Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH UJIAN TENGAH SEMESTER HUKUM PERBURUHAN

Dosen Pengampu:
Dr. H. Siti Hajati Hoesin, S.H., M.H.

PHK SEPIHAK BURUH FREEPORT

Kelompok 8

Disusun Oleh

Adinda Zahara 1906318546


Annisa Salsabila 1906318565
Fahriza Mutiara Adhyaksa 1906303550
Khairunnisa Alkhawarijmi 1906308734
Nahda Chairunnisa 1906304944

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2021
I. KASUS POSISI
Pada awal tahun 2017, telah terjadi pelanggaran Hukum dan Hak Asasi
Manusia oleh salah satu perusahaan tambang terkemuka di Indonesia yaitu PT
Freeport Indonesia kepada serikat buruh atau karyawannya. Pelanggaran yang
pertama berupa kebijakan Furlough atau memulangkan karyawan secara sepihak
tanpa melalui perundingan terlebih dahulu dengan serikat pekerja. Hal ini yang
berujung dengan Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak. PT Freeport dalam membuat
dan keputusan dan melaksanakan program ini tidak disertai dengan ukuran atau
indikator karyawan yang bisa terkena kebijakan tersebut, ditambah lagi PT Freeport
beralasan bahwa belum adanya kesepakatan dengan pemerintah soal alih kerjasama
dari Kontrak Karya (“KK”) ke Izin Usaha Produksi (“IUP”), atas alasan ini PT
Freeport menolak untuk berunding dan taat pada aturan hukum ketenagakerjaan.1
Kemudian, PT Freeport juga menganggap bahwa Furlough merupakan kebijakan
strategis yang tidak perlu dibicarakan dengan serikat pekerja. 2
Pelanggaran selanjutnya adalah pemogokan dan tindakan kriminalisasi
pemimpin serikat pekerja. Diketahui bahwa terdapat tindakan kriminalisasi oleh PT
Freeport dengan pembongkaran secara paksa barak karyawan yang dilakukan oleh
security PT Freeport dengan pengawalan penuh dari kepolisian. Hal ini tentu
menyebabkan keresahan yang mendalam pagi para serikat pekerja PT Freeport. Selain
2 (dua) pelanggaran yang telah disebutkan, terdapat juga pelanggaran atas hak
kebebasan berpendapat, hak tenaga kerja dan jaminan hak atas kesehatan. Akibat
terjadinya kasus ini, terdapat sejumlah 8300 (delapan ribu tiga ratus) karyawan, baik
karyawan langsung pada PT Freeport Indonesia maupun karyawan perusahaan
kontraktor PT Freeport Indonesia yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja
(“PHK”). Oleh karena itu, para karyawan tersebut melakukan tindakan dengan cara
berdemonstrasi dan mendatangi gedung Komnas HAM. 3

1
Lokataru, “Praktek Pelanggaran Hukum dan HAM oleh PT Freeport Indonesia kepada Karyawan
dan Keluarganya”, diakses melalui
https://lokataru.id/praktek-pelanggaran-hukum-dan-ham-oleh-pt-freeport-indonesia-kepada-karyawan-dan-kelua
rganya/ pada 17 April 2021.
2
Lokataru, “Fakta-fakta Pelanggaran Hukum dan HAM terhadap Karyawan PT Freeport”, diakses
melalui https://lokataru.com/fakta-fakta-pelanggaran-hukum-dan-ham-terhadap-karyawan-pt-freeport/ pada 17
April 2021
3
Lokataru, “Ratusan Perwakilan 8300 Karyawan PHK sepihak PT Freeport Indonesia mendatangi
gedung Komnas HAM”, diakses melalui
https://lokataru.id/ratusan-perwakilan-8300-karyawan-phk-sepihak-pt-freeport-indonesia-mendatangi-gedung-k
omnas-ham/ pada 17 April 2021.

