Anda di halaman 1dari 49

UNIVERSITAS INDONESIA

OBJEK GUGATAN DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM


PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERADILAN TATA USAHA
NEGARA DAN UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN

MATA KULIAH HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA KELAS


PARALEL A

Kartika Vidya Noorlaela 1906308684


Khairunnisa Alkhawarijmi 1906308734
Anisa Nur Fitri 1906318136
Hanna Infrastuti Ardiningrum 1906318142
Zalfa Ghea Tamima 1906318193
M. Khasfy Ikhsan S 1906318256
Fadhilah Intan Wardhani 1906318312

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
OKTOBER 2021
ABSTRAK
Lahirnya UU Administrasi Pemerintahan pada 2014 telah mengubah pengaturan objek
gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) berupa Keputusan Tata Usaha Negara
(“KTUN”) yang semula diatur dalam UU PTUN tahun 1986 serta perubahan-perubahannya.
Dalam tulisan ini, diuraikan mengenai implikasi hukum dari berlakunya UU Administrasi
Pemerintahan secara khusus perihal objek gugatan di PTUN berupa KTUN. Tulisan ini
menggunakan metode penulisan yuridis normatif yang berdasarkan pada sumber-sumber
hukum hukum primer, sekunder, dan tersier baik dari peraturan perundang-undangan, buku,
jurnal ilmiah, kamus, atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek gugatan di PTUN
untuk mengetahui apakah implementasi UU Administrasi Pemerintahan tentang objek
gugatan di PTUN telah sesuai dengan norma atau prinsip hukum yang berlaku. Pasal 87 UU
Administrasi Pemerintahan telah memperluas makna objek gugatan berupa KTUN dengan
mengurangi serta menghilangkan beberapa unsur yang terdapat pada UU PTUN sehingga
dapat disimpulkan lahirnya UU Administrasi Pemerintahan telah menimbulkan implikasi
yang drastis pada KTUN. Maka, materi UU Administrasi Pemerintahan khususnya dalam hal
objek gugatan berupa KTUN harus dikaji dengan disandingkan dengan pengaturan
sebelumnya dalam UU PTUN.

Kata Kunci : Objek gugatan, KTUN, Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN

ABSTRACT

The issuance of the Government Administration Law in 2014 has changed the arrangement of
the object of the lawsuit in the State Administrative Court ("PTUN") in the form of a State
Administrative Decree ("KTUN") which was originally regulated in the 1986 Administrative
Court Law and its amendments. In this paper, we describe the legal implications of the
enactment of the Government Administration Law particularly regarding the object of the
lawsuit in PTUN in the form of KTUN. This paper uses a normative juridical writing method
based on primary, secondary, and tertiary legal sources, from laws and regulations, books,
scientific journals, dictionaries, or other documents related to the object of the lawsuit in
PTUN to determine whether the implementation of the Government Administration Law
regarding the object of the lawsuit in PTUN has been in accordance with applicable legal
norms or principles. Article 87 of the Government Administration Law has expanded the
meaning of KTUN as the object of lawsuit by reducing and eliminating several elements
contained in the Administrative Court Law so that it can be concluded that the issuance of
the Government Administration Law has had drastic implications for KTUN. Therefore, the
matter of the Government Administration Law, especially in the case of the object of the
lawsuit in the form of a KTUN, must be studied in comparison with the previous
arrangements in the Administrative Court Law.

Keywords: Object of the lawsuit, KTUN, Law No. 30 of 2014 on Government


Administration, Law No. 5 of 1986 on PTUN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberlakuan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

sedikit banyak telah mengubah beberapa ketentuan mengenai hukum materiil dari Peradilan

Tata Usaha Negara di Indonesia yang sebelumnya diatur melalui Undang-Undang No. 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang juga sudah mengalami perubahan

sebanyak dua kali melalui Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 51

Tahun 2009. Perubahan-perubahan yang ada secara garis besar berimplikasi terhadap

perluasan ruang lingkup dari objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara, dan perubahan

ruang lingkup ini memiliki implikasi hukum lebih jauh lagi terhadap penyelenggaraan

pemerintahan. Perubahan ini serta implikasi hukumnya layak untuk dikaji lebih jauh karena

hal-hal yang diubah adalah hal penting seputar hukum materiil Peradilan Tata Usaha Negara

yang mana Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu perwujudan dari prinsip

Indonesia sebagai negara hukum, utamanya dalam konteks melindungi kepentingan dari

masyarakat dalam berhadapan dengan Pemerintah.

Cita-cita negara hukum itu sendiri sejatinya lahir dari perspektif sejarah lahir sebagai

reaksi atas kekuasaan tidak terbatas yang telah mengakar pada raja-raja sejak zaman

absolutisme.1 Dalam mengartikan apa itu hukum, telah disepakati oleh para sarjana bahwa

hukum tidak dapat didefinisikan secara lengkap dalam semua hal, tetapi suatu negara hukum

dapat dilihat dari elemen-elemennya.2 Prof. Paul Scholten berpendapat bahwa elemen

pertama dari negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan negara terhadap warganya,

1
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, cet. 3 (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 2.
2
Ibid., hlm. 3.
dan batasan ini lah yang diatur oleh hukum.3 Pemikiran tersebut dapat terlihat diadopsi oleh

Negara Indonesia melalui Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (“Undang-Undang Dasar 1945”) mengenai diadakannya Kekuasaan

Kehakiman untuk menegakkan hukum dan peradilan, di mana salah satu lingkungan

peradilan yang di Indonesia yakni lingkungan peradilan tata usaha negara.

Dikaitkan dengan elemen penting negara hukum menurut Prof. Paul Scholten

sebagaimana disebutkan sebelumnya, pembatasan kekuasaan negara agar tidak terjadi

absolutisme dapat dilakukan salah satunya dengan cara mengadakan lembaga peradilan

independen untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan negara.

Sebagaimana diketahui, negara sebagai sebuah organisasi dijalankan oleh suatu

pemerintahan, dan dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah memiliki wewenang

yang diamanatkan terhadapnya. Wewenang tersebut di antaranya meliputi melakukan

tindakan-tindakan serta mengeluarkan keputusan-keputusan untuk mengakomodasi

kepentingan warga masyarakat.

Norma Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 mengenai macam-macam

lingkungan peradilan di Indonesia diatur lebih lanjut melalui Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan

Kehakiman”) yang di kemudian hari telah dilakukan perubahan-perubahan. Lalu, sebagai

pengejawantahan dari UU Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Dasar yang secara

spesifik mengakui keberadaan lingkungan peradilan tata usaha negara, dibuatlah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN

1986”). Seiring berjalannya waktu, UU PTUN 1986 telah mengalami beberapa kali

perubahan, yaitu melalui diterbitkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 serta

3
Ibid.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan serta perubahan kedua UU PTUN

1986 (selanjutnya ketiganya disebut secara berbarengan sebagai “UU PTUN”).

Materi dari UU PTUN secara garis besar adalah hal baru dalam tata dan susunan

hukum Indonesia. UU PTUN 1986 menjadi undang-undang pertama yang mengatur secara

khusus dan menyeluruh baik mengenai urusan materiil maupun formil dari hukum dan

peradilan tata usaha negara. Ruang lingkup pengaturan UU PTUN mencakup susunan dan

kekuasaan Pengadilan Tata Usaha Negara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan

ketentuan-ketentuan penunjang lain. Jika diklasifikasikan, Pasal 1 sampai Pasal 52 UU PTUN

1986 adalah pengaturan dalam hal hukum materiil yaitu mengenai hukum tata usaha negara

itu sendiri, sedangkan aturan-aturan setelahnya yakni Pasal 53 sampai Pasal 145 merupakan

kaidah hukum formil tentang hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara.4

Pembentukan lembaga peradilan dalam lingkungan peradilan tata usaha negara

dibentuk sebagai usaha pemerintah untuk menata kehidupan masyarakat untuk mencapai

kesejahteraan umum, di mana dalam penataan kehidupan masyarakat dapat timbul sengketa

antara pemerintah atau tata usaha negara dengan anggota masyarakat. 5 Penyelesaian sengketa

tersebut tentunya perlu diselesaikan secara adil dan cepat melalui lembaga peradilan yang

independen mengingat Indonesia adalah negara yang melandasi keberadaannya dengan sendi

hukum. Sengketa yang diajukan ke forum peradilan tata usaha negara bukanlah sengketa

perdata, melainkan sengketa dalam bidang hukum tata usaha negara yang timbul akibat

adanya ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh suatu badan atau pejabat tata usaha negara.6

Maka dari itu, sengketa tata usaha negara termasuk sengketa dalam bidang hukum publik

karena melibatkan badan atau pejabat tata usaha negara yang dianggap memegang

kewenangan yang mewakili kepentingan publik.

4
Dola Riza, “Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,” Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 (2018), hlm. 86.
5
Ibid., hlm. 12.
6
Ibid.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, lingkup ketentuan yang diatur dalam UU

PTUN 1986 mencakup hukum materiil dan formil dari hukum dan peradilan tata usaha

negara. Pada bagian paling awal, UU PTUN 1986 memberi definisi dan ruang lingkup dari

Tata Usaha Negara (“TUN”) itu sendiri yakni merupakan Administrasi Negara yang

melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di

daerah.7 Sementara itu, Sengketa TUN didefinisikan sebagai berikut.

“Sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.8
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi objek gugatan dalam

peradilan tata usaha negara menurut UU PTUN 1986 adalah Keputusan Tata Usaha Negara.

Pada pokoknya, orang atau badan hukum dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata

Usaha Negara (“PTUN”) atas suatu Keputusan Tata Usaha Negara. PTUN memiliki

kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa yang objeknya adalah

Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara sebagai objek sengketa TUN

didefinisikan melalui Pasal 1 angka 3 UU PTUN 1986 sebagai berikut.

“Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara oleh pemerintah adalah tindakan

administratif yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka

pelayanan publik di bidang administratif.9 Pengambilan keputusan tersebut dikenal dengan

administrasi pemerintahan.

