Anda di halaman 1dari 99

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan di ujung proses evalusi agar manusia

bisa mencapai tingkat kesempurnaan penuh. Manusia sangatdimung

kinkan untuk memiliki semua daya dan kecakapan yang dimiliki

oleh makhluk-makhluk lain yang mendahuluinya, sehingga dialah

yang tercanggih dan terunggul dari semua makhluk yang ada.

Dalam memenuhi kebutuhan hidup tentunya akan selalu

ketergantungan antar manusia. Manusia dituntut untuk bekerja agar

dapat memenuhi kebutuhan hidupnya baik usaha ataupun kerja

pada perusahaan.

Hubungan usaha dimulai dengan adanya sumbangan buruh

dalam suatu perjanjian kerja dengan pelaku usaha sebagaimana

dimaksud dalam pengertian hubungan kerja dalam Pasal 1 angka 15

Peraturan no 13 Tahun 2003 perihal Ketenagakerjaan yang

menyatakan jika “Hubungan kerja ialah hubungan antara pengusaha

dan pekerja berdasarkan perjanjian pekerja yang mempunyai unsur

pekerja, upah, dan perintah”. Penciptaan peraturan ketenagakerjaan,

khususnya pembuatan UU no 13 Tahun 2003 perihal Penyediaan

Tenaga Kerja yang merupakan induk dari Undang-Undang

Penyediaan Tenaga Kerja (UUK) lainnya, ialah untuk mewujudkan

masyarakat yang sejahtera, adil, makmur dan merata, baik yang

1
2

secara substansial maupun secara mendasar berlandaskan Pancasila

dan Undang-Undang. UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945, jika pengakuan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur

sebagaimana disinggung dalam alasan dibuatnya Peraturan

Penyediaan Tenaga Kerja No 13 Tahun 2003 ialah untuk mengakui

bantuan dan pemerataan pemerintah dalam penyelenggaraan

perkumpulan. terlibat dengan hubungan bisnis. Hal ini terlihat

dalam Pasal 1 angka 15 Peraturan No 13 Tahun 2003 perihal

Penyediaan Tenaga Kerja, khususnya tenaga ahli dan manajer.

Selanjutnya organisasi sering mengalami masalah dalam

menyelesaikan PHK, hal ini dikarenakan kebijakan pemecatan

diartikan sebagai kebijakan yang tidak memperhatikan pegawai.

Secara umum, kebijakan pemecatan suatu perusahaan tidak serta

merta merugikan karyawannya. Isu PHK sebenarnya dapat dilihat

dalam dua konteks: konteks pemahaman hukum yang baik dan

konteks manajemen modern dalam kebijakan PHK. Kedua hal di

atas sangat penting untuk menghindari konflik yang dapat

merugikan, baik perusahaan maupun pekerja.

Hubungan industrial ialah suatu tatanan hubungan yang

berbentuk antara penghibur selama waktu yang dihabiskan untuk

mengantarkan barang dagangan atau potensi manfaat yang terdiri

dari komponen visioner bisnis, buruh/pekerja, dan otoritas publik

dengan mengingat Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia


3

Tahun 1945. (Trijono, 2014:90). Berdasarkan UU no 13 Tahun

2003 diatur sedemikian rupa sehingga pemberhentian pegawai yang

berhalangan atau yang melanggar peraturan perusahaan dikenakan

syarat yang cukup ketat. Namun berbeda dengan UU no 11 Tahun

2020 perihal Penciptaan Lapangan Kerja, dimana pengusaha atau

perusahaan dapat memutuskan hubungan kerja dengan memberikan

alasan yang tidak objektif.

Perselisihan hubungan kerja (PHK) ialah berakhirnya suatu

hubungan usaha karena suatu hal yang berujung pada berakhirnya

kebebasan dan komitmen antara pekerja dan pengusaha/perusahan.

Hal ini dimungkinkan karena pengabaian, penghentian oleh

organisasi maupun lewatnya perjanjian (Bambang, 2013 : 299).

Sedangkan di Indonesia saat ini masuk dalam masa

pembangunan yang melibatkan perusahaan-perusahaan.

Pelaksanaan pembangunan yang melibatkan tenaga kerja sebagai

penunjang untuk berhasilnya pembangunan. Tenaga kerja ialah

penggerak perusahaan, oleh karena itu tenaga kerja diberikan

perlindungan karena merupakan aset penting dalam mendorong

pembangunan.

Di Indonesia, hubungan industrial berhubungan dengan

semua perkumpulan yang terkait dengan hubungan kerja dalam

suatu organisasi tanpa memperhatikan orientasi. Menurut Pasal 16

UU no 13 Tahun 2003 perihal Ketenagakerjaan menyebutkan


4

Hubungan industrial ialah suatu tatanan hubungan yang berbentuk

antara penghibur selama waktu yang dihabiskan untuk menciptakan

produk serta administrasi yang terdiri dari komponen pengusaha,

buruh/pekerja dan otoritas publik dengan mengingat Pancasila dan

UUD 1945. (Choirunisa, 2018:2).

Di Negara hukum Pancasila dalam bidang ketenagakerjaan

yaitu hukum yang mampu memberikan pengayoman dan keadilan

bagi pekerja/buruh dalam memperjuangkan hak-haknya untuk

hidup sejahtera dan untuk tidak perlakukan secara diskriminatif

oleh pengusaha/perusahaan atau ditempat bekerja. (Sadi Is &

Sobandi, 2020:19).

Putusnya hubungan usaha antara buruh/pekerja dengan

atasan biasanya disebut dengan PHK atau pemutusan hubungan

usaha, yang dapat terjadi karena lewatnya waktu tertentu yang telah

disepakati atau baru saja disepakati dan dapat juga terjadi karena

adanya perdebatan antar buruh/pekerja dan manajer, kematian

spesialis/pekerja/perwakilan bekerja atau untuk alasan yang

berbeda. (Asyahadie & Kusuma, 2019:252).

PHK pada hakekatnya merupakan tindakan yang sedapat

mungkin dihindari. Namun, didalam kasus perkara yang penulis

ambil sebagai materi dalam skripsi ini jika seorang pekerja bernama

Petrus Jonas Sahetapy bekerja pada PT. Taspen (PERSERO)

cabang Ambon sejak 1997 sampai dengan 2013 dan pada bulan
5

April 2013 Petrus Jonas Sahetapy dialihkan status menjadi

karyawan PT. Purna Kreasi Sejahtera. PT. Purna Kreasi Sejahtera

ialah perusahaan penyedia jasa tenaga bagi PT. Taspen (Persero).

Dengan beralihnya Petrus Jonas Sahetapy ke PT. Purna

Kreasi Sejahtera, maka hubungan kerja antara Petrus Jonas

Sahetapy dengan PT. Taspen (Persero) dinyatakan berakhir, karena

Petrus Jonas Sahetapy sudah menjadi karyawan PT. Purna Kreasi

Sejahtera. Sehingga telah terjadinya PHK yang dilakukan oleh PT.

Taspen kepada Petrus Jonas Sahetapy.

Setelah berakhirnya hubungan kerja antara Petrus Jonas

Sahetapy dan PT. Taspen di bulan April 2013, maka pada tahun

2013 itu juga, Petrus Jonas Sahetapy kemudian menjadi karyawan

PT. Purna Kreasi Sejahtera (PKS) yang merupakan perusahaan

penyedia jasa tenaga kerja bagi PT. Taspen dan dipekerjakan oleh

PT. Purna Kreasi Sejahtera (PKS) di PT. Taspen cabang Ambon

sebagai tenaga keamanan atau security, terhitung mulai bekerja

pada 1 April 2013 sampai dengan 30 Juni 2015.

Pada tanggal 30 Juni2015PT. Purna Kreasi Sejahtera

menyatakan tidak lagi memperpanjang kontrak kerjaPetrus Jonas

Sahetapy karena sudah memasuki usia pensiun. PHK oleh PT.

Purna Kreasi Sejahtera (PKS) terhadap Petrus Jonas Sahetapy

secara sepihak tanpa membayar hak-hak dari Petrus Jonas

Sahetapy. Sehingga Petrus Jonas Sahetapy mengajukan gugatan ke


6

pengadilan hubungan industrial (PHI) pada pengadilan negeri

Ambon.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis berkeinginan

untuk melaksanakan penelitian berupa skripsi yang diberi judul

“KAJIAN YURIDIS PERTANGGUNG JAWABAN DUA

PERUSAHAAN ATAS PHK KARYAWAN (STUDI KASUS

PERKARA NO 7/PDT.SUS-PHI/2016/PN.AMB)”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang pertanggung jawaban 2 (dua)

perusahaan dan PHK karyawan, untuk dapat menghasilkan sebuah

penelitian yang baik, penulis merumuskan rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan hukum dalam hubungan kerja antara

penggugat dengan PT Taspen dan PT Purna Kreasi Sejahtera

sesuai dengan putusan perkara no 7/Pdt.Sus- PHI/2016/PN.AM

B?

2. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam putusan perkara

no 7/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.AMB ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang didentifikasi di atas, tujuan

penelitian ini untuk mencari jawaban atas masalah-masalah sebagai

berikut :
7

1. Untuk belajar dan meneliti kedudukan hukum dalam hubungan

kerja antara penggugat dengan PT Taspen. Dan PT. Purna Kreasi

Sejahtera sesuai dengan putusan perkara no

7/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Amb.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji dasar pertimbangan hakim pada

putusan dalam perkara no 7/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Amb.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat serta kegunaan dari penelitian ini untuk penulis

khususnya, lembaga Universitas Ahmad Dahlan maupun

masyarakat pada umumnya.

1. Penulis

Menambah wawasan berpikir dan pengetahuan penulis

khususnya perihal pertanggungjawaban perusahaan atas PHK

karyawan.

2. Lembaga Universitas Ahmad Dahlan

Hasil penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa/i pada

umumnya, sehingga dapat menunjang kemampuan individu

mahasiswa/i untuk menjadi bahan kajian pengembangan

keilmuan di bidang hukum khususnya dan dapat dijadikan

referensi untuk penelitian selanjutnya.


8

3. Masyarakat

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan ide-ide

yang dapat digunakan sebagai literatur perihal masalah

dalam kemajuan ilmu dan pengetahuan hukum dimasa

depan. Selain itu, ia memiliki potensi untuk memperkuat dan

menyempurnakan hipotesis yang ada. Dan dapat digunakan

sebagai sumber daya bagi para sarjana yang ingin

mempelajari dan menyelidiki tanggung jawab PHK.

b. Manfaat Praktis

Harapannya dengan penelitian ini dapat membantu

masyarakat luas menyadari pentingnya bertanggung jawab

atas PHK karyawan.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif,

yaitu penelitian yang data primernya dalam penelitian (sains)

digolongkan sebagai data sekunder. (Soerjono Soekanto & Sri

Mamudji, 2015:24).

2. Sumber Data dan Bahan Hukum

a. Sumber Data

Sumber data penulis dalam penelitian ini hanya

data sekunder. Data sekunder ialah informasi yang


9

dikumpulkan dari buku-buku perpustakaan. (Soerjono

Soekanto & Sri Mamudji, 2015 : 12). Dengan kata lain jika

Penulis tidak perlu mengadakan penelitian sendiri secara

langsung melainkan penulis focus terhadap bahan-bahan

pustakan terkait penelitiannya sendiri.

b. Bahan Hukum

Penggunaan bahan hukum penulis meliputi :

a) Bahan Hukum Primer

Arttinya, unsur hukum yang berasal dari undang-

undang atau hukum positif yaitu :

1. UUD (UUD) 1945

2. UU no 13 Tahun 2003 perihal Ketenagakerjaan

(UUK)

3. UU no 11 Tahun 2020 perihal Cipta Kerja

4. Perjanjian Kerja Waktu Tetap, Outsourcing,

Waktu Kerja dan Waktu Istirahat serta PHK

semua diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)

no 35 tahun 2021.

5. Putusan Pengadilan Negeri Ambon No

7/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Amb perihal PHK.

6. UU no 2 Tahun 2004 perihal Penyelesaian

Hubungan Industrial (UU PHI).


10

b) Bahan Hukum Sekunder

Yaitu materi sah yang membantu dan

memberikan klarifikasi materi sah yang esensial,

untuk lebih spesifik:

1. Buku

2. Jurnal

3. Skripsi

4. Artikel

5. Dan literatur lain yang berkaitan dengan

penelitian

c) Bahan Tersier

Yaitu unsur yang memberikan penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

yaitu :

1. Kamus Hukum

2. Kamus Besar Bahasa Indonesia

3. Teknik Pengumpulan Data

Pendekatan pengumpulan data penulis dalam proposal skripsi ini

ialah penelitian kepustakaan, yang meliputi pengumpulan dan

pengkajian data kepustakaan berupa undang-undang, buku-buku


11

kepustakaan, makalah resmi, dan website resmi sesuai dengan yang

penulis perlukan.

4. Teknik Analisa Data

Pengelolaan data dalam penulisan skripsi ini, mengikuti

pengumpulan semua data, baik data sekunder maupun data analisa

yang telah sesuai dengan penelitian ini selanjutnya akan dianalisa

menggunakan metode kualitatif, sehingga kajian yang dilakukan dapat

menjadi acuan dan mendapatkan gambaran nyata maka data tersebut

dihidangkan secara deskriptif.

Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan induktif

untuk membuat temuan dalam penelitian ini. Metode induktif ialah

suatu bentuk pemikiran yang menarik kesimpulan umum dari situasi

tertentu. (Ishaq, 2017:8)


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Tinjauan Pustaka berisikan penjelasan sistematis dari para

penelitian terdahulu perihal hasil-hasil yang telah diteliti dan hal ini ada

kaitannya dengan penelitian yang sedang dilakukan oleh penulis. Penulis

sudah mencari dan menemukan literatur yang berkaitan dengan penelitian

namun memiliki perbedaan.

Pertama, Choirunissa dalam skripsinya di Fakultas Syariah dan

Hukum Unveristas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dengan judul

“Perlindungan Hukum Terhadap Karyawan Atas PHK Sektor Pangan Di

DKI Jakarta” berkesimpulan jika “tidak ada kebijakan yang diterapkan

perusahaan agar mencegah PHK dan pemenuhan hak-hak asasi yang diatur

dalam UUD (UUD) 1945 bagi ketentuan pegawai/karyawan yang pada

akhirnya dapat menimbulkan konflik dalam hubungan industrial.

Pemerintah juga tidak berupaya melindungi masyarakat dari diskriminasi

oleh pihak berwenang yang berujung pada PHK”. (Choirunissa, 2018:88).

