,
TLN No. 5601, Bagian Penjelasan.
11
Maftuh Effendi, “Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia Suatu Pemikiran ke Arah Perluasan Kompetensi
Pasca Amandemen Kedua Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara,” Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 3
(2014), hlm 26.
12
Ibid.
13
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Bagian Penjelasan.
Undang-undang Dasar 1945 pada pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara hukum sehingga apabila mengacu pada hal tersebut maka dalam menjalan
pemerintahannya harus berdasarkan undang-undang sebagai hukum yang berlaku dan juga
pemerintahan tersebut salah satunya merupakan pengeluaran keputusan yang dilakukan oleh
menciptakan sebuah tindakan administrasi yang dapat dikatakan adil bagi para pihak dan
berkesesuaian hukum di dalamnya maka perlu adanya aturan khusus yang menjadi dasar
pedoman. Sehingga apa yang diatur di dalam Hukum Administrasi Negara itu berkaitan
dengan kekuasaan, seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa salah satu realisasi dari
yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan sebagai bentuk dari adanya kekuasaan. Unsur
adanya kekuasaan ini menjadi hal yang penting untuk diatur agar kekuasaan tersebut tidak
menjadi kesewenang-wenangan dan hal ini yang menjadi latar belakang keberadaan Hukum
Administrasi Negara.
masyarakatnya.15 Sebagai pelaksanaan dari tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat diartikan bahwa tujuan negara Indonesia
memiliki makna yang sangat luas dan sebagai tantangannya tujuan bernegara tersebut harus
cakupan tugas administrasi pemerintahan, sehingga perlu adanya pengaturan atau pedoman
14
Ibid.
15
Dola Riza, “Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,” Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 (2018), hlm. 87
yang menjadi dasar agar penyelenggaraan pemerintahan dapat sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan negara. Sebagai perwujudan dari adanya dasar hukum dalam mengatur
Lahirnya Undang-Undang No 30 Tahun 2014 ini menjadi pedoman dasar bagi para
penyelenggara pemerintahan agar tunduk pada asas-asas yang berlaku, hal-hal di dalam
hubungan yang terjalin antara pemerintahan sebagai pihak penguasa dengan warga
negaranya. Dalam hubungan antara Pemerintah dengan warga negaranya tercermin ke dalam
bentuk kekuasaan baik dalam membuat peraturan, menerapkan hukum, serta menjamin
kehidupan bernegara dapat berjalan sesuai dengan yang diamanatkan di dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Kekuasaan tersebut harus terhindar dari merugikan warga
negaranya, salah satunya dalam mengeluarkan keputusan maka Pemerintah harus dapat
memperhatikan hak-hak warga negara yang khususnya terkena akibat hukum dari keputusan
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan hal ini yang menjadikan Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan sebagai landasan hukum baru bagi hal-hal yang diatur dalam
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara khususnya mengenai Objek Sengkata Tata
Usaha Negara yang berupa Keputusan Tata Usaha Negara.17 Pengaturan di dalam
16
Ayu Putriyanti, “Kajian Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dalam Kaitan dengan Pengadilan Tata
Usaha Negara”, Pandecta. Vol 10 (2015), hlm. 181
17
Dola Riza, “Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,” Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 (2018), hlm. 181
Undang-Undang No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Negara memberikan suatu
perluasan terhadap objek sengketa tata usaha negara berupa Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN) yang sebelumnya juga turut diatur di dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1968 jo
Undang-Undang No.9 Tahun 2014 jo Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
pasal 1 angka 7 yang menyatakan bahwa Keputusan Administrasi atau disebut juga
Keputusan Tata Usaha Negara yang selanjutnya disebut keputusan adalah keputusan tertulis
tambahan pengertian mengenai KTUN, hal ini tercantum dalam pasal 87 UU No. 30 Tahun
2014 yang menguraikan selanjutnya mengenai makna Keputusan Tata Usaha Negara. Salah
satu perubahan definisi KTUN dalam pasal 87 UU No.30 Tahun 2014 memaknai KTUN yang
tidak hanya berupa penetapan tertulis sebagaimana di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun
1986, namun dengan tambahan frasa “penetapan tertulis yang mencakup tindakan faktual”
sehingga akibat frasa tersebut maka menimbulkan makna perluasan terhadap objek sengketa
Tata Usaha Negara yang tidak terbatas berupa penetapan tertulis melainkan juga implikasi
dari sebuah tindakan faktual pemerintah yang dapat menimbulkan sengketa bagi pihak
terkait.19 Mengenai tindakan faktual tersebut harus dapat dimaknai sebagai suatu tindakan
pemerintah yang berdasarkan dengan landasan hukum yang jelas, maksudnya adalah pada
suatu tindakan pemerintah tersebut harus berdasarkan pada aturan hukum yang sudah ada
terlebih dahulu. Menurut pendapat Prof. Philipus M. Hadjon bahwa suatu tindakan
pemerintah belum tentu menimbulkan suatu akibat hukum melainkan suatu tindakan hukum
18
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014, LN No. 292 Tahun 2014,
TLN No. 5601, Ps. 1 angka 7.