7
Indonesia, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 5 Tahun 1986, LN No. 77 Tahun 1986,
TLN No. 3344, Ps. 1 angka 1.
8
Ibid., Ps. 1 angka 4.
9
Ibid., Ps. 86.
Dalam menyelenggarakan administrasi pemerintahan, pemerintah sampai pada

kesimpulan bahwa dibutuhkan suatu instrumen hukum untuk mengarahkan penyelenggaraan

pemerintahan menjadi lebih citizen friendly atau sesuai dengan harapan serta kebutuhan dari

masyarakat.10 Hal ini dipandang perlu untuk dijadikan landasan dan pedoman pemerintah

dalam melaksanakan tugas menjalankan pemerintahan. Atas dasar pemikiran tersebut,

pemerintah mengaktualisasikannya melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”). Aturan hukum ini

dicanangkan menjadi undang-undang payung atau umbrella act mengenai sistem

penyelenggaraan pemerintahan. UU Administrasi Pemerintahan dianggap diperlukan untuk

mengupayakan peningkatan tata pemerintahan yang baik atau good governance melalui

diserapnya asas-asas umum pemerintahan yang baik (“AUPB”) sebagai dasar penyelenggara

administrasi pemerintahan.11 Oleh karena itu lah UU Administrasi Pemerintahan turut

menjadi sumber hukum materiil PTUN.12 Salah satu poin penting dari pemberlakuan UU

Administrasi Pemerintahan adalah bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan yang

ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara

negara lainnya dimungkinkan untuk diuji melalui PTUN.13 Dari sini, dapat terlihat bahwa ada

irisan pengaturan antara ketentuan UU Administrasi Pemerintahan dengan UU PTUN yang

telah ada sebelumnya. Terdapat hal-hal dalam UU PTUN yang diatur berbeda dalam UU

Administrasi Pemerintahan, salah satunya mengenai objek sengketa TUN yakni keputusan

dan/atau tindakan pemerintah.

Di Indonesia, Hukum Administrasi Negara menjadi salah satu tonggak penting dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan apa yang diamanatkan di dalam

10
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014, LN No. 292 Tahun 2014,
TLN No. 5601, Bagian Penjelasan.
11
Maftuh Effendi, “Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia Suatu Pemikiran ke Arah Perluasan Kompetensi
Pasca Amandemen Kedua Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara,” Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 3
(2014), hlm 26.
12
Ibid.
13
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Bagian Penjelasan.
Undang-undang Dasar 1945 pada pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah

negara hukum sehingga apabila mengacu pada hal tersebut maka dalam menjalan

pemerintahannya harus berdasarkan undang-undang sebagai hukum yang berlaku dan juga

prinsip-prinsip negara hukum yang dianut oleh Indonesia.14 Dalam penyelenggaraan

pemerintahan tersebut salah satunya merupakan pengeluaran keputusan yang dilakukan oleh

pejabat pemerintahan sebagai realisasi daripada tindakan administrasi, untuk dapat

menciptakan sebuah tindakan administrasi yang dapat dikatakan adil bagi para pihak dan

berkesesuaian hukum di dalamnya maka perlu adanya aturan khusus yang menjadi dasar

pedoman. Sehingga apa yang diatur di dalam Hukum Administrasi Negara itu berkaitan

dengan kekuasaan, seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa salah satu realisasi dari

menjalankan pemerintahan berupa tindakan administrasi dalam mengeluarkan keputusan

yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan sebagai bentuk dari adanya kekuasaan. Unsur

adanya kekuasaan ini menjadi hal yang penting untuk diatur agar kekuasaan tersebut tidak

menjadi kesewenang-wenangan dan hal ini yang menjadi latar belakang keberadaan Hukum

Administrasi Negara.

Keberadaan Hukum Administrasi Negara merupakan sebuah implementasi dari

adanya penyelenggaraan pemerintahan yang terbentuk dalam kekuasaan negara yang

berdasarkan hukum dalam menjalankan tugas-tugas negara, pemerintahan serta

masyarakatnya.15 Sebagai pelaksanaan dari tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat diartikan bahwa tujuan negara Indonesia

memiliki makna yang sangat luas dan sebagai tantangannya tujuan bernegara tersebut harus

dapat diselaraskan dengan perkembangan zaman serta kebutuhan masyarakat. Tujuan

bernegara tersebut tercermin daripada penyelenggaraan pemerintahan yang merupakan

cakupan tugas administrasi pemerintahan, sehingga perlu adanya pengaturan atau pedoman
14
Ibid.
15
Dola Riza, “Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,” Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 (2018), hlm. 87
yang menjadi dasar agar penyelenggaraan pemerintahan dapat sesuai dengan kebutuhan

masyarakat dan negara. Sebagai perwujudan dari adanya dasar hukum dalam mengatur

penyelenggaraan pemerintahan, salah satunya dengan diterbitkannya Undang-Undang No 30

Tahun 2014 Tentang Hukum Administrasi Pemerintahan. Sebelum diterbitkannya

Undang-Undang 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, maka mengenai

pengaturan penyelenggaraan pemerintahan tercantum di dalam suatu norma administrasi

negara yang belum terkodifikasi di dalam bentuk Undang-Undang. 16

Lahirnya Undang-Undang No 30 Tahun 2014 ini menjadi pedoman dasar bagi para

penyelenggara pemerintahan agar tunduk pada asas-asas yang berlaku, hal-hal di dalam

Undang-Undang No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan mengatur mengenai

hubungan yang terjalin antara pemerintahan sebagai pihak penguasa dengan warga

negaranya. Dalam hubungan antara Pemerintah dengan warga negaranya tercermin ke dalam

bentuk kekuasaan baik dalam membuat peraturan, menerapkan hukum, serta menjamin

kehidupan bernegara dapat berjalan sesuai dengan yang diamanatkan di dalam pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945. Kekuasaan tersebut harus terhindar dari merugikan warga

negaranya, salah satunya dalam mengeluarkan keputusan maka Pemerintah harus dapat

memperhatikan hak-hak warga negara yang khususnya terkena akibat hukum dari keputusan

tersebut. Oleh sebab itu, Undang-Undang No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi

Pemerintahan turut mengatur beberapa hal di dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1986

Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan hal ini yang menjadikan Undang-Undang

Administrasi Pemerintahan sebagai landasan hukum baru bagi hal-hal yang diatur dalam

Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara khususnya mengenai Objek Sengkata Tata

Usaha Negara yang berupa Keputusan Tata Usaha Negara.17 Pengaturan di dalam

16
Ayu Putriyanti, “Kajian Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dalam Kaitan dengan Pengadilan Tata
Usaha Negara”, Pandecta. Vol 10 (2015), hlm. 181
17
Dola Riza, “Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,” Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 (2018), hlm. 181
Undang-Undang No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Negara memberikan suatu

perluasan terhadap objek sengketa tata usaha negara berupa Keputusan Tata Usaha Negara

(KTUN) yang sebelumnya juga turut diatur di dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1968 jo

Undang-Undang No.9 Tahun 2014 jo Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Definisi KTUN di dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tercantum di dalam

pasal 1 angka 7 yang menyatakan bahwa Keputusan Administrasi atau disebut juga

Keputusan Tata Usaha Negara yang selanjutnya disebut keputusan adalah keputusan tertulis

yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan

pemerintahan.18 Namun di dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2014 memberikan beberapa

tambahan pengertian mengenai KTUN, hal ini tercantum dalam pasal 87 UU No. 30 Tahun

2014 yang menguraikan selanjutnya mengenai makna Keputusan Tata Usaha Negara. Salah

satu perubahan definisi KTUN dalam pasal 87 UU No.30 Tahun 2014 memaknai KTUN yang

tidak hanya berupa penetapan tertulis sebagaimana di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun

1986, namun dengan tambahan frasa “penetapan tertulis yang mencakup tindakan faktual”

sehingga akibat frasa tersebut maka menimbulkan makna perluasan terhadap objek sengketa

Tata Usaha Negara yang tidak terbatas berupa penetapan tertulis melainkan juga implikasi

dari sebuah tindakan faktual pemerintah yang dapat menimbulkan sengketa bagi pihak

terkait.19 Mengenai tindakan faktual tersebut harus dapat dimaknai sebagai suatu tindakan

pemerintah yang berdasarkan dengan landasan hukum yang jelas, maksudnya adalah pada

suatu tindakan pemerintah tersebut harus berdasarkan pada aturan hukum yang sudah ada

terlebih dahulu. Menurut pendapat Prof. Philipus M. Hadjon bahwa suatu tindakan

pemerintah belum tentu menimbulkan suatu akibat hukum melainkan suatu tindakan hukum

18
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014, LN No. 292 Tahun 2014,
TLN No. 5601, Ps. 1 angka 7.
19
Kartika Widya Utama, “Quo Vadis Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
Jis Undang-Undang No.51 Tahun 2009 dan Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam UU No.30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan”, Quo Vadis Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, hlm. 360
sudah pasti ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum.20 Oleh karena itu, pengertian KTUN

di dalam pasal 87 UU No.30 Tahun 2014 juga turut menimbulkan implikasi terhadap

kewenangan absolut dari Pengadilan Tata Usaha Negara.

Oleh sebab itu, tulisan karya ilmiah ini akan mengurai unsur pasal dari

masing-masing definisi dan ketentuan seputar KTUN sebagai objek gugatan di PTUN dari

perspektif UU PTUN sebagai instrumen hukum yang lama serta UU Administrasi

Pemerintahan yang telah mengubahnya. Lalu, akan dibahas juga mengenai

perbedaan-perbedaan penting antara pengaturan KTUN sebagai objek gugatan di PTUN

berdasarkan UU PTUN dan UU Administrasi Pemerintahan. Di bagian akhir, tulisan ini juga

akan membahas bagaimana implikasi hukum dari diberlakukannya UU Administrasi

Pemerintahan terhadap KTUN sebagai objek gugatan di PTUN. Dengan demikian, judul dari

tulisan ini adalah “Objek Gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara dalam Perspektif

Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Administrasi

Pemerintahan”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana definisi dan ketentuan mengenai objek gugatan di Pengadilan Tata

Usaha Negara berdasarkan UU PTUN dan UU Administrasi Pemerintahan?

2. Bagaimanakah perbedaan antara pengaturan objek gugatan di Pengadilan Tata

Usaha Negara dalam UU PTUN dan UU Administrasi Pemerintahan?