Dalam penelitian ini belum menemukan kongkrit perihal

kedudukan hakim dalam hubungan kerja antara penggugat dan divisi

perusahaan dan dasar-dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan

perkara.

12
13

Persamaan pada penelitian yang dilakukan Choirunissa dan

penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu, untuk menghindari PHK

serta pemenuhan hak-hak asasi yang diatur dalam UUD (UUD) 1945.

Kedua, Erni Dwita Silambi dalam jurnal perihal “PHK Ditinjau

Dari Segi Hukum (Studi Kasus PT. Medco Lestari Papua) dirinya

berkesimpulan jika “PHK harus dirundingkan secara mufakat dan serikat

pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh jika pekerja/buruh yang

bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh jika

gagal maka dapat dilanjutkan dengan Tripartite dengan cara salah satu atau

kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang

bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan seperti Dinas Tenaga Kerja

(Disnaker), kemudian akan ditawarkan penyelesaian secara konsiliasi atau

arbitrase tapi jika dalam 7 hari kerja tidak ada keputusan maka akan

dilimpahkan pada mediator. Jika upaya itu masih gagal maka diselesaikan

pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)”. (Silambi, 2014:515).

Dalam penelitian belum menemukan bagaimana kedudukan hakim

dalam hubungan kerja antara penggugat dan perusahaan serta dasar

pertimbangan majelis hakim dalam mengambil keputusan.

Persamaan pada penelitian yang dilakukan oleh Erni Dwita Sliambi

dan penelitian yang dilakukan oleh penulis, yaitu pada saat PHK belum

ada perundingan antara pihak karyawan dengan pihak perusahaan agar

tercapainya mufakat.
14

Tabel 1.1

Tabel Tinjauan Pustaka

NO JUDUL PERBEDAAN PERSAMAAN

1. Choirunisa, 2018 Perbedaan dalam Untuk

Perbedaan Hukum penelitian ini belum menjauhi PHK

Terhadap Karyawan menemukan penguarain dan pemenuhan

Perihal PHK Pada kongkrit perihal kebebasan

Bidang Makanan di DKI kedudukan hakim dasar yang

Jakarta. Organisasi dalam hubungan kerja diatur dalam

menganggap jika tidak antara Penggugat UUD 1945.

ada pekerjaan yang dengan pihak

dilakukan oleh perusahaan dan dasar-

organisasi untuk dasar pertimbangan

menghindari hakim dalam

pemotongan dan memutuskan perkara.

memenuhi kebebasan

bersama yang diatur

dalam UUD 1945 atas

bantuan pemerintah

terhadap tenaga kerja,

khususnya untuk

bekerja, tanpa segregasi,

dan untuk memisahkan


15

kesejahteraan ekonomi

masyarakat. buruh yang

nantinya dapat

menimbulkan

pertanyaan dalam

hubungan bisnis.

Demikian pula tidak ada

pekerjaan dari otoritas

publik untuk melindungi

penduduk dari

pemisahan oleh para

ahli, mengakhiri bisnis

yang membawa

pelanggaran kebebasan

kerja.

2. Erni Dwita Silambi, Perbedaan dengan Persamaan

2014. PHK Ditinjau peneliti terdahulu ialah dengan peneliti

Dari Segi Hukum (Studi secara garis besar jika terdahulu jika

Kasus PT. Medco peneliti belum pada saat PHK

Lestari Papua) menemukan bagaimana belum ada

berkesimpulan jika PHK kedudukan hakim perundingannya

harus dirundingkan dalam hubungan kerja antara pihak

secara mufakat dan antara Penggugat dan karyawan


16

serikat pekerja/serikat perusahaan serta dasar dengan pihak

buruh atau sebaliknya pertimbangan hakim perusahaan

dengan spesialis/pekerja dalam mengambil agar

jika spesialis/pekerja keputusan. tercapainya

yang dimaksud bukan mufakat.

orang dari serikat

pekerja/serikat pekerja,

jika gagal, cenderung

dilanjutkan dengan

Tripartit oleh satu atau

kedua pelaku

mengajukan pertanyaan

kepada organisasi yang

bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan,

misalnya Disnaker,

maka penyelesaiannya

akan diajukan dengan

penenangan atau

intervensi namun jika

tidak ada pilihan setelah

7 (hari) kerja, itu akan

ditunjuk untuk orang


17

tengah. Dalam hal usaha

tersebut benar-benar

gagal, maka akan

diselesaikan di

Pengadilan Hubungan

Industrial.

B. Kajian Teori

1. Pengertian Hubungan Kerja

Menurut dengan UU no 13 Tahun 2003 perihal Ketenagakerjaan

(UUK), yang dimaksud dengan hubungan usaha ialah hubungan

antara seorang visioner usaha dengan seorang ahli/pekerja dalam

pengertian kesepahaman kerja, yang memiliki komponen kerja, upah,

dan perintah. Dari definisi tersebut, cenderung dirasakan jika suatu

hubungan bisnis dapat terjadi karena adanya kesepahaman kerja,

apakah perjanjian tersebut dibuat secara tertulis atau secara lisan.

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang

Ketenagakerjaan (UUK), yang dimaksud dengan pengertian kerja

ialah pengertian antara tenaga ahli/pekerja dengan pengusaha atau

atasan yang memuat keadaan berfungsinya, kebebasan dan komitmen

perkumpulan. Keabsahan pengaturan tersebut harus memenuhi

keadaan yang diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang


18

Ketenagakerjaan (UUK), dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang

Ketenagakerjaan (UUK) disebutkan 4 (empat) pengaturan kerja yang

mendasar, yaitu:

a. Persetujuan kedua belah pihak;

b. Keterampilan atau keahlian menghadapi perbuatan hukum;

c. Adanya pekerjaan yang sudah disepakati; dan

d. Pekerjaan yang disepakati tidak melanggar ketertiban umum,

kesusilaan, atau Peraturan Perundang-undangan (PP) yang

berlaku.

Syarat 1 dan 2 disebut sebagai syarat subjektif yang jika tidak

dipenuhi maka perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan

pembatalannya kepada pihak yang berwenang. Sedangkan syarat

3 dan 4 tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi

hukum, tidak sah sama sekali.

Perjanjian kerja diberikan sepenuhnya kepada pemberi pekerjaan,

pengusaha, dan perusahaan, dengan beberapa syarat dan ketentuan

yang tertuang dalam perjanjian kerja, yaitu harus memenuhi semua

ketentuan perjanjian kontrak kerja yang telah dijelaskan dalam

ketentuan hukum oleh Peraturan Perundang-undangan (PP). Perjanjian

kontrak kerja diklasifikasikan menjadi 2(dua) jenis, yaitu perjanjian

kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu

(PKWTT). (Iksan, 2020:2).


19

Perjanjian outsourcing ialah perjanjian antara majikan dan

vendor perihal bisnis outsourcing, sehingga hak dan kewajiban

dalam praktik outsourcing antara keduanya pihak, termasuk

kewajibannya untuk memenuhi hak-hak outsourcing pekerja.

(Shalihah, 2017:9).

Dalam prakteknya, perjanjian kerjasama/kontrak outsourcing saja 

berisi persetujuan untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu

dengan seorang jenderal tertentu pembayaran tanpa membuat klausul

rinci perihal klasifikasi sifat dan jenis pekerjaan. Itu juga tidak

membuat proses mengalir kegiatan, perlindungan dan kondisi kerja

bagi pekerja. Kontrak outsourcing/perjanjian kontrak yang tidak jelas

dan merinci perihal sifat dan jenis pekerjaan yang akan

disubkontrakkan outsourcing menyebabkan prinsipal untuk secara

bebas dan sewenang-wenang menyewa outsourcing pekerja untuk

kegiatan utama perusahaan. Demikian pula, outsourcing perjanjian

kerjasama/kontrak yang tidak memuat klausul perihal perlindungan

dan kondisi kerja akan mengakibatkan tidak terpenuhinya

perlindungan kerja dan kondisi kerja yang merupakan hak dasar dari

pekerja. (Shalihah, 2017: 11)

Hubungan bisnis terjadi setelah pemahaman bisnis, dan

pemahaman kerja ialah kesempatan yang sah, dengan tujuan agar hasil

hubungan bisnis mengarah pada kebebasan dan komitmen pertemuan,

khususnya pelaku bisnis dan spesialis/pekerja. (Shalihah, 2016:74).


20

Pada dasarnya, hubungan bisnis ialah hubungan yang

mengatur/mengandung keistimewaan dan komitmen antara

buruh/pekerja dengan atasan. Besarnya kebebasan dan komitmen

masing-masing harus disesuaikan. Sehubungan dengan hubungan

kerja, komitmen pertemuan sesuai. (Shalihah, 2016:75).

Kebebasan buruh/pekerja ialah semua yang harus diperoleh oleh

setiap individu yang telah ada sejak lahir, bahkan dari dalam.

Kebebasan pekerja/buruh selalu melekat pada setiap individu yang

bekerja dengan mendapatkan imbalan. Karena pekerjaannya

merupakan paksaan dari bisnis, seorang buruh perlu mendapatkan

jaminan jaminan dari kegiatan yang tidak konsisten dari individu yang

membayar kompensasinya. Kebebasan spesialis/pekerja muncul

bersamaan dengan saat pekerja/pekerja mengikatkan diri pada usaha

untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Sebagian dari hak istimewa

spesialis ialah sebagai berikut:

1) Hak untuk dibayar;

2) Hak cuti tahunan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan hukum

yang berlaku;

3) Hak atas perlakuan yang sama dibawah hukum;

4) Kebebasan beribadah menurut ajaran agamanya masing-masing;

dan

5) Hak untuk kebebasan berpendapat. (Hafizhjah & Nasution,

2021:5).
21

Namun jika PHK dilakukan secara sepihak dan pekerja yang

diberhentikan tidak mendapatkan hak yang seharusnya dijamin, hal ini

jelas dapat merugikan pekerja. Selain kehilangan pekerjaan, para

pekerja tidak mendapatkan keadilan yang layak mereka terima.

(Angelia, 2020:10).

2. Jenis-Jenis PHK

Ada banyak bentuk PHK yang dikenal dalam literatur hukum

ketenagakerjaan, yaitu :

a. PHK oleh majikan /pengusaha.

Pengakhiran usaha (PHK) oleh atasan atau manajer

merupakan hal yang paling banyak diketahui, baik karena

kesalahan buruh maupun dilihat dari keadaan organisasi.

Pengakhiran usaha (PHK) oleh pengelola seringkali membawa

akibat yang merugikan, terutama bagi buruh dan keluarganya

dalam menjaga daya tahannya. Perihal hasil akhir pekerjaan

(PHK) ini, maka dalam masa perbaikan masyarakat yang

menuntut terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur secara

merata baik secara substansial maupun secara mendalam, hal

tersebut tidak boleh terjadi.

b. PHK oleh pekerja/buruh.


22

Pihak buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan

persetujuan pengusaha setiap saat, dan pekerja juga dapat

memutuskan hubungan kerja secara sepihak tanpa persetujuan

pengusaha

Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan

alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 UU no 13 Tahun

2013 perihal Ketenagakerjaan, dan pekerja/buruh yang mengalami

PHK yang melanggar Pasal 170 UU no 13 Tahun 2013 perihal

Ketenagakerjaan batal demi hukum, dan pengusaha wajib

mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan dan membayar

semua upah dan hak yang seharusnya diterima, namun oleh UU

no. 11 tahun 2020 perihal Cipta Kerja ketentuan tersebut telah

dihapus.

c. PHK demi hukum.

PHK demi hukum ialah PHK yang terjadi secara otomatis

setelah jangka waktu perjanjian yang ditetapkan oleh pengusaha

dan pekerja berakhir.

Bilamana pekerja atau/buruh memasuki masa pensiaun,

maka oleh pengusaha dapat melaksanakan PHK sebagaimana

ketentuan Pasal 157 UU No.13 tahun 2013 perihal Ketengakerjaan


23

yang dirubah dengan ketentuan Pasal 81 angka 38 UU No. 11

tahun 2020 perihal Cipta Kerja dan kepada pengusaha agar

membayar hak-hak pekerja/buruh sebagaimana yang telah

ditentukan.

d. PHK oleh pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial (PPHI).

Masing-masing pihak dalam perjanjian kerja dapat

mengajukan petisi ke pengadilan negeri untuk mengakhiri

hubungan kerja dengan alasan yang mendasar. PHK oleh

pengadilan dapat terjadi karena berbagai alasan/penyebab :

1) PHK karena perusahaan pailit (berdasarkan putusan

Pengadilan Niaga) (Pasal 165 Undang-Undang

Ketenagakerjaan perihal PHK terhadap pekerja/buruh karena

perusahaan pailit);

2) PHK terhadap anak yang tidak memenuhi syarat untuk bekerja

yang digugat untuk lembaga Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial (PPHI) (Pasal 68 perihal perusahaan

dilarang mempekerjakan anak);

3) PHK karena berakhirnya perjanjian kerja (Pasal 154 huruf b

kalimat kedua dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan).


24

3. Penyebab Terjadinya PHK Oleh Pengusaha Terhadap Pekerja Ditinjau

Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan

Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Ketenagakerjaan,

PHK ialah berakhirnya hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang

mengakibatkan putusnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh

dengan perusahaan.  Sementara itu menurut Abdul Khakim (2014:

175) menyatakan PHK merupakan suatu pengakhiran sumber nafkah

bagi pekerja/buruh dan keluarganya yang dilakukan oleh pengusaha.

Beberapa penyebab terjadinya PHK oleh pengusaha berdasarkan

Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu sebagai berikut :

a. Berakhirnya hubungan kerja, diatur dalam Pasal 154.

Berakhirnya hubungan kerja karena pekerja meninggal dunia,

pegawai mencapai usia pensiun (juga diatur dalam Pasal 167), dan

berakhirnya hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu.

b. Karyawan terbukti telah melaksanakan kesalahan berat,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158. Dalam Pasal ini terdapat

sepuluh golongan kesalahan berat, salah satunya ialah perwakilan

memberikan data palsu atau salah merepresentasikan kelemahan

organisasi.

c. Karyawan ditahan oleh pihak yang berwajib dikarenakan bukan

atas laporan pengusaha, diatur dalam Pasal 160. Jika pengadilan

memutuskan perkara pidana sebelum 6 bulan dan pekerja


25

dinyatakan tidak bersalah, perusahaan wajib mempekerjakan

kembali.

d. Pekerja melaksanakan pelanggaran, diatur dalam Pasal 161.