1
II. TEORI DAN PERATURAN YANG BERKAITAN
Hukum Perburuhan merupakan suatu aturan yang mengatur antara hubungan
buruh baik sesama buruh dan juga dengan penguasa dimana digunakan suatu aturan
yang terkait dengan buruh. Buruh atau mantan buruh tampil sebagai subjek hukum
dalam kedudukannya sebagai pribadi kodrati, artinya ia tampil sebagai buruh atau
mantan buruh karena ia merupakan manusia yang berbeda dengan hal lainnya.
Kemudian, adanya penguasa yang tampil sebagai subjek hukum perburuhannya dalam
kedudukannya sebagai pribadi hukum atau bukan pribadi hukum dan sebagai pribadi
kodrati. Sebagai pribadi hukum, ia tampil sebagai Badan Hukum (PT) dan sebagai
Badan Pribadi Hukum ia tampil sebagai CV, UD, Firma, Persekutuan Perdata, Badan
Sosial atau Badan-Badan lainnya. Sebagai pribadi kodrati ia tampil sebagai
Pengusaha Perseorangan. Akhirnya penguasa atau pemerintah tampil sebagai subjek
perburuhan karena atau dalam arti jabatan. Misalnya Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 tentang Hukum Ketenagakerjaan, Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Industrial, dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Buruh/ Pekerja yang masih berlaku sampai sekarang.
Pada dasarnya hubungan hukum perburuhan berkaitan dengan hubungan
industrial yang melibatkan para pelaku dalam proses produksi dan/atau jasa yang
terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada
nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
19454. Hubungan Perburuhan Pancasila adalah hubungan antara unsur-unsur dalam
proses produksi Buruh/Pekerja, Pengusaha, dan Pemerintah yang didasarkan pada
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian, inti dari pola
hubungan perburuhan Pancasila ini yaitu bahwa setiap perselisihan perburuhan yang
terjadi harus diupayakan adalah bahwa setiap perselisihan perburuhan yang terjadi
harus diupayakan diselesaikan secara musyawarah. Maka untuk mencapai tujuan
tersebut ada tiga asas yang digunakan sebagai tumpuan diantaranya sebagai berikut
yakni :
1. Asas Partner in Production
Pada asas ini buruh dan pengusaha wajib bekerjasama dalam meningkatkan
hasil produksi demi kemajuan perusahaan maupun meningkatkan tingkat
kesejahteraan buruh atau pekerja dan keluarganya.

4
Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, Pasal
1 angka 16

2
2. Asas Partner in Profit
Buruh dan Pengusaha wajib bekerja sama untuk meningkatkan profit. Hasil
dari kemajuan perusahaan harus dinikmati bersama sesuai dengan prestasi
kerja para pelaku proses produksi secara proporsional.
3. Asas Partner in Responsibility.
Buruh dan Pengusaha wajib bertanggung jawab terhadap apa yang menjadi
kewajibannya masing-masing dalam mencapai kemajuan perusahaan.
Pada prinsipnya, tujuan ingin dicapai dalam hubungan industrial adalah ke
tangan bekerja bagi para pekerja dan kelangsungan usaha bagi pengusaha, dan maka
dibutuhkan peran pemerintah sebagai pihak yang tidak terlibat langsung dalam
hubungan kerja, dapat bersifat netral dan dapat menjamin pelaksanaan hak dan
kewajiban para pihak dalam hubungan kerja.5
Selanjutnya, materi yang berkaitan dengan kasus tersebut adalah tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja. Pada
dasarnya lahir karena adanya perbedaan pendapat yang menciptakan pertentangan
baik dialami Pengusaha maupun gabungan pengusaha dengan buruh atau pekerja6.
Perselisihan perburuhan juga terjadi sebagai akibat adanya wanprestasi yang
dilakukan pihak buruh atau oleh pihak penguasa. Hal ini disebabkan adanya keinginan
dari salah satu pihak tidak selalu terpenuhi maka menciptakan hubungan yang
bertentangan sebagaimana mestinya. Menurut pendapat Prof. Iman Soepomo
menyebutka dua bentuk perselisihan yang mungkin terjadi dalam suatu hubungan
kerja. Pertama, perselisihan hak yaitu jika adanya masalah yang diperselisihkan
termauk bidang hubungan kerja, maka yang diperselisihkan adalah mengenai hal yang
diatur atau ditetapkan dalam suatu perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama,
peraturan perusahaan atau dalam suatu peraturan perundang-undangan. Kedua,
perselisihan kepentingan yaitu tidak adanya persesuaian paham mengenai perubahan
syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan. Misalnya dalam pembaruan suatu
Perjanjian Kerja Bersama, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja. Maka
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial
memperluas pengertian perselisihan hubungan industrial dengan mendefinisikan
hubungan industrial sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