3. Bagaimana implikasi hukum dari ketentuan baru mengenai objek gugatan di

Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan umum:

20
Philiphus M. Hadjon et all, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian
Administration Law), Gadjah Mada University Press, Cetakan Pertama. hlm.78
Tulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk menganalisis objek gugatan di

Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal perbedaan pengaturannya dalam UU PTUN

dan UU Administrasi Pemerintahan. Selain itu, memberikan gambaran mengenai

implikasi hukum dari adanya perubahan pengaturan seputar objek gugatan di

Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut.

Tujuan Khusus:

1. Mengidentifikasi definisi dan ketentuan mengenai objek gugatan di

Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan UU PTUN dan UU Administrasi

Pemerintahan.

2. Menjelaskan mengenai perbedaan antara pengaturan objek gugatan di

Pengadilan Tata Usaha Negara dalam UU PTUN dan UU Administrasi

Pemerintahan.

3. Mengidentifikasi implikasi hukum dari ketentuan baru mengenai objek

gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan UU Administrasi

Pemerintahan.

D. Manfaat Penelitian

Tulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberi wawasan baru dalam ilmu

hukum sebagai pengembangan ilmu dalam bidang hukum tata usaha negara,

utamanya dalam ranah objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.

E. Metode Penulisan

Penulisan karya ilmiah mengenai Implikasi Undang-Undang No.30 Tahun

2014 tentang Administrasi Pemerintahan terhadap objek gugatan di Pengadilan Tata

Usaha Negara menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian Yuridis


Normatif merupakan metode penelitian hukum yang menelaah asas-asas hukum dan

sumber tertulis dengan menggunakan mengumpulkan data melalui penelitian yang

terdiri dari data sekunder yang merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier baik dari peraturan perundang-undangan, buku,

jurnal ilmiah, kamus, atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek gugatan di

Pengadilan Tata Usaha Negara.21 Penelitian ini dilakukan untuk menemukan

koherensi terkait dengan pengimplentasian UU No.30 Tahun 2014 terhadap objek

gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara apakah telah sesuai dengan norma atau

prinsip hukum yang berlaku.22

Mengenai analisis bahan hukum tersebut, penelitian ini menggunakan

pendekatan dengan data kualitatif yakni penelitian yang bersifat deskriptif. Deskriptif

dalam hal ini memberikan gambaran mengenai suatu peraturan perundang-undangan

yang berlaku terkait objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan

pengkajian apakah aplikasi peraturan tersebut sesuai dengan ketentuan normatifnya di

masyarakat. Selanjutnya, terkait metode pengumpulan data dilakukan dengan

langkah-langkah yang ditempuh berupa menghimpun bahan hukum primer yang

digunakan terdiri dari peraturan perundang-undangan yakni sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;

dan

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan

21
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hlm. 9-10
22
Vidya Prahassacitta, “Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Yuridis,”
https://business-law.binus.ac.id/2019/08/25/penelitian-hukum-normatif-dan-penelitian-hukum-yurudis/, diakses
pada 04 Oktober 2021.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Dalam hal pelaksanaan penelitian ini, analisis dilakukan secara cermat,

sistematis, metodologi dan konsisten berdasarkan fakta-fakta yang terjadi sehingga

dapat diketahui tujuan dari penelitian ini membuktikan adanya permasalahan

sebagaimana telah dirumuskan dalam perumusan permasalahan mengenai objek

gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara sejak diberlakukannya UU No.30 Tahun

2014.23

23
Heni Muchtar, Analisis Yuridis Normatif Sinkronisasi Peraturan Daerah Dengan Hak Asasi Manusia,
“Humanus”, Vol. XIV No. 1, 2015, hal.85.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Ketentuan mengenai Objek Gugatan di Pengadilan Tata Usaha

Negara berdasarkan UU PTUN dan UU Administrasi Pemerintahan

Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili

suatu objek atau pokok sengketa antara seseorang atau badan hukum perdata yang

merasa kepentingan dirugikan oleh suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau

pejabat tata usaha negara berdasarkan Pasal 47 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara.24 Mengenai tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang dapat

digugat dalam pengadilan tata usaha negara diatur dalam Pasal 1 butir (3) dan Pasal 3

UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 25

Mengenai istilah sengketa tata usaha negara itu sendiri diatur lebih lanjut dalam Pasal

1 angka 10 UU No.51 Tahun 2009 yakni merupakan sengketa diantara orang atau badan

hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara di pusat maupun di daerah,

atas keluarnya keputusan tata usaha negara yang mana termasuk pula sengketa

kepegawaian sebagaimana diatur dalam undang-undang yang berlaku.26 Sengketa tata

usaha memiliki tolok ukur tertentu seperti tolok ukur dari segi subjek yakni para pihak

yang bersengketa atas hukum administrasi negara dan tolok ukur pangkal sengketa yang

merupakan sengketa bidang administrasi negara yang diakibatkan oleh suatu ketetapan

hasil perbuatan administrasi negara yang mana sengketa tata usaha negara terjadi

24
Wahyu Adi Putra, “Alasan Mengajukan Gugatan di Pengadilan Tata Usaha,” (makalah ini disampaikan oleh
Universitas Ekasakti, Padang, 2020), hlm.4.
25
H. Yodi Martono Wahyunadi, Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Sistem Peradilan di
Indonesia,https://ptun-jakarta.go.id/wp-content/uploads/file/berita/daftar_artikel/Kompetensi%20Pengadilan%2
0Tata%20Usaha%20Negara%20Dalam%20Sistem%20Peradilan%20Di%20Indonesia.pdf. Diakses pada 04
Oktober 2021.
26
Indonesia, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No.51 Tahun 2009, Ps.1 ayat (10).
dikarenakan Keputusan Tata Usaha Negara terdapat unsur perbutan melawan hukum

yang dilakukan oleh penguasa atau dapat disebut sebagai onrechtsmatig overheidsdaad.

Sengketa administrasi dibagi menjadi 2 (dua) yaitu diantaranya sengketa intern dan

sengketa ekstern. Sengketa intern adalah sengketa yang terjadi di dalam lingkungan

administrasi baik dari satu departemen maupun sengketa antar departemen. Intinya

sengketa intern merupakan suatu persoalan yang disebabkan oleh kewenangan pejabat

TUN yang disengketakan dalam satu departemen atau departemen lainnya. Sedangkan

mengenai sengketa ekstern adalah sengketa yang terjadi antara administrasi negara

dengan masyarakat yang mana subjek-subjek hukunya terdiri dari dua pihak ataupun

salah satu pihak haruslah administrasi negara baik administrasi negara tingkat pusat

maupun daerah.

Dalam melakukan perubatan tersebut badan atau pejabat seringkali melakukan

tindakan-tindakan melawan hukum, sehingga menimbulkan berbagai kerugian bagi yang

terkena dampak dari perbuatan badan atau pejabat administrasi negara tersebut.

Perbuatan administrasi negara (TUN) terdiri dari tiga macam yakni mengeluarkan

keputusan, mengeluarkan peraturan perundang-undangan, dan melakukan perbuatan

materiil.

Pasal 1 angka 10 UU No.51 Tahun 2009 berbunyi:

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha

negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata

usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya

keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Dari bunyi pasal tersebut dapat diketahui bahwa subjek sengketa tata usaha negara

yaitu orang (individu) atau badan hukum perdata dan badan atau pejabat tata usaha

negara sedangkan untuk objek sengketa yakni Keputusan Tata Usaha Negara.

Pada dasarnya objek dari sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha

Negara dimana menurut Pasal 1 angka 9 UU No.51 Tahun 2009 merupakan suatu

penetapan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha

negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.27

Dalam sengketa tata usaha tidak mengenal adanya rekonvensi yang mana kedudukan

para pihak berubah yang pada awalnya penggugat menjadi tergugat dan sebaliknya

tergugat menjadi penggugat. Kedudukan Tergugat harus selalu badan atau pejabat TUN

yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang telah diberikan kepadanya.

Mengenai wewenang dapat dilakukan secara atributif yakni berdasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku, delegasi yang mana badan atau pejabat TUN

memperoleh wewenang dari orang yang telah mendelegasikan kepadanya. Serta

pelimpahan wewenang berdasarkan mandat yang mana ditinjau dari segi hubungan

hierarkis. Sedangkan untuk kedudukan Penggugat adalah orang atau badan hukum

perdata yang terdiri dari kelompok-kelompok tertentu seperti halnya orang-orang atau

badan hukum perdata, individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang memiliki

kepentingan atau terkena dampak secara tidak langsung dari keputusan yang dikeluarkan,

dan organisasi-organisasi kemasyarakatan.

27
Ibid., Ps.1 ayat (9).
Berdasarkan pengertian mengenai Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat

dijelaskan lebih lanjut berdasarkan sarat-sarat Keputusan Tata Usaha Negara diantaranya

terdiri dari :

1. Keputusan Tata Usaha Negara merupakan suatu penetapan yang dikeluarkan

secara tertulis

Menurut UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 51 Tahun 2009 dijelaskan bahwa

pada nota haruslah tertulis diantaranya:

1. Badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarkan keputusan tersebut;

2. Menjelaskan isi dari keputusan tersebut;

3. Menjelaskan lebih lanjut mengenai siapa yang akan dituju atas keputusan tersebut.

Kemudian, berdasarkan penjelasan yang dikemukakan oleh Indroharto bahwa

penetapan tertulis terfokus pada isi, bukan pada bentuk formal sebagaimana

dikeluarkan oleh oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara, sehingga sebuah nota

tetap bisa dianggap memenuhi syarat tertulis.28

2. Keputusan Tata Usaha Negara dikeluarkan oleh badan hukum atau pejabat Tata

Usaha Negara

Keputusan Tata Usaha Negara dikeluarkan tidak terbatas hanya pada instansi

dalam lingkungan pemerintah, namun instansi yang berada dalam lingkungan

kekuasaan legislatif maupun yudikatif atau mungkin pihak swasta atau siapapun

yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang

melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan dan/atau menjalankan fungsi di

bidang eksekutif.

3. Keputusan Tata Usaha Negara berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara

28
Endra Wijaya, Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cet.1, (Jakarta: Pusat Kajian Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila, 2019), hlm.24.
keputusan badan atau pejabat Tata Usaha Negara harus merupakan suatu tindakan

hukum artinya menimbulkan suatu akibat hukum bagi hukum Tata Usaha Negara.