Pekerja telah melaksanakan pelanggaran atas kesepakatan kerja,

peraturan perusahaan dan peraturan internal lainnya yang telah

disepakati, setelah perusahaan telah memberikan surat peringatan

sebanyak 3 kali secara berturut-turut kepada yang bersangkutan.

e. Perubahan status, penggabungan, peleburan/perubahan kepemilikan

(Pasal 163). Jika terjadi PHK karena terjadi perubahan status,

penggabungan (mager), peleburan (konsolidasi) atau perubahan

kepemilikan perusahaan (akuisis), dan pekerja tidak bersedia

melanjutkan hubungan kerja maka terhadap pekerja berhak atas

uang pesangon satu kali dan uang pengganti hak. Jika PHK yang

terjadi disebabkan oleh perubahan status, merger, atau konsolidasi,

dan pengusaha tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja dengan

pekerja berhak uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa

kerja satu kali, dan uang pengganti hak.

f. Perusahaan mengalami kerugian, diatur dalam Pasal 164.

PHK ketika suatu perusahaan bangkrut dan dilikuidasi karena

kerugian seperti yang ditunjukkan oleh dokumen keuangan, dan

perusahaan telah mengalami kerugian beturut-turut selama 2 (dua)

tahun.

g. Perusahaan dalam keadaan pailit, diatur dalam Pasal 165.


26

Pekerja berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja,

dan uang pengganti hak sesuai ketentuan Pasal 156.

h. Karyawan bolos atau tidak masuk kerja tanpa izin sekurang-

kurangnya 5 hari berturut-turut, meskipun perusahaan telah dua

kali mengeluarkan panggilan formal dan tertulis, dan karyawan

tidak dapat memberikan alasan yang dapat diterima kepada

perusahaan (Pasal 168).

Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK), PHK diatur

dalam pengaturan Pasal 150-172, yang pada dasarnya menyatakan jika

pengusaha tidak dapat melaksanakan PHK dengan alasan sewenang-

wenang kepada pekerjanya. Jadi penyebab atau alasan pemecatan

tenaga ahli harus sesuai dengan Undang-Undang Penyediaan Tenaga

Kerja (UUK). Pada dasarnya, pengusaha harus melaksanakan

sebanyak mungkin yang dapat diharapkan untuk membatasi kejadian

PHK bagi pekerja.

Perusahaan dapat melaksanakan PHK karena karyawan melanggar

kontrak kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Namun, perusahaan harus mengeluarkan peringatan tiga kali berturut-

turut sebelum dipecat. Perusahaan juga dapat menentukan sanksi yang

layak tergantung jenis pelanggaran. Untuk pelanggaran tertentu,

perusahaan bisa mengeluarkan SP 3 secara langsung atau langsung

memecat pekerja yang bersangkutan. Bagi pekerja yang di PHK,

alasan PHK berperan besar dalam menentukan apakah pekerja


27

tersebut berhak atau tidak berhak atas uang pesangon, uang

penghargaan dan uang penggantian hak. (Fathammubina & Apriani,

2018:8).

4. Tanggung Jawab Perusahaan Tehadap Tenaga Kerja Akibat PHK

Berakhirnya hubungan kerja menandai awal dari masa sulit bagi

karyawan dan keluarga mereka. Akibatnya, untuk membantu atau

setidaknya mengurangi beban pekerja yang diberhentikan, undang-

undang memberikan atau memaksa perusahaan untuk menawarkan

uang pesangon, uang penghargaan, dan uang kompensasi untuk hak.

Dengan adanya pemecatan karyawan ini memberikan dampak yang

sangat besar bagi perusahaan terutama masalah keuangan.

Pemberhentian pegawai membutuhkan biaya yang besar, seperti uang

pensiun, uang pesangon, dan tunjangan lainnya. Demikian pula, ketika

seorang karyawan diberhentikan, perusahaan menghabiskan sejumlah

besar uang untuk pesangon dan pengembangan karyawan. Tentu saja

ketika memberhentikan seorang karyawan sangat berpengaruh

terhadap karyawan itu sendiri. Dengan diberhentikan dari

pekerjaannya maka berarti karyawan tersebut tidak dapat lagi

memenuhi kebutuhan secara maksimal untuk karyawan dan

keluarganya. Atas dasar tersebut, maka manajer sumber daya manusia

harus sudah dapat memperhitungkan berapa jumlah uang yang

seharusnya diterima oleh karyawan yang berhenti, agar karyawan


28

tersebut dapat memenuhi kebutuhannya sampai pada tingkat dianggap

cukup. (Maringan, 2015:3).

5. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

a. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial

Perselisihan hubungan kerja ialah perselisihan yang

menimbulkan konflik antara pengusaha atau campuran pengusaha

dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh perihal hak,

kepentingan, PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat

buruh dalam satu perusahaan. (Pasal 1 UU No. 2 tahun 2004).

Oleh karena itu, Undang-Undang no. 2 tahun 2004

mengenal 4 (empat) jenis perselisihan, yaitu:

1) Perselisihan Hak

Perselisihan hak ialah perselisihan yang terjadi perbedaan

pelaksanaan atau penfsiran peraturan perundang-undangan,

kontrak kerja, peraturan perusahaan, ketentuan perjanjian

kerja bersama, dan syarat-syarat lainnya sehingga

mengakibatkan hak tidak dipenuhi.

2) Perselisihan Kepentingan

Perselisihan kepentingan ialah perselisihan dalam hubungan

kerja yang timbul dari suatu hubungan kerja yang

disebabkan karena perbedaan pendapat perihal pembuatan


29

dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang diatur dalam

peraturan perusahaan, kontrak kerja, atau perjanjian kerja

bersama.

3) Perselisihan PHK

Perselisihan hubungan kerja ialah perselisihan yang

diakibatkan oleh tidak adanya kesepakatan perihal PHK

oleh salah satu pihak.

4) Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh

Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh ialah

perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh lainnya

yang hanya terjadi dalam satu perusahaan, karena tidak

adanya kesepakatan perihal pengertian keanggotaan serikat

pekerja, pelaksanaan hak dan kewajiban serikat pekerja.

b. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Mekanisme yang harus diikuti untuk setiap perselisihan

ialah sebagai berikut:

1) Penyelesaian lewat cara bipartit

Penyelesaian bipartit ialah penyelesaian dilakukan

antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh

dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan

hubungan kerja.

Perselisihan dalam hubungan industrial harus

diselesaikan lewat cara bipartit sebelumnya antara kedua


30

belah pihak untuk mencapai kesepakatan (damai).

Penyelesaian perselisihan antara kedua belah pihak lewat

cara jalur bipartit harus diselesaikan selambat-lambatnya 30

(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya

perundingan. Jika perundingan tersebut menghasilkan suatu

kesepakatan, maka perjanjian damai itu didaftarkan pada

pengadilan hubungan industrial. Namun, dalam waktu 30

(tiga puluh) hari, jika salah satu pihak menolah untuk

berunding atau telah terjadi perundingan tetapi tidak

tercapai kesepakatan, maka kedua belah pihak dianggap

gagal dalam perundingan.

2) Penyelesaian lewat cara mediasi

Penyelesaian mediasi ialah penyelesaian perselisihan

hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu

perusahaan hanya lewat cara musyawarah yang dimediasi

oleh suatu atau lebih mediator netral.

Perselisihan diselesaikan lewat cara mediasi oleh

mediator di setiap instansi kabupaten/kota yang

bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. (Pasal 8 UU

no. 2 tahun 2004).

Dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja

sejak tanggal diterimanya hasil penyelesaian perselisihan,


31

mediator harus melanjutkan pemeriksaan perkembangan

kasus serta berkas tersebut dan bergegas mengadakan

pertemuan mediasi. (Pasal 10 UU no.2 tahun 2004).

Untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial

ini, orang-orang yang diminta oleh mediator untuk

memberikan informasi, termasuk membuka buku dan

menunjukkan dokumen yang diperlukan. Dalam hal ini jika

informasi yang diminta menyangkut dengan seseorang yang

harus dirahasiakan karena jabatannya, maka prosedurnya

harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. (Pasal 12 UU no. 2 tahun 2004).

Untuk penyelesaian perselisihan hubungan kerja lewat

cara mediasi, maka dibuatlah perjanjian bersama yang

ditandatangani oleh para pihak, disaksikan oleh mediator

dan didaftarkan pada pengadilan hubungan industrial pada

pengadilan setempat. Kedua belah pihak mendatangani

perjanjian bersama untuk mendapatkan sertifikat

pendaftaran. Dan jika tidak ada kesepakatan untuk

menyelesaikan perselisihan hubungan industrial lewat cara

mediasi, maka :

a) Mediator mengeluarkan rekomendasi tertulis;


32

b) Usulan tertulis harus disampaikan kepada kedua belah

pihak dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah rapat

mediasi pertama;

c) Para pihak harus setuju atau menolak rekomendasi

tertulis dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah

menerima rekomendasi tertulis dan menyerahkan

tanggapan tertulis kepada mediator;

d) Setiap pihak yang tidak memberikan pendapat akan

dianggap telah menolak rekomendasi tertulis tersebut;

e) Jika para pihak menyetujui rekomendasi tertulis, dalam

waktu 3 (tiga) hari kerja setelah rekomendasi tertulis

disetujui, mediator harus melengkapi dan membantu

para pihak mencapai kesepakatan bersama sebelum

mereka dapat mendaftar ke pengadilan hubungan

industrialdi pengadilan setempat dan menandatangani

kesepakatan bersama dalam yurisdiksi para pihak

kesepakatan untuk mendapatkan sertfikat pendaftaran.

(Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU no 2 tahun 2004).

Seorang mediator yang tidak dapat menyelesaikan

perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama

30 (tiga puluh) hari kerja tanpa alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan sebagaimana diatur dalam Pasal 15

UU no 2 tahun 2004 perihal Penyelesaian Perselisihan


33

Hubungan Industrial dapat dikenakan sanksi administratif

berupa tindakan disipliner harus diambil sesuai dengan

hukum yang berlaku untuk pejabat publik. (Trijono,

2014:102).

3) Penyelesaian lewat cara konsiliasi

Penyelesaian perselisihan lewat cara konsiliasi

ditangani

oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang ber

tanggungjawab dibidang ketenagakerjaan. (Pasal 17 UU no.

2 tahun 2004).

Penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan

PHK atau perselisihan dengan serikat pekerja/serikat buruh

hanya dalam satu perusahaan lewat cara konsialis dilakukan

oleh seorang konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi

tempat pekerja/buruh pekerja. Penyelesaian oleh seorang

konsiliator, dilaksanakan setelah para pihak mengajukan

permintaan penyelesaian secara tertulis kepada seorang

konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.

Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan

dipilih dan disepakati dari daftar nama konsiliator yang

dipasang dan diumumkan pada kantor instansi pemerintah

yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan setempat.

(Pasal 18 UU No 2 tahun 2004).


34

Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah

menerima permintaan tertulis untuk menyelesaikan

perselisihan, konsiliator harus mengadakan sidang untuk

menyelidiki perkara dan mengadakan pertemuan konsiliasi

pertama paling lambat pada hari kerja kedelapan. (Pasal 20

UU no 2 tahun 2004).

Konsiliator dapat memanggil saksi atau ahli untuk

menghadiri sidang konsiliasi untuk mengajukan pertanyaan

dan mendengarkan keterangan mereka. Saksi atau ahli yang

menghadap undangan pengadilan berkuasa atas

pengembalian upah perjalanan dan fasilitas yang besarnya

akan ditentukan atas keputusan Menteri. (Pasal 21 UU no. 2

tahun 2004).

Setiap orang yang diminta oleh konsiliator untuk

memberikan informasi guna menyelesaikan perselisihan

hubungan industrial sesuai dengan Undang-Undang ini

harus wajib memberikan informasi, termasuk membuka

buku dan menunjukkan dokumen yang diperlukan. Jika

informasi yang diminta konsiliator menyangkut seseorang

yang posisinya harus dirahasiakan, prosedur hukum yang

berlaku harus diikuti. Konsiliator wajib menjaga kerahasian

semua informasi yang diperlukan sesuai dengan peraturan


35

perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 22 UU no 2

tahun 2004).

Dalam hal dicapai kesepakatan perihal penyelesaian

perselisihan hubungan industrial lewat cara konsiliasi, maka

para pihak akan menandatangani dan membuat perjanjian

bersama dimana disaksikan oleh konsiliator dan didaftarkan

pada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan

negeri setempat. Para pihak menandatangani perjanjian

bersama dan memperoleh sertifikat pendaftaran.

Dalam hal ini, jika tidak ada kesepakatan untuk

menyelesaikan perselisihan hubungan industrial lewat cara

konsiliasi, maka :

a) Konsiliator mengeluarkan rekomendasi tertulis;

b) Usulan tertulis disampaikan kepada para pihak dalam

waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah rapat konsiliasi

pertama;

c) Para pihak harus menanggapi secara tertulis kepada

konsiliator denga nisi menerima atau menolak

permintaan tertulis dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja

sejak tanggal diterimanya permintaan tertulis;

d) Jika para pihak menyetujui usul tertulis tersebut,

selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah usul

tertulis disetujui, konsiliator harus melengkapi dan


36

sudah selesai membantu para pihak mencapai

perjanjian bersama untuk didaftarkan di pengadilan

hubungan industrial pada pengadilan negeri wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia, para pihak untuk

memperoleh sertifikat pendaftaran. (Pasal 23 UU no 2

tahun 2004).

Konsiliator akan menyelesaikan tugasnya dalam waktu

30 (tiga puluh) hari kerja setelah menerima permintaan

penyelesaian perselisihan. (Pasal 25 UU no 2 tahun 2004).

4) Penyelesaian lewat cara arbitrase

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial lewat

cara arbitrase ialah penyelesaian kepentingan dan

perselisihan antara hanya satu serikat pekerja/serikat buruh

selain pengadilan hubungan industrial dengan kesepakatan

tertulis para pihak yang mengajukan penyelesaian kepada

arbiter. Keputusannya mengikat kedua belah pihak dan

bersifat final. (Trijono, 2014:106).

Arbiter yang disetujui untuk menyelesaikan masalah

hubungan kerja harus menjadi otoritas yang didelegasikan

oleh Menteri. Wilayah berfungsinya mediator meliputi

seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(Pasal 30 UU no 2 tahun 2004).