19
Kartika Widya Utama, “Quo Vadis Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
Jis Undang-Undang No.51 Tahun 2009 dan Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam UU No.30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan”, Quo Vadis Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, hlm. 360
sudah pasti ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum.20 Oleh karena itu, pengertian KTUN
di dalam pasal 87 UU No.30 Tahun 2014 juga turut menimbulkan implikasi terhadap
Oleh sebab itu, tulisan karya ilmiah ini akan mengurai unsur pasal dari
masing-masing definisi dan ketentuan seputar KTUN sebagai objek gugatan di PTUN dari
berdasarkan UU PTUN dan UU Administrasi Pemerintahan. Di bagian akhir, tulisan ini juga
Pemerintahan terhadap KTUN sebagai objek gugatan di PTUN. Dengan demikian, judul dari
tulisan ini adalah “Objek Gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara dalam Perspektif
Pemerintahan”.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Tujuan umum:
20
Philiphus M. Hadjon et all, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian
Administration Law), Gadjah Mada University Press, Cetakan Pertama. hlm.78
Tulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk menganalisis objek gugatan di
Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal perbedaan pengaturannya dalam UU PTUN
Tujuan Khusus:
Pemerintahan.
Pemerintahan.
Pemerintahan.
D. Manfaat Penelitian
Tulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberi wawasan baru dalam ilmu
hukum sebagai pengembangan ilmu dalam bidang hukum tata usaha negara,
E. Metode Penulisan
terdiri dari data sekunder yang merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier baik dari peraturan perundang-undangan, buku,
jurnal ilmiah, kamus, atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek gugatan di
gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara apakah telah sesuai dengan norma atau
pendekatan dengan data kualitatif yakni penelitian yang bersifat deskriptif. Deskriptif
yang berlaku terkait objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan
dan
Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan
21
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hlm. 9-10
22
Vidya Prahassacitta, “Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Yuridis,”
https://business-law.binus.ac.id/2019/08/25/penelitian-hukum-normatif-dan-penelitian-hukum-yurudis/, diakses
pada 04 Oktober 2021.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara sejak diberlakukannya UU No.30 Tahun
2014.23
23
Heni Muchtar, Analisis Yuridis Normatif Sinkronisasi Peraturan Daerah Dengan Hak Asasi Manusia,
“Humanus”, Vol. XIV No. 1, 2015, hal.85.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili
suatu objek atau pokok sengketa antara seseorang atau badan hukum perdata yang
merasa kepentingan dirugikan oleh suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara berdasarkan Pasal 47 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara.24 Mengenai tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang dapat
digugat dalam pengadilan tata usaha negara diatur dalam Pasal 1 butir (3) dan Pasal 3
Mengenai istilah sengketa tata usaha negara itu sendiri diatur lebih lanjut dalam Pasal
1 angka 10 UU No.51 Tahun 2009 yakni merupakan sengketa diantara orang atau badan
hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara di pusat maupun di daerah,
atas keluarnya keputusan tata usaha negara yang mana termasuk pula sengketa
usaha memiliki tolok ukur tertentu seperti tolok ukur dari segi subjek yakni para pihak
yang bersengketa atas hukum administrasi negara dan tolok ukur pangkal sengketa yang
merupakan sengketa bidang administrasi negara yang diakibatkan oleh suatu ketetapan
hasil perbuatan administrasi negara yang mana sengketa tata usaha negara terjadi
24
Wahyu Adi Putra, “Alasan Mengajukan Gugatan di Pengadilan Tata Usaha,” (makalah ini disampaikan oleh
Universitas Ekasakti, Padang, 2020), hlm.4.
25
H. Yodi Martono Wahyunadi, Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Sistem Peradilan di
Indonesia,https://ptun-jakarta.go.id/wp-content/uploads/file/berita/daftar_artikel/Kompetensi%20Pengadilan%2
0Tata%20Usaha%20Negara%20Dalam%20Sistem%20Peradilan%20Di%20Indonesia.pdf. Diakses pada 04
Oktober 2021.
26
Indonesia, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No.51 Tahun 2009, Ps.1 ayat (10).
dikarenakan Keputusan Tata Usaha Negara terdapat unsur perbutan melawan hukum
yang dilakukan oleh penguasa atau dapat disebut sebagai onrechtsmatig overheidsdaad.
Sengketa administrasi dibagi menjadi 2 (dua) yaitu diantaranya sengketa intern dan
sengketa ekstern. Sengketa intern adalah sengketa yang terjadi di dalam lingkungan
administrasi baik dari satu departemen maupun sengketa antar departemen. Intinya
sengketa intern merupakan suatu persoalan yang disebabkan oleh kewenangan pejabat
TUN yang disengketakan dalam satu departemen atau departemen lainnya. Sedangkan
mengenai sengketa ekstern adalah sengketa yang terjadi antara administrasi negara
dengan masyarakat yang mana subjek-subjek hukunya terdiri dari dua pihak ataupun
salah satu pihak haruslah administrasi negara baik administrasi negara tingkat pusat
maupun daerah.
terkena dampak dari perbuatan badan atau pejabat administrasi negara tersebut.
Perbuatan administrasi negara (TUN) terdiri dari tiga macam yakni mengeluarkan
materiil.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha
negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata
yaitu orang (individu) atau badan hukum perdata dan badan atau pejabat tata usaha
negara sedangkan untuk objek sengketa yakni Keputusan Tata Usaha Negara.