4. Keputusan Tata Usaha Negara bersifat konkret, individual, dan final

- Konkret merupakan objek yang diputuskan dalam keputusan Tata Usaha

Negara dapat ditentukan. Semisal pencabutan izin usaha atas nama

orang terkait.

- Individual yakni keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk

kepentingan umum umum akan tetapi kepada orang tertentu.

- Final yaitu keputusan Tata Usaha Negara itu sudah dapat menimbulkan

akibat hukum tertentu bagi pihak yang telah tertuju.

5. Menimbulkan adanya akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata29

Keputusan Tata Usaha tersebut apabila dilaksanakan akan menimbulkan akibat

hukum bagi seseorang atau badan hukum tetapi apabila tidak bukan merupakan

tindakan hukum.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat 9 UU No.51 Tahun 2009 dan Pasal 3 UU

No.5 Tahun 1986 objek sengketa Tata Usaha Negara berupa Keputusan Tata Usaha

Negara dibagi menjadi dua kelompok yaitu teridiri dari:

1. Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Positif

Dalam tahun 2014 hingga 2019, terdapat 3 (tiga) fase dalam pemeriksaan

hukum acara tata usaha negara dengan permasalahan fiktif positif yang Pra-

Perma No.5 TAHUN 2015, Perma No.5 Tahun 2015, dan Perma No.8 Tahun

2017. Pada tahap-tahap tersebut Mahkamah Agung dengan didasarkan pada

corrective justice yang mana mengoreksi adanya ketidak adilan dalam

hubungan antara pihak yang satu dengan yang lainnya dan meluruskan

29
Wahyu Adi Putra,Ibid., hal. 3
putusan judex factie yang dinilai keliru dalam hal penerapan fiktif positif.

Sejatinya PTUN bersifat final dan mengikat akan tetapi Mahkamah Agung

membuka ruang bagi upaya peninjauan kembali atas putusan PTUN.

Dalam hal perkara fiktif positif Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak

mengeluarkan keputusan, sedangkan hal ini menjadi kewajiban, maka dapatlah

disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. Semisal: pada bidang

kepegawaian terdapat pejabat atasan yang memiliki kewenangan untuk

membuat daftar penilaian yang mana jika tidak dikerjakan Pegawai Negeri

Sipil di bawahnya akan dirugikan maka dapatlah PNS tersebut mengajukan

gugatan terhadap atasannya.30

2. Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif

Mengenai adanya istilah Keputusan Tata Usaha Negara “Fiktif Negatif” yang

memuat konteks “fiktif”, memperlihatkan bahwa Keputusan Tata Usaha

Negara menjadi suatu objek gugatan Tata Usaha Negara yang tidak

berwujud.31

Terkait dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan

Keputusan yang dimohon sebagaimana jangka waktu yang telah ditentukan

maka dianggap menolak keputusan tersebut.

Jika dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mengatur

lebih lanjut mengenai jangka waktu maka setelah lewat waktu 4 (empat) bulan

sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

bersangkutan dianggap mengeluarkan Keputusan Penolakan.32

30
Budi Sastra Pandjaitan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cet.1, (Medan: CV Manhaji, 2016),
hlm.33.
31
Erlin Triartha Yuliani,Perbandingan Antara Konsep Fiktif Negatif Dalam UU 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara Dengan Konsep Fiktif Positif dalam UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, “Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Universitas Pendidikan Ganesha,” Vol.6 No.1, 2020, hal.68.
32
Indonesia, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No.5 Tahun 1986, Ps.3.
Pada intinya berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 UU No.5 Tahun 1986

bahwa dalam Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif ini Pejabat atau

Badan Tata Usaha Negara telah melakukan sikap diam terhadap permohonan

atas KTUN. Atas sikap diam dapat dianggap sebagai Keputusan Penolakan. 33

Dalam hal Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif dapat diaplikasikan

dalam pelayanan publik seperti halnya permohonan orang atau badan hukum

perdata untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) kepada Kantor

Pelayanan Tata Kota di suatu Kota yang mana jika telah melengkapi

persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh ijin tetapi sudah tenggang

waktu yang lama sekitar kurang lebih 4 (empat) bulan setelah diajukannya

permohonan, maka orang atau badan hukum perdata berhak untuk mengajukan

gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara atas sikap diam pejabat

Pelayanan Tata Kota yang tidak kunjung memberikan jawaban baik ditolak

atau diterima terhadap permohonan atas surat Izin Mendirikan Bangunan.34

Keputusan Tata Usaha Negara yang diputus pada Pengadilan Tata Usaha Negara

haruslah memuat unsur-unsur tersebut. Selanjutnya menurut P. De Haan dalam buku

nya “Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat”, Keputusan Tata Usaha dibagi menjadi

beberapa macam yakni:

1. Keputusan Tata Usaha Negara Perorangan dan Kebendaan (Persoonlijk en

Zakelijk)

33
I Putu Agus Prapta, I Ketut Tjukup, dan Nyoman A. Martana, Sikap Diam Badan atau Pejabat Pemerintahan
Sebagai Objek Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara, “Jurnal Udayana”, hal.6
34
Budiamin Rodding, Keputusan Fiktif Negatid dan Fiktif Positif dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan
Publik, “Tanjungpura Law Journal,” Vol.1 Issue 1, 2017,26-3, hal.31.
- Keputusan Tata Usaha yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara kepada seseorang atas kualitas pribadi, seperti halnya

SIM.35

- Keputusan Kebendaan adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang

diterbitkan berdasarkan benda yang dapat dialihkan kepada orang lain,

seperti BPKP.

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang Bebas dan Terikat (Vrij en Gebonden)

- Keputusan Tata Usaha Negara bebas merupakan Keputusan Tata

Usaha Negara yang terbit berdasarkan asas kebebasan bertindak.

Contoh : SK Pemberhentian PNS.

3. Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat memberi beban dan memberi

menguntungkan (Belastend en Begunstigend)

- Keputusan Tata Usaha Negara yang memberi Beban adalah keputusan

yang memberikan kewajiban pada orang atau badan hukum perdata.

Contoh :SK tentang Pajak dan Retribusi.

- Keputusan Tata Usaha Negara yang menguntungkan adalah

Keputusan Tata Usaha Negara yang memberikan keuntungan bagi

pihak tertentu, diantaranya SK pemutihan pembayaran pajak yang

telah kadaluarsa.

4. Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Seketika dan Permanen (Einmalig

en Voortdurend).

35
Johny Fahrizal, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,” (makalah ini disampaikan oleh Universitas
Ekasakti, Padang, 2021), hlm.4.
- Keputusan Tata Usaha Negara seketika yaitu Keputusan Tata Usaha

Negara yang masa berlakunya hanya sementara dan berlaku sekali

pakai. Contoh : Surat izin pertunjukan hiburan.

- Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat pemanen merupakan

Keputusan Tata Usaha Negara masa berlakunya uselama-lamanya,

kecuali adanya perubahan atau peraturan baru. Contoh : Sertifikat

Tanah dengan Hak Milik.

Dalam hal pengertian, Keputusan Tata Usaha Negara terdapat pengecualian.

Menurut Indroharto, pada dasarnya tindakan hukum adalah keputusan Tata

Usaha Negara tetapi yang dikeluarkan secara lisan, seperti anggota polisi yang

mengatur lalu lintas tidak termasuk dalam keputusan Tata Usaha yang dapat

dijadikan objek.36 Kemudian dalam Pasal 2 UU No.9 Tahun 2004 diatur lebih lanjut

mengenai pengecualian pengertian yakni diantaranya:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;

Keputusan Tata Usaha Negara sebagai bentuk perbuatan perdata dapat

disangkutkan dengan masalah seperti jual beli yang dilakukan anatar

pemerintah dengan orang yang terdapat pada ketentuan hukum perdata.

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat pengaturan umum;

Maksud dari pengaturan yang bersifat umum adalah pengaturan yang

mengandung norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan

yang mengikat setiap orang.

3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih diperlukannya persetujuan;

36
Endra Wijaya,Ibid., hlm.30-31.
Keputusan Tata Usaha Negara memerlukan persetujuan intansi atasan. Hal ini

dilakukan karena adanya pengawasan administratif yang bersifat preventif dan

keseragaman kebijaksanaan.

4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP

dan KUHAP atau Peraturan lain yang mengatur bidang pidana;

Hal ini dapat dicontohkan seperti pidana lalu lintas, dimana terdakwa dipidana

dengan pidana bersyarat yang mewajibkan pelaku membiayai korban

kecelakaan. Atas kewajibannya tersebut maka jaksa berdasar pada Pasal 14

huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditunjuk mengawasi dipenuhi

atau tidaknya syarat yang dijatuhkan dalam pidana tersebut.

Keputusan Tata Usaha Negara didasarkan pada Ketentuan dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat dicontohkan sebagai surat

perintah penahanan terhadap tersangka.37

5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan

badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku; dan

6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional

Indonesia, dan Keputusan Komisi Pemilihan Umum di pusat ataupun di

daerah mengenai hasil pemilihan umum.38

Jika dibandingkan dengan Pasal UU No.5 Tahun 1986 dan Pasal 2 UU No.9

Tahun 2004 adalah perubahan pada poin 6. Walaupun berubah dari segi substansi

pada ketentuan Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 tidak menutupi kekurangan yang

terdapat pada Pasal 2 UU No.5 Tahun 1986. Dapatlah diperhatikan sebagaimana

37
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cet.8, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2014), hlm. 72
38
Indonesia, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No.9 Tahun 2004, Ps.2.
penjabaran dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No.9 Tahun 2004 yakni

diantaranya:

Keputusan Tata Usaha negara memang pada dasarnya yang menjadi objek di

Pengadilan Tata Usaha. Namun, terdapat beberapa pembatasan yang mana terdapat

beberapa jenis Keputusan yang karena sifatnya tidak dapat dikategorikan sebagai

pengertian Keputusan Tata Usaha Negara dalam Undang-Undang tersebut.39

Dalam rentang tahun 1991 hingga saat ini, telah terdapat banyak

perkembangan hukum administrasi dalam kehidupan pemerintahan, salah satunya

dengan disahkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan (Undang-undang Administrasi Pemerintahan) yang menjadi paradigma

baru dalam beracara di Peradilan Tata Usaha Negara. Terdapat beberapa pasal dalam

Undang-undang Administrasi Pemerintahan yang membuka paradigma baru

mengenai penyelenggaraan peradilan, salah satunya yaitu adanya perluasan mengenai

objek sengketa di Peradilan TUN yang diatur dalam Undang-Undang No. 51 Tahun

2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang

Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut Undang-undang Peradilan TUN).