5
Aloysius Uwiyono, dkk. Asas-Asas Hukum Perburuhan Cet.3 (Depok: Rajawali Pers, 2018), hlm. 70.
6
Admin DSLA, “Tentang Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia”, diakses melalui
https://www.dslalawfirm.com/perselisihan-hubungan-industrial/ pada 18 April 2021.

3
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, tentang pemutusan hubungan
kerja , atau pun perselisihan yang berkaitan dengan buruh dengan pengusaha7.

III. ANALISIS
Seperti yang telah disebutkan dalam kasus posisi, PT Freeport Indonesia telah
melakukan pelanggaran Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada serikat buruh atau
karyawannya pada awal tahun 2017. Pelanggaran tersebut berupa penerapan
kebijakan Furlough dan adanya pemogokan serikat pekerja. Pada dasarnya kasus
tersebut berhubungan dengan hubungan industrial dalam hukum perburuhan.
Hubungan industrial merupakan suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para
pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.8
Hubungan hukum antara PT Freeport Indonesia dengan karyawannya
merupakan hubungan subordinasi dimana karyawan memiliki kewajiban yang lebih
banyak dibanding PT Freeport Indonesia selaku pengusaha. Hal ini menyebabkan
potensi tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pengusaha seperti yang
terjadi pada kasus PT Freeport Indonesia dimana PT Freeport Indonesia diduga
melakukan pelanggaran terhadap HAM meliputi hak atas kesejahteraan, hak keadilan,
dan hak rasa aman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia.9 Kasus ini juga merupakan kasus Perselisihan Hubungan
Industrial seperti yang dijelaskan sebelumnya dimana hak para pekerja dilanggar dan
terjadi pertentangan oleh pekerja terhadap kebijakan pengusaha yang baru yaitu
Furlough. Pemerintah sendiri memiliki fungsi dalam hubungan tersebut untuk
memberikan perlindungan kepada pekerja dalam hal menyusun/membuat
peraturan/kebijakan, mengawasi pelaksanaan peraturan, memberikan pelayanan,
menyelenggarakan peradilan dan tindakan terhadap pelanggaran peraturan
perundang-undangan, serta pembinaan hubungan industrial. Oleh karena itu,
dibutuhkannya peran pemerintah dalam hubungan industrial untuk melindungi hak
para karyawan PT Freeport Indonesia.
7
Aloysius Uwiyono, Loc, hlm. 135 .
8
Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan,Op. Cit., Ps 1 angka 16.
9
Muhammad Aminudin, “Jerit Karyawan Freeport, Mengaku Hak Tak Dipenuhi”, diakses melalui
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3776915/jerit-karyawan-freeport-mengaku-hak-tak-dipenuhi pada 17
April 2021.