Pada dasarnya objek dari sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha
Negara dimana menurut Pasal 1 angka 9 UU No.51 Tahun 2009 merupakan suatu
penetapan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
Dalam sengketa tata usaha tidak mengenal adanya rekonvensi yang mana kedudukan
para pihak berubah yang pada awalnya penggugat menjadi tergugat dan sebaliknya
tergugat menjadi penggugat. Kedudukan Tergugat harus selalu badan atau pejabat TUN
Mengenai wewenang dapat dilakukan secara atributif yakni berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, delegasi yang mana badan atau pejabat TUN
pelimpahan wewenang berdasarkan mandat yang mana ditinjau dari segi hubungan
hierarkis. Sedangkan untuk kedudukan Penggugat adalah orang atau badan hukum
perdata yang terdiri dari kelompok-kelompok tertentu seperti halnya orang-orang atau
badan hukum perdata, individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang memiliki
kepentingan atau terkena dampak secara tidak langsung dari keputusan yang dikeluarkan,
27
Ibid., Ps.1 ayat (9).
Berdasarkan pengertian mengenai Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat
dijelaskan lebih lanjut berdasarkan sarat-sarat Keputusan Tata Usaha Negara diantaranya
terdiri dari :
secara tertulis
Menurut UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 51 Tahun 2009 dijelaskan bahwa
3. Menjelaskan lebih lanjut mengenai siapa yang akan dituju atas keputusan tersebut.
penetapan tertulis terfokus pada isi, bukan pada bentuk formal sebagaimana
dikeluarkan oleh oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara, sehingga sebuah nota
2. Keputusan Tata Usaha Negara dikeluarkan oleh badan hukum atau pejabat Tata
Usaha Negara
Keputusan Tata Usaha Negara dikeluarkan tidak terbatas hanya pada instansi
kekuasaan legislatif maupun yudikatif atau mungkin pihak swasta atau siapapun
bidang eksekutif.
3. Keputusan Tata Usaha Negara berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara
28
Endra Wijaya, Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cet.1, (Jakarta: Pusat Kajian Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila, 2019), hlm.24.
keputusan badan atau pejabat Tata Usaha Negara harus merupakan suatu tindakan
hukum artinya menimbulkan suatu akibat hukum bagi hukum Tata Usaha Negara.
orang terkait.
- Individual yakni keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk
- Final yaitu keputusan Tata Usaha Negara itu sudah dapat menimbulkan
5. Menimbulkan adanya akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata29
hukum bagi seseorang atau badan hukum tetapi apabila tidak bukan merupakan
tindakan hukum.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat 9 UU No.51 Tahun 2009 dan Pasal 3 UU
No.5 Tahun 1986 objek sengketa Tata Usaha Negara berupa Keputusan Tata Usaha
Dalam tahun 2014 hingga 2019, terdapat 3 (tiga) fase dalam pemeriksaan
hukum acara tata usaha negara dengan permasalahan fiktif positif yang Pra-
Perma No.5 TAHUN 2015, Perma No.5 Tahun 2015, dan Perma No.8 Tahun
hubungan antara pihak yang satu dengan yang lainnya dan meluruskan
29
Wahyu Adi Putra,Ibid., hal. 3
putusan judex factie yang dinilai keliru dalam hal penerapan fiktif positif.
Sejatinya PTUN bersifat final dan mengikat akan tetapi Mahkamah Agung
Dalam hal perkara fiktif positif Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak
membuat daftar penilaian yang mana jika tidak dikerjakan Pegawai Negeri
Mengenai adanya istilah Keputusan Tata Usaha Negara “Fiktif Negatif” yang
Negara menjadi suatu objek gugatan Tata Usaha Negara yang tidak
berwujud.31
Terkait dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
lebih lanjut mengenai jangka waktu maka setelah lewat waktu 4 (empat) bulan
sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
30
Budi Sastra Pandjaitan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cet.1, (Medan: CV Manhaji, 2016),
hlm.33.
31
Erlin Triartha Yuliani,Perbandingan Antara Konsep Fiktif Negatif Dalam UU 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara Dengan Konsep Fiktif Positif dalam UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, “Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Universitas Pendidikan Ganesha,” Vol.6 No.1, 2020, hal.68.
32
Indonesia, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No.5 Tahun 1986, Ps.3.
Pada intinya berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 UU No.5 Tahun 1986
bahwa dalam Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif ini Pejabat atau
Badan Tata Usaha Negara telah melakukan sikap diam terhadap permohonan
atas KTUN. Atas sikap diam dapat dianggap sebagai Keputusan Penolakan. 33
Dalam hal Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif dapat diaplikasikan
dalam pelayanan publik seperti halnya permohonan orang atau badan hukum
Pelayanan Tata Kota di suatu Kota yang mana jika telah melengkapi
persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh ijin tetapi sudah tenggang
waktu yang lama sekitar kurang lebih 4 (empat) bulan setelah diajukannya
permohonan, maka orang atau badan hukum perdata berhak untuk mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara atas sikap diam pejabat
Pelayanan Tata Kota yang tidak kunjung memberikan jawaban baik ditolak
Keputusan Tata Usaha Negara yang diputus pada Pengadilan Tata Usaha Negara
Zakelijk)
33
I Putu Agus Prapta, I Ketut Tjukup, dan Nyoman A. Martana, Sikap Diam Badan atau Pejabat Pemerintahan
Sebagai Objek Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara, “Jurnal Udayana”, hal.6
34
Budiamin Rodding, Keputusan Fiktif Negatid dan Fiktif Positif dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan
Publik, “Tanjungpura Law Journal,” Vol.1 Issue 1, 2017,26-3, hal.31.
- Keputusan Tata Usaha yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
SIM.35
seperti BPKP.
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang Bebas dan Terikat (Vrij en Gebonden)
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat memberi beban dan memberi
telah kadaluarsa.
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Seketika dan Permanen (Einmalig
en Voortdurend).