Objek sengketa sesuai Pasal 1 huruf c Undang-undang Peradilan TUN

sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu penetapan tertulis berupa

keputusan tata usaha negara yang bersifat konkrit, individual dan final serta

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Terdapat

perluasan makna keputusan tata usaha negara dalam Undang-undang Administrasi

Pemerintahan, berdasarkan Pasal 1 angka 7 dan angka 8 Jo. Pasal 87, dimana objek

39
Ibid., hlm.70
sengketa berupa keputusan ini diperluas menjadi Keputusan berupa penetapan tertulis

dan Tindakan berupa perbuatan konkret.40

Agar tidak terjadi konflik norma antara Undang-undang Peradilan TUN

dengan Undang-undang Administrasi Pemerintahan maka kedua definisi keputusan

ini dijembatani melalui Pasal 87 Undang-undang Administrasi Pemerintahan.41 Pasal

87 Undang-undang Administrasi Pemerintahan mengatur ketentuan sebagai berikut:

“Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai

sebagai:

a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;

b. keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan

eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;

c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;

d. bersifat final dalam arti lebih luas;

e. keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau

f. keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.”

Unsur-unsur keputusan tata usaha negara menurut Pasal 87 UU Administrasi

Pemerintahan diatas yaitu:42

1. Penetapannya merupakan penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan

faktual.
40
Muhammad Amin Putra, “Keputusan Tata Usaha Negara yang Berpotensi Menimbulkan Akibat Hukum
Sebagai Objek Sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Hukum Peratun, Vol. 3 No.1, Februari 2020,
hlm. 3.
41
Muhammad Noor Halim dan Muhammad Adiguna Bimasakti, Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara dan
Persidangan Elektronik (e-Court) (Jakarta: Prenada Media, 2020), hlm. 34.
42
Anita Marlin Restu Prahastapa, Lapon Tukan Leonard dkk, “Friksi Kewenangan PTUN dalam Berlakunya
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Berkaitan dengan Objek
Sengketa Tata Usaha Negara”, Diponegoro Law Journal, Vol. 6 No. 2, Agustus 2017, hlm. 9.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (9) Undang-undang Peradilan TUN, suatu

keputusan tata usaha negara merupakan penetapan tertulis yang menunjuk

kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan

atau Pejabat tata usaha negara. Pengaturan mengenai penetapan tertulis ini

direvitalisasi ke dalam UU Administrasi Pemerintahan. Menurut

Undang-undang Administrasi Pemerintahan, setiap tindakan faktual yang

dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara bisa saja

menimbulkan akibat hukum berupa kerugian bagi masyarakat.43 Selain itu,

setiap tindakan yang dilakukan dalam rangka persiapan, pembuatan, serta

pemenuhan Keputusan Tata Usaha Negara juga dapat diajukan gugatan.

2. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan

eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya.

Kegiatan dalam menerbitkan keputusan tata usaha negara dan

melakukan tindakan yang diatur dalam Undang-undang Peradilan TUN dan

Undang-undang Administrasi Pemerintahan merupakan suatu tindakan

hukum. Tindakan hukum Badan atau Pejabat tata usaha negara adalah suatu

pernyataan kehendak yang muncul dari organ administasi dalam keadaan

khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam hukum

administrasi.44

Perbuatan/Tindakan Pemerintahan dalam kajian Hukum Administrasi

Negara di Indonesia, digolongkan menjadi 3 (Tiga) jenis yang terdiri dari:45

1. Melakukan Perbuatan Materiil (Materiele Daad);

43
Dola Riza, “Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara dan
Undang-undang Administrasi Pemerintahan”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 3 No. 1, September 2018, hlm.
93.
44
Ibid.
45
Kartika Widya Utama, “Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang Bersifat Fiktif Positif”, Jurnal Notarius,
Vol. 8 No. 2, September 2015, hlm. 145.
2. Mengeluarkan Peraturan (regeling);

3. Mengeluarkan keputusan/ketetapan (beschikking).

Berdasarkan golongan perbuatan hukum diatas, perbuatan hukum yang

diatur dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara hanya mengenai

perbuatan pemerintah dalam mengeluarkan keputusan/ketetapan

(beschikking). Sedangkan dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan,

terdapat perluasan objek sengketa tata usaha negara yaitu dengan menjadikan

Perbuatan Materiil (Materiele Daad) sebagai bagian dari pengertian keputusan

tata usaha negara, sehingga tidak hanya terbatas dalam ranah pembuatan,

penerbitan dan keabsahan keputusan tata usaha negara, melainkan juga telah

memasukkan tindakan faktual (materiil) dalam rangka pelaksanaan keputusan

tata usaha negara dalam menjalankan fungsi pemerintahan.

3. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan asas-asas umum

pemerintahan yang Baik.

Unsur ini menimbulkan akibat hukum. Tujuan dari tindakan hukum ini

adalah menimbulkan akibat hukum. Akibat-akibat hukum dari tindakan Badan

atau Pejabat tata usaha negara tersebut dapat berupa:46

1. Menimbulkan beberapa perubahan hak, kewajiban atau kewenangan

yang ada;

2. Menimbulkan perubahan kedudukan hukum bagi seseorang atau objek

perdata;

3. Terdapat hak, kewajiban, kewenangan, ataupun status tertentu yang

ditetapkan.

46
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo, 2011), hlm. 23.
Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara berkehendak melakukan

tindakan hukum seperti pemberitahuan Surai Izin Mendirikan Bangunan

(IMB), Sertifikat Hak Milik (SHM), Surat Keputusan (SK) Kepegawaian, dan

lain-lain. Berdasarkan Undang-undang Administrasi Pemerintahan, tindakan

pemerintahan tidaklah cukup dengan melihat unsur “kehendak” dari suatu

Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, namun yang harus dicermati adalah kondisi

obyektif akibat adanya suatu tindakan pemerintahan.47 Keputusan yang

berpotensi menimbulkan akibat hukum didefinisikan sebagai keputusan tata

usaha negara yang dapat dijadikan obyek sengketa tata usaha negara

menimbulkan akibat hukum.

4. Bersifat final dalam arti luas.

Berdasarkan Undang-undang Peradilan TUN, final artinya sudah

definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang

masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat

final sehingga belum menimbulkan suatu hak atau kewajiban. Suatu keputusan

tata usaha negara telah menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan

hukum perdata. Akan tetapi, berdasarkan Undang-undang Administrasi

Pemerintahan, final diartikan lebih luas yaitu termasuk keputusan yang

diambil alih oleh atasan pejabat yang berwenang.

5. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum.

Unsur Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum telah

membawa implikasi terhadap eksistensi Pasal 2 yang mengatur pembatasan

objek gugatan di Peradilan TUN dan Pasal 62 ayat (1) huruf e mengenai

proses dismissal oleh Ketua Pengadilan terkait gugatan diajukan sebelum

47
Dola Riza, loc.cit., hlm. 93.
waktunya atau telah lewat waktunya dalam UU 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara.48 Berdasarkan Undang-undang Administrasi

Pemerintahan, objek sengketa tidak hanya dimaknai yang sudah menimbulkan

akibat hukum secara nyata, namun suatu keputusan yang dinilai dapat

memberikan potensi berubahnya status hukum atau hubungan hukum atau

berdampak hukum terhadap orang atau badan hukum perdata, dapat digugat di

Pengadilan TUN.

6. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat menambah makna

dari Individual dalam kriteria sebuah keputusan tata usaha negara serta

memperluas peluang legal standing warga masyarakat atau kelompok dalam

mengajukan gugatan di PTUN. Pemaknaan keputusan tata usaha negara

sebagai sebuah keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat sangat relevan

dengan asas yang berlaku terhadap pemberlakuan putusan PTUN yaitu asas

erga omnes. Asas erga omnes artinya daya berlaku putusan tersebut mengikat

secara publik, di samping mengikat para pihak yang bersengketa (inter pares),

juga mengikat bagi siapapun di luar pihak-pihak yang bersengketa.49

Konsep mengenai Keputusan Tata Usaha Negara yang diatur dalam

Undang-undang Administrasi Pemerintahan lebih menyeluruh serta memperluas

kompetensi dalam Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga menimbulkan konstruksi

baru tentang elemen-elemen yang terkandung dalam keputusan tata usaha negara yang

akan menjadi obyek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara.50

48
Muhammad Amin Putra, loc.cit., hlm. 2-3.
49
Elisabeth Putri Hapsari, Lakon Tukan Leonard, dan Ayu Putriyanti, “Kewenangan Hakim Peradilan Tata
Usaha Negara Menggunakan Asas Ultra Petita Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.
32/G/2012/PTUN.SMG”, Diponegoro Law Journal, Vol. 6 No. 2, 2017, hlm. 5.
50
Dola Riza, loc.cit., hlm. 88.
B. Perbedaan antara Pengaturan Objek Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara

dalam UU PTUN dan UU Administrasi Pemerintahan

Pasca berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

membawa perubahan yang cukup berarti terhadap praktik penyelenggaraan Peradilan Tata

Usaha Negara di Indonesia, karena terdapat pemaknaan baru yang lebih luas terhadap

keputusan yang menjadi objek sengketa dan perubahan hukum acara di Peradilan Tata Usaha

Negara yang dapat dilihat mulai dari rumusan definisi tentang Keputusan Tata Usaha Negara.

Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara mengatur bahwa, Keputusan

Tata Usaha Negara (Obyek sengketa Tata Usaha Negara) adalah suatu penetapan tertulis yang

dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata

Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat

konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan

hukum perdata.51 Ketentuan Pasal 1 angka 3 tersebut mengandung unsur-unsur:

1. Penetapan tertulis

2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata usaha Negara

3. Yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara

4. Bersifat konkrit

5. Individual

6. Final

7. Yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata

Sementara, definisi dari Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara

(yang dapat menjadi Obyek Sengketa TUN) pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang

Administrasi Pemerintahan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau

51
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 1 Angka 3.
Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.52 Ketentuan Pasal 1 angka 7

tersebut mengandung unsur-unsur:

1. Ketetapan tertulis

2. Dikeluarkan oleh Badan dan /atau Pejabat Pemerintahan

3. Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Kemudian definisi dari keputusan tersebut menjadi semakin luas lagi dilihat dari ketentuan

pada Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan yakni:

“Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan

Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:

1. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;

2. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif,

legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;

3. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;

4. bersifat final dalam arti lebih luas;

5. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau Keputusan yang

berlaku bagi Warga Masyarakat.”53

52
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 1 Angka 7.
53
Ibid, Pasal 87.
Berdasarkan perbedaan unsur yang terdapat pada kedua Undang-Undang tersebut, terlihat

bahwa pengaturan mengenai keputusan yang menjadi objek sengketa TUN pada

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah mengurangi dan menghilangkan beberapa

unsur yang terdapat pada Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara sehingga cakupan

pengertiannya menjadi semakin luas. Perluasan pemaknaan keputusan TUN berdasarkan

Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan kemudian mempengaruhi perluasan kompetensi dan

perubahan aspek hukum formil Peradilan Tata Usaha Negara.

Mengenai kompetensi Peradilan TUN terhadap tindakan administrasi pemerintahan/tindakan

faktual pejabat TUN yang terdapat pada ketentuan pada Pasal 75 Ayat 1 jo. Pasal 76 Ayat 3

jis. Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, dapat dikatakan bahwa

Peradilan Tata Usaha Negara memperoleh suatu kewenangan baru dalam sengketa Tata

Usaha Negara dengan objek sengketanya yaitu tindakan nyata atau fisik (feitelijke handeling)

yang dilakukan oleh pemerintah berupa tindakan administrasi pemerintahan. Sebelumnya,

berdasar UU Peratun obyek sengketa TUN terbatas hanya keputusan TUN dalam bentuk

tertulis (rechtelijke handelingen) saja. Sebagaimana diketahui, sebelum berlakunya UU No.

30 Tahun 2014, Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan faktual administrasi

Pemerintahan adalah menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum, yakni dalam format

gugatan perbuatan melawan hukum penguasa (onrechtmatige overheidsdaad).54

Kemajuan teknologi yang semakin pesat juga membawa dampak kepada kompetensi

Peradilan Tata Usaha Negara terhadap bentuk baru dari keputusan. Berdasarkan ketentuan

yang terdapat dalam Pasal 38 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Adminstrasi

Pemerintahan, terjadi perubahan dalam bentuk keputusan yaitu berupa keputusan elektronis

54
Bambang Heriyanto. “Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Paradigma UU No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan”. Pakuan Law Review, Volume IV, Nomor 1, Januari-Juni 2018.
Hlm. 83
yakni segala keputusan dapat dibuat atau disampaikan menggunakan atau memanfaatkan

media elektronik. Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan saat ini dapat membuat Keputusan

yang berbentuk elektronis dan keputusan elektronis tersebut wajib dibuat atau disampaikan

apabila suatu keputusan tidak dibuat atau disampaikan secara tertulis. Keputusan yang

berbentuk elektronis juga telah memiliki kekuatan hukum yang sama dengan keputusan yang

dibuat secara tertulis dan dinyatakan berlaku sejak diterimanya keputusan tersebut oleh pihak

yang bersangkutan.

Penanganan sengketa Tata Usaha Negara dengan objek sengketa keputusan yang berbentuk

elektronis, tentu harus sangat hati-hati, mengingat produk yang bersifat elektronis ini

berhadapan dengan tantangan kemajuan di bidang informasi teknologi yang berkembang

pesat dan sangat cepat, sehingga produk hukum yang berbentuk elektronis ini akan rawan

dengan kecurangan atau manipulasi. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dituntut selalu

meng-upgrade pengetahuan dan keterampilannya di bidang teknologi informasi (IT) ini.55

Pasca diberlakukannya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, kompetensi Peradilan

Tata Usaha Negara juga diperluas dalam hal kewenangannya. Berdasarkan Pasal 21

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, dimana Pengadilan memiliki wewenang untuk

menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan dalam

keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan oleh Pejabatan Pemerintahan. Saat muncul

indikasi adanya penyalahgunaan wewenang, maka pejabat terindikasi tersebut dapat

menggunakan upaya hukum ke Peradilan Tata Usaha Negara guna melakukan pemeriksaan

ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang tersebut.

Pengujian unsur penyalahgunaan wewenang memiliki pedoman beracara tersendiri yang

telah dituangkan dalam PERMA No. 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam

55
Ibid.
Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang. Jika UU PTUN mempergunakan istilah

“gugatan”, pada PERMA No. 4 Tahun 2015 mempergunakan istilah “permohonan”. Melalui

definisi permohonan dalam PERMA 4 Tahun 2015 tersebut, terjadi perluasan kewenangan

bagi PTUN dalam menyelesaikan sengketa TUN yang dirumuskan pada Pasal 1 angka 4 UU

PTUN.56

Semula sengketa TUN dimaknai sebagai sengketa yang bersifat partai yaitu antara orang

atau badan hukum perdata sebagai penggugat dan Badan atau Pejabat TUN sebagai tergugat.

Dengan PERMA 4 Tahun 2015 sengketa TUN dalam UU PTUN diperluas dengan bentuk

permohonan yang diajukan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan. Sehingga mekanisme

pengawasan yudisial yang dilakukan oleh PTUN tidak hanya melalui mekanisme suatu

gugatan oleh orang atau badan hukum perdata, tetapi juga melalui mekanisme suatu

permohonan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan. Pola ini menuntut sebuah kemampuan

bagi hakim PTUN untuk menanggalkan paradigma pengujian dengan logika kalah dan

menang. Namun dengan pengujian unsur penyalahgunaan wewenang ini, paradigma lebih

berorientasi pada benar dan tepatnya sebuah analisa atau kajian terhadap materi yang

dimohonkan. 57

UUAP pun mengatur kewenangan PTUN mengadili terhadap upaya administratif

sebagaimana diatur Pasal 76 ayat (3) UUAP, dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima

atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan

ke PTUN. Dengan demikian terdapat dua norma hukum yang mengatur upaya administratif.

Kaitannya dengan selesainya upaya aministratif warga masyarakat masih hendak mengajukan

ke pengadilan, terdapat dua pengadilan yaitu PT.TUN sesuai Pasal 48 UU Peratun dan ke

56
Anggoro, Firna Novi. 2017. “Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Terhadap Keputusan dan/atau
Tindakan Pejabat Pemerintahan Oleh PTUN”. Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum 10 (4):647-70. Hlm. 653
57
Mawardi, Irvan. (2016). Paradigma Baru PTUN, Respon Peradilan Administrasi Terhadap Demokratisasi.
Yogyakarta: Thafa Media, p. 161.
PTUN sesuai Pasal 76 ayat (3) UUAP.58 Kemudian dengan diberlakukannya UU No. 30

Tahun 2014, maka seluruh Gugatan yang berasal dari Upaya Administratif merupakan

menjadi kewenangan Peradilan TUN Tingkat Pertama.

Selanjutnya mengenai kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam memutuskan terhadap

objek keputusan fiktif positif. Keputusan Fiktif Positif adalah keputusan yang merupakan

anggapan bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan telah menerbitkan keputusan yang

bersifat mengabulkan permohonan, dikarenakan tidak ditanggapinya permohonan yang

diajukan oleh pemohon sampai dengan batas waktu yang ditentukan atau apabila tidak

ditentukan telah lewat sepuluh hari setelah permohonan yang sudah lengkap diterima.

Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memutuskan mengenai penerimaan permohonan

yang diajukan pemohon tersebut.

Ketentuan dalam UU AP tersebut adalah berbeda dengan ketentuan pasal 3 UU Peratun yang

menganut rezim fiktif negatif. Artinya, Peradilan TUN berwenang mengadili gugatan

terhadap sikap diam Badan/Pejabat TUN yang tidak menerbitkan keputusan yang dimohon

atau yang menjadi kewajibannya, sikap diam mana adalah dipersamakan sebagai Keputusan

Penolakan (fiktif negatif). Berdasarkan ketentuan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan,

apabila dalam batas waktu sebagaimana ditentukan undang-undang, Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka

permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Prosedur penanganan sengketa

Fiktif positif ini juga mengubah hukum acara TUN konvensional, yakni di sana ada limitasi

waktu dan proses hanya terjadi di Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat satu, dan putusannya

bersifat final.59

58
Wahyunadi, Yodi Martono. 2016. “Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan”. Jurnal Hukum dan Peradilan,
Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 – 154. Hlm. 144-145.
59
Bambang Heriyanto. “Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Paradigma UU No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan”. Pakuan Law Review, Volume IV, Nomor 1, Januari-Juni 2018.
Hlm. 86-87
Disamping perubahan-perubahan sebagaimana terdapat dalam ketentuan yang sudah

dijelaskan sebelumnya, terdapat pula perubahan dalam hal hukum acara atau hukum formil

yang terjadi setelah Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mulai diberlakukan, yaitu:

1. Upaya hukum pasca Upaya Administratif tidak dapat diajukan di Pengadilan Tinggi

Tata Usaha Negara, tetapi melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. (Pengadilan tingkat

satu).