4
Ketidakadilan dan ketidak transparan yang dilakukan oleh PT Freeport
Indonesia bersumber dari Kontrak Karya. Kontrak Karya menjanjikan pemerintah
Indonesia mendapatkan deviden melalui royalti dan pajak. Kontrak Karya juga
memberikan kewenangan kepada PT Freeport Indonesia untuk melakukan penelitian,
menambang, mengolah, dan memasarkan. Akan tetapi, melalui Kontrak Karya pula
pemerintah tidak dapat berkutik karena PT Freeport Indonesia memiliki hak kendali
dan manajemen tunggal atas semua kegiatannya, termasuk mempekerjakan sub
kontraktor untuk melaksanakan tahap-tahap operasinya. Hal itu menyebabkan
dikeluarkannya Kebijakan oleh PT Freeport Indonesia berupa Furlough yang
merupakan sebuah mekanisme yang digunakan pengusaha untuk “merumahkan
pekerja” dengan alasan tertentu seperti “efisiensi”. PT Freeport Indonesia juga
melakukan ini dengan dalih adanya pengurangan produksi, pekerjaan, perampingan.
Furlough memiliki kecenderungan menyasar fungsionaris serikat untuk memberangus
kekuatan buruh. Hal ini dikarenakan memiliki hubungan dari dampak berlarutnya
negosiasi antara PT Freeport Indonesia dengan pemerintah mengenai Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK). Pihak Manajemen PT Freeport Indonesia membantah
dengan mengatakan bahwa mereka merumahkan para buruh yang tidak berhubungan
langsung dengan operasi, misalnya yang tidak kritik untuk produksi mereka. Mereka
memiliki kriteria-kriteria tertentu untuk merumahkan para buruh. Akan tetapi, kriteria
penentuan pekerja inti maupun bukan inti produksi itu merupakan suatu hal yang
salah. PT Freeport Indonesia menerapkan standar core dan non core berpatokan pada
pertambangan batubara sehingga buruh yang jelas-jelas menambang, tidak dianggap
sebagai pekerja inti produksi. Standar penetapan core dan non core memiliki dampak
yaitu memasifkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dan membatasi
kesempatan buruh untuk mendiskusikan persoalan mengenai relasi industrial.
Sebelum melakukan pemogokan, buruh telah melayangkan “surat sakti” untuk
memperingatkan PT Freeport Indonesia agar tidak melanjutkan kebijakan Furlough.
Kemudian buruh juga menolak suatu kebijakan baru yang diterapkan oleh PT
Freeport Indonesia yang tertulis dalam Surat Perjanjian Bersama (SPB). Salah satu
klausul SPB yang ditolak terkait sanksi buruh yaitu “indisipliner”. Buruh juga
melawan klausul dalam SPB yang mengatur masa berlaku perikatan dalam SPB
selama menjadi pekerja di PT Freeport Indonesia yaitu “Ketika PT Freeport Indonesia
melihat ada kemungkinan tindakan indisipliner, terutama terhitung pasca penerbitan
SPB, maka PT Freeport Indonesia dapat langsung memecat tanpa melalui

5
perundingan, baik bipartit/tripartit maupun Peradilan Hubungan Industrial (PHI).
Dengan demikian hal tersebut harus ditolak.10
Dalam hal ini apabila ditelaah lebih lanjut, reaksi dari perusahaan yang
langsung memutus hubungan kerja adalah satu bentuk interpretasi hukum yang keliru.
Alasan tersebut yaitu ketika PT Freeport Indonesia merumahkan buruh dan
menganggap itu bukan persoalan hubungan industrial sehingga tidak perlu ada
perundingan merupakan hal yang tidak benar. Merumahkan pekerja merupakan salah
satu modifikasi skorsing yang membutuhkan proses. Skorsing sendiri sebagai awalan
dari proses pemutusan hubungan kerja. Selain itu, perusahaan harus memberi
informasi terkait maksud atau keinginan perusahaan melakukan skorsing. Maka dari
itu, persoalan skorsing harus dirundingkan. Apabila alasan-alasan yang diajukan
perusahaan tidak mencukupi, perusahaan tidak boleh memutuskan hubungan kerja.
Pemutusan Hubungan Kerja memerlukan proses penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Selama perselisihan atau perundingan berlangsung,
pekerja berhak atas seluruh hak yang melekat, termasuk jaminan kesehatan atau
jaminan sosial. PT Freeport Indonesia yang melakukan PHK sepihak tanpa
perundingan tidak memiliki kekuatan hukum.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan
Kerja menjembatani permasalahan dan isu-isu strategis mengenai Hubungan Kerja.
Hal ini meliputi pengaturan pelaksanaan PKWT dan perlindungan Pekerja/Buruh di
dalamnya, termasuk Pekerja/Buruh PKWT yang dipekerjakan dalam kegiatan alih
daya, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat bagi Pekerja/Buruh, utamanya pada
sektor-sektor usaha dan jenis pekerjaan tertentu yang menekankan pada aspek
keselamatan dan kesehatan kerja serta pengaturan mengenai mekanisme Pemutusan
Hubungan Kerja, termasuk bagaimana memastikan adanya pemenuhan hak bagi
Pekerja/Buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja. Dalam hal ini terdapat
hal yang harus diperhatikan terkait Pemutusan Hubungan Kerja yang dialami oleh
para buruh di PT Freeport Indonesia. Berdasarkan Pasal 37 PP Nomor 35 tahun 2021
tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu
Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja yang menyatakan:

10
Ailan Goraahe, “PHK Sepihak & Perlawanan Buruh Terhadap PT Freeport Indonesia”, diakses dari
https://mapcorner.wg.ugm.ac.id/2018/09/phk-sepihak-perlawanan-buruh-terhadap-pt-freeport-indonesia/ pada
17 April 2021.

6
(1) Pengusaha, Pekerja/Buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan Pemerintah harus
mengupayakan agar tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja.
(2) Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan
Pemutusan Hubungan Kerja diberitahukan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh
dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di dalam Perusahaan apabila Pekerja/Buruh
yang bersangkutan merupakan anggota dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
(3) Pemberitahuan Pemutusan Hubungan Kerja dibuat dalam bentuk surat
pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut oleh Pengusaha kepada
Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sebelum Pemutusan Hubungan Kerja.
(4) Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan dalam masa percobaan, surat
pemberitahuan disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sebelum Pemutusan
Hubungan Kerja.
Maka, tindakan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia jika merujuk pada Pasal
37 ayat (1) dan (2) yaitu munculnya kebijakan Furlough dengan merumahkan pekerja
dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu merupakan aturan yang salah. PT
Freeport Indonesia seharusnya mengupayakan agar tidak terjadi Pemutusan Hubungan
Kerja. Merumahkan pekerja/buruh merupakan suatu hal yang harus dirundingkan
terlebih dahulu. Akan tetapi, fakta dilapangan berkata lain sehingga terjadi Pemutusan
Hubungan Kerja yang dialami oleh para pekerja/buruh. Apabila memang hasil
perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan, maka PT Freeport Indonesia
hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah mendapatkan
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. PT Freeport
Indonesia juga diharuskan memberitahukan alasan-alasan yang jelas kepada
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh di dalam Perusahaan apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan merupakan anggota dari Serikat Pekerja Serikat
Buruh.11

Berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun


2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa apabila Pemutusan Hubungan
Kerja tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial akan

11
Hukum Online, “PHK Sepihak”, diakses dari
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6996/phk-sepihak/ pada 17 April 2021.

7
menjadi batal demi hukum. Maka dari itu, Pemutusan Hubungan Kerja sepihak
tersebut akan dianggap tidak pernah terjadi. Kemudian, selama putusan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik PT Freeport
Indonesia maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. PT
Freeport Indonesia harus tetap membayarkan upahnya selama belum ada keputusan
dari lembaga penyelesaian hubungan industrial dan juga pekerja/buruh harus tetap
bekerja. PT Freeport Indonesia dapat melakukan pengecualian berupa tindakan
skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses Pemutusan Hubungan Kerja
dengan tetap membayarkan upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima para
pekerja/buruh.