35
Johny Fahrizal, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,” (makalah ini disampaikan oleh Universitas
Ekasakti, Padang, 2021), hlm.4.
- Keputusan Tata Usaha Negara seketika yaitu Keputusan Tata Usaha
Usaha Negara tetapi yang dikeluarkan secara lisan, seperti anggota polisi yang
mengatur lalu lintas tidak termasuk dalam keputusan Tata Usaha yang dapat
dijadikan objek.36 Kemudian dalam Pasal 2 UU No.9 Tahun 2004 diatur lebih lanjut
36
Endra Wijaya,Ibid., hlm.30-31.
Keputusan Tata Usaha Negara memerlukan persetujuan intansi atasan. Hal ini
keseragaman kebijaksanaan.
Hal ini dapat dicontohkan seperti pidana lalu lintas, dimana terdakwa dipidana
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
berlaku; dan
Jika dibandingkan dengan Pasal UU No.5 Tahun 1986 dan Pasal 2 UU No.9
Tahun 2004 adalah perubahan pada poin 6. Walaupun berubah dari segi substansi
pada ketentuan Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 tidak menutupi kekurangan yang
37
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cet.8, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2014), hlm. 72
38
Indonesia, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No.9 Tahun 2004, Ps.2.
penjabaran dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No.9 Tahun 2004 yakni
diantaranya:
Keputusan Tata Usaha negara memang pada dasarnya yang menjadi objek di
Pengadilan Tata Usaha. Namun, terdapat beberapa pembatasan yang mana terdapat
beberapa jenis Keputusan yang karena sifatnya tidak dapat dikategorikan sebagai
Dalam rentang tahun 1991 hingga saat ini, telah terdapat banyak
baru dalam beracara di Peradilan Tata Usaha Negara. Terdapat beberapa pasal dalam
objek sengketa di Peradilan TUN yang diatur dalam Undang-Undang No. 51 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang
keputusan tata usaha negara yang bersifat konkrit, individual dan final serta
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Terdapat
Pemerintahan, berdasarkan Pasal 1 angka 7 dan angka 8 Jo. Pasal 87, dimana objek
39
Ibid., hlm.70
sengketa berupa keputusan ini diperluas menjadi Keputusan berupa penetapan tertulis
Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai
sebagai:
faktual.
40
Muhammad Amin Putra, “Keputusan Tata Usaha Negara yang Berpotensi Menimbulkan Akibat Hukum
Sebagai Objek Sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Hukum Peratun, Vol. 3 No.1, Februari 2020,
hlm. 3.
41
Muhammad Noor Halim dan Muhammad Adiguna Bimasakti, Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara dan
Persidangan Elektronik (e-Court) (Jakarta: Prenada Media, 2020), hlm. 34.
42
Anita Marlin Restu Prahastapa, Lapon Tukan Leonard dkk, “Friksi Kewenangan PTUN dalam Berlakunya
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Berkaitan dengan Objek
Sengketa Tata Usaha Negara”, Diponegoro Law Journal, Vol. 6 No. 2, Agustus 2017, hlm. 9.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (9) Undang-undang Peradilan TUN, suatu
kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat tata usaha negara. Pengaturan mengenai penetapan tertulis ini
dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara bisa saja
hukum. Tindakan hukum Badan atau Pejabat tata usaha negara adalah suatu
administrasi.44
43
Dola Riza, “Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara dan
Undang-undang Administrasi Pemerintahan”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 3 No. 1, September 2018, hlm.
93.
44
Ibid.
45
Kartika Widya Utama, “Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang Bersifat Fiktif Positif”, Jurnal Notarius,
Vol. 8 No. 2, September 2015, hlm. 145.
2. Mengeluarkan Peraturan (regeling);
terdapat perluasan objek sengketa tata usaha negara yaitu dengan menjadikan
tata usaha negara, sehingga tidak hanya terbatas dalam ranah pembuatan,
penerbitan dan keabsahan keputusan tata usaha negara, melainkan juga telah
Unsur ini menimbulkan akibat hukum. Tujuan dari tindakan hukum ini
yang ada;
perdata;
ditetapkan.
46
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo, 2011), hlm. 23.
Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara berkehendak melakukan
(IMB), Sertifikat Hak Milik (SHM), Surat Keputusan (SK) Kepegawaian, dan
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, namun yang harus dicermati adalah kondisi
usaha negara yang dapat dijadikan obyek sengketa tata usaha negara
masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat
final sehingga belum menimbulkan suatu hak atau kewajiban. Suatu keputusan
tata usaha negara telah menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
objek gugatan di Peradilan TUN dan Pasal 62 ayat (1) huruf e mengenai
47
Dola Riza, loc.cit., hlm. 93.
waktunya atau telah lewat waktunya dalam UU 5 Tahun 1986 tentang
akibat hukum secara nyata, namun suatu keputusan yang dinilai dapat
berdampak hukum terhadap orang atau badan hukum perdata, dapat digugat di
Pengadilan TUN.
dari Individual dalam kriteria sebuah keputusan tata usaha negara serta
sebagai sebuah keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat sangat relevan
dengan asas yang berlaku terhadap pemberlakuan putusan PTUN yaitu asas
erga omnes. Asas erga omnes artinya daya berlaku putusan tersebut mengikat
secara publik, di samping mengikat para pihak yang bersengketa (inter pares),
baru tentang elemen-elemen yang terkandung dalam keputusan tata usaha negara yang
48
Muhammad Amin Putra, loc.cit., hlm. 2-3.