37

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial lewat

cara arbiter didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak

yang bersengketa. Kesepakatan antara para pihak yang

bersengketa sebagaimana dimaksud dalam peraturan

perundang-undangan dibuat dalam bentuk tertulis, dalam

rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak mengambil 1

(satu) rangkap yang mempunyai kekuatan hukum yang

sama. Surat perjanjian arbitrase, paling sedikit memuat :

a. Nama dan alamat lengkap atau tempat tinggal kedua

belah pihak yang berselisih;

b. Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan

yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan

dan diambil putusan;

c. Jumlah arbiter yang disepakati;

d. Pernyataan para pihak yang bersengketa untuk

pengajuan dan pelaksanaan putusan arbitrase; dan

e. Tempat, tanggal dan tanda tangan kedua belah pihak

untuk menandatangani perjanjian. (Pasal 32 UU no 2

tahun 2004).

Jika kedua belah pihak menandatangani perjanjian

arbitrase, kedua belah pihak berhak memilih arbiter dari

daftar arbiter yang ditentukan oleh Menteri. Para pihak yang

berselisih dapat menunjuk seseorang atau lebih arbiter


38

(majelis) dengan jumlah seluruhnya 3 (tiga) orang. Jika

kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk seorang arbiter

tunggal, kedua belah pihak harus mencapai kesepakatan

atas nama arbiter yang sesuai dalam waktu 7 (tujuh) hari

kerja. Jika para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter dalam

jumlah ganjil, masing-masing pihak berhak memilih arbiter

paling lambat 3 (tiga) hari kerja, dan arbiter ketiga akan

ditentukan oleh panitia arbitrase. Arbiter yang ditunjuk

paling lambat 7 (tujuh) hari kerja akan diangkat menjadi

ketua majelis arbitrase.

Pengangkatan arbiter akan dilakukan secara tertulis,

maka jika para pihak tidak setuju untuk menunjuk seorang

arbiter tunggal atau beberapa arbiter atas permintaan salah

satu pihak, ketua majelis dapat menunjuk seorang arbiter

dari daftar arbiter untuk menjadi arbiter yang diputuskan

oleh Menteri. Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak

perihal hal-hal yang dapat mempengaruhi kebebasannya

atau menimbulkan keputusan yang tidak adil, barang siapa

menerima penunjukan sebagai arbiter harus

memberitahukan penerimaannya secara tertulis kepada para

pihak. (Pasal 33 UU no 2 tahun 2004).

Arbiter harus menyelesaikan perdebatan hubungan

industrial dalam jangka 30 (tiga puluh) hari kerja setelah


39

menyetujui kesepakatan perihal pengaturan mediator.

Pemeriksaan atas pertanyaan tersebut harus dimulai

selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah penandaan

kesepahaman pengaturan arbiter. Dengan pengesahan kedua

pihak tersebut, mediator memiliki opsi untuk memperluas

sejauh mungkin penyelesaian perdebatan hubungan

industrial dengan 1 (satu kali), paling lambat 14 (empat

belas) hari kerja. (Pasal 40 UU no 2 tahun 2004).

Peninjauan kembali terhadap perselisihan hubungan

industrial oleh arbiter atau majelis arbiter harus diadakan

diruangan tertutup, kecuali para pihak yang bersengketa

meminta lain. Dalam sidang arbitrase, kedua belah pihak

yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya lewat cara

surat kuasa khusus. (Pasal 41 UU no 2 tahun 2004).

Yang diartikan dengan surat kuasa khusus ialah jika

para pihak yang bersengketa sebagai pemberi kuasa

memberikan kuasa kepada satu orang atau lebih untuk

melaksanakan perbuatan hukum dan perbuatan lain yang

berkaitan dengan hal-hal tertentu yang diatur dalam

Undang-undang yang ditentukan atas nama pemberi kuasa

secara khusus dalam surat kuasa. (Trijono, 2014:111)

Arbitrase harus terlebih dahulu mencoba untuk

mendamaikan perselisihan antara kedua belah pihak untuk


40

menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Jika

perdamaian yang disebutkan dalam peraturan perundang-

undangan tercapai, arbiter atau majelis arbiter harus

membuat kontrak perdamaian yang ditandatangani oleh

para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter.

Namun, jika perdamaian gagal, arbiter atau majelis arbiter

harus melanjutkan sidang arbitrase. (Pasal 44 UU no 2

tahun 2004).

Perselisihan hubungan industrial yang sedang

diselesaikan atau telah diselesaikan lewat cara arbitrase

tidak dapat diajukan ke pengadilan hubungan industrial.

(Pasal 53 UU no 2 tahun 2004).

Baik arbiter maupun majelis arbiter tidak bertanggung

jawab atas segala tindakan yang dilakukan selama proses

persidangan untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter

atau majelis arbiter, kecuali jika ada bukti niat jahat dalam

persidangan. (Pasal 54 UU no 2 tahun 2004).

5) Penyelesaian lewat cara pengadilan hubungan industrial

Pengadilan hubungan industrial ialah pengadilan

khusus yang berkedudukan dilingkungan pengadilan negeri

setempat, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan

memutus perselisihan dalam hubungan industrial. (Trijono,

2014:117).
41

Pengadilan hubungan industrial (PHI) mempunyai

tugas dan wewenang untuk mempertimbangkan dan

memutuskan :

a. Di tingkat pertama perihal perselisihan hak;

b. Perihal perselisihan kepentingan di tingkat pertama dan

terakhir;

c. Di tingkat pertama berkaitan dengan perselisihan PHK;

d. Pada tingkat pertama dan terakhir perselisihan antar

serikat pekerja/serikat buruh di dalam satu perusahaan.

Hukum acara yang berlaku di pengadilan hubungan

industrial ialah hukum acara perdata yang berlaku untuk

pengadilan lembaga pengadilan umum, kecuali yang

secara tegas diatur dalam UU no 2 tahun 2004.

Dari uraian tersebut dapat dilihat jika penyelesaian

perselisihan hubungan industrial pada dasarnya dapat

diselesaikan di luar pengadilan atau di dalam pengadilan.

Penyelesaian di luar pengadilan ialah penyelesaian yang

dicapai lewat cara mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.

Penyelesaian lewat cara pengadilan ditangani oleh

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).


42
BAB III

KAJIAN YURIDIS PERTANGGUNG JAWABAN DUA PERUSAHAAN

ATAS PHK KARYAWAN (STUDI KASUS PERKARA NO 7/PDT.SUS-

PHI/2016/PN.AMB)

A. Hasil Penelitian

1. Profil PT Taspen

PT Taspen didirikan pada tanggal 17 April 1963

berdasarkan akta pendirian Akta Notaris Imas Fatimah, S.H. No

53 tanggal 17 Maret 1988 dan telah diperbaiki dengan Akta No

10 tahun 1988 tanggal 2 Juli 1988 dihadapan Zulkii Harahap,

S.H., pengganti notaris Imas Fatimah, S.H. PT Taspen pusat

beralamat di Jalan Letjen Suprapto No. 45, Cempaka Putih

Jakarta Pusat. PT Taspen Cabang Ambon beralamat di Jalan

Tulukabessy No. 50, Mardika, Kel. Rijali, Kec. Sirimau, Kota

Ambon, Maluku, Indonesia. Berikut beberapa hal perihal PT

Taspen:

a. Sejarah PT Taspen

PT Tabungan Dana dan Asuransi Pegawai Negeri Sipil

(Persero) yang juga dikenal sebagai PT Taspen (Persero),

telah menjadi bagian yang tak terhapuskan dari sejarah

Panjang pegawai pemerintah di Indonesia atas tugas yang

diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam

43
44

mempersiapkan program jaminan pegawai negeri sipil

(PNS) yang terdiri dari program pensiun pegawai negeri

sipil dan tabungan hari tua (THT) yang sepenuhnya

bertujuan untuk memberikan bantuan pemerintah bagi

pegawai negeri sipil pada saat pensiun.

Berawal dari Musyawarah Kesejahteraan Pegawai

Negeri Sipil yang diselenggarakan pada tanggal 25-26 Juli

1960 di Jakarta yang menghasilkan Keputusan Menteri

Pertama Republik Indonesia No 388/MP/1960 tanggal 25

Agustus 1960. Dalam pilihan tersebut, masyarakat

melaksanakan arti penting menetapkan pensiun yang

dikelola pemerintah sebagai pengaturan bagi Pegawai

Negeri Sipil dan keluarganya dalam masa pensiun.

Kemudian, pada saat itu, pada tanggal 17 April 1963, badan

publik mendirikan Perusahaan Negara Dana Tabungan dan

Asuransi Pegawai Negeri Sipil (PT TASPEN) lewat cara

Peraturan Pemerintah (PP) No 15 Tahun 1963. Landasan

Program Tabungan Pensiun Pegawai Negeri Sipil diatur

dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 9 Tahun 1963 perihal

Pembelanjaan Pegawai Negeri Sipil (PPN) dan Peraturan

Pemerintah (PP) No 10 Tahun 1963 perihal Tabungan

Asuransi dan Pegawai Negeri Sipil (Taspen).


45

Seiring dengan bertambahnya jumlah pegawai negeri

dan semakin luasnya tata usaha, pada tanggal 18 November

1970 lewat cara Keputusan Menteri Keuangan Republik

Indonesia No Kep.749/MK/IV/11/1970 PT TASPEN diubah

menjadi Perusahaan Umum (PU). Perubahan status dari

organisasi publik menjadi organisasi tanggung jawab

terbatas diselesaikan dengan melihat Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No 26 Tahun 1981 dan disahkan dengan

Akta Notaris Imas Fatimah No 4 tanggal 4 Januari 1982

dengan nama PT TASPEN ( PERSERO) yang

mengkoordinir Program Tabungan Hari Tua dan Program

Pensiun.

Sebagai perkembangan dari Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No 25 Tahun 1981, pada tanggal 22

September 1986 dengan Keputusan Menteri Keuangan No:

882/KMK.03/1986 tanggal 22 September 1986 dan Surat

Keputusan Menteri Dalam Negeri No : 842,1-841 tanggal 13

Oktober 1986 perihal tugas angsuran tunjangan di wilayah

Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur

(NTT) terhitung 1 Januari 1987. Dilanjutkan untuk wilayah

Sumatera pada tanggal 1 Januari 1988 berdasarkan

Keputusan Menteri No: 702/KMK.03/1987 tanggal 31

Oktober 1987 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No:


46

842.1-1402/PUOD tanggal 14 November 1987 maka

berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No:

812/KMK.03/1988 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri

No: 842.1-755 tanggal 23 Agustus 1988, Perusahaan

memberikan angsuran manfaat bagi wilayah Jawa dan

Madura mulai tanggal 1 Januari 1989. Untuk wilayah

Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya dan timur, mulai

terhitung tanggal 1 April 1990 berdasarkan Keputusan

Menteri Keuangan No: 79/KMK.03/1990 tanggal 22 Januari

1990 dan Surat Menteri Dalam Negeri No: 842,1-099

tanggal 12 Februari 1990, dengan tujuan jika pelaksanaan

angsuran santunan kemaslahatan umum telah dilaksanakan

pada tanggal 1 April 1990 sejak beberapa waktu yang lalu.

Pada tahun 2014, dalam rangka membidik diri sebagai

organisasi yang melayani pensiunan federal Aparatur Sipil

Negara berdasarkan Pasal 92 ayat (4) dan Pasal 107 UU no

5 Tahun 2014 perihal Aparatur Sipil Negara, Pemerintah

telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 70 Tahun 2015

tanggal 16 September 2015 perihal Jaminan Kecelakaan

Kerja dan Jaminan Kematian Pegawai Aparatur Sipil Negara

yang selanjutnya direvisi dengan Peraturan Pemerintah No

66 Tahun 2017 tanggal 29 Desember 2017 perihal

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 70 Tahun 2015


47

perihal Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian

Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara. Untuk itu, PT

TASPEN (PERSERO) dipercaya untuk menangani Program

Jaminan Sosial, khususnya Program Jaminan Kecelakaan

Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) mulai 1 Juli

2015.

Berbekal wawasan dalam memberikan

penyelenggaraan program perlindungan sosial kepada ASN

dan Penyelenggara Negara serta memberikan dukungan

terbaik bagi Peserta, TASPEN melaksanakan peningkatan

dan mendekatkan diri kepada Peserta lewat cara 57 Kantor

Cabang yang tersebar di seluruh Indonesia yang terdiri dari

6 Kantor Cabang Utama, 7 Kantor Cabang Tipe A

Perkantoran, 14 Kantor Cabang Tipe B, 19 Kantor Cabang

Tipe C dan 11 Kantor Cabang Tipe D. Sebagai organisasi

bantuan masyarakat, TASPEN fokus untuk terus

mengembangkan administrasi Aparatur Sipil Negara dan

Penyelenggara Negara secara konsisten lewat cara berbagai

perkembangan, mulai dari bantuan berbasis komputerisasi,

administrasi penjaminan terprogram, administrasi kunjungan

klien dan administrasi penjaminan satu jam yang telah

mendapatkan ISO 9001:2015 . Ini merupakan kewajiban

Perusahaan untuk giat mengerjakan sifat administrasi untuk


48

mewujudkan bantuan ekonomi pemerintah Aparatur Sipil

Negara.

Pada tanggal 31 Desember 2018, terdapat 5

lembaga yang bekerjasama dalam menggunakan database

Perusahaan sebagai pusat informasi ASN. Lembaga-

lembaga yang bekerjasama dengan Perusahaan yaitu Badan

pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil

(BAPERTARUM), Kementerian Perhubungan

(KEMENHUB), Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia (ASABRI), Badan Kepegawaian Negara

(BKN) dan Dirjen Dinas kependudukan dan pencatatan sipil

(DUKCAPIL) Kementerian Dalam Negeri.

Penandatanganan Nota Kesepahaman antara PT

TASPEN (PERSERO) dengan Mahkamah Agung Republik

Indonesia perihal sinergi layanan berbasis elektronik bagi

Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Mahkamah Agung,

Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

(PAN dan RB), Kementerian Perhubungan, dan

Kementerian Sekretariat Negara

(https://www.taspen.co.id/perihal-kami/sejarah).

b. Visi dan Misi PT Taspen


49

Visi : Mewujudkan perusahaan asuransi sosial dan

dana pensiun yang unggul, andal dan berjangka Panjang

dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan peserta dan

meningkatkan nilai ekonomi dan sosial Indonesia.

Misi : Menjamin terselenggaranya pelayanan

terbaik dan investasi terpercaya, serta kepimpinan inovasi

bisnis dan transformasi digital, lewat cara pemanfaatan

sumber daya manusia yang handal, kompeten, harmonis,

loyal, adaptif, dan kolaboratif. (Visi dan Misi PT Taspen

dapat di lihat dan diakses di

https://www.taspen.co.id/perihal-kami#visi_misi).