Pemogokan oleh 8000 orang karyawan PT Freeport Indonesia pada dasarnya


dilakukan sebagai respons karyawan terhadap kebijakan Furlough yang dilakukan
secara terus-menerus. Mogok kerja diatur mulai dari pasal 137 sampai dengan pasal
145 UU Ketenagakerjaan dan di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor : KEP.232/MEN/2003 Tentang Akibat Hukum Mogok Kerja
yang Tidak Sah. Pada akhirnya karyawan tersebut dianggap mengundurkan diri oleh
PT Freeport Indonesia. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan hukum yang ada,
dikarenakan mogok kerja sendiri telah diatur sebagai hak dasar pekerja dan serikat
pekerja yang dilakukan sebagai akibat gagalnya perundingan dalam Pasal 137 UU
Ketenagakerjaan. Gagalnya perundingan yang dimaksud dalam pasal tersebut yaitu
tidak tercapainya kesepakatan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial
yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau
perundingan mengalami jalan buntu.12 Pemogokan dijadikan para karyawan sebagai
“senjata” untuk memenuhi tuntutan mereka atas perselisihan yang dialami dengan
pengusaha.13 Aksi mogok yang dilakukan oleh karyawan PT Freeport Indonesia
dinyatakan sah dan telah melalui prosedur yang berlaku dalam UU Ketenagakerjaan.14
Status sahnya pemogokan pekerja juga telah dinyatakan oleh Dinas Tenaga Kerja.15
Dengan sahnya aksi pemogokan yang dilakukan oleh karyawan maka berdasarkan

12
Sunarno, Mogok Kerja Sebagai Upaya Mewujudkan Hak Buruh, “Jurnal Wacana Hukum”, Vol. 7,
No.1, 2008, hal. 21.
13
Aloysius Uwiyono, dkk. Op. Cit. hlm. 141.
14
Lokataru, “PT Freeport harus menghormati hukum Indonesia”, diakses melalui
https://lokataru.id/press-release-mogok-kerja-dinyatakan-sah-dan-anjuran-disnaker-merekomendasikan-bekerja-
kembali-pt-freeport-indonesia-harus-menghormati-hukum-indonesia-kasus-sengketa-ketenagakerjaan-antara-pt-
f/ pada 18 April 2021
15
Ibid.

8
Pasal 140 UU Ketenagakerjaan, PT Freeport Indonesia wajib menghormati
pemogokan tersebut dan dilarang untuk melakukan tindakan untuk menolak atau
mengganggu aksi pemogokan. Hal ini diatur secara spesifik dalam Pasal 114 Angka 2
UU Ketenagakerjaan, bahwa dalam aksi pemogokan yang sah, pengusaha dilarang
memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh
dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok
kerja. Tindakan PT Freeport Indonesia yang menyatakan para karyawan dalam aksi
pemogokan melakukan pengunduran diri seharusnya dilarang karena pengusaha tidak
dapat melakukan tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada karyawan yang
melakukan aksi pemogokan secara sah. Lain halnya jika aksi pemogokan karyawan
dianggap tidak sah, maka berdasarkan Pasal 6 Kepmenaker 232/2003, karyawan
tersebut dianggap mangkir. Setelah itu, dilakukan pemanggilan kepada pekerja yang
melakukan mogok kerja untuk kembali bekerja. Jika pekerja/buruh tidak memenuhi
panggilan tersebut, maka dianggap mengundurkan diri.

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pada kasus ini disebabkan


karena adanya Pengeluaran Kebijakan terkait dengan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) secara Sepihak oleh PT Freeport terhadap Serikat Buruh tanpa dilakukannya
perundingan terlebih dahulu serta tidak disertai dengan perkiraan jumlah karyawan
yang akan turut terdampak dengan munculnya kebijakan tersebut. Maka, Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial berdasarkan Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Hubungan Industrial (UU PPHI) haruslah terlebih dahulu dilakukan
perundingan bipartit dimana perundingan tersebut dilakukan oleh pengusaha yaitu PT
Freeport dengan serikat buruh yang berlangsung selama 30 (tiga puluh) hari sejak
dimulainya perundingan. PT Freeport dalam Pasal 106 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan diwajibkan untuk membentuk lembaga kerjasama bipartit yang
berfungsi sebagai forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait
dengan ketenagakerjaan di Perusahaan. Apabila perundingan Bipartit ini mencapai
kesepakatan antara PT Freeport dengan Serikat Buruh maka hasil kesepakatan
tersebut dituangkan ke dalam Perjanjian Bersama yang kemudian perjanjian ini
didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial setempat.16 Sebaliknya, jika salah satu
dari pihak tidak menyetujui hasil dari musyawarah maka perundingan bipartit

16
Admin FJP Law Offices, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Diakses melalui
https://fjp-law.com/id/penyelesaian-perselisihan-hubungan-industrial/. Pada 18 April 2021.