49
Elisabeth Putri Hapsari, Lakon Tukan Leonard, dan Ayu Putriyanti, “Kewenangan Hakim Peradilan Tata
Usaha Negara Menggunakan Asas Ultra Petita Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.
32/G/2012/PTUN.SMG”, Diponegoro Law Journal, Vol. 6 No. 2, 2017, hlm. 5.
50
Dola Riza, loc.cit., hlm. 88.
B. Perbedaan antara Pengaturan Objek Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara
membawa perubahan yang cukup berarti terhadap praktik penyelenggaraan Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia, karena terdapat pemaknaan baru yang lebih luas terhadap
keputusan yang menjadi objek sengketa dan perubahan hukum acara di Peradilan Tata Usaha
Negara yang dapat dilihat mulai dari rumusan definisi tentang Keputusan Tata Usaha Negara.
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara mengatur bahwa, Keputusan
Tata Usaha Negara (Obyek sengketa Tata Usaha Negara) adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata
Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
1. Penetapan tertulis
4. Bersifat konkrit
5. Individual
6. Final
7. Yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata
Sementara, definisi dari Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara
(yang dapat menjadi Obyek Sengketa TUN) pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau
51
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 1 Angka 3.
Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.52 Ketentuan Pasal 1 angka 7
1. Ketetapan tertulis
Kemudian definisi dari keputusan tersebut menjadi semakin luas lagi dilihat dari ketentuan
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan
52
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 1 Angka 7.
53
Ibid, Pasal 87.
Berdasarkan perbedaan unsur yang terdapat pada kedua Undang-Undang tersebut, terlihat
bahwa pengaturan mengenai keputusan yang menjadi objek sengketa TUN pada
unsur yang terdapat pada Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara sehingga cakupan
faktual pejabat TUN yang terdapat pada ketentuan pada Pasal 75 Ayat 1 jo. Pasal 76 Ayat 3
Peradilan Tata Usaha Negara memperoleh suatu kewenangan baru dalam sengketa Tata
Usaha Negara dengan objek sengketanya yaitu tindakan nyata atau fisik (feitelijke handeling)
berdasar UU Peratun obyek sengketa TUN terbatas hanya keputusan TUN dalam bentuk
Pemerintahan adalah menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum, yakni dalam format
Kemajuan teknologi yang semakin pesat juga membawa dampak kepada kompetensi
Peradilan Tata Usaha Negara terhadap bentuk baru dari keputusan. Berdasarkan ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 38 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Adminstrasi
Pemerintahan, terjadi perubahan dalam bentuk keputusan yaitu berupa keputusan elektronis
54
Bambang Heriyanto. “Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Paradigma UU No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan”. Pakuan Law Review, Volume IV, Nomor 1, Januari-Juni 2018.
Hlm. 83
yakni segala keputusan dapat dibuat atau disampaikan menggunakan atau memanfaatkan
media elektronik. Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan saat ini dapat membuat Keputusan
yang berbentuk elektronis dan keputusan elektronis tersebut wajib dibuat atau disampaikan
apabila suatu keputusan tidak dibuat atau disampaikan secara tertulis. Keputusan yang
berbentuk elektronis juga telah memiliki kekuatan hukum yang sama dengan keputusan yang
dibuat secara tertulis dan dinyatakan berlaku sejak diterimanya keputusan tersebut oleh pihak
yang bersangkutan.
Penanganan sengketa Tata Usaha Negara dengan objek sengketa keputusan yang berbentuk
elektronis, tentu harus sangat hati-hati, mengingat produk yang bersifat elektronis ini
pesat dan sangat cepat, sehingga produk hukum yang berbentuk elektronis ini akan rawan
dengan kecurangan atau manipulasi. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dituntut selalu
Tata Usaha Negara juga diperluas dalam hal kewenangannya. Berdasarkan Pasal 21
menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan dalam
keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan oleh Pejabatan Pemerintahan. Saat muncul
menggunakan upaya hukum ke Peradilan Tata Usaha Negara guna melakukan pemeriksaan
telah dituangkan dalam PERMA No. 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam
55
Ibid.
Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang. Jika UU PTUN mempergunakan istilah
“gugatan”, pada PERMA No. 4 Tahun 2015 mempergunakan istilah “permohonan”. Melalui
definisi permohonan dalam PERMA 4 Tahun 2015 tersebut, terjadi perluasan kewenangan
bagi PTUN dalam menyelesaikan sengketa TUN yang dirumuskan pada Pasal 1 angka 4 UU
PTUN.56
Semula sengketa TUN dimaknai sebagai sengketa yang bersifat partai yaitu antara orang
atau badan hukum perdata sebagai penggugat dan Badan atau Pejabat TUN sebagai tergugat.
Dengan PERMA 4 Tahun 2015 sengketa TUN dalam UU PTUN diperluas dengan bentuk
permohonan yang diajukan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan. Sehingga mekanisme
pengawasan yudisial yang dilakukan oleh PTUN tidak hanya melalui mekanisme suatu
gugatan oleh orang atau badan hukum perdata, tetapi juga melalui mekanisme suatu
permohonan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan. Pola ini menuntut sebuah kemampuan
bagi hakim PTUN untuk menanggalkan paradigma pengujian dengan logika kalah dan
menang. Namun dengan pengujian unsur penyalahgunaan wewenang ini, paradigma lebih
berorientasi pada benar dan tepatnya sebuah analisa atau kajian terhadap materi yang
dimohonkan. 57
sebagaimana diatur Pasal 76 ayat (3) UUAP, dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima
atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan
ke PTUN. Dengan demikian terdapat dua norma hukum yang mengatur upaya administratif.