2. Profil PT Purna Kreasi Sejahtera

PT Purna kreasi Sejahtera beralamat di Jalan Cempaka

Putih Tengah I, No. A9 RT 05/)1, Jakarta Pusat, DKI, Jakarta.

PT. Purna Kreasi Sejahtera ialah perseroan komanditer

yang diprakarsai berdirinya oleh Dana Pensiun Karyawan

Taspen (DP TASPEN) pada tanggal 30 Oktober 1985 yang

disahkan dengan Akta Notaris Like LestyowatiSoemargo, SH

No : 138/1985.

Sesuai akta pendiriannya, perseroan bergerak pada

bidang usaha jasa penyedia tenaga kerja, pengadaan barang,

jasa percetakan, mechanicalelectrical, kontraktor, yang


50

didukung oleh tim manajemen yang mempunyai pengalaman

dan dedikasi dibidang tersebut. (http://purnakreasi.com/perihal-

kami/sejarah-perusahaan/)

Pendirian perseroan ini didasari kesadaran untuk :

a. Memberikan konstribusi dalam menggerakan dan

meningkatkan kegiatan ekonomi;

b. Memberikan kostribusi dalam menciptakan kesejahteraan

rakyat serta tanggung jawab sosial;

c. Memberikan niai tambahan bagi stakeholders.

Dalam menjalankan bisnis sehari-hari, PT Purna Kreasi

Sejahtera dari manajemen dan seluruh staf karyawan

berkomitmen menjalankan dan mewujudkan visi dan misi

perseroan, yaitu :

a. Visi : Menjadi mitra kerja yang terpercaya dan dapat

diandalkan.

b. Misi: Memberikan pelayanan yang memuaskan,

menciptakan sumber daya manusia yang mampu bekerja

secara profesional berakhlak dan bertanggung jawab.

(http://purnakreasi.com/perihal-kami/visi-misi/)

3. Mekanisme Terhadap PHK Di Indonesia


51

Sebelumnya pada UU no 13 tahun 2003 perihal

Ketenagakerjaan Pasal 163 mengatur perihal mekanisme PHK,

namun setelah di sahkannyaUndang-UndangCipta Kerja no 11

tahun 2020 pasal 163 perihal mekanisme hubungan kerja telah

dihapus.Dalam pasal 163 Undang-Undang Ketenagakerjaan no

13 tahun 2003 secara tegas memberikan hak kepada pengusaha

untuk dapat melaksanakan PHK terhadap pekerja dalam hal

terjadi perubahan status, penggabungan (marger), peleburan

(konsolidasi) atau perubahan kepemilikan perusahaan, namun

di dalam Undang-undang Cipta Kerja no 11 tahun 2020 Pasal

163 telah di hapus.Teknis pelaksanaan (tata cara) PHK diatur

dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah no 35 tahun 2021 perihal

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan

Waktu Istirahat, dan PHK. Pada dasarnya mengacu pada

ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang

ketenagakerjaan no 13 tahun 2003, jika setiap PHK hendaklah

dirundingkan menurut sistem mekanisme bipartit, baik

perundingan perihal alasan pemecatannya, maupun

perundingan perihal hak atau kewajiban yang harus dipenuhi.

Namun setelah disahkannya Undang-undang Cipta Kerja no 11

tahun 2020 Pasal 151 ayat (2) diubah sehingga berbunyi perihal

“dalam hal PHK tidak dapat dihindari, maksud dan alasan PHK
52

diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau

serikat pekerja/serikat buruh”.

a. PHK Demi Hukum

PHK dapat dilakukan dengan alasan apapun:

1) perusahaan melaksanakan penggabungan,

peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan

perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia

melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak

bersedia menerima pekerja/buruh;

2) perusahaan melaksanakan efisiensi diikuti dengan

penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan

penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan

mengalami kerugian;

3) perusahaan tutup yang disebabkan karena

perusahaan mengalami kerugian secara terus

menerus selama 2 (dua) tahun;

4) perusahaan tutup yang disebabkan keadaan

memaksa (forcemajeur).

5) perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban

pembayaran utang;

6) perusahaan pailit;
53

7) adanya permohonan PHK yang diajukan oleh

pekerja/buruh dengan alasan pengusaha

melaksanakan perbuatan sebagai berikut:

a. menganiaya, menghina secara kasar atau

mengancam pekerja/ buruh;

b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh

untuk melaksanakan perbuatan yang

berperihalan dengan peraturan perundang-

undangan;

c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang

telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan

berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha

membayar upah secara tepat waktu sesudah

itu;

d. tidak melaksanakan kewajiban yang telah

dijanjikan kepada pekerja/ buruh;

e. memerintahkan pekerja/buruh untuk

melaksanakan pekerjaan di luar yang

diperjanjikan; atau

f. memberikan pekerjaan yang membahayakan

jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan

pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut ti

dak dicantumkan pada perjanjian kerja;


54

8) adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial yang menyatakan pengusaha

tidak melaksanakan perbuatan sebagaimana

dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang

diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha

memutuskan untuk melaksanakan PHK;

9) pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan

sendiri dan harus memenuhi syarat:

a. mengajukan permohonan pengunduran diri

secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga

puluh) hari sebelum tanggal mulai

pengunduran diri;

b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai

tanggal mulai pengunduran diri;

10) pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja

atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara

tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan

telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara

patut dan tertulis;

11) pekerja/buruh melaksanakan pelanggaran ketentuan

yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan


55

sebelumnya telah diberikan surat peringatan

pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut

masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam)

bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama;

12) pekerja/buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan

selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang

berwajib karena diduga melaksanakan tindak

pidana;

13) pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan

atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat

melaksanakan pekerjaannya setelah melampaui

batas 12 (dua belas) bulan;

14) pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau

15) pekerja/buruh meninggal dunia. (Pasal 154A UU no

11 tahun 2020).

b. Pemutusan Kerja Oleh Pengusaha

1) Dalam hal terjadi PHK, pengusaha wajib membayar

uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa

kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya

diterima.
56

2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) Waktu kerja kurang dari satu tahun, gaji satu

bulan;

b) Lama kerja satu tahun atau lebih tetapi

kurang dari dua tahun, gaji dua bulan;

c) Waktu kerja minimal 2 (dua) tahun tetapi

kurang dari 3 (tiga) tahun, gaji 3 (tiga) bulan;

d) Lama kerja 3 tahun atau lebih dan kurang

dari 4 tahun, gaji 4 bulan;

e) Lama kerja 4 tahun atau lebih dan kurang dari

5 tahun, gaji bulanan 5 tahun;

f) Lama kerja 5 tahun atau lebih dan kurang dari

6 tahun, gaji bulanan 6 tahun;

g) Waktu kerja 6 tahun atau lebih dan kurang

dari 7 tahun, gaji bulanan 7 tahun;

h) Waktu kerja 7 tahun atau lebih dan kurang

dari 8 tahun, gaji bulanan 8 tahun;

i) masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9

(sembilan) bulan upah.

3) Penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai

berikut:
57

a) Waktu kerja 3 tahun atau lebih dan kurang

dari 6 tahun, gaji bulanan 2 tahun;

b) Waktu kerja 6 tahun atau lebih dan kurang

dari 9 tahun, gaji bulanan 3 tahun;

c) Waktu kerja 9 tahun atau lebih dan kurang

dari 12 tahun, 4 bulan upah;

d) Waktu kerja 12 tahun atau lebih dan kurang

dari tahun, 5 bulan upah;

e) Waktu kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang

dari 18 tahun, 6 bulan upah;

f) Jangka kerja 18 tahun atau lebih dan kurang

dari 21 tahun, gaji 7 bulanan;

g) Jangka kerja 21 tahun atau lebih dan kurang

dari 24 tahun, gaji 8 bulanan;

h) Jangka kerja 24 tahun atau lebih, gaji 10

(sepuluh) bulan.

4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a) Cuti tahunan yang belum digunakan dan

belum habis masa berlakunya;

b) Biaya pemulangan pekerja/buruh dan

keluarganya ke tempat pekerja/buruh diterima

bekerja;
58

c) Ketentuan tambahan yang tercantum dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau

perjanjian kerja bersama.

5) Ketentuan lebih lanjut perihal uang pesangon, uang

jasa, dan penggantian hak sebagaimana dimaksud

pada ayat (21), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan

Peraturan Pemerintah. (Pasal 156 Undang-

Undangno 11 tahun 2020).

c. PHK Oleh Pekerja/Buruh

Hak buruh untuk mengakhiri hubungan kerja ini

merupakan dampak dari penyamarataan antara buruh

dengan majikan yang merupakan suatu penyamarataan

yang ditempatkan bagi seorang anak yang lemah suatu

beban yang sama bagaikan pada seseorang dewasa yang

tangguh.

Pekerja/buruh bisa memutuskan hubungan kerja

lewat cara pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa

perlu penentuan pada lembaga penyelesaian hubungan

industrial, maka untuk pekerja/buruh yang bersangkutan


59

memperoleh uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat

(4).

Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri secara

sukarela yang tugas dan fungsinya tidak secara langsung

mewakili kepentingan pengusaha diberikan uang sebagai

tambahan atas kompensasi hak-haknya berdasarkan Pasal

156 ayat (4), dan mereka juga dibayar dalam jumlah yang

besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan atau perjanjian bersama. Seorang

pekerja/buruh yang mengajukan pengunduran diri

tersebut diatas harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut :

1) Pekerja/buruh mengajukan permohonan PHK dengan

alasan penguasa telah melaksanakan perbuatan sebagai

berikut:

2) Pekerja/buruh dianiaya, dihina, atau diancam;

3) Mendorong dan/atau mengarahkan pekerja/buruh untuk

melaksanakan perilaku yang melanggar hukum atau

tidak etis;

4) Tidak membayar gaji tepat waktu selama 3 bulan atau

lebih, meskipun pengusaha membayar pembayaran tepat

waktu setelah itu;


60

5) Tidak memenuhi tanggung jawab yang disepakati

kepada pekerja/buruh;

6) Memerintahkan pekerja/buruh melaksanakan tugas

diluar lingkup perjanjian; atau

7) Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,

keselamatan, kesehatan dan moral pekerja/buruh jika

tugas tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja.

d. PHK Oleh Pengadilan Hubungan Indusrial.

Pengadilan hubungan industrial dibentuk

berdasarkan Pasal 55 UU no 2 Tahun 2004 perihal

penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan dibuka

oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk

menyelenggarkan 33 Pengadilan Hubungan Industrial

(PHI).

Berdasarkan Pasal 56 UU no 2 tahun 2004,

pengadilan hubungan industrial memiliki kekuatan

eksklusif untuk memeriksa dan memutuskan :

1) Pada tingkat pertama menyangkut perselisihan yang

berkaitan dengan hak;

2) Pada tingkat pertama dan terakhir menyangkut pers

eli-sihan yang berkaitan dengan kepentingan;

3) Perselisihan tingkat pertama perihal PHK;


61

4) Pada tingkat pertama dan terakhir berkaitan dengan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh

dalam satu perusahaan.

Pekerja, pengusaha dan pemerintah dituntut untuk

melaksanakan segala kemungkinan untuk menghindari

PHK. Jika dipaksakan, pemberhentian hanya dapat

dilakukan setelah mendapat keputusan dari Lembaga

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI).

Selain pengunduran diri dan sebagaimana ditentukan oleh

LPPHI, hal-hal berikut dapat diperbolehkan untuk

dilakukan PHK :

a. Pekerja masih dalam masa percobaan, jika

sebelumnya telah diminta secara tertulis;

b. Pekerja mengajukan pengunduran diri secara

tertulis atas kemauan sendiri tanpa adanya

tekanan/ancaman dari pengusaha, PHK berdasarkan

kontrak kerja untuk pertama kali dalam jangka

waktu tertentu;

c. Pekerja mencapai usia pensiun menurut ketentuan

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian

kerja bersama atau ketentuan undang-undang, atau

d. Pekerja meninggal dunia;

e. Pekerja ditahan;
62

f. Tidak ada bukti jika pengusaha telah melaksanakan

pelanggaran yang dituduhkan pekerja melaksanaka

n permohonan PHK.

Perselisihan PHK, serta perselisihan

hak,kepentingan, dan serikat pekerja, berada di bawah

klasifikasi hubungan industrial. Perselisihan perihal PHK

melibatkan sah atau tidaknya alasan PHK. Metode

penyelesaian perselisihan hubungan kerja diatur secara

bertahap, yang berarti bekerja dengan cara berikut :

a. Perundingan bipartite

b. Perundingan tripartit

c. Pengadilan hubungan industrial

d. Kasasi (Mahkamah Agung)

B. Pembahasan

1. Kedudukan Hukum Dalam Hubungan Kerja Antara

Penggugat Dengan PT Taspen Dan PT Purna Kreasi

Sejahtera Sesuai Putusan Perkara No

7/PDT.SUS-PHI/2016/PN.AMB

a. Kedudukan Hukum Dalam Hubungan Kerja Antara

Petrus Jonas Sahetapy (Penggugat) dengan PT. Taspen

(Tergugat I)
63

Hubungan antara pekerja dan perusahaan

didasarkan oleh suatu hubungan kerja. Pasal 1 angka 15

Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan,

Hubungan kerja ialah hubungan antara pengusaha dengan

pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang

mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

Pengertian hubungan kerja itu didasarkan oleh

suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1601 KUHP Perdata.

Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur perihal

Hubungan kerja yang terdiri atas hubungan kerja yang

terdapat dalam Pasal 50, bentuk perjanjian kerja yang

terdapat dalam Pasal 51 dan Pasal 63, syarat sah

perjanjian kerja yang terdapat dalam Pasal 52,

pembebanan biaya yang timbul pada Pasal 53, isi dan

ketentuan perjanjian kerja Pasal 54-55, jenis perjanjian

kerja Pasal 56-59 (berdasarkan bunyi yang telah diubah

sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja) Pasal 60,

dan berakhirnya perjanjian kerja Pasal 61 (bunyi telah

diubah di Undang-Undang Cipta Kerja) Pasal 62.

PT. Taspen (PERSERO) ialah badan usaha milik

negara yang sahamnya dimiliki oleh Negara Republik

Indonesia yang dibentuk berdasarkan Peraturan


64

Pemerintah No 25 Tahun 1981 dan sebagaimana telah

diubah dengan Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 2013

oleh karena itu sudah jelas jika PT. Taspen merupakan

bagian dari badan atau pejabat Tata Usaha Negara

(TUN).

Jika Petrus Jonas Sahetapy (Penggugat) bekerja

pada PT TASPEN (PERSERO) cabang Ambon (Tergugat

I) sejak tanggal 17 Januari 1997 berdasarkan perjanjian

kontrak kerja no 01/CIV.9/EXABRI/1997 tanggal 17

Januari 1997 dengan jangka waktu perjanjian kerja

selama 1 (satu) tahun dan di anjurkan pada perjanjan

kerja antara Penggugat Jonas Petrus Sahetapy dengan

Tergugat I PT. TASPEN (PERSERO) cabang Ambon ses

uai surat perjanjian kerja no 01/SPK/C.6.4/01.2009

tanggal 05 Januari 2008 dengan jangka waktu perjanjian

kerja selama 12 (dua belas) bulan yang bertugas sebagai

tenaga keamanan atau security.

Pada tahun 2012 PT. TASPEN (PERSERO)

Cabang Ambon (Tegugat I) melaksanakan perjanjian

kerja sama dengan PT. Purna Kreasi Sejahtera Cabang

Ambon sesuai surat perjanjian kerja sama no

PKS.02/KOPKAR TSP Ambon/01.2012 tanggal 02

Januari 2012 perihal Pengelolaan Jasa Pengemudi


65

Operator Sekretaris dan Teknisi, dan kemudian pada

bulan April 2013 Petrus Jonas Sahetapy (Penggugat) di

alihkan status sebagai karyawan dari PT. TASPEN

(PERSERO) cabang Ambon (Tergugat I) menjadi

karyawan pada PT. Purna Kreasi Sejahtera (Tergugat II)

berdasarkan surat perjanjian kerja no

SPK.0180/PKS/STP-Ambon/IV/2013 tanggal 01 April

2013.

Dengan demikian Petrus Jonas Sahetapy

(Penggugat) ialah karyawan pada PT. TASPEN

(PERSERO) cabang Ambon (Tergugat I) yang dialih

kerjakan pada PT Purna Kreasi Sejahtera cabang Ambon

(Tergugat II), sesuai surat perjanjian kerja no

SPK.0180/PKS/STP-AMBON/IV/2013 tanggal 01 April

2013, karena adanya kerjasama antara PT. TASPEN

(PERSERO) cabang Ambon (Tergugat I) dengan PT

Purna Kreasi Sejahtera cabang Ambon (Tergugat II).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU no 13

Tahun 2003 perihal Ketenagakerjaan menerangkan jika

“Hubungan Kerja ialah hubungan antara pengusaha

dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang

mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan pemerintah”.

Berdasarkan Pasal tersebut, unsur-unsur adanya


66

hubungan kerja antara Petrus Jonas Sahetapy (Penggugat)

dengan PT. Taspen (Tergugat I) telah terpenuhi, karena

Petrus Jonas Sahetapy (Penggugat) ialah karyawan dari

PT. Taspen (Tergugat I) sesuai surat perjanjian kontrak

kerja no 01/CIV.9/XSABRI/1997 tanggal 17 Januari

1997 dan dilanjutkan dengan surat perjanjian kontra kerja

no 01/SPK/C.6.4/01.2009 tanggal 5 Januari 2008

sehingga baik perlindungan upah, syarat kerja, serta

perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab PT.

Taspen (Tergugat I).

Kedudukan Petrus Jonas Sahetapy (Penggugat)

merupakan tenaga alih daya sebagai petugas keamanan

yang ditempatkan pada PT Taspen (Persero) Kantor

Cabang Ambon (Tergugat I) berdasarkan Perjanjian

Kerjasama antara PT Taspen (Persero) Kantor Cabang

Ambon dengan Koperasi Karyawan Taspen Cabang

Ambon sebagaimana perjanjian No: PKS-02/KOPKAR

TSP AMBON/012012 tanggal 02 Januari 2012 perihal

pengelolaan jasa kebersihan, pengelola jasa pesuruh,

pengelola jasa pengamanan, pengelola jasa pengemudi,

operator, sekretaris, dan teknisi.

Kedudukan hukum Petrus Jonas Sahetapy

(Penggugat) mempunyai Kualifikasi Legal Standing


67

(orang atau pihak yang memenuhi syarat untuk

mengajukan gugatan/permohonan) , untuk mengajukan

gugatan, dengan alasan Petrus Jonas Sahetapy

(Penggugat) mempunyai syarat dalam perkara a quo

karena antara Petrus Jonas Sahetapy (Penggugat) dengan

PT. Taspen (Tergugat I) ada hubungan hukum.

b. Kedudukan Hukum Dalam Hubungan Kerja Antara

Petrus Jonas Sahetapy (Penggugat) dengan PT. Purna

Kreasi Sejahtera Cabang Ambon (Tergugat II)

Pasal 1320 KUHPerdata menetapkan empat syarat

sahnya suatu perjanjian, yaitu : persetujuan para pihak,

kesanggupan untuk melaksanakan perbuatan hukum,

adanya tujuan perjanjian, dan adanya alasan yang sah.

Pacta Sunservanda ialah pengertian jika setiap perjanjian

harus diikuti oleh para pihak yang terlibat.

Menurut UU no 2 Tahun 2004 perihal Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI) Pasal 83

ayat (1) menyatakan “Pengajuan Gugatan yang tidak

diampiri risalah Penyelesaian lewat cara mediasi atau

konsiliasi maka hakim pengadilan wajib mengembalikan

gugatan kepada Penggugat”, oleh karena Petrus Jonas

Sahetapy (Penggugat) dalam mengajukan gugatan

Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) telah


68

melampirkan anjuran dan risalah penyelesaian

perselisihan hubungan industrial lewat cara mediasi

tanggal 07 Maret 2016 yang dikeluarkan oleh mediator

pada kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Provinsi Maluku sehingga pengajuan gugatan oleh pihak

Penggugat dalam hal ini Petrus Jonas Sahetapy telah

memenuhi syarat untuk diajukan sebagai perkara gugatan

PHI (Penyelesaian Hubungan Industrial).

Oleh karena Petrus Jonas Sahetapy (Penggugat)

dialihkan pekerjaannya dari PT TASPEN (PERSERO)

cabang Ambon (Tergugat I) menjadi karyawan pada PT

Purna Kreasi Sejahtera cabang Ambon (Tergugat II)

berdasarkan perjanjian kerja no SPK.0180/PKS/SPP-

Ambon/IV/2013 tanggal 01 April 2013 dan PT TASPEN

(PERSERO) cabang Ambon (Tergugat I) dengan PT

Purna Kreasi Sejahtera cabang Ambon (Tergugat II) ialah

mitra kerja yang terikat dengan perjanjian kerja sama

sesuai dengan surat perjanjian no PKS.02/KOPKAR TSP

Ambon/01.2012 tanggal 02 Januari 2012, maka telah

terjadi hubungan hukum antara Petrus Jonas Sahetapy

(Penggugat) dengan PT TASPEN (PERSERO) cabang

Ambon (Tergugat I) maupun dengan PT Purna Kreasi

Sejahtera cabang Ambon (Tergugat II), dengan demikian


69

Petrus Jonas Sahetapy (Penggugat) ialah tenaga kerja

kontrak dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)

yang bertugas sebagai tenaga keamanan (satuan

pengamanan) yang mempunyai Legal Standing

(orang/pihak yang memenuhi syarat untuk mengajukan

gugatan/permohonan) untuk menarik PT Purna Kreasi

Sejahtra cabang Ambon (Tergugat II) sebagai pihak

dalam perkara PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) no

7/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.AMB.

Oleh karena Petrus Jonas Sahetapy (Penggugat)

ialah tenaga kerja yang dikontrak oleh PT Purna Kreasi

Sejahtera cabang Ambon (Tergugat II) sebagai Tenaga

Kerja Outsourching (PKWT), maka PHK yang dilakukan

oleh PT purna Kreasi Sejahtera cabang Ambon (Tergugat

II) terhadap Petrus Jonas Sahetapy (Penggugat) dan tidak

membayar hak-haknya merupakan perbuatan melawan

hukum (PMH) yang merugikan pihak Petrus Jonas

Sahepaty (Penggugat), sehingga PT Purna Kreasi

Sejahtera cabang Ambon (Tergugat II) mempunyai

kewajiban untuk membayar kompensasi pesangon

sebagai akibat dari PHK tersebut.


70

2. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Perkara

No7/PDT.SUS-PHI/2016/PN.AMB

a. Pertimbangan Hukum

Putusan hakim yang berwenang ialah putusan yang

didasarkan pada pertimbangan hukum dan bukti-bukti

yang diperoleh dari penyidikan dan fakta-fakta yang

diungkapkan dipersidangan. Putusan hakim juga harus

sejalan dengan hukum dan keyakinan hakim yang tidak

dipengaruhi oleh partisipasi pihak lain, dan selanjutnya

hakim harus bertanggung jawab secara professional

kepada publik.

Jika maksud dan tujuan gugatan Petrus Jonas

Sahetapy yang pada pokoknya ialah Tergugat I dan

Tergugat II melaksanakan PHK terhadap Penggugat

berperihalan dengan Peraturan Perundang-undangan

dibidang ketenagakerjaan yang berlaku, sebagaimana

yang diuraikan diatas;

Menimbang, jika oleh karena telah diakui atau

setidak-tidaknya tidak disangkal maka menurut hukum

harus dianggap terbukti hal-hal yang menjadi pokok

perselisihan PHK antara Para Tergugat dengan

Penggugat;
71

Menimbang, jika yang menjadi persengketaan

antara kedua belah pihak ialah perihal PHK yang

dilakukan oleh Para Tergugat kepada Penggugat dan hak-

hak yang harus diterima Penggugat menurut Undang-

Undang No. 13 Tahun 2003 perihal Ketenagakerjaan;

Menimbang, jika Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang

No. 2 tahun 2004 perihal Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial, menyatakan “Perselisihan

Hubungan Industrial ialah perbedaan pendapat yang

mengakibatkan perperihalan antara pengusaha atau

gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat

pekerja/buruh karena adanya perselisihan perihal hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu

perusahaan”;

Menimbang, jika Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang

No. 2 tahun 2004 perihal Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial, menyatakan “Perselishan hak ialah

perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak

akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran

terhadap ketentuan Peraturan Perundang-Undangan,

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian

kerja bersama”;
72

Menimbang, jika Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang

No. 2 tahun 2004 perihal Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial, menyatakan “Perselisihan PHK

ialah perselisihan yang timbul karena tidak adanya

kesesuaian pendapat perihal pengakhiran hubungan kerja

yang dilakukan oleh salah satu pihak”;

Menimbang, jika Pasal 56 Undang-Undang No. 2

tahun 2004 perihal Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial, menyatakan “Pengadilan Hubungan Industrial

bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus : a.

ditingkat pertama perihal perselisihan hak, b. ditingkat

pertama dan terakhir perihal perselisihan kepentingan, c.

ditingkat pertama perihal perselisihan PHK, d. ditingkat

pertama dan terakhir perihal perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”;

Menimbang, jika Pasal 81 Undang-Undang No. 2

tahun 2004 perihal Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial, menyatakan “Gugatan perselisihan hubungan

industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan

Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya

meliputi tempat pekerja/buruh pekerja”;

Menimbang, jika berdasarkan hal tersebut di atas

maka Majelis Hakim perlu mempertimbangkan terlebih


73

dahulu apakah pengajuan gugatan sudah sesuai dengan

Pasal 83 Undang-Undang No. 2 tahun 2004 perihal

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)

untuk dapat diperiksa dan diadili di Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Ambon;

Menimbang, jika menurut Keputusan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No :

KEP-92/MEN/VI/2004 perihal pengangkatan dan

pemberhentian Mediator serta tata kerja Mediasi, Pasal 7

menyebutkan “Mediator bertugas melaksanakan mediasi

kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan

perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan

PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh

dalam satu perusahaan”;

Menimbang, jika Keputusan Menteri Tenaga Kerja

Dan Transmigrasi Republik Indonesia

No:KEP-92/MEN/VI/2004 perihal pengangkatan dan

pemberhentian Mediator serta tata kerja Mediasi, Pasal 8

ayat (1) huruf e menyebutkan “Mediator mempunyai

kewajiban : a. Memanggil para pihak yang berselisih

untuk dapat didengar keterangan yang diperlukan, b.

Mengatur dan memimpin mediasi, c. Membantu

membuat perjanjian bersama, jika tercapai kesepakatan,


74

d. Membuat anjuran secara tertulis, jika tidak tercapai

kesepakatan penyelesaian, f. Membuat laporan hasil

penyelesaian perselisihan hubungan industrial”;

Menimbang, jika berdasarkan surat anjuran Kantor

Disnakertras Provinsi Maluku no. 567/111/2016

menerangkan telah terjadi perselisihan PHK antara

Penggugat dengan Tegugat I dan Tergugat II. Namun

surat anjuran tersebut hanya menyebutkan kewajiban-

kewajiban Tergugat II kepada Pengggugat, tanpa

menyebutkan kewajiban-kewajiban Tergugat I kepada

Pengggugat;

Menimbang, jika berdasarkan rasa keadilan Majelis

Hakim berpendapat jika Tergugat I mempunyai

perselisihan hubungan kerja dengan Penggugat. Dalam

persidangan Tergugat I juga menyatakan mempunyai

perselisihan hubungan kerja dengan Penggugat. Hal ini

dibuktikan dengan kehadiran Tergugat I dalam tiap

mediasi di Kantor Disnakertrans Provinsi Maluku;

Menimbang, jika dalam jawaban Tergugat I

disebutkan Tergugat I bagian dari Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan Pemerintah

No. 25 tahun 1981 dan telah diubah dengan Peraturan

Pemerintah No. 20 tahun 2013, sehingga Tergugat I


75

berpendapat Pengadilan Hubungan Industrial pada

Pengadilan Negeri Ambon tidak berwenang memeriksa,

mengadili dan memutus perkara a quo tidak dapat

diterima oleh Majelis Hakim.;

Menimbang, jika berdasarkan uraian diatas Majelis

Hakim berpendapat telah terjadi perselisihan PHK antara

Penggugat dengan Tergugat I dan Tergugat II dan sudah

pernah diajukan mediasinya pada Kantor Disnakertrans

Provinsi Maluku, sehingga Pengadilan Hubungan

Industrial pada Pengadilan Negeri Ambon berwenang

memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo;

Menimbang, jika Penggugat dengan Surat

Gugatannya tertanggal 20 Mei 2016 dan telah dilakukan

perubahan pada tanggal 14 Juli 2016 yang telah

didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan

Industrial pada Pengadilan Negeri Ambon pada tanggal

26 Mei 2016 dengan register perkara :

07/Pdt-Sus-PHI/2016/PN.Amb telah melampirkan risalah

penyelesaian perselisihan hubungan industrial lewat cara

mediasi tertanggal 7 Maret 2016 yang dikeluarkan oleh

Mediator pada Kantor Dinas Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Provinsi Maluku;


76

Menimbang, jika berdasarkan pertimbangan

tersebut, gugatan Penggugat sudah memenuhi ketentuan

UU no 2 Tahun 2004 perihal Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Ambon,

dan selanjutnya akan dipertimbangkan dalam pokok

perkara;

Menimbang, jika Majelis Hakim sebelum

mempertimbangkan pokok perkara, terlebih dahulu akan

mempertimbangkan apakah gugatan tersebut telah

memenuhi syarat-syarat gugatan atau tidak;

Menimbang, jika suatu gugatan memuat gambaran

yang jelas perihal duduk persoalannya yaitu dasar

gugatan harus dikemukakan dengan jelas;

Menimbang, jika dalam Hukum acara Perdata

bagian dari gugatan ini disebut “Pundamentum Petendi

atau Posita”. Posita terdiri dari 2 (dua) yaitu bagian yang

memuat alasan-alasan berdasarkan keadaan dan bagian

yang memuat alasan-alasan berdasarkan hukum;

Menimbang, jika surat gugatan harus pula

dilengkapi “Petitum atau Tuntutan” yaitu hal-hal yang

diingikan Penggugat agar diputuskan, ditetapkan dan atau

diperintahkan oleh Majelis Hakim. Petitum ini harus

lengkap dan jelas, karena bagian dari surat gugatan yang


77

terpenting dan antara Postia dengan Petitum harus ada

hubungan yang jelas.

Dalam praktek hukum acara perdata di pengadilan,

beban pembuktian yang harus dibuktikan hanya terhadap

suatu hak dan peristiwa yang diduga oleh pihak lawan,

sedangkan yang tidak disangkal oleh pihak lawan tidak

harus dibuktikan, karena beban pembuktian yang tidak

disangkal oleh pihak lawan pada umumnya ialah

kebenaran dan keabsahan suatu hak. dan karena kejadian

tersebut telah diterima oleh kedua belah pihak, maka

bukti tersebut tidak dipermasalahkan. Beban pembuktian

penekanannya hanya pada pengakuan dan alat bukti yang

menyertainya terhadap suatu hak dan kejadian cukuplah

sudah jika bukti tersebut benar dan tidak perlu

dibuktikan. Jadi, beban pembuktian dalam hal ini

hanyalah pembuktian suatu hak yang diakui dan suatu

peristiwa atau peristiwa yang dialami dan atau dilakukan

oleh para pihak atau salah satu pihak dalam suatu hal

yang merugikan pihak lain dalam suatu hubungan hukum,

yaitu hak dan suatu kejadian. yang disangkal oleh pihak

lawan di pengadilan karena kebenaran dan keabsahannya

tidak diakui oleh pihak lawan. (Sarwono, 2012:237).


78

Pertimbangan hukum yang bersifat yuridis ialah

pertimbangan yang dilakukan oleh Majelis Hakim

didalam persidangan berdasarkan pada factor-faktor yang

terungkap didalam persidangan dan oleh Undang-Undang

telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam

putusan. Macam-macam alat bukti diatur dalam 164 HIR,

Pasal 284 RBg, dan Pasal 1866 BW yang mana pada

intinya ialah sebagai berikut :

1) Alat bukti dengan surat atau tertulis.

2) Alat bukti dengan saksi

3) Alat bukti persangkaan

4) Alat bukti pengakuan

5) Alat bukti sumpah

a) Alat Bukti Surat

Alat bukti surat yang terdapat dalam

persidangan pada putusan hakim No

7/Pdt.Sus-Phi/2016/PN.AMB terdiri dari :

i. Alat bukti Penggugat

1. Fotocopy Surat Perjanjian Kerja antara

Kepala PT Taspen Cabang Ambon

dengan Petrus Jonas Sahetapy no :

01/CIV.9/EXABRI/1997 tertanggal 17
79

Januari 1997 dengan jangka waktu

berlakunya perjanjian kerja selama 1

(satu) tahun.

2. Fotocopy Surat Perjanjian Kerja antara

Kepala PT Taspen Cabang Ambon

dengan Petrus Jonas Sahetapy no :

01/SPK/C.6.4/01.2009 tertanggal 5

Januari 2008 dengan jangka waktu

berlakunya perjanjian kerja selama 12

(dua belas) bulan.

3. Fotocopy Surat Perjanjian Kerja antara

Kabid Personalia PT Purna Kreasi

Sejahtera dengan Petrus Jonas Sahetapy

no :

SPK-0178/PKS/STP-AMBON/IV/2013

dengan jangka waktu berlakunya

perjanjian kerja selama 9 (Sembilan)

bulan.

4. Fotocopy Surat Direktur Utama PT Purna

Kreasi Sejahtera No :

Srt-523/PKS/VI/2015 perihal

pemberitahuan kepada Petrus Jonas


80

Sahetapy terhitung 1 September 2015

kontrak kerja tidak diperpanjang lagi.

5. Fotocopy Surat Kronologis Tugas,Fungsi

dan Tanggung Jawab Satuan Keamanan

(Satpam) PT Taspen (PERSERO) Cabang

Ambon ditandatangani oleh 1. Bernadus

Masansony, 2. Jhon Sahetap, 3. Saleh

Sahupala, 4. Ali Wakano tertanggal 18

September 2015, tanpa asli karena aslinya

berada pada kantor Dinas Tenaga Kerja

dan Transmigrasi Provinsi Maluku.

6. Fotocopy Surat Undangan Klarifikasi

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Provinsi Maluku no : 567/759/2015

kepada : 1. Pimpinan PT Taspen

(PERSERO) Cabang Ambon, 2.

Bernadus Masansony, 3. Jhon Sahetapy,

4. Saleh Sahupala, 5. Ali Wakano

tertanggal 29 September 2015.

7. Fotocopy Surat Undangan Mediasi I

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Provinsi Maluku no : 567/768/2015

kepada : 1. Pimpinan PT Taspen


81

(PERSERO) Cabang Ambon, 2.

Bernadus Masansony, 3. Jhon Sahetapy,

4. Saleh Sahupala, 5. Ali Wakano

tertanggal 15 Oktober 2015.

8. Fotocopy Surat Undang Mediasi II Dinas

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi

Maluku no : 567/825/2015 kepada : 1.

Pimpinan PT Taspen (PERSERO)

Cabang Ambon, 2. Bernadus Masansony,

3. Jhon Sahetapy, 4. Saleh Sahupala, 5.

Ali Wakano tertanggal 4 November 2015.

9. Fotocopy Surat Undangan Mediasi Dinas

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi

Maluku no : 567/37/2016 kepada : 1.

Pimpinan PT Taspen (PERSERO)

Cabang Ambon, 2. Bernadus Masansony,

3. Jhon Sahetapy, 4. Saleh Sahupala, 5.

Ali Wakano tertanggal 25 Januari 2016.

ii. Alat bukti tergugat I

1. Fotocopy Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No 25 Tahun

1981 perihal Asuransi Sosial

Pegawai Negeri Sipil.


82

2. Fotocopy Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No 26 Tahun

1981 perihal Pengalihan Bentuk

Perusahaan Umum Dana

Tabungan Dan Asuransi Pegawai

Negeri Menjadi Perusahaan

Perseroan (Persero).

3. Fotocopy Perjanjian Kerjasama

antara PT. Taspen Cabang

Ambon dengan Koperasi

Karyawan Taspen Cabang

Ambon perihal Pengelolaan Jasa

Pesuruh, Pengelolaan Jasa

Pengamanan, Pengelolaan Jasa

Pengemudi, Operator, Sekretaris,

dan Teknisi no :

PKS-02/KOPKAR TSP

AMBON/01.2012 tertanggal 12

Januari 2012.

4. Fotocopy Perjanjian kerja antara

Ketua Koperasi Karyawan PT

Taspen Cabang Ambon dengan

Petrus Jonas Sahetapy no : SPK-


83

01/KOPKAR TSP

AMBON/01.2012 tertanggal 2

Januari 2012 perihal Pengelolaan

Jasa Pesuruh, Pengelolaan Jasa

Pengamanan, Pengelolaan Jasa

Pengemudi, Operator, Sekretaris,

dan Teknisi no :

PKS-02/KOPKAR TSP

AMBON/01.2012 tertanggal 02

Januari 2012 dengan jangka

waktu berlakunya perjanjian kerja

selama 12 (dua belas) bulan.

5. Fotocopy Undang-Undang

Republik Indonesia no 13 Tahun

2003 tenatng Ketenagakerjaan

dengan penegasan pada Pasal 1

ayat (15).

6. Fotocopy Surat Direktur Utama

PT Purna Kreasi Sejahtera nmor :

Srt-523,PKS/VI/2015 Perihal

Pemberitahuan kepada Petrus

Jonas Sahetapy terhitung 1


84

September 2015 kontrak kerja

tidak diperpanjang lagi.

7. Fotocopy Anjuran Dinas Tenaga

Kerja dan Transmigrasi Provinsi

Maluku no : 567/111/2016 kepada

: 1. Pimpinan PT Purna Kreasi

Sejahtera, 2. Petrus Jonas

Sahetapy, 3. Saleh Sahupala,

tanpa tanggal Februari 2016.

8. Fotocopy Undang-Undang

Republik Indonesia No 13 Tahun

2003 perihal Ketenagakerjaan

dengan penegasan pada Pasal 64.

iii. Alat bukti tergugat II

1. Fotocopy Undang-Undang Republik

Indonesia No 13 Tahun 2003 perihal

Ketenagakerjaan dengan penegasan pada

Pasal 83.

2. Fotocopy Surat Perjanjian Kerja antara

Kabid Personalia PT Purna Kreasi Sejahtera

dengan Petrus Jonas Sahetapy no : SPK-


85

0178/PKS/STP-AMBON/IV/2013 tertanggal

1 April 2013 dengan jangka waktu

berlakunya perjanjian kerja selama 9

(Sembilan) bulan.

3. Fotocopy Undang-Undang Republik

Indonesia No 13 Tahun 2003 perihal

Ketenagakerjaan dengan penegasan pada

Pasal 56.

4. Fotocopy Surat Permohonan Lamaran

sebagai Karyawan oleh Petrus Jonas

Sahetapy kepada PT Purna Kreasi Sejahtera

tertanggal 1 April 2013.

5. Fotocopy Surat Direktur Utama PT Purna

Kreasi Sejahtera no :Srt-523/PKS/VI/2015

Perihal Pemberitahuan kepada Peturs Jonas

Sahetapy terhitung 1 September 2015

kontrak kerja tidak diperpanjang lagi.

6. Fotocopy Slip Gaji bulan Agustus 2015 atas

Petrus Jonas Sahetapy dari PT Purna Kreasi

Sejahtera sebesar RP. 2.960.73w,- (dua juta

Sembilan ratus enam puluh ribu tujuh ratus

tiga puluh dua rupiah).


86

7. Fotocopy Undang-Undang Republik

Indonesia No 13 Tahun 2003 perihal

Ketenagakerjaan dengan penegasan pada

Pasal 1 ayat (25).

b) Alat Bukti Saksi

Alat bukti saksi dalam persidangan ini terdiri

atas saksi Penggugat dan saksi Para Tergugat.

Penggugat mengajukan orang saksi atas nama

Nawawi Luhulima dan saksi Sunarto,

sedangkan para tergugat mengajukan 2 orang

saksi atas nama M. Lutfi Jaya Tuahuns dan

Mun Al Mudafar Hasbsyi dan seorang saksi

ahli Bernama Gesang Polle.

b. Diktum Putusan Hakim

Dalam hukum acara perdata putusan akhir dalam

suaatu perkara sangatlah penting adanya. Dimana isi

putusannya yang berisi dakwaan disetujui, dakwaan

ditolak, dakwaan tidak dapat diterima, atau pengadilan

tidak berwenang mengadili.

Putusan amar atau diktum ialah isi putusan hakim,

yang biasanya diawali dengan istilah “Putusan” dan/atau

merupakan jawaban atas petitum perkara Penggugat.


87

Dalam prakteknya, putusan hakim yang menyidik perkara

yaitu adanya salinan dan rangkap dari para pihak yang

bersengketa sudah lewat cara proses persidangan. Pada

umumnya replika dan rangkap dapat digunakan sebagai

bahan pertimbangan dalam menentukan kesimpulan

sesuai dengan petitum Penggugat. (Sarwono, 2012: 33).

Dalam Eksepsi

1) Menolak eksepsi Tergugat I untuk seluruhnya

2) Menolak eksepsi Tergugat II untuk seluruhnya

Dalam Pokok Perkara

1) Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya ;

2) Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah

melaksanakan perbuatan yang berperihalan dengan

UU no 13 Tahun 2003 dan peraturan pelaksana

lainnya ;

3) Menyatakan putus hubungan kerja antara

Penggugat dengan Tergugat I sejak tanggal 02

Januari 2012 karena perubahan status perusahaan;

4) Menyatakan putus hubungan kerja antara Pengugat

dengan Tergugat II karena PHK sepihak sejak

dibacakan putusan ini;

5) Menghukum Tergugat I untuk membayar

kompensasi pesangon sebagai akibat dari PHK


88

kepada Penggugat secara tunai dengan perincian

sebagai berikut :

Uang Pesangon : 2 X 6 X Rp. 2.144.000,- = Rp.

25.728.000,-Penghargaan Masa Kerja : 2 X Rp.

2.144.000,- = Rp. 4.288.000,-Ganti Rugi Dll : 2 X

Rp. 2.144.000,- = Rp. 4.288.000,-.

Jumlah : 15 % X Rp. 30.016.000,- = Rp.

4.502.400,- = Rp. 34.518.400,- (tiga puluh empat

juta lima ratus delapan belas ribu empat ratus

rupiah).

6) Menghukum Tergugat II untuk membayar

kompensasi pesangon sebagai akibat dari PHK

kepada Penggugat secara tunai dengan perincian

sebagai berikut :

Uang Pesangon : 2 X 5 X Rp. 2.960.732,- = Rp.

29.607.320,- Penghargaan Masa Kerja : 2 X Rp.

2.960.732,- = Rp. 5.921.464,-Ganti Rugi Dll : 15 %

X Rp. 35.528.784,- = Rp. 5.329.318,-

Jumlah : Rp.40.858.102,- (empat puluh juta

delapan ratus lima puluh delapan ribu seratus

dua rupiah);

Hak-hak lainnya yang menjadi hak Penggugat :


89

Upah Proses (bulan September 2015 s/d Oktober

2016)

14 bulan x Rp. 2.960.732,- = Rp. 41.450.248,-

Total Keseluruhan = Rp. 116.826.750,- (seratus

enam belas juta delapan ratus dua puluh enam

ribu tujuh ratus lima puluh rupiah);

7) Membebankan biaya perkara yang timbul dari

perkara ini dalam putusan sela dan putusan akhir ini

kepada Negara sebesar Rp. 125.000,00 (seratus dua

puluh lima ribu rupiah);

Dalam memutuskan perkara tersebut,

Hakim menjelaskan jika alasan menolak seluruh eksepsi

Tergugat I dan Tergugat II karena Tergugat I dan

Tergugat II tidak dapat membuktikan dalil yang

disangkakan kepada Penggugat, sehingga hakim

berkeyakinan untuk mengabulkan gugatan Penggugat

yang menuntut ganti rugi serta menyatakan putus

hubungan kerja antara Penggugat dan Para Tergugat

karena PHK sepihak.

Hakim dalam mempertimbangkan putusan juga

harus memperhatikan nilai-nilai dan rasa keadilan yang

ada dimasyarakat. PHK merupakan perkara perdata yang

sangat merugikan masyarakat luas. Sehingga, hakim


90

harus cermat dan bijaksana dalam menjatuhkan hukuman

bagi orang yang bersalah.

Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, PHK diatur

dalam Pasal 151-172 yang pada dasarnya pengusaha tidak

dapat melaksanakan PHK secara sembarangan terhadap

pekerjanya. Diupayakan sedemikian agar bagi pengusaha,

pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah

tidak melaksanakan PHK (Pasal 151 ayat 1 UU No. 13 tahun

2013 perihal Ketenagakerjaan), namun dalam hal segala upaya

telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka

maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat

pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh jika

pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat

pekerja/serikat buruh (Pasal 151 ayat 2 UU No. 13 tahun 2013

perihal Ketenagakerjaan jo Pasal 81 angka 37 UU No. 11 tahun

2020 perihal Cipta Kerja). PHK harus disertai dengan

permohonan penetapan dan permohonan tersebut dapat

diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial jika telah dirundingkan oleh pengusaha dan serikat

pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh (Pasal 152

ayat UU No. 13 tahun 2013 perihal Ketenagakerjaan), namun

ketentuan ini telah dihapus dengan dikeluarkannya UU No. 11

tahun 2020 perihal Cipta Kerja.


91

Pengusaha yang melaksanakan PHK yang berperihalan

dengan ketentuan Pasal 153 UU No. 13 tahun 2013 perihal

Ketenagakerjaan yang dirubah dengan Pasal 81 angka 40 UU

No. 11 tahun 2020 perihal Cipta Kerja dinyatakan batal demi

hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali

pekerja/buruh yang bersangkutan dan dalam hal terjadi PHK

oleh pengusaha, maka wajib membayar uang pasangon dan

atau uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak

sesuai ketentuan Pasal 156 UU No. 13 tahun 2013 perihal

Ketenagakerjaan yang dirubah dengan Pasal 81 angka 44 UU

No. 11 tahun 2020 perihal Cipta Kerja.

Pengusaha dapat melaksanakan PHK terhadap

pekerja/buruh dengan alasan sebagaimana ketentuan Pasal 160

ayat 3, 4 dan 5 UU No. 13 tahun 2013 perihal Ketenagakerjaan

yang dirubah dengan Pasal 81 angka 49 UU No. 11 tahun 2020

perihal Cipta Kerja.

Didalam ketentuan Pasal 159 dan Pasal 171 UU No. 13

tahun 2013 perihal Ketenagakerjaan disebutkan jika jika

pekerja/buruh tidak menerima PHK dapat mengajukan gugatan

ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial,

namun pada UU No. 11 tahun 2020 perihal Cipta Kerja tidak

mengatur perihal hal tersebut.


92

Sehingga penyebab atau alasan pengusaha melaksanakan

PHK, harus sesuai berdasarkan Undang-Undang

Ketenagakerjaan. Dimana pada hakekatnya pengusaha harus

sebisa mungkin untuk meminimalisir terjadinya PHK terhadap

pekerja.

Berdasarkan pertimbangan hakim dalam putusan No

7/Pdt.Sus-Phi/2016/PN Amb menurut penulis Hakim telah

tepat mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya karena

sesuai dengan fakta-fakta yang berdasarkan alat bukti sesuai

dengan Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg, dan Pasal 1866 BW

seperti yang telah disebutkan diatas semua telah terpenuhi,

maka para tergugat dinyatakan telah terbukti secara sepihak

melaksanakan PHK terhadap penggugat. Maka berdasarkan

bukti-bukti yang telah diperoleh di dalam persidangan,

sehingga majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat untuk

seluruhnya dan menyatakan para tergugat melaksanakan

perbuatan yang berperihalan dengan UU no 13 tahun 2003 dan

aturan pelaksanaan lainnya.

Menurut penulis dengan adanya putusan oleh

majelis hakim diharapkan dapat menjadi salah satu upaya

untuk perbaikan agar nantinya tidak ada pengusaha yang

melaksanakan PHK secara sepihak kepada para pekerja


93

yang berperihalan dengan Undang-Undang 11 tahun

2020, dan aturan pelaksanaan lainnya.


BAB IV

Kesimpulan Dan Saran

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka penulis memberikan

kesimpulan yang relevan dengan substansi penelitian dan merupakan jawaban dari

rumusan masalah penelitian. Adapun beberapa kesimpulan dan saran dalam

penelitian ini ialah:

A. Kesimpulan

1) Kedudukan hukum dalam hubungan kerja antara Penggugat dengan

PT Taspen dan PT Purna Kreasi Sejahtera yakni, PT Taspen

berdasarkan perjanjian kerja Penggugat sebagai pekerja/buruh dan PT

Taspen dan PT Purna Kreasi Sejahtera sebagai pengusaha yang mana

hubungan tersebut diatur dalam Pasal 50-62 Undang-Undang

Ketenagakerjaan.

2) Dasar pertimbangan hakim jika Penggugat bekerja pada Tergugat I

dan Tergugat II yang ditempatkan di kantor Tergugat I dan telah

terjadi Perselisihan Hubungan Kerja antara Penggugat dengan

Tergugat I dan Tergugat II yang menyebabkan Penggugat

diberhentikan secara sepihak (PHK sama dengan PHK) tanpa ijin dari

Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) ialah

perbuatan yang berperihalan dengan UU no 13 Tahun 2003 perihal

Ketenagakerjaan. Sehingga kepada Tergugat I dan Tergugat II wajib

membayar hak-hak Penggugat secara tunai berupa : uang pesangon,

uang penghargaan masa kerja, dan uang ganti rugi.

94
B. Saran

1. Pekerja

Hendaknya pekerja harus terlebih dahulu memeriksa

perjanjian kontrak kerja yang dibuat oleh perusahaan/majikan

untuk melihat apakah memiliki perlindungan permanen dan juga

mencakup hak-hak yang diperoleh pekerja sebagaimana ditentukan

dalam undang-undang, sehingga mereka dapat melaksanakan

pekerjaannya dengan damai dan aman. Kontrak antara kedua belah

pihak juga merupakan ide yang baik, sebagaimana disebutkan

dalam UU no 13 Tahun 2003. Oleh karena itu, dalam hubungan

kerja, sangat penting untuk memiliki sistem kontrak yang jelas

yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga ada

tidak ada PHK secara informal. sepihak.

2. Perusahaan.

Untuk menghindari PHK secara sepihak terhadap pekerja,

pengusaha harus memiliki transparansi baik cara pelaksanaan

hubungan kerja maupun kesalahan-kesalahan yang dibuat

sehubungan dengan kontrak yang telah dibuat.

3. Hakim dalam memutus perkara

a. Agar hakim dapat menilai putusannya, maka harus ditentukan

hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat I dan

95
96

Tergugat II, baik sebagai pekerja waktu tertentu (PKWT)

maupun sebagai pegawai waktu tidak tertentu (PKWTT).

b. Agar hakim dalam amar putusan tidak hanya menentukan

putusnya hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat I

saja tetapi harus menentukan putusnya hubungan kerja antara

Penggugat dengan Tergugat II juga.

4. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan.

Keterlibatan pemerintah sebagai pembuat kebijakan

diperlukan untuk menghilangkan kesenjangan yang mungkin

menyebabkan pengusaha atau bisnis yang tidak bermoral

mengambil langkah-langkah yang menjadikan PHK sebagai solusi

utama untuk kesulitan.


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Asyhadie, Zaeni & Kusuma, Rahmawati. (2019). Hukum Ketenagakerjaan Dalam
Teori Dan Praktik Di Indonesia. Jakarta Timur: Prenadamedia Grup.
Dr H Ishaq. (2017). Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, serta
Disertasi. Bandung: Alfabeta, cv.
Husni, L. (2006). Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Muhamad Sadi Is&Sobandi. (2020). Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
R. Joni Bambang. (2013). Hukum Ketenagakerjaan. Bandung: Pustaka setia.
Sarwono. (2012). Hukum Acara PerdataTeori dan Praktik. Jakarta: Paragonatama
Jaya.
Soekanto, Soerjono&Mamudji, Sri.(2015).Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Rajawali Pers.

JURNAL
Alwi, Iksan. (2020). Akibat Hukum Terhadap Pekerja Perjanjian Waktu Tertentu
(PKWT) Yang Mendapat PHK Secara
Sepihak Oleh Perusahaan. Jurnal Ilmiah Hukum, 26(17).
doi:http://www.riset.unisma.ac.id/index.php/jdh/article/view/8443/110
18
Fithriatus,Shalihah. (2016). Implementasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) Dalam Hubungan Kerja Di Indonesia. Jurnal Selat, 4(1). doi:
https://ojs.umrah.ac.id/index.php/selat.
Fithriatus, Shalihah, (2017). Perlindungan Hukum Pekerja Dalam Perjanjian Kerja
Perihal Sistem Outsourcing Di Indonesia. Jurnal Yustisia, 6(3). doi:
https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/view/15804/13708.
Grace, Angelia. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Akibat
PHK Sepihak Berdasarkan UU no 13
Tahun 2003 Perihal Ketenagakerjaan (Studi
Putusan Pengadilan Negeri Bandung No 211/Pdt.Sus- PHI/2018/PN.B
DG). Jurnal Hukum Adigama, 3(1). doi: https://journal.untar.ac.id/
index.php/adigama/article/view/8916/5708
M. Rikhardus Joka, & Maria Gs Sutopo. (2018). Aspek Yuridis
PHK Dalam Mewujudkan Hukum KetenagakerjaanBerbasis Keadilan. 

97
98

Binamulia Hukum, 7(2). doi: https://media.neliti.com/media/
publications/275415-aspek-yuridis-pemutusan-hubungan-kerja-p-
ec1d82f7.pdf
Nikodemus Maringan. (2015). Tinjauan Yuridis Pelaksanaan PHK Secara Sepihak
Oleh Perusahaan Menurut UU no 13
Tahun 2003  Perihal  Ketenagakerjaan.
Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, 3(3). doi: https://media.neliti.com/
media/publications/146819-ID-none.pdf
Ni Komang Sri Intan Amilia. (2014). Penyebab Terjadinya
PHK Oleh Pengusaha Terhadap Pekerja Ditinjau Berdasarkan Hukum 
Ketenagakerjaan No / D101 09 161. doi: https://ojs.unud.ac.id/
index.php/kerthasemaya/article/download/38624/23431

Nor, Hafizhjah, Masella, &Alvin, H.N. (2021). TinjauanYuridis Terhadap


PHK Secara Sepihak. Jurnal Ilmiah Hukum,
3(1). doi: http://jurnalmahasiswa.uma.ac.id/index.php/juncto/article/
view/%23528/pdf
Rohendra, Fathammubina & Rani, Apriani. (2018). Perlindungan Hukum 
Terhadap PHK Sepihak Bagi Pekerja. Jurnal 
Ilmiah Hukum, 3(1). doi: https://journal.unsika.ac.id/index.php/
jurnalilmiahhukumdejure/article/view/1889/1525
Rudi Febrianto Wibowo& Ratna Herawati.(2021). Perlindungan Bagi Pekerja
Atas Tindakan PHK Secara Sepihak.
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 3(1). doi: https://ejournal2.un
dip.ac.id/index.php/jphi/article/view/10239
Sudibyo Aji Narendra Buwana Mario Septian Adi Putra. (2015). Implementasi
PHK Terhadap Pekerja Status
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Pada Pt X Di Kota Malang.
doi: https://journal.trunojoyo.ac.id/kompetensi/article/view/1628/1379

Skripsi
Choirunisa, 2018, Perlindungan Hukum Terhadap Karyawan PHK Sektor Pangan
Di DKI Jakarta (Analisa Putusan Mahkamah
Agung No 601 K/PDT.SUS/2010.Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 
(https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43029/1/
CHOIRUNISA-FSH.pdf).
99

Mutiara Mega Sari Panggabean, 2019, Analisis Punisiment, Waktu Kerja, Dan
Beban Kerja Terhadap Tingkat Stres Kerja Karyawan PT. Aurora
Indah Elektrik. Fakultas Sosial Sains Universitas Pembangunan Panca
Budi Medan.

Website
Erni Dwita Silambi, PHK Ditinjau Dari Segi Hukum
(Studi Kasus PT. Medco Lestari Papua) (https://media.neliti.com/medi
a/publications/42654-ID-pemutusan-hubungan-kerja-ditinjau-dari-
segi-hukum-studi-kasus-ptmedco-lestari-pa.pdf).
Yahya, Achmad N. (2020). Dari Kontrak Seumur Hidup Hingga PHK Sepihak,
Ini 8 Poin Undang- Undang Cipta Kerja Yang Jadi  Sorotan  Buruh.
Retrievedfrom (https://nasional.kompas.com/read/2020/10/07/065037
91/dari-kontrak-seumur-hidup-hingga-phk-sepihak-ini-8-poin-uu-
cipta-kerja yang?page=all).

Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah No 35 tahun 2021 Perihal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan PHK
Putusan Perkara No : 7/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.AMB
UU no 2 Tahun 2004 Perihal Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
UU no 11 Tahun 2020 Perihal Cipta Kerja
UU no 13 Tahun 2003 Perihal Ketenagakerjaan
Daftar tabel
Tabel 1.1

Anda mungkin juga menyukai