9
dinyatakan gagal.17 Kegagalan perundingan bipartit yang dilakukan mewajibkan
untuk salah satu pihak antara PT Freeport, Serikat Buruh atau keduanya melaporkan
pencatatan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab hal ini bertujuan
untuk melampirkan bukti bahwa perundingan bipartit telah dilakukan. Jika pencatatan
tersebut tidak dilampirkan maka berkas tersebut wajib dilengkapi dalam kurun waktu
7 (tujuh) hari setelah pengembalian berkas. Setelah berkas tersebut lengkap maka
wajiblah bagi institusi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan ini untuk
menawarkan kepada para pihak untuk melakukan perundingan tripartit atau memilih
prosedur penyelesaian perselisihan dengan campur tangan pihak ketiga yaitu antara
konsiliasi dengan arbitrase.18 Apabila antara PT Freeport dan Serikat Buruh tidak
memilih dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari maka instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator
yang dipilih oleh menteri sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU PPHI.19
Kemudian, jika tidak kunjung berhasil maka dapat ditempuh perselisihan
hubungan industrial ini antara PT Freeport dengan Serikat Buruh ke tahap Peradilan
yang disebutkan dalam Pasal 5 UU PPHI.20 Pengadilan Perselisihan Hubungan
Industrial termasuk pengadilan khusus yang menyelesaikan perselisihan seperti,
Perselisihan Hak, Perselisihan Kepentingan, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK), dan Perselisihan antara Serikat Pekerja dengan Pengusaha.21 Perselisihan yang
terjadi antar PT Freeport atas pelanggaran hak Serikat Buruh terkait mogok kerja dan
berujung PHK sepihak terhadap buruh termasuk ke dalam perselisihan hak. Maka,
sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU PPHI yang bertugas untuk memeriksa dan
memutus penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah pengadilan tingkat
pertama yakni pengadilan negeri dan tidak dapat mengajukan perselisihan tersebut ke
tahap kasasi sebagaimana Pasal 57 UU PPHI.22

17
Indonesia, UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 2 Tahun 2004, LN No.
4356, Ps 3.
18
Admin DSLA, Tentang Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia. Diakses melalui
https://www.dslalawfirm.com/perselisihan-hubungan-industrial/. Pada 18 April 2021.
19
Indonesia, UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Op. Cit., Ps.4
20
Indonesia, UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Op. Cit., Ps.5
21
Suherman Toha, “Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial”. BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI.2010
22
Ibid., Ps.56 dan Ps.57

10
IV. KESIMPULAN
Perselisihan yang terjadi antara PT Freeport dengan Serikat Buruh bersumber
pada Kontrak Karya antara PT Freeport dengan Pemerintah yang menyebabkan
seluruh kendali atas operasi perusahaannya di pegang oleh PT Freeport. Hal ini
menyebabkan adanya pengeluaran kebijakan furlough oleh PT Freeport Indonesia
yang dinilai tidak sesuai dengan hak-hak buruh sehingga kebijakan tersebut menuai
kontra terhadap serikat buruh yang membuat para buruh melakukan aksi mogok kerja
untuk memperjuangkan hak-hak nya dan meminta kepada perusahaan untuk
melakukan terlebih dahulu perundingan terhadap program pemutusan hubungan kerja
yang dilakukan PT Freeport secara sepihak tersebut. Namun, atas aksi mogok kerja
tersebut PT Freeport cenderung menganggap buruh yang terlibat dalam aksi tersebut
mengundurkan diri secara sukarela yang mana ini tidak sesuai dengan undang-undang
yang berlaku. Maka dari itu, untuk penyelesaian perselisihan terkait hubungan
industrial ini perlu sekali untuk PT Freeport melakukan perundingan terlebih dahulu
kepada serikat buruh untuk mencapai kesepakatan. Apabila upaya tersebut gagal
maka dapatlah dibantu menggunakan bantuan pihak ketiga untuk menemukan solusi
terbaik dan sampai pada akhirnya tetap tidak menghasilkan kesepakatan, kedua belah
pihak baik PT Freeport maupun Serikat Buruh untuk mengajukan ke ranah peradilan
untuk mendapatkan keputusan hakim yang tetap dengan begitu diharapkan putusan
hakim dalam peradilan dapat menghasilkan keputusan adil bagi pihak yang merasa
dirugikan yaitu serikat buruh.