Kaitannya dengan selesainya upaya aministratif warga masyarakat masih hendak mengajukan
ke pengadilan, terdapat dua pengadilan yaitu PT.TUN sesuai Pasal 48 UU Peratun dan ke
56
Anggoro, Firna Novi. 2017. “Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Terhadap Keputusan dan/atau
Tindakan Pejabat Pemerintahan Oleh PTUN”. Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum 10 (4):647-70. Hlm. 653
57
Mawardi, Irvan. (2016). Paradigma Baru PTUN, Respon Peradilan Administrasi Terhadap Demokratisasi.
Yogyakarta: Thafa Media, p. 161.
PTUN sesuai Pasal 76 ayat (3) UUAP.58 Kemudian dengan diberlakukannya UU No. 30
Tahun 2014, maka seluruh Gugatan yang berasal dari Upaya Administratif merupakan
Selanjutnya mengenai kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam memutuskan terhadap
objek keputusan fiktif positif. Keputusan Fiktif Positif adalah keputusan yang merupakan
anggapan bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan telah menerbitkan keputusan yang
diajukan oleh pemohon sampai dengan batas waktu yang ditentukan atau apabila tidak
ditentukan telah lewat sepuluh hari setelah permohonan yang sudah lengkap diterima.
Ketentuan dalam UU AP tersebut adalah berbeda dengan ketentuan pasal 3 UU Peratun yang
menganut rezim fiktif negatif. Artinya, Peradilan TUN berwenang mengadili gugatan
terhadap sikap diam Badan/Pejabat TUN yang tidak menerbitkan keputusan yang dimohon
atau yang menjadi kewajibannya, sikap diam mana adalah dipersamakan sebagai Keputusan
apabila dalam batas waktu sebagaimana ditentukan undang-undang, Badan dan/atau Pejabat
Fiktif positif ini juga mengubah hukum acara TUN konvensional, yakni di sana ada limitasi
waktu dan proses hanya terjadi di Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat satu, dan putusannya
bersifat final.59
58
Wahyunadi, Yodi Martono. 2016. “Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan”. Jurnal Hukum dan Peradilan,
Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 – 154. Hlm. 144-145.
59
Bambang Heriyanto. “Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Paradigma UU No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan”. Pakuan Law Review, Volume IV, Nomor 1, Januari-Juni 2018.
Hlm. 86-87
Disamping perubahan-perubahan sebagaimana terdapat dalam ketentuan yang sudah
dijelaskan sebelumnya, terdapat pula perubahan dalam hal hukum acara atau hukum formil
1. Upaya hukum pasca Upaya Administratif tidak dapat diajukan di Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara, tetapi melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. (Pengadilan tingkat
satu).
2. Dikenal adanya sengketa khusus dengan prosedur limitasi waktu khusus bagi sengketa
Penilaian unsur Penyalahgunaan wewenang dan Sengketa Tata Usaha Negara Fiktif
Positif.60
60
Ibid, Hlm. 88
C. Implikasi Hukum dari Ketentuan Baru Mengenai Objek Gugatan di Pengadilan
Peradilan Tata Usaha Negara telah berubah secara drastis yang ditandai sifat khusus
terhadap tindakan pemerintahan yang hanya bersifat konkrit dan individual, berubah menjadi
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Hal tersebut terbukti lewat adanya beberapa pasal
Keputusan TUN, upaya administratif dan lain sebagainya. Pasal 87 UU 30/2014 menjelaskan
keputusan atau objek sengketa tata usaha negara juga termasuk tindakan faktual (faitelijke
handelingan). Utrecht berpendapat bahwa tindakan faktual merupakan tindakan yang tidak
menimbulkan akibat hukum sehingga tidak perlu untuk didiskusikan lebih lanjut. Namun,
PTUN ini berubah yang tadinya hanya berupa Keputusan (UU PERATUN) menjadi
Keputusan dan Perbuatan (UU Administrasi Pemerintahan). Keputusan dan Perbuatan dalam
hal ini menjadikan luasnya objek dari PTUN.61 Salah satu perkembangan objek gugatan
objek Keputusan Tata Usaha Negara, adalah klausula “Keputusan yang berpotensi
terhadap eksistensi Pasal 2 yang mengatur pembatasan objek gugatan di Peradilan TUN dan
Pasal 62 ayat (1) hurufe mengenai proses dismissal oleh Ketua Pengadilan terkait gugatan
diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya dalam UU 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.Dengan perluasan tersebut, maka objek sengketa tidak hanya
61
Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia, Modul Hukum Acara Tata Usaha Negara, 2019. hlm. 7
dimaknai yang sudah menimbulkan akibat hukum secara nyata, namun suatu keputusan yang
dinilai dapat memberikan potensi berubahnya status hukum atau hubungan hukum atau
berdampak hukum terhadap orang atau badan hukum perdata, dapat digugat di Pengadilan
TUN.