2. Dikenal adanya sengketa khusus dengan prosedur limitasi waktu khusus bagi sengketa

Penilaian unsur Penyalahgunaan wewenang dan Sengketa Tata Usaha Negara Fiktif

Positif.60

60
Ibid, Hlm. 88
C. Implikasi Hukum dari Ketentuan Baru Mengenai Objek Gugatan di Pengadilan

Tata Usaha Negara berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan

Peradilan Tata Usaha Negara telah berubah secara drastis yang ditandai sifat khusus

terhadap tindakan pemerintahan yang hanya bersifat konkrit dan individual, berubah menjadi

bersifat tindakan (Setelah UU 30/2014). Hadirnya UU 30/2014 tentang Administrasi

Pemerintahan (UU Pemerintahan) membuka gerbang baru terkait prosedur beracara di

Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Hal tersebut terbukti lewat adanya beberapa pasal

dalam ketentuan tersebut terkait penyelenggaraan peradilan seperti perluasan objek

Keputusan TUN, upaya administratif dan lain sebagainya. Pasal 87 UU 30/2014 menjelaskan

keputusan atau objek sengketa tata usaha negara juga termasuk tindakan faktual (faitelijke

handelingan). Utrecht berpendapat bahwa tindakan faktual merupakan tindakan yang tidak

menimbulkan akibat hukum sehingga tidak perlu untuk didiskusikan lebih lanjut. Namun,

dalam Pasal 87 UU 30/2014 memasukan unsur tindakan faktual yang dalam

perkembangannya dapat diselesaikan terkait permasalahannya. Perubahan terkait objek

PTUN ini berubah yang tadinya hanya berupa Keputusan (UU PERATUN) menjadi

Keputusan dan Perbuatan (UU Administrasi Pemerintahan). Keputusan dan Perbuatan dalam

hal ini menjadikan luasnya objek dari PTUN.61 Salah satu perkembangan objek gugatan

sebagaimana dalam Pasal 87 Undang Undang Administrasi Pemerintahan yang memperluas

objek Keputusan Tata Usaha Negara, adalah klausula “Keputusan yang berpotensi

menimbulkan akibat hukum”.Keberadaan klausula tersebut telah membawa implikasi

terhadap eksistensi Pasal 2 yang mengatur pembatasan objek gugatan di Peradilan TUN dan

Pasal 62 ayat (1) hurufe mengenai proses dismissal oleh Ketua Pengadilan terkait gugatan

diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya dalam UU 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara.Dengan perluasan tersebut, maka objek sengketa tidak hanya

61
Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia, Modul Hukum Acara Tata Usaha Negara, 2019. hlm. 7
dimaknai yang sudah menimbulkan akibat hukum secara nyata, namun suatu keputusan yang

dinilai dapat memberikan potensi berubahnya status hukum atau hubungan hukum atau

berdampak hukum terhadap orang atau badan hukum perdata, dapat digugat di Pengadilan

TUN.

Pemaknaan “berpotensi menimbulkan akibat hukum” sangat luas dan perlu diperhitungkan

ukuran berpotensi tersebut. Maka isu hukum tersebut yang menjadi fokus penting

pembahasan dalam artikel ini.62 Setelah berlakunya UU 30/2014 atau UU Administrasi

Pemerintahan yang diundangkan pada 17 Oktober 2014, kompetensi PTUN telah mengalami

perluasan kompetensi yang sangat signifikan. UU Administrasi Pemerintahan memberikan

dasar kepada peradilan tata usaha negara dalam mengadili objek sengketa di luar keputusan

tertulis atau beschikking yakni tindakan administrasi atau bestuur bandelingen.63 Sebelum

disahkannya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, gugatan terhadap pemerintahan

yang bukan termasuk beschikking akan diajukan sebagai objek sengketa di Peradilan Umum

dengan dasar gugatan Melawan hukum yang diatur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang

dilakukan oleh penguasa atau onrechtmatige overheidsdaad.

Dari adanya Pasal 87 dalam UU Administrasi Pemerintahan tersebut, maka dimungkinkan

akan timbulnya perluasan objek sengketa. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa

dalam Pasal 87 huruf e dikatakan bahwa Keputusan TUN juga dimaknai “berpotensi

menimbulkan akibat hukum”, perlu dalam hal ini harus dipahami terkait eksistensi dari

masing-masing tabulasi yang termuat di dalam Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan

tersebut sehingga bisa diketahui bahwa sifat dari rincian daripada tabulasi pasal tersebut

memiliki sifat yang kumulatif alternatif.64

62
Muhammad Amin Putra, “Keputusan Tata Usaha Negara Yang Berpotensi Menimbulkan Akibat Hukum
Sebagai Objek Sengketa Di PTUN”, Jurnal Peratun Vol.3, No.1 (2020), hlm.2-3
63
Ali Rido, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan,
Wakaf. Bandung: Alumni, hlm.50
64
Lampiran II Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, Bab III Ragam Bahasa Peraturan
Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Nomor 264
Dengan demikian, klausula tabulasi dalam pasal tersebut dapat disatukan antara rencana dan

dapat dijadikan pilihan-pilihan dari rincian tabulasi. Sehingga untuk memahami ketentuan

dalam Pasal 87 huruf e tersebut dapat mengaitkan dengan ketentuan Pasal 87 huruf d yang

menyatakan bahwa keputusan TUN juga termasuk“final dalam arti luas”, yang dalam

penjelasan disebutkan “keputusan yang diambil alih oleh atasan Pejabat Berwenang”.Dalam

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil

Kesepakatan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman

Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan disebutkan bahwa“final dalam arti luas” adalah

Keputusan Tata Usaha Negara yang sudah menimbulkan akibat hukum meskipun masih

memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain (contoh: perizinan tentang

fasilitas penanaman modal oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Izin

Lingkungan, dsb). Maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya suatu KTUN sudah bersifat

final dan menimbulkan akibat hukum, makna dalam arti luas adalah adanya persetujuan dari

instansi lain.Sedangkan dalam pandangan penulis dapat pula suatu keputusan yang diambil

alih oleh atasan yang berwenang, dimaknai final namun sudah berpotensi menimbulkan

akibat hukum meskipun belum diambil alih/persetujuan oleh pejabat berwenang tersebut.65

Sebagai contoh, suatu Keputusan Kepolisian Daerah Sulawesi Utara terkait penjatuhan

hukuman sanksi disiplin kepada seorang polisi, yang selanjutnya diambil alih oleh Kepolisian

Negara Republik Indonesia dengan menetapkan pemberhentian tidak hormat. Bahwa dengan

klausula berpotensi menimbulkan akibat hukum, Keputusan Kepolisian Daerah Sulawesi

Utara terkait penjatuhan hukuman sanksi disiplin sudah dapat diajukan gugatan kepada

Pengadilan Tata Usaha Negara.66

65
Muhammad Amin Putra, Op. Cit, hlm.11
66
Ibid.
Selain itu dalam pada Pasal 54 Undang-undang Administrasi Pemerintahan Diatur mengenai

sifat suatu keputusan yaitu: (1) Keputusan meliputi Keputusan yang bersifat:a. konstitutif;

ataub. deklaratif.(2) Keputusan yang bersifat deklaratif menjadi tanggung jawab Pejabat

Pemerintahan yang menetapkan Keputusan yang bersifat konstitutif. Pasal 54 ayat (1) pada

penjelasan pasalnya dimuat bahwa: Yang dimaksud dengan “Keputusan yang bersifat

konstitutif” adalah Keputusan yang bersifat penetapan mandiri oleh Pejabat

Pemerintahan.Yang dimaksud dengan “Keputusan yang bersifat deklaratif” adalah Keputusan

yang bersifat pengesahan setelah melalui proses pembahasan di tingkat Pejabat Pemerintahan

yang menetapkan Keputusan yang bersifat konstitutif. Berdasarkan ketentuan penjelasan

dalam Pasal 54 tersebut diketahui bahwa suatu keputusan dapat dikategorikan:

a) Keputusan bersifat konstitutif yaitu berdiri sendiri atau penetapan mandiri oleh

Pejabat Pemerintahan;

b) Keputusan bersifat konstitutif yang dilanjutkan dengan keputusan bersifat

deklaratif baik secara horizontal maupun vertikal oleh pejabat yang menetapkan

keputusan konstitutif;

c) Keputusan konstitutif yang tidak dilanjutkan dengan suatu keputusan deklaratif,

misalnya Putusan Komite Etik yang tidak ditindaklanjuti;

d) Keputusan deklaratif tanpa didahului adanya keputusan konstitutif. Misalnya

adalah Akta Kelahiran sesuai Undang-Undang Administrasi Kependudukan.Dalam

hal suatu keputusan konstitutif dapat diminta pertanggungjawaban terhadap

munculnya keputusan bersifat deklaratif, karena sifatnya berupa“pengesahan” semata.

Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan bahwa “Keputusan Yang bersifat

deklaratif” adalah Keputusan yang bersifat pengesahan setelah melalui proses

pembahasan di tingkat Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan yang


bersifat konstitutif.67 Sifat pengesahan tersebut hanya membenarkan keputusan yang

telah diambil oleh pejabat pemerintahan pembuat keputusan konstitutif. Sifat

pengesahan tersebut dapat dikategorikan mengikat dan tidak sebagaimana pendapat

yang disampaikan oleh Enrico Simanjuntak bahwa “tidak perlu ada dikotomi

keputusan tata usaha negara menjadi konstitutif dan deklaratif karena suatu KTUN

yang bersifat final dalam arti luas dan berpotensi menimbulkan akibat hukum dapat

digugat”, karena dalam klausula pasal maupun penjelasan pasal tersebut tidak

memberikan penjelasan. Sangat mungkin pembentuk undang-undang akan

menyesuaikan pada praktek pemerintahan.68

Selain itu dalam hal suatu keputusan deklaratif yang tidak memberikan kehendak bebas

kepada pejabat yang akan mengeluarkan keputusan yang sifatnya deklaratif, sehingga sifat

putusan konstitutif memang diakui sebagai keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat

hukum yang ditindaklanjuti dengan keputusan deklaratif.Dengan ketentuan di atas maka,

dapat dipahami suatu keputusan yang dinilai berpotensi menimbulkan akibat hukum adalah

keputusan konstitutif, jika keputusan tersebut wajib ditindaklanjuti dengan keputusan

deklaratif. Namun tanggung jawab tetap berada pada pejabat pemerintahan yang

mengeluarkan keputusan konstitutif. Pasal ini menegaskan eksistensi perluasan objek gugatan

berupa keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum.

67
Enrico Simanjuntak, 2018., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara:Transformasi dan Refleksi, Jakarta:
Sinar Grafika, hlm.98.
68
Ibid.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Berkembangnya hukum administrasi, terbentuklah sebuah undang-undang

baru yang telah disahkan yaitu Undang-Undang No.30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut,

terdapat beberapa perluasan makna terhadap keputusan yang menjadi objek sengketa

dan perubahan hukum acara di Peradilan Tata Usaha Negara. Pertama dalam halnya

perluasan makna mengenai objek sengketa di Peradilan TUN yang diatur dalam

Undang-Undang 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.

5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara terdapat perluasan menjadi

Keputusan berupa penetapan tertulis dan tindakan berupa perbuatan konkret yang

semula Keputusan Tata Usaha Negara, merupakan suatu penetapan tertulis yang

bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang atau badan hukum perdata. Terdapat juga perbedaan unsur dalam Pasal 1

angka 3 dengan definisi Keputusan Tata Usaha Negara yang diatur dalam pasal 1

angka 7 Undang-Undang administrasi Pemerintahan. Dari definisi tersebut

mengakibatkan perluasan makna yang juga dapat dilihat pada Pasal 87

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Berdasarkan perbedaan unsur tersebut,

pengaturan mengenai keputusan yang menjadi objek sengketa TUN pada

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah mengurangi serta menghilangkan

beberapa unsur yang terdapat pada Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara

sehingga definisinya pun menjadi lebih luas. Selain itu, terdapat pula perluasan

kompetensi dan perubahan aspek hukum formil Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang No.30 Tahun 2014 tindakan administrasi

pemerintahan merupakan kompetensi absolut Peradilan Umum, sedangkan setelah

diberlakukannya Undang-Undang No.30 Tahun 2014, dampak dari kompetensi

Peradilan Tata Usaha Negara terlihat pada bentuk baru dari keputusan. Bentuk

keputusan yang digunakan merupakan keputusan elektronis yang dimana dalam

pembuatan maupun penyampaian keputusan menggunakan media elektronik.

Perubahan lainnya yang dapat dilihat dari adanya perluasan dalam hal kewenangan.

Terdapat perubahan dalam hal hukum acara atau hukum formil setelah

diberlakukannya Undang-Undang No.30 Tahun 2014 yaitu adanya upaya hukum

pasca upaya administratif tidak dapat diajukan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara, melainkan melalui Pengadilan Tata usaha Negara tingkat satu, serta adanya

sengketa khusus yang menggunakan prosedur limitasi waktu khusus bagi sengketa

penilaian unsur penyalahgunaan wewenang dan sengketa tata usaha negara fiktif

positif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang

Administratif Pemerintahan ini memberikan dampak yang cukup drastis dalam

Peradilan Tata Usaha Negara yang terlihat jelas pada tindakan pemerintahan yang

hanya bersifat konkrit dan individual menjadi bersifat tindakan. Pemberlakuan

undang-undang ini juga membuat perubahan baru akan prosedur beracara di Peradilan

Tata Usaha Negara di Indonesia, serta kompetensi PTUN juga turut mengalami

perluasan yang cukup signifikan.

B. Saran

Pemberlakuan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan diperlukan peninjauan kembali mengingat terdapat beberapa hasil

perubahan yang kurang selaras serta memberikan dampak pada beberapa hal terutama
terkait adanya perluasan objek keputusan TUN, upaya administratif dan lain

sebagainya. Perluasan dalam makna juga harus diperjelas atau lebih di spesifikkan,

seperti klausula dalam Pasal 87 Undang-Undang Administrasi Pemeintahan yang

berbunyi “berpotensi menimbulkan akibat hukum” memiliki makna yang cukup luas

sehingga diperlukannya perhitungan yang lebih dalam terkait ukuran berpotensi

tersebut. Selain itu, dalam hal ini juga harus dipahami terkait eksistensi dari

masing-masing tabulasi yang termuat di dalam Pasal 87 Undang-Undang

Administrasi Pemerintahan agar dapat diketahui sifat dan rincian dari tabulasi pasal

tersebut mempunyai sifat yang kumulatif alternatif. Selanjutnya pada Pasal 54

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang mengatur mengenai sifat suatu

keputusan pada klausula pasal maupun penjelasan pasal diperlukan pemberian

penjalasan lebih lanjut terkait keputusan konstitutif dan keputusuan deklaratif,

dikarenakan sangat memungkinkannya pembentuk undang-undang akan

menyesuaikan pada praktek pemerintahan.

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Ali Rido. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf. Bandung: Alumni, 1986.

Budi Sastra Pandjaitan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.Cet.1. Medan:
CV Manhaji, 2016.
Effendi, Maftuh. “Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia Suatu Pemikiran ke Arah
Perluasan Kompetensi Pasca Amandemen Kedua Undang-Undang Peradilan
Tata Usaha Negara.” Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 3. 2014. Hlm 25-35.

Endra Wijaya, Endra. Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cet.1.
Jakarta: Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila,
2019.

Enrico Simanjuntak, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara:Transformasi dan


Refleksi, Jakarta: Sinar Grafika, 2018

Gautama, Sudargo. Pengertian Tentang Negara Hukum. Cet. 3. Bandung: Penerbit


Alumni, 1983.

Halim, Muhammad Noor, dan Muhammad Adiguna Bimasakti. Beracara di


Peradilan Tata Usaha Negara dan Persidangan Elektronik (e-Court). Jakarta:
Prenada Media, 2020.

Harahap, Zairin. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cet.8. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2014.

HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara.Jakarta: Raja Grafindo, 2011.

Mamudji,Sri et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Mawardi, Irvan. Paradigma Baru PTUN, Respon Peradilan Administrasi terhadap


Demokratisasi. Yogyakarta: Thafa Media, 2016.

M. Hadjon, Philiphus et al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to


the Indonesian Administration Law). Cet,1. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, 1993.

II. Internet
Prahassacitta, Vidya. “Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Yuridis.”
https://business-law.binus.ac.id/2019/08/25/penelitian-hukum-normatif-dan-pe
nelitian-hukum-yurudis/. Diakses 4 Oktober 2021.
Wahyunadi, H.Yodi Martono. “Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Sistem Peradilan di Indonesia”.
https://ptun-jakarta.go.id/wp-content/uploads/file/berita/daftar_artikel/Kompet
ensi%20Pengadilan%20Tata%2Usaha%20N. Diakses 4 Oktober 2021.

III. Peraturan Perundang-undangan


Indonesia. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. UU No. 30 Tahun 2014. LN
No. 292 Tahun 2014. TLN No. 5601.

Indonesia. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 5 Tahun 1986,


LN No. 77 Tahun 1986. TLN No. 77.

Indonesia. Undang-Undang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun


1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 51 Tahun 2009. LN No. 160
Tahun 2009. TLN No. 5079

IV. Artikel/Jurnal
Anggoro, Firna Novi. 2017. “Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Terhadap
Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan Oleh PTUN.” Fiat
Justisia: Jurnal Ilmu Hukum 10 (4). Hlm. 64-70.

Hapsari, Elisabeth Putri, Lakon Tukan Leonard, dan Ayu Putriyanti. "Kewenangan
Hakim Peradilan Tata Usaha Negara Menggunakan Asas Ultra Petita
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 32/G/2012/PTUN.SMG.”
Diponegoro Law Journal. Vol. 6, No. 2, 2017.

Heriyanto, Bambang. “Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Berdasarkan


Paradigma UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.”
Pakuan Law Review Vol. IV No. 1. Januari-Juni 2018.

Muchtar, Heni. “Analisis Yuridis Normatif Sinkronisasi Peraturan Daerah Dengan


Hak Asasi Manusia.” Humanus. Vol. XIV No. 1, 2015.
Muhammad Amin Putra, “Keputusan Tata Usaha Negara Yang Berpotensi
Menimbulkan Akibat Hukum Sebagai Objek Sengketa Di PTUN”, Jurnal
Peratun, Vol.3, No.1, 2020.

Prahastapa, Anita Marlin Restu, Lapon Tukan Leonard, dkk. "Friksi Kewenangan
PTUN dalam Berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 dan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Berkaitan dengan Objek Sengketa Tata
Usaha Negara." Diponegoro Law Journal. Vol. 6, No. 2. Agustus 2017.

Prapta, I Putu Agus, I Ketut Tjukup, dan Nyoman A. Martana, “Sikap Diam Badan
atau Pejabat Pemerintahan Sebagai Objek Gugatan Sengketa Tata Usaha
Negara.” Jurnal Udayana.

Putra, Muhammad Amin. "Keputusan Tata Usaha Negara yang Berpotensi


Menimbulkan Akibat Hukum Sebagai Objek Sengketa di Pengadilan Tata
Usaha Negara." Jurnal Hukum Peratun. Vol. 3, No. 1. Februari 2020.

Putriyanti, Ayu. Kajian Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dalam Kaitan


dengan Pengadilan Tata Usaha Negara.” Pandecta Jurnal Penelitian Ilmu
Hukum Vol. 10. 2015.

Riza, Dola. "Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-undang Peradilan Tata
Usaha Negara dan Undang-undang Administrasi Pemerintahan." Jurnal Bina
Mulia Hukum. Vol. 3, No. 1. 2018. Hlm. 86-102.

Rodding, Budiamin. “Keputusan Fiktif Negatid dan Fiktif Positif dalam Peningkatan
Kualitas Pelayanan Publik.” Tanjungpura Law Journal Vol.1 Issue 1. 2017.

Utama, Kartika Widya. "Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang Bersifat Fiktif
Positif." Jurnal Notarius. Vol. 8 No. 2. September 2015.

Utama, Kartika Widya. “Quo Vadis Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Pengadilan Tata Usaha Negara Jis. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 dan
Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dalam UU No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan.” Masalah-Masalah Hukum Vol. 44 No. 3.
2015. Hlm. 356-363.
Wahyunadi, Yodi Martono. 2016. “Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha
Negara Dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan.” Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 5, No. 1,
Maret 2016. Hlm. 135 – 154.

Yuliani, Erlin Triartha.”Perbandingan Antara Konsep Fiktif Negatif Dalam UU 5


Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Dengan Konsep Fiktif
Positif dalam UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.” Jurnal
Komunikasi Hukum (JKH) Universitas Pendidikan Ganesha Vol. 6 No. 6.
2020.

V. Makalah
Adi Putra, Wahyu. “Alasan Mengajukan Gugatan di Pengadilan Tata Usaha.”
Makalah ini disampaikan oleh Universitas Ekasakti, Padang. 2020.

Fahrizal, Johny. “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.” Makalah ini
disampaikan oleh Universitas Ekasakti, Padang. 2021.

Anda mungkin juga menyukai