11
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Toha, Suherman. 2010. Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Penyelesaian


Perselisihan Hubungan Industrial. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan HAM RI.

Uwiyono, Aloysius. 2014. Asas-Asas Hukum Perburuhan. Jakarta: PT Grafindo


Persada.

B. JURNAL

Sunarno. 2008. Mogok Kerja Sebagai Upaya Mewujudkan Hak Buruh. Wacana
Hukum, 7(1), 17-29.

C. INTERNET

Admin FJP Law Offices. “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial”. Diakses


pada 18 April 2021, dari
https://fjp-law.com/id/penyelesaian-perselisihan-hubungan-industrial/.

Admin DSLA. “Tentang Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia”. Diakses


pada 18 April 2021, dari
https://www.dslalawfirm.com/perselisihan-hubungan-industrial/.

Alian, Goraahe. “PHK Sepihak & Perlawanan Buruh Terhadap PT Freeport


Indonesia”. Diakses pada 17 April 2021, dari
https://mapcorner.wg.ugm.ac.id/2018/09/phk-sepihak-perlawanan-buruh-terhadap-pt-f
reeport-indonesia/

Aminudin, Muhammad.“Jerit Karyawan Freeport, Mengaku Hak Tak Dipenuhi”.


Diakses pada 17 April 2021, dari
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3776915/jerit-karyawan-freeport-mengaku
-hak-tak-dipenuhi pada 17 April 2021.

Hukum Online. “PHK Sepihak”. Diakses pada 17 April 2021, dari


https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6996/phk-sepihak/

Lokataru. “Praktek Pelanggaran Hukum dan HAM oleh PT Freeport Indonesia


kepada Karyawan dan Keluarganya”. Diakses pada 17 April 2021, dari

12
https://lokataru.id/praktek-pelanggaran-hukum-dan-ham-oleh-pt-freeport-indonesia-k
epada-karyawan-dan-keluarganya/

Lokataru. “PT Freeport harus menghormati hukum Indonesia”. Diakses pada 18 April
2021, dari
https://lokataru.id/press-release-mogok-kerja-dinyatakan-sah-dan-anjuran-disnaker-m
erekomendasikan-bekerja-kembali-pt-freeport-indonesia-harus-menghormati-hukum-i
ndonesia-kasus-sengketa-ketenagakerjaan-antara-pt-f/

Lokataru. “Fakta-fakta Pelanggaran Hukum dan HAM terhadap Karyawan PT


Freeport”. Diakses pada 17 April 2021, dari
https://lokataru.com/fakta-fakta-pelanggaran-hukum-dan-ham-terhadap-karyawan-pt-f
reeport/

Lokataru. “Ratusan Perwakilan 8300 Karyawan PHK sepihak PT Freeport Indonesia


mendatangi gedung Komnas HAM”. Diakses pada 17 April 2021, dari
https://lokataru.id/ratusan-perwakilan-8300-karyawan-phk-sepihak-pt-freeport-indone
sia-mendatangi-gedung-komnas-ham/

D. UNDANG-UNDANG

Indonesia, UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. UU No. 2 Tahun


2004, LN No.4356.
Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39
Tahun 2003.

13

Anda mungkin juga menyukai