Pemaknaan “berpotensi menimbulkan akibat hukum” sangat luas dan perlu diperhitungkan
ukuran berpotensi tersebut. Maka isu hukum tersebut yang menjadi fokus penting
Pemerintahan yang diundangkan pada 17 Oktober 2014, kompetensi PTUN telah mengalami
dasar kepada peradilan tata usaha negara dalam mengadili objek sengketa di luar keputusan
tertulis atau beschikking yakni tindakan administrasi atau bestuur bandelingen.63 Sebelum
yang bukan termasuk beschikking akan diajukan sebagai objek sengketa di Peradilan Umum
dengan dasar gugatan Melawan hukum yang diatur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang
akan timbulnya perluasan objek sengketa. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa
dalam Pasal 87 huruf e dikatakan bahwa Keputusan TUN juga dimaknai “berpotensi
menimbulkan akibat hukum”, perlu dalam hal ini harus dipahami terkait eksistensi dari
tersebut sehingga bisa diketahui bahwa sifat dari rincian daripada tabulasi pasal tersebut
62
Muhammad Amin Putra, “Keputusan Tata Usaha Negara Yang Berpotensi Menimbulkan Akibat Hukum
Sebagai Objek Sengketa Di PTUN”, Jurnal Peratun Vol.3, No.1 (2020), hlm.2-3
63
Ali Rido, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan,
Wakaf. Bandung: Alumni, hlm.50
64
Lampiran II Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, Bab III Ragam Bahasa Peraturan
Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Nomor 264
Dengan demikian, klausula tabulasi dalam pasal tersebut dapat disatukan antara rencana dan
dapat dijadikan pilihan-pilihan dari rincian tabulasi. Sehingga untuk memahami ketentuan
dalam Pasal 87 huruf e tersebut dapat mengaitkan dengan ketentuan Pasal 87 huruf d yang
menyatakan bahwa keputusan TUN juga termasuk“final dalam arti luas”, yang dalam
penjelasan disebutkan “keputusan yang diambil alih oleh atasan Pejabat Berwenang”.Dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil
Kesepakatan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan disebutkan bahwa“final dalam arti luas” adalah
Keputusan Tata Usaha Negara yang sudah menimbulkan akibat hukum meskipun masih
memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain (contoh: perizinan tentang
fasilitas penanaman modal oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Izin
Lingkungan, dsb). Maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya suatu KTUN sudah bersifat
final dan menimbulkan akibat hukum, makna dalam arti luas adalah adanya persetujuan dari
instansi lain.Sedangkan dalam pandangan penulis dapat pula suatu keputusan yang diambil
alih oleh atasan yang berwenang, dimaknai final namun sudah berpotensi menimbulkan
akibat hukum meskipun belum diambil alih/persetujuan oleh pejabat berwenang tersebut.65
Sebagai contoh, suatu Keputusan Kepolisian Daerah Sulawesi Utara terkait penjatuhan
hukuman sanksi disiplin kepada seorang polisi, yang selanjutnya diambil alih oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan menetapkan pemberhentian tidak hormat. Bahwa dengan
Utara terkait penjatuhan hukuman sanksi disiplin sudah dapat diajukan gugatan kepada
65
Muhammad Amin Putra, Op. Cit, hlm.11
66
Ibid.
Selain itu dalam pada Pasal 54 Undang-undang Administrasi Pemerintahan Diatur mengenai
sifat suatu keputusan yaitu: (1) Keputusan meliputi Keputusan yang bersifat:a. konstitutif;
ataub. deklaratif.(2) Keputusan yang bersifat deklaratif menjadi tanggung jawab Pejabat
Pemerintahan yang menetapkan Keputusan yang bersifat konstitutif. Pasal 54 ayat (1) pada
penjelasan pasalnya dimuat bahwa: Yang dimaksud dengan “Keputusan yang bersifat
yang bersifat pengesahan setelah melalui proses pembahasan di tingkat Pejabat Pemerintahan
a) Keputusan bersifat konstitutif yaitu berdiri sendiri atau penetapan mandiri oleh
Pejabat Pemerintahan;
deklaratif baik secara horizontal maupun vertikal oleh pejabat yang menetapkan
keputusan konstitutif;
yang disampaikan oleh Enrico Simanjuntak bahwa “tidak perlu ada dikotomi
keputusan tata usaha negara menjadi konstitutif dan deklaratif karena suatu KTUN
yang bersifat final dalam arti luas dan berpotensi menimbulkan akibat hukum dapat
digugat”, karena dalam klausula pasal maupun penjelasan pasal tersebut tidak
Selain itu dalam hal suatu keputusan deklaratif yang tidak memberikan kehendak bebas
kepada pejabat yang akan mengeluarkan keputusan yang sifatnya deklaratif, sehingga sifat
putusan konstitutif memang diakui sebagai keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat
dapat dipahami suatu keputusan yang dinilai berpotensi menimbulkan akibat hukum adalah
deklaratif. Namun tanggung jawab tetap berada pada pejabat pemerintahan yang
mengeluarkan keputusan konstitutif. Pasal ini menegaskan eksistensi perluasan objek gugatan
67
Enrico Simanjuntak, 2018., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara:Transformasi dan Refleksi, Jakarta:
Sinar Grafika, hlm.98.
68
Ibid.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
baru yang telah disahkan yaitu Undang-Undang No.30 Tahun 2014 tentang
terdapat beberapa perluasan makna terhadap keputusan yang menjadi objek sengketa
dan perubahan hukum acara di Peradilan Tata Usaha Negara. Pertama dalam halnya
perluasan makna mengenai objek sengketa di Peradilan TUN yang diatur dalam
5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara terdapat perluasan menjadi
Keputusan berupa penetapan tertulis dan tindakan berupa perbuatan konkret yang
semula Keputusan Tata Usaha Negara, merupakan suatu penetapan tertulis yang
bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata. Terdapat juga perbedaan unsur dalam Pasal 1
angka 3 dengan definisi Keputusan Tata Usaha Negara yang diatur dalam pasal 1
beberapa unsur yang terdapat pada Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara
sehingga definisinya pun menjadi lebih luas. Selain itu, terdapat pula perluasan
kompetensi dan perubahan aspek hukum formil Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang No.30 Tahun 2014 tindakan administrasi
Peradilan Tata Usaha Negara terlihat pada bentuk baru dari keputusan. Bentuk
Perubahan lainnya yang dapat dilihat dari adanya perluasan dalam hal kewenangan.
Terdapat perubahan dalam hal hukum acara atau hukum formil setelah
pasca upaya administratif tidak dapat diajukan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, melainkan melalui Pengadilan Tata usaha Negara tingkat satu, serta adanya
sengketa khusus yang menggunakan prosedur limitasi waktu khusus bagi sengketa
penilaian unsur penyalahgunaan wewenang dan sengketa tata usaha negara fiktif
Peradilan Tata Usaha Negara yang terlihat jelas pada tindakan pemerintahan yang
undang-undang ini juga membuat perubahan baru akan prosedur beracara di Peradilan
Tata Usaha Negara di Indonesia, serta kompetensi PTUN juga turut mengalami
B. Saran
perubahan yang kurang selaras serta memberikan dampak pada beberapa hal terutama
terkait adanya perluasan objek keputusan TUN, upaya administratif dan lain
sebagainya. Perluasan dalam makna juga harus diperjelas atau lebih di spesifikkan,
berbunyi “berpotensi menimbulkan akibat hukum” memiliki makna yang cukup luas
tersebut. Selain itu, dalam hal ini juga harus dipahami terkait eksistensi dari
Administrasi Pemerintahan agar dapat diketahui sifat dan rincian dari tabulasi pasal
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku
Ali Rido. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf. Bandung: Alumni, 1986.
Budi Sastra Pandjaitan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.Cet.1. Medan:
CV Manhaji, 2016.
Effendi, Maftuh. “Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia Suatu Pemikiran ke Arah
Perluasan Kompetensi Pasca Amandemen Kedua Undang-Undang Peradilan
Tata Usaha Negara.” Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 3. 2014. Hlm 25-35.
Endra Wijaya, Endra. Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cet.1.
Jakarta: Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila,
2019.
Harahap, Zairin. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cet.8. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2014.
Mamudji,Sri et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
II. Internet
Prahassacitta, Vidya. “Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Yuridis.”
https://business-law.binus.ac.id/2019/08/25/penelitian-hukum-normatif-dan-pe
nelitian-hukum-yurudis/. Diakses 4 Oktober 2021.
Wahyunadi, H.Yodi Martono. “Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Sistem Peradilan di Indonesia”.
https://ptun-jakarta.go.id/wp-content/uploads/file/berita/daftar_artikel/Kompet
ensi%20Pengadilan%20Tata%2Usaha%20N. Diakses 4 Oktober 2021.
IV. Artikel/Jurnal
Anggoro, Firna Novi. 2017. “Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Terhadap
Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan Oleh PTUN.” Fiat
Justisia: Jurnal Ilmu Hukum 10 (4). Hlm. 64-70.
Hapsari, Elisabeth Putri, Lakon Tukan Leonard, dan Ayu Putriyanti. "Kewenangan
Hakim Peradilan Tata Usaha Negara Menggunakan Asas Ultra Petita
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 32/G/2012/PTUN.SMG.”
Diponegoro Law Journal. Vol. 6, No. 2, 2017.
Prahastapa, Anita Marlin Restu, Lapon Tukan Leonard, dkk. "Friksi Kewenangan
PTUN dalam Berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 dan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Berkaitan dengan Objek Sengketa Tata
Usaha Negara." Diponegoro Law Journal. Vol. 6, No. 2. Agustus 2017.
Prapta, I Putu Agus, I Ketut Tjukup, dan Nyoman A. Martana, “Sikap Diam Badan
atau Pejabat Pemerintahan Sebagai Objek Gugatan Sengketa Tata Usaha
Negara.” Jurnal Udayana.
Riza, Dola. "Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-undang Peradilan Tata
Usaha Negara dan Undang-undang Administrasi Pemerintahan." Jurnal Bina
Mulia Hukum. Vol. 3, No. 1. 2018. Hlm. 86-102.
Rodding, Budiamin. “Keputusan Fiktif Negatid dan Fiktif Positif dalam Peningkatan
Kualitas Pelayanan Publik.” Tanjungpura Law Journal Vol.1 Issue 1. 2017.
Utama, Kartika Widya. "Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang Bersifat Fiktif
Positif." Jurnal Notarius. Vol. 8 No. 2. September 2015.
Utama, Kartika Widya. “Quo Vadis Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Pengadilan Tata Usaha Negara Jis. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 dan
Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dalam UU No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan.” Masalah-Masalah Hukum Vol. 44 No. 3.
2015. Hlm. 356-363.
Wahyunadi, Yodi Martono. 2016. “Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha
Negara Dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan.” Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 5, No. 1,
Maret 2016. Hlm. 135 – 154.
V. Makalah
Adi Putra, Wahyu. “Alasan Mengajukan Gugatan di Pengadilan Tata Usaha.”
Makalah ini disampaikan oleh Universitas Ekasakti, Padang. 2020.
Fahrizal, Johny. “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.” Makalah ini
disampaikan oleh Universitas Ekasakti, Padang. 